Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PRAKTIKUM BIOSENSOR

BIOSENSOR UREA BERBASIS IMOBILISASI ENZIM PADA


BIOPOLIMER
Dosen Pengampu Mata Kuliah Praktikum Biosensor
Eviomitta Rizki Amanda, S. Si., M.Sc

Penyusun :
1. Anisa Nur Hidayati (15010101003)
2. Ike Yuyun Winarsih (15010100005)
3. Susi Hartiningsih (15010102012)

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RS ANWAR MEDIKA
SIDOARJO
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengembangan detektor urea banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
analisa kadar urea yang mudah dan murah dalam banyak bidang seperti
kesehatan, industri, dan pertanian. Biosensor urea berbasis imobilisasi enzim
pada biopolimer dikembangkan melalui teknik imobilisasi enzim urease dalam
suatu material pendukung atau matriks. Metode ini membatasi secara fisik
pergerakan biomolekul urease dalam ruang reaksi yang di katalisisnya.
Kemampuan biosensor yang dibuat dengan metode imobilisasi enzim sangat
dipengaruhi oleh teknik imobilisasi yang dipilih. Pemakaian polimer konduktif
seperti polialinin sebagai alternatif material pendukung atau matriks dalam
imobilisasi enzim diharapkan mampu mempertahankan kemampuan katalit
enzim karena fleksibilitasnya dalam struktur kimia yang ditempati dan
efisiensinya transfer muatan elektron yang terjadi (Kan, et al, 2004)
Urease merupakan ezim yang spesifik mengkatalisis reaksi hidrolisis urea
sehingga dapat digunakan sebagai biosensor. Dalam pengembangannya
biosensor urea, urease dapat di imobilisasi dalamsuatu matriks dengan berbagai
teknik seperti absorbsi, entrapment, ikatan kovalen, crosslinking, dan
enkapsulasi (Barhoumi et al., 2004). Pemilihan teknik imobilisasi tersebut
disesuaikan dengan kriteria utama imobilisasi yaitu tidak terajdinya perubahan
konformasi enzim dan tidak terganggunya gugus fungsi aktif biomolekul. Hal
ini tergantung pada interaksi yang diharapkan antar gugus fungsional dalam
biomolekul dan matriks pendukung yang digunakan pada imobilisasi (Kan, et
al, 2004). Berdasarkan uraian diatas praktikum ini bertujuan untuk membuat
biosensor urea berbasis imobilisasi enzim urase pada biopolimer. Enzim urease
didapat dari kacang kedelai halus yang diolah agar didapatkan ekstrak enzim
urease yang kemudian dilakukan penjebakan enzim urease dalam biopolymer
membran.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang didapatkan pada praktikum ini adalah bagaimana
cara membuat biosensor urea berbasis imobilisasi enzim urease dari ekstrak
kacang kedelai.

1.3 Tujuan Percobaan


Praktikum biosensor urea berbasis imobilisasi enzim pada biopolymer
bertujuan untuk membuat biosensor urea berbasis imobilisasi enzim urease dari
kacang kedelai pada biopolimer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enzim
Krebs dan Henseleit (1932) berpendapat bahwa urea terbentuk dari
ammonia dan karbondioksida melalui serangkaian reaksi kimia yang berupa
siklus, yang disebut siklus urea. Pembentukan urea ini terutama berlangsung
dalam hati. Urea adalah suatu senyawa yang mudah larut dalam air, bersifat
netral yang terdapat dalam urine yang dikeluarkan dari dalam tubuh. Biosintesis
urea terdiri atas beberapa tahap reaksi yang merupakan suatu siklus sebagai
berikut (Fatimah, 2011):
a) Sintesis karbamil fosfat
b) Pembentukan sitrulin
c) Pembentukan asam arginino suksinat
d) Penguraian asam arginino suksinat
e) Penguraian arginin.
Urea merupakan senyawa kimia yang terbentuk secara biologis dalam
tubuh makhluk hidup adalah produk akhir dari siklus nitrogen dalam hati. Urea
dalam darah atau dalam urin merupakan zat penting untuk diagnosis penyakit
hati dan ginjal. Konsentrasi normal urea dalam darah berkisar pada 5 25 mg/dL
(Harper, 2003). Pada pasien yang mengalami kegagalan ginjal kadar urea dalam
serum berkisar pada konsentrasi 30-80 mg/dL, sehingga pasien tersebut harus
menjalani hemodialisis. Berdasarkan hal tersebut maka urea menjadi bagian dari
analisis rutin dalam dunia kesehatan (Kuswandi, 2010).
Urease merupakan enzim yang spesifik mengkatalisis reaksi hidrolisis urea
sehingga dapat digunakan sebagai biosensor. Pengembangan biosensor urea,
urease dapat diimmobilisasi dalam suatu matrik dengan berbagai teknik seperti
adsorpsi, entrapment, ikatan kovalen, cross linking, dan enkapsulasi. Barhoumi et
al.,(2004) dalam fauziah, (2012) menyatakan biosensor urea dapat dikembangkan
dengan mengimmobilisasi urease dalam polimer lateks menggunakan teknik
entrapment. Antonia dan Toressi, (1999) dalam jurnal fauziah, (2012)
menggunakan polipirol untuk mengimmobilisasi urease dengan teknik cross
linking dan entrapment.
Atmoko, (2004) dalam jurnal fauziah, (2012) mengimmobilisasi urease
dengan teknik sol gel menggunakan Tetra methoksi silicate (TMOS) sebagai
matrik. Biosensor urea yang dihasilkan digunakan untuk mengukur laju hidrolisis
urea pada range konsentrasi 1-5 ppm. Pemilihan teknik immobilisasi tersebut
disesuaikan dengan kriteria utama immobilisasi yaitu tidak terjadinya
perubahankonformasi enzim dan tidak terganggunya gugus fungsi aktif
biomolekul. Hal ini bergantung pada interaksi yang diharapkan antara gugus
fungsional dalam biomolekul dan matrik pendukung yang digunakan pada
immobilisasi.
2.2 Urease
Urea yang diaplikasikan dalam tanah akan dihidrolisis oleh enzim urease
(urea amidohydrolase) menjadi NH3 dan CO2 dengan ammonium karbamat
sebagai intermediet seperti proses berikut:
urease
CO(NH2)2 + H2O H2NCOONH4 2NH3 + CO2

Proses ini dapat menyebabkan peningkatan pH tanah dan mendorong kehilangan N


dalam bentuk volatilisasi NH3. Hampir keseluruhan urea terhidrolisis sempurna
dalam waktu kurang dari lima hari setelah pengaplikasian baik pada kondisi tanah
yang kering maupun basah di daerah tropik basah, namun proses ini akan lebih
cepat pada tanah lembab dan kondisi hangat karena aktivitas urease meningkat
seiring dengan peningkatan temperatur dan optimum pada temperatur 37oC. Engels
dan Marschner (1995) menyatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut di daerah
Mediterania, 85 kg urea/ha dirombak secara sempurna oleh urease menjadi NH4+
dan H2O. Hal serupa juga dinyatakan oleh Clapp (2001) melalui percobaan
laboratorium bahwa 84 % dari aplikasi pemberian larutan urea murni dikonversi
menjadi ammonium setelah 2 hari. Aktivitas total urease pada beberapa tanah yang
terukur dengan menggunakan metode THAM buffer rata-rata sebesar 64.3 mg NH4
+-N kg-1.2jam-1 (Kuswandi, 2010). Sedangkan Siallagan (2004) mendapatkan
bahwa aktivitas urease pada Latosol Darmaga dengan penggunaan lahan rumput
yang terukur dengan menggunakan metode Kolorimetrik, Kandeler sebesar 87.96
mg NH4 +-N kg-1.2jam-1.

2.3 Imobilisasi Biosensor


Pengembangan sebuah biosensor, maka bioreseptor atau biopolimer yang
selektif dan sensitive tergadap analit tertentu garus ditempatkan atau dihubungkan
dengan transduser, yang merupakan tahap kuno dan keberhasilan sebuah biosensor
dalam mendeteksi analit tersebut pada permukaan sensor baik secara langsung
maupun tak langsung. Terdapat 5 teknik imobilisasi enzim dalam biosensor yaitu
adsorpsi, mikroenkapsulasi, entrapment (penjebakan), cross-linking (ikatan silang),
dan covalent bonding (Mathias, 2007).
A. Adorpsi
Teknik ini merupakan teknik sederhana dan penyiapannya mudah.
Adsorben yang digunakan yaitu alumina, arang (karton), lempeng, selulosa, kaolin,
silika gel, gelas dan kolagen. Teknik adsorban dibagi menjadi dua yaitu secara
fisika dan kimia. Adsopsi fisika dengan metode Van Der Waals, ikatan hidrogen
atau transfer muatan, ikatan lemah secara kimia melibatkan ikatan kovalen (ikatan
kuat). Adsopsi biomaterial sangat dipengaruhi oleh perubahan pH, temperatur,
kekuatan ion, dan substrat. Keuntungan metode adsopsi adalah hasil memuakan
untuk riset jangka pendek. Adsorpsi hasilnya hanya bertahan selama 1 hari
(Mathias, 2007).
B. Mikroencapsulasi
Pada teknik ini bioaktif molekul diperangkap dalam membran yang inert
yang selanjutnya dilekatkan pada transduser. Membran dapat melindungi
bioaktif molekul sehingga teknik ini menghasilkan performa biosensor yang
cukup baik dan secara langsung membran sendiri memiliki pori-pori dengan
ukuran yang relatif kecil sehingga hanya dapat dilewati oleh molekul yang
berukuran kecil, gas, dan ion (Astuti, 2009), biasanya teknik immobilisasi
dengan encapsulasi cukup stabil terhadap perubahan temperatur, pH, kekuatan
ion dan komposisi kimia. Sehingga teknik immobilisasi ini banyak digunakan
dalam pengembangan biosensor.
C. Entrapment (penjebakan)
Biomaterial diocampur dengan larutan monomer yang selanjutnya
dipolimerisasi membentuk gel, biomaterial akan terjebak pada polimer. Biasany
amobilisasi penjebakan digunakan poliakriamid dan polimer konduktif polipirol.
Poliakrilamid dibuat melalui kopolimerisasi akrialamid dengan N, N metilen
bisakrilamide. Polimerisasi efektif melalui radiasi UV dengan adanya vitamin B1
sebagai photosensitizer. Kekurangan dari amobilisasi entrapment adalah terjadi
rintangan difusi substrat, jadi reaksi terjadi secara berlahan, hilangnya biomaterial
melalui pori dalam gel dapat ditiadakan melalui ikatan silang (Mathias, 2007).
D. Ikatan kovalen
Ikatan antara gugus fungsi dalam biomaterial dengan matriks pendukung.
Misalnya gugus nukleofilik dalam asam amino yang tidak memberikan aksi
katalitik. Reaksi harus dilakukan pada suhu rendah, kekuatan ion rendah dan pH
netral. Enzim yang terdapat tidak akan hilang dari biosensor (Mathias, 2007).
E. Ikatan silang (Cross-linking)
Metode cross linking didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler
antara molekul-molekul enzim. Gugus fungsional dalam molekul enzim yang biasa
digunakan untuk pembentukan ikatan intermolekuler adalah gugus amino pada
asam amino terminal, gugus amino dari lisin, gugus fenolik dari tirosin gugus
sulhidril dari sistein dan gugus imidazole dari histidin. Biomaterial diikatkan
secara kimiawi pada pendukung padat atau material pendukung lain seperti gel.
Ikatan silang menggunakan reagen bifungsi seperti glutaraldehide. Difusi terbatas
dapat menyebabkan biomaterial rusak. Kekuatan mekanik yang dihasilkan akan
jelek. Glutaraldehyde akan bereaksi dengan residu asam amino lysin dalam enzim
(Mathias, 2007). Penggunaan enzim terimobilisasi akan memberikan beberapa
keuntungan (Atmoko, 2004) yaitu:
1. Enzim dapat digunakan secara berulang,
2. Proses dapat dihentikan secara cepat dengan mengeluarkan enzim dari
larutan substrat,
3. Kestabilan enzim dapay diperbaiki,
4. Larutan hasil proses tidak terkontaminasi oleh enzim,
5. Dapat digunakan untuk tujuan analisis yang melibatkan enzim.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat
Peralatan yang dipergunakan dalam praktikum biosensor urea berbasis
imobilisasi enzim pada biopolymer adalah cermin, tabung reaksi, penangas air,
gelas Beaker, Erlenmeyer, shaker, magnetic stirrer, kaca arloji, timbangan analitik,
cawan Petri, oven, jarum pentul, pipet tetes, pipet volume, pipet ukur,
spektrofotometer vis, dan kuvet.

3.2 Bahan
Bahan yang dipergunakan dalam praktikum biosensor urea berbasis imobilisasi
enzim pada biopolymer adalah kacang kedelai halus, aseton, agarosa, nutrijel leci,
agar plain, aquades, indikator PP, larutan standar amonia, dan larutan urea.

3.3 Prosedur Kerja


1. Isolasi enzim urease dari kacang kedelai:
Kedelai halus

- ditimbang 30 gram kedelai halus,


- dimasukkan dalam gelas Beaker
- ditambahkan aseton 150 mL. Sentifuge dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit.
- dibuang fraksi aseton, dan diambil endapannya
- dibilas endapan dengan aquades dengan teknik centrifuge
- dibuang filtratnya dan diambil endapannya. Endapan tersebut
merupakan ekstrak kasar dari enzim urease
Hasil

2. Penjebakan enzim urease dalam biopolimer membran


Biopolymer

- ditimbang 1 gram biopolymer (agarosa, nutrigel leci, agar


plain), dimasukkan dalam gelas Beaker
- ditambahkan buffer posphat pH 7 sebanyak 7,5 gram
- diaduk menggunakan hot plate stirrer pada suhu ruang selama
30 menit hingga terbentuk larutan dope
- ditambahkan 0,5 gram ekstrak urease kering Lanjutkan
pengadukan selama 30 menit
- dicetak larutan menggunakan kaca lalu casting dan diamkan
pada suhu ruang.
-
Hasil
3. Aplikasi enzim imobilasasi membrane pada larutan urea:
Larutan standar
-
- dibuat larutan standar amonia 1,2,3,4,5 ppm.
- dibuatlah larutan Urea 1,2,3,4,5 ppm sebanyak 100 mL dalam
buffer fosfat pH 7.
- dipotong membrane dengan ukuran 1 x 5 cm, dimasukkan
potongan membrane sebanyak 5 lembar dalam masing-masing
larutan urea, di shaker selama 5,10,15,20,25,30 menit.
- diambil 10 mL larutan sampel setiap selang waktu yang
ditentukan dan tambahkan 2 tetes indicator PP. dianalisis dengan
menggunakan spektrofotometer Vis dengan panjang gelombang
486 nm.
Hasil
BAB IV
DATA HASIL PERCOBAAN

Perlakuan Pengamatan
Isolasi enzim urease
Ditimbang kedelai halus sebanyak 30 Kedelai halus terlarut dalam aseton dan
gram, dilarutkan menggunakan 150 mL membentuk dua lapisan filtrat dan
aseton. endapan.
Disentrifuse dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Dibuang fraksi Terbentuk dua fraksi yakni endapan
aseton dan diambil endapannya. dan fraksi aseton.
Dilakukan 2x ekstraksi.
Dibilas endapan dengan aquades, dan
Terbentuk dua fraksi yakni aquades
disentrifuse dengan kecepatan 3000
dan endapan.
rpm selama 10 menit.
Dibuang filtratnya dan diambil Endapan tersebut merupakan ekstrak
endapannya. kasar enzim urease.
Penjebakan enzim urease dalam biopolimer
Ditimbang 1 gram biopolymer agarosa,
Biopolymer membran yang berhasil
yang kemudian diganti dengan nutrijel
yakni dari agar plain.
leci, dan agar plain.
Biopolymer dilarutkan dengan buffer Biopolymer terlarut dengan buffer
phospat pH 7 sebanyak 7,5 gram phospat (homogen)
Diaduk menggunakan hot plate stirrer
Biopolymer membran terhomogenkan
pada suhu ruang selama 24 jam hingga
dan dapat dicetak diatas cermin.
terbentuk larutan dope.
Ditambahkan 1 gram ekstrak urease
Suhu diamati jangan sampai sampel
kering, dilanjutkan pengadukan selama
menguap dan habis.
30 menit
Dicetak diatas cermin, lalu casting dan
Terbentuk biopolymer membran yang
didiamkan pada suhu ruang, hingga
tipis
dapat di potong-potong
Aplikasi enzim imobilisasi membran pada larutan urea
Dibuat larutan standar amonia dengan
Larutan diukur menggunakan
konsentrasi 1,2,3,4,5, ppm. Dibuat
spektrofotometer untuk mengetahui
larutan urea 1,2,3,4,5 ppm sebanyak
absorbansinya
100 mL dalam buffer phospat
Dipotong membran yang telah dibuat
dengan ukuran 1x5 cm, dimasukkan Larutan urea mengandung enzim
potongan membran sebanyak 5 lembar urease
ke dalam larutan urea.
Dishaker selama 5,10,15,20,25,30
menit. Diambil 10 mL larutan sampel Larutan menjadi berwarna merah muda
setiap selang waktu yang ditentukan setelah ditambahkan indikator PP.
dan ditambahkan 2 tetes indikator PP.
Dianalisis menggunkan spekto-
Absorbansi menyatakan kadar enzim
fotometer vis dengan panjang
urease dalam larutan urea.
gelombang 560 nm.
Absorbansi standar larutan amonia
y = 0,0377x + 0,2255
0.6
Kurva standar amonia R = 0,5068

0.5

0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi (mol/L)

Absorbansi aplikasi enzim imobilasasi membrane pada larutan urea

Kurva standar urea


0.25
y = 0,0186x + 0,0475
R = 0,8371
0.2
Absorbansi

0.15

0.1

0.05

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi (mol/L)
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Prinsip Percobaan


Metode imobilisasi enzim dengan penjebakan (entrapping). Berdasarkan
pengikatan enzim dalam kisi matriks polimer atau melingkupi enzim dalam
membrane semipermiabel dan di bagi menjadi tipe kisi dan mikrokapsul.
Biomaterial dicampur dengan larutan monomer yang selanjutnya dipolimerisasi
membentuk gel, biomaterial akan terjebak pada polimer.

5.2 Analisa Prosedur


Praktikum biosensor urea berbasis imobilisasi enzim pada biopolimer
dilakukan dengan metode penjebakan (entrapping). Praktikum ini menggunakan
tiga langkah kerja yakni isolasi enzim urease dari kacang kedelai, penjebakan enzim
urease dalam biopolimer membran, dan aplikasi enzim imobilisasi membran pada
larutan urea. Isolasi enzim urease dari kacang kedelai dilakukan dengan
menghaluskan kacang kedelai dan ditimbang sebanyak 30 gram. Kacang kedelai
halus dilarutkan dengan aseton dan dilakukan sentrifuse, hal ini dilakukan bertujuan
untuk mendapatkan ekstrak enzim urease. Setelah disentrifuse didapatkan dua
lapisan larutan yakni filtrat aseton (pelarut) dan endapan. Filtrat aseton dibuang,
langkah tersebut diulang hingga dua kali, langkah terakhir ekstraksi dicuci
menggunkan aquades, filtrat dibuang dan endapan disimpan. Endapan tersebut
merupakan ekstrak kasar enzim urease dari kacang kedelai.
Penjebakan enzim urease dalam biopolimer membran dilakukan menggunkan
beberapa jenis membran sebagai uji coba. Membran yang petama yakni
menggunakan agarosa, kemudian nutrijel leci, dan agar-agar plain. Pada membran
agarosa tidak dapat digunakan sebagai biopolymer membran, hal ini dikarenakan
biopolymer agarosa merupakan media petumbuhan bakteri yang baik (optimum) (
_ ), sehingga kegagalan pada uji dengan membran agarosa karena setelah di
imobilisasi agarosa ditumbuhi bakteri (mikroorganisme). Biopolymer selanjutnya
menggunakan nutrijel leci, hasil uji ini juga tidak berhasil. Kegagalan terjadi karena
ketika membran terkena cairan (aquades/larutan lain) membran kembali
terhomogenkan. Selain itu karena faktor komposisi nutrijel yang mengandung
perasa leci sehingga tidak dapat digunakan sebagai biopolymer membran ( _ ).
Membran selanjutnya yakni menggunkan agar-agar plain. Pada uji ini biopolymer
membran berhasil dan dapat dilakukan imobilisasi dengan enzim urease dari
ekstrak kacang kedelai dan dicetak di atas cermin atau cawan Petri dengan casting.
Pembuatan biopolymer membran dilakukan dengan menimbang 1 gram agar-agar
plain dan dilarutkan dalam buffer phospat, hal ini dilakukan bertujuan agar adanya
buffer phospat dapat menstabilkan pH dalam biopolymer mebran yang digunakan,
selain itu juga untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme ke dalam
biopolymer membran yang digunakan ( _ ). Kemudian, dihomogenkan sampel
membran dengan larutan buffer phospat dan di stirrer pada suhu ruang selama 24
jam hingga terhomogenkan dan hingga terbentuk larutan dope. Hal ini dilakukan
agar pada saat dilakukan casting di atas cermin/kaca tidak ada membran yang
menggumpal, sehingga dapat terbentuk membran yang tipis. Pada saat
penghomogenan membran dapat juga dengan dipanaskan hingga mendidih, namun
volume sampel tidak boleh berkurang (menguap). Setelah di homogenkan selama
24 jam, sebelum di lakukan casting maka biopolymer membran agar-agar plain
ditambahkan 1 gram ekstrak enzim urease. Kemudian, dihomogenkan kembali
selama 30 menit. Setelah penambahan enzim maka suhu larutan harus dikontrol
dan tidak boleh melebihi 40oC. Hal ini dikarenakan 40oC merupakan suhu
maksimum enzim urease ( _ ). Jika pemanasan selama proses homogenisasi
melebihi 40oC dapat mendenaturasi enzim urease, yang dapat berakibat pada
gagalnya proses imobilisasi enzim urease pada membran agar-agar plain ( _ ).
Larutan membran+enzim dicetak diatas cermin/kaca dan cawan Petri, dilakukan
casting agar dapat terbentuk membran setipis mungkin. Biopolymer membran
dengan enzim urease didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang untuk dapat
diaplikasikan pada larutan urea.
Biopolymer membran yang telah terbentuk dipotong-potong sekecil mungkin
dengan ukuran 1x5 cm. Dalam pengujian aplikasi enzim imobilisasi membran pada
larutan urea menggunakan larutan standar amonia dengan konsentrasi
1,2,3,4,5,6,7,8 ppm, dibuat pula larutan urea dengan konsentrasi 1,2,3,4,5,6,7,8
ppm. Larutan amonia dibuat sebagai pembanding uji larutan urea yang ditambahkan
dengan enzim urease. Larutan amonia ditambahkan indikator PP dan di ukur
menggunakan spektrofotometer Vis dengan panjang gelombang 560 nm.
Sementara, larutan urea ditambahkan 5 lembar atau lebih biopolymer membran, di
shaker selama 30 menit, dan setiap 5 menit di ambil 10 mL larutan sampel untuk
dilakukan pengujian dengan spektrofotometer Vis 560nm. Shaker dilakukan
bertujuan agar larutan urea tetap terhomogenkan, dan dalam 30 menit tersebut
enzim urease dapat mengubah larutan urea menjadi amonia. Fungsi penambahan
enzim urease adalah untuk mengetahui kemampuan enzim urease mengubah larutan
urea menjadi amonia yang kemudian dideteksi menggunakan spektrofotometer Vis
560nm. Larutan sampel ditambahkan indikator PP agar dapat terdeteksi pada
spektrofotometer Vis ( _ ). Selanjutnya, didapatkan hasil absorbansi dari aplikasi
enzim imobilisasi membran pada larutan urea.

5.2 Hasil dan Pembahasan


Urease merupakan enzim yang spesifik mengkatalisis reaksi hidrolisis urea
sehingga dapat digunakan sebagai biosensor. Dalam pengembangan biosensor urea,
urease dapat diimmobilisasi dalam suatu matrik dengan berbagai teknik seperti
adsorpsi, entrapment, ikatan kovalen, cross linking, dan enkapsulasi. Barhoumi et
al., (2004) mengembangkan biosensor urea dengan mengimmobilisasi urease
dalam polimer lateks menggunakan teknik entrapment. Berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan imobilisasi enzim urease dalam biopolymer membran agar-
agar plain. Enzim urease di ekstrak dari kacang kedelai yang dihaluskan.
Biopolymer membran yang digunakan dalam percobaan ini yakni diantaranya
agarosa, nutijel leci, dan agar-agar plain. Dari ketiga bahan tersebut yang berhasil
untuk membuat biopolymer membran dan diimobilisasi dengan enzim urease
adalah agar-agar plain. Agarosa merupakan media tumbuh bakteri yang optimum,
sehingga pada uji coba menggunakan agarosa sebagai biopolymer membran setelah
dilakukan casting diatas kaca/cermin dan cawan Petri terdapat mikroorganisme
yang mengkontaminasi membran tersebut, hal tersebu menandakan bahwa agarosa
tidak dapat digunakan sebagai biopolymer membran. Berdasarkan literatur ( _ )
bopolymer membran harus streril yang artinya tidak ada kontaminasi dari
mikroorganisme lain seperti bakteri atau jamur, hal tersebut dapat mengganggu
hasil percobaan. Percobaan selanjutnya menggunakan nutrijel leci sebagai
biopolymer membran, uji tesebut gagal. Hal ini dikarenakan sifat nutrijel leci yang
apabila terkena air atau sejenis cairan lainnya mudah terhomogenkan kembali
setelah memadat, sehingga tidak dapat mempertahankan stuktur membran sebagai
biopolymer ( _ ). Selain itu, faktor aroma leci pada nutrijel yang membuat sampel
tidak dapat digunakan sebagai biopolymer membran. Pembuatan biopolymer
selanjutnya menggunakan agar-agar plain. Uji tersebut berhasil, agar-agar plain
dapat digunakan sebagai biopolymer membran, sifatnya yang tidak larut air setelah
memadat, tidak memiliki bau dan rasa, dan bukan media tumbuh mikroorganisme.
Pembuatan biopolymer membran membutuhkan waktu 48 jam, 24 jam sampel
dihomogenkan pada suhu ruang dan mencegah agar sampel tidak menguap,
selanjutnya dimasukkan enzim urease ke dalam membran agar-agar yang belum
dicetak dan dihomogenkan selama 30 menit, hal ini lah yang dinamakan imobilisasi
enzim dengan metode penjebakan (entrapment). Selanjutnya sampel di cetak diatas
cermin/kaca dan cawan Petri, pada proses ini yang menentukan tebal tipisnya
membran, membran yang terlalu tipis mengakibatkan proses pemotongan atau
pengambilan membran akan mudah robek karena terlalu tipis sehingga ukuran
membran yang di dapat tidak sesuai denganprosedur uji, sementara jika membran
terlalu tebal menandaka enzim urease yang di imobilisasi tidak menyebar rata
seperti membran yang tipis ( _ ).
Enzim urease yang telah terimobilisasi ke dalam biopolymer membran
kemudian dimasukkan ke dalam larutan urea, hal ini dilakukan untuk mengetahui
apakah proses imobilisasi enzim urease berhasil, maka diaplikasikan enzim
imobilisasi membran pada larutan urea. Hasil uji berhasil ditandai dengan
terbentuknya amonia yang dihasilkan dari larutan urea yang diubah oleh enzim
urease menjadi amonia, kemuadian di tambahkan indikator PP, dan di ukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer Vis 560 nm. Reaksi yang terjadi
menurut ... ( _ ) yakni :
urease
CO(NH2)2 + H2O H2NCOONH4 2NH3 + CO2
Perubahan larutan urea menjadi amonia menandakan enzim urease berhasil
diaplikasikan untuk menghidrolisis larutan urea ( _ ).
Kadar amonia dalam larutan sampel diukur menggunakan spektrofotometer
Vis 560 nm. Berdasarkan hasil percobaan dibuat larutan standar amonia sebagai
perbandingan dari hasil uji larutan urea yang ditambahkan enzim urease. Setelah
diukur menggunakan spektrofotometer Vis 560 nm absorbansi larutan amonia
kurang dari satu R2=0,5068 hasil yang didapatkan jauh dari 1, hal ini menandakan
absorbansi larutan amonia tidak bagus. Sementara, hasil absorbansi larutan urea
yang dimasukkan enzim urease didapatkan R2=0,8371. Hasil uji larutan standar
amonia dengan larutan sampel urea+enzim urease berbeda jauh, terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi hasil absorbansi larutan tersebut, salah satunya adalah
karena faktor spektrofotometer yang digunakan, adanya matriks penganggu dalam
larutan, dan faktor pengenceran larutan yang dilakukan praktikan ( _ ). Pengaruh
konsentrasi terhadap absorban membran urease diamati pada substrat urea dengan
range konsentrasi 0 ppm 8 ppm. Grafik absorban terhadap konsentrasi
ditunjukkan pada gambar berikut :

Kurva standar urea


0.25
y = 0,0186x + 0,0475
R = 0,8371
0.2
Absorbansi

0.15

0.1

0.05

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi (mol/L)

Gambar 1. Grafik Kurva Kalibrasi Membran Urease pada Range Konsentrasi 0


ppm 8 ppm.
Gambar 1 menunjukkan bahwa absorban membran urease dengan variasi urease 1
mg/mL pada panjang gelombang 560 nm meningkat sesuai dengan adanya
peningkatan konsentrasi. Hubungan linier ini menunjukkan bahwa konsentrasi
berbanding lurus dengan absorban membran urease pada range konsentrasi 0 ppm
8 ppm. Koefisien regresi yang diperoleh berdasarkan gambar diatas adalah
sebesar 0.8371, artinya 83% perubahan absorban dipengaruhi oleh perubahan
konsentrasi urea, sedangkan 17% dipengaruhi faktor lain.
BAB VI
KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pembuatan biosensor urea


berbasis imobilisasi enzim pada biopolimer dapat disimpulkan bahwa pembuatan
biosensor urea ini menggunakan metode penjebakan dengan enzim urease dari
ekstrak kacang kedelai. Biopolymer membran yang digunakan adalah gel agarosa,
nutrijel leci, dan agar-agar plain. Hasil uji yang berhasil adalah menggunakan
biopolymer membran dari agar-agar plain. Aplikasi enzim imobilisasi membrane
pada larutan urea didapatkan koefisien regresi yang diperoleh adalah sebesar
0.8371, artinya 83% perubahan absorban dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi
urea, sedangkan 17% dipengaruhi faktor lain.
DAFTAR PUSTAKA

Antonia, L.H.D dan Toressi, S.I.C. 1999. Amperometric Urea Biosensor Using
Polypyrrole with Different Dopants. Brazil : Universidade de Sao Paulo.
Atmoko, E.W. 2004. Studi Immobilisasi Urease dengan Teknik Sol-Gel untuk
Biosensor Urea. Skripsi . Jember : Universitas Jember.
Astuti, Rini Nafsiati. 2009. Konsep Dasar Kimia. Malang: UIN-Malang Press
Barhoumi, H., Maaref, A., Martelet, C., Jaffrezic, N., Mousty, C., Cosnier, S., et al.
2004. Characterisation of a New Urea Biosensor Using Different Synthetic
Latex for Urease Immobilisation. WWW.Sparksdesigns.co.uk.biopap ers04
/papers /bs134 .pdf
Brett, C. M., Brett, M. O. 1993. Electro chemistry Principles, Methods and
Applications. New York: Oxford University Press.
Cik, Muhammad Arifin, Hadiman, H.R., Sutardjo, Supriyatatna, dan Suratno,
Wawang. 2007. Pengaruh Komposisi Membran Elektroda Terhadap
Kinerja Elektroda Penentu Urea. ISSN: 1978-1873. J. Sains MIPA,
Edisi khusus Tahun 2007. Vol. 13 nomor 2: 114-118
Estien Yazid, Lisda Nursanti. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. CV Andi
Offset. Yogyakarta.
Fatimah, Iram and Swati, Mishra. 2011. Development of Potentiometric Urea
Biosensor For Clinical Purposes. Indo Global Journal of Pharmaceutical
Sciences. Vol 1 nomor 4: 300-303
Fauziyah, Begum. 2012. Optimasi Parameter Analitik Biosensor Urea Berbasis
Immobilisasi Urease dalam Membran Polianilin. Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Maliki Ibrahim.
Kan, J., Pan, X. dan Chen, C. 2004. Polyaniline-Uricase Biosensor Prepared with
Template Process. Dalam Journal Biosensors and Bioelectronics. Vol. 19.
p. 1635-1640.
Khairi. 2005. Perbandingan Metode Potensiometri menggunakan Biosensor Urea
Berbasis Urea dengan Metode Spektrofotometri untuk Penentuan Urea.
Jurnal Sains Kimia. Vol 9 No.2, 2005: 68-72
Kuswandi, Bambang. 2010. Biosensor dan Sensor. Jember: Universitas Jember
Press.
Mathias, U., Papra.P. 2997. Polycarylonitrile Enzyme Ultrafiltration Membranes
Preparated By Adsorption, Cross-Linking, and Covalen Binding. Enzyme
and Microbial Tecnologic.

Anda mungkin juga menyukai