2
Penerapannya Di Keuskupan Surabaya
Studi tentang Gereja, yang dalam teologi disebut eklesiologi, meliputi suatu
lingkup pembelajaran yang luas, dan berkenaan dengan aspek-aspek fundamental tentang
Gereja sebagai misteri persekutuan Allah dengan manusia dan antarmanusia. Gereja juga
sekaligus merupakan sakramen atau tanda dan sarana keselamatan Allah bagi manusia.
Tetapi, meski secara fundamental berkenaan dengan misteri ilahi yang rohani dan
tak dapat disentuh dan diamati secara inderawi, eklesiologi pada gilirannya juga perlu
memberi perhatian pada aspek-aspek yang lebih konkret dan praktis, berkenaan dengan
bagaimana sakramentalitas Gereja dan misteri persekutuan antara Allah dan manusia serta
di antara umat manusia itu mendapatkan bentuk atau wujudnya di dalam kehidupan yang
nyata. Bagaimanapun juga di dalam realitas keberadaannya, Gereja tidak hadir di dunia
melulu sebagai sesuatu yang kabur, abstrak, tak berwujud atau berbentuk, melainkan
sungguh dapat dilihat, disentuh dan dialami, yang hadir sebagai pemeran nyata dan yang
secara fungsional ambil bagian dalam sejarah manusia.
Maka untuk memberi perhatian pada Gereja dalam dimensinya yang kelihatan itu di
sini dihadirkan serangkaian refleksi tentang Gereja Persekutuan dalam Bentuknya Sekarang
Ini. Jadi refleksi tentang Gereja yang ditawarkan ini akan diwarnai dengan kekonkretan,
aktualitas dan praktik hidup Gereja sebagai persekutuan di zaman ini.
Secara teknis rangkaian refleksi tentang Gereja dalam dimensinya yang kelihatan ini
akan disajikan dalam 2 buku, yang berfokus pada keberadaan Gereja sebagai tatanan,
serta keberadaan para warganya yang melalui tatanan itu membangun persekutuan. Prinsip
tatanan dan kewargaan menjadi unsur pokok ketika berbicara tentang Gereja dalam
dimensinya yang kelihatan, yang memberi wujud atau wajah pada Persekutuan.
Untuk itu, dalam buku yang pertama diajukan pendasaran atau Prinsip-prinsip,
yang membahas tema Gereja sebagai tatanan yang berdimensi kanonik, eklesialitas sebagai
prinsip yang menentukan kewargaan seseorang dalam Gereja dan keberadaan umat
beriman kristiani atau christifideles sebagai subjek-subjek persekutuan di dalam tatanan
yang kanonik ini. Subjek-subjek persekutuan ini dalam hidup Gereja di dunia menjalankan
peran sesuai panggilan dan tugas masing-masing, entah sebagai awam, klerus atau religius.
Pada bab pertama buku kedua ini dibahas paroki sebagai basis persekutuan umat
beriman kristiani dalam praksis pastoral Keuskupan Surabaya. Pada bab kedua, dibahas
pastor paroki dan para rekan kerjanya dalam membangun persekutuan di paroki.
Pada kedua bab tersebut, paroki ditampilkan di satu sisi sesuai dengan prinsip
pastoral yang digariskan oleh KHK 1983 berkenaan dengan umat beriman kristiani dalam
Gereja partikular atau keuskupan, di sisi lain ditampilkan dalam perspektif khas yang muncul
dalam dinamika pastoral Keuskupan Surabaya. Untuk aspek kedua ini, Pedoman Dasar
Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan Badan Gereja Katolik Paroki (BGKP) tahun 2012
dimanfaatkan sebagai sumber utamanya. Secara garis besar, dari Pedoman Dasar 2012
tersebut tampak bagaimana Gereja sebagai misteri persekutuan ingin ditampilkan secara
lebih konkret dan kontekstual, baik di dalam kehidupan umat (bab pertama) maupun di
dalam reksa pastoral yang dilakukan oleh para pastor paroki dan rekan-rekan kerja mereka
bagi jiwa-jiwa (bab kedua). Dengan pembahasan yang sifatnya terbatas, khas dan partikular
ini diharapkan wajah Gereja Persekutuan dalam Bentuknya Sekarang Ini, sebagaimana
diupayakan di Keuskupan Surabaya, dapat lebih nampak dan terpahami.
Adapun tema-tema supradiosesan Gereja universal yang satu, kudus, katolik dan
apostolik ini antara lain meliputi: pengorganisasian Gereja-gereja partikular atau keuskupan-
keuskupan pada tingkat-tingkat yang berbeda-beda seperti tingkat provinsi gerejawi, regio,
konferensi waligereja nasional, kontinental dan mondial. Demikian pula terdapat tema-tema
penting mengenai hubungan antara Gereja universal dan Gereja-gereja partikular, suksesi
apostolik, kolegialitas para uskup, primat paus, konklaf (pemilihan paus), pemerintahan
pusat atau kuria kepausan, dewan kardinal, konsili, sinode, serta hubungan-hubungan
Gereja keluar entah di tingkat kepausan atau di bawahnya, termasuk berkenaan dengan
usaha ekumene, hubungan antar agama dan hubungan internasional atau diplomatik.
Maka, meski sepanjang pembahasan buku ini tema-tema tersebut tidak diangkat,
namun kesadaran tentang adanya kenyataan berdimensi universal yang melingkupi
keberadaan dan praksis Gereja partikular Keuskupan Surabaya tersebut kiranya tetap perlu
dicamkan. Dengan kesadaran itu visi atau pemahaman tentang misteri Gereja sebagai
persekutuan dan sakramen keselamatan akan menjadi lebih kuat dan mendalam.
Akhirnya, buku ini ditulis dari perspektif ajaran dan praksis Gereja Katolik. Padahal di
dalam kenyataannya Gereja dalam bentuknya sekarang ini juga meliputi Gereja-gereja dan
pribadi-pribadi yang kini tengah berada di luar atau belum masuk ke dalam persekutuan
penuh dengan Gereja Katolik, atau berada dalam tradisi kristiani yang seasal namun
berbeda dalam sebagian ungkapannya dengan tradisi Gereja Katolik.
Maka pembacaan terhadap realitas Gereja di dalam buku ini tidak boleh dipandang
sebagai langkah akhir memahami Gereja dengan segala misteri yang terdapat di dalamnya.
Pembacaan ini hendaknya dipandang sebagai momen berhenti, jeda sesaat, yang harus
disertai usaha untuk melangkah lebih lanjut dalam peziarahan iman sebagai persekutuan
umat Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik, umat yang dipanggil untuk bersatu
makin erat dengan Allah dan sesama, dan yang diutus untuk bersaksi tentang belas kasih
dan keselamatan-Nya bagi dunia. Pembacaan ini sekaligus juga merupakan tawaran untuk
masuk lebih mendalam di dalam misteri Gereja Kristus yang satu, yang di dunia ini disusun
dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti
Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya (Lumen Gentium, art. 8).
Pembahasan tentang Gereja pada tataran yang konkret menyangkut para warganya
serta pengorganisasian mereka secara kanonik dalam Gereja partikular mengarah pada
keberadaan paroki. Sebagai bagian khas dalam Gereja partikular, paroki menampilkan wajah
Gereja partikular secara nyata, dan sebagai himpunan para warga Gereja, paroki sekaligus
tampil sebagai wajah Gereja Persekutuan yang konkret di dunia dalam dimensi kanoniknya.
Karena pentingnya menyaksikan keberadaan Gereja partikular, dan dengan demikian
menyaksikan wajah Gereja itu sendiri secara konkret dan nyata, maka pada bagian ini
dibicarakan paroki sebagai himpunan para warga beserta gembalanya sendiri (parochus).
Pembahasan ini berjudul reksa pastoral berbasis persekutuan paroki, karena dalam
kenyataannya paroki bukan hanya merupakan bagian statis Gereja partikular atau
keuskupan, melainkan bagian yang secara hakiki bersifat dinamis. Paroki adalah komunitas
penggembalaan uskup yang diwujudkan melalui penugasan kepada pastor paroki (parochus)
sebagai gembalanya sendiri (pastor proprius). Dengan demikian berbicara tentang paroki
sesungguhnya secara konkret berarti berbicara tentang paroki-paroki yang ada dalam
penggembalaan uskup di suatu keuskupan tertentu. Di sini, selain terdapat sistem atau
pola penggembalaan, juga terdapat subjek-subjek yang ambil bagian di dalamnya, baik dari
unsur gembala maupun umat yang dipercayakan penggembalaannya kepada mereka.
Dalam kerangka ini pula, di sini pembahasan tentang paroki dengan sistem, seluk-
beluk dan subjek-subjeknya, selain merujuk pada dokumen-dokumen Gereja universal,
khususnya Kitab Hukum Kanonik (KHK), juga merujuk pada dokumen Gereja partikular
Keuskupan Surabaya, khususnya Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki dan Badan Gereja
Katolik Paroki tahun 2012. Dari dokumen ini kita menemukan usaha menjabarkan prinsip-
prinsip kanonik tentang paroki ke dalam situasi pastoral di wilayah Keuskupan Surabaya.
Tema besar tentang reksa pastoral tingkat paroki di atas akan didalami melalui tema-
tema kecil berikut ini: pastoral berbasis paroki dan kevikepan; peran vikaris episkopal;
Pedoman Dasar DPP dan BGKP 2012; paroki, parochus, vicarius paroecialis; paroki basis
reksa pastoral persekutuan; reksa pastoral kategorial; wilayah; lingkungan; keluarga dan
kelompok kecil umat; kepengurusan lingkungan; stasi; stasi persiapan paroki; organisasi dan
perkumpulan katolik; komunitas biara; dan komunitas pastoran.
KHK 1983 Kan. 368, mengikuti LG 23, menegaskan bahwa dalam dan dari Gereja-
gereja partikularlah, yang dipimpin oleh uskup, Gereja Kristus yang satu dan kudus terwujud
dan hadir di dunia secara nyata. Di samping itu, LG 23 masih menambahkan bahwa melalui
Gereja-gereja partikular itu terpantul dengan sempurna wajah Gereja universal.
Paroki pada dasarnya dibentuk secara tetap, dan sebagai komunitas kaum beriman
kristiani tertentu, penggembalaannya dipercayakan kepada pastor paroki (parochus) sebagai
gembalanya sendiri, demikian KHK 1983 Kan. 515 - 1. Lalu, berdasarkan pendiriannya yang
legitim, KHK 1983 Kan. 515 - 3 menyatakan bahwa menurut hukum sendiri (ipso iure)
paroki memiliki status badan hukum. Kemudian KHK 1983 masih melanjutkan tema tersebut
dengan menjelaskan nilai penting paroki di dalam 37 kanon berikutnya, yaitu Kan. 516-552.
Kanon-kanon tersebut berbicara tentang pastor paroki (parochus) dan wakilnya (vicarius
paroecialis). Juga dibahas reksa pastoral paroki dan aspek-aspek administrasinya.
Peran vikaris episkopal, yaitu wakil uskup untuk wilayah yang meliputi gabungan
paroki-paroki, yang juga disebut dekan atau imam besar (archipresbyter) atau vicarius
foraneus, diuraikan secara khusus dan cukup panjang lebar dalam KHK 1983 Kan. 555. Pada
dasarnya kanon tersebut menghendaki agar reksa pastoral di paroki-paroki dapat terlaksana
dengan baik melalui peran vicarius foraneus. Peran itu dijalankan pertama-tama dengan
mengembangkan dan mengkoordinasikan kegiatan pastoral antarparoki serta penataan
fungsi-fungsi pelayanan dan administrasi paroki. Namun disamping itu vikaris episkopal ini
juga bertanggungjawab terhadap kehidupan para imam di wilayahnya, baik berkenaan
dengan kebutuhan-kebutuhan rohani, intelektual maupun dalam kehidupan jasmani.
Untuk memberi perhatian terhadap aspek pastoral di wilayahnya, pada kanon ini
dijelaskan kewajiban dan hak vicarius foraneus dalam mengembangkan dan mengkoordinasi
kegiatan pastoral bersama paroki-paroki. Juga dijelaskan kewajiban dan hak vicarius
foraneus untuk mengusahakan agar segala bentuk peribadatan dilaksanakan menurut
ketentuan, untuk menjaga agar buku-buku paroki diisi dan disimpan semestinya dan agar
harta benda gerejawi diurus dengan teliti, serta agar pastoran dipelihara sebaik-baiknya.
Selanjutnya, untuk memperdalam studi tentang reksa pastoral umat, perlu dikaji
pola penggembalaan yang dikehendaki di tingkat Gereja lokal atau keuskupan sendiri.
Dalam hal ini, di Keuskupan Surabaya berlaku Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki dan
Badan Gereja Katolik Paroki Keuskupan Surabaya, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2012
(selanjutnya disebut Pedoman Dasar 2012). Penyajian pola ini diharapkan dapat membantu
untuk melihat bagaimana reksa pastoral umat, sebagaimana dikehendaki oleh KHK 1983,
dilaksanakan dalam suatu Gereja partikular, dalam hal ini Keuskupan Surabaya.
Pedoman Dasar 2012 sendiri, yang ditetapkan oleh Uskup Surabaya dan
diberlakukan di paroki-paroki di seluruh Keuskupan, dikategorikan sebagai undang-undang
partikular sebagaimana dimaksud dalam KHK 1983 Kan. 8 - 2, yang menyatakan:
Undang-undang partikular dipromulgasikan dengan cara yang ditentukan oleh pembuat
undang-undang itu. Sebagai undang-undang yang dibuat untuk wilayah tertentu, seturut
KHK 1983 Kan. 12 - 3, Pedoman Dasar 2012 ini mengikat mereka, yang baginya undang-
undang itu dibuat (yaitu umat di Keuskupan Surabaya), dan yang mempunyai domisili atau
kuasi-domisili di tempat tersebut, dan serentak sedang berada di situ.
Mengenai Dewan Pastoral Paroki (DPP) yang dibahas dalam Pedoman Dasar 2012,
KHK 1983 Kan. 536 - 2 dengan jelas menyatakan bahwa dewan tersebut diatur oleh
norma-norma yang ditentukan Uskup Diosesan, dan mengenai Badan Gereja Katolik Paroki
(BGKP) yang mengurusi harta benda Gereja di paroki, terdapat norma KHK 1983 Kan. 537
yang menyatakan bahwa di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang diatur
selain oleh hukum universal juga oleh norma-norma yang dikeluarkan Uskup Diosesan.
Demikianlah dari keseluruhan perspektif ini, berkenaan dengan kuasa legislatif uskup
diosesan dan penerapannya di paroki, kiranya jelas kedudukan Pedoman Dasar 2012
sebagai undang-undang gerejawi yang mengikat bagi seluruh umat Keuskupan Surabaya dan
berlaku untuk semua paroki di wilayah Keuskupan Surabaya.
Salah satu aspek yang muncul secara sangat jelas dari konteks yang khas ini misalnya
penggunaan lingkungan sebagai basis pengorganisasian umat di paroki. Pola lingkungan ini
tidak diatur secara universal dan tidak muncul di setiap Gereja partikular di seluruh dunia,
tetapi di Indonesia, dan secara jelas di Keuskupan Surabaya melalui Pedoman Dasar 2012,
pola ini muncul menjadi bagian utuh, bahkan inti, dalam pengorganisasian umat di paroki.
Demikian pula Badan Gereja Katolik Paroki, yang berwenang mengurus harta benda
Gereja di paroki, merupakan istilah khas yang muncul di Keuskupan Surabaya, berkenaan
dengan kebutuhan menangani hal-hal yang terkait dengan harta benda Gereja.
Pedoman Dasar 2012 Bab I Pasal 1b secara prinsip memanfaatkan definisi paroki
pada KHK 1983 Kan. 515 - 1 untuk mendefinisikan paroki. Dengan demikian, tidak ada
perbedaan menonjol baik dari segi bentuk maupun isi gagasan tentang paroki pada kedua
undang-undang tersebut. Dalam Pedoman Dasar 2012 Bab I Pasal 1b, paroki dimengerti
sebagai persekutuan umat beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam batas-batas
wilayah tertentu di keuskupan, yang reksa pastoralnya dipercayakan kepada Pastor Kepala
Paroki sebagai gembalanya sendiri di bawah otoritas Uskup diosesan.
Berkenaan dengan rumusan paroki dalam Pedoman Dasar 2012 Bab I Pasal 1b,
terdapat 2 (dua) hal yang patut dicatat. Pertama, dalam rumusan tersebut ditambahkan
gagasan tentang paroki yang dibentuk secara tetap dalam batas-batas wilayah tertentu di
keuskupan. Kedua, digunakan istilah Pastor Kepala Paroki untuk menyebut pastor
paroki (parochus) sebagaimana dimaksud dalam KHK 1983 Kan. 515 - 1.
Istilah Pastor Kepala Paroki sebagai gembala sendiri (proprius pastor) bagi umat
paroki pada definisi paroki pada Pedoman Dasar 2012 rupanya merujuk pada Pedoman
Dasar 2012 Bab I Pasal 2a, 2b dan 2c, yang mendefinisikan Pastor Paroki, Pastor Kepala
Paroki dan Pastor Rekan. Dikatakan: yang dimaksud dengan Pastor Paroki adalah
semua pastor yang menjalankan reksa pastoral paroki; Pastor Kepala Paroki adalah
pastor yang mendapatkan perutusan dan tanggung jawab dari Uskup untuk memimpin
paroki, dalam kerjasama dengan Pastor Rekan dan Dewan Pastoral Paroki; dan Pastor
Rekan adalah pastor yang mendapatkan perutusan dan tanggung jawab dari uskup untuk
ikut serta dalam penggembalaan umat paroki, dalam kepemimpinan Pastor Kepala Paroki.
Untuk berbicara tentang parochus sebagaimana dimaksud oleh KHK 1983, misalnya
dalam Kan. 515 - 1, KHK 1983 Edisi Resmi Bahasa Indonesia (Revisi II) menggunakan istilah
Pastor paroki, sedangkan Pedoman Dasar 2012 menggunakan istilah Pastor Kepala
Paroki. Untuk vicarius paroecialis sebagaimana dimaksudkan dalam KHK 1983, khususnya
dalam Kan. 545-552, KHK 1983 Edisi Resmi Bahasa Indonesia (Revisi II) memakai istilah
vikaris parokial, sedangkan Pedoman Dasar 2012 memilih istilah Pastor Rekan.1
Selanjutnya, Pedoman Dasar 2012 menggunakan istilah Pastor Paroki bukan untuk
menyebut parochus, melainkan untuk menyebut semua pastor yang menjalankan reksa
pastoral paroki. Jadi baik parochus (Pastor Kepala Paroki) maupun vicarius paroecialis
(Pastor Rekan), oleh Pedoman Dasar 2012 disebut sebagai pastor paroki, meskipun KHK
1983 tidak memakai atau memiliki penyebutan tersendiri semacam ini.
1
Pedoman Dasar 2012 disusun ketika masih berlaku terjemahan KHK 1983 terbitan tahun
2006. Namun Pedoman Dasar 2012 menggunakan istilah Pastor Rekan, alih-alih Pastor
Pembantu yang dipakai dalam terjemahan tersebut, untuk berbicara tentang vicarius paroecialis.
Lihat Tim Temu Kanonis Regio Jawa, Kitab Hukum Kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Konferensi Waligereja Indonesia 2006, Kan. 545-552. Di sini digunakan kata Pastor Pembantu
untuk vicarius paroecialis. Sementara kHK 1983 terbitan tahun 2016 menggunakan kata vikaris
parokial. Lihat Tim Temu Kanonis Regio Jawa, Kitab Hukum Kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia
(Revisi II). Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia 2017, Kan. 545-552.
2
Sejauh penulis ingat, Rm. Julius Haryanto, CM, Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya (1994-
2003) pada periode kepemimpinan Mgr. Johanes Hadiwikarta dan Administrator Diosesan (2003-
2007) sepeninggal Mgr. Hadi, dalam kesempatan pertemuan pastoral, baik dengan imam maupun
dengan umat, cukup sering memberi penekanan tentang sebutan bagi vicarius paroecialis ini sebagai
rekan dan bukan pembantu Pastor Paroki. Yang ingin dihindari adalah konotasi negatif sebutan
pembantu sebagai pesuruh, dan perlunya ditekankan hakikat kerekanan dalam hubungan Pastor
Lalu bagaimanakah Pedoman Dasar 2012 menjelaskan posisi vicarius paroecialis,
yang secara esensial atau pada dasarnya adalah imam wakil parochus di paroki? Rupanya
Pedoman Dasar 2012 menempatkan hubungan kewakilan ini, yaitu antara parochus
sebagai pemegang otoritas pastoral dan vicarius paroecialis sebagai vikarisnya di paroki
dalam kerangka Dewan Pastoral Paroki. Parochus, yang oleh Pedoman Dasar 2012 disebut
sebagai Pastor Kepala Paroki, dinyatakan secara ex officio disebut Ketua Umum Dewan
Pastoral Paroki. Sedangkan vicarius paroecialis, yang oleh Pedoman Dasar 2012 disebut
sebagai Pastor Rekan, dinyatakan sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Pastoral Paroki.
Lalu bagaimanakah implikasi pendekatan ini ketika diterapkan di luar bingkai Dewan
Pastoral Paroki? Sesuai dengan semangat Pedoman Dasar 2012, dalam reksa pastoral paroki
vicarius paroecialis diposisikan sebagai rekan-kerja. Dalam posisinya sebagai rekan-
kerja, vicarius paroecialis, menurut Pedoman Dasar 2012 Bab II Pasal 7b, di bawah
koordinasi Pastor Kepala Paroki, memberikan bantuan dalam pelayanan pastoral, dengan
musyawarah dan usaha bersama. Atau, menurut Pedoman Dasar 2012 Bab II Pasal 7c,
Pastor Rekan, dengan kharisma tahbisan imamatnya, aktif berperan serta memimpin dan
menggembalakan umat, di bawah kepemimpinan Pastor Kepala Paroki. Dan yang lebih
tegas lagi, mereka sama-sama disebut Pastor Paroki.
Lalu, apakah dengan demikian aspek-aspek hubungan yang lain yang terdapat pada
parochus dan vicarius paroecialis tidak diperhatikan oleh KHK 1983, misalnya aspek
hubungan kolegial atau kesetaraan mereka sebagai sesama imam yang berkarya di suatu
paroki, yang oleh Pedoman Dasar 2012 Bab I Pasal 2a diekspresikan dengan ungkapan
pastor paroki yang berlaku baik untuk Pastor Kepala Paroki maupun Pastor Rekan?
KHK 1983 Kan. 550 - 1 mengatakan bahwa Vicarius paroecialis terikat kewajiban
tinggal di paroki atau jika ia diangkat untuk pelbagai paroki sekaligus, di salah satu paroki;
tetapi Ordinaris wilayah karena alasan yang wajar dapat memperkenankan dia tinggal di
tempat lain, terutama di rumah bersama bagi beberapa presbiter, asalkan pelaksanaan
tugas-tugas pastoral tidak dirugikan karenanya. Di sisi lain, KHK 1983 Kan. 550 - 2
paroki dan wakilnya. Notabene, Pedoman Dasar 2012 disusun sebagai revisi atas Pedoman Dasar
Dewan Paroki Keuskupan Surabaya tahun 1997, sedangkan penyusunan draft hingga selesainya
Pedoman Dasar 1997 ini dilakukan oleh dan dalam tanggung jawab Rm. J. Haryanto.
mengatakan: Hendaknya Ordinaris wilayah mengusahakan agar antara parochus dan
vicarius paroecialis dikembangkan suatu kebiasaan hidup bersama di rumah paroki, di mana
hal itu mungkin. Dari kedua paragraf di atas tampak bahwa memang aspek fungsional
menjadi bingkai pokok dalam hubungan antara parochus dan vicarius paroecialis, namun
aspek lain, yaitu hidup bersama, harus dikembangkan sebagai suatu kebiasaan.
Sebagaimana disinggung di muka, Pedoman Dasar 2012, pada Bab I Pasal 1b,
menyebut paroki sebagai persekutuan umat beriman kristiani yang dibentuk secara tetap
dalam batas-batas wilayah tertentu di keuskupan. Dengan menyebut paroki sebagai
persekutuan tampak bahwa paroki pertama-tama dimengerti sebagai suatu kebersamaan
seluruh umat beriman kristiani yang hidup dalam batas-batas wilayah tertentu. Di sini
dimensi persekutuan menjadi hal mendasar bagi paroki, baik sebagai gagasan untuk
mengerti hakikatnya, maupun sebagai prinsip dalam pelaksanaan reksa pastoralnya.
Pilihan pendekatan teritorial semakin jelas jika kita merujuk pada Pedoman Dasar
2012 Bab VIII Pasal 29.1, yang secara khusus berbicara tentang reksa pastoral teritorial.
Pada pasal tersebut, reksa pastoral teritorial didefinisikan sebagai penggembalaan umat
berdasarkan batas-batas wilayah (paroki, wilayah, lingkungan). Lalu dijelaskan bahwa
Dalam reksa pastoral teritorial umat dari pelbagai latar belakang golongan dan kelompok,
bertemu dan bertanggungjawab atas kehidupan Gereja di tempat tinggalnya, baik di paroki
maupun di lingkungannya. dan pada Pasal 29.2 ditambahkan: Reksa pastoral teritorial
dibuat agar umat dalam lingkup paroki dan lingkungan makin terjamin dan mendapatkan
kepastian dalam pelayanan sakramen, persekutuan, pewartaan dan pengabdian sosial.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Pasal 29.1 menjelaskan lebih lanjut Pasal 1b
pada Bab I yang memuat karakter teritorial paroki, dengan membahas lebih lanjut
bagaimana pola reksa pastoral secara parokial-teritorial tersebut disusun dan dilaksanakan,
yaitu berdasarkan batas-batas wilayah (paroki, wilayah, lingkungan). Jadi sekarang reksa
pastoral paroki secara teritorial dijelaskan dengan dirinci dan ditunjukkan pola dasarnya,
yaitu melalui pembatasan-pembatasan pada beberapa level, yaitu pada level paroki, pada
level wilayah, dan pada level lingkungan, yang semuanya bersifat teritorial.
Selanjutnya tampak pula bahwa secara lebih jauh dan spesifik, Pedoman Dasar 2012
ingin berbicara tentang keberadaan dan kedudukan para warga dalam dinamika reksa
pastoral teritorial tersebut. Pertama, karena Pasal 29.1 menyebutkan dengan jelas subjek-
subjek dalam definisi reksa pastoral teritorial, yaitu umat dari pelbagai latar belakang
golongan dan kelompok. Jadi, para warga paroki secara keseluruhanlah yang menjadi
pokok perhatian ketika Pedoman Dasar 2012 berbicara tentang reksa pastoral teritorial.
Kedua, setelah subjek dalam reksa pastoral teritorial ditentukan, yaitu umat secara
keseluruhan, masih pada Pasal 29.1, Pedoman Dasar 2012 berbicara tentang kedudukan
mereka dalam dinamika reksa pastoral, yaitu: sebagai pembentuk persekutuan dan sebagai
bagian utuh dalam pelaksanaan reksa pastoral di dalam persekutuan. Kedudukan dan peran
umat tersebut diwujudkan dengan cara-cara yang bersifat partisipatif. Hal ini tampak dari
pernyataan bahwa dalam reksa pastoral teritorial itu umat dari pelbagai latar belakang
golongan dan kelompok bertemu dan bertanggung jawab atas kehidupan Gereja di tempat
tinggalnya, baik di paroki maupun di lingkungannya.
Selanjutnya frasa terakhir Pasal 29.1, yaitu di tempat tinggalnya, baik di paroki
maupun di lingkungannya, mempertegas lingkup-lingkup persekutuan serta arah
kepedulian dan tanggung jawab para warga terhadap kehidupan Gerejanya secara teritorial.
Dengan menyebutkan paroki dan lingkungan sebagai ruang-ruang kebersamaan serta
keterlibatan dan tanggung jawab warga, tampak bahwa Pedoman Dasar 2012 bermaksud
menegaskan keduanya, yaitu paroki pada level keseluruhan komunitas dan lingkungan pada
level bagian-bagian dalam paroki, sebagai basis kegiatan dan dinamika.
Selanjutnya juga penting untuk dicatat bahwa Pedoman Dasar 2012 menyebut baik
lingkungan maupun paroki bagi umat merupakan tempat tinggalnya. Ungkapan terakhir
ini menegaskan bahwa di mana seseorang itu hidup, di situlah ia dipanggil, baik untuk
bersekutu dengan sesamanya, maupun untuk terlibat dan secara aktif berperan serta. Itulah
cara baginya untuk bertanggung jawab atas kehidupan Gereja. Dan ruang hidup umat
dalam mengaktualisasikan itu semua adalah paroki, dan kemudian lingkungan-lingkungan.
Pasal 29.2 mengatakan bahwa reksa pastoral teritorial dibuat agar umat dalam
lingkup paroki dan lingkungan makin terjamin dan mendapat kepastian pelayanan
sakramen, persekutuan, pewartaan dan pengabdian sosial. Terminologi dibuat di atas
menunjukkan bahwa reksa pastoral teritorial, yang dalam hal ini berbasis paroki dan
lingkungan memang merupakan pola yang dirancang atau diciptakan sedemikian rupa, agar
hal yang hakiki dalam reksa pastoral, yaitu jaminan dan kepastian dalam pelayanan para
warga Gereja di keuskupan, yang terkait dengan hak-hak mereka sebagai umat beriman
kristiani dalam berbagai aspek kehidupan gerejawi, dapat terselenggara sebaik-baiknya.
Dengan rumusan di atas ditegaskan bahwa tugas merasul dalam lingkungan sekitar
sebagai warga masyarakat dan bangsa, yang melekat pada para umat beriman kristiani
awam, juga menjadi kepedulian dalam reksa pastoral kategorial. Demikian pula pengudusan
dalam pekerjaan, sesuai dengan profesi dan latar belakang yang juga menjadi kekhasan
mereka karena hidup di dunia sebagai awam, merupakan hal penting di dalamnya.
Dengan demikian, kedua aspek yang terdapat dalam tujuan reksa pastoral kategorial
sama-sama mendapatkan perhatian. Pertama, perhatian bersifat ke dalam dan tertuju
kepada para anggota, pada kelompok dan golongan umat itu sendiri. Namun kedua, juga
terdapat perhatian keluar dan tertuju ke lingkungan sekitar, pada masyarakat dan bangsa.
Untuk merealisasi tujuan itu dan lebih jauh, untuk mengembangkan kehidupan iman
dalam situasi khas kerasulan, Pasal 30.3 berbicara tentang model pelayanan yang perlu
dikembangkan dalam reksa pastoral kategorial. Dikatakan: Dalam pelayanan kategorial,
masalah dan tantangan yang berasal dari profesi dan latar belakang ditanggapi dalam terang
iman secara khusus. Dengan demikian umat dapat mengembangkan kerasulannya sebagai
orang beriman kristiani dalam profesi dan latar belakangnya yang khas.
Di sini tampak bahwa model pelayanan dalam reksa pastoral kategorial haruslah
suatu model pelayanan yang peka terhadap masalah dan tantangan khas yang dihadapi
oleh kaum awam dengan profesi dan latar belakang yang berbeda-beda, dan mampu
menanggapi masalah dan tantangan tersebut dalam terang iman secara khusus. Kepekaan
terhadap masalah dan tantangan khas tiap-tiap profesi dan latar belakang, serta pendekatan
terhadap masalah dan tantangan tersebut dalam terang iman yang khusus, penting bukan
hanya agar kehidupan iman dan moral kaum awam menjadi lebih baik, tetapi juga supaya
karenanya mereka mampu menjadi rasul-rasul yang baik bagi dunia sekitar mereka.
7. Wilayah
Selain mendefinisikan paroki yang berciri teritorial, Pedoman Dasar 2012 pada Bab I
juga menjelaskan istilah-istilah yang bersifat teritorial dan merupakan bagian dalam reksa
pastoral paroki, yaitu wilayah, lingkungan dan stasi. Wilayah pada Pasal 1c
didefinisikan sebagai sejumlah lingkungan yang berdekatan. Lingkungan dalam Pasal 1d
didefinisikan sebagai bagian dari paroki yang terdiri dari sejumlah keluarga. Stasi dalam
Pasal 1e didefinisikan sebagai bagian dari paroki yang karena jumlah umat dan jauhnya
jarak dari pusat paroki, terhitung sebagai Lingkungan atau Wilayah.
Selanjutnya, Pasal 22.2, 22.3 dan 22.4 dimaksudkan untuk membantu memahami
secara lebih jelas pengertian wilayah dan kedudukannya dalam bingkai pastoral paroki
secara keseluruhan. Penjelasan paling penting diberikan oleh Pasal 22.3, yang berbicara
tentang tugas Ketua Wilayah, yang praktis menjelaskan pula tentang fungsi wilayah dalam
kerangka keberadaan lingkungan-lingkungan yang ada dalam wilayah yang bersangkutan.
Fungsi-fungsi tersebut meliputi fungsi koordinasi, fungsi representasi dan fungsi kontrol.
Berkenaan dengan fungsi koordinasi, Pasal 22.3.a menjelaskan bahwa ketua wilayah
bertugas: mengkoordinasikan kegiatan yang sungguh-sungguh diperlukan oleh lingkungan-
lingkungan yang berada di wilayahnya, yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh lingkungan,
dengan memperhatikan arah dasar pastoral Keuskupan. Ungkapan ini menjelaskan bahwa
pada dasarnya basis kegiatan umat di suatu wilayah paroki pertama-tama dan terutama
adalah lingkungan-lingkungan. Hanya saja, di tingkat wilayah koordinasi tetap diperlukan
bila sungguh-sungguh diperlukan dan tidak dapat dilakukan sendiri oleh lingkungan.
Adapun Pasal 22.2 dan 22.4 berbicara tentang kepengurusan wilayah. Pasal 22.2
membahas cara pemilihan ketua wilayah, yaitu melalui mekanisme pengusulan calon-calon
oleh musyawarah lingkungan-lingkungan atau pihak-pihak lain, disusul dengan pemilihan
oleh Dewan Pastoral Paroki Harian. Pasal 22.4 berbicara tentang susunan pengurus wilayah,
yang dibentuk sesederhana mungkin, yaitu terdiri dari satu orang ketua dan seorang
sekretaris saja, dan hanya kalau perlu dilengkapi dengan beberapa anggota lain.
Maka dari keseluruhan pembahasan ini sudah cukup jelas bahwa wilayah sebagai
suatu satuan teritorial tidak dimaksudkan sebagai basis kehidupan umat di tingkat teritorial.
Wilayah adalah satuan teritorial penunjang, agar kehidupan umat di tingkat basis, yaitu yang
sehari-hari berlangsung di lingkungan-lingkungan, dapat terselenggara dengan semakin baik.
Pertama-tama karena tercipta kebersamaan di antara lingkungan-lingkungan di dalam satu
wilayah dan bantuan kegiatan yang tak mampu dilakukan sendiri oleh lingkungan. Kedua
karena hubungan antara lingkungan-lingkungan tersebut dengan perangkat pastoral di
tingkat paroki, yaitu Dewan Pastoral Paroki, dapat terjaga pula dengan baik.
8. Lingkungan
Dari kedua rumusan di atas tampak bahwa seturut definisinya, lingkungan adalah
bagian dari paroki. Meskipun logisnya, tentu saja, wilayah secara teritorial juga berada
dalam lingkup paroki, dan mungkin perhatian orang pada umumnya, ketika berusaha
memahami paroki beserta bagian-bagiannya, secara spontan dan sederhana akan tertuju
kepada wilayah-wilayah dalam paroki, namun bagian dari paroki, sebagai suatu komunitas
umat beriman kristiani, per definisi pada dasarnya adalah lingkungan-lingkungan.
Lingkungan sebagai bagian dari paroki seturut Pedoman Dasar 2012, juga dalam
reksa pastoral paroki yang berbasis kewilayahan atau teritorial ini, tidak hanya dimengerti
sebagai bagian dalam arti teritorial saja. Mengikuti definisi paroki sebagai persekutuan
umat beriman kristiani, maka lingkungan menurut Pedoman Dasar 2012 pertama-tama
berarti kumpulan orang-orang, yang merupakan bagian dari persekutuan paroki.
Maka lingkungan dalam arti kumpulan orang-orang dalam reksa pastoral paroki ini
sangat berbeda isi dan maknanya, misalnya, dibandingkan dengan wilayah sebagai
pengelompokan lingkungan-lingkungan yang berdekatan. Lingkungan berbeda dengan
wilayah, yang susunan pengurusnya dibentuk sesederhana mungkin untuk fungsi
koordinasi di antara lingkungan-lingkungan, serta untuk fungsi representasi dan kontrol
dalam hubungan antara lingkungan-lingkungan dan Dewan Pastoral Paroki. Dalam kerangka
ini, wilayah menjalankan fungsi-fungsi yang menunjang ekspresi nilai-nilai persekutuan
paroki melalui lingkungan-lingkungan. Jika lingkungan bersifat hakiki bagi kehidupan paroki
dalam kerangka reksa pastoral, wilayah bersifat instrumental, yakni sebagai sarana untuk
menunjang realisasi hal-hal hakiki pada lingkungan dan paroki.
Jadi tegasnya, definisi lingkungan dalam kerangka ini, yaitu sebagai kelompok umat
yang lebih kecil (sejumlah keluarga) yang merupakan bagian dari paroki, jika dikaitkan
dengan definisi paroki sebagai persekutuan umat beriman kristiani dan definisi wilayah
sebagai pengelompokan sejumlah lingkungan yang berdekatan, berkonsekuensi pada
gagasan bahwa paroki pada dasarnya, per definisi, tidak dibagi ke dalam wilayah-wilayah,
melainkan ke dalam lingkungan-lingkungan. Lingkungan sajalah yang merupakan hasil
membagi 3 paroki. Wilayah dalam kerangka ini baru muncul atau dibentuk kemudian
setelah adanya lingkungan-lingkungan, karena dari sisi prinsip desain reksa pastoral,
persekutuan umat beriman kristiani dalam lingkup paroki dibagi ke dalam kelompok
umat yang lebih kecil (sejumlah keluarga) yang adalah lingkungan-lingkungan.
Selanjutnya tampak pula bahwa Pedoman Dasar 2012 memberi perhatian penting
pada keluarga-keluarga dalam rangka persekutuan lingkungan dan paroki. Hal ini tampak
khususnya dari definisi tentang lingkungan itu sendiri, baik pada Bab I Pasal 1d yang
mengatakan Lingkungan merupakan bagian dari paroki yang terdiri dari sejumlah
keluarga, maupun pada Bab VI Pasal 23.1 yang berbunyi Lingkungan adalah kelompok
umat yang lebih kecil (sejumlah keluarga) yang merupakan bagian dari paroki, di mana
hidup menggereja dapat berjalan lebih intensif.
Penjelasan lanjutan tentang definisi lingkungan pada Pasal 23.1 memperjelas arah
reksa pastoral di lingkungan serta arti pentingnya dalam rangka reksa pastoral paroki secara
keseluruhan. Meskipun di atas telah disinggung nilai ekspresif lingkungan bagi paroki
sebagai persekutuan umat beriman kristiani, tetapi nilai penting lingkungan ini perlu
didalami lebih lanjut. Di situ dikatakan: Dalam dan melalui lingkungan, nilai-nilai komunitas
dasar (kelompok kecil umat) yang sejati dihayati sesuai dengan situasi dan kondisi di situ.
3
Menurut KBBI, bagian berarti hasil membagi.
Pertama-tama perlu dicatat bahwa dalam ungkapan di atas terdapat istilah teknis
yang tidak didefinisikan pada Bab I, yang membahas istilah-istilah, maupun pada Bab VI,
yang membahas wilayah, lingkungan dan stasi. Istilah teknis tersebut ialah komunitas
dasar dan kelompok kecil umat. Bisa diperkirakan bahwa istilah komunitas dasar
merupakan cara lain untuk menterjemahkan basic ecclesial community atau disingkat BEC,
yang di Indonesia biasa diterjemahkan dengan istilah komunitas basis gerejani atau
disingkat KBG, dan kerap diringkas lagi dengan istilah komunitas basis.
Dalam Pedoman Dasar 2012 kata basic atau basis diterjemahkan dengan kata
dasar. Sedangkan istilah kelompok kecil umat dapat ditemukan dalam Arah Dasar
Keuskupan Surabaya 2010-2019, berkenaan dengan subjek-subjek pastoral. Kelompok kecil
umat sendiri adalah komunitas atau persekutuan gerejawi yang paling dasar, setelah
persekutuan gerejawi paling dasar dan terkecil yang khas, yaitu keluarga. Baik komunitas
dasar maupun kelompok kecil umat mengacu pada realitas yang pada dasarnya sama,
yaitu kebersamaan sejumlah pribadi yang ditandai dengan kedekatan, perjumpaan langsung
dan komunikasi yang erat di antara para anggotanya. Dalam hal lingkungan di paroki,
kebersamaan tersebut, seturut Pedoman Dasar 2012, mencakup sejumlah keluarga.
Lalu, jika dikatakan bahwa Dalam dan melalui lingkungan, nilai-nilai komunitas
dasar (kelompok kecil umat) yang sejati dihayati sesuai dengan situasi dan kondisi di situ,
itu berarti bahwa hal yang dipentingkan di dalam dinamika lingkungan adalah dihayatinya
seperangkat nilai di dalam kehidupan bersama para warga lingkungan. Sekaligus lingkungan
dipandang sebagai media untuk merealisasikannya, karena melalui lingkunganlah nilai-nilai
tersebut diharapkan dapat dihayati oleh para warga.
Jika dikatakan bahwa yang merupakan hal penting untuk dihayati dalam dan melalui
lingkungan adalah nilai-nilai komunitas dasar (kelompok kecil umat) yang sejati, maka hal
ini kiranya merujuk pada nilai-nilai hidup yang harus dimiliki oleh komunitas murid-murid
Kristus seperti diteladankan oleh komunitas Gereja Perdana (Kis 2:42-47). Atau, dalam
konteks Keuskupan Surabaya saat ini, nilai-nilai tersebut dapat ditemukan pada rumusan
nilai-nilai yang terdapat dalam Ardas 2010-2019.
Dengan pengertian di atas, nampak betapa penting peranan lingkungan dalam reksa
pastoral paroki yang menekankan pendekatan teritorial ini. Di lingkungan-lingkungan dalam
parokilah, yaitu dalam dan melalui kebersamaan para warga dan sesuai dengan situasi dan
kondisi di situ, diharapkan berlangsung proses sehari-hari pembentukan para murid Kristus
yang sejati melalui penghayatan nilai-nilai Gereja Perdana dan sesuai semangat Ardas.
Lalu setelah menjelaskan pengertian lingkungan pada Pasal 23.1, Pedoman Dasar
2012 berbicara tentang berbagai segi kepengurusan lingkungan dan kegiatannya pada Pasal
23.2 sampai dengan Pasal 23.6. Di sini berbagai segi tersebut akan dibahas dengan susunan
sebagai berikut: Pasal 23.3 tentang susunan kepengurusan; Pasal 23.5 tentang tugas dan
kegiatan; Pasal 23.2 tentang mekanisme pengangkatan pengurus; Pasal 23.4 tentang
pelantikan; dan Pasal 23.6 tentang mekanisme pertanggungjawaban pengurus.
Pasal 23.3 berbicara tentang susunan pengurus sebagai berikut: Susunan pengurus
lingkungan disesuaikan dengan kebutuhan, tetapi sebaiknya terdiri dari ketua, sekretaris,
bendahara dan beberapa ketua seksi tingkat lingkungan. Pada pernyataan di atas, tampak
adanya keleluasaan untuk menentukan susunan pengurus sesuai dengan kebutuhan, yang
bisa ditafsirkan baik sebagai kebutuhan lingkungan itu sendiri maupun kebutuhan reksa
pastoral dalam paroki secara lebih luas, misalnya terkait dengan arah atau program tertentu
yang dipandang sebagai prioritas di tingkat paroki.
Namun dari susunan yang disarankan, yaitu yang terdiri dari ketua, sekretaris,
bendahara dan beberapa ketua seksi tingkat lingkungan, terlihat adanya urgensi untuk
memberi perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan harian yang cukup menyeluruh, baik
dari segi kepemimpinan, administrasi/kesekretariatan maupun keuangan. Hal ini diperjelas
dengan dibutuhkannya beberapa ketua seksi, yang menunjukkan adanya perhatian khusus
terhadap berbagai aspek kehidupan dalam dinamika lingkungan.
Lalu, apakah yang dilakukan oleh pengurus lingkungan? Pasal 23.5 memberikan
rincian dalam 9 butir. Pertama, pendataan warga untuk melancarkan pelayanan terhadap
mereka. Kedua, mengatur kegiatan rohani seperti ibadat bersama, pendalaman iman dan
ekaristi bagi warga. Ketiga, membangun semangat persaudaraan (koinonia) dan pelayanan
(diakonia) antarwarga lingkungan dan dengan warga sekitar. Keempat, mendorong
partisipasi warga lingkungan dalam kegiatan RT/RW setempat. Kelima, mendorong
keikutsertaan para warga dalam peristiwa penting yang dialami oleh keluarga tertentu di
lingkungan seperti kelahiran, pembaptisan, pertunangan, perkawinan, sakit dan kematian.
Keenam, mewujudkan solidaritas kepada warga lingkungan yang menderita, berkekurangan,
sakit dan lanjut usia. Ketujuh, memperhatikan pembinaan iman dan pendidikan katolik anak
sejak dini, serta memperhatikan dan mendampingi kaum muda dalam pembentukan nilai-
nilai kristiani. Kedelapan, menggerakkan warga lingkungan untuk mencari bentuk-bentuk
kegiatan yang mengungkapkan diri dan kebersamaan dengan cara-cara yang kreatif dan
partisipatif. Kesembilan, memberikan sapaan pada warga lingkungan yang belum bisa aktif,
dan tetap menjadikan mereka sebagai bagian dari persaudaraan lingkungan.
Rincian tugas dan kegiatan di atas kiranya jelas menggambarkan lingkup gerak dan
kehidupan yang diharapkan terbangun di lingkungan sebagai persekutuan sejumlah keluarga
dalam kerangka reksa pastoral paroki. Rincian tersebut memberi gambaran tentang
kehidupan harian yang diharapkan tumbuh dan berkembang, meliputi seluruh aspek tugas
menggereja, dalam persaudaraan, peribadatan, pewartaan, pelayanan dan kesaksian iman.
Beberapa prioritas yang menggambarkan ciri-ciri khas kristiani, seperti perhatian pada yang
menderita dan yang kurang bisa aktif, pada anak-anak dan orang muda dan seterusnya juga
merupakan aspek penting, yang secara eksplisit diharapkan dapat ditemukan di lingkungan.
Dalam hal pengangkatan pengurus, tampak bahwa Pasal 23.2 menghendaki adanya 3
tahap yang berjalan berurutan. Pertama, musyawarah oleh warga lingkungan mengenai
calon-calon; kedua, pengusulan oleh warga lingkungan kepada Dewan Pastoral Paroki
Harian; dan ketiga, pengangkatan pengurus lingkungan dengan surat keputusan oleh Dewan
Pastoral Paroki Harian. Mekanisme di atas memberi gambaran tentang peran lingkungan
dalam menentukan pengurusnya, yang bersifat partisipatif dan bukan prerogratif, karena
keputusan diambil di tingkat paroki oleh Dewan Pastoral Paroki Harian.
11. Stasi
Selain merumuskan berbagai aspek terkait dengan wilayah dan lingkungan sebagai
bagian dari reksa pastoral teritorial, Pedoman Dasar 2012 juga berbicara secara khusus
tentang stasi, yaitu di Pasal 24. Di situ stasi dibicarakan dalam berbagai aspeknya.
Pertama, dijelaskan pengertian stasi pada Pasal 24.1. Kedua, dijelaskan kaitan antara
pembentukan stasi dan kemungkinan pembentukan paroki melalui pembentukan stasi pada
Pasal 24.2. Ketiga, dijelaskan mekanisme pembentukan stasi pada Pasal 24.3. Keempat,
dibicarakan pembentukan kepengurusan stasi pada Pasal 24.4. Kelima, dibahas mekanisme
pertanggungjawaban pengurus stasi pada Pasal 24.5. Terakhir, dibahas pencatatan
administrasi warga stasi dan laporan keuangan pada Pasal 24.6.
Namun sebelum Pasal 24 tersebut, pada Bab I Pasal 1e, Pedoman Dasar 2012 telah
memberikan definisi stasi. Dikatakan: Stasi merupakan bagian dari paroki yang karena
jumlah umat dan jauhnya jarak dari pusat paroki, terhitung sebagai lingkungan atau
wilayah. Di sini tampak bahwa stasi didefinisikan sebagai bagian dari paroki. Sebagai
bagian dari paroki, stasi kiranya memiliki pengertian dan nilai yang sama dengan
lingkungan sebagai bagian dari paroki, yang telah dibahas sebelumnya. Karena paroki
pertama-tama adalah persekutuan umat beriman kristiani, maka stasi seperti halnya
lingkungan adalah bagian atau hasil membagi persekutuan itu, dan dari perspektif studi
kita di atas, stasi seperti halnya lingkungan dapat dikatakan sebagai ekspresi persekutuan
paroki di tempat di mana stasi itu terdapat, yang mengungkapkan nilai-nilai sejati
persekutuan melalui para warganya.
Selanjutnya, definisi stasi pada Pasal 1e di atas perlu dibandingkan dengan definisi
stasi yang terdapat pada Pasal 24.1. Pada Pasal 24.1 tersebut dikatakan: Stasi adalah
bagian dari paroki, yang karena situasi dan pertimbangan khusus, memerlukan pengaturan
reksa pastoral secara khusus dari paroki. Lalu pada bagian karena situasi dan
pertimbangan khusus masih disertakan catatan kaki yang berbunyi: Misalnya: jarak dari
pusat paroki cukup jauh, jumlah umat mencukupi, mendapatkan pelayanan ekaristi
mingguan secara rutin. Meskipun terdapat beberapa unsur yang berbeda di antara kedua
definisi tersebut, namun di sini yang dipentingkan adalah pengertian stasi itu sendiri,
sehingga dalam studi ini hal-hal yang berbeda tersebut perlu diperhatikan untuk memahami
stasi dengan lebih baik.
Dengan penjelasan ini, maka stasi harus dipandang sebagai suatu persekutuan atau
kebersamaan umat bagian dari paroki, yang memiliki berbagai ciri-ciri yang terdapat pada
lingkungan. Juga bisa terjadi, jika dalam stasi terdapat jumlah umat yang cukup banyak,
dibentuk beberapa lingkungan, sehingga stasi tersebut juga berciri-ciri wilayah.
Namun ciri pembeda stasi, yang membuatnya khas sebagai bagian paroki adalah
jauhnya jarak dari pusat paroki. Dari segi ini, stasi berbeda dari lingkungan-lingkungan
atau wilayah-wilayah pada umumnya, yang terletak di sekitar pusat paroki. Perbedaan atau
kekhasan stasi pada Pasal 1e ini selanjutnya diperjelas oleh Pasal 24, yang berbicara secara
khusus tentang Stasi di dalam 6 ayatnya. Secara prinsip hal ini dinyatakan dalam Pasal 24.1,
yang menyatakan bahwa stasi adalah bagian dari paroki, yang karena situasi khusus,
memerlukan pengaturan reksa pastoral secara khusus dari paroki. Di sini situasi khusus
diterangkan dengan catatan kaki: Misalnya: jarak dari pusat paroki cukup jauh, jumlah
umat mencukupi, mendapat pelayanan ekaristi mingguan secara rutin.
Selanjutnya, Pasal 24.4 dan 24.5 berbicara tentang kepengurusan stasi. Pasal 24.4
mengatakan: Untuk menjalankan reksa pastoral dalam stasi, Dewan Pastoral Paroki Harian
sebaiknya membentuk Pengurus Stasi. Sementara Pasal 24.5 berkata: Pengurus Stasi
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Pastor Kepala Paroki.
Dalam hal pembentukan pengurus stasi, yang disebutkan oleh Pedoman Dasar 2012
hanyalah pihak yang berwenang membentuknya, tetapi tidak disebutkan lebih jauh
bagaimana proses pembentukan itu harus dilakukan. Meskipun dalam prakteknya terdapat
partisipasi umat dalam pembentukan kepengurusan stasi, Pasal 24.4 ini, bersama dengan
Pasal 24.5 kiranya menegas keterikatan dan kesatuan stasi dengan paroki, yang dalam hal
ini diungkapkan dengan adanya wewenang Pastor paroki bersama Dewan Pastoral Paroki
Harian dalam proses pembentukan kepengurusan stasi, dan dalam mekanisme
pertanggungjawaban tugas pengurus stasi kepada Pastor Kepala Paroki.
Selain pengaturan reksa pastoral secara khusus dari paroki berupa pelayanan
ekaristi rutin mingguan, Pasal 24.6 menyatakan: Pencatatan administratif warga stasi
(baptis, penguatan, perkawinan, kematian) masih digabungkan dalam buku administratif
paroki. Selanjutnya masih ditambahkan: Stasi hendaknya juga memiliki buku catatan
tentang administrasi tersebut. Di sini jelas dikehendaki adanya 2 (dua) kali pencatatan
berkenaan dengan administrasi warga stasi, yaitu pertama dalam buku administratif paroki,
dan kedua di dalam buku catatan tentang administrasi tersebut, yang dimiliki oleh stasi.
Selanjutnya, kekhasan stasi dalam kerangka reksa pastoral dilengkapi dengan kalimat
terakhir Pasal 24.6 tersebut, yang mengatakan: Demikian pula laporan keuangan periodik
stasi dikonsolidasikan dalam laporan dan neraca paroki. Dengan berbicara tentang
konsolidasi laporan keuangan stasi dalam laporan dan neraca paroki, tampak adanya
keinginan untuk mempertegas bahwa stasi dengan segala kekhasannya, yaitu jumlah umat
dan jauhnya jarak dari pusat paroki, merupakan bagian utuh dari paroki. Ikatan stasi dan
paroki serta nilai penting stasi bagi paroki diungkapkan pernyataan tersebut.
Selanjutnya, Pasal 24.4 dan 24.5 berbicara tentang kepengurusan stasi. Pasal 24.4
mengatakan: Untuk menjalankan reksa pastoral dalam stasi, Dewan Pastoral Paroki Harian
sebaiknya membentuk Pengurus Stasi. Sementara Pasal 24.5 berkata: Pengurus Stasi
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Pastor Kepala Paroki.
Dalam hal pembentukan pengurus stasi, yang disebutkan oleh Pedoman Dasar 2012
hanyalah pihak yang berwenang membentuknya, tetapi tidak disebutkan lebih jauh
bagaimana proses pembentukan itu harus dilakukan. Meskipun dalam prakteknya terdapat
partisipasi umat dalam pembentukan kepengurusan stasi, Pasal 24.4 ini, bersama dengan
Pasal 24.5 kiranya menegas keterikatan dan kesatuan stasi dengan paroki, yang dalam hal
ini diungkapkan dengan adanya wewenang Pastor paroki bersama Dewan Pastoral Paroki
Harian dalam proses pembentukan kepengurusan stasi, dan dalam mekanisme
pertanggungjawaban tugas pengurus stasi kepada Pastor Kepala Paroki.
Di sini dibuka kemungkinan bahwa stasi dimengerti juga dalam arti yang khusus,
yaitu sebagai tahap yang dimaksudkan untuk proses pengembangan atau pemecahan
suatu paroki menjadi dua paroki. Dalam konteks pengembangan atau pemecahan paroki ini,
pembentukan suatu stasi tentulah disertai dengan pengaturan pastoral secara khusus dari
paroki bagi stasi tersebut, sebagai suatu kekhususan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 24.1. Dalam rangka pembentukan suatu paroki baru, kiranya stasi merupakan tahap
yang esensial untuk mempersiapkan secara khusus stasi tersebut menjadi paroki. Dalam
prakteknya, pendirian stasi sebagai tahapan menuju pembentukan paroki setidaknya pernah
dilakukan di paroki perkotaan atau paroki dalam suatu kota, misalnya di Surabaya.
Namun sebagai catatan, Pedoman Dasar 2012, yang berbicara tentang DPP dan
BGKP, tidak mengatur secara khusus proses atau tahap pembentukan suatu paroki itu
sendiri. Dengan demikian, Pasal 24.2 tentunya masih perlu disandingkan dengan rujukan
lain di luar Pedoman Dasar 2012. KHK 1983 sendiri dalam Kan. 516 - 1 berbicara tentang
kuasi-paroki sebagai tahap atau status gerejawi terdekat dengan paroki, yang karena
keadaan khusus belum didirikan sebagai paroki. Dikatakan: Kecuali ditentukan lain oleh
hukum, kuasi-paroki disamakan dengan paroki; kuasi-paroki ialah komunitas umat beriman
kristiani tertentu dalam Gereja partikular yang dipercayakan kepada seorang imam sebagai
gembalanya sendiri, dan yang karena keadaan khusus belum didirikan sebagai paroki.
Yang khas pada kuasi-paroki pada kanon tersebut, dan yang tidak dinyatakan secara
eksplisit dalam pengertian stasi sebagai suatu tahap menuju pembentukan paroki baru pada
Pasal 24.2, adalah bahwa bahwa suatu kuasa-paroki dipercayakan kepada seorang imam
sebagai gembalanya sendiri. Dengan demikian kuasi-paroki lebih mandiri dalam
pelaksanaan reksa pastoral dibandingkan dengan stasi karena kuasi-paroki memiliki imam
sebagai gembalanya sendiri, dan hanya karena keadaan khusus suatu kuasi-paroki belum
didirikan sebagai paroki. Sehingga logisnya, jika keadaan khusus tersebut sudah teratasi
atau terjawabi, kuasi-paroki dapat didirikan sebagai paroki. Maka dari sisi ini, kuasi-paroki
dapat dipandang sebagai proses atau tahap untuk membentuk paroki.
Lalu kembali pada persoalan stasi, Pasal 24.3 berbicara tentang pembentukan
stasi. Dikatakan: Pembentukan stasi diputuskan oleh Pastor paroki bersama dengan
Dewan Pastoral Paroki Harian, setelah mendapat persetujuan Uskup. Di sini disebutkan
adanya 2 proses oleh 2 pihak yang membuat suatu stasi dapat dibentuk, yaitu keputusan
oleh Pastor paroki bersama Dewan Pastoral Paroki Harian dan persetujuan Uskup. Hal kedua
ini, yaitu perlunya persetujuan Uskup dalam pembentukan stasi, meskipun tidak disertai
penjelasan lebih lanjut tentang alasan perlunya, kiranya menarik untuk dicatat. Perlunya
persetujuan Uskup ini kiranya mempertegas kedudukan stasi yang khas dalam reksa
pastoral dibandingkan dengan lingkungan atau wilayah di sekitar pusat paroki. Terutama
stasi yang dibentuk dan dipersiapkan untuk menjadi paroki, penetapannya harus disertai
persetujuan uskup, sebagai satu-satunya pihak yang berwewenang mendirikan paroki.
Setelah membahas Paroki dari segi reksa pastoral teritorial, yang terekspresikan
dalam kehidupan para warganya di lingkungan, wilayah dan stasi, Pedoman Dasar 2012 juga
memberi perhatian pada kehidupan para warga Gereja di paroki di luar aspek teritorial.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah organisasi dan perkumpulan Katolik, komunitas biara
yang ada di paroki, dan yang juga layak disebut, komunitas pastoran.
Berkenaan dengan organisasi dan perkumpulan Katolik, Pedoman Dasar 2012 Pasal
27.1 mengatakan: Organisasi dan Perkumpulan Katolik yang mempunyai kepengurusan
tingkat paroki hendaknya ikut berperan serta dalam kegiatan-kegiatan dalam paroki, dengan
mengingat tujuan organisasi serta sesuai dengan anggaran dasar masing-masing. Kemudian
pada Pasal 27.2 dikatakan: Peran serta mereka ditentukan dalam koordinasi dengan Dewan
Pastoral Paroki. Wakil-wakil mereka masuk dalam Dewan Pastoral Paroki Pleno.
Pedoman Dasar 2012 sendiri tidak memberikan definisi organisasi dan perkumpulan
Katolik, sementara dalam kenyataannya terdapat banyak jenis organisasi dan perkumpulan
yang berbeda-beda azas, tujuan dan kegiatan operasionalnya. Dari yang melulu bersifat
keagamaan atau kerohanian, hingga yang lebih terbuka terhadap hal-hal kemasyarakatan,
bahkan yang mendapat pengakuan sebagai organisasi masyarakat (ormas) dari sudut
pemerintahan atau perundangan-undangan. Dari yang berkarakter informal sampai yang
formal. Baik organisasi atau perkumpulan yang kuat ciri-ciri tradisinya dalam kekatolikan
maupun organisasi atau perkumpulan yang tengah mencari bentuk dan karakternya yang
khas Katolik. Dari yang berjejaring secara internasional hingga yang melulu bersifat lokal.
Meskipun tanpa disertai pendefinisian lebih lanjut, hal positif yang terlihat pada
Pasal 27.1 adalah bahwa pada dasarnya keberadaan organisasi dan perkumpulan Katolik,
apapun latar belakang atau kekhasannya, secara umum diakui oleh Pedoman Dasar 2012.
Pengakuan ini secara jelas terlihat pada dibukanya kemungkinan adanya kepengurusan
tingkat paroki bagi suatu organisasi atau perkumpulan Katolik, dan diakuinya organisasi
atau perkumpulan Katolik tersebut melalui keberadaan kepengurusannya di tingkat paroki.
Dengan latar belakang sikap positif itu, selanjutnya dipandang sudah selayaknya
organisasi dan perkumpulan Katolik yang ada di paroki ambil bagian aktif dalam kehidupan
menggereja, dengan ikut berperan serta dalam kegiatan-kegiatan dalam paroki. Pedoman
Dasar 2012 juga mengakui kekhasan masing-masing organisasi dan perkumpulan Katolik,
karena itu keikutsertaannya dalam kegiatan-kegiatan paroki juga didasarkan atau mengingat
pada tujuan organisasi dan sesuai dengan anggaran dasar masing-masing.
Dengan kata lain, Pedoman Dasar 2012 bermaksud memberi arti positif terhadap
keberadaan organisasi dan perkumpulan Katolik yang pada dasarnya bersifat kategorial di
wilayah paroki, yang bersifat teritorial, serta menyelaraskan keberadaan organisasi dan
perkumpulan Katolik itu dalam kehidupan paroki. Bahkan keselarasan ini dipandang sebagai
hal yang amat penting, sehingga perlu selalu didorong perwujudannya dan dijadikan
kesadaran oleh semua, sebagaimana dinyatakan pada Pedoman Dasar 2012 Pasal 31, yang
berbicara tentang keselarasan reksa pastoral teritorial dan kategorial.
Karena dipandang sebagai hal yang penting, Pedoman Dasar 2012 Pasal 31 secara
prinsip melimpahkan tanggung jawab menjaga keselarasan reksa pastoral teritorial dan
kategorial ini kepada Dewan Pastoral Paroki. Namun ditegaskan bahwa basis penghayatan
iman pada dasarnya terdapat pada keluarga dan dimensi teritorial. Dikatakan: Dewan
Pastoral Paroki mengembangkan kedua reksa pastoral tersebut secara selaras. Keduanya
dibantu untuk tidak bertentangan, tetapi saling mengisi dan melengkapi, dengan kesadaran
bahwa orang beriman seharusnya menemukan basis penghayatan imannya dalam keluarga
dan dalam relasi dengan lingkungan gerejani dan masyarakat sekitarnya.
Demi keselarasan ini, Pasal 27.2, yang berbicara tentang peran serta organisasi dan
perkumpulan Katolik di paroki, berkata: Peran serta mereka ditentukan dalam koordinasi
dengan Dewan Pastoral Paroki. Wakil-wakil mereka masuk dalam Dewan Pastoral Paroki
Pleno. Jadi organisasi dan perkumpulan Katolik di paroki di satu sisi dipandang penting
perannya dalam kegiatan-kegiatan paroki, tapi di sisi lain peran serta itu hendaknya tidak
ditentukan secara sepihak demi kepentingan kelompoknya, melainkan dalam koordinasi
perangkat pastoral yang bertanggung jawab menjaga keselarasan reksa pastoral di paroki.
Juga lebih jauh, di luar koordinasi harian dalam kegiatan-kegiatan di paroki, wakil-
wakil organisasi dan perkumpulan Katolik diikutsertakan di dalam kepengurusan pastoral
paroki, yaitu dalam Dewan Pastoral Paroki Pleno. Dengan keikutsertaan di dalam wadah ini,
mereka dapat ambil bagian dalam perencanaan pastoral, juga dapat memberikan saran dan
suara dalam pengambilan keputusan pastoral di paroki.
Adanya visi atau paham tentang Gereja sebagai Umat Allah, yang menyertakan kaum
awam, imam dan religius sebagai pembentuknya, oleh Pedoman Dasar 2012 Pasal 28
diterjemahkan dengan peran serta mereka semua dalam kehidupan paroki. Termasuk para
religius, yang diharapkan menyertakan wakil mereka dalam Dewan Pastoral Paroki Pleno.
Namun Pedoman Dasar 2012 tidak menghendaki peran formal, melainkan peran
yang mengalir dari kesadaran bahwa para religius adalah bagian utuh dari Gereja, dan bukan
bagian terisolasi, yang hadir secara nyata di paroki dan berperan serta di dalamnya. Untuk
itu Pedoman Dasar 2012 Pasal 28 menggunakan ungkapan khas, saat berbicara tentang apa
yang harus dimiliki oleh para religius di paroki dan apa yang harus mereka lakukan.
Diharapkan bahwa mereka mempunyai cita-rasa berparoki yang benar, dan melibatkan
diri secara nyata dalam hidup dan karya paroki. Di sini dibutuhkan kesadaran yang tidak
melulu didasarkan pada pemahaman sendiri tentang Gereja dan makna paroki, melainkan
pertama-tama didasarkan pada apa yang seharusnya, pada cita-rasa yang benar.
Pada dasarnya Pedoman Dasar 2012 mengakui kekhasan hidup religius, karena itu
keterlibatan mereka dalam hidup dan karya paroki dilakukan menurut ciri khas panggilan
mereka. Namun pengakuan itu tidak perlu menjadi dasar untuk mempertentangkan yang
satu dengan yang lain, khususnya antara semangat dan pelayanan khas sebagai religius dan
panggilan hidup berparoki. Karena itu Pasal 28 berharap agar mereka mengintegrasikan
semangat dan pelayanan pada reksa pastoral paroki/keuskupan.
4
Pedoman Dasar 2012, hlm. 6-7.
Pedoman Dasar 2012 tidak membahas secara khusus komunitas pastoran, yang
tentu juga merupakan bagian dari kehidupan paroki. Bahkan merupakan bagian penting,
karena dari dan dalam komunitas para imam yang tinggal di paroki inilah kehidupan paroki
secara keseluruhan diwarnai dan mendapatkan perhatian pastoral yang dibutuhkannya.
Paroki, dalam hal ini persisnya pastoran paroki, pada umumnya menjadi salah satu oase,
tempat penyejuk terpenting dalam kehidupan paroki, karena perjumpaan umat dengan
imam-imam di rumah mereka sendiri tentulah akan memberikan kesejukan tersendiri.
Tidak adanya butir-butir tentang kebersamaan para imam di paroki sebagai suatu
komunitas pastoran dalam Pedoman Dasar 2012 tidak perlu diartikan sebagai sikap bahwa
hal ini tidak penting atau selayaknya dilupakan. Rumah Tangga Pastoran sendiri termasuk
salah satu hal yang ditangani oleh Badan Gereja Katolik Paroki (BGKP), sebagaimana tampak
dalam Contoh Organigram BGKP, pada bagian lampiran Pedoman Dasar 2012. Selain itu,
Pedoman Dasar 2012 juga membahas secara khusus para pastor paroki, yang diandaikan
hidup berkomunitas dan menjadi bagian penting dalam kebersamaan paroki.
Menurut KHK 1983 Kan. 550 - 2 kehidupan bersama para imam di paroki perlu
diatur oleh Uskup sebagai Ordinaris wilayah: Hendaknya Ordinaris wilayah mengusahakan
agar antara Pastor Paroki dan para vikaris parokial dikembangkan suatu kebiasaan hidup
bersama di rumah paroki, di mana hal itu mungkin. Juga terdapat kanon yang memperjelas
pentingnya pengaturan komunitas ini, yaitu Kan. 533 - 1 yang berbicara tentang kewajiban
bagi Pastor (Kepala) Paroki untuk tinggal di rumah paroki dekat gereja, dan Kan. 550 - 1
yang membahas kewajiban Pastor Rekan untuk tinggal di paroki.
Kan. 533 - 1, selain berbicara tentang kewajiban Pastor (kepala) paroki untuk
tinggal di rumah paroki dekat gereja, juga mengatakan bahwa dalam kasus-kasus khusus,
jika ada alasan yang wajar, Ordinaris Wilayah dapat mengizinkan agar ia tinggal di tempat
lain, terutama di rumah bersama beberapa presbiter, asal saja pelaksanaan tugas-tugas
paroki diatur dengan baik dan tepat. Jadi adanya komunitas pastoran merupakan hal yang
penting bagi kehidupan paroki dan pastoral umat, maka normalnya terdapat rumah paroki
(pastoran) dekat gereja, sebagai tempat tinggal pastor paroki (parochus). Keberadaan pastor
paroki bersama dengan imam-imam lain juga penting, karena itu kalau pastor paroki tidak
tinggal di pastoran dekat gereja, diharapkan ia tinggal bersama dengan imam-imam lain
dalam suatu pastoran. Untuk hal ini dibutuhkan izin dari Uskup selaku Ordinaris wilayah.
Dengan mengangkat tema komunitas pastoran Tata Hidup dan Karya (2014) ini
menggarisbawahi adanya prinsip komunitas sebagai prinsip dasar di balik hidup dan karya
imam paroki. Prinsip komunitas artinya: para imam yang hidup dan berkarya di paroki
haruslah hidup sebagai satu komunitas, dan secara bersama-sama diharapkan dapat
mengikuti arahan tentang tata hidup komunitas pastoran dengan baik.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan para imam di paroki, entah
sebagai Pastor Kepala Paroki atau Pastor Rekan, tidak boleh ditinjau secara fungsional,
dengan cara melihat jabatan-jabatan dan tugas-tugas belaka. Keberadaan dan karya para
imam di paroki harus dihayati dengan menyertakan pula dimensi relasional, personal dan
komuniter di antara mereka, yang dihayati dan dikembangkan dalam suasana kebersamaan.
Sekaligus, dapat dikatakan bahwa Tata Hidup dan Karya (2014) menghendaki agar
paham communio atau persekutuan di antara para imam, di balik hidup dan karya yang
mereka jalankan, diberi pernekanan, atau perhatian secara khusus. Dalam arti tertentu,
pilihan ini menunjukkan adanya langkah lebih jauh yang bersifat implementatif atas apa
yang dinyatakan oleh KHK 1983. Kan. 550 - 2 menghendaki agar antara Pastor Paroki dan
para vikaris parokial dikembangkan suatu kebiasaan hidup bersama di pastoran, di mana hal
itu mungkin, dan Tata Hidup dan Karya (2014) bermaksud menerapkannya dalam butir-
butir yang lebih terinci dalam konteks kehidupan para imam di Keuskupan Surabaya.
KHK 1983, karena memiliki pendekatan yang lebih administratif, berbicara tentang
pengembangan kebiasaan hidup bersama antara Pastor Paroki dan para vikaris parokial.
Namun Tata Hidup dan Karya (2014) berbicara tentang semua dan siapapun pastor yang
berkarya di paroki, tanpa memandang kedudukan masing-masing secara administratif. Juga,
Tata Hidup dan Karya (2014) jelas berbicara tentang bentuk khas hidup bersama, yaitu
komunitas. Dikaitkan dengan KHK 1983, bentuk komunitas ini haruslah dipandang sebagai
cara yang dipilih untuk mengembangkan suatu kebiasaan hidup bersama di pastoran.
Dapat diharapkan bahwa kehidupan pastoran yang baik, yaitu kebersamaan sebagai
5
Dewan Imam, Tata Hidup dan Karya Imam Paroki Keuskupan Surabaya, 2014, hlm. 6-77, 9-
12.
komunitas dalam semangat communio atau persekutuan akan bermanfaat besar bagi
pelayanan rohani umat dan bagi kehidupan paroki secara keseluruhan.
BAB II
Penggunaan istilah pastor kepala paroki pada Pedoman Dasar 2012 ini rupanya
mempunyai konteks dan maksud tersendiri, melebihi persoalan pemilihan kata-kata belaka.
Rupanya di balik istilah pastor kepala paroki untuk parochus terdapat gagasan tertentu
yang ingin diusung ddan diwujudkan, sejalan dengan gagasan yang ada di balik istilah
pastor rekan sebagai terjemahan vicarius paroecialis.
Dalam rangka studi tentang reksa pastoral paroki di Keuskupan Surabaya, yang di
tingkat lokal berpedoman pada Pedoman Dasar DPP dan BGKP 2012, persoalan di atas perlu
ditempatkan sebagai pokok kajian di awal penelitian, sebelum melangkah ke berbagai
rincian pembahasan tentang pastor paroki dan rekan kerjanya dalam membangun
persekutuan. Dengan menangkap gagasan pokok serta semangat dasar di balik istilah-
istilah yang dipakai untuk berbicara tentang para gembala dalam reksa pastoral paroki ini,
diharapkan prinsip dasar di balik pengembangan pola pastoral di Keuskupan Surabaya dalam
lingkup paroki dapat dikenali. Kiranya dengan prinsip dasar itu selanjutnya peran dan arti
rekan-rekan kerja yang ikut serta dalam penggembalaan paroki dapat lebih dipahami.
Maka, secara garis besar, pada bagian ini akan dibahas terlebih dahulu pastor
paroki sebagaimana dimaksud oleh Pedoman Dasar 2012. Juga dibahas tugas-tugas pastor
paroki dalam penggembalaan umat. Selanjutnya barulah dibahas peran rekan-rekan kerja
pastor paroki dalam pola pastoral paroki di Keuskupan Surabaya, yaitu para katekis, asisten
imam, Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan Badan Gereja Katolik Paroki (BGKP). Karena ingin
mengangkat konteks pastoral di Keuskupan Surabaya, maka sumber utama yang digunakan
di sini adalah Pedoman Dasar DPP dan BGKP 2012, yang sampai sekarang masih berlaku.
Adapun untuk mendalami secara lebih terinci tema pastor paroki dan rekan
kerjanya dalam membangun persekutuan paroki, pada bagian ini dibahas tema-tema kecil
berikut ini: hakikat pastor paroki; tugas umum pastor paroki; tugas pastor kepala paroki;
tugas pastor rekan; katekis paroki; tugas, tanggung jawab dan pembinaan katekis paroki;
asisten imam; hakikat dan tujuan DPP; fungsi, sifat dan wewenang DPP; tugas utama DPP;
tugas DPP Harian dan bidang-bidang pastoral; tugas DPP Inti; tugas DPP Pleno; nilai penting
DPP bagi kehidupan Paroki; konsep BGKP dalam Pedoman Dasar 2012; aspek sipil BGKP;
tujuan dan fungsi BGKP; tugas dan wewenang BGKP; kepengurusan BGKP; suasana kerja dan
pertemuan; kesatuan DPP dan BGKP untuk kehidupan paroki.
Pembahasan tentang pastor paroki terdapat pada Pedoman Dasar 2012, Bab II,
yang membahas Fungsi dan Tugas Pastor Paroki. Pedoman Dasar 2012 Bab II tersebut terdiri
dari 6 pasal, yaitu Pasal-pasal 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Masing-masing pasal tersebut berbicara
tentang hakikat pastor paroki (Pasal 3), pengangkatan pastor paroki (Pasal 4), tugas umum
pastor paroki (Pasal 5), tugas pastor kepala paroki (Pasal 6), tugas pastor rekan (Pasal 7).
serta pemberhentian pastor kepala paroki dan pastor rekan (Pasal 8). Dengan jumlah pasal
yang cukup banyak untuk membahas satu tema ini, Pedoman Dasar 2012 mengisyaratkan
bahwa tema pastor paroki, yang meliputi pastor kepala paroki atau parochus dan pastor
rekan atau vicarius paroecialis, cukup penting dalam rangka reksa pastoral paroki.
Pasal 3 membahas 4 hal sehubungan dengan hakikat pastor paroki. Pertama, Pasal
3.1 memberikan dasar bagi seorang imam untuk dapat menjalankan tugas sebagai pastor
paroki, yaitu Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Uskup. Dikatakan: Pastor paroki
adalah pastor yang mendapat SK dari Uskup untuk menjalankan karya pastoral di paroki. Di
sini SK Uskup menjadi ukuran sahnya kehadiran dan peran seorang imam di suatu paroki,
dengan tugas-tugas yang ia jalankan dengan kapasitas sebagai pastor paroki.
Lebih jauh, catatan kaki tersebut menegaskan bahwa tidak boleh seorang menjadi
pastor (kepala) paroki tanpa mandat/otoritas dari Uskup. Merujuk pada KHK 1983 Kan. 524,
kecuali jika ada yang memiliki hak pengajuan atau pemilihan, maka Uskuplah yang berhak
mengangkat pastor (kepala) paroki secara bebas seturut yang dikehendakinya. Dengan latar
belakang ini, maka Pasal 4, yang berbicara tentang keabsahan pengangkatan pastor paroki,
baik pastor kepala paroki maupun pastor rekan, melalui SK pengangkatan oleh Uskup dapat
dipahami jelas maksudnya: Pastor kepala paroki dan/atau pastor rekan diangkat secara
bebas oleh Uskup diosesan melalui SK Pengangkatan.
Dalam perspektif ini, Pasal 8 berbicara tentang peran Uskup dalam pemberhentian
pastor kepala paroki dan pastor rekan. Dikatakan: Pastor Kepala Paroki dan/atau Pastor
Rekan berhenti dari jabatan mereka, karena: a. Pemberhentian oleh Uskup diosesan
menurut norma hukum; b. Pemindahan oleh Uskup diosesan menurut norma hukum; c.
Pengunduran diri dengan alasan yang wajar, namun demi sahnya harus diterima oleh Uskup
diosesan; d. Habisnya masa jabatan, jika ia diangkat untuk jangka waktu tertentu; e.
Meninggal dunia. Kecuali karena alasan meninggal dunia, penyebab berhentinya seorang
pastor paroki pada pasal ini selalu dikaitkan dengan otoritas Uskup diosesan: entah karena
Uskup memberhentikan atau memindahkannya, atau karena habisnya masa jabatan seturut
SK Pengangkatan oleh Uskup atau, jika pastor itu sendiri mengundurkan diri sebagai pastor
paroki, pengunduran diri itu untuk sahnya mengandaikan adanya penerimaan Uskup.
Dalam catatan kaki yang sama (no. 5), dijelaskan lebih lanjut peran pastor (kepala)
paroki sebagai kehadiran dan kepanjangan tangan Uskup dalam reksa pastoral di paroki.
6
Catatan kaki 5 dan 6 tidak menggunakan istilah pastor kepala paroki melainkan pastor
paroki, meskipun catatan kaki ini menerangkan Pasal 3 tentang Hakikat Pastor kepala paroki pada
Pedoman Dasar 2012. Sejauh melihat kanon dan dokumen yang dirujuk, serta isi Pasal 3 yang
diterangkan dengan catatan kaki itu, kiranya yang dimaksud dengan pastor paroki pada catatan
kaki tersebut adalah pastor kepala paroki. Hal ini dikonfirmasi oleh Rm. Antonius Padua Dwi Joko
yang mempersiapkan draft revisi Pedoman Dasar DPP 1997, yang kemudian diberlakukan sebagai
Pedoman Dasar 2012. Karena itu dalam pembahasan ini kata kepala diletakkan dalam tanda
kurung antara kata pastor dan paroki, untuk menegaskan bahwa yang dimaksud oleh catatan
kaki tersebut pertama-tama adalah pastor kepala paroki dalam pengertian Pedoman Dasar 2012.
Dikatakan bahwa pastor (kepala) paroki adalah wakil Uskup di paroki yang merupakan
sebagian wilayah diosesnya. Dijelaskan bahwa pastor (kepala) paroki adalah wakil dan
subordinasi Uskup (kata subordinasi berarti kedudukan bawahan, KBBI), sementara
Uskup berkedudukan sebagai gembala utama Gereja partikular atau keuskupannya.
Sebagai bawahan, wakil atau vicarius Uskup, pastor kepala paroki sungguh-sungguh
merupakan kehadiran Uskup di parokinya, atau seperti dikatakan oleh catatan kaki,
menjadi representasi Uskup dalam kegiatan apapun termasuk dengan pemerintah di
wilayah parokinya. Karena itu pula maka pastor kepala paroki dalam menjalankan
perannya diharapkan berkoordinasi dengan Uskup dan tetap berkomunikasi dengannya.
Dikatakan: Sebab itu pula, semua kegiatan pastoral hendaknya sepengetahuan Uskup,
karena akhirnya pastor (kepala) paroki bertanggung jawab kepada Uskupnya.
Selain berbicara tentang Uskup sebagai sumber otoritas pastor paroki, Pasal 3.2
berbicara pula tentang garis-garis pelaksanaan tugas penggembalaan atau reksa pastoral
pastor (kepala) paroki, yaitu dengan ambil bagian dalam tritugas Kristus dalam tugas
mengajar, menguduskan dan memimpin. Tritugas ini sendiri telah disebutkan dalam KHK
1983 Kan. 519 yang mendefinisikan pastor kepala paroki, dan dijabarkan lebih lanjut dalam
KHK 1983 Kan. 528 - 1 (tentang tugas pewartaan Sabda) dan 2 (tentang tugas
peribadatan) serta Kan. 529 (tentang tugas penggembalaan). Namun, karena kedudukannya
adalah sebagai representasi uskup dan pelaksana partisipasi pada tugas uskup di paroki,
tritugas Kristus yang harus diemban oleh pastor kepala paroki secara prinsip tetap harus
dirujukkan pada tritugas yang harus diemban oleh Uskup sendiri, yang telah dinyatakan
dalam KHK 1983 Kan. 375 - 1 dan 2. Dalam kerangka inilah, maka pastor kepala paroki
adalah pelaksana tritugas Uskup di parokinya.
Selanjutnya Pasal 3.3 memberikan penjelasan tentang kedudukan khas pastor kepala
paroki di parokinya: Pastor Kepala Paroki menunaikan tugas pastoral bertindak atas nama
Gereja sebagai pastores proprius. Dalam KHK 1983 Edisi Resmi Bahasa Indonesia (2006
dan Revisi II, 2016), pada Kan. 515 - 1 dan Kan. 519, istilah pastor proprius diterjemahkan
dengan gembalanya sendiri, yang menunjukkan hubungan khas antara pastor kepala
paroki dan umat di wilayah parokinya, yaitu sebagai gembala bagi mereka. Sementara
dalam Pedoman Dasar 2012 Pasal 3.3 terdapat catatan kaki tentang tugas Pastor Kepala
paroki sebagai pastor proprius: pastor (kepala) paroki bertugas menghantar kepada
pemeliharaan dan keselamatan jiwa-jiwa (cura pastoralis atau cura animarum), yang
terutama diungkapkan dengan pewartaan Sabda, pelayanan sakramen-sakramentali, dan
kepemimpinan pastoral komunitas. Dengan demikian jelas bahwa, bagi umat paroki, pastor
kepala parokilah penanggung jawab pemeliharaan dan keselamatan jiwa-jiwa mereka, yang
diwujudkan dalam pelaksanaan tritugas Kristus bagi mereka.
Dalam bingkai pemahaman semacam ini selanjutnya Pasal 3.4 berbicara tentang
pastor rekan di paroki. Dikatakan demikian: Pastor rekan adalah pastor yang mendapat
perutusan dan tanggung jawab dari Uskup untuk ikut serta dalam penggembalaan umat
paroki, dalam kepemimpinan Pastor Kepala Paroki. Di satu sisi, perutusan dan tanggung
jawab yang dimiliki oleh pastor rekan berasal dari Uskup sendiri, sedangkan di sisi lain, tugas
yang harus ia laksanakan di paroki berada dalam lingkup perutusan dan tanggung jawab
pastor kepala paroki. Bagi pastor rekan, pastor kepala paroki merupakan pemimpin dalam
pelaksanaan tugas penggembalaan umat, dan dalam kepemimpinan itu ia memiliki peran
yang bersifat partisipatif, yaitu sebagai rekan yang ikut serta dalam penggembalaan.
Selanjutnya Pedoman Dasar 2012 menjabarkan secara umum tugas pastor paroki,
atau dengan kata lain pastor kepala paroki dan pastor rekan, pada Pasal 5. Namun sebelum
itu, diberikan catatan kaki tentang perlunya pengutamaan perutusan oleh para pastor
paroki ini: Hendaknya pastor paroki lebih mengutamakan perutusan utamanya untuk
melayani umat paroki daripada kegiatan-kegiatan lainnya. Catatan ini kiranya menegaskan
bahwa tugas yang akan dibahas atau dijabarkan merupakan hal yang tidak bisa diremehkan
atau dipandang ringan oleh pastor paroki, yaitu baik pastor kepala paroki maupun pastor
rekan. Justru tugas itu harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin dengan mengutamakan
umat paroki yang berada di dalam tanggung jawab mereka sendiri.
Selanjutnya Pasal 5.a membahas tugas umum pertama yang harus diemban oleh
para pastor paroki, baik pastor kepala paroki maupun pastor rekan. Tugas tersebut adalah
Mewujudkan persekutuan dan kebersamaan, serta bekerja sebagai tim dalam pelayanan
pewartaan, pengudusan, dan penggembalaan umat. Di sini tampak bahwa tritugas Kristus,
yang secara prinsip ditetapkan oleh KHK 1983 dan secara hakiki dinyatakan sebagai tugas
para pastor paroki oleh Pedoman Dasar 2012 Pasal 3.2, diletakkan dalam bingkai visi
tertentu tentang Gereja dan tentang cara kepemimpinan yang perlu dilaksanakan agar visi
itu tercapai. Visi Gereja yang dimaksud oleh Pedoman Dasar 2012 adalah persekutuan dan
kebersamaan, sedangkan untuk mewujudkannya para pastor paroki harus bekerja sebagai
tim dalam pelayanan pewartaan, pengudusan dan penggembalaan umat.
Kemudian Pasal 5.b menyatakan tugas umum kedua tim pastor paroki, yang harus
dilaksanakan untuk mewujudkan persekutuan dan kebersamaan umat, yaitu: Menjadi
pengilham, penggerak, dan pemersatu umat. Selain berbicara tentang fungsi yang harus
dijalankan oleh tim pastor paroki dalam dinamika umat paroki, Pasal 5.b ini juga disertai
dengan sebuah catatan kaki tentang gaya kepemimpinan yang cocok dengan fungsi
tersebut, yang dituntut dari para pastor paroki. Dikatakan: Pastoral umat menuntut gaya
kepemimpinan partisipatif. Untuk itu, pembagian tugas menjadi lebih mendesak. Kriteria
pembagian tugas bukanlah melulu kuantitatif (menyerahkan sebanyak mungkin pekerjaan
kepada awam), atau karena kekurangan imam, melainkan juga atas dasar kualitatif. Kiranya
perhatian perlu diarahkan pada tugas imam sebagai motivator yang menggerakkan umat
dan melanjutkannya dengan inspirasi, animasi, dan pemantapan kesatuan umat.
Jadi selain mempertegas cara kerja tim pastor paroki dengan menjabarkan fungsi
mereka dalam dinamika kehidupan umat sebagai pengilham (inspirator), penggerak (motor,
animator) dan pemersatu (unificator), ditegaskan pula pilihan pastoral terkait gaya
kepemimpinan yang diharapkan dari pastor kepala paroki dan pastor rekan, yaitu gaya
kepemimpinan partisipatif. Gaya ini menghendaki adanya keterlibatan umat awam dalam
kepemimpinan dan reksa pastoral paroki, bukan pertama-tama demi sebanyak mungkin
tugas ditangani oleh mereka, melainkan atas dasar pertimbangan kualitatif, yaitu atas dasar
mutu hidup dan kemampuan yang dimiliki oleh awam untuk terlibat dalam reksa pastoral
dan kepemimpinan, serta demi pengembangan kualitas hidup dan iman mereka sendiri.
Mengenai tugas perutusan Kristus di paroki yang melibatkan seluruh umat ini, Pasal
5.c, yang berbicara tentang tugas umum ketiga bagi para pastor paroki, dapat dipandang
sebagai suatu penegasan. Pasal 5.c mengatakan bahwa para pastor paroki memiliki dan
mengemban tugas Memberdayakan peranan khas umat awam dalam perutusan Gereja.
Pasal 5.c ini disertai dengan catatan kaki yang cukup panjang: Inilah kepemimpinan
partisipatif pastor paroki (bdk. Kan. 275 - 2 dan Kan. 529 - 2). Jika umat awam memiliki
kewajiban dan hak untuk mengusahakan agar warta Injil dikenal dan diterima dimana-mana,
khususnya di tempat di mana Injil tidak dapat didengarkan dan Kristus tidak dapat dikenal
orang selain lewat kaum awam (Kan. 225 - 1), maka menjadi kewajiban para pastor paroki
untuk menjamin agar hak itu bisa mereka laksanakan secara penuh.
Di sini tampak bahwa makna kepemimpinan partisipatif pastor paroki tidak melulu
diartikan sebagai pelibatan awam dalam semua tugas imam, melainkan tetap dalam bingkai
kekhasan status dan perutusan awam dalam Gereja. Pemimpin partisipatif adalah pemimpin
yang menggerakkan yang dipimpin, serta mendorong dan memberdayakan mereka untuk
dapat melaksanakan tugas khas mereka, termasuk mewartakan Injil ke dunia, ke wilayah
yang hanya dapat dimasuki oleh awam, atau yang merupakan wilayah khas mereka.
Di luar tugas-tugas umum pastor paroki di atas, Pedoman Dasar 2012 merumuskan
pula tugas-tugas khas yang dimiliki baik oleh pastor kepala paroki maupun oleh pastor
rekan. Untuk pastor kepala paroki tugas-tugas dipaparkan pada Pasal 6, dalam 5 butir, dan
untuk pastor rekan tugas-tugas dipaparkan pada Pasal 7, juga dalam 5 butir.
Pada Pasal 6.a dibahas hal-hal yang hakiki dalam tugas pastor kepala paroki di paroki
yang dipimpinnya. Dikatakan bahwa ia bertugas, Berdasarkan jabatannya mewakili Uskup
diosesan di paroki, mengemban tanggung jawab khusus, serta ex officio menjadi Ketua
Umum Dewan Pastoral Paroki, sekaligus gembala bagi umat paroki yang diserahkan dalam
reksa pastoralnya. Ia menjalankan tugas mengajar, menguduskan dan memimpin umat,
dalam semangat kerjasama dengan Pastor Rekan dan Dewan Pastoral Paroki.
Jika melihat rumusan di atas, tampak bahwa sebagian aspek yang hakiki dalam tugas
atau fungsi pastor kepala paroki, yang sudah terbahas pada alinea-alinea sebelum ini,
kembali muncul untuk menjelaskan pengertian pastor kepala paroki. Aspek-aspek hakiki itu
antara lain: fungsi representasi sebagai wakil Uskup di paroki; tanggung jawab khusus
sebagai pimpinan paroki; gembala bagi umat paroki; serta tugas mengajar, menguduskan
dan memimpin umat. Namun sekarang pada Pasal 6.a, berbagai aspek tersebut disatukan
dengan aspek pastoral lain yang amat terkait dengan penyelenggaraan reksa pastoral bagi
seluruh umat, yang melibatkan suatu perangkat yang disebut Dewan Pastoral Paroki.
Tentang Dewan Pastoral Paroki sendiri, selain termuat definisinya pada Pasal 2.e
(tentang Dewan Pastoral Paroki), Pasal 2.f (tentang Dewan Pastoral Paroki Harian), Pasal 2.g
(tentang Dewan Pastoral Paroki Inti) dan Pasal 2.h (tentang Dewan Pastoral Paroki Pleno),
terdapat pembahasan lebih lanjut yang tersebar dalam Pedoman Dasar 2012, yaitu dalam
Bab IV, tentang hakikat, tujuan, fungsi dan wewenang Dewan Pastoral Paroki, dalam Bab V
tentang tugas-tugas Dewan Pastoral Paroki, dalam Bab VII tentang bidang-bidang dan seksi-
seksi dan dalam Bab IX tentang tata kerja Dewan Pastoral Paroki. Di dalam struktur Dewan
Pastoral Paroki tersebut, yang memiliki berbagai aspeknya sebagaimana diuraikan dalam
Pedoman Dasar 2012, Pasal 6.a menempatkan pastor kepala paroki sebagai ketua umumnya
secara ex officio. Dengan demikian terbentuk pengertian yang lebih menyeluruh tentang
pastor kepala paroki, khususnya dalam operasionalisasi reksa pastoral umat di paroki.
Selain melaksanakan tugas reksa pastoral umat dalam semangat bekerja sama
dengan Dewan Pastoral Paroki, pastor kepala paroki dalam posisinya sebagai Ketua Umum
Dewan Pastoral Paroki ex officio juga diharapkan melibatkan dan bekerja sama dengan
pastor rekan, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6.a. Lebih lanjut Pasal 6.d melengkapi hal
ini secara khusus dengan mengatakan bahwa pastor kepala paroki hendaknya juga Secara
adil dan bijaksana berbagi tugas dengan Pastor Rekan, dengan tetap berlaku penugasan-
penugasan khusus sesuai SK Pengangkatan masing-masing, jika ada.
Akhirnya, berkenaan dengan seluruh tugas pastor kepala paroki, Pasal 6.e
menyatakan bahwa Ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Uskup
diosesan. Pola pertanggungjawaban ini, yaitu dari pastor kepala paroki kepada uskup, dan
bukan kepada pihak-pihak lain yang terkait dengan paroki, kiranya konsisten dengan pola
penerimaan mandat kepemimpinan paroki yang diterima oleh pastor kepala paroki dari
uskup sebagai pimpinan dan penanggung jawab utama reksa pastoral di wilayah keuskupan.
Setelah membahas tugas pastor kepala paroki, Pedoman Dasar 2012 pada Pasal 7
membahas fungsi dan tugas pastor rekan. Pasal ini secara khusus menjelaskan fungsi dan
tugas pastor rekan, melengkapi penjelasan tentang fungsi dan tugasnya secara umum
sebagai pastor paroki yang telah dibahas sebelumnya pada Pasal 5.
Pasal 7.a menyatakan bahwa pastor rekan Ex officio menjadi Wakil Ketua Umum
Dewan Pastoral Paroki. Dengan ungkapan ini tampak bahwa dalam pelaksanaan reksa
pastoral, yang melibatkan rekan-rekan umat awam di paroki, yang secara formal terwadahi
dalam Dewan Pastoral Paroki, pastor rekan merupakan bagian penting dan tak terpisahkan.
Kedudukannya sebagai wakil ketua umum secara ex officio menegaskan bahwa pastor rekan
selalu berada dalam satu kesatuan dengan pastor kepala paroki, dan dalam kebersamaan
pelayanan dengan rekan-rekan umat yang terlibat dalam reksa pastoral umat.
Dalam bingkai kebersamaan antara pastor rekan dan pastor kepala paroki dalam
reksa pastoral, Pasal 7.c memberikan petunjuk khusus kepada pastor rekan dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya sehari-hari dalam kepemimpinan umat. Tugas-tugas itu harus
dilaksanakannya secara aktif sebagai pelaksanaan kharisma tahbisan imamatnya. Di sini, di
satu sisi pastor rekan tetap dipandang sebagai rekan kerja dalam koordinasi dengan pastor
kepala paroki. Di sisi lain, ia tetap dihargai sebagai subjek tersendiri penerima kharisma
tahbisan imamat, yang mengemban tugas penggembalaan umat dalam kolegialitas dengan
rekan-rekan imam di bawah kepemimpinan uskup. Dikatakan: Pastor Rekan, dengan
kharisma tahbisan imamatnya, aktif berperan serta memimpin dan menggembalakan umat,
di bawah kepemimpinan Pastor Kepala Paroki. Dalam semangat persaudaraan dan tanggung
jawab ia wajib mengkomunikasikan tugas-tugasnya kepada Pastor Kepala Paroki.
Sifat atau hakikat aktif fungsi seorang pastor rekan di paroki menjadi tampak lebih
jelas ketika dalam keadaan tertentu kepemimpinan paroki lowong, atau pastor kepala
paroki terhalang melaksanakan tugas pastoralnya. Pada Pasal 7.d dijelaskan bahwa pastor
rekan bertugas: Melaksanakan tugas kepemimpinan paroki untuk sementara, bila paroki
lowong dan juga bila Pastor Kepala Paroki terhalang untuk melakukan tugas pastoralnya,
sebelum diangkat Administrator Paroki. Bila ada beberapa Pastor Rekan, tugas
kepemimpinan dilaksanakan oleh yang terdahulu pengangkatannya.
Akhirnya, Pedoman Dasar 2012 Pasal 7.e berbicara tentang pastor rekan yang tidak
biasa, yang disebut pastor rekan asistensial. Di satu sisi ia menjalankan fungsi atau tugas
tertentu pastor rekan. Di sisi lain ia mempunyai tugas perutusan lain yang lebih utama, di
luar tugas teritorial di paroki. Dikatakan: Dimungkinkan adanya pastor rekan asistensial,
yang karena SK penugasan khusus dari Uskup, bukan pertama-tama berfungsi teritorial
sebagaimana umumnya Pastor Rekan, namun karena tinggal di paroki tertentu selama
menjalankan tugas yang bersifat non-parokial. Di sini, pastor rekan tersebut bertugas
sebagai pastor rekan secara asistensial atau sebagai bentuk bantuan belaka karena ia
tinggal di paroki tertentu itu selama menjalankan tugas yang bersifat non-parokial, bukan
karena pertama-tama bertugas sebagai seorang pastor rekan di paroki yang bersangkutan.
5. Katekis Paroki
Selain Pastor Rekan, Pedoman Dasar 2012 juga berbicara tentang Katekis Paroki
sebagai rekan kerja Pastor Kepala Paroki. Tentang Katekis Paroki terdapat rujukan pada
Pedoman Dasar 2012 Bab I Pasal 2d, yang mendefinisikan katekis, dan Bab III yang
membahas katekis paroki dalam 4 pasal, masing-masing berbicara tentang hakikat katekis,
tugas dan tanggung jawab katekis, pembinaan katekis, serta sistem penggajian.
Bab I Pasal 2d mengatakan: Katekis adalah orang yang mempunyai latar belakang
pendidikan pastoral kateketik yang memperoleh misio kanonika untuk diutus mengabdikan
diri secara purna waktu pada Gereja setempat di mana dia diutus. Selanjutnya, formula
yang kurang lebih sama diulang dalam Pedoman Dasar Bab III Pasal 9 tentang Hakikat
Katekis Paroki. Dikatakan: Katekis adalah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan
pastoral kateketik yang memperoleh perutusan resmi Gerejani (misio kanonika) untuk
diutus mengabdikan diri secara purna waktu pada Gereja setempat di mana dia diutus.
Pada ungkapan purna waktu pada Pasal 9 terdapat catatan kaki, bahwa selain
Katekis purna waktu, sebagaimana diatur dalam Pedoman ini, dikenal juga istilah katekis
volunter. Keberadaan katekis volunter diatur dalam Pedoman Rumah Tangga Paroki. Di luar
catatan tentang katekis volunter yang diatur dalam Pedoman Rumah Tangga Paroki,
Pedoman Dasar 2012 tidak memberikan penjelasan lain tentang katekis volunter ini,
termasuk tentang definisinya. Dengan demikian, untuk selanjutnya uraian tentang katekis
pada Pedoman Dasar 2012 pada dasarnya dimaksudkan untuk katekis purna waktu, yaitu
katekis yang mengabdikan diri pada Gereja setempat secara purna waktu atau full time.
Katekis sendiri pada dasarnya memiliki tempat penting dan khas dalam mewujudkan
hakikat Gereja yang bersifat misioner. Hal ini tampak dari KHK 1983 Kan. 785 - 1 yang
berbicara tentang pentingnya partisipasi katekis dalam karya misi Gereja. Dikatakan: Dalam
menjalankan karya misi hendaknya dilibatkan katekis-katekis, yakni umat beriman kristiani
awam yang dibina dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan kristiani; di bawah
bimbingan seorang misionaris, mereka itu membaktikan diri untuk menyampaikan ajaran
Injil serta mengatur pelaksanaan-pelaksanaan liturgi dan karya amal kasih.
Pada kanon di atas disebutkan unsur identitas katekis yang tidak disinggung oleh
Pedoman Dasar 2012, namun kiranya diandaikan. Unsur identitas khas katekis tersebut
adalah bahwa ia merupakan umat beriman kristiani awam. Kemudian, jika Pedoman Dasar
2012 Pasal 2d dan Pasal 9 menyatakan bahwa katekis adalah orang yang mempunyai latar
belakang pendidikan pastoral kateketik, maka Kan. 785 - 1 menggarisbawahi isi
pendidikan yang perlu diberikan, yaitu bahwa mereka dibekali dengan semestinya dan
unggul dalam kehidupan kristiani. Dengan kata lain, pendidikan yang dimaksudkan bukan
hanya suatu pendidikan keilmuan saja, tetapi harus disertai pembentukan pribadi yang
unggul dalam kehidupan kristiani. Karena pentingnya pendidikan katekis, Kan. 785 - 2
menghendaki keseriusan dalam mempersiapkan para calon katekis melalui pendidikan
formal atau sekurang-kurangnya terstruktur, dan diberikan oleh orang-orang yang
berpengalaman. Dikatakan: Hendaknya katekis-katekis dibina di sekolah-sekolah untuk
maksud tersebut atau, kalau tidak ada, dibimbing oleh para misionaris.
Unsur kedua pada Pedoman Dasar 2012, yaitu adanya missio canonica (perutusan
yang sah secara kanonik) dari otoritas Gereja setempat, merupakan unsur formal, yang
membuat seorang yang memiliki kompetensi sebagai katekis dapat secara sah atau resmi
menjalankan tugas dan fungsi katekis di suatu wilayah tertentu atau berkenaan dengan
sekelompok umat tertentu. Missio canonica sendiri dalam Lumen Gentium art. 24 disebut
dalam rangka missio canonica yang diterima oleh uskup untuk dapat menjalankan tugas-
tugas seorang uskup. Missio canonica ini diperoleh oleh uskup entah melalui adat-kebiasaan
setempat yang sah dan yang tidak dicabut oleh Paus, atau seturut ketentuan hukum yang
ditetapkan oleh Paus, atau secara langsung ia diangkat sebagai uskup oleh Paus dan dengan
demikian memperoleh missio canonica tersebut. Hanya dengan persetujuan Paus seorang
uskup dapat menjabat sebagai uskup. Jika sekarang pengertian tentang otoritas asal yang
memberikan missio canonica ini diterapkan dalam konteks pastoral Gereja setempat atau
keuskupan seturut Pedoman Dasar 2012, maka missio canonica atau penugasan resmi ini
diterima oleh katekis dari uskup, atau sesuai dengan ketentuan yang disetujui oleh uskup.
Pedoman Dasar 2012 Pasal 9 mengatakan bahwa missio canonica atau tugas resmi
Gereja bagi katekis berkaitan dengan perutusan purna waktu. Dengan penjelasan tentang
waktu kerja yang bersifat purna atau penuh ini, tampak bahwa tugas atau pekerjaan katekis
bukanlah tugas atau pekerjaan sampingan, melainkan tugasnya yang khas dan utama, yang
harus menjadi prioritas dalam pengaturan waktu kerja. Dengan pengaturan ini, katekis
dapat mencurahkan perhatian lebih penuh pada tugas-tugas pengembangan misi Gereja.
Secara teknis, tugas yang mengikat katekis, yang menyangkut seluruh waktu kerja,
berimplikasi pada kedudukan katekis sebagai pegawai purna waktu dalam pengelolaan
karya Gereja. Setidaknya ini tercermin dari Pedoman Dasar 2012 Pasal 12, yang berbicara
tentang sistem penggajian: Sistem penggajian para Katekis diatur oleh aturan kepegawaian
paroki masing-masing, dalam koordinasi dengan keuskupan. ketentuan bahwa penggajian
bagi para katekis dilaksanakan mengikuti aturan kepegawaian paroki masing-masing
menyiratkan adanya sikap menyesuaikan terhadap situasi dan kondisi serta rincian tugas
katekis, yang bisa berbeda antara paroki yang satu dengan yang lain. Sementara di sisi lain,
sistem penggajian tersebut merupakan sistem yang terbuka terhadap peran serta
keuskupan entah untuk mengetahui atau menyetujui, karena itu dikehendaki agar sistem
penggajian di paroki-paroki tersebut dilaksanakan dalam koordinasi dengan keuskupan.
Pedoman Dasar 2012 Pasal 9 mengatakan bahwa, dengan missio canonica atau
perutusan resmi Gereja, katekis diutus mengabdikan diri secara purna waktu pada Gereja
setempat di mana dia diutus. Selain berkenaan dengan sifat resmi perutusan katekis dan
purna waktunya masa kerja, di sini terungkap kekhasan, partikularitas atau lokalitas
perutusan katekis, yang dinyatakan dengan kata-kata pada Gereja setempat di mana dia
diutus. Jadi katekis tidak diutus untuk suatu tugas yang tidak jelas tempat atau sasaran
perutusannya, atau bisa berpindah secara bebas atau berkarya di luar tempat perutusan.
Sebaliknya, ada wilayah tertentu tempat ia harus menjalankan tugas perutusannya, dan
dalam kerangka pembahasan kita di sini, tempat tersebut adalah paroki tempat ia diutus.
Dengan jelas lingkup tugas perutusan ini terefleksi dalam Pedoman Dasar 2012 Pasal 10.2
yang mengatakan: Katekis mendapat tugas perutusan dalam lingkup karya pastoral paroki.
Meskipun karya pastoralnya berada dalam lingkup paroki, karya katekis tidak bisa
dipisahkan dari gerak pastoral keuskupan secara keseluruhan. Malahan katekis paroki harus
melaksanakan perutusannya dalam kerangka pelayanan pastoral Keuskupan Surabaya. Pada
Pasal 10.3 dikatakan: Tugas dan karya dilaksanakan dan dihayati dalam kerangka pastoral
Keuskupan Surabaya. Semua gerak langkah pastoralnya terbuka terhadap dinamika hidup
Gereja communio Keuskupan Surabaya seutuh-utuhnya. Dengan demikian cita-cita
bersama Keuskupan Surabaya dan dinamika umat di keuskupan yang berlangsung untuk
mewujudkannya juga merupakan bagian dari perutusan dan pergulatan hidup katekis.
Bab III sendiri, yang membahas berbagai aspek Katekis Paroki, disertai dengan
ssebuah catatan kaki yang berbicara tentang sistem administrasi katekis yang pernah
berlaku di Keuskupan Surabaya, namun sejak tahun 2004 mengalami perubahan. Dikatakan:
Selama ini kita juga mengenal istilah Katekis Keuskupan dan Katekis Paroki, namun sejak
tahun 2004, tidak lagi diangkat dan digunakan istilah Katekis Keuskupan. Maka sejak saat itu
tidak ada lagi istilah Katekis Keuskupan. Pengangkatan Katekis diatur oleh kebijakan paroki
masing-masing, setelah berkoordinasi dengan Keuskupan.
Dalam konteks di atas, istilah Katekis Keuskupan, yang berlaku sampai 2004, dan
Katekis Paroki, yang sekarang tetap berlaku, pertama-tama dikaitkan dengan induk
kepegawaian katekis yang bersangkutan. Namun selain itu, sebutan ini juga berkaitan
dengan pola pengutusannya. Seseorang disebut katekis keuskupan bila diangkat sebagai
pegawai melalui SK pengangkatan keuskupan, status kepegawaiannya berinduk pada sistem
kepegawaian keuskupan, dan perutusannya secara prinsip ditentukan oleh keuskupan.
Dengan cara yang sama, seseorang disebut katekis paroki bila ia diangkat sebagai pegawai
melalui SK pengangkatan oleh paroki, status kepegawaiannya berinduk pada paroki, dan
perutusannya ditentukan oleh pastor kepala paroki. Dengan demikian, berkenaan dengan
katekis paroki seperti diatur dalam Pedoman Dasar 2012, jelas bahwa pengangkatannya,
sistem kepegawaiannya dan perutusannya diatur di tingkat paroki, meskipun missio
canonica atau perutusan resminya di paroki tetap berinduk pada wewenang yang dimiliki
oleh uskup, dan diperoleh sesuai dengan ketentuan yang disetujui oleh uskup.
Selanjutnya Pasal 10.1 berbicara tentang tugas dan tanggung jawab katekis paroki.
Dikatakan: Tugas Katekis adalah mengembangkan iman umat dalam hidup menggereja
melalui pengajaran, pendampingan dan kesaksian hidup kristiani, sehingga iman umat
menjadi hidup, disadari dan penuh daya (bdk. KHK 1983 Kan. 773). Juga tugas-tugas lain
yang diberikan oleh Pastor Kepala Paroki. Sementara dalam pelaksanaan tugasnya, yang
berada dalam lingkup paroki sesuai Pasal 10.2, Pasal 10.4 berkata: Para Katekis
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Pastor Kepala Paroki.
Sebagai seorang yang diutus secara resmi oleh Gereja untuk ikut serta dalam karya
pastoral paroki, secara umum katekis melaksanakan tugas pengajaran dan pendampingan
umat, serta memberi kesaksian hidup kristiani. Namun demikian masih ditambahkan tugas-
tugas lain yang diberikan oleh Pastor Kepala Paroki. KHK 1983 Kan. 785 - 1 sendiri
menyebut bahwa para katekis dalam hidupnya membaktikan diri untuk menyampaikan
ajaran Injil serta mengatur pelaksanaan-pelaksanaan liturgi dan karya amal kasih.
Dari sini tampak bahwa meskipun poros tugas katekis terletak di bidang pewartaan
Injil, namun pada dasarnya keterlibatan katekis dalam karya pastoral Gereja di paroki
bersifat terbuka terhadap aneka macam tugas demi pengembangan umat. Aneka macam
tugas tersebut kerap dikenal dengan istilah panca tugas Gereja, yang meliputi bidang
pewartaan Injil (kerygma), peribadatan (liturgia), karya amal kasih (diakonia), serta
kesaksian hidup (martyria), yang secara keseluruhan terarah pada pembangunan
persekutuan umat (koinonia), sehingga iman umat menjadi hidup, disadari dan penuh
daya. Dalam hal ini, adanya pengarahan pastor kepala paroki, koordinasi dengannya dan
pertanggungjawaban tugas kepadanya tentu akan membantu katekis melaksanakan
berbagai tugas yang menyangkut seluruh umat tersebut.
Bagi suatu paroki, adanya katekis paroki yang handal di dalam karya dan unggul di
dalam kehidupan kristiani tentu merupakan salah satu unsur vital bagi kehidupan paroki dan
pengembangan umat, khususnya jika visi tentang Gereja yang misioner dijadikan sebagai
sebuah pilihan. Sebagai tenaga profesional yang bertugas di paroki secara purna waktu dan
tidak dipengaruhi oleh terjadinya pergantian periode kepengurusan dewan pastoral paroki
ataupun pergantian penugasan pastor paroki, khususnya jika diangkat sebagai pegawai
tetap paroki, seorang katekis paroki praktis akan menjadi tenaga paling lama berkarya di
paroki, dan dengan demikian dapat banyak berkontribusi bagi pengembangan paroki.
7. Asisten Imam
Selain katekis paroki, yang bertugas di bidang pewartaan Injil namun terbuka pula
pada berbagai tugas Gereja yang lain, Pedoman Dasar 2012 juga berbicara tentang asisten
imam, yang turut membantu pastor paroki dalam karya pastoral, khususnya di bidang
liturgi atau peribadatan. Tentang asisten imam terdapat rujukan pada Pedoman Dasar 2012
Bab VIII. Pada bab ini, asisten imam dibahas bersama dengan organisasi dan perkumpulan
Katolik, wakil biara atau komunitas, reksa pastoral teritorial dan reksa pastoral kategorial
serta keselarasan di antara kedua jenis reksa pastoral tersebut di paroki. Pada bab ini,
pembahasan tentang asisten imam berada di tempat terakhir, pada Pasal 32. Pasal ini
terbagi dalam 5 (lima) butir, masing-masing membahas proses pengangkatan dan
pengusulan (Pasal 32.1), tugas-tugas (Pasal 32.2), lingkup waktu dan ruang pelayanan (Pasal
32.3), upacara pelantikan (Pasal 32.4), serta pembinaan asisten imam (Pasal 43.5).
Pedoman Dasar 2012 sendiri tidak memberikan definisi tentang asisten imam, baik
pada Bab I yang memuat berbagai peristilahan, maupun pada Bab VIII Pasal 32 yang
membahas asisten imam itu sendiri. Meskipun demikian, pengertian tentang asisten imam
kiranya tetap dapat diperoleh dari rincian keterangan Pasal 32 di atas, khususnya berkenaan
dengan proses pengangkatan dan pengusulan serta deskripsi tugas dan lingkup pelayanan.
Selanjutnya Pasal 32.2 berbicara tentang tugas asisten imam. Dikatakan: Tugas
seorang Asisten Imam adalah membantu Pastor paroki dalam hal pelayanan: a. Membagi
komuni dalam perayaan Ekaristi; b. Mengantar komuni pada orang sakit; c. Memimpin
ibadat untuk orang yang meninggal; d. Tugas-tugas lain yang diberikan Pastor paroki,
misalnya: memimpin ibadat sabda. Tampak bahwa tugas-tugas di atas merupakan tugas-
tugas yang berada dalam lingkup peribadatan, termasuk tugas-tugas lain yang diberikan
Pastor paroki, yang dijelaskan dengan contoh misalnya: memimpin ibadat sabda.
Pasal 32.3 berbicara tentang lingkup pelayanan beserta jangka waktunya. Dikatakan:
Lingkup pelayanan Asisten Imam terbatas dalam paroki tempat ia diangkat untuk jangka
waktu 3 tahun. Masa tugas ini dapat diperpanjang untuk satu periode berikutnya.
Meskipun tidak dikatakan secara eksplisit dalam Pedoman Dasar 2012, tetapi secara umum
kiranya dapat disimpulkan bahwa asisten imam yang diusulkan oleh pastor kepala paroki
dan diangkat oleh uskup adalah warga paroki setempat, dan dimaksudkan untuk membantu
kebutuhan pelayanan paroki sebagaimana dikatakan Pasal 32.3. Pasal ini sendiri membatasi
pelayanan asisten imam, dengan menegaskan lingkupnya hanya untuk paroki, atau untuk
warga paroki, tempat ia diangkat. Pembatasan ini sendiri merupakan sesuatu yang lazim
dalam lingkungan Gereja berkenaan dengan tugas-tugas pelayanan. Seperti juga pada
pastor paroki, yang lingkup pelayanannya terbatas dalam paroki tempat ia diangkat.
Pembatasan lain pada Pasal 32.3 di atas berkenaan dengan masa tugas pelayanan
asisten imam, yang berlaku untuk jangka waktu 3 tahun, dan bisa diperpanjang untuk 1
periode berikutnya. Pembatasan ini di satu sisi memberi kemungkinan untuk mengganti
asisten imam yang sudah cukup lama bertugas atau yang terhalang untuk melayani karena
satu dan lain hal, sementara di sisi lain membantu untuk mencari kemungkinan melibatkan
orang-orang baru yang dapat diusulkan untuk menjadi asisten imam.
Selain katekis paroki yang membantu di bidang pewartaan dan asisten imam sebagai
rekan di bidang peribadatan, dalam reksa pastoral paroki juga terdapat Dewan Pastoral
Paroki (DPP), yang membantu pastor paroki dalam menjalankan tugas penggembalaan.
Pedoman Dasar 2012 membahas tema ini pada sejumlah bab, yaitu: Bab IV tentang hakikat,
tujuan, fungsi dan wewenang DPP, Bab V tentang tugas-tugas DPP, Bab VII tentang bidang-
bidang dan seksi-seksi dalam DPP, Bab IX tentang tatakerja DPP, dan Bab X tentang
keanggotaan DPP. Meskipun dalam Pedoman Dasar 2012 bab-bab tersebut terletak tidak
berurutan, namun pada dasarnya merupakan satu bahasan yang utuh tentang DPP.
Selanjutnya, Pasal 13.1 membahas 3 hal terkait dengan DPP. Pertama, tentang
subjeknya, dikatakan bahwa DPP adalah suatu dewan yang terdiri dari pastor paroki
bersama wakil umat. Kedua, tentang urusannya, dikatakan bahwa urusan DPP adalah
penyelenggaraan dan pengembangan karya pelayanan pastoral di paroki. Ketiga, terkait
dengan kegiatannya, DPP memikirkan, memutuskan dan melaksanakan apa yang perlu dan
bermanfaat agar karya pelayanan pastoral tersebut terselenggara dan berkembang.
Kiranya hakikat DPP yang dinyatakan pada Pasal 13.1 ini terkait erat dengan tujuan
DPP, yang dinyatakan pada Pasal 14. Dikatakan: Tujuan pembentukan Dewan Pastoral
Paroki ialah terlaksananya panggilan dan perutusan Umat Allah untuk berpartisipasi secara
aktif dalam hidup dan karya pastoral paroki. Dimensi partisipasi aktif Umat Allah dalam
hidup dan karya pastoral paroki ini terekspresikan dalam pengertian DPP sebagai suatu
kebersamaan, yaitu suatu dewan yang terdiri dari pastor paroki bersama wakil umat.
Demikian pula dimensi partisipatif ini terekspresi di dalam kegiatannya, mulai dari tahap
pemikiran atau perencanaan, pengambilan keputusan serta dalam pelaksanaannya. Dengan
partisipasi dan kebersamaan antara pastor paroki dan para wakil umat ini, diharapkan karya
pelayanan pastoral di paroki dapat terselenggara dan berkembang dengan baik.
Selanjutnya, nilai partisipasi aktif dan kebersamaan di dalam hidup dan karya
pastoral paroki bukanlah suatu nilai yang tertutup peruntukannya bagi para wakil umat yang
tergabung dalam DPP bersama dengan pastor paroki saja. Nilai partisipasi ini terbuka bagi
seluruh umat paroki, seperti dikatakan pada Pasal 13.2, yang menjelaskan definisi kedua
DPP ditinjau dari sisi seluruh umat, yaitu sebagai Persekutuan/komunitas yang mengilhami
segenap umat paroki agar dapat melangkah dalam satu semangat dan keserempakan kerja.
Di sini jelas bahwa keberadaan DPP tidak dapat dilepaskan dari kebersamaan gerak seluruh
umat paroki, dan bukan untuk menjadi semacam inner circle atau klik-klik eksklusif di
sekitar pastor paroki, yang mengendalikan arah paroki dan kegiatan-kegiatannya tanpa
semangat untuk mengilhami dan melibatkan seluruh umat di dalam suatu gerak bersama.
Selanjutnya, Pasal 15.2 berbicara tentang fungsi kedua DPP, yaitu Sebagai dewan
musyawarah dan kerjasama, di mana pastor paroki dan wakil umat memberikan
pertimbangan, penilaian, pendapat dan usulan, dalam rangka membantu Ketua Umum
mengambil keputusan mengenai semua persoalan yang menyangkut seluruh komunitas
paroki. Di sini muncul istilah Ketua Umum, yang jelas mengarah kepada pastor kepala
paroki sesuai dengan Pasal 2b yang menjelaskan definisi pastor kepala paroki, serta Pasal 6a
yang berbicara tentang tugas pastor kepala paroki, yang dengan mandat uskup diserahi
seluruh reksa pastoral paroki. Pastor kepala paroki di sini ditampilkan sebagai ketua umum
DPP secara ex officio, yang karena itu berwenang mengambil keputusan mengenai semua
persoalan yang menyangkut seluruh komunitas paroki.
Berkenaan dengan tugas yang diemban oleh pastor kepala paroki ini, DPP, dalam hal
ini para wakil umat dan pastor paroki yang lain atau disebut pastor rekan, berfungsi
memberikan pertimbangan, penilaian, pendapat dan usulan melalui proses musyawarah
dan dengan semangat kerjasama. Di sini terungkap bahwa meskipun di satu sisi pastor
kepala paroki memiliki wewenang untuk mengambil keputusan mengenai semua persoalan
yang menyangkut paroki sebagai suatu komunitas, namun wewenang itu tidak dijalankan
dengan pertimbangan, penilaian dan pendapatnya sendiri, melainkan dengan menyertakan
pertimbangan, penilaian dan pendapat seluruh komunitas umat, yang terwakili dalam DPP.
Selanjutnya berdasar pada pertimbangan, penilaian dan pendapat itu, mereka memberikan
usulan-usulan demi baiknya penyelenggaraan dan pengembangan karya pelayanan paroki,
yang disampaikan dalam semangat dan suasana musyawarah dan kerjasama.
Dalam kerangka musyawarah dan kerjasama di atas, pasal selanjutnya, Pasal 16,
kiranya dapat lebih dipahami maksudnya. Dikatakan: Dewan Pastoral Paroki memiliki suara
konsultatif. Ungkapan ini mengandung pengertian afirmatif, bahwa dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut komunitas paroki, DPP memiliki suara yang bersifat konsultatif,
yang selayaknya didengarkan oleh pastor kepala paroki, meskipun pastor kepala paroki
berwewenang mengambil keputusan yang terkait dengan paroki dan pelayanan umat.
Berkenaan dengan sifat konsultatif suara DPP ini, KHK 1983 Kan. 563 - 2 telah
menyatakan: Dewan pastoral (paroki) mempunyai suara konsultatif saja dan diatur oleh
norma-norma yang ditentukan Uskup diosesan. Dalam dirinya, pernyataan ini kiranya lebih
merupakan penegasan bahwa pertama-tama wewenang di dalam pengambilan keputusan
dimiliki oleh pastor kepala paroki. Namun Pedoman Dasar 2012 sendiri memberi catatan
terhadap Pasal 16, dengan merujuk pada KHK 1983 Kan. 212 - 3, yang merupakan
semangat di balik norma suara konsultatif di atas, yaitu adanya kewajiban kaum beriman
kristiani untuk memberi nasihat atau usul dan saran kepada para gembala mereka,
berdasarkan sakramen baptis dan penguatan yang telah mereka terima.
Dengan demikian, proses konsultatif atau masukan dari kaum beriman di dalam DPP
dikehendaki bukan karena mereka ahli atau mengetahui sesuatu lebih baik saja,
melainkan terlebih karena alasan yang bersifat teologis. Yaitu karena kaum awam berkat
sakramen Baptis dipanggil pula untuk ambil bagian dalam kehidupan Gereja di mana mereka
tinggal dan menjadi bagian. Alasan ini pula yang selanjutnya mendasari kewajiban dan hak
pastor kepala paroki sebagai gembala untuk meminta nasihat kepada mereka di dalam
dewan. Dalam catatan kaki itu landasan teologis tersebut digarisbawahi demikian: Oleh
karena itu, keputusan-keputusan, sekurang-kurangnya mengenai hal-hal penting bagi
kehidupan komunitas gereja, tidak seharusnya diambil atau dibuat sendiri oleh Gembala,
tanpa meminta pendapat kaum beriman. Dan benar juga bahwa keputusan-keputusan,
kendatipun keputusan yang diambil sendiri oleh Gembala mempunyai keabsahannya, tetapi
hal itu berarti bahwa penerimaan Sakramen dari kaum beriman tidak teraktualisasi.
Pada akhirnya, Bab IV tentang hakikat, tujuan, fungsi dan wewenang DPP ditutup
dengan Pasal 17. Dikatakan: Wewenang atau kompetensi Dewan Pastoral adalah karya
pastoral. Pasal ini disertai catatan kaki: Karya Pastoral merupakan kegiatan yang
dilaksanakan untuk mengembangkan communio atau persaudaraan dan misi Gereja. Jadi
obyek wewenang DPP adalah semua hal yang berkaitan dengan pengorganisasian/planning
pastoral, mengenal dan menentukan garis-garis penting dan membuat program-program
berdasarkan hasil studi tentang apa saja yang berkaitan dengan karya pastoral.
Sebelumnya, Pedoman Dasar 2012 Pasal 2, yang membahas perangkat gerejawi, juga
memberikan definisi tersendiri tentang DPP. Definisi tersebut dapat melengkapi
pembahasan tentang wewenang atau kompetensi DPP di bidang karya pastoral yang kita
lakukan pada bagian ini. Pada Pasal 2e dikatakan: Dewan Pastoral Paroki adalah dewan di
mana Pastor Paroki dan para wakil umat memikirkan, memutuskan dan mengupayakan
bersama-sama semua yang berkaitan dengan kehidupan iman umat serta pelaksanaan
panggilan dan tugas untuk menguduskan, mewartakan, dan menggembalakan umat lewat
pancatugas Gereja, yakni Liturgia, Diakonia, Kerygma, Koinonia, Martyria. Definisi ini
kiranya memperjelas hal-hal yang menjadi urusan DPP, yaitu semua hal yang berkaitan
dengan kehidupan umat serta pelaksanaan panggilan dan tugas menguduskan, mewartakan
dan menggembalakan mereka, yang diwujudkan lewat pancatugas Gereja.
Dengan penjabaran ini tampak pula bahwa lingkup perhatian DPP pada dasarnya
menyangkut keseluruhan aspek pastoral yang berkaitan dengan paroki. Dalam kerangka ini,
dan juga jika melihat uraian sebelumnya tentang hakikat, tujuan dan fungsinya, DPP tidak
cukup dimengerti sebagai suatu dewan musyawarah saja, yang berkumpul untuk proses
konsultasi belaka, melainkan juga sekaligus suatu dewan kerja yang mengurus berbagai
macam kebutuhan umat, meskipun dalam hal pengambilan keputusan suara DPP bersifat
konsultatif, karena kewenangan akhir di dalam pengambilan keputusan ada pada pastor
kepala paroki. Pemahaman ini sesuai dengan ungkapan yang digunakan pada Pasal 15.2
tentang DPP, yang terdiri dari pastor paroki dan para wakil umat, yang pada dasarnya
merupakan suatu dewan musyawarah dan kerjasama. Sebagai suatu dewan musyawarah
dan kerjasama dan sebagai wadah yang bersifat struktural dan fungsional, DPP, yang terdiri
dari pastor paroki dan wakil umat, secara utuh dan menyeluruh memikirkan, memutuskan,
dan melaksanakan apa yang perlu dan bermanfaat bagi karya pastoral umat di paroki.
Lebih jauh, pemahaman tentang DPP sebagai suatu dewan musyawarah dan
kerjasama yang mengurus berbagai aspek karya pastoral di paroki tampak lebih jelas
penjabarannya dalam bab-bab selanjutnya yang membahas tentang DPP di dalam Pedoman
Dasar 2012. Bab-bab tersebut adalah Bab V tentang tugas-tugas DPP, Bab VII tentang
bidang-bidang dan seksi-seksi dalam DPP, serta Bab IX tentang tata kerja DPP.
Bab V berbicara tentang tugas-tugas DPP, yang dibahas di dalam 4 pasal. Pasal 18
berbicara tentang tugas utama DPP, Pasal 19 berbicara mengenai tugas DPP Harian, Pasal 20
membahas tugas DPP Inti, dan Pasal 21 berbicara mengenai tugas DPP Pleno. Tampak
bahwa pada bab ini muncul istilah-istilah baru, khususnya berkenaan dengan tingkat-tingkat
kepengurusan di dalam DPP, yaitu DPP Harian, DPP Inti dan DPP Pleno. Istilah-istilah ini
sendiri sudah dijelaskan di Pasal 2, yang membahas berbagai istilah berkenaan dengan
perangkat-perangkat gerejawi. Namun sebelum membahas DPP dalam berbagai
tingkatannya ini, lebih dahulu perlu dibahas tugas utama DPP, bersumber pada Pasal 18.
Pasal 18 sendiri merumuskan tugas utama DPP di dalam 3 butir. Butir pertama
berbicara tentang tugas DPP pada tahap kajian, untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan
praktis mengenai karya pastoral. Butir kedua berbicara tentang tugas DPP pada tahap
perencanaan atau penetapan hal-hal yang harus dilaksanakan. Butir ketiga berbicara
tentang tugas DPP pada tahap pelaksanaan rencana-rencana. Secara keseluruhan dikatakan:
Tugas utama Dewan Pastoral Paroki adalah: 1. Mempelajari, dan mempertimbangkan apa
yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas pastoral dan mengajukan kesimpulan-kesimpulan
praktis mengenai karya pastoral tersebut. 2. Di bawah kepemimpinan Pastor paroki,
menetapkan hal-hal yang harus dilaksanakan dalam karya pastoral paroki. 3. Secara konkrit
tugas tersebut dilaksanakan dengan: a. Merencanakan dan melaksanakan serta
mengevaluasi program kerja. b. Menjaga kesinambungan dan keberlanjutan program kerja.
c. Dalam semangat persekutuan, mewujudnyatakan arah gerak dan kebijakan keuskupan.
Terakhir yang tidak kalah penting, DPP bertugas menjaga semangat persekutuan di
tingkat keuskupan, agar dinamika kehidupan umat dan kegiatan paroki searah dengan
kebijakan keuskupan dan segerak dengan berbagai komponen pastoral, baik di tingkat
kevikepan maupun di tingkat keuskupan. Untuk itu, DPP dalam semangat persekutuan perlu
menyertakan kebijakan pastoral keuskupan dalam program kerja paroki.
Selanjutnya, setelah pembahasan tentang tugas utama DPP yang pada dasarnya
bersifat umum, Pedoman Dasar 2012 membahas secara khusus tugas DPP Harian, DPP Inti
dan DPP Pleno, masing-masing pada Pasal 19, 20 dan 21. Untuk membahas tugas-tugas
tersebut, perlu lebih dahulu melihat pengertian DPP dalam ketiga tingkatan tersebut, yang
dibahas pada Pasal 2f, 2g dan 2h, berkenaan dengan perangkat-perangkat gerejawi.
Tentang pengertian DPP Harian, pada Pasal 2f dikatakan: Dewan Pastoral Paroki
Harian adalah badan pengurus paroki yang sehari-hari bertugas dan bertanggung jawab
melaksanakan reksa pastoral umat dalam batas-batas wilayah paroki. Dewan Pastoral
Harian terdiri dari Pastor Kepala Paroki sebagai Ketua Umum, Pastor Rekan sebagai Wakil
Ketua Umum, Sekretaris, Bendahara dan para Ketua DPP (Ketua Bidang). Sementara
tentang pastor rekan sebagai wakil ketua umum ditambahkan catatan kaki bahwa Apabila
ada lebih dari satu orang Pastor Rekan, mereka disebut sebagai Wakil Ketua Umum I, Wakil
Ketua Umum II dan seterusnya, dengan tugas dan wewenang yang sama.
Pada rumusan definisi DPP Harian di atas terdapat 2 hal pokok. Pertama, DPP Harian
dilihat dari segi fungsi atau tugasnya. Kedua, DPP Harian ditinjau dari segi keanggotaannya.
Dari segi fungsi atau tugasnya, DPP Harian merupakan badan pengurus paroki dengan tugas
dan tanggung jawab setiap hari berkenaan dengan reksa pastoral umat paroki. Tugas ini
dalam Pedoman Dasar 2012 dijabarkan lebih lanjut di Pasal 19. Dari segi keanggotaan,
tampak bahwa DPP Harian keanggotaannya paling terbatas, yaitu ketua umum dan wakil
ketua umum, atau pastor kepala paroki dan (para) pastor rekan secara ex officio, sekretaris
dan bendahara, serta para ketua bidang yang menjabat sebagai ketua DPP.
Maksud untuk membangun suatu tata kerja yang lebih teratur dan terstruktur dalam
semangat persekutuan setidaknya tercermin dalam tugas ketua bidang yang diuraikan pada
Pasal 25.6. Menurut Pasal 25.6a, tugas ketua bidang berkenaan dengan tujuan dibentuknya
bidang-bidang adalah: Mengkoordinir, mengkomunikasikan dan mensinkronisasikan
programasi seksi-seksi yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut Pasal 25.6c, tugas ketua
bidang berkenaan dengan pola pastoral berbasis persekutuan di paroki adalah: Dalam
semangat persekutuan membangun komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi dengan para
Ketua Bidang. Tentu yang dimaksud dengan para Ketua Bidang pada pernyataan terakhir
ini adalah para ketua bidang yang lain, sehingga di antara semua ketua bidang terbentuk
satu visi atau pandangan dan satu gerak yang diwujudkan dalam satu persekutuan kerja.
Selain itu, Pasal 25 juga menjabarkan masing-masing bidang pastoral ke dalam seksi-
seksi yang menjadi tanggung jawab bidang. Yang dimaksud dengan seksi sendiri, menurut
Pasal 2j, adalah tim kerja yang dibentuk untuk melaksanakan tugas Dewan Pastoral Paroki
dalam bidang-bidang tertentu dari reksa pastoral umat. Dengan kata lain, seksi-seksi
merupakan penjabaran bidang-bidang ke dalam satuan-satuan tugas atau tim-tim kerja,
yang berfungsi untuk merealisasikan program-program dalam rangka reksa pastoral umat.
Selanjutnya, Pasal 20 Pedoman Dasar 2012 menjabarkan tugas DPP Inti ke dalam 2
butir. Dikatakan: Dewan Pastoral Paroki Inti bertugas: 1. Secara umum mendukung dan
memperkaya wawasan Dewan Pastoral Paroki Harian dalam hal-hal yang membutuhkan
koordinasi seksi, wilayah/stasi, memikirkan dan mengusahakan kerjasama pastoral yang
diperlukan dalam tingkat lingkungan. 2. Mendorong agar perencanaan paroki berjalan baik
di tingkat wilayah/stasi maupun lingkungan.
Di sini terdapat 3 hal berkaitan dengan peran DPP Inti. Pertama, sebagai pendukung
dan pemerkaya wawasan DPP Harian dalam mengambil kebijakan pastoral, berdasarkan
masukan-masukan dari seksi-seksi dan wilayah/stasi. Kedua, yang terkait dengan peran
pertama, sebagai ajang koordinasi dan pembahasan kerja sama yang diperlukan pada
tingkat lingkungan. Peran kedua ini sekaligus menegaskan bahwa kehidupan umat di tingkat
basis, yaitu di lingkungan-lingkungan merupakan kepedulian pokok DPP Inti. Selanjutnya
peran ketiga, terkait dengan yang kedua, DPP Inti menjadi forum melakukan fungsi kontrol
terhadap realisasi rencana-rencana paroki di tingkat wilayah/stasi maupun lingkungan.
Adapun tentang tugas DPP Pleno, Pasal 21 menjabarkannya ke dalam 4 butir tugas.
Dikatakan: Dewan Pastoral Paroki Pleno bertugas: 1. Secara umum, melaksanakan reksa
pastoral terhadap seluruh umat paroki. 2. Berperan serta dalam perencanaan pastoral
paroki dan menjabarkannya dalam kegiatan-kegiatan yang lebih rinci di tingkat lingkungan
dan kelompok kecil umat. 3. Memberikan masukan mengenai kebutuhan konkret umat
paroki. 4. Ikut serta dalam pengusulan nama calon-calon Dewan Pastoral Paroki Harian.
Pasal 21.1 pada dasarnya menyatakan bahwa DPP Pleno berfungsi sebagai wadah
yang mengekspresikan kesatuan dan kebersamaan seluruh umat paroki, yang sehari-harinya
hidup dalam komunitas, organisasi ataupun kelompok kerja yang berbeda-beda.
Kebersamaan itu terwujud di dalam persatuan dengan para gembala yang mendapat tugas
dari uskup untuk penggembalaan paroki. Bersama dengan para pastor paroki, para wakil
umat dalam DPP Pleno ikut ambil bagian dalam tugas penggembalaan uskup tersebut.
Meskipun secara khusus mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab di komunitas
masing-masing, namun sebagai satu dewan mereka secara bersama-sama mengemban
tanggungjawab penggembalaan terhadap seluruh umat paroki.
Selanjutnya, Pasal 21.2 menjabarkan secara lebih khusus tugas DPP Pleno, yaitu
dalam perencanaan pastoral paroki dan dalam penjabarannya di tingkat lingkungan serta
kelompok kecil umat lainnya. Di sini tampak bahwa DPP Pleno berperan terutama di dalam
menjaga kesatuan atau konsistensi antara perencanaan program pastoral di tingkat paroki
di satu sisi dan, di sisi lain, pelaksanaannya dalam kegiatan-kegiatan di tingkat lapangan,
khususnya di lingkungan-lingkungan dan kelompok kecil umat lainnya. Mengingat bahwa
dinamika kehidupan sehari-hari umat paroki terjadi tidak hanya di pusat paroki namun juga
secara masif di lingkungan-lingkungan dan dalam kelompok-kelompok kecil tersebut, maka
fungsi perencanaan, koordinasi dan kontrol atas seluruh karya pastoral paroki oleh DPP
Pleno menjadi salah satu kunci penting. Dalam skala besar untuk seluruh paroki, DPP Pleno
menjadi forum yang menyatukan visi pastoral serta langkah-langkah perwujudannya.
Selanjutnya, Pasal 21.3 menyebutkan bahwa tugas DPP Pleno adalah memberikan
masukan mengenai kebutuhan konkret umat paroki. Kiranya, butir tugas ini berkaitan
dengan keberadaan para pengurus atau wakil umat di tingkat paling bawah atau di akar
rumput, yaitu di stasi, lingkungan, organisasi atau kelompok kategorial dan komunitas biara
serta komunitas karya. Mereka ini diandaikan sehari-hari bersentuhan secara langsung
dengan umat yang banyak dengan situasi beraneka ragam, sehingga mampu memberikan
masukan bagi pelayanan pastoral yang lebih baik berdasarkan kebutuhan umat yang
konkret. Tentulah arah masukan ditujukan pertama-tama kepada pastor paroki, namun
selanjutnya juga kepada DPP Harian dan DPP Inti yang, pada tingkatan masing-masing,
menjalankan tugas penggembalaan umat bersama-sama dengan pastor paroki.
Pasal 21.4 menjelaskan tugas terakhir DPP Pleno, yakni Ikut serta dalam pengusulan
nama calon-calon Dewan Pastoral Paroki Harian. Di sini tidak dibahas seluruh mekanisme
pengusulan dan penentuan pengurus DPP, tetapi yang pokok berkenaan dengan DPP Harian
di luar ketua umum dan wakil ketua umum yang secara ex officio dijabat oleh pastor kepala
paroki dan pastor rekan, yaitu dengan 4 ketua DPP yang sekaligus menjabat sebagai ketua
bidang serta sekretaris dan bendahara, DPP Pleno bertugas memberikan usulan nama-nama
yang dicalonkan kepada pastor paroki. Lepas dari mekanisme atau cara pengusulannya yang
tidak dijelaskan lebih lanjut, usulan nama oleh DPP Pleno tersebut mengungkapkan dimensi
partisipatif umat di dalam reksa pastoral, termasuk dalam menentukan calon pemimpin
yang bersama dengan para pastor paroki akan melayani mereka.
Selain itu, dengan pola berjenjang ini, DPP juga tampil sebagai suatu dewan
musyawarah dan kerjasama, karena di situ para pastor paroki dan para wakil umat
membicarakan paroki secara utuh, membuat keputusan, menyusun perencanaan sekaligus
melaksanakan rencana-rencana tersebut dalam kesatuan visi serta kebersamaan gerak dan
kerja. Meskipun di satu sisi tampak bahwa DPP Harian merupakan bagian paling pokok
dalam struktur kepengurusan DPP, namun tugas-tugas mereka tidak akan berjalan dengan
baik jika tidak menyertakan ataupun tidak didukung oleh para wakil umat yang lain dalam
DPP Inti dan DPP Pleno. Dari pola berjenjang ini tampak pula bahwa struktur dan fungsi-
fungsi dalam DPP secara keseluruhan harus berorientasi pada pelayanan dan kebersamaan.
Pada akhirnya, sesuai dengan Pasal 13.1, keberhasilan DPP dalam pelayanannya,
seturut hakikatnya, diukur dari apakah pastor paroki terdukung dalam melaksanakan apa
yang perlu dan bermanfaat bagi penyelenggaraan dan pengembangan karya pelayanan
pastoral di paroki. Namun selain itu, sesuai dengan Pasal 13.2, keberhasilan itu juga dilihat
dari apakah melalui upaya-upaya DPP segenap umat paroki terilhami agar dapat
melangkah dalam satu semangat dan keserempakan kerja. Dengan kata lain, di sini
communio harus menjadi sisi lain yang dibangun di dalam upaya pelayanan umat. Di sini
pula fungsi DPP ini tampak, dan karena itu dalam reksa pastoral perlu selalu diberdayakan.
Pada Pedoman Dasar 2012 BGKP diatur di dalam beberapa bab. Bab-bab tersebut
adalah: Bab XII, terdiri dari Pasal 46 tentang asas, tujuan dan fungsi BGKP; Bab XIII, terdiri
dari Pasal 47 tentang pengurus dan Pasal 48 tentang kualifikasi; Bab XIV, memuat Pasal 49
tentang tugas dan kewenangan BGKP dan Pasal 50 tentang tugas dan kewenangan pastor
paroki; Bab XV, memuat Pasal 51 tentang suasana kerja dan Pasal 52 tentang pertemuan;
serta Bab XVI, terdiri dari Pasal 53 tentang wewenang perolehan, pengelolaan dan pengalih-
milikan harta benda paroki, Pasal 54 tentang kerjasama dan koordinasi antara DPP dengan
BGKP dan Pasal 55 tentang anggaran belanja dan pertanggungjawaban.
Selain bab-bab tersebut di atas, Pedoman Dasar 2012 juga memuat definisi BGKP,
yang terdapat pada Pasal 2k. Pada pasal tersebut dikatakan: Badan Gereja Katolik Paroki
adalah Dewan Keuangan Paroki yang dibentuk oleh Uskup (bdk. KHK 1983 Kan. 537) di
masing-masing paroki, sebagai badan hukum gerejawi. Meskipun pada pasal ini dikatakan
bahwa BGPK adalah Dewan Keuangan Paroki yang dibentuk oleh Uskup, dalam Pedoman
Dasar 2012 tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang istilah Dewan Keuangan Paroki itu
sendiri. Dengan demikian, pengertian lebih lanjut tentang dewan keuangan paroki dalam
Pedoman Dasar 2012 tidak lain adalah segala hal yang dibahas berkenaan dengan BGKP.
Di sisi lain, pada Pedoman Dasar 2012 Pasal 2k terdapat rujukan pada KHK 1983 Kan.
537, yang berbicara tentang dewan keuangan paroki. Kanon tersebut mengatakan: Di
setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang diatur selain oleh hukum universal juga
oleh norma-norma yang dikeluarkan Uskup diosesan; dan dalam dewan keuangan itu kaum
beriman kristiani yang dipilih menurut norma-norma itu, hendaknya membantu Pastor
Paroki dalam mengelola harta-benda paroki, dengan tetap berlaku ketentuan Kan. 532.
Jadi, secara prinsip, pembentukan dewan keuangan paroki diamanatkan oleh KHK
1983 Kan. 537. Selanjutnya aturan yang menjabarkan dewan itu diserahkan kepada uskup
diosesan, yang diberi wewenang menentukan norma-norma yang diberlakukan di wilayah
keuskupannya. Dalam dewan yang diatur dengan norma-norma diosesan tersebut terdapat
kaum beriman kristiani yang dipilih menurut norma-norma itu, yang bertugas membantu
Pastor Paroki dalam mengelola harta benda paroki. Dengan demikian BGKP, yang didirikan
di paroki-paroki di Keuskupan Surabaya seturut Pedoman Dasar 2012, berfungsi sebagai
dewan keuangan paroki, dan selain pastor kepala paroki sebagai penanggung jawab harta
benda Gereja di paroki, di dalamnya juga terdapat sejumlah kaum awam yang ikut serta
untuk membantu pastor kepala paroki di dalam tanggung jawabnya itu.
Selain itu, Kan. 537 juga merujuk Kan. 532 yang membahas wewenang pastor kepala
paroki (atau dalam KHK 1983 disebut pastor paroki) untuk mewakili badan hukum paroki
serta mengurus harta benda paroki. Dikatakan: Dalam semua urusan yuridis, Pastor Paroki
mewakili badan hukum paroki menurut norma hukum; hendaknya ia mengusahakan agar
harta-benda paroki dikelola menurut norma kanon-kanon 1281-1288. Kan. 1281-1288
sendiri memberikan beberapa norma mengenai pengelolaan harta benda Gereja yang harus
diindahkan oleh para pengelolanya. Dalam hal ini menjadi tugas pastor kepala paroki untuk
mengusahakan agar norma-norma tersebut diikuti dalam pengelolaan harta benda paroki.
Dengan uraian di atas, pembahasan tentang BGKP mendapatkan latar belakang yang
memadai, untuk kembali pada butir-butir dalam Pedoman Dasar 2012. Adapun berkenaan
dengan hal yang paling dasar, pada Pasal 46 dikatakan bahwa Azas Badan Gereja Katolik
Paroki (BGKP) adalah Iman Kristiani yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik, sebagaimana
tercantum dalam Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium Gereja. Tidak ada penjelasan
mengapa tentang BGKP dicantumkan azas, sementara dalam pasal-pasal tentang DPP,
misalnya, tidak ada pencantuman semacam ini. Namun mengingat BGKP adalah badan
hukum gerejawi (Pasal 2k) yang menangani harta benda Gereja bukan hanya secara
internal tetapi juga secara eksternal di hadapan hukum sipil, maka pencantuman azas ini
sesuai dengan kebiasaan dalam penyusunan Anggaran Dasar suatu badan hukum sipil.
Yang perlu diingat adalah bahwa Pedoman Dasar 2012 memuat prinsip-prinsip BGKP
sebagai badan hukum gerejawi dalam lingkup internal Gereja, seperti halnya paroki yang
didirikan secara sah juga merupakan badan hukum gerejawi seturut KHK 1983 Kan. 515 -
3. Namun di hadapan hukum sipil di Indonesia, Keuskupan Agung, Keuskupan, Prefektur,
Paroki, Stasi, Seminari, Badan atau Yayasan (yang merupakan terjemahan dari Kerk en Arm
Bestuur) dan Ordo/Kongregasi Biarawan-biarawati juga termasuk badan hukum yang
diakui berdasarkan surat Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik
tanggal 21 Desember 1966, No. 70/Dd.K/I/A/66 tentang Perintjian Hirarchi Badan-badan
Gereja Roma Katolik. Perincian badan-badan hukum tersebut tersebut disusun berdasarkan
ketentuan hukum kolonial sebagaimana tercantum dalam Staatsblad (Kitab UU) tahun 1927
No. 155, 156 dan 532. Surat tentang 8 badan Gereja Katolik sebagai badan hukum tersebut
kemudian ditindaklanjuti dalam Keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi tanggal 13
Februari 1967, No. Sk/1/Dd.AT/Arg/67 tentang penunjukan Badan-badan Gereja Roma
Katolik sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik.7
Dalam hal ini, BGKP sebagai Badan merupakan terjemahan dari bestuur pada
istilah Kerk en Armbestuur. Sebelum menggunakan nama Badan Gereja Katolik Paroki
(BGKP), nama yang dipakai di paroki-paroki di Keuskupan Surabaya adalah Yayasan
Pengurus Gereja dan Amal (YPGA). Namun setelah terbitnya UU Yayasan No. 16 tahun
2001, nama YPGA oleh Bapak Uskup Mgr. J. Hadiwikarta diubah menjadi BGKP. Penggantian
ini dilakukan agar tujuan YPGA, yang semula merupakan terjemahan Kerk en Armbestuur
dalam hukum kolonial dan yang secara khusus dimaksudkan untuk mengelola harta benda
Gereja, dapat dipertahankan, dan kerancuan pengertian yang timbul karena pengertian
khusus kata Yayasan menurut UU Yayasan No. 16 tahun 2001 dapat dihindari.
Dari 2 tujuan di atas jelas bahwa BGKP diadakan pertama-tama dengan maksud agar
urusan perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja tidak menjadi urusan pastor
7
Sihar Petrus Simbolon, Lembaga Agama Katolik Badan Hukum?, Jakarta, 3 Maret 2016,
diunduh dari http://bimaskatolik.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=338499 pada 7 Mei 2016.
Lihat juga SK Dirjen Agraria dan Transmigrasi 13 Februari 1967 No. Sk/11/Dd.AT/Arg/67 diunduh di
http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Lain/peraturan-direktur-
jenderal-agraria-dan-transmigrasi-nomor-sk1dd-atagr67-tahun-1967-628 pada 8 Mei 2016.
paroki saja, melainkan menjadi urusan bersama seluruh umat, melalui BGKP. Semangat yang
diusung adalah partisipasi umat untuk ikut serta bertanggung jawab dalam hidup Gereja
berdasarkan panggilan sebagai umat beriman kristiani. Juga diharapkan dengan dibentuknya
BGKP, berbagai potensi yang dapat mendukung perekonomian dan pengelolaan harta benda
Gereja serta memandirikan paroki dapat teraktualisasi dan tersalur dengan baik.
Selanjutnya, selain berbicara tentang tujuan, Pasal 46 juga berbicara tentang fungsi
BGKP di dalam 2 butir. Pertama, BGKP berfungsi sebagai badan konsultatif yang membantu
Pastor-paroki dalam membuat kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian dan
pengelolaan harta benda Gereja. Kedua, BGKP berfungsi sebagai wadah struktural dan
fungsional yang membantu Pastor-paroki dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang
perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja.
Tampak bahwa kedua fungsi BGKP terkait langsung dengan tugas pastor kepala
paroki berkenaan dengan bidang perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja yang
ada di paroki. Yang pertama berkaitan dengan pembuatan kebijakan. Dalam hal ini BGKP
berfungsi sebagai badan konsultatif, yang memberikan penilaian, pandangan dan usul serta
saran yang dapat membantu pastor kepala paroki dalam membuat kebijakan. Yang kedua
berkenaan dengan fungsi pelaksanaan tugas tersebut. Di sini BGKP berfungsi sebagai wadah
struktural dan fungsional yang secara langsung membantu pastor kepala paroki dalam
menangani urusan-urusan perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja berdasarkan
ketentuan-ketentuan keuskupan serta kebijakan yang diambil di paroki. Dengan berjalannya
kedua fungsi BGKP di atas, tugas pastor kepala paroki jauh lebih diringankan.
Adapun tugas dan kewenangan BGKP dirinci dalam Bab XIV Pasal 49. Tugas dan
kewenangan tersebut yaitu memberikan masukan kepada pastor paroki tentang
pengelolaan harta benda Gereja, tentang cara dan usaha penggalian dana demi
terwujudnya paroki yang mandiri secara ekonomis, serta tentang kontrak dan terutama
pengalihan milik paroki. Selain itu, BGKP bersama pastor paroki bertugas dan berwenang
membuat anggaran pendapatan dan belanja paroki, memutuskan kebijakan pengelolaan
menyangkut pengelolaan biasa dan luar biasa, serta mengadakan pertemuan rutin
sekurang-kurangnya 2 tahun sekali. BGKP juga bertugas dan berwenang membantu pastor
paroki dalam memeriksa keuangan paroki per bulan, dan dalam mengurus legalitas harta
benda Gereja sesuai dengan tuntutan hukum sipil yang berlaku. BGKP juga bertugas dan
berwenang menetapkan pengambilan uang paroki dari bank dengan ditandatangani oleh
bendahara dan pastor paroki, memeriksa dan menyetujui laporan pertanggungjawaban
keuangan bendahara, serta menginventaris semua harta benda bergerak dan tak bergerak
paroki, yang berharga dan bernilai budaya, dan melaporkannya kepada uskup, serta
menyimpan lembar inventaris lain di dalam arsip paroki.
Rincian ini kemudian dilengkapi dengan rincian tugas dan kewenangan pastor paroki
pada Pasal 50. Sebelumnya ditegaskan bahwa Pastor Paroki sebagai representasi Uskup di
paroki, atas nama Gereja merupakan pengelola utama semua harta benda Gereja.
Selanjutnya tugas dan kewenangan pastor paroki dirinci sebagai berikut: mewakili badan
hukum paroki di hadapan hukum sipil dalam segala perkara yuridis (bdk. Kan. 532);
bertanggungjawab atas urusan perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja kepada
uskup; membuat laporan rutin kepada uskup setiap tahun tentang pengelolaan harta benda
paroki, terutama bila terjadi penambahan atau pengurangan harta milik paroki; meminta
pertimbangan BGKP menyangkut pengelolaan luar biasa keuangan paroki; dan mengadakan
pertemuan rutin bersama dengan BGKP sekurang-kurangnya 2 kali dalam setahun.
Rincian tugas dan kewenangan BGKP dan pastor paroki di atas kiranya memberikan
gambaran tentang berbagai urusan yang menjadi tanggung jawab pastor paroki, di luar
urusan yang terkait langsung dengan tugas peribadatan, pewartaan dan penggembalaan
umat. Sebagai hal yang penting bagi berjalannya kehidupan paroki dan terlaksananya
berbagai tugas pelayanan pastoral umat, urusan perekonomian dan pengelolaan harta
benda Gereja di paroki membutuhkan perhatian yang rutin dan teliti dari pastor paroki. Di
sisi lain, tugas ini juga merupakan tugas umat beriman di paroki berdasarkan panggilan
mereka sebagai orang kristiani, yang disalurkan melalui fungsi-fungsi serta tugas dan
kewenangan BGKP dalam kerjasama dengan pastor paroki, sebagaimana dijabarkan di atas.
Selain berbicara tentang tugas dan kewenangan BGKP, Pedoman Dasar 2012
berbicara pula tentang kepengurusannya pada Bab XIII Pasal 47, serta kualifikasi pengurus
pada bab yang sama Pasal 48. Dalam hal kepengurusan, Pasal 47.1 menentukan bahwa
Kepengurusan BGKP terdiri atas sejumlah umat beriman kristiani sekurang-kurangnya 3
orang terdiri atas seorang ketua, sekretaris dan anggota. Dalam praktiknya di Keuskupan
Surabaya, cukup banyak paroki yang melibatkan lebih banyak umat dalam BGKP, mengingat
bahwa di paroki-paroki umumnya terdapat cukup banyak urusan yang terkait dengan
perekonomian dan pengelolaan harta benda Gereja. Dalam kepengurusan tersebut, Pastor
paroki sebagai gembala utama di paroki yang mendapat kepercayaan dari uskup untuk
menjalankan reksa pastoral di paroki secara ex officio berkedudukan sebagai ketua BGKP.
Selanjutnya, pada Pasal 47.2 dinyatakan bahwa Pengurus BGKP ditetapkan dan
disahkan oleh Uskup atau wakilnya dalam upacara liturgi (bdk. Kan. 492). Di sini terdapat
prinsip bahwa reksa pastoral paroki dan pengelolaan harta benda Gereja di paroki
merupakan wewenang uskup. Maka, seperti halnya para pengurus DPP, para katekis dan
para asisten imam ikut ambil bagian dalam karya uskup di paroki, demikian pula pengurus
BGKP ambil bagian dalam karya yang sama, yang ditetapkan melalui surat pengangkatan
uskup. Penetapan atau pelantikannya dilakukan oleh uskup atau oleh wakilnya.
Sementara itu, pada Pasal 47.2 sendiri terdapat rujukan pada KHK 1983 Kan. 492.
Kanon yang terdiri dari 3 butir paragraf tersebut menyatakan sebagai berikut: - 1. Di
setiap keuskupan hendaknya dibentuk dewan keuangan yang diketuai oleh Uskup diosesan
sendiri atau delegatusnya dan yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang beriman
kristiani, yang sungguh ahli dalam hal ekonomi dan hukum sipil serta sungguh jujur; mereka
diangkat oleh Uskup. - 2. Para anggota dewan keuangan hendaknya diangkat untuk lima
tahun, tetapi sehabis lima tahun itu dapat diangkat untuk lima tahun lagi. - 3. Orang-orang
yang masih mempunyai hubungan darah sampai tingkat ke-empat atau semenda dengan
Uskup tidak diperkenankan menjadi anggota dewan keuangan.
Menilik isinya, Kan. 492 tidak berbicara tentang dewan keuangan paroki, melainkan
dewan keuangan keuskupan. Namun, kanon ini menjadi rujukan bagi Pedoman Dasar 2012
Pasal 47.1 berkenaan dengan jumlah anggota BGKP yang berasal dari umat beriman
kristiani, serta bagi Pasal 47.2 berkenaan dengan pengangkatan oleh uskup (Kan. 492 - 1).
Jika dilihat lebih jauh, Pasal 48, yang berbicara tentang kualifikasi pengurus BGKP,
ternyata juga merujuk pada Kan. 492 ini. Rujukan ini khususnya berkenaan dengan
kompetensi pengurus di bidang ekonomi dan hukum sipil, kejujuran, serta tidak adanya
hubungan darah atau semenda dengan pastor paroki. Sedangkan hal lain pada Pasal 48
lebih terkait dengan penerimaan umat terhadap figur pengurus BGKP. Pasal 48 menyatakan:
Kualifikasi anggota BGKP didasarkan pada: 1. Hidup kristiani yang baik; 2. Diterima oleh
umat; 3. Memiliki kemampuan disiplin ilmu bidang ekonomi dan/atau hukum sipil, atau juga
dianggap mampu; 4. Berdedikasi, jujur dan bertanggung jawab dalam bekerja; dan 5. Tidak
memiliki hubungan darah sampai tingkat ke-empat atau semenda dengan Pastor paroki.
Hal lain yang tak kalah penting bagi BGKP dalam menjalankan tugas dan wewenang,
yaitu tentang suasana kerja dan tentang pertemuan, dibahas dalam Pedoman Dasar 2012
Bab XV pada Pasal 51 dan Pasal 52. Pasal 51 berbunyi: Suasana kerja Badan Gereja Katolik
Paroki didasarkan pada: 1. Semangat melayani, mengutamakan kepentingan umum dari
pada diri sendiri; 2. Semangat kekeluargaan atas dasar cinta kasih dan persaudaraan
kristiani; dan 3. Semangat musyawarah dalam kebersamaan sebagai Umat Allah.
Sedangkan Pasal 52 berbunyi: 1. Pertemuan diadakan sekurang-kurangnya dua kali dalam
setahun atas undangan Pastor Kepala Paroki sebagai Ketua Badan Gereja Katolik Paroki; 2.
Pertemuan dipimpin oleh Pastor paroki atau seorang anggota yang mendapatkan delegasi.
Pedoman Dasar 2012 tidak menjelaskan alasan mengapa jumlah pertemuan BGKP
hendaknya diadakan sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Namun dapat diandaikan
bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar setidak-tidaknya tugas dan
kewenangan BGKP dapat terlaksana dengan baik, antara lain melalui adanya pertemuan
BGKP bersama dengan pastor paroki dan dipimpin olehnya, atau oleh anggota yang
ditunjuknya. Dengan adanya pertemuan semacam ini, hal-hal yang secara rutin perlu
dilaporkan dan dievaluasi maupun hal-hal penting lainnya dapat terperhatikan dengan baik,
dan hal-hal yang merugikan paroki dapat dihindari, entah yang berkenaan dengan harta
benda Gereja itu sendiri ataupun berkenaan dengan pelayanan pastoral umat paroki.
Kemudian hal yang tidak kalah pentingnya bagi BGKP dalam menjalankan tugas dan
wewenang dalam membantu pastor paroki adalah adanya suasana kerja yang mendukung.
Suasana yang dikehendaki, yaitu suasana yang mengedepankan semangat pelayanan untuk
kepentingan umum, semangat kekeluargaan atas dasar cinta kasih kristiani dan semangat
musyawarah dalam kebersamaan, kiranya penting untuk dijaga dan dikembangkan. Suasana
semacam ini, jika tercipta dengan baik, akan berakibat baik bukan hanya bagi BGKP atau
pastor paroki itu sendiri, melainkan bagi seluruh umat paroki yang dilayani.
Terakhir, pada Bab XVI, Pedoman Dasar 2012 membahas koordinasi antara DPP dan
BGKP. Pembahasan ini terdapat pada Pasal 54 dan 55. Namun sebelum itu, pada Pasal 53
ditegaskan adanya hak asli Gereja serta wewenangnya dalam perolehan, pengelolaan dan
pengalih-milikan atas harta benda paroki. Wewenang ini dilaksanakan melalui BGKP. Pasal
tersebut selengkapnya berbunyi: Hal memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih-
milikkan harta benda paroki merupakan hak asli dan wewenang Gereja saja, yang
diselenggarakan oleh Badan Gereja Katolik Paroki (bdk. Kan. 1254, 537, 1280).
Dari antara kanon-kanon yang dirujuk pada Pasal 53, Kan. 537 adalah kanon yang
berbicara tentang pembentukan dewan keuangan paroki, jika dipandang perlu oleh uskup
diosesan, yang sebelumnya sudah sempat dirujuk. Kan. 1280 berbicara tentang perlunya
setiap badan hukum mempunyai dewan keuangan atau sekurang-kurangnya 2 penasihat.
Kan. 1254 berbicara tentang hak asli (iure nativo) Gereja katolik untuk memperoleh,
memiliki, mengelola dan mengalih-milikkan harta benda untuk mencapai tujuan-tujuannya
yang khas, terutama berkenaan dengan peribadatan, pelaksanaan karya kerasulan dan amal
kasih, serta sustentasi bagi klerus dan pelayan-pelayan lain. Hak ini melekat pada Gereja
sejak awal keberadaanya, dan tidak tergantung pada kuasa sipil. Lalu, dalam konteks harta
benda Gereja di paroki, hak ini dilaksanakan melalui BGKP.
Setelah memberikan penegasan tentang adanya hak asli Gereja dan wewenangnya
tentang harta benda, pada Pasal 54 Pedoman Dasar 2012 berbicara tentang kerjasama dan
koordinasi antara BGKP dan DPP. Selengkapnya pasal ini berbunyi: Untuk mewujudkan
kerjasama dan koordinasi yang baik dengan BGKP demi perencanaan dan pelaksanaan
seluruh kegiatan pastoral paroki: a. Pastor-paroki ex officio menjadi Ketua BGKP paroki; b.
Bendahara dan Sekretaris Dewan Pastoral Paroki ex officio menjadi anggota BGKP paroki; c.
Dewan Pastoral Paroki secara periodik mengadakan pertemuan dengan BGKP.
Di sini tampak adanya kesadaran kuat tentang hubungan tak terpisahkan antara
karya pelayanan pastoral umat dengan pengelolaan harta benda Gereja di paroki. Bahwa
kegiatan pastoral paroki perlu direncanakan, termasuk dalam hal keuangan dan sarana-
prasarananya, dan hal ini mengharuskan adanya kerjasama dan koordinasi antara DPP dan
BGKP. Untuk merealisasi hal itu, Pedoman Dasar 2012 Pasal 54a dan 54b berbicara tentang
kerjasama dan koordinasi dari aspek struktur organisasi DPP dan BGKP, sedangkan Pasal 54c
berbicara tentang kegiatan pendukung agar kerjasama dan koordinasi dapat berjalan baik.
Dalam hal organisasi DPP dan BGKP, ketua umum DPP, yaitu pastor kepala paroki secara ex
officio menjabat Ketua BGKP, demikian pula sekretaris dan bendahara DPP secara ex officio
menjadi anggota BGKP. Kemudian, secara periodik diadakan pertemuan antara organ
pastoral atau DPP dan organ pengelolaan harta benda atau BGKP. Dengan cara ini,
kerjasama dan koordinasi diharapkan dapat berjalan baik demi kebaikan seluruh umat.
Dengan mekanisme ini kerjasama dan koordinasi DPP dan BGKP dalam hal keuangan
dan dalam hal sarana-prasarana penunjang kegiatan pastoral yang menjadi tanggung jawab
DPP tampak semakin jelas. Sekaligus semakin jelas pula bahwa dalam pengelolaan harta
benda Gereja di paroki, di satu sisi tidak terdapat dualisme kepengurusan karena pastor
kepala paroki serta sekretaris dan bendahara DPP secara struktural menjadi bagian DPP
sekaligus BGKP. Sementara di sisi lain urusan-urusan DPP dan BGKP, yaitu hal-hal yang
bersifat murni pastoral dan yang lebih berkenaan dengan harta benda Gereja, yang pada
dasarnya memang berbeda dapat ditangani oleh masing-masing pihak tanpa
mencampuradukkan. Sementara itu, dalam hal-hal lain yang perlu dikoordinasikan, forum
pertemuan rutin menjadi tempat untuk memfasilitasinya.
Dua sisi pengalaman yang bertemu di ruang penggembalaan ini, yaitu partisipasi di
satu sisi dan mandat di sisi lain, membuat paroki menjadi suatu misteri persekutuan
yang mewujud nyata dalam pengalaman perjumpaan. Pastor paroki, yang berarti pastor
kepala paroki dan pastor rekan, hadir untuk melayani, dan seluruh umat ambil bagian dalam
pelayanan itu. Sementara secara simbolik namun sekaligus nyata, partisipasi ini tampak dari
pribadi-pribadi rekan kerja pastor paroki, yakni katekis, asisten imam, dewan pastoral paroki
dan badan gereja Katolik paroki, serta banyak pribadi dalam peran masing-masing.
Kenyataan ini mengungkapkan lebih jauh bahwa di kedalaman iman kristiani akan
Allah yang menyelamatkan, yang menghendaki sebanyak mungkin orang diselamatkan dan
tinggal di dalam persekutuan dengan-Nya, terdapat dinamika konkret persekutuan. Dalam
hal ini paroki menjadi ajang pengalaman yang membawa para warga dan gembala yang
bersekutu ke dalam dimensi batin kehidupan iman, di mana kemanusiaan dengan keindahan
dan kerapuhannya berjumpa dengan kebaikan Allah dan sesama yang menyelamatkan.
Di sisi lain, pengalaman yang sama juga membawa mereka yang terlibat dalam
kebersamaan ke dalam realitas konkret kehidupan yang menghendaki tindakan-tindakan
nyata dan ketulusan. Atau dengan kata lain, dalam pengalaman persekutuan terdapat baik
dimensi batin yang terus diperdalam maupun dimensi lahir yang semakin dimurnikan. Dan
beriman sebagai tindakan yang berasal dari sikap personal semakin diteguhkan justru di
dalam kebersamaan. Entah berperan sebagai imam, religius atau awam, semua orang diutus
untuk meresapkan Injil ke dunia dengan cara sesuai dengan panggilan dan martabat masing-
masing. Dan kebersamaan, dalam hal ini kebersamaan di paroki sebagai bentuk dasar
kehidupan iman dalam Gereja, menjadi ruang perwujudan sekaligus ruang peneguhan.
Menjadi ruang persekutuan sekaligus pusat perutusan.