Anda di halaman 1dari 8

Muhammad Azmi Hakim 1102012170

LI 1. Hemostasis
LO 1.1. Definisi
Hemostasis adalah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan secara spontan. (Setiabudy, R. D. Hemostasis dan Trombosis
ed 4. 2009)

LO 1.2. Sistem
Ada beberapa sistem yang berperan dalam hemostasis yaitu sistem vaskuler trombosit, dan pembekuan darah.
Sistem vaskuler
Peran sistem vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi
trombosit dan pembekuan darah.

LO 1.3. Mekanisme

LO 1.4. Kontrol Hemostasis

LO 1.5. Pemeriksaan Lab

LI 2. Hemofilia
LO 2.1. Definisi
Hemolia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah herediter yang diturunkan secara x-linked recessive dengan frekuensi
sekitar satu kasus dari 10.000 kelahiran. (http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-5-1.pdf)

Hemofilia merupakan suatu penyakit dengan kelainan faal koagulasi yang bersifat herediter dan diturunkan secara X linked
recessive pada hemophilia A dan B ataupun secara autosomal resesif pada hemofilia C. *

LO 2.2. Klasifikasi
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

LO 2.3. Etiologi

Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi atau gangguan fungsi salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia
A serta kelainan faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C. *

Klasifikasi gangguan perdarahan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah platelet normal (nontrombositopeni purpura),
penurunan jumlah platelet (trombositopeni purpura), dan gangguan koagulasi. Nontrombositopeni purpura dapat disebabkan oleh
perubahan pada dinding pembuluh darah akibat sumbatan, infeksi, kimiawi, dan alergi. Penyebab lain adalah gangguan fungsi
platelet akibat defek genetik (Bernard-Soulier disease), obat-obatan (aspirin, NSAIDs, alkohol, antibiotik beta laktam, penisilin,
dan cephalosporin), alergi, penyakit autoimun, von Willebrands disease, dan uremia. Trombositopeni purpura terbagi menjadi
primer/idiopatik dan sekunder. Penyebab sekunder akibat faktor kimia, fisik (radiasi), penyakit-penyakit sistemik, metastase kanker
pada tulang, splenomegali, obat-obatan (alkohol, obat diuretika, estrogen, dan gold salts), vaskulitis, alat pacu jantung, infeksi virus
dan bakteri. Gangguan koagulasi dapat bersifat diturunkan seperti hemofili A, hemofili B dan dapatan (penderita penyakit liver,
defisiensi vitamin, obat-obat antikoagulasi, disseminated intravascular coagulation, dan fibrinogenolisis primer).
(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/gangguan_pendarahan_pada_perawatan_gigi.pdf)

LO 2.4. Epidemiologi
Secara umum, insiden hemofilia pada populasi cukup rendah yaitu sekitar 0,091% dan 85 % nya adalah hemofilia A. Disebutkan
pada sumber lain insiden pada hemofilia A 4-8 kali lebih sering dari hemofilia B. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 dari
penduduk laki-laki yang lahir hidup, tersebar di seluruh dunia tidak tergantung ras, budaya, sosial ekonomi maupun letak geografi.
Insiden hemofilia A di Indonesia belum banyak dilaporkan, sampai pertengahan 2001 disebutkan sebanyak 314 kasus hemofilia A.
Sedangkan insiden hemofilia B diperkirakan 1:25.000 laki-laki lahir hidup. Hemofilia C yang diturunkan secara autosomal resesif
dapat terjadi pada laki-laki maupun pada perempuan, menyerang semua ras dengan insiden terbanyak ras Yahudi Ashkanazi.*

Hemolia A merupakan bentuk terbanyak dijumpai, sekitar 80%-85%.1,2 Klasikasi hemolia bergantung pada kadar faktor
pembekuan dalam plasma, yaitu hemolia berat apabila kadar kurang dari 1%, sedang di antara 1%-5%, dan ringan 5%-30%.1-3
Anak dengan hemofilia berat memiliki risiko mengalami berbagai macam tipe perdarahan baik spontan maupun karena trauma,
dengan jenis perdarahan tersering adalah hemartrosis (70%-80%). Hemartrosis sering berulang dan pada akhirnya dapat
menyebabkan nyeri serta kelumpuhan (artropati). Pasien hemolia berat dapat diobati dengan pemberian konsentrat faktor
pembekuan 2-3 kali per minggu (profilaksis) untuk mencegah timbulnya perdarahan, atau hanya pada saat terjadi perdarahan (on-
demand). Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi prolaksis memberikan keuntungan dalam mencegah perdarahan dan
kerusakan sendi. Kerugian terapi prolaksis adalah diperlukan konsentrat dalam jumlah besar dan biaya yang dibutuhkan
meningkat. Oleh karena itu, pilihan regimen terapi yang digunakan harus disesuaikan dengan fasilitas kesehatan yang ada serta
kondisi pasien dan keluarga. (http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-5-1.pdf)

LO 2.5. Patofisiologi dan Patogenesis


Proses perdarahan terjadi melalui tiga fase yaitu vaskuler, platelet, dan koagulasi. Vaskuler dan platelet merupakan fase primer
sedangkan koagulasi merupakan fase sekunder. Fase koagulasi akan diikuti oleh fase fibrinolitik . Fase vaskuler terjadi sesaat
setelah terjadi trauma sehingga melibatkan vasokonstriksi arteri dan vena, restriksi arteri, dan tekanan ekstravaskuler. Fase platelet
dimulai dengan terjadinya kekakuan platelet dan pembuluh darah, kemudian pembuluh darah akan tersumbat. Proses ini terjadi
beberapa detik setelah fase vaskuler terjadi. Pada fase koagulasi darah akan keluar ke daerah sekitar dan akan membatasi daerah
yang terjadi perdarahan dengan adanya bantuan faktor ekstrinsik dan intrinsik. Waktu yang dibutuhkan pada fase ini lebih lambat
dibandingkan fase sebelumnya. Fase lanjutan adalah fase fibrinolitik yang ditandai dengan adanya pelepasan antithrombotic agent
dan penghancuran limfa serta hati oleh anthrombotic agent.
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/gangguan_pendarahan_pada_perawatan_gigi.pdf)

Faktor VIII adalah protein koagulasi rantai tunggal yang mengatur pengaktifan faktor X melalui protease yang dihasilkan oleh jalur
pembekuan intrinsik. Protein ini disintesa di sel parenkim hati dan beredar dalam bentuk komplek dengan protein faktor von
Willebrand. Hemostasis normal memerlukan aktivitas faktor VIII minimal 25 persen, gejala hemofilia akan timbul bila kadar faktor
VIII fungsional dalam sirkulasi kurang dari 5 persen dan kadar faktor VIII memiliki korelasi erat dengan keparahan klinis penderita.
Untuk dapat menjadi kofaktor yang efektif untuk pembentukan faktor IXa maka faktor VIII harus diaktivasi terlebih dahulu oleh
trombin sehingga membentuk heterotrimer yang terbentuk dari domain A1, A2 dan A3, -C1, -C2. Faktor VIIIa dan faktor IXa yang
menempel pada permukaan platelet akan teraktifasi untuk membentuk komplek fungsional yang akan mengaktifkan faktor X.
Dengan adanya faktor VIII aktif maka kecepatan aktifasi dari faktor X oleh faktor IX aktif akan meningkat secara cepat. Atas dasar
itu kita dapat melihat gambaran klinis yang hamper sama pada hemofili A dan B, dimana faktor VIII dan faktor IX sama-sama
dibutuhkan untuk membentuk Xase complex.17 Mekanisme hemostasis normal dapat terlihat pada gambar 2. Aktivasi jalur intrinsik
melalui kontak antara f XII, dan f XI dengan permukaan benda asing diluar lumen yang melapisi pembuluh darah normal dan ini
akan menghasilkan f XI aktif.

Kaskade koagulasi dan fibrinolysis. *

Faktor XI aktif ini akan mengaktifkan f X dengan bantuan f VIII dan phospholipid. Sedangkan aktivasi jalur ekstrinsik dipicu oleh
faktor jaringan yang kontak dengan darah akibat rusaknya jaringan atau endotil. Faktor VII akan berikatan dengan faktor jaringan
dan akan menjadi faktor VII aktif (VIIa). Komplek ini akan mengaktifkan faktor IX dan X yang diikuti pembentukan trombin dari
protrombin. Trombin yang terbentuk akan merubah fibrinogen menjadi fibrin melalui tiga langkah, awal berupa pembentukan
molekul fibrinopetida A dan B selanjutnya berupa polimerisasi dari fibrin monomer yang terjadi secara spontan sehingga
terbentuklah fibrin polimer (benang fibrin). Langkah terakhir adalah pembentukan fibrin yang kuat, dan ini dilakukan
dengan bantuan faktor XIII. Pada kondisi normal sistem fibrinolitik berada dalam keadaan quiescent (Diam) di dalam sirkulasi,
bagaimana sistem ini dikontrol agar tidak menyebabkan perdarahan abnormal sekaligus dapat berfungsi membersihkan fibrin yang
tidak dibutuhkan, diperkirakan sistem ini ditentukan oleh keseimbangan antara tissue plasminogen aktivator (t-PA) dan plasminogen
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

aktivator inhibitor type 1 (PAI-1). Reaksi fibrinolysis ini melibatkan penghambatan terhadap terjadinya fibrinolisis oleh PAI-1 dan
a2- antiplasmin.
Luasnya variasi interindividual mengenai kadar faktor VIII dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal ini dinyatakan dalam satu studi
penelitian dimana 32 orang pasien dengan hemofili A ( 30 orang dengan gejala klinis berat dan 2 orang dengan gejala klinis ringan
) yang menerima terapi faktor VIII. Secara signifikan waktu paruh faktor VIII dipengaruhi oleh golongan darah, usia, dan kadar
faktor von Willebrand dalam plasma. Golongan darah O berkaitan dengan waktu paruh faktor VIII yang lebih singkat bila
dibandingkan dengan golongan darah A. Semakin tua usia dan semakin tinggi kadar factor vW dalam plasma dihubungkan dengan
waktu paruh faktor VIII yang lebih panjang. Penggunaan beberapa obat dan adanya penyakit hati yang progresif pada penderita
hemophilia ringan, disebutkan sebagai faktor yang dapat menginduksi peningkatan kadar factor VIII dalam darah. Faktor lain yang
secara fisiologis mempengaruhi disebutkan esterogen, kehamilan, latihan dan epinefrin memperpanjang waktu paruh faktor VIII.
Menurut Nichols(1996); Escuriola Ettingshausen(2001); Ettingshausen(2002) adanya variasi manifestasi perdarahan yang timbul
pada penderita hemofilia A, dipengaruhi oleh proses mutasi yang terjadi pada faktor VIII. Menurut Beutler (2001), variasi fenotip
dapat ditemukan pada penderita dengan genotip yang sama pada gangguan hematologi yang berbeda.
Gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan faktor VIII terletak pada gen 28q, terletak pada lengan distal kromosom X,
dengan panjang sekitar 186 kilobase dan menyususn 0,1% DNA pada kromosom X, dengan 26 exon dan 25 intron. Terjadinya
beberapa tipe mutasi yang berbeda pada faktor VIII mempengaruhi berat ringannya manifestasi perdarahan yang timbul. Pada mutasi
titik bisa terjadi perdarahan ringan hingga berat, tergantung pada efek mutasi yang timbul terhadap fungsi gen. Namun pada mutasi
dengan delesi gen hampir selalu terjadi perdarahan yang berat.

LO 2.6. Manifestasi klinik


Manifestasi perdarahan yang timbul bervariasi dari ringan , sedang dan berat. Dapat berupa perdarahan spontan yang berat, kelainan
pada sendi, nyeri menahun, perdarahan pasca trauma atau tindakan medis ekstraksi gigi atau operasi. Tanpa pengobatan sebagian
besar penderita hemofilia meninggal pada masa anak-anak. Manifestasi klinis yang timbul pada hemofilia A dapat mengenai seluruh
sistem tubuh, yaitu terutama muskuloskeletal, sistem saraf pusat, gastrointestinal, dan traktus urinarius. Perdarahan dapat spontan
atau post trauma, timbul usia muda ataupun dewasa. Umumnya menyerang sendi (hemarthrosis) dengan keluhan nyeri sendi
berulang disertai hematom mendominasi perjalanan klinis dan disertai dengan deformitas dan pincang. Perdarahan hebat dapat
terjadi setelah tindakan medis seperti pencabutan gigi, operasi ataupun ruda paksa. Hematuria lebih umum daripada perdarahan
gastrointestinal seperti hematemesis, melena, perdarahan per rectum. Walaupun insidennya sangat kecil, perdarahan intraserebral
spontan terjadi dapat merupakan sebab kematian penting pada pasien dengan manifestasi klinis yang berat.*

Penderita dengan gangguan pembekuan darah akan jelas terlihat pada kulit dan membran mukosa sesaat setelah terjadi trauma
ataupun tindakan invasif lain. Terlihat adanya jaundice, spider angiomas, ecchymosis, dan sedikit tremor saat memegang sesuatu
akan didapatkan pada penderita liver. Kira-kira 50% penderita liver akan mengalami penurunan jumlah platelet oleh karena terjadi
hipersplenisme akibat efek hipertensi portal sehingga didapatkan adanya ptechiae pada kulit dan mukosa.
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/gangguan_pendarahan_pada_perawatan_gigi.pdf)

LO 2.7. Diagnosis
Diagnosis hemofilia ditegakkan berdasar keluhan perdarahan yang khas, adanya riwayat keluarga, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan APTT yang memanjang dan adanya penurunan faktor VIIIC. Diagnosis hemofilia A
dibuat berdasarkan : (i) adanya anggota keluarga dengan riwayat perdarahan yang abnormal, (ii) sifat pewarisan X-linked
recessive (iii) pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan hasil : APTT yang memanjang (iv) penurunan faktor VIII C. *

Riwayat penyakit pasien harus dibuat selengkap mungkin. Pertanyaan-pertanyaan hendaknya disusun secara berurutan dimulai dari
pengalaman-pengalaman pasien terdahulu. Beberapa penyakit gangguan perdarahan dapat diturunkan, sehingga pertanyaan juga
perlu diarahkan ke anggota keluarga yang lain. Pengelompokan pertanyaan dilakukan sesuai dengan jenis-jenis penyakit gangguan
perdarahan yang mungkin dapat terjadi. Adapun pertanyaan tersebut meliputi: apakah ada anggota keluarga yang mengalami
gangguan perdarahan, apakah pernah mengalami perdarahan yang cukup lama setelah dilakukan tindakan pembedaha seperti
operasi dan cabut gigi, apakah pernah terjadi perdarahan yang cukup lama setelah mengalami trauma, apakah sedang meminum
obat-obatan untuk pencegahan gangguan koagulasi atau sakit kronis, riwayat penyakit terdahulu, dan apakah pernah mengalami
perdarahan spontan. Skrining laboratoris perlu dilakukan terutama pemeriksaan PT, aPTT, TT, PFA-100 dan platelet count. Jenis
pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan pengelompokan gangguan perdarahan.
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/gangguan_pendarahan_pada_perawatan_gigi.pdf)

PEMERIKSAAN LABORATORIS
Beberapa pemeriksaan laboratoris yang dilakukan bagi penderita dengan gangguan perdarahan adalah partial thromboplastin time
(PTT), prothrombin time (PT), platelet count, ivy bleeding time, platelet function analyzer 100 (PFA-100), dan thrombin time.
Partial thromboplastin time (PTT) digunakan untuk memeriksa sistem intrinsik (faktor VIII, IX, XI, dan XII) dan jalur utama (faktor
V dan X, protrombin, dan fibrinogen). Tes ini juga merupakan tes terbaik untuk screening gangguan koagulasi. Prothrombine time
digunakan untuk memeriksa jalur ekstrinsik (faktor VII) dan jalur utama (faktor V dan X, prothrombin, dan fibrinogen). Platelet
count digunakan untuk memeriksa penyebab-penyebab gangguan perdarahan akibat trombositopenia. Angka normal platelet count
adalah 140.000- 400.000/mm3 dari keseluruhan jumlah darah. Ivy bleeding time digunakan untuk melihat gangguan fungsi platelet
dan trombositopenia. Platelet function analyzer 100 (FA-100) merupakan pemeriksaan invitro untuk mendeteksi disfungsi platelet.
Trombine time menunjukkan jumlah fibrinogen yang ada di dalam darah.

LO 2.8. Diagnosis banding

Diagnosis banding terdekat hemofilia A adalah hemofilia B dan penyakit von Willebrand (PvW) . Ketiganya sama-sama
mengalami gangguan perdarahan herediter akan tetapi pola pewarisannya berbeda . Hemofilia A dan B diturunkan secara Xlinked,
sedangkan PvW secara autosomal resesif.

LO 2.9. Penatalaksanaan

Penanganan penderita hemofili segera dilakukan sejak diagnosis ditegakkan, berupa terapi secara umum dan khusus. Secara umum
tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup penderita hemofili agar dapat menjalani kehidupan seperti orang normal dengan
batasan-batasan tertentu. Terapi umum ini dapat dilakukan dengan konseling, edukasi dan memanfaatkan semua standar terapi
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

medik yang ideal pada penderita termasuk mempersiapkan pengetahuan yang dimiliki penderita. Penderita dan keluarga harus
diberikan pengetahuan praktis tentang penyakit hemofilia, faktor pencetus perdarahan, komplikasi yang akan timbul dan cara
pencegahannya. Secara khusus, penaganan hemofili ditujukan pada etiologinya yaitu terjadi defisiensi protein koagulasi faktor VIII.
Kriopresipitat merupakan salah satu modalitas terapi untuk hemofilia A, yang dibuat dengan FFP yang dibekukan. Daya tahan
kriopresipitat dapat berbulan-bulan jika disimpan dalam keadaan beku. Keuntungan dalam pemberian kriopresipitat ini dapat
diberikan dalam dosis tinggi tetapi konsentrasi protein yang rendah, volume lebih kecil, dibuat dari donor relatif sedikit sehingga
komponen lain masih bisa digunakan, kerugiannya dapat terjadi bahaya hiperfibrinogenemia. Dosis 1 unit/kg berat badan yang dapat
diulang tiap 18 jam. Modalitas terapi yang lain, yaitu yang diperoleh dari plasma dan dari hasil rekayasa genetik, yaitu rekombinan
faktor VIII (r-f VIII). Ada beberapa keunggulan dari r-f VIII yaitu aman dari penularan virus, menimbulkan antibodi lebih rendah
serta menjanjikan suplai yang tak terbatas, namun kerugiannya harga sangat mahal. *

Pengobatan konsentrat faktor VIII 20 IU/kg (1000 IU) yang diberikan selama dua hari berturut-turut. Dosis diberikan sesuai dengan
protokol terapi di Indonesia maupun di negara lain.14-17 Namun idealnya, pasien mendapatkan transfusi 1000 IU konsentrat faktor
VIII setiap 12 jam, sampai gejala hilang. Pengobatan tidak memungkinkan pada pasien karena dengan ditanggung oleh Askes,
pasien hanya mendapatkan 8 vial (@250 IU) dalam 1 minggu sehingga hanya bisa diberikan 2x1000 IU dalam 1 minggu. Menurut
protokol WFH untuk negara berkembang, jika terdapat perdarahan sendi diberikan konsentrat faktor pembekuan selama 1-2 hari
atau lebih jika respons tidak adekuat. Sedangkan untuk negara maju jika terdapat perdarahan berulang pada sendi, pasien diberikan
konsentrat faktor pembekuan sebagai prolaksis jangka pendek selama 4-8 minggu untuk menghentikan siklus perdarahan, dan
dikombinasikan dengan sioterapi. Disarankan pemberian prolaksis konsentrat faktor pembekuan sebelum beraktivitas yang
berisiko tinggi. Saat ini, protokol yang dianjurkan untuk terapi prolaksis adalah transfusi konsentrat faktor pembekuan 25-40
IU/kg, tiga kali seminggu pada pasien hemofilia A dan dua kali seminggu pada pasien hemolia B.1 Protokol terapi prolaksis
sampai saat ini belum dapat diterapkan di Indonesia, penghambat utama adalah masalah biaya yang diperlukan untuk pemberian
konsentrat faktor VIII. (http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-5-1.pdf)

Penyakit-penyakit yang termasuk di dalam defek vaskuler adalah hereditary hemorrhagic telangiectasia (Osler-Weber-Rendu
syndrome), Ehler-Danlos, osteogenesis imperfekta, pseudoxanthoma elasticum, dan Marfan syndrome. Penderita penyakit ini
sebaiknya menghindari tindakan pembedahan, namun bila pembedahan tetap dilakukan sebaiknya dilakukan penanganan khusus
terhadap kerusakan pembuluh darah. Gangguan pada platelet terjadi pada penderita von Willebrands disease, Bernard- Soulier
disease, Glanzmanns thrombosthenia, dan disorders of platelet release. Penanganan yang dapat dilakukan adalah transfusi platelet
dan penggantian faktor VIII. Hemofilia A dan B merupakan manifestasi dari gangguan koagulasi. Penanganan yang dilakukan
adalah pemberian prednisone; IV gamma globulin, dan transfusi platelet, pemberian faktor VIII, dan faktor VIIa serta steroid.

(http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/gangguan_pendarahan_pada_perawatan_gigi.pdf)

LO 2.10. Komplikasi
Perdarahan intrakranial merupakan salah satu penyebab kematian pasien hemofilia. Angka kejadian perdarahan intrakranial pada
pasien hemofilia adalah 2,2%-13,8% dengan angka kematian sekitar 25%- 30%.7,8,9 Penyebab tersering perdarahan intrakranial
adalah trauma kepala 50%, namun pada pasien hemofilia berat dapat terjadi perdarahan intracranial tanpa riwayat trauma.6,8 Pasien
hemofilia A di RSCM yang mengalami perdarahan intrakranial adalah 6 pasien (5,3%). Perdarahan intrakranial dapat
Muhammad Azmi Hakim 1102012170

mengakibatkan gejala sisa neurologis berupa epilepsi, retardasi mental, kesulitan belajar dan kelemahan motorik.
(http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/8-2-12.pdf)

Anak dengan hemofilia berat memiliki risiko mengalami berbagai macam tipe perdarahan baik spontan maupun karena trauma,
dengan jenis perdarahan tersering adalah hemartrosis (70%-80%). Hemartrosis sering berulang dan pada akhirnya dapat
menyebabkan nyeri serta kelumpuhan (artropati). (http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-5-1.pdf)

HIV-associated immune thrombocytic purpura is an exceedingly serious complication in patients with hemophilia because it may
result in lethal intracranial bleeding. Correct platelet counts to less than 50,000/mL. Steroids are of limited effectiveness, and
intravenous immunoglobulin or anti-Rh(D) generally induces transient remissions. Anti-HIV medications and splenectomies may
result in long-term improvement of thrombocytopenia. Allergic reactions are occasionally reported with the use of cryoprecipitate,
fresh-frozen plasma (FFP), and factor concentrates. Premedication or adjustment of the rate of infusion may resolve the problem.
(http://emedicine.medscape.com/article/779322-treatment#aw2aab6b6c10)

LO 2.11. Prognosis
With appropriate education and treatment, patients with hemophilia can live full and productive lives. Prophylaxis and early
treatment with FVIII concentrate that is safe from viral contamination have dramatically improved the prognosis of patients
regarding morbidity and mortality due to severe hemophilia. Nevertheless, approximately one quarter of patients with severe
hemophilia age d 6-18 years have below-normal motor skills and academic performance and have more emotional and behavioral
problems than others. (http://emedicine.medscape.com/article/779322-overview#aw2aab6b2b6aa)

*(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=24&cad=rja&ved=0CEAQFjADOBQ&url=http%3A%
2F%2Fojs.unud.ac.id%2Findex.php%2Fjim%2Farticle%2Fdownload%2F3754%2F2752&ei=e0F-
UsOnComNrQeN9YHADA&usg=AFQjCNEjGSzY16Mb4jlJqB8_zePi7aXSxA&bvm=bv.56146854,d.bmk)

Anda mungkin juga menyukai