Anda di halaman 1dari 18

Metrotvnews.

com, Jayapura: Pemerintah Kabupaten Sarmi, Papua, berencana membangun pelabuhan


laut di Kampung Holmafen, Distrik Sarmi Timur, guna memperlancar arus barang dan penumpang di
daerah tersebut.

"Kalau rencana pembangunan pelabuhan laut untuk kapal penumpang dan barang yang lebih luas itu ada di
Holmafen, yang sudah ada surveinya," kata Pelaksana Tugas Bupati Sarmi, Alberthus Suripno, ketika
dihubungi dari Kota Jayapura, Papua, seperti dilansir Antara, Rabu (6/1/2016).

Menurut dia, rencana pembangunan pelabuhan laut dengan kapasitas yang besar, termasuk dengan
membangun depot BBM itu, sudah disepakati bersama antara pemerintah setempat dan para pemangku
kepentingan. "Saya sudah tanyakan kepada Kepala Bappeda bahwa pembangunan Pelabuhan Kapal Putih,
termasuk depot BBM-nya," kata dia.

Untuk pembangunan depot BBM, kata dia, juga sudah direncanakan dengan harapan bisa memenuhi
kebutuhan BBM di daerah itu. "Kalau depotnya waktu itu kita rencanakan untuk segera dibangun agar
distribusi minyak lancar, nanti depotnya kita bisa sewakan kepada pengusaha minyak atau yang ingin
pakai sehingga bisa distribusi minyak ke masyarakat dan mendatangkan PAD bagi Kabupaten Sarmi dari
hasil penyewaan itu," katanya.

Mengenai pembangunan Bandar Udara Sarmi, kata Suripno, sudah juga diwancanakan oleh Bupati Mesak
Manibor. "Lapangan udara, itu menurut Bupati Manibor, telah menyediakan lokasi untuk lapangan terbang
dengan nama Mesak Manibor, tahun lalu sudah Landclearing di Kampung Keder. Sedangkan lapangan
terbang yang ada saat ini di Sarmi Kota sebenarnya sudah ditingkatkan, tapi rute penerbangannya belum
ada," katanya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari pihak maskapai, Sarmi tidak masuk dalam rute penerbangan
perintis, tapi masuk dalam penerbangan komersial sehingga biaya tiket per orang bisa di atas Rp1 juta.

"Kalau dulu, waktu 2008, saat saya menjabat Sekda, kami kerja sama dengan perusahaan penerbangan
Trigana pakai subsidi silang. Termasuk dengan Merpati itu kita subsidi penuh hingga Rp800 juta per
tahun. Tapi tahun ini tidak ada lagi, kami akan tanya lagi ke maskapai apa masih bisa lagi untuk lakukan
seperti itu," katanya.

UWA

http://news.metrotvnews.com/read/2016/01/06/208936/akan-ada-pelabuhan-baru-di-papua
Metrotvnews.com, Jayapura: Manajemen PT Pelindo IV Cabang Jayapura menyatakan, perluasan areal
Pelabuhan Jayapura sangat mendesak karena pertumbuhan arus barang masuk sangat tinggi.

"Perluasan areal pelabuhan Jayapura sangat urgen karena kapasitas terpasang kita 110 ribu-120 ribu theus,
sementara yang ada hampir mencapai angka 100 ribu theus dalam setahun," ujar General Manager PT
Pelindo IV Cabang jayapura Jusuf Yunus dikutip dari Antara, Minggu (28/2/2016).

Semakin pesatnya arus pembangunan di seluruh wilayah Papua membuat jumlah barang masuk melalui
Pelabuhan Jayapura terus bertambah, karena lokasi tersebut menjadi titik masuk dari sebagian besar barang
di beberapa kabupaten pegunungan.

"Indikator kemajuan suatu daerah itu, sangat ideal untuk dilihat di pelabuhan. Indikator pertumbuhan
perekonomian kepada data statistik pada angka normal lima sampai tujuh persen, tetapi pertumbahan
barang yang ada di pelabuhan sudah menginjak angka 12 persen, jadi di situ kita melihat akselerasinya,"
kata dia.

Terlebih bila rencana pembangunan akses jalan untuk kontainer jadi direalisasikan, maka perluasan areal
Pelabuhan Jayapura harus bisa segera dimulai.

"Belum nanti terjadinya aksesibilitas jalan yang akan terlaksana, tentunya akan lebih menggeliatkan arus
barang yang masuk dan keluar," ucapnya.

Sebelumnya, ia juga sempat mengemukakan bahwa manajemen PT Pelindo IV dan Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Papua mengagendakan kerja sama perluasan areal Pelabuhan Jayapura.

"Perluasan areal Pelabuhan Jayapura itu menjadi poin penting dalam pembicaraan kemarin. Karena kita
sangat berharap, untuk tumbuh bersama, jangan sampai terkesan Pelindo berjalan sendiri," kata dia.

Menurutnya, manajemen Pelindo berharap agar Pemprov bisa berkontribusi untuk membebaskan lahan
yang dbutuhkan untuk perluasan areal Pelabuhan Jayapura.

"Nanti akan ada pembebasan kawasan bekang dan Weref, nah ini kita harapkan peran serta pemerintah
daerah dalam pembebasan lahan," ucap Yunus.

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2016/02/28/491131/pelabuhan-jayapura-harus-diperluas
http://www.lensapapua.com/pembangunan/apindo-dorong-pemerintah-pusat-upayakan-
pelabuhan-berskala-internasional-di-papua-papua-barat/

HarianPapua.com Rencana Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan pelabuhan laut Sorong
sebagai pelabuhan internasional disambut positif oleh seluruh masyarakat setempat.

Kami mendukung serta berharap rencana pemerintah menjadikan Sorong sebagai pelabuhan
internasional dapat terwujud sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat semakin
meningkat kata Hermanus Doo, Tokoh Pemuda Malamoi Sorong dikutip via zonadamai, Senin
(1/2/2016).

Kota Sorong yang dianggap sebagai pintu gerbang masuk menuju tanah Papua dikatakan memang
harus memiliki pelabuhan internasional yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi.

Namun disamping itu, dengan dibukannya pelabuhan internasional tersebut diharapkan pemerintah
pun turun tangan terkait masalah pemberdayaan karena menuru Hermanus para penduduk ataupun
pedagang dari luar Kota Sorong akan terus berdatangan dan penduduk lokal pun akan sulit bersaing.

http://www.harianpapua.com/20160201/4324-pelabuhan-internasional-papua-ada-di-kota-
sorong.html

PELAKU usaha pelayaran meminta pemerintah segera membuat prioritas kebijakan


yang mengacu kepada pokok persoalan yang dihadapi di lapangan dalam kerangka
pembenahan secara menyeluruh sistim logistik nasional terutama sektor penyediaan
layanan dan infrastruktur kepelabuhanan di tengah uporia gagasan tol laut oleh
pemerintahan Joko Widodo.

Kita jangan mabuk uporia tentang tol laut, lalu implementasinya hanya blusukan-blusukan.
Tidak akan ada perbaikan hanya dengan melakukan blusukan-blusukan saja tanpa
implementasi kebijakan dan penyerapan anggaran yang terarah.
Hal ini diungkapkan pelaku usaha pelayaran yang juga Wakil Ketua Kamar Dagang dan
Industri Provinsi Jawa Timur, H. Lukman Ladjoni kepada BANDAR MEDIA, Rabu, 24
Desember 2014 di Surabaya.

Pemilik perusahaan pelayaran PT Surya Bintang Timur ini mengkritisi wacana impor 500
unit kapal bertonase kecil dari Tiongkok sebagai wacana yang tidak realistis untuk
diketengahkan ke tengah masyarakat.

Gagasan mengimpor kapal 500 unit apa lagi 1.500 unit dari Tiongkok untuk
memperkuat sistem logistik kita tidak realistis. Saya memandang ini sebagai omongan orang
yang tidak mengerti soal industri pelayaran nasional. Jangan karena uporia tol laut lalu
ujungnya hanya menambah kapal. Saya pikir ide ini hanya pikiran calo, kata Ladjoni.

Tingginya biaya logistik nasional dan tidak meratanya harga beragam komoditas diberbagai
daerah, kata Ladjoni, lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum
sepenuhnya mendukung industri pelayaran sepenuhnya serta tidak memadainya layanan
dan ketersediaan fasilitas atau infrastruktur kepelabuhanan. Akibatnya, pengusaha
pelayaran menanggung beban biaya yang sangat besar yang berimbas kepada harga
barang.

Salah satu yang menyebabkan biaya tinggi adalah harga bahan bakar minyak (BBM) untuk
kapal. Dibandingkan dengan harga BBM di Singapura saja, harga BBM untuk kapal di
Indonesia lebih tinggi Rp.3000 (tiga ribu rupiah) setiap liternya.

Itu baru dari aspek BBM, belum lagi dari aspek ketersediaan fasilitas pelabuhan. Jadi,
persoalan kita sekarang ini adalah ketersediaan fasilitas dari pelabuhan ke pelabuhan dan
dari dermaga ke dermaga. Mau dikemanakan kapal impor yang ratusan bahkan katanya
ribuan kapal itu?

Ladjoni mengungkapkan, kapal-kapal yang saat ini melayani angkutan komoditas strategis,
bahan-bahan kebutuhan pokok misalnya seperti beras, pupuk dan semen belum
mendapatkan layanan yang baik di pelabuhan. Ia mencontohkan beberapa kapal miliknya
sendiri yang sering mengangkut beras bulog, Pupuk Kaltim dan Semen Tonasa, sering kali
berbulan-bulan tertahan di pelabuhan.

Saya beri contoh, salah satu kapal saya yang mengangkut semen dari Makassar ke Papua,
untuk bongkar muatannya saja butuh waktu satu bulan. Padahal muatannya hanya 6500
ton. Contoh lainnya, satu kapal yang tiba di Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, untuk sandar
di pelabuhannya saja butuh waktu lebih dari tiga minggu. Padahal saat itu di daerah tersebut
sedang terjadi kelangkaan pupuk yang sesungguhnya sangat dibutuhkan petani. Ada contoh
lain, di Pelabuhan Lembar misalnya, kondisinya sama saja. Fasilitas kepelabuhanannya
kurang dan layanan bongkar muatnya pun bermasalah. Inilah yang harus jadi perhatian
pemerintah.

Oleh karena itu, lanjut Ladjoni, sudah saatnya semua stakeholder sadar dan menghentikan
uporia tentang tol laut dan poros maritim serta wacana yang sesungguhnya menjadi
pepesan kosong.

Benahi infrastrukltur kepelabuhanan, tingkatkan layanan terhadap pengguna jasa


kepelabuhanan, berdayakan armada niaga nasional yang sudah ada dengan menyediakan
fasilitas kepelabuhanan yang baik. Jangan didisain kapal-kapal niaga nasional itu untuk
nongkrong di pelabuhan berminggu-minggu bahkan bulanan menunggu jadwal sandar dan
bongkar muat.

http://www.ina-marinenews.com/index.php/shipping/shipping-info/73-lukman-ladjoni-benahi-
infrastruktur-pelabuhan-impor-ratusan-kapal-tidak-realistis.html

IKE ZUMIZOLA
Jumat, 02 Desember 2011

MAKALAH TRANSPORTASI MARITIM


INDONESIA UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA
KULIAH ILMU PELAYARAN NIAGA II
BAB I
PENDAHULUAN

Pulau-pulau di Indonesia hanya bisa tersambung melalui laut-laut di antara pulau-pulaunya.


Laut bukan pemisah, tetapi pemersatu berbagai pulau, daerah dan kawasan Indonesia. Hanya melalui
perhubungan antar pulau , antar pantai, kesatuan Indonesia dapat terwujud. Pelayaran yang
menghubungkan pulau-pulau, adalah urat nadi kehidupan sekaligus pemersatu bangsa dan Negara
Indonesia. Sejarah kebesaran Sriwijaya atau Majapahit menjadi bukti nyata bahwa kejayaan suatu
Negara di nusantara hanya bisa dicapai melalui keunggulan maritim. Karenanya, pembangunan
industry pelayaran nasional sebagai sektor strategis, perlu diprioritaskan agar dapat meningkatkan
daya saing Indonesia di pasar global. Karena nyaris seluruh komoditi untuk perdagangan internasional
diangkut dengan menggunakan sarana dan prasarana transportasi maritim, dan menyeimbangkan
pembangunan kawasan (antara kawasan timur Indonesia dan barat) demi kesatuan Indonesia, karena
daerah terpencil dan kurang berkembang (yang mayoritas berada dikawasan Indonesia timur yang
kaya sumber daya alam) membutuhkan akses ke pasar dan mendapat layanan, yang seringkali hanya
bisa dilakukan dengan transportasi maritim.

Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan diperaiaran, kepelabuhan,
serta keamanan dan keselamatannya. Secara garis besar pelayaran dibagi menjadi dua yaitu pelayaran
niaga (yang terkait dengan kegiatan komersial) dan pelayaran Non Niaga (yang terkait dengan kegiatan
non komersil seperti pemerintahan dan bela Negara).

Angkutan diperairan (dalam makalah ini disepadankan dengan transportasi maritim) adalah
kegiata pengangkutan penumpang, dan atau barang, dan atau hewan, melalui suatu wilayah perairan
(laut, sungai, dan danau penyeberangan) dan teritori tertentu (dalam negeri atau luar negeri), dengan
menggunakan kapal, untuk layanan khusus dan umum. Wilayah perairan terbagi menjadi :

1. Perairan laut : wilayah perairan laut.

2. Perairan sungai dan danau : wilayah perairan pedalaman, yaitu : sungai, danau, waduk, rawa, banjir,
kanal dan terusan.

3. Perairan penyeberangan : wilayah perairan yang memutuskan jaringan jalan atau jalur kereta api.
Angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan penggerak, penghubung jalur.

Teoriti Pelayaran terbagi menjadi :

1. Dalam negeri : untuk angkutan domestik, dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di wilayah Indonesia.

2. Luar negeri : untuk angkutan internasional (ekspor/import), dari pelabuhan Indonesia (yang terbuka
untuk perdagangan luar negeri ) ke pelabuhan luar negeri, dan sebaliknya.

Angkutan Dalam Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia, dalam bentuk :

1. Angkutan Khusus, yang diselenggarakan hanya untuk melayani kepentingan sendiri sebagai penunjang
usaha pokok dan tidak melayani kepentingan umum, di wilayah perairan laut, dan sungan dan danau,
oleh perusahaan yang memperoleh ijin operasi untuk hal tersebut.

2. Angkutan Umum, yang diselenggarakan untuk melayani kepentingan umum, melalui : pelayaran
rakyat, oleh perorangan atau badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha pelayaran, dan memiliki
minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis tradisional (kapal layar, atau kapal layar motor
tradisional atau kapal motor berukuran minimal 7GT), beroperasi di wilayah perairan laut, dan sungai
dan danau di dalam negeri.

Pelayaran Nasional, oleh badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha pelayaran, dan yang
memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis non tradisional, beroperasi di semua jenis
wilayah perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dan teritori (dalam negeri dan luar negeri).
Pelayaran perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah di semua wilayah perairan (laut, sungai dan
danau, penyeberangan) dalam negeri untuk melayani daerah terpencil (yang belum dilayani oleh jasa
pelayaran yang beroperasi tetap dan teratur atau yang moda transportasi lainnya belum memadai)
atau daerah belum berkembang (tingkat pendapatan sangat rendah), atau yang secara komersial
belum menguntungkan bagi angkutan laut.

Angkutan luar negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia dan asing, oleh :
perusahaan pelayaran nasional yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran
175GT; perusahaan pelayaran patungan, antara perusahaan asing dengan perusahaan nasional yang
memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT; dan perusahaan pelayaran
asing, yang harus diageni oleh perusahaan nasional dengan kepemilikan minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT untuk pelayaran internasional atau minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 175GT untuk pelayaran lintas batas.

BAB II

TRANSPORTASI MARITIM DI INDONESIA

Usaha jasa angkutan memiliki beberapa bidang usaha menunjang, yaitu kegiatan usaha yang
menunjang kelancaran proses kegiatan angkutan, seperti di uraikan di bawah ini:

1. Usaha bongkar muat barang, yaitu kegiatan usaha pembongkaran dan barang dan atau hewan dari
dan ke kapal.

2. Usaha jasa pengurusa transportasi (freight forwarding), yaitu kegiatan usaha untuk pengiriman dan
penerimaan barang dan hewan melalui angkutan darat, laut, dan udara.

3. Usaha ekspedisi muatan kapal laut, yaitu kegiatan usaha pengurusan dokumen dan pekerjaan yang
berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang diangkut melalui laut.
4. Usaha angkutan di perairan pelabuha, yaitu kegiatan usaha pemindahan penumpang dan atau barang
atau hewan dari dermaga ke kapal atau sebaliknya dan dari kapal ke kapal, di perairan pelabuhan.

5. Usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau alat apung, yaitu kegiatan usaha menyediakan dan
penyewaan peralatan penunjang angkutan laut dan atau alat apung untuk pelayanan kapal.

6. Usaha tally, yaitu kegiatan usaha perhitungan, pengukuran, penimbangan, dan pencatatan muatan
kepentingan pemilik muatan atau pengangkut.

7. Usaha depo peti kemas, yaitu kegiatan usaha penyimpanan, penumpukan, pembersihan, perbaikan,
dan kegiatan lain yang terkait dengan pengurusan peti kemas.

A. Kronologi Ringkas Kebijakan Transportasi Maritim Indonesia

Pada tahun 1985 diterbitkan Instruksi Presiden nomor 4 yang bertujuan meningkatkan ekspor
nonmigas menekan biaya pelayaran dan pelabuhan. Pelabuhan yang melayani perdagangan luar
negeri ditingkatkan jumlahnya secara drastis, dari hanya 4 menjadi 127. Untuk pertamakalinya
pengusaha pelayaran Indonesia harus berhadapan dengan pesaing seperti feeder operator yang
mampu menyewakan biaya lebih rendah. Liberasi berlanjut pada tahun 1988 ketika pemerintah
melongarkan proteksi pasar domestic. Sejak itu, pendirian perusahaan pelayaran tidak lagi disyaratkan
memiliki kapal berbendera Indonesia. Jenis ijin pelayaran dipangkas, dari lima hanya menjadi dua.
Perusahaan pelayaran memiliki fleksibilitas lebih besar dalam rute pelayaran dan penggunaan kapal
(bahka penggunaan kapal berbendera asing untuk pelayaran domestic). Secara de facto , prinsip
cabotage tidak lagi diberlakukan.

Pada tahun ini pula diberlakukan keharusan men-scrap kapal tua dan pengadaan kapal dari
galangan dalam negeri. Undang-undang pelayaran nomor 21 tahun 1992, semakin memperkuat
pelonggaran perlindungan tersebut. Berdasarkan UU 21/92 perusahaan asing dapat melakukan usaha
patungan dengan perusahaan pelayaran nasional untuk pelayaran domestic. Melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 1999, pemerintah berupaya mengubah kebijakan yang terlalu longgar,
dengan menetapkan kebijakan sebagai berikut:

1. Perusahanaan pelayaran nasional Indonesia harus memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia,
berukuran 175 GT.

2. Kapal berbendera asing diperbolehkan beroperasi pada pelayaran domestic hanya dalam jangka
waktu terbatas (3 bulan).
3. Agen perusahaan pelayaran asing kapal harus memiliki satu kapal berbendera Indonesia, berukuran
5,000 GT.

4. Di dalam perusahaan patungan, perusahaan nasional harus memiliki minimal satu kapal berbendera
Indonesia, berukuran 5,000 GT (berlipat dua dari syarat deregulasi 1988 yang 2,500). Pengusaha agen
kapal asing memprotes keras, sehingga pemberlakuan ketentuan ini diundur hingga Oktober 2003.

5. Jaringan pelayaran domestic dibagi menjadi 3 jenis trayek, yaitu utama (main route), pengumpan
(feeder route) dan perintis (pioneer route). Jenis ijin operasi pelayaran dibagi menurut jenis trayek
tersebut dan jenis muatan (penumpang, kargo umum, dan kontener).

Rangkaian regulasi dan deregulasi tersebut di atas menjadi salah satu faktor terhadap kondisi dan
masalah yang dihadapi sector transportasi maritim Indonesia, dari waktu ke waktu.

B. Profil Armada Transportasi Maritim Di Indonesia

Dari sisi besaran DWT, kapasitas kapal konvesional dan tanker mendominasi armada pelayaran
yang uzur (umur rata-rata kapal di Indonesia 21 tahun, 2001, dibandingkan dengan Malaysia yang 16
tahun, 2000, atau singapura yang 11 tahun, 2000). Meskipun demikian, justru pada kapasitas muatan
dry-bulk dan liquid bulk pangsa pasar domestic armada nasional paling kecil. Pada umunya, kapal
Indonesia mengankut kargo umum, tapi sekitar setengah muatan dry-bulk dan liquid-bulk diangkut
oleh kapal asing atau kapal sewa berbendera asing. Secara keseluruhan armada nasional meraup 50%
pangsa pasar domestic. Sekitar 80% liquid-bulk berasal dari PT Pertamina. Penumpang angkutan laut
bukan feri terutama dilayani oleh PT Pelni yang mengoperasikan 29 kapal (dalam lima tahun terakhir,
PT Pelni menambah 10 kapal). Perusahaan swasta juga membesarkan armada dari 430 (1997) menjadi
521 unit (2001).

Armada Pelayaran Rakyat, yang terdiri dari kapal kayu (misalnya jenis Pinisi, seperti yang banyak
berlabuh dipelabuhan Sunda Kelapa) membentuk mekanisme industry transportasi laut yang unik.
Kapal-kapal yang berukuran relatif kecil (tapi sangat banyak) melayani pasar yang tidak diakses oleh
kapal berukuran besar, baik karena alasa financial (kurang menguntungkan) atau fisik (pelabuhan
dangkal). Industri Pelayaran Rakyat berperan sangat penting dalam distribusi barang dan dari pelosok
Indonesia. Armada pelayaan rakyat mengangkut 1.6 juta penumpang(sekitar 8% penumpang bukan
feri) dan 7.3 juta Metric Ton barang (sekitar 16% kargo umum). Tapi kekuatan armada ini cenderung
melemah, terlihat dari kapasitas 397,000 GRT pada tahun 1997 menjadi 306,000 GRT pada tahun
2001. (sumber data: Stramindo, berdasarkan statistic DitJen HubLa).

C. Masalah Transportasi Maritim Di Indonesia


Dalam periode 5 tahun (1996-2000) jumlah perusahaan pelayaran di Indonesia meningkat, dari
1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah perusahaan (peningkatan rata-rata 10.5% p.a). Sementara
kekuatan armada pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi 9,195 unit (peningkatan rata-rata
11.3% p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik sedikit, yaitu dari 6,654,753 menjadi
7,715,438 DWT. Berarti kapasitas rata-rata perusahaan pelayaran nasional menurun. Sepanjang
periode tersebut, volume perdagangan laut tumbuh 3% p.a. Volume angkutan naik dari 379,776,945
ton (1996) menjadi 417,287,411 ton (2000), atau meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam waktu lima
tahun, tapi tak semua pertumbuhan itu dapat dipenuhi oleh kapasitas perusahaan pelayaran nasional
(kapal berbendera Indonesia), bahkan untuk pelayaran domestic (antar pelabuhan Inonesia). Pada
tahun 2000, jumlah kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307 DWT meraup
muatan domestic sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.

Walhasil, saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan pelayaran nasional kalah
bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional, karena kelemahan di semua aspek, seperti
ukuran, umur, teknologi, dan kecepatan kapal. Di bidang muatan internasional (ekspor/import)
pangsa perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 3% to 5%, dengan kecenderungan menurun.
Proporsi ini sangat tidak seimbang dan tidak sehat bagi pertumbuhan kekuatan armada pelayaran
nasional.

Data tahun 2002 menunjukan bahwa pelayaran armada nasional Indonesia semakin terpuruk
dipasar muatan domestic. Penguasaan pangsanya menciut 19% menjadi hanya 50% (2000:69%).
Sementara untuk muatan internasional tetap dikisaran 5%. Dari sisi financial, Indonesia kehilangan
kesempatan meraih devisa sebesar US$10.4 Milyar, hanya dari transportasi laut untuk muatan ekspor/
import saja. Alih-alih memperoleh manfaat dari penerapan prinsip cabotage (yang tidak ketat) industri
pelayaran Indonesia malah sangat bergantung pada kapal sewa asing. Armada nasional pelayaran
Indonesia menghadapi banyak masalah, seperti : banyak kapal, terutama jenis konvensional,
menganggur Karena waktu tunggu kargo yang berkepanjangan; terjadi kelebihan kapasitas, yang
kadang-kadang memicu perang harga yang tidak sehat; terdapat cukup banyak kapal, tetapi hanya
sedikit yang mampu memberikan pelayanan memuaskan; tingkat produktivitas armada dry
cargo sangat rendah, hanya 7,649 ton-miles/ DWT atau sekitar 39.7% dibandingkan armada sejenis
di Jepang yang 19,230 ton-miles / DWT.

Situasi pelayaran sangat pelik, karena ketergantungan pada kapal sewa asing terjadi bersamaan
dengan kelebihan kapasitas armada domestic. Situasi bagai lingkaran tak berujung itu disebabkan
lingkungan investasi perkapalan yang tidak kondusif. Banyak perusahaan pelayaran ingin
meremajakan armadanya, tapi sulit memperoleh pinjaman di pasar uang domestic. Dan disisi lain lebih
mudah memperoleh pinjaman dari sumber-sumber luar negeri. Beberapa perusahaan besar
cenderung mendaftarkan kapalnya di luar negeri (flagged-out). Tapi perusahaan kecil dan menengah
tidak mampu melakukannya, sehingga tak ada alternative kecuali menggunakan kapal berharga
murah, tapi tua dan scrappy. Akibatnya terjadi ketergantungan yang semakin besar pada kapal sewa
asing dan pemrosotan produktivitas armada.

D. Masalah Investasi Transportasi Maritim

Di Indonesia terdapat dua kelompok besar penyelenggara transportasi maritim, yaitu oleh
pemerintah (termasuk BUMN) dan swasta. Masing-masing kelompok terbagi dua. Di pihak pemerintah
terbagi menjadi BUMN pelayaran yang menyelenggarakan transportasi umum dan BUMN non
pelayaran yang hanya menyelenggarakan pelayaran khusus untuk melayani kepentingan sendiri. Pihak
swasta terbagi menjadi perusahaan besar dan perusahaan kecil (termasuk pelayaran rakyat). Ragam
mekanisme penyaluran dana investasi pengadaan kapal ternyata sejalan dengan pembagian tersebut.
Masing-masing pihak di tiap-tiap kelompok memiliki mekanisme pembiayaan tersendiri.

E. Hambatan dalam Pendanaan Kapal

Dunia pelayaran Indonesia menghadapi banyak hambatan structural dan sistematis di bidang
financial, seperti di paparka di bawah ini:

1. Keterbatasan lingkup dan skala sumber dana : Official Development Assistance (ODA), terkonsentrasi
untuk investasi public di berbagai sector pembangunan, kecuali pelayaran. Other Official Finance
(OOF), kredit ekspor dari Jepang sedang terjadwal ulang. Foreign Direct Investment (FDI), sejauh ini
tidak ada anggaran pemerintah hanya dialokasikan untuk pengadaan kapal pelayaran perintis.
Pinjaman Bank asing tersedia hanya untuk perusahaan pelayaran besar (credit worthby) pinjaman
Bank swasta nasional hanya disediakan dalam jumlah sangat kecil.

2. Tingkat suku bunga pinjaman domestic 15-17% p.a untuk jangka waktu pinjaman 5 tahun.

3. Jangka waktu pinjaman yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk industri pelayaran.

4. Saat ini kapal yang dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.

5. Tidak ada program kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran rakyat, kecuali pinjaman jangka
pendek berjumlah sangat kecil dari bank nasional.
6. Tidak ada kebijakan pendukung.

7. Prosedur peminjaman (appraisal, penyaluran, angsuran) kurang ringkas.

F. Masa Depan Transportasi Maritim

Stramindo memprediksi bahwa dalam 20 tahun ke depan (2004-2024), volume dry cargo akan
berlipat 2.8 kali, volume liquid cargo berlipat 1.4 kali, dan secara keseluruhan volume angkutan
domesik akan berlipat 2 kali. Jenis muatan yang paling pesat pertumbuhannya adalah kargo container.
Volumenya akan berlipat 5.2 kali, dari 11 juta ton (2004)menjadi 59 juta ton (2024). Pertumbuhan dry
cargo sejalan dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi , dan tidak tergantung pada
ketersediaan sumber daya alam. Tingkat produksi minyak saat ini akan terhenti pada tahun 2006,
seperti yang akan diperkirakan pemerintah. Di masa 20 tahun kedepan, volume angkutan minyak akan
menurun, sekalipun konsumsi bertambah. Struktur logistic minyak akan berubah, sebagian volume
domestic minyak mentah akan diganti dengan impor minyak.

Sebagai akibatnya pertumbuhan volume angkutan liquid kargo (yang didominasi minyak) tidak
sepesat dry cargo. Pertumbuhan volume penumpang (transportasi maritime maupun udara) akan
sejalan dengan pertumbuhan GDP. Tapi GDP yang semakin tinggi hanya berpengaruh positif pada
transportasi udara, dan berpengaruh negative pada transportasi laut. Karena itu diprediksi proporsi
laut-udara akan berubah 60-40 (2001) menjadi 51-49 (2024) dengan tingkat pertumbuhan rendah 1.5
kali lipat. Proyeksi pertumbuhan volume muatan barang dan penumpang domestic yang
menggunakan transportasi maritim.
BAB III

KESIMPULAN

A. UMUM

Industri pelayaran, bahkan transportasi maritim yang merupakan salah satu bagiannya memiliki
banyak aspek yang saling terkait. Karena itu, upaya peningkatan daya saing pada aspek yang relevan
perlu dilakukan secara simultan. Aspek relevan tersebut meliputi : Pembenahan administrasi dan
manajemen pemerintahan di laut, termasuk keselamatan dan keamanan maritim serta perlindungan
laut.

B. Finansial

Industri transportasi laut menghadapai situasi pelik, yaitu timbulnya masalah ketergantungan
pada kapal sewa asing dan kelebihan kapasitas armada secara bersamaan. Pangkal pelik situasi
tersebut berasala dari lingkungan investasi perkapalan yang tidak kondusif. Perusahaan pelayaran
yang ingin meremajakan armadanya , sulit memperoleh dukungan dana. Jika dibiarkan, kepelikan
tersebut akan seperti spiral yang menyeret perusahaan pelayaran kearah keterpurukan yang semakin
dalam.
Hanya ada satu persyaratan yang dibutuhkan, agar perusahaan pelayaran nasional dapat keluar
dari keterpurukan tersebut, yaitu iklim investasi yang kondusif. Kondusivitas tersebut diperlukan
untuk memberdayakan perusahaan pelayaran, sehingga perusahaan pelayaran tersebut memiliki
beberapa karakteristik kemampuan dalam hal: mengakses sumber dana keuangan untuk pengadaan
kapal yang dibutuhkan menikmati laba bisnis yang stabil menghindari kemrosotan asset kapal dalam
jangka menengah dan panjang melakukan reinvestasi pada armada yang lebih berdaya saing.

https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-
pengangkutan/transportasi-maritim/

Makalah ttg Penghambat pada Rencana Penbangunan


Pelabuhan Peti Kemas Depapre Kabupaten Jayapaura Papua.
23Jun

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ide tentang Pengelolaan hutan lestari (SFM) di Indonesia hingga kini belum dapat
direalisasikan. Belum ada bukti bahwa kelestarian dapat tercapai dimanapun level kelestarian
itu ditempatkan, baik pada tingkat unit management, unit kabupaten, unit propinsi, unit pulau
bahkan Negara. Meskipun sudah ada instrument penentuan kuantitatif panen lestari
pertahunnya (AAC). Tetapi prakteknya dilapangan tidak berjalan dan tidak terkontrol.

Kegagalan ini bukan semata-mata karena ketidakmampuan teknis kehutanan, tetapi karena
variable system social dinegasikan eksistensinya. Di Papua terjadi berbagai penolakan dan
pemalangan kegiatan kehutanan. Akibatnya adalah; dari 29 HPH yang terdapat di Papua Barat
hanya 13 yang beroperasi dan dari 35 HPH yang ada di Prov Papua hanya 12 yang beroperasi
(Dinas Kehutanan 2007). Bahkan termasuk sejumlah pembangunan fisik dan asset Pemda juga
diklaim kembali oleh masyarakat sebagai miliknya sebagaimana yang dilansir oleh
Cendrawasih Pos, 22 Agustus 2007.

Faktanya, banyak pihak memperkirakan bahwa kondisi diatas akan terus belangsung dan tidak
akan menjadi lebih baik bila tidak terjadi perubahan yang mendasar dalam pengelolaan sumber
daya agraria termasuk hutan di papua.

Karena pada umumnya perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat papua secara umum
adalah:

1.Recognisi terhadap hak-hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam yang diklaim
menjadi milik masyarakat adat,
2.Masyarakat terlibat secara konkrit dalam pengelolaan hutan secara komersial.

3.Pembayaran kompensasi terhadap hak adat atas tanah yang diusahakan oleh perusahaan.

BAB II

ISI

Dalam laporan penelitian awal ini disebutkan bahwa ketiga persoalan pelik diatas hingga kini
belum dapat diselesaikan. Malah ditambah lagi dengan persoalan baru yang yang sangat besar
kemungkinannya akan mengulangi kegagalan pengelolaan hutan.

Seperti yang disebutkan dalam laporan tersebut, persoalan menjadi bertambah karena adanya
keinginan (kepentingan) Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui berbagai
investasi, sementara pra kondisi untuk itu belum terwujud. Yaitu kesepahaman semua pihak
terhadap forest land tenure.

Informasi terakhir adalah bahwa di Papua sudah dicadangkan sekitar 6 juta ha hutan untuk di
konversi menjadi perkebunan. Padahal seharusnya setiap pihak yang berkepentingan belajar
dari pengalaman yang sudah terjadi di Papua. Sebagai contoh sejak th 1990 sudah dicadangkan
kawasan untuk pembangunan HTI kepada 10 perusahaan dengan total luas mencapai 1,6 juta
ha, dimana faktanya tidak ada satu perusahaan yang beroperasi hingga tahun 2007 ini. Semua
ini berlangsung tanpa ada penjelasan kepada masyarakat luas. Wilayah studi Land Tenure
kasus Proyek Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre secara sosio-culture berada dalam
lingkup wilayah adat Suku Moi, Suku Tabla (Tepere) dan sebagian kecil wilayah Kendate
(Kemtuk). Kegiatan studi yang dilaporkan ini dilaksanakan pada 2 lokasi kampung yang secara
sosiokultural serta secara administrasi berhubungan dengan kasus Pembangunan Dermaga Peti
Kemas Depapre.

Studi ini juga mengindentifikasi pokok-pokok konflik utama seperti Tata Batas Kepemilikan
Dan Penguasaan Lahan Adat Antara Marga pada Lahan Seluas 7 (tujuh) Hektar yang
direncanakan sebagai Lokasi Rencana Pembangunan Dermaga Peti Kemas Depapre Kabupaten
Jayapura Papua. Studi ini mengindikasikan Wilayah terestial (daratan) secara sosial budaya
dimliki & dikuasai oleh suku Moi,dan berfungsi sebagai lokasi berkebun, berburu & meramu
masyarakat. Sedangkan, pesisir dan perairan laut sekitarnya dikuasai & dimiliki serta berfungsi
sebagai kawasan penyanggah kehidupan masyarakat adat suku Tepere yang secara turun-
temurun adalah pelaut atau nelayan. Melalui studi ini diketahui bahwa obyek sengketa Lokasi
Rencana Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre seluas 7 Hektar dan Kawasan Perairan
Sekitarnya di Kampung Wauna Distrik Depapre Jayapura berkaitan erat dengan masyarakat
setempat berikut kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan. Misalnya konflik
antara marga di wilayah tersebut berkaitan erat dengan sumber bahan makanan pokok/dusun
tempat pangkur sagu, tempat mengumpulkan buah-buahan, tempat berkebun, tempat mencari
ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya, media transportasi antar kampung dan kampung ke
distrik. Demikian juga dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura, PT. PELINDO LINES dan
SMK Negeri Perikanan Kabupaten Jayapura yang memiliki berbagai kepentingan seperti PAD,
Lokasi Praktek dll. menunjukkan bahwa persengketaan yang terjadi antar Suku Moi Kampung
Maribu dan Suku Tepere Kampung Wouna disebabkan oleh penguasaan lahan dan
pemanfaatan lahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Suku Moi sebagai
masyarakat yang secara kultural adalah peladang dan peramu, sehingga akses kawasan dan
keterkaitan sosial kultural atas wilayah daratan pada lokasi tersebut (hutan dan tanah
sekitarnya) pada lokasi proyek.

Beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk pengelolaan sengketa
Pelabuhan Peti Kemas Depapre Jayapura. Upaya-upaya tersebut antara lain :1) Pemetaan
Partisipatif Tanah Adat 3 Wilayah Kampung (Maribu, Wauna dan Tablanus) Untuk
Penyediaan Pembangunan Pelabuhan (Container) Peti Kemas di Distrik Depapre Kabupaten
Jayapura; 2) Lokakarya II Pemetaan Partisipatif Tanah Adat 3 Wilayah Kampung (Maribu,
Wauna dan Tablanus) Untuk Penyediaan Pembangunan Pelabuhan (Container) Peti Kemas di
Distrik Depapre Kabupaten Jayapura; dan 3) Lokakarya III Pemetaan Partisipatif Tanah Adat
3 Wilayah Kampung (Maribu, Wauna dan Tablanus) Untuk Penyediaan Pembangunan
Pelabuhan (Container) Peti Kemas di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Upaya-upaya ini
dilakukan oleh pihak pemerintah daerah Kabupaten Jayapura agar Penataan Ruang kelola
masing-masing Distrik dan kampung bisa mendukung Pembangunan di Kabupaten Jayapura.
Selain itu juga agar membangun pemahaman bersama tentang peran dan posisi masing-masing
Suku/Marga/Klen dalam proses Pemetaan partisipatif.

Dikalangan masyarakat sendiri, melalui beberapa diskusi mendalam dengan 4 marga (Andatu,
Tanggerotuw, Badundi dan Nasendi) diketahui bahwa warga menerima proyek pembangunan
dijalankan, karena akan memberikan dampak ekonomis bagi masyarakat, yaitu membuka
peluang kerja dan usaha, meningkatkan hasil pendapatan masyarakat dan aksesbilitas wilayah
mudah dan terjangkau. Namun, marga-marga ini berharap Panitia Tata Batas Kabupaten
Jayapura dapat menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanaman bagi para anggota klen yang
memiliki kebun serta tanaman ekonomis di wilayah proyek tersebut. Penyelesaian sengketa
sepenuhnya dipercayakan melalui proses-proses lokakarya dan musyawarah yang telah
difasilitasi pemerintah kabupaten dengan bantuan teknis dari LSM lokal (pt. PPMA).

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh masyarakat Kampung Wauna, Tabla dan Nusu

Hasil diskusi dengan marga Soumulena dan beberapa anggota DPMA menyatakan bahwa
permasalahan ganti rugi tanaman di atas tanah/lokasi proyek dapat diberikan kepada orang
Maribu. Namun, pemberian kompensasi hak ulayat harus diberikan secara proposional kepada
orang Moi-Maribu dan suku Tepere (Wauna,Tabla dan Nusu). Karena, wilayah perairan lokasi
dermaga dan pasca kontruksi atau operasionalisasi pelabuhan peti kemas akan memberikan
dampak dan mempersempit ruang kelola wilayah perairan laut yang merupakan wilayah
penyanggah perikehidupan masyarakat suku Tepere yang secara sosiocultural adalah pelaut
atau masyarakat nelayan.

Sedangkan dikalangan pemerintahan, Kepala Distrik Sentani Barat telah merampungkan


penyusunan draft Peta Adat. Namun, perlu ditindaklanjuti ke proses selanjutnya yaitu
sosialisasi hasil draft peta adat ke wilayah distrik dan kampung. Dan juga, pengumpulan data
sosial budaya menyangkut silsilah dan struktur kepemimpinan suku Moi dan Tepere, sehingga
kewenangan pengelolaan serta hak pengelolaan dapat dipetakan secara proporsional, akurat
dan bertanggunggugat serta mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat yang ada.

BAB II

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Dari uraian diatas telah dijelaskan bahwa ada beberapa pendukung dan penghambat pada
Rencana penbangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Kabupaten Jayapaura Papua.

Penghambat

1. Lokasi pembangunan tepat pada tanah Adat yang merupakan hak ulayat masyarakat adapt (
Maribu, Wauna, Tablanus ) yang masing-masing meminta ganti-rugi.
2. Perusakan Pelestarian Hutan
3. Perusakan pelestarian Laut
4. Menghilangkan kebiasaan sosio-kultur masyarakatyang pada dasarnyta adalah nelayan dan
petani,meramu.dll

Pendukung

1. Peningkatan PAD Kabupaten Jayapura.


2. Peningkatan Ekonomis Masyarakat
3. Tersedianya lowongan kerja yang luas.

https://yosin.wordpress.com/2009/06/23/makalah-ttg-penghambat-pada-rencana-
penbangunan-pelabuhan-peti-kemas-depapre-kabupaten-jayapaura-papua/

Definisi Pelabuhan
Pelabuhan merupakan tempat pember-hentian (terminal) kapal setelah melakukan pelayaran
(Triatmojo, 2008). Di pelabuhan ini kapal melakukan berbagai kegiatan seperti menaik turunkan
penumpang, bongkar muat barang, pengisian bahan bakar dan air tawar, melakukan reparasi,
melakukan perbekalan dan sebagainya. Untuk bisa melaksanakan kegiatan tersebut pelabuhan harus
dilengkapi dengan fasilitas pemecah gelombang, dermaga, peralatan tambat, peralatan bongkar muat
barang, gudang-gudang, lapangan penumpukan barang, perkantoran baik untuk pengolahan pelabuhan
maupun maskapai pelayaran, ruang tunggu bagi penumpang, perlengkapan pengisian bahan bakar.
Macam-Macam Pelabuhan
Pelabuhan dapat dibedakan beberapa macam yang tergantung pada sudut tinjauannya, yaitu dari segi
penyelenggara-annya, pengusahaannya, fungsi dalam perdagangan nasional dan internasional, segi
kegunaan dan letak geografinya.
Fasilitas Pelabuhan
Dermaga
Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal
yang melakukan bongkar muat barang dan menaikan-turunkan penumpang.
Dimensi dermaga didasarkan pada jenis dan ukuran kapal yang merapat dan bertambat pada dermaga
tersebut. Maka panjang dermaga dapat dihitung dengan rumus

Gudang (Warehouse)
Gudang atau warehouse digunakan untuk menyimpan barang yang baru diturunkan dari kapal atau
sebaliknya dalam waktu yang lama.

Alat Bongkar Muat


Alat bongkar muat adalah alat yang dipakai untuk kegiatan bongkar muat barang dengan tujuan untuk
menambah kecepatan bongkar muat, agar waktu yang diperlukan kapal untuk bertambat dapat
dipersingkat.

Anda mungkin juga menyukai