Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

ERITRODERMA

Pembimbing :
dr. Lilik Karsono, Sp.KK.

Oleh :

Hani Ismi Damayanti (G1A014047)


Auliya Syisma Aghnesi (G1A014049)
Muhammad Ashif (G1A014050)
Nurullia Rahmawati (G1A014051)
R. Muhammad Rizky Radityo (G1A014052)
Siti Sarah Rachmadianti (G1A014053)
Watub Maulana (G1A014054)

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2017
HALAMAN PENGESAHAN

ERITRODERMA

Oleh :

Hani Ismi Damayanti (G1A014047)


Auliya Syisma Aghnesi (G1A014049)
Muhammad Ashif (G1A014050)
Nurullia Rahmawati (G1A014051)
R. Muhammad Rizky Radityo (G1A014052)
Siti Sarah Rachmadianti (G1A014053)
Watub Maulana (G1A014054)

Diajukan sebagai salah satu komponen penilaian dalam


Blok 7.4 Foundation of Clinical Rotation
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal 15 November 2017

Pembimbing

dr. Lilik Karsono, Sp.KK.


BAB I

PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 2010). Salah satu kelainan
kulit yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi kulit adalah eritroderma.
Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun insidensi
eritroderma semakin meningkat didalam kehidupan sehari-hari dan masalah yang
ditimbulkannya cukup parah. Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan
akurat serta penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis penderita
(Siregar, 2004).
Prevalensi eritoderma kian meningkat selaras dengan peningkatan
kejadian psoriasis karena salah satu kausa yang paling sering adalah psoriasis.
Dari beberapa pendapat para ahli, eritoderma dibagi menjadi dua sesuai
penyebabnya yaitu : eritoderma akibat alergi obat secara sistemik dan eritoderma
akibat perluasan penyakit kulit (Djuanda, 2010). Pada eritoderma akibat alergi
obat diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat penyebabnya.
Umumnya alergi timbul akut dalam waktu 10 hari dan wujud kelainan kulitnya
berupa eritema saja setelah fase penyembuhan barulah timbul skuama. Pada
eritoderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali disebabkan oleh psoriasis
dan dermatitis seborik pada bayi. Faktor penyebab psoriasis menjadi eritoderma
ada 2 hal yaitu karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu
kuat (Siregar, 2004).
Eritroderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro (red = merah) dan
derma, dermatos (skin = kulit), merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan
eritema mengenai 90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai
skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada
eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak
disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena
bercampur dengan hiperpigmentasi. Bila eritema mencangkup antara 50% - 90%
maka sering dinamai pre-eritroderma (Siregar, 2004). Kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya gambaran kemerahan yang bersifat universal atau yang mencakup
90% permukaan tubuh diakibatkan oleh pelebaran pembuluh darah pada kulit atau
yang sering disebut eritema. Keadaan tersebut berlangsung dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu (Djuanda, 2010)
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. Kastari


Usia : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Agam : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Pengayam bambu
Alamat : Bantar RT 2 RW 5 Jatilawang
Waktu datang : 14 November 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Gatal dan perih di tangan, kaki, perut dan punggung sejak 1 bulan
yang lalu.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli klinik kulit dan kelamin pada hari Selasa, 14
November 2017 pukul 09.40 WIB dengan keluhan gatal dan perih di
tangan, kaki, perut dan punggung sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya
pasien mengalami gatal di kedua telapak tangan, setelah itu keluhan
juga dirasakan pada kaki, perut dan punggung. Selain gatal, pasien
juga mengeluhkan bengkak pada daerah tangan. Ujud kelainan kulit
yang tampak adalah plak hiperpigmentasi dengan ekskoriasi dan
skuama kasar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : Makanan amis
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit serupa : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sedang / compos mentis


Vital Sign : TD : 130/70 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,5 0C
Status Gizi : BB : 36 kg

1. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Tiroid : tidak teraba besar
c. Pemeriksaan dada
Jantung : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Dinding dada : Simetris
d. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : datar
Hepar/lien : tak ada kelainan
Usus : bising usus (+) normal
e. Pemeriksaan punggung
Vertebrae : dbn
Ginjal : dbn
f. Pemeriksaan ekstremitas : edema -/-/-/-
g. Pemeriksaan limphonodi : tidak teraba pembesaran
h. Pemeriksaan reflek : RF (+), RP (-)
i. Pemeriksaan turgor kulit : capillary refill < 2 detik
j. Pemeriksaan akral : hangat +/+/+/+

2. Status Dermatologis
1. Lokasi
- Regio manus dextra et sinistra
- Regio pedis dextra et sinistra
- Regio abdomen
- Regio punggung
2. Eflorosensi
- Plak hiperpigmentasi
- Ekskoroiasi dan skuama kasar

D. DIAGNOSA KERJA
Eritroderma et causa dermatitis atopik

E. DIAGNOSIS BANDING
Psoriasis
Dermatitis seboroik
Dermatitis atopik

F. TINDAKAN DAN TERAPI


Dexoksimetason 30 mg
Soft U Derm 20 mg 2x1
Metilprednisolon 16 mg 2-0-2
Ranitidin 1-0-1
Loratadin 1x1

G. PROGNOSA
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Eritroderma

Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) +


derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai
90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama.
Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di
samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik temasuk
keganasan pada sistem limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada
beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma
yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak
disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas
karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Nama lain penyakit ini adalah
dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya mempunyai
pengertian yang agak berbeda. Kata eksfoliasi berdasarkan pengelupasan
skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan
kata dermatitis digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus.
Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah
ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis spongiotik
lainnya), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi,
antibiotika, calcium channel blocker, dan bahan topikal), penyakit sistemik
termasuk keganasan, serta idiopatik (20%).

Eritroderma dapat disebabkan oleh karena mengonsumsi obat-obatan.


Semua obat yang dianggap sebagai faktor pemicu eritroderma harus
dihentikan pemakaiannya, seperti obat yang mengandung lithium dan obat
antimalaria yang dapat menjadi pencetus pada pasien dengan psoriasis.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat mencetuskan terjadinya eritroderma:
Gambar 1. Obat yang Dapat Mencetuskan Terjadinya Eritroderma (Grant-
Kels, 2008).

B. Epidemiologi Eritroderma

Penyakit kulit yang sedang diderita memegang peranan lebih dari


setengah kasus dari eritroderma. Seperti yang telah disebutkan bahwa pasien
dengan eritroderma bukan pasien yang sering ditemukan namun disadari
adanya peningkat jumlah pasien hari demi hari. Menurut beberapa
penelitian menunjukan insidensi eritroderma mencapai 71 per 100.000
pasien. Dengan penyebab utama ialah psoriasis yang meluas oleh sebab itu
insidensi meningkat seiring dengan insidensi psoriasis. Identifikasi psoriasis
mendasari penyakit eritroderma lebih dari seperempat kasus didapatkan
laporan bahwa terdapat 87 dari 160 kasus adalah psoriasis berat (Siregar,
2004)
Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita, namun paling sering
pada pria dengan rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40
tahun, meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Anak-anak bisa
menderita eritroderma lebih sering diakibatkan oleh alergi terhadap obat.
Alergi terhadap obat bisa karena pengobatan yang dilakukan sendiri ataupun
penggunaan obat secara tradisional (Umar, 2012)

E. Patomekanisme Eritroderma

Patogenesis eritroderma berkaitan dengan kelainan yang mendasari


penyakit ini. Peningkatan IgE terjadi pada berbagai kelainan yang
mendasari eritroderma. Peningkatan IgE akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran histamin oleh eosinofil. Pengeluaran histamin akan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang akan menyebabkan
gambaran makula/plak eritem dan pruritus (Grant-Kels, 2008). Patogenesis
eritroderma masih menjadi perdebatan. Penelitian terbaru mengatakan
bahwa hal ini merupakan proses sekunder dari interaksi kompleks antara
molekul sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2, IL-
8), molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor nekrosis faktor, dan
interferon- yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah, peningkatan
ploriferasi epidermal (laju mitosis), peningkatan sel germinativum kulit dan
peningkatan epidermis turn over rate (Sehgal, 2004). Selain itu, proses
pematangan dan pelepasan sel melalui epidermis menurun yang
menyebabkan hilangnya sebagian besar material epidermis, yang secara
klinis ditandai dengan skuama dan pengelupasan yang hebat. Pengelupasan
kulit yang hebat dapat mengakibatkan tubuh kekurangan protein
(hipoproteinemia). Keadaan ini dapat memicu ekstravasasi cairan ke
ekstravaskular yang akan menimbulkan gambaran edem. Selain itu,
pengelupasan kulit dapat memicu peningkatan evaporasi sehingga pasien
menyebabkan dehidrasi. Kulit merupakan barier yang menjaga suhu tubuh
tetap stabil, sehingga pengelupasan kulit yang hebat akan memicu
pengeluaran panas dari tubuh yang dapat memicu terjadinya hipotermia
(Hil, 1969).
Adanya penyakit Obat: antiepilepsi, CTCL: Cutaneus T Cell
Factor genetik
kulit sebelumnya antibiotic, simetidine, Lymphoma/ Sezary
dapson dll. Syndrome
Adanya reaksi
autoimun Adanya reaksi Adanya infeksi
Dermatitis Dermatitis
hipersensitivitas virus
atopik soboroik
Infeksi
streptococcus b
Peningkatan IgE
haemolyticus,
stres, perubahan Adanya kondisi
Reaksi alergi
iklim px kulit yg parah MK: Nyeri akut
Psoriasis vulgaris akibat reaksi
autoimun Pengeluaran histamine oleh
reseptor H1 Adanya
dengan
lesi
kolonisasi
streptococcus Gatal2 seluruh tubuh MK:
Eritroderma
aureus
resiko
Mk: Kerusakan
Reaksi tubuh infeksi
integritas kulit
terhadap agen
Ketidakmampuan
dalam tubuh
mengabsorbsi nutrien
(IgE meningkat) MK: Gangguan citra
tubuh
Pelebaran pembuluh Kecepatan mitosis
Pada rambut Alopesi a
darah kapiler di kulit (2-3 hari)
seluruh tubuh Kehilangan
hipertermi
Transit sel melalui epidermis panas
eritema menjadi lebih pendek Pengatur
an suhu Peningkatan laju
metabolisme
Aliran darah ke terganggu
epidermal turn over
kulit meningkat
Terjadinya Kehilangan cairan
Kehilangan
Kehilangan panas penipisan
/rontoknya skuama
jar. kulit
/evaporasi yg tebal dan tipis MK: kekurangan
vol. cairan
menggigil Kehilangan protein, As Menggan
Amino, As nukleat & ggu Kekura BB
as.amino bebas. metabolis ngan
Jika terus menerus
me tubuh nutrisi

Tubuh kehilangan Mk: hipotermia


MK: Ketidakseimbangan nutrisi
panas
kurang dari kebutuhan tubuh
F. Tatalaksana Eritroderma

1. Medikamentosa
Eritroderma merupakan salah satu kegawatdaruratan kulit dan
membutuhkan perawatan di rumah sakit pada kasus yang berat.
Prinsip penatalaksanaan pada eritroderma adalah menjaga kelembaban
kulit, menghindari garukan, menghindari faktor pemicu, pemberian
steroid topikal, dan mengobati penyebab serta komplikasi yang terjadi.
Pada eritroderma, terjadi peningkatan kehilangan cairan
transepidermal, sehingga pasien berisiko tinggi untuk mengalami
dehidrasi. Tatalaksana awal yang dapat diberikan yaitu pemberian dan
pengawasan asupan cairan dan elektrolit untuk mencegah dehidr asi
(Grant-Kels et al., 2008; Parimalan et al., 2012).
Pada pasien eritroderma, terjadi gangguan fungsi termoregulasi
di kulit menyebabkan tubuh melepaskan panas secara spontan.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kondisi hipotermia. Suhu
ruangan dan disekitar lingkugan pasien harus hangat dan lembap demi
kenyamanan pasien, kelembapan kuit dan mencegah terjadinya
hipotermia. Kulit pasien cenderung kering dan bersisik
sehingga berisiko untuk terjadinya infeksi sekunder yang bersifat
lokal. Sehingga, untuk menjaga kelembaban kulit pasien, dapat
menggunakan obat seperti emolien atau kortikosteroid potensi rendah.
Emolien merupakan suatu bahan yang melembutkan dan
melembabkan kulit dengan cara membatasi hilangnya cairan, seperti
Emolin lanolin 10% dan Carbonyl diamide (urea) 20 mg 2x1
diberikan setelah habis mandi. Perawatan kulit seperti oatmeal baths
dan wet dressings, dapat digunakan untuk membersihkan lesi krusta
(Grant-Kels, 2008).
Terapi simptomatik pada penderita eritroderma yaitu
antihistamin generasi pertama bersifat sedatif (Chlorpheniramine 2-
4mg/hari) dan dapat menggunakan antihistamin generasi kedua non
sedatif (Loratadine 1x 10mg) untuk meredakan keluhan gatal. Selain
itu, diuretik untuk mengurangi edema pada ekstremitas bawah akibat
kadar albumin yang rendah di dalam darah menyebabkan tekanan
onkotik menurun sehingga cairan intrasel akan mengisi jaringan
interstisial (Grant-Kels, 2008).
Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien mendapat infeksi
sekunder baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Kortikosteroid
sistemik dapat digunakan untuk eritroderma yang dimediasi oleh
reaksi hipersensitivitas obat, spongiotic dermatitis
dan papuloerythroderma of Ofuji. Pada eritroderma akibat alergi obat
secara sistemik, dosis prednison adalah 4 x 10 mg. Penyembuhan
biasanya terjadi cepat dalam beberapa hari hingga minggu. Pada
eritroderma akibat perluasan penyakit dosis awal yaitu 4 x 10-15 mg
per hari. Pada pengobatan kortikosteroid tidak lama (lebih dari 1
bulan) sebaiknya digunakan metilprednisolon dibandingkan prednison
karena efek samping yang lebih sedikit dengan dosis ekuivalen Selain
itu kortikosteroid sistemik dapat digunakan sebagai terapi empiris
pada eritroderma yang tidak diketahui etiologinya. Dosis
kortikosteroid yang digunakan adalah 1-2mg/kg/hari. Penggunaan
kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien eritroderma yang
dicetuskan oleh psoriasis karena dapat menyebabkan terjadinya
reborn flare. (Sehgal et al., 2004).
Terapi empiris pada eritroderma yang tidak diketahui
etiologinya dapat diberikan kortikosteroid sistemik, metotrexat,
cyclosporin (obat imunosupresan untuk psoriasis), acitretin, dan
mycophenolat mofetil.
Gambar 2. Tatalaksana Eritroderma (Menaldi et al., 2015).

2. Non Medikamentosa
a) Edukasi mengenai penyakit, pengobatan, pencegahan,
komplikasi dan prognosis.
b) Diet tinggi protein. Penggunaan protein yang berlebihan dapat
terjadi karena peningkatan pembentukan skuama. Kehilangan
banyak protein ini akan menyebabkan terjadinya kondisi
hipoalbuminemia. Untuk mengganti kehilangan protein yang
cukup besar dari permukaan kulit (Aditya, 2013).
c) Menghindari garukan
d) Menghindari faktor pemicu/predisposisi
e) Menghentikan penggunaan obat yang tidak perlu

3. Pencegahan
Edukasi pasien sebaiknya sesuai penyebab yang mendasarinya.
Tetapi secara umum, mengajarkan cara hidup sehat dan deteksi dini
tanda gejala eritroderma yang muncul (atau kambuh) serta segera
konsultasi ke dokter. Pasien sebaiknya menghindari penggunaan atau
kontak dengan iritan seperti sabun, lotion, deterjen, clorin dan
sebagainya yang menyebabkan alergi. Untuk menghindari keparahan
penyakit akibat kondisi kulit merah bahkan sampai bersisik yang
dikarenakan kelainan pergantian kulit yang terlalu cepat, hal-hal yang
dapat disampaikan dokter terhadap pasien eritroderma antara lain
hindari trauma fisik, akibat gesekan atau garukan, dan sengatan
matahari, kurangi stress karena memungkinkan mengganggu
kekebalan tubuh, kebiasaan merokok, cuaca dingin serta berkeringat
berlebihan (Earlina, 2009).

G. Komplikasi Eritroderma
Komplikasi umum yang sering terjadi antara lain infeksi sekunder,
dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, disregulasi suhu tubuh, cardiac
output jantung meningkat. Pada penelitian Earlina, dkk tahun 2009
menyebutkan bahwa komplikasi yang muncul pada penderita eritroderma di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu 2005 sampai 2007 antara
lain hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, sepsis dan gagal napas (Earlina,
2009).

Pelebaran kapiler disertai kondisi kulit mengelupas panas tubuh


mudah lepas/keluar penguapan meningkat dehidrasi dan hipotermi
Basal Metabolic Rate (BMR) meningkat hipoalbuminemia.

H. Prognosis Eritroderma
Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan akurat serta
penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis pada pasien.
Kondisi peradangan kulit yang begitu luas pada eritroderma merupakan
salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin
meningkat bila diderita oleh penderita dengan usia yang sangat muda atau
pada usia lanjut. Secara umum, prognosis baik pada pasien yang disebabkan
oleh reaksi atau alergi obat, setelah obat penyebab dihindari dan penderita
diberikan edukasi. Penderita dengan eritroderma idiopatik prognosisnya
buruk, sering kambuh atau kronis dengan gejala komplikasi pemakaian
steroid jangka panjang (Earlina, 2009).

I. Diagnosis Banding

1. Psoriasis
a. Definisi
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit bersifat
kronis residif, dapat mengenai semua umur yang ditandai
dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik yang tebal
berwarna putih keperakan dan berbatas tegas. Umumnya lesi
psoriasis berdistribusi secara simetris dengan predileksi
terutama di daerah siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral,
bokong dan genitalia (Schon dkk. 2005; Simmon 2007;
Gudjonsson dkk.2012).

b. Etiologi
Psoriasis merupakan penyakit kulit kronis inflamatorik
dengan faktor genetik yang kuat, dengan ciri gangguan
perkembangan dan diferensiasi epidermis, abnormalitas
pembuluh darah, faktor imunologis dan biokimiawi, serta fungsi
neurologis. Penyebab dasarnya belum diketahui pasti. Dahulu
diduga berkaitan dengan gangguan primer keratinosit, namun
berbagai penelitian telah mengetahui adanya peran imunologis.
Bila kedua orang tua mengidap psoriasis, risiko seseorang
mendapat psoriasis adalah 41%, 14% bila hanya dialami oleh
salah satunya, 4% bila 1 orang saudara kandung terkena, dan
turun menjadi 2% bila tidak ada riwayat keluarga. Psoriasis
Susceptibility 1 atau PSORS1 (6p21.3) adalah salah satu lokus
genetik pada kromosom yang berkontribusi dalam patogenesis
psoriasis. Beberapa alel HLA yang berkaitan adalah HLA B13
dan HLA DQ9. HLA Cw6 merupakan alel yang terlibat dalam
patogenesis artritis psoriatika serta munculnya lesi kulit yang
lebih dini. HLA Cw6 akan mempresentasikan antigen ke sel T
CD 8+.

c. Manifestasi Klinis
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik dengan
manifestasi klinis pada kulit dan kuku. Lesi kulit biasanya
merupakan plak eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi,
dengan skuama berwarna keperakan, hasil proliferasi epidermis
maturasi prematur dan kornifikasi inkomplet keratinosit dengan
retensi nuklei di stratum korneum (parakeratosis). Meskipun
terdapat beberapa predileksi khas seperti pada siku, lutut, serta
sakrum, lesi dapat ditemukan di seluruh tubuh. Gambaran klinis
lain yang dapat menyertai adalah artritis psoriatika pada sendi
interfalang jari tangan, distrofi kuku, dan lesi psoriatik nail bed.
Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas tegas,
meninggi, diselubungi oleh skuama putih. Lesi kulit cenderung
simetris, meskipun dapat unilateral.Klasifikasi Klinis Lesi Kulit
Psoriasis adalah sebagai berikut :
Psoriasis Vulgaris/Tipe Plakat Kronis/Chronic Stationary
Psoriasis
Merupakan bentuk tersering (90% pasien), dengan
karakteristik klinis plakat kemerahan, simetris, dan
berskuama pada ekstensor ekstremitas.
Psoriasis Guttata (Eruptif )
Guttata berasal dari bahasa Latin Gutta yang berarti
tetesan, dengan lesi berupa papul kecil (diameter 0,5-1,5
cm) di tubuh bagian atas dan ekstremitas proksimal.
Psoriasis Plakat Berukuran Kecil
Pada tipe ini, lesi muncul pada usia yang lebih tua, kronis,
berukuran lebih besar (1-2 cm), dengan skuama lebih
banyak dan tebal. Biasanya muncul pada lanjut usia di
beberapa negara Asia.
Psoriasis Inversa
Pada tipe ini muncul di lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
genitokruris, serta leher. Lesi biasanya berbentuk eritema
mengkilat berbatas tegas dengan sedikit skuama, disertai
gangguan perspirasi pada area yang terkena.
Psoriasis Eritrodermik
Tipe ini mengenai hampir seluruh bagian tubuh, dengan
efl oresensi utama eritema. Skuama tipis, superfi sial,
tidak tebal, serta melekat kuat pada permukaan kulit di
bawahnya seperti psoriasis pada umumnya, dengan kulit
yang hipohidrosis. Risiko hipotermia sangat besar karena
vasodilatasi luas pada kulit.
Psoriasis Pustular
Psoriasis pustular memiliki beberapa variasi secara klinis
seperti psoriasis pustular generalisata (Von Zumbuch),
psoriasis pustular annular, impetigo herpetiformis, dan
psoriasis pustular lokalisata (pustulosis palmaris et
plantaris dan akrodermatitis kontinua).
Sebopsoriasis
Sebopsoriasis ditandai dengan adanya plak eritematosa
dengan skuama berminyak pada area kulit yang seboroik
(kulit kepala, glabella, lipatan nasolabialis, perioral, serta
sternum).
Napkin Psoriasis
Bentuk ini biasanya muncul pada usia 3-6 bulan di area
kulit yang terkena popok (diaper area).

d. Diagnosis
Penegakan diagnosis psoriasis menurut Djuanda tahun 2010
adalah :
1) Anamnesis : Pada saat dilakukan anamnesis, pasien akan
mengeluh ada gatal ringan pada tempat predileksi yaitu
skalp, perbatasan daerah tersebut dengan
muka,ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta
lutut, dan daerah lumbosakral.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dari inspeksi effloresensi : Lesi pada
kulit berupa eritema yang meninggi (plak) dengan skuama
yang berlapis-lapis, kasar, berwarna putih seperti mika,
serta transparan. Lesi psoriasis dapat timbul lesi yg serupa
pada tempat bekas trauma atau disebut juga Koebners
Phenomenon. Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan
kuku yang agak khas yaitu pitting nail/nail pit (lekukan-
lekukan miliar). Yang tak khas yaitu kuku yang keruh,
tebal, bagian distalnya terangkat (hiperkeratosis
subungual) dan onikolisis.
3) Pemeriksaan Penunjang
Lakukan pemeriksaan fenomena tetesan lilin (candle sign)
yang didapatkan hasilnya positif (skuama yang telah
digores terlihat lebih putih) dan lakukan juga pemeriksaan
fenomena Auspitz yang hasilnya positif (pada saat
menggores skuama hingga dasar lalu terlihat bintik-bintik
pendarahan).
Pada lesi yang telah berkembang penuh seperti yang
terlihat pada plak, gambaran histopatologi berupa:
Akantosis dengan elongasi teratur dari rete ridges, bagian
bawahnya; penipisan epidermis lempeng suprapapilar
dengan kadang-kadang terdapat pustul spongiformis kecil;
warna pucat pada lapisan atas epidermis; berkurang atau
hilangnya lapisan granulosum; parakeratosis bersatu ;
terdapat mikroabses Munro; Elongasi dan edema papila
dermis; Kapiler berkelok-kelok.
Gambar 3. Gambaran histopatologi psoriasis (Djuanda, 2010)

Gambar 4. Gambaran histopatologi psoriasis (Djuanda, 2010)

2. Dermatitis Seboroik

a. Definisi
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous
kronis terutama ditemukan di daerah sebasea. Dermatitis
seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama pada bayi
dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar
dekade keempat sampai ketujuh kehidupan (Fadila et al., 2014).
Lesi dermatitis seboroik terbanyak dialami oleh penderita pada
bagian wajah terbanyak, kemudian, kulit kepala, dada, tangan
dan kaki. Hal ini berhubungan dengan peningkatan produksi
sebum (sebasea atau seborrhea) yang letaknya paling banyak di
kulit kepala dan daerah folikel kaya sebasea pada wajah dan
leher. (Fadila et al., 2014). Lesi-lesi dermatitis seboroik dapat
terjadi juga pada daerah supraorbital, disertai dengan blefaritis,
dan juga pada liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah
sterna, aerola mammae, dan daerah lipatan-lipatan tubuh (Terroe
et al., 2015).

b. Tanda dan gejala klinis


Kelainan kulit pada dermatitis seboroik terdiri atas eritema
dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan, dengan batas
kurang tegas. Bentuk dermatitis seboroik yang berat ditandai
dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan berminyak
disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi,
glabela, post auricular dan leher. Pada bentuk yang lebih berat
lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta kotor, dan berbau
tidak sedap, sehingga sangat berpengaruh terhadap kepercayaan
diri penderita penyakit ini. Pada bayi, skuama-skuama yang
kekuningan pada kulit kepala disebut dengan cradle cap (Terroe
et al., 2015).

c. Etiologi
Ada tiga faktor yang berkaitan dengan munculnya
dermatitis seboroik, yaitu aktivitas kelenjar sebasea, peran
mikroorganisme (Malassezia), dan kerentanan idividu. Saat
tubuh berada dalam imunitas yang buruk, maka tubuh akan
mudah terinfeksi. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan
imun tubuh untuk melawan Malassezia, sehingga jumlah jamur
ini akan meningkat di dalam epidermis, keadaan ini juga
diperburuk oleh faktor lain, yaitu meningkatnya lapisan sebum
pada kulit dan degradasi sebum yang dapat mengiritasi kulit
sehingga hal inilah yang memicu kekambuhan dermatitis
seboroik (Djuanda A et al., 2015). Dermatitis seboroik sering
dikaitkan dengan berbagai kelainan neurologis, menunjuk
kemungkinan pengaruh dari sistem saraf (De Angelis et al.,
2005; Fitzpatrick TB, 2010).

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan histopatologi. Gambaran yang dilihat
hiperkeratosis, akantosis, fokal spongiosis, parakeratosis.
Dibedakan menjadi 3 yaitu : akut, sub akut dan kronik.
- Akut dan sub akut terdapat infiltrat perivaskuler
berupa limfosit dan histofit. Ada spongiosis dan
hyperplasia psoriasiformis
2) Kultur jamur dan kerokan kulit bermanfaat untuk
menyingkirkan tinea kapitis maupun infeksi yang
disebabkan kuman lainnya.
3) Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan dermatitis
atopic.
Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit
dimana memiliki karakteristik yang khas yakni
menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan parafin
disertai penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan
wax ester.
BAB V

KESIMPULAN

1. Eritoderma merupakan peradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih


pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama

2. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah
ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis spongiotik
lainnya), reaksi hipersensitivitas obat, penyakit sistemik termasuk
keganasan, serta idiopatik.

3. Eritroderma merupakan salah satu kegawatdaruratan kulit dan


membutuhkan perawatan di rumah sakit pada kasus yang berat. Prinsip
penatalaksanaan pada eritroderma adalah menjaga kelembaban kulit,
menghindari garukan, menghindari faktor pemicu, pemberian steroid
topikal, dan mengobati penyebab serta komplikasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Adityani, N. 2013. Eritroderma Et Causa Dermatitis Kontak Iritan. Jurnal


Medula. Vol. 1(05): Hal. 72-78.
De Angelis YM, Gemmer CM, Kaczvinsky R, Kennealy DC, Schwrz JR, dan
Dawson TL. 2005. Three etiologic facts of dandruff and seborrhic
dermatitis: Malassezia fungi, sebaceous lipids, and individual sensitivity.
J Investig Dermatol Symp Proc 10(1):295 297.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. 6th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Earlia, N., Nurharini, F., Jatmiko, A. C., & Ervianti, E. (2009). Penderita
eritroderma di instalasi rawat inap kesehatan kulit dan kelamin RSUD
Dr. Soctomo Surabaya Tahun, 2007, 2009.
Fadila, M. N., Sibero, H. T., Wahyuni, A., & Hamzah, M. S. (2014). Hubungan
antara Dermatitis Seboroik dengan Kualitas Hidup Pasien di Rsud Abdul
Moeloek Lampung. Majority, 3(6).
Fitzpatrick TB. 2010. Seborrhea Dermatitis. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. Editor Freedberg IM, edisi 6. New York: McGraw-Hill. Hlm
219-225.
Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. 2008. In: Wolff
K, Goldsmith, LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th ed. Chicago:
McGraw-Hill Company. p.225-32.
Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leff ell DJ, editors. Fitzpatricks dermatology
in general medicine. 7th ed. United States of America: McGraw Hill;
2008: 169-93.
Hil, D.H. 1969. Folate loss from the skin in exfoliative dermatitis. Arch Intern
Med ; 123: 5157.
Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Nestle FO, Kaplan DH, Barker J. Mechanism of disease psoriasis. N Eng J Med
[Internet]. 2009. [cited 2015 Jan 24]; 361: 496-509. Available from:
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra0804595
Sehgal VN, Srivastasa G, Sardana K. 2004. Erythroderma/exfoliative dermatitis: a
synopsis. International Journal of Dermatology. Vol. 43: p. 39 47.
Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2004.
Stern RS. Psoralen and ultraviolet A light therapy for psoriasis. N Eng J Med
[Internet]. 2007 [cited 2015 Jan 24]; 357: 682-90. Available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMct072317

Terroe, R. O., Kapantow, M. G., & Kandou, R. T. (2015). Profil Dermatitis


Seboroik Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. Rd Kandou
Manado Periode Januari-Desember 2012. E-Clinic, 3(1).
Umar, H., Sanusi. 2012. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis),
diunduh dari: www.emedicine.com, 14 November 2017.

Anda mungkin juga menyukai