ERITRODERMA
Pembimbing :
dr. Lilik Karsono, Sp.KK.
Oleh :
ERITRODERMA
Oleh :
Pembimbing
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 2010). Salah satu kelainan
kulit yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi kulit adalah eritroderma.
Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun insidensi
eritroderma semakin meningkat didalam kehidupan sehari-hari dan masalah yang
ditimbulkannya cukup parah. Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan
akurat serta penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis penderita
(Siregar, 2004).
Prevalensi eritoderma kian meningkat selaras dengan peningkatan
kejadian psoriasis karena salah satu kausa yang paling sering adalah psoriasis.
Dari beberapa pendapat para ahli, eritoderma dibagi menjadi dua sesuai
penyebabnya yaitu : eritoderma akibat alergi obat secara sistemik dan eritoderma
akibat perluasan penyakit kulit (Djuanda, 2010). Pada eritoderma akibat alergi
obat diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat penyebabnya.
Umumnya alergi timbul akut dalam waktu 10 hari dan wujud kelainan kulitnya
berupa eritema saja setelah fase penyembuhan barulah timbul skuama. Pada
eritoderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali disebabkan oleh psoriasis
dan dermatitis seborik pada bayi. Faktor penyebab psoriasis menjadi eritoderma
ada 2 hal yaitu karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu
kuat (Siregar, 2004).
Eritroderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro (red = merah) dan
derma, dermatos (skin = kulit), merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan
eritema mengenai 90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai
skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada
eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak
disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena
bercampur dengan hiperpigmentasi. Bila eritema mencangkup antara 50% - 90%
maka sering dinamai pre-eritroderma (Siregar, 2004). Kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya gambaran kemerahan yang bersifat universal atau yang mencakup
90% permukaan tubuh diakibatkan oleh pelebaran pembuluh darah pada kulit atau
yang sering disebut eritema. Keadaan tersebut berlangsung dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu (Djuanda, 2010)
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Gatal dan perih di tangan, kaki, perut dan punggung sejak 1 bulan
yang lalu.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Tiroid : tidak teraba besar
c. Pemeriksaan dada
Jantung : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Paru : SD vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Dinding dada : Simetris
d. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : datar
Hepar/lien : tak ada kelainan
Usus : bising usus (+) normal
e. Pemeriksaan punggung
Vertebrae : dbn
Ginjal : dbn
f. Pemeriksaan ekstremitas : edema -/-/-/-
g. Pemeriksaan limphonodi : tidak teraba pembesaran
h. Pemeriksaan reflek : RF (+), RP (-)
i. Pemeriksaan turgor kulit : capillary refill < 2 detik
j. Pemeriksaan akral : hangat +/+/+/+
2. Status Dermatologis
1. Lokasi
- Regio manus dextra et sinistra
- Regio pedis dextra et sinistra
- Regio abdomen
- Regio punggung
2. Eflorosensi
- Plak hiperpigmentasi
- Ekskoroiasi dan skuama kasar
D. DIAGNOSA KERJA
Eritroderma et causa dermatitis atopik
E. DIAGNOSIS BANDING
Psoriasis
Dermatitis seboroik
Dermatitis atopik
G. PROGNOSA
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Eritroderma
B. Epidemiologi Eritroderma
E. Patomekanisme Eritroderma
1. Medikamentosa
Eritroderma merupakan salah satu kegawatdaruratan kulit dan
membutuhkan perawatan di rumah sakit pada kasus yang berat.
Prinsip penatalaksanaan pada eritroderma adalah menjaga kelembaban
kulit, menghindari garukan, menghindari faktor pemicu, pemberian
steroid topikal, dan mengobati penyebab serta komplikasi yang terjadi.
Pada eritroderma, terjadi peningkatan kehilangan cairan
transepidermal, sehingga pasien berisiko tinggi untuk mengalami
dehidrasi. Tatalaksana awal yang dapat diberikan yaitu pemberian dan
pengawasan asupan cairan dan elektrolit untuk mencegah dehidr asi
(Grant-Kels et al., 2008; Parimalan et al., 2012).
Pada pasien eritroderma, terjadi gangguan fungsi termoregulasi
di kulit menyebabkan tubuh melepaskan panas secara spontan.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kondisi hipotermia. Suhu
ruangan dan disekitar lingkugan pasien harus hangat dan lembap demi
kenyamanan pasien, kelembapan kuit dan mencegah terjadinya
hipotermia. Kulit pasien cenderung kering dan bersisik
sehingga berisiko untuk terjadinya infeksi sekunder yang bersifat
lokal. Sehingga, untuk menjaga kelembaban kulit pasien, dapat
menggunakan obat seperti emolien atau kortikosteroid potensi rendah.
Emolien merupakan suatu bahan yang melembutkan dan
melembabkan kulit dengan cara membatasi hilangnya cairan, seperti
Emolin lanolin 10% dan Carbonyl diamide (urea) 20 mg 2x1
diberikan setelah habis mandi. Perawatan kulit seperti oatmeal baths
dan wet dressings, dapat digunakan untuk membersihkan lesi krusta
(Grant-Kels, 2008).
Terapi simptomatik pada penderita eritroderma yaitu
antihistamin generasi pertama bersifat sedatif (Chlorpheniramine 2-
4mg/hari) dan dapat menggunakan antihistamin generasi kedua non
sedatif (Loratadine 1x 10mg) untuk meredakan keluhan gatal. Selain
itu, diuretik untuk mengurangi edema pada ekstremitas bawah akibat
kadar albumin yang rendah di dalam darah menyebabkan tekanan
onkotik menurun sehingga cairan intrasel akan mengisi jaringan
interstisial (Grant-Kels, 2008).
Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien mendapat infeksi
sekunder baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Kortikosteroid
sistemik dapat digunakan untuk eritroderma yang dimediasi oleh
reaksi hipersensitivitas obat, spongiotic dermatitis
dan papuloerythroderma of Ofuji. Pada eritroderma akibat alergi obat
secara sistemik, dosis prednison adalah 4 x 10 mg. Penyembuhan
biasanya terjadi cepat dalam beberapa hari hingga minggu. Pada
eritroderma akibat perluasan penyakit dosis awal yaitu 4 x 10-15 mg
per hari. Pada pengobatan kortikosteroid tidak lama (lebih dari 1
bulan) sebaiknya digunakan metilprednisolon dibandingkan prednison
karena efek samping yang lebih sedikit dengan dosis ekuivalen Selain
itu kortikosteroid sistemik dapat digunakan sebagai terapi empiris
pada eritroderma yang tidak diketahui etiologinya. Dosis
kortikosteroid yang digunakan adalah 1-2mg/kg/hari. Penggunaan
kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien eritroderma yang
dicetuskan oleh psoriasis karena dapat menyebabkan terjadinya
reborn flare. (Sehgal et al., 2004).
Terapi empiris pada eritroderma yang tidak diketahui
etiologinya dapat diberikan kortikosteroid sistemik, metotrexat,
cyclosporin (obat imunosupresan untuk psoriasis), acitretin, dan
mycophenolat mofetil.
Gambar 2. Tatalaksana Eritroderma (Menaldi et al., 2015).
2. Non Medikamentosa
a) Edukasi mengenai penyakit, pengobatan, pencegahan,
komplikasi dan prognosis.
b) Diet tinggi protein. Penggunaan protein yang berlebihan dapat
terjadi karena peningkatan pembentukan skuama. Kehilangan
banyak protein ini akan menyebabkan terjadinya kondisi
hipoalbuminemia. Untuk mengganti kehilangan protein yang
cukup besar dari permukaan kulit (Aditya, 2013).
c) Menghindari garukan
d) Menghindari faktor pemicu/predisposisi
e) Menghentikan penggunaan obat yang tidak perlu
3. Pencegahan
Edukasi pasien sebaiknya sesuai penyebab yang mendasarinya.
Tetapi secara umum, mengajarkan cara hidup sehat dan deteksi dini
tanda gejala eritroderma yang muncul (atau kambuh) serta segera
konsultasi ke dokter. Pasien sebaiknya menghindari penggunaan atau
kontak dengan iritan seperti sabun, lotion, deterjen, clorin dan
sebagainya yang menyebabkan alergi. Untuk menghindari keparahan
penyakit akibat kondisi kulit merah bahkan sampai bersisik yang
dikarenakan kelainan pergantian kulit yang terlalu cepat, hal-hal yang
dapat disampaikan dokter terhadap pasien eritroderma antara lain
hindari trauma fisik, akibat gesekan atau garukan, dan sengatan
matahari, kurangi stress karena memungkinkan mengganggu
kekebalan tubuh, kebiasaan merokok, cuaca dingin serta berkeringat
berlebihan (Earlina, 2009).
G. Komplikasi Eritroderma
Komplikasi umum yang sering terjadi antara lain infeksi sekunder,
dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, disregulasi suhu tubuh, cardiac
output jantung meningkat. Pada penelitian Earlina, dkk tahun 2009
menyebutkan bahwa komplikasi yang muncul pada penderita eritroderma di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu 2005 sampai 2007 antara
lain hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, sepsis dan gagal napas (Earlina,
2009).
H. Prognosis Eritroderma
Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan akurat serta
penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis pada pasien.
Kondisi peradangan kulit yang begitu luas pada eritroderma merupakan
salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin
meningkat bila diderita oleh penderita dengan usia yang sangat muda atau
pada usia lanjut. Secara umum, prognosis baik pada pasien yang disebabkan
oleh reaksi atau alergi obat, setelah obat penyebab dihindari dan penderita
diberikan edukasi. Penderita dengan eritroderma idiopatik prognosisnya
buruk, sering kambuh atau kronis dengan gejala komplikasi pemakaian
steroid jangka panjang (Earlina, 2009).
I. Diagnosis Banding
1. Psoriasis
a. Definisi
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit bersifat
kronis residif, dapat mengenai semua umur yang ditandai
dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik yang tebal
berwarna putih keperakan dan berbatas tegas. Umumnya lesi
psoriasis berdistribusi secara simetris dengan predileksi
terutama di daerah siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral,
bokong dan genitalia (Schon dkk. 2005; Simmon 2007;
Gudjonsson dkk.2012).
b. Etiologi
Psoriasis merupakan penyakit kulit kronis inflamatorik
dengan faktor genetik yang kuat, dengan ciri gangguan
perkembangan dan diferensiasi epidermis, abnormalitas
pembuluh darah, faktor imunologis dan biokimiawi, serta fungsi
neurologis. Penyebab dasarnya belum diketahui pasti. Dahulu
diduga berkaitan dengan gangguan primer keratinosit, namun
berbagai penelitian telah mengetahui adanya peran imunologis.
Bila kedua orang tua mengidap psoriasis, risiko seseorang
mendapat psoriasis adalah 41%, 14% bila hanya dialami oleh
salah satunya, 4% bila 1 orang saudara kandung terkena, dan
turun menjadi 2% bila tidak ada riwayat keluarga. Psoriasis
Susceptibility 1 atau PSORS1 (6p21.3) adalah salah satu lokus
genetik pada kromosom yang berkontribusi dalam patogenesis
psoriasis. Beberapa alel HLA yang berkaitan adalah HLA B13
dan HLA DQ9. HLA Cw6 merupakan alel yang terlibat dalam
patogenesis artritis psoriatika serta munculnya lesi kulit yang
lebih dini. HLA Cw6 akan mempresentasikan antigen ke sel T
CD 8+.
c. Manifestasi Klinis
Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik dengan
manifestasi klinis pada kulit dan kuku. Lesi kulit biasanya
merupakan plak eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi,
dengan skuama berwarna keperakan, hasil proliferasi epidermis
maturasi prematur dan kornifikasi inkomplet keratinosit dengan
retensi nuklei di stratum korneum (parakeratosis). Meskipun
terdapat beberapa predileksi khas seperti pada siku, lutut, serta
sakrum, lesi dapat ditemukan di seluruh tubuh. Gambaran klinis
lain yang dapat menyertai adalah artritis psoriatika pada sendi
interfalang jari tangan, distrofi kuku, dan lesi psoriatik nail bed.
Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa berbatas tegas,
meninggi, diselubungi oleh skuama putih. Lesi kulit cenderung
simetris, meskipun dapat unilateral.Klasifikasi Klinis Lesi Kulit
Psoriasis adalah sebagai berikut :
Psoriasis Vulgaris/Tipe Plakat Kronis/Chronic Stationary
Psoriasis
Merupakan bentuk tersering (90% pasien), dengan
karakteristik klinis plakat kemerahan, simetris, dan
berskuama pada ekstensor ekstremitas.
Psoriasis Guttata (Eruptif )
Guttata berasal dari bahasa Latin Gutta yang berarti
tetesan, dengan lesi berupa papul kecil (diameter 0,5-1,5
cm) di tubuh bagian atas dan ekstremitas proksimal.
Psoriasis Plakat Berukuran Kecil
Pada tipe ini, lesi muncul pada usia yang lebih tua, kronis,
berukuran lebih besar (1-2 cm), dengan skuama lebih
banyak dan tebal. Biasanya muncul pada lanjut usia di
beberapa negara Asia.
Psoriasis Inversa
Pada tipe ini muncul di lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
genitokruris, serta leher. Lesi biasanya berbentuk eritema
mengkilat berbatas tegas dengan sedikit skuama, disertai
gangguan perspirasi pada area yang terkena.
Psoriasis Eritrodermik
Tipe ini mengenai hampir seluruh bagian tubuh, dengan
efl oresensi utama eritema. Skuama tipis, superfi sial,
tidak tebal, serta melekat kuat pada permukaan kulit di
bawahnya seperti psoriasis pada umumnya, dengan kulit
yang hipohidrosis. Risiko hipotermia sangat besar karena
vasodilatasi luas pada kulit.
Psoriasis Pustular
Psoriasis pustular memiliki beberapa variasi secara klinis
seperti psoriasis pustular generalisata (Von Zumbuch),
psoriasis pustular annular, impetigo herpetiformis, dan
psoriasis pustular lokalisata (pustulosis palmaris et
plantaris dan akrodermatitis kontinua).
Sebopsoriasis
Sebopsoriasis ditandai dengan adanya plak eritematosa
dengan skuama berminyak pada area kulit yang seboroik
(kulit kepala, glabella, lipatan nasolabialis, perioral, serta
sternum).
Napkin Psoriasis
Bentuk ini biasanya muncul pada usia 3-6 bulan di area
kulit yang terkena popok (diaper area).
d. Diagnosis
Penegakan diagnosis psoriasis menurut Djuanda tahun 2010
adalah :
1) Anamnesis : Pada saat dilakukan anamnesis, pasien akan
mengeluh ada gatal ringan pada tempat predileksi yaitu
skalp, perbatasan daerah tersebut dengan
muka,ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta
lutut, dan daerah lumbosakral.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dari inspeksi effloresensi : Lesi pada
kulit berupa eritema yang meninggi (plak) dengan skuama
yang berlapis-lapis, kasar, berwarna putih seperti mika,
serta transparan. Lesi psoriasis dapat timbul lesi yg serupa
pada tempat bekas trauma atau disebut juga Koebners
Phenomenon. Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan
kuku yang agak khas yaitu pitting nail/nail pit (lekukan-
lekukan miliar). Yang tak khas yaitu kuku yang keruh,
tebal, bagian distalnya terangkat (hiperkeratosis
subungual) dan onikolisis.
3) Pemeriksaan Penunjang
Lakukan pemeriksaan fenomena tetesan lilin (candle sign)
yang didapatkan hasilnya positif (skuama yang telah
digores terlihat lebih putih) dan lakukan juga pemeriksaan
fenomena Auspitz yang hasilnya positif (pada saat
menggores skuama hingga dasar lalu terlihat bintik-bintik
pendarahan).
Pada lesi yang telah berkembang penuh seperti yang
terlihat pada plak, gambaran histopatologi berupa:
Akantosis dengan elongasi teratur dari rete ridges, bagian
bawahnya; penipisan epidermis lempeng suprapapilar
dengan kadang-kadang terdapat pustul spongiformis kecil;
warna pucat pada lapisan atas epidermis; berkurang atau
hilangnya lapisan granulosum; parakeratosis bersatu ;
terdapat mikroabses Munro; Elongasi dan edema papila
dermis; Kapiler berkelok-kelok.
Gambar 3. Gambaran histopatologi psoriasis (Djuanda, 2010)
2. Dermatitis Seboroik
a. Definisi
Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous
kronis terutama ditemukan di daerah sebasea. Dermatitis
seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama pada bayi
dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar
dekade keempat sampai ketujuh kehidupan (Fadila et al., 2014).
Lesi dermatitis seboroik terbanyak dialami oleh penderita pada
bagian wajah terbanyak, kemudian, kulit kepala, dada, tangan
dan kaki. Hal ini berhubungan dengan peningkatan produksi
sebum (sebasea atau seborrhea) yang letaknya paling banyak di
kulit kepala dan daerah folikel kaya sebasea pada wajah dan
leher. (Fadila et al., 2014). Lesi-lesi dermatitis seboroik dapat
terjadi juga pada daerah supraorbital, disertai dengan blefaritis,
dan juga pada liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah
sterna, aerola mammae, dan daerah lipatan-lipatan tubuh (Terroe
et al., 2015).
c. Etiologi
Ada tiga faktor yang berkaitan dengan munculnya
dermatitis seboroik, yaitu aktivitas kelenjar sebasea, peran
mikroorganisme (Malassezia), dan kerentanan idividu. Saat
tubuh berada dalam imunitas yang buruk, maka tubuh akan
mudah terinfeksi. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan
imun tubuh untuk melawan Malassezia, sehingga jumlah jamur
ini akan meningkat di dalam epidermis, keadaan ini juga
diperburuk oleh faktor lain, yaitu meningkatnya lapisan sebum
pada kulit dan degradasi sebum yang dapat mengiritasi kulit
sehingga hal inilah yang memicu kekambuhan dermatitis
seboroik (Djuanda A et al., 2015). Dermatitis seboroik sering
dikaitkan dengan berbagai kelainan neurologis, menunjuk
kemungkinan pengaruh dari sistem saraf (De Angelis et al.,
2005; Fitzpatrick TB, 2010).
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan histopatologi. Gambaran yang dilihat
hiperkeratosis, akantosis, fokal spongiosis, parakeratosis.
Dibedakan menjadi 3 yaitu : akut, sub akut dan kronik.
- Akut dan sub akut terdapat infiltrat perivaskuler
berupa limfosit dan histofit. Ada spongiosis dan
hyperplasia psoriasiformis
2) Kultur jamur dan kerokan kulit bermanfaat untuk
menyingkirkan tinea kapitis maupun infeksi yang
disebabkan kuman lainnya.
3) Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan dermatitis
atopic.
Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit
dimana memiliki karakteristik yang khas yakni
menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan parafin
disertai penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan
wax ester.
BAB V
KESIMPULAN
2. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah
ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis spongiotik
lainnya), reaksi hipersensitivitas obat, penyakit sistemik termasuk
keganasan, serta idiopatik.