Anda di halaman 1dari 133

Daftar Isi

Bab 1. Bagan Konsep Pajak Penghasilan Badan................................................................. 2


Bab 2. Subjek Pajak Penghasilan Badan............................................................................. 3
Bab 3. Objek PPh Badan.................................................................................................... 9
Bab 4. Biaya Yang Boleh Dikurangkan (Deductable Expenses).......................................... 28
Bab 5. Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan (Nondeductable Expenses).......................... 49
Bab 6. Penilaian Harta Perusahaan.................................................................................... 55
Bab 7. Rekonsiliasi Fiskal................................................................................................... 61
Bab 8. Kompensasi Kerugian............................................................................................. 66
Bab 9. Tarif PPh Badan....................................................................................................... 68
Bab 10. Kredit Pajak WP Badan........................................................................................... 71
Bab 11. PPh Atas Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu....................................... 83
Bab 12. Bentuk Usaha Tetap................................................................................................ 88
Bab 13. Revaluasi Aktiva Tetap............................................................................................ 97
Bab 14. Fasilitas Dibidang PPh............................................................................................. 101
Bab 15. SPT Tahunan PPh Badan......................................................................................... 105
Bab 16. Capita Selecta......................................................................................................... 107
Bab 17. Lampiran - lampiran................................................................................................ 120

Halaman 1
Bab 1. Bagan Konsep Pajak Penghasilan Badan

Figure 1. Bagan Konsep PPh Badan

Modul Pajak Penghasilan Badan pada dasarnya adalah kelanjutan dari PPh Orang Pribadi. Pembaca modul ini
diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang Pribadi untuk mempermudah pemahaman. Seperti telah
dijelaskan dalam materi Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Sebagai Pajak Subjektif maka dalam sistimatika UU
Pajak Penghasilan yang pertama kali dibahas adalah Subjek Pajak Penghasilan (Pasal 2 UU PPh). Perbedaan
mendasar untuk Subjek Pajak Badan adalah mekanisme Penghitungan Penghasilan Kena Pajak harus
menggunakan mekanisme umum dan atau wajib menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak Badan tidak
diperkenankan menggunakan mekanisme norma penghitungan kecuali untuk perusahaan pelayaran/
penerbangan yang dapat menggunakan norma penghitungan khusus yang akan dijelaskan kemudian.

Sama seperti Subjek Pajak Orang Pribadi untuk menghitung PPh yang Kurang/Lebih dibayar pada akhir tahun.
PPh terutang dikurangkan terlebih dahulu dengan PPh tidak final yang dipotong/dipungut pihak lain sebagai
efek dari sistem witholding tax dan PPh yang dibayar sendiri sebagai angsuran sebagaimana diatur dalam pasal
25 UU Pajak Penghasilan. Hasil perhitungan secara self assesment ini harus dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan.

Untuk penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final, harus dibukukan secara terpisah dengan penghasilan
yang tidak dikenakan PPh Final. PPh Final dilaporkan secara terpisah dalam lampiran tersendiri dalam SPT
Tahunan PPh Badan. Termasuk PPh yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013, yang mulai
berlaku sejak 1 Juli 2013 yang akan dijelaskan dalam bab tersendiri.

Halaman 2
Bab 2. Subjek Pajak Penghasilan Badan

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dijelaskan
bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :
a. Orang Pribadi (Perseorangan)
b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan
c. Badan
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

2.1. Pengertian Subjek Pajak Badan

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, Firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Jadi Subjek Pajak Badan bukan hanya sebuah
perusahaan.

BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap
unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk
memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi,
persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Pengertian Badan bukan hanya yang menerbitkan/ mengeluarkan saham, tetapi juga yang tidak
menerbitkan saham, termasuk kegiatan yang dikelola lebih dari satu orang, demikian juga organisasi-
organisasi yang nirlaba semisal partai politik, perkumpulan sosial kemasyarakatan (LSM).

Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi :

Badan yang
Subjek Pajak
didirikan di
Dalam Negeri
Indonesia

Subjek Pajak Menjalankan


Badan Bentuk Usaha
Tetap (BUT)
Badan yang tidak
Subjek Pajak Luar
didirikan di
Negeri Indonesia Tidak
menjalankan
Bentuk Usaha
Tetap (BUT)

Figure 2. Jenis Subjek Pajak Badan

Halaman 3
Perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri adalah sebagai berikut :

No Uraian Subjek Pajak(WP) DN Subjek Pajak LN


1 Ruang lingkup Penghasilan Meliputi penghasilan seluruh dunia Hanya Penghasilan dari
Indonesia
2 Kewajiban memiliki NPWP Wajib memiliki NPWP Tidak Wajib memiliki NPWP
3 Kewajiban menyampaikan SPT Terdapat kewajiban menyampaikan Tidak ada kewajiban SPT
baik SPT Masa maupun SPT Tahunan
4 Penghasilan yg dikenakan Pajak Penghasilan Kena Pajak bagi WP Penghasilan Bruto
5 Tarif a. Dikenakan Tarif Pasal 17 yaitu : Dikenakan Tarif Khusus Pasal 26
Tarif tunggal 25% atau seseuai dengan Tarif
b. Dikenakan Tarif PPh Final (Psl 4 menurut P3B (Tax-Treaty)
ayat 2)
6 Pembayaran Pajak Tahun Merupakan angsuran dari PPh yang Merupakan pembayaran yang
Berjalan terutang pada akhir tahun, kecuali Final kecuali yang berubah
yang Final status.
7 Keberatan dan Banding Mempunyai Hak dimaksud Tidak mempunyai hak dimaksud
8 Pembukuan Diwajibkan menyelenggarakan Tidak terdapat kewajiban tsb
Figure 3. Perbedaan Subjek Pajak Dalam dan Luar Negeri

2.2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Dalam pengertian subjek pajak luar negeri, muncul istilah Bentuk Usaha Tetap (BUT). Apakah itu BUT? BUT
ditentukan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan
administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak badan dalam negeri dengan modifikasi dalam
penentuan laba serta penambahan tarif PPh Pasal 26 ayat (4).

Pasal 2 ayat (5) UU PPh :


Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, Perkebunan atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, Instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain. sepanjang dilakukan lebih dari
60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of bussiness) yaitu
fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan
komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan

Halaman 4
kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal
atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha, atau melakukan
kegiatan di Indonesia, menggunakan, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas asalkan
agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat tinggal diluar Indonesia, dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di
Indonesia atau menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai atau perwakilan atau agennya di
Indonesia. Menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko
tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal
atau berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

2.3. Tempat Kedudukan Badan

Berkenaan dengan pengenaan pajaknya, maka perlu ditetapkan tempat kedudukan badan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU Pajak Penghasilan hal tersebut ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak
menurut keadaan yang sebenarnya.

Penentuan tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang
mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh badan tersebut termasuk
Kantor Pelayanan Pajak mana yang menerbitkan NPWP-nya. Pada dasarnya tempat kedudukan badan,
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat
kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada
kenyataan.

Tempat kedudukan badan menurut keadaan yang sebenarnya yaitu :1


a. Tempat kantor pimpinan perusahaan dan pusat administrasi dan keuangan berada sebagaimana
tercantum dala Akte Notaris Pendirian Perusahaan yang bersangkutan.
b. Tempat kantor pimpinan perusahaan berada dalam hal tempat kantor pimpinan perusahaan terpisah
dari tempat pusat administrasi dan keuangan perusahaan.
c. Tempat kedudukan badan menurut keadaan sebenarnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
dalam hal keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) berada dibeberapa tempat.
d. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Penentuan tempat
tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur
Jenderal Pajak.
e. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak. penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Direktur Pajak Penghasilan
atas nama Direktur Jenderal Pajak.

2.4. Kewajiban Pajak Subjektif

Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak
yang bersangkutan artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek
pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

1
Kepdirjen Pajak No. Kep 701/PJ.2001 tentang Penentuan Tempat Tinggal Orang Pribadi dan Tempat Kedudukan
Badan

Halaman 5
Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak badan adalah sebagai berikut:

Subjek Pajak Dalam Negeri/Luar Kewajiban Pajak Subjektif


Negeri Saat Dimulai Saat Berakhir
WP Badan Dalam Negeri Didirikan atau bertempat kedudukan Dibubarkan atau tidak lagi
di Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia

SPLN BUT Pada Saat badan tersebut Pada saat tidak lagi menjalankan
menjalankan usaha atau melakukan usaha atau melaukan kegiatan
kegiatan melalui BUT melalui BUT

SPLN Non BUT Pada saat Badan tersebut menerima Pada saat tidak lagi menerima atau
atau memperoleh penghasilan dari memperoleh Penghasilan dari
Indonesia Indonesia
Figure 4. Kewajiban Pajak Subjektif

Contoh 1 :
PT X didirikan di Gianyar, tanggal 2 Januari 2012 berdasarkan Akta Notaris Made Imas Fatimah, SH.
Maka kewajiban pajak subjektif PT X mulai ada sejak 2 Januari 2012. Apabila karena sesuatu hal, PT X
kemudian dibubarkan melalui keputusan para pemegang saham dan akta pembubaran telah disahkan
dimuka Notaris pada tanggal 2 Januari 2013, maka kewajiban pajak subjektif PT X berakhir pada tanggal
2 Januari 2013.

Contoh 2 :
Misalnya Singaparna Ltd Singapura mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti Singaparna Ltd
merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. Kewajiban Pajak Subjektif Singaparna
dimulai pada saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Kalau
Singaparna Ltd tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, maka
Kewajiban Pajak Subjektif berakhir.

2.5. Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan Badan

Dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh, tidak termasuk pengertian "Subjek Pajak Badan" adalah unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria :
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
Contoh dari yang tidak temasuk subjek pajak berdasarkan pasal ini misalnya : Kementerian Keuangan dan
Kementerian Perhubungan.

Selain itu dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPh dinyatakan bahwa yang tidak termasuk subjek pajak badan
adalah :
1. Kantor perwakilan negara asing
2. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (Pasal 3 ayat (2) UU PPh).

Sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing beserta
pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama mereka dengan syarat bukan

Halaman 6
WNI tidak melakukan kegiatan lain serta negara asing tersebut memberikan perlakuan yang sama (azas
timbal balik) dikecualikan sebagai subjek pajak.

Organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum antar


pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan
dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama.

Organisasi Internasional yang dikecualikan sebagai subjek pajak dapat dilihat pada lampiran 1 buku ini.
Apabila ada organisasi internasional, tetapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud maka organisasi
internasional tersebut menjadi subjek pajak. Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan
sebagai bukan Subjek Pajak Penghasilan, dapat ditinjau kembali apabila tidak memenuhi syarat-syarat
diatas. 2

2.6. Hubungan Istimewa Antar Subjek Pajak

Hubungan istimewa di antara subjek pajak selalu menjadi isu yang hangat antara wajib pajak dan petugas
pajak. Petugas Pajak beranggapan bahwa kalau terdapat hubungan istimewa antar subjek pajak, maka
kemungkinan besar terdapat transaksi yang tidak wajar yang akan memperkecil kewajiban pajak subjek
pajak tersebut.

Pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat :

a. Hubungan Modal

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan
modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.

Contoh :

PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan
penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT
C. PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar
25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat
hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D antara PT B
PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

b. Hubungan Penguasaan

Hubungan istimewa karena penguasaan timbul jika wajib pajak menguasasi wajib pajak lainnya, atau
dua atau lebih wajib pajak berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung. Hubungan istimewa antara wajib pajak dapat terjadi juga karena penguasaan melalui
manajemen atau teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan Istimewa
dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian
juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

c. Hubungan Keluarga

Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi pemegang saham perusahaan yang memiliki
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau kesamping
satu derajat.

2
Keputusan Menkeu Nomor : KMK No.574/KMK.04/2000 jo PMK 215/PMK.03/2008 jo PMK 166/PMK.011/2012 Jo
Nomor : 156/PMK.010/2015 tanggal 12 Agustus 2015 Tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat
Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Sebagai Subjek Pajak Penghasilan

Halaman 7
Hubungan Sedarah : Ayah, Ibu, dan Anak. (Garis keturunan lurus satu derajat). Saudara Kandung atau
Saudara Tiri (garis keturunan ke samping satu derajat). Hubungan Semenda : Mertua dan Anak Tiri
(Garis Keturunan Lurus Satu Derajat). Ipar (Garis Keturunan ke samping satu derajat).

Beberapa pasal dalam UU PPh yang ada kaitannya dengan hubungan istimewa antar subjek pajak yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang
pribadi atau badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
Pasal 9 ayat (1) imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya

Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan
istimewa dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut
dengan nilai bukunya. Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam
Pasal 10 ayat transaksi normal (arm-length transaction). Ketentuan ini bertujuan untuk
(1) menghindari jual beli secara tidak wajar.

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besamya


penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
Pasal 18 ayat Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan
(3) bekerja sama dengan pilhak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa

Halaman 8
Bab 3. Objek PPh Badan

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Jadi Objek Pajak PPh adalah Penghasilan. Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Semua jenis penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal) kecuali kerugian yang
diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang
bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan
dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

Ditinjau dari dari jenis subjeknya pada dasarnya jenis penghasilan untuk wajib pajak badan dapat
digolongkan menjadi tiga yaitu penghasilan yang diterima Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, Subjek Pajak
Badan Luar Negeri melalui BUT dan Subjek Pajak Luar Negeri non BUT seperti terlihat pada tabel.

Subjek Pajak Jenis Penghasilan Dasar Hukum


Subjek Pajak Badan Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua Pasal 4 UU PPh
Dalam Negeri penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan
tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income),
yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri
Subjek Pajak Badan - penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha Pasal 5 UU PPh
Luar Negeri (BUT) tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai.
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia
yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.
- penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk
usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
Subjek Pajak Badan Penghasilan WP Badan Luar Negeri bukan BUT Pasal 26 UU PPh
Luar Negeri (Non BUT) adalah penghasilan-penghasilan yang diterima atau
diperoleh badan luar negeri yang bukan berasal dari
usaha/kegiatan di Indonesia tetapi berupa
penghasilan modal (passive income). Contohnya :
adalah penghasilan deviden, bunga, royalti, sewa,
hadiah, maupun capital gain.
Figure 5. Jenis penghasilan

Ditinjau dari sifat pengenaan pajaknya, penghasilan yang merupakan Objek PPh Badan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu :
- Penghasilan yang merupakan Objek PPh yang tidak bersifat Final (Pasal 4 ayat 1 UU PPh)
- Penghasilan yang merupakan Objek PPh yang bersifat Final (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
- Penghasilan yang bukan merupakan Objek PPh (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)

Halaman 9
3.1. Penghasilan yang merupakan Objek PPh yang tidak bersifat Final

Penghasilan yang tidak bersifat final diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan. Penghasilan Tidak
Final artinya penghasilan ini harus digabungkan kemudian dihitung pajak penghasilannya pada akhir tahun.
Kalau atas penghasilan tersebut pada tahun berjalan ada mekanisme pemotongan/pemungutan PPh (tidak
final), maka PPh tersebut dapat menjadi kredit pajak. Penghasilan yang tergolong objek PPh tidak bersifat
final yang diterima oleh Subjek Pajak Badan diantaranya:

a. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan

Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian
tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan
adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima
sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.

Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah
hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau
konsurnen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat
pembelian barang atau jasa.3

b. Laba usaha

Laba Usaha merupakan penghasilan dari usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan.
Laba Usaha adalah Penghasilan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh penghasilan tersebut. Laba usaha diperoleh sesuai dengan pembukuan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak Badan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Perhitungan Laba Usaha :


Peredaran Usaha XXX
Harga Pokok Penjualan (XXX)
dilakukan penyesuaian fiskal
Laba Bruto XXX
untuk mendapatkan Penghasilan
Biaya Usaha (XXX) Kena Pajak (penjelasan Bab 7.)
Laba Usaha XXX

c. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :


1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan atau anggota yang
diperoleh peseroan, persekutuan, dan badan lainnya
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan, dan4
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi
dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal

3
Kep-395/PJ/2001 tentang Pengenaan PPh atas Hadiah dan Penghargaan
4
PMK Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan dan Orang Pribadi yang menjalankan Usaha Mikro dan Kecil Yang menerima Harta
Hibah, Bantuan, Atau Sumbangan Yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan
Halaman 10
penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, maka harga jual yang
dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.

Contoh :

PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar
Rp 40.000.000 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000 (enam
puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil
tersebut adalah Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp
55.000.000 (lima puluh lima juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan
harga pasar sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000 (dua
puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S, dan bagi pemegang saham yang membeli mobil
tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.

d. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak

Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena
Pajak, merupakan objek pajak. Sebagai contoh : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sudah dibayar
dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar
pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Sebab dikembalikan misalnya permohonan
pengurangan PBB yang diajukan wajib pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya.

e. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dan jaminan pengembalian utang

Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut
merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi
yang membeli obligasi.

f. Deviden

Pembagian Laba kepada pemegang saham suatu perusahaan dikenal dengan istilah Deviden. Deviden
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi merupakan Objek PPh. Termasuk dalam
pengertian deviden adalah :
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah penyetoran.
3. pemberian saham bonus, yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham bonus yang berasal
dari kapitalisasi agio saham.
4. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
5. jumlah yang melebihi setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena
pembelian kembali saham-saham oleh perseroan ybs.
6. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam tahun-tahun
yang lalu diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu. adalah akibat dari pengecilan
modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah.
7. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan
tanda-tanda laba tersebut.
8. bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi.
9. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
10. pembagian sisa hasil usaha koperasi.
11. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
Halaman 11
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara terselubung, misalnya
dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada
perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila hal ini, maka selisih antara bunga
yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku wajar dipasaran dianggap sebagai deviden.
Bagian bunga yang dianggap sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
perseroan yang bersangkutan.

Contoh :

Tidak semua deviden merupakan objek pajak. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d Deviden atau
bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak dalam negeri,
koperasi, BUMN dan BUMD bukan merupakan Objek Pajak.
Selain itu, Objek pajak berupa dividen tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran yang berasal dari : 5
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham
di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) UndangUndang Pajak Penghasilan.

h. Royalti

Royalti adalah jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti hak paten, hak cipta, atau
sumber alam, misalnya: pencipta mendapat bayaran royalti ketika ciptaannya diproduksi dan dijual,
penulis dapat memperoleh royalti ketika buku hasil karya tulisannya dijual, pemilik tanah
menyewakan tanahnya ke perusahaan minyak atau perusahaan penambangan akan memperoleh
royalti atas dasar jumlah minyak yang dihasilkan dan tanah tersebut.

Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan
penggunaan :
1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia
perusahaan.
2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industry, komersial, dan ilmu pengetahuan.
Yang dimaksud dengan alat-alat industry komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan
yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa
industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya.
3. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum
dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi
dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi

5
Peraturan Pemerintah No.94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam
Tahun Berjalan
Halaman 12
melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian
informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau
ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang
mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa
mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Sewa harta tak gerak berupa sewa kantor, rumah,
atau gedung diatur tersendiri dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bersifat
final.

j. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula
berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya
Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat
sederhana serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.

Yang dibebaskan dari PPh adalah utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih
dari 350 juta, termasuk :6
- Kukesra (Kredit Usaha Keuarga Prasejahtera)
- KUT (Kredit Usaha Tani)
- KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana)
- KUK (Kredit Usaha Kecil)
- Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka mengembangkan usaha kecil
dan koperasi (yang merupakan jumlah kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur).

Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang jumlah seluruhnya tidak
melebihi Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) dapat dihitung sebagai Utang Debitur
Kecil dari masing-masing bank, sepanjang memenuhi kriteria Utang Debitur Kecil. Dalam hal
pemberian Utang Debitur Kecil dilakukan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang
mengakibatkan jumlah plafon kreditnya melampaui batas maksimum, maka keuntungan karena
pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah jumlah sisa kredit yang diperoleh
pada bank pertama ditambah dengan jumlah sisa kredit yang diperoleh pada bank-bank berikutnya
sampai mencapai jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah).

Apabila masih terdapat sisa kredit pada bank tersebut dan atau bank-bank lain setelah dikurangi
dengan jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah),
maka keuntungan karena pembebasan utang atas sisa kredit tersebut merupakan Objek Pajak.
Pengecualian sebagai Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat dinikmati yang
bersangkutan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun pajak.

Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi perusahaan dengan
melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang ditetapkan BPPN dapat memilih
pengakuan penghasilan :7
- sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang.
- dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar (20% per tahun).
- Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah disediakan, selambat-lambatnya
pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus.

6
Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000 tentang pengecualian sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan Karena
Pembebasan Utang Debitur Kecil
7
KEP- 237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 jo KEP-563/Pj./2001 tanggal 8 Agustus 2001 tentang Saat Pengakuan
Penghasilan Berupa Keuntungan Karena Pembebasan Utang Yang Diperoleh Debitur Tertentu Dari Perjanjian
Restrukturisasi Utang USaha
Halaman 13
- Sedangkan pengakuan penghapusan piutang dapat diakui oleh kreditur secara sekaligus pada
tahun penghapusan piutang.

k. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia. Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs
valuta asing meliputi :

1. Kurs Menteri Keuangan


Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Mulai 1 Oktober
1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu.

Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk :


a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-Import, PPh pasal 22 sesuai
dengan tanggal PIB.
b. Perhitungan PPN dan PPnBM sesuai tanggal Faktur Pajak, apabila pembayaran Harga Jual atau
Nilai penggantian dilakukan dengan mata uang
c. Perhitungan PPh pasal 21 atau PPh pasal 26 apabila penghasilan diterima dalam mata uang
asing.
d. Perhitungan Pajak Ekspor.
e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta asing.

Contoh :

Pada tanggal 30 Juni 2014 PT X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT Y (PKP) seharga
$10.000 belum termasuk PPN. Faktur Pajak dibuat tanggal 31 Juli 2014 dan dilunasi tanggal 13
Agustus 2014. Kurs Menteri Keuangan periode 25 Juni s.d. 30 Juni 2014 Rp 10.000. Periode 29
Juli s.d. 4 Agustus Rp 10.100 dan Periode 11 Agustus s.d. 16 Agustus 2014 Rp 10.200. Kurs
manakah yang digunakan untuk menghitung PPN terutang?

Jawab: Faktur Pajak dibuat pada tanggal 31 Juli 2014. Saat itu kurs Menteri Keuangan adalah Rp
10.100 maka PPN dihitung sebesar 10% x $10.000 x 10.100 = Rp 10.100.000.

2. Kurs Realisasi
Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan merupiahkan valas atau
pada waktu perusahaan membeli valas.

3. Kurs Bank Indonesia (kurs BI)


Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta asing. Kurs BI
terdiri dan kurs beli Bank dan kurs jual Bank. Kurs BI yang digunakan sebagai dasar pembukuan
yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs beli Bl. Perbedaan
selisih kurs BI yang terjadi pada saat membukukan hutang piutang valas dengan kurs Bl pada saat
realisasi membukukan laba atau rugi selisih kurs.

Contoh 1 :
Sama seperti contoh diatas, pada tanggal 10 Juni 2014 PT X (PKP) menjual barang secara
kredit kepada PT Y (PKP) seharga $10.000 belum termasuk PPN. Penjualan tersebut dilunasi
tanggal 13 Agustus 2014. Kurs Tengah BI 30 Juni 2014 Rp 10.200 dan kurs realisasi tanggal 13
Agustus 2014 Rp 10.300. Pertanyaannya, berapakah laba rugi selisih kurs? Kurs manakah
yang digunakan dan bagaimana jurnalnya ?

Jawab :
Penjualan PT X= $10.000 X Rp 10.200 (kurs BI 30 Juni) Rp 102.000.000
Jumlah yang dibayar PT Y Rp 103.000.000
Keuntungan Selisih kurs = $10.000 x (Rp. 10.300 Rp.10.200) Rp 1.000.000

Halaman 14
PSAK mensyaratkan pos-pos moneter yaitu unit mata uang yang dimiliki serta aset dan liabilitis
yang akan diterima atau dibayarkan dalam jumlah unit mata uang yang tetap dan dapat
ditentukan seperti hutang piutang dalam valuta asing pada akhir tahun harus dijabarkan
menggunakan kurs penutup.8

Pajak memberikan pilihan bagi wajib pajak baik untuk menyesuaikan nilai hutang piutang valas
pada akhir tahun (berdasarkan kurs Bl) maupun tidak, asalkan dilaksanakan secara taat asas/
konsisten. Apabila WP tidak menyesuaikan nilai hutang piutang valas sesuai kurs pada akhir tahun
berarti WP menggunakan sistem kurs tetap.

Contoh 2:

Pada tanggal 15 November 2012 PT. Wede mendapat pinjaman USD 1.000.000.- dalam
jangka waktu 2 tahun atau jatuh tempo 14 November 2014
kurs tengah BI
15-11-2012 Rp 12.000
31-12-2012 Rp 11.000
31-12-2013 Rp 13.000
14-11-2014 Rp 12.000

Jawab :
a. Pembukuan berdasarkan Kurs Tetap
Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran utang valas. tiap-
tiap akhir tahun (31 Desember) tidak mengakui adanya selisih kurs.
15-11-2012 Pembukuan utang valas Rp 12.000.000.000
14-11-2014 Pembayaran Rp 12.000.000.000
Tidak ada Laba(Rugi ) selisih kurs

b. Pembukuan berdasarkan Kurs Tengah Bl


Pada tiap-tiap akhir tahun dapat mengakui laba (rugi) selisih kurs
15-11 -2012 Pembukuan utang valas Rp 12.000.000.000
31-12-2012 Utang valas menjadi Rp 11.000.000.000
Laba Selisih Kurs Rp 1.000.000.000
31-12-2012 Utang valas Rp 11.000.000.000
31-12-2013 Utang valas menjadi Rp 13.000.000.000
Rugi selisih kurs Rp 2.000.000.000
31-12-2013 Utang Valas Rp 13.000.000.000
14-11-2014 Utang Valas (Pelunasan) Rp 12.000.000.000
14-11-2014 Laba selisih Kurs Rp 1.000.000.000

Perhatikan bahwa sebenarnya pembukuan berdasarkan kurs tetap maupun kurs tengah BI pada
akhirnya menghasilan jumlah laba atau rugi selisih kurs yang sama. Laba dan rugi selisih kurs yang
terjadi akibat menggunakan kurs tengah Bl pada contoh diatas bila dijumlahkan adalah nihil. Hasil
nihil tersebut sama dengan hasil bila menggunakan kurs tetap. Tetapi mengingat PSAK
mengharuskan penyesuaian kurs valas pada akhir tahun maka disarankan WP menggunakan
sistem kurs tengah BI agar pembukuan komersial dan pembukuan fiskal tidak jauh berbeda. Rugi
Selisih Kurs merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (Biaya Fiskal).

l. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU PPh merupakan
penghasilan. Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan mengenai penilaian kembali aktiva
dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan
karena perkembangan harga.

Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat
menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya

8
PSAK 10 tentang Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing paragraf 24.
Halaman 15
beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang
menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan
penghasilan. 9

Penilaian kembali aktiva tetap ini akan dibahas lebih mendetail pada bab tersendiri.

m. Premi asuransi

Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Premi Asuransi yang diterima oleh
Perusahaan Asuransi maupun Reasuransi merupakan penghasilan bagi perusahaan tersebut. Atas
pembayaran Asuransi dan Premi Reasuransi ke Luar Negeri kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri
dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% bersifat Final dari perkiraan penghasilan netto. 10

n. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas

Iuran yang dibayar oleh anggota perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalkan iuran yang besarnya menurut jumlah (volume)
ekspor, atau satuan produksi, atau omzet penjualan barang, dan inilah yang menjadi objek pajak pada
perkumpulan.

o. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenai
pajak dan yang bukan Objek pajak serta yang belum dikenai pajak. Apabila diketahui adanya tambahan
kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenai pajak dan yang bukan objek
pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.

p. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang
bersifat konvensional. Namun demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha
berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.

Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan
syariah dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya. Salah satu instrument syariah yang telah banyak
diterbitkan adalah sukuk yang kini telah menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang penting.

Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:
1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;
3. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan
4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan
Usaha berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan. 11

q. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai


ketentuan umum dan tata cara perpajakan

Imbalan bunga diberikan kepada WP dalam hal terdapat: 12


1. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002


10 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan PPh 26 atas Penghasilan Berupa
Premi Asuransi dan Premi Reasuransi Yang Dibayar Kepada Perusahaan Di Luar Negeri
11 PP Nomor 25 Tahun 2009 Tentang PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
12 PP 74 TAHUN 2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan, berlaku 1 Januari 2012.

Halaman 16
ayat (3) UU KUP;
2. keterlambatan penerbitan SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) UU KUP;
3. Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (4) UU KUP;
4. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27A ayat (1) UU KUP;
5. kelebihan pembayaran pajak karena SK Pembetulan, SK Pengurangan Ketetapan Pajak atau SK
Pembatalan Ketetapan Pajak atas surat ketetapan pajak atau STP mengabulkan sebagian atau
seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1a) UU KUP; atau
6. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga Pasal 19
ayat (1) karena SK Pengurangan Sanksi Administrasi atau SK Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) UU KUP.

Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu berakhir sampai dengan
saat dilakukan pengembalian kelebihan.

r. Surplus Bank Indonesia

Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Karakteristik
Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs, penyisihan aktiva, dan
penyusutan aktiva tetap.

Alasan pengenaan PPh atas Surplus Bank Indonesia adalah menyelaraskan dengan ketentuan UU BI
yang menyatakan bahwa sepanjang tidak ada UU yang mengatur bahwa Surplus BI dikenai PPh maka
Surplus BI tidak dikenai PPh.

Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Laporan keuangan audit
merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. 13

3.2. Jenis-jenis Penghasilan Yang Pengenaan Pajaknya Bersifat Final

PPh yang bersifat final artinya PPh yang dipotong atau dibayar sendiri dari suatu penghasilan yang pada
akhir tahun tidak akan diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dimuka (kredit pajak), karena PPh yang
dipotong tersebut tidak lagi diperhitungkan sebagai kredit pajak, maka pada akhir tahun penghasilan yang
dipotong PPh Final juga tidak lagi dihitung ulang PPh-nya dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, dikemukakan bahwa Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak
bersifat final :
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi,
usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya;
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

13
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak
Penghasilan Atas Surplus Bank Indonesia

Halaman 17
Atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

Secara terperinci, jenis-jenis penghasilan (objek) pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
Final dapat dilihat ditabel dibawah ini :

No Jenis Penghasilan Tarif Dasar Hukum


1 Penghasilan dari Transaksi Penjualan PP 41 Tun 1994 stdd
Saham PP 14 Tahun 1997
Untuk semua transaksi penjualan 282/KMK.04/1997
saham 0 . 1 % x jumlah bruto nilai SE-06/PJ.04/1997
Penjualan
Untuk penjualan saham pendiri 0.1% x jumlah bruto
Nilai transaksi penjualan +
PPh Tambahan: 0.5% x Nilai
Jual Saham pada saat
Penawaran Umum Perdana
2 Penghasilan dari Persewaan Tanah 10% x jumlah bruto nilai PP 29 Tahun 1996
dan/atau Bangunan Persewaan tanah dan atau jo PP 5 Tahun 2002
bangunan 394/KMK.04/1996 sttd
120/KMK.03/2001
3 Bunga Deposito dan Tabungan serta 20% x jumlah bruto PP 131 Tahun 2000
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
4 Penghasilan dari Pengalihan Hak atas 5% x jumlah bruto nilai PP 48 Tahun 1994 stdd
Tanah dan/atau Bangunan pengalihan hak atas tanah PP 71 Tahun 2008
dan/atau bangunan
5 Pengalihan hak atas Rumah 1% x jumlah bruto nilai
Sederhana dan Rumah Susun Pengalihan
Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan
6 Penghasilan Perusahaan Modal 0.1% x jumlah bruto nilai PP 4 Tahun 1995
Ventura dari Transaksi Penjualan transaksi penjualan saham
Saham atau Pengalihan Penyertaan atau pengalihan penyertaan
Modal pada Perusahaan Pasangan modal
Usaha
7 Penghasilan yang diterima/ diperoleh 1.2% x Peredaran Bruto 416/KMK.04/1996
WP Perusahaan Pelayaran dalam
negeri

8 Penghasilan yang diterima/ diperoleh 2.64% x Peredaran Bruto 417/KMK.04/1996


WP P e r u s a h a a n P e l a y a r a n
d a n / a t a u Penerbangan luar negeri

9 Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak. Gas,


dan pelumas kepada penyalur/agen
Bahan bakar minyak SPBU Pertamina: 0.25% 154/PMK.03/2010 jo
x Penjualan tidak 175/PMK.011/2013
termasuk PPN
SPBU bukan Pertamina dan
Non SPBU:
0.3% x Penjualan (penjualan
tidak termasuk PPN)

Halaman 18
Bahan bakar gas 0.3% x Penjualan 154/PMK.03/2010 jo
Pelumas (penjualan tidak 175/PMK.011/2013
termasuk PPN)

10 Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau


dilaporkan perdagangannya di bursa efek
Bunga obligasi dengan kupon 20% x jumlah bruto bunga PP 6 Tahun 2002
(interest bearing bond) Sesuai dengan masa 121/KMK.04/2002
kepemilikan (holding period)
obligasi
Diskonto obligasi dengan kupon 20% x selisih lebih harga
jual atau nilai nominal di
atas harga perolehan obl ig asi,
tidak termasuk bunga berjalan
(accrued interest)
Diskonto obligasi tanpa bunga 20% x selisih lebih harga PP 6 Tahun 2002
(zero coupon bond) jual atau nilai nominal di 121/KMK.04/2002
atas harga perolehan
obligasi
11 Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap 10% x selisih lebih penilaian 79/PMK.03/2008
kembali aktiva tetap
perusahaan di atas nilai sisa
buku fiskal semula

12 Diskonto Surat Perbendaharaan Negara :


Bagi WP Dalam Negeri & 20% x diskonto SPN PP 27 Tahun 2008
BUT
WP penduduk/berkedudukan 20% x diskonto SPN
diluar negeri

13 Bunga Obligasi
a) Bunga dari Obligasi dengan kupon
Bagi WP Dalam Negeri & BUT 15% x jumlah
bruto bunga sesuai dengan
masa kepemilikan obligasi
PP 16 Tahun 2009
Bagi WP Luar Negeri selain 20% x jumlah
BUT bruto bunga sesuai dengan
masa kepemilikan Obligasi
atau sesuai tarif P3B
b) Diskonto dari Obligasi dengan
kupon : PP 16 Tahun 2009
Bagi WP Dalam Negeri & 15% x selisih lebihharga jual
BUT atau nilai nominal di atas
harga perolehan
Obligasi , tidak termasuk
bunga berjalan
Bagi WP Luar Negeri selain 20% x selisih lebihharga jual
BUT atau nilai nominal di atas
harga perolehan Obli gas i.
tidak termasuk bunga
berjalan

c) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga : PP 16 Tahun 2009


Bagi WP Dalam Negeri & 15% x selisihlebih harga jual
BUT atau nilai nominal di atas
harga perolehan Obligasi
Bagi WP Luar Negeri selain 0% x selisih lebih harga
BUT jual atau nilai nominal di
atas harga perolehan
Obligasi

Halaman 19
d) Bunga dan/atau diskonto dari PP 16 Tahun 2009
Obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh WP Reksadana yang
terdaftar pada Bapepam LK
Tahun 2009 2010 0%
Tahun 2011 2013 5%
Tahun 2014 dan dst 15%
Tahun 2014 sd 2020 5% PP 100 Tahun 2013
2021 dst 10%
14 Penghasilan dari penjualan harta di 20% X Perkiraan Ph Bruto Pasal 26 UU PPh
Indonesia yang diterima WP LN atau sesuai Tax Treaty
selain BUT di Indonesia
15 Premi Asuransi yang dibayarkan 20% X Perkiraan Ph Bruto Pasal 26 UU PPh
kepada Perusahaan Asuransi LN atau sesuai Tax Treaty
16 Penghasilan Kena Pajak sesudah 20% X Perkiraan Ph Bruto Pasal 26 UU PPh
dikurangi BUT di Indonesia (Kecuali atau sesuai Tax Treaty
penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia)
17 Penghasilan yang diterima/diperoleh 20% X Perkiraan Ph Bruto Pasal 26 UU PPh
WP LN atas penghasilan yang atau sesuai Tax Treaty
bersumber dari Indonesia berupa :
- Deviden
- Bunga
- Royalti, Sewa, dan penghasilan
lain sehubungan dengan
penggunaan harta
- Hadiah dan penghargaan
18 Penghasilan dari Usaha yang 1 % X Peredaran Bruto PP 46 Tahun 2013
diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu (tidak melebihi 4,8 Milyar
dalam 1 tahun pajak)

Figure 6. Jenis Penghasilan yang dikenakan Final

Karena kekhasan karakteristik pengenaan PPh final seperti diatas maka WP yang memiliki penghasilan final
harus memisahkan pencatatan penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final dari penghasilan-
penghasilan yang dikenakan PPh biasa (non final). Konsekuensi lain dari pengenaan PPh Final atas suatu
penghasilan adalah harus dipisahkan juga biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk mendapatkan
penghasilan yang dikenakan PPh Final. Biaya-biaya tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang
penghasilan dalam menghitung PPh Terutang pada akhir tahun di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan prinsip tidak adanya penghitungan ulang PPh atas penghasilan yang dikenakan PPh Final maka bagi
WP yang seluruh penghasilannya dikenakan PPh Final, pada akhir tahun pajak terutang NIHIL.

3.3. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak

Telah ditegaskan sebelumnya bahwa tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak merupakan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa semua penghasilan adalah objek pajak
kecuali ditetapkan sebaliknya. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak menurut UU PPh Pasal
4 ayat (3) adalah sebagai berikut :

a. Bantuan atau Sumbangan dan Harta Hibahan

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf a

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima

Halaman 20
oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah tidak termasuk sebagai Objek Pajak.

Bantuan/Sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau
badan. Bantuan/Sumbangan tidak menjadi objek pajak sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.14

Zakat sebagaimana dimaksud diatas adalah zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan penerima zakatyYang berhak

Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
sebagaimana dimaksud diatas adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan penerima sumbangan yang berhak.

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan, atau badan
pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.

Yang dimaksud dengan :15


- Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-
tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari
keuntungan;
- Badan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c adalah badan pendidikan yang
kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan;
- Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan :
a. pemeliharaan kesehatan;
b. pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
c. pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
e. pemberian beasiswa;
f. pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
g. kegiatan sosial lainnya.
yang tidak mencari keuntungan.

Contoh :
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima dapat terjadi, misalnya
PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B
memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh
PT A merupakan objek pajak.

b. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf c

Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan merupakan tambahan
kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal maka berdasarkan ketentuan ini harta yang diterima tersebut bukan

14
Peraturan Pemerintah Nomor 18 TAHUN 2009 Tentang Bantuan atau Sumbangan termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib yang dikecualikan dari objek Pajak penghasilan
15
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan-badan dan Orang Pribadi yang
menjalankan Usaha Mikro dan Kecil Yang menerima Harta Hibah, Bantuan, atau Sumbangan Yang tidak Termasuk
Sebagai Objek Pajak Penghasilan

Halaman 21
merupakan Objek Pajak. Ketentuan ini mempertegas prinsip akuntansi bahwa modal bukan
merupakan penghasilan.

c. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf d

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah
bukan Objek Pajak, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara
final, atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh.

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang.
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan
dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan
merupakan objek pajak.

Contoh :
Seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta.
Pegawai tersebut memperoleh natura berupa beras dan kenikmatan menempati rumah yang
disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Natura dan
Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan
diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.

d. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf f

Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai wajib pajak dalam
negeri, koperasi, BUMN dan BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan ; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima persen), dari jumlah modal
yang disetor.
Kedua syarat ini berlaku sejak berlakunya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 yaitu sejak tanggal 1 Januari
2009. Sebelum tahun 2009 ada syarat tambahan yaitu "harus mempunyai usaha aktif di luar
penyertaan tersebut".

Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah antara lain
adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah. Perlu
ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-
badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan
komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau
bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.

Halaman 22
Contoh :
Pemegang Saham PT Widya Dewata Tahun 2013 adalah :
PT Sueztika, sebesar 20%
PT Nuryana, sebesar 50%
Saudara Sakha, Orang Pribadi sebesar 30%
Pada tahun 2014, PT Widya Dewata membagi dividen kas sebesar Rp 1 Milyar dari laba
setelah PPh tahun 2013. Perlakuan PPh atas penerimaan kas dividen tersebut adalah:
Bagi PT Sueztika merupakan obyek PPh dan dipotong PPh Pasal 23 karena kepemilikan
kurang dari 25%
Bagi PT Nuryana bukan merupakan obyek PPh karena kepemilikan lebih dari 25%
Bagi Saudara Sakha merupakan obyek PPh karena penerima dividen adalah Orang
Pribadi bukan Badan dan dipotong PPh Pasal 4(2) sebesar 10% sesuai pasal 17 ayat
(2c) UU PPh.

e. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf g

Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak
adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung
pemberi kerja.

Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta
pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran
tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan
sebagai Objek Pajak. Iuran Pensiun ini bukan objek pajak karena akan dikenakan pada saat dicairkan,
sehingga tidak timbul pengenaan pajak berganda (double taxation).

f. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf h

Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak
dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan.

Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana
untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal
tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi.
Oleh karena itu, penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan adalah Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa :16
1. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di
Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
serta Sertifikat Bank Indonesia.
2. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara,
dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya
pada bursa efek di Indonesia; atau
3. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia.

16
Permenkeu Nomor 234/PMK.03/2009 Tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu Yang Memberikan Penghasilan
Kepada Dana Pensiun Yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan
Halaman 23
g. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf k

Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha
(sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dikecualikan sebagai
objek PPh, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas,
maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.17

Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan
modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada
perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek. Perusahaan kecil dan
menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura sebagaimana diatas adalah perusahaan yang
penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).

Penyertaan modal perusahan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan
selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka
waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di
bursa efek, perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha
selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal menjual sahamnya di bursa efek.

Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha setelah lewat jangka waktu sebagaimana diatas,
merupakan Obyek Pajak Penghasilan kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal
4 angka (3) huruf f Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara
terpisah penghasilan yang merupakan Obyek Pajak penghasilan, dan penghasilan yang bukan
merupakan Obyek Pajak Penghasilan.

h. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf m

Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan dikecualikan sebagai Objek PPh.

Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya
operasional sehari-hari lembaga nirlaba. Biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba
adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha

17
Kepmenkeu Nomor 250/KMK.04/1995 tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usaha dari perusahaan
Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura
Halaman 24
atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri. 18

Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud diatas meliputi :
1. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan
termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
2. Pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan;
3. Pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan
sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal.

Apabila setelah jangka waktu 4 (empat) tahun terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa
lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya,
setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang
berlaku.

Apabila dalam jangka waktu tersebut terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan
sarana dan prasarana, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Badan atau lembaga nirlaba wajib
menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi
yang membidanginya.

Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan


Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan sebagai berikut :


1. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan
digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;
2. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan
mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau
utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba;
3. Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa tidak boleh dilakukan penyusutan;
4. Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan tersebut;
5. Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba;
6. Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan
dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana, biaya bunga atas dana
pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.

Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan wajib membuat :

18
PerDirjen Pajak Nomor PER-44/PJ./2009 Tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih Yang Diterima Atau
Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan
Pengembangan Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.
Halaman 25
- Pernyataan bahwa:
1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut dan
2. sisa lebih tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun
pajak diperolehnya sisa lebih;
- Pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun;
- Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.

i. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf n

Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib
Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota
masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial meliputi :19


1. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
2. Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
3. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI);
4. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau
5. Badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial.

Wajib Pajak atau masyarakat yang tidak mampu adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup
di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik.
Wajib Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam adalah Wajib Pajak dan/atau
masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah
longsor. Sedangkan Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah sebagaimana dimaksud pada
adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya dan membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa.

Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak diatas apakah semuanya sama sekali tidak
dikenakan?. Jawabannya adalah "tidak". Hal ini disebabkan karena beberapa penghasilan tersebut
ternyata dikenakan pajak pada pihak dan saat yang berbeda.

Alasan pertama adalah karena terdapat konsep dari pengenaan pajak atas penghasilan yaitu :

Pihak Penerima Pihak Pemberi


Taxable Income Deductable Expenses

Non Taxable Income Non Deductable Expenses

19
Permenkeu Nomor 247/PMK.03/2008 tentang Bantuan atau Santunan Yang Dibayarkan Oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
Halaman 26
Jadi ada beberapa penghasilan dimana penghasilan tersebut bukan objek bagi penerima, akan tetapi bagi
pemberi penghasilan tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut sehingga penghasilan tersebut
sebenarnya dikenakan pajak pada pohak pemberi. Contoh penghasilan ini adalah : kriteria/alasan yang
dapat dikelompokkan sebagai berikut : Bantuan/Sumbangan, harta hibahan, Penggantian/Imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak/Pemerintah.

Alasan kedua adalah karena terjadi perbedaan saat pengenaan pajak atas penghasilan tersebut. Contoh :
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat
pengenaannya, yaitu pada saat menerima pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun
dibebaskan dari pengenaan pajak (bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta
yang iuran pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan).

Halaman 27
Bab 4. Biaya Yang Boleh Dikurangkan
(Deductable Expenses)

PPh yang terutang terhadap subjek pajak Badan dikenakan atas Penghasilan Neto yang nanti akan disebut
sebagai Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian tahun sebelumnya kalau
ada. Untuk menghitung penghasilan neto, Wajib Pajak Badan tidak diperkenankan menggunakan norma
penghitungan seperti halnya Orang Pribadi. Oleh karena itu, Wajib Pajak Badan wajib melakukan
pembukuan.

Penghitungan PPh terutang diatur dalam Pasal 16 UU PPh. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
satu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya yang berkaitan dengan
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Pengurangan
tersebut akan menghasilkan penghasilan neto.

Rumus untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak seperti diuraikan pada bagan konsep diawal
pembahasan buku ini adalah :
Rumus :
Penghasilan Bruto xxx
Pengurang Ph Bruto (xxx )
Penghasilan Netto xxx
Kompensasi Rugi (xxx)
Pengh. Kena Pajak xxx

Penghasilan Bruto telah kita bahas dalam bab 3. Pada Bab 4 ini akan dibahas mengenai biaya yang dapat
dikurangan dari penghasilan bruto dan dalam Bab 5 akan dibahas mengenai Biaya yang tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.

Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam pasal Pasal 6 ayat (1) UU Pajak
Penghasilan dan beberapa aturan khusus yang mempertegas pasal 6 ayat (1) tersebut. Biaya yang tidak
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam pasl 9 UU PPh.

4.1. Biaya Fiskal (Pasal 6 ayat 1 UU PPh)

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh diatur bahwa, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M), diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha

Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf a

Yang termasuk biaya ini antara lain :


a. biaya pembelian bahan;
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, gratifikasi, dan
tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c. bunga, sewa, dan royalti;
d. biaya perjalanan;
e. biaya pengolahan limbah;
f. premi asuransi;
g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
h. biaya administrasi; dan
i. pajak kecuali Pajak Penghasilan.

Halaman 28
Biaya-biaya yang dimaksud diatas adalah lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada
tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus
mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian,
pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Contoh:

Dana Pensiun Cipta yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh
penghasilan bruto yang terdiri dari :
- penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h Rp 100.000.000
- penghasilan bruto lainnya sebesar Rp 300.000.000
- Jumlah penghasilan bruto Rp 400.000.000

Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000. biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000 = Rp150.000.000.

Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat
dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.

Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang
saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta
pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan
penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan


bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai
biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun demikian,
pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf e boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan
merupakan penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-
batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila
pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka
jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Pajak Restoran, dapat dibebankan
sebagai biaya.

Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan
untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan
penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik
langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.

Halaman 29
Besarnya biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari
jumlah : 20
a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
b. biaya pameran produk;
c. biaya pengenalan produk baru; dan/atau
d. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Tidak termasuk Biaya Promosi adalah :


a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.

Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan,
sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan. Biaya promosi yang
dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib dilakukan
pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada
pihak lain. Daftar nominatif paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, Nomor Pokok
Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti pemotongan dan
besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong. Daftar nominatif tersebut dilaporkan sebagai lampiran saat
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan. Dalam hal ketentuan tersebut tidak dipenuhi,
Biaya Promosi tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Form Daftar Nominatif Biaya Promosi

Nama Wajib :
Pajak
NPWP :
Alamat :
Tahun Pajak :
Data Penerima Pemotongan PPh
No Nama NPWP Alamat Tanggal Bentuk dan Jumlah Keterangan Jumlah Nomor
Jenis Biaya (Rp) PPh Bukti
Potong

........................... ....................

Nama Wajib Pajak

Figure 7. Daftar Nominatif Biaya Promosi

2. Penyusutan dan Amortisasi

Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 11 UU PPh

Penyusutan adalah pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.

Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

20
Peraturan Menteri KeuanganNomor 02/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi Yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto

Halaman 30
dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui
penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus
hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali
apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan
dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan,
misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu
bata.

Metode penyusutan secara akuntansi banyak metodenya, akan tetapi yang dibolehkan secara pajak
adalah :
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut
(metode garis lurus atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku
(metode saldo menurun atau declining balance method).

Tarif Penyusutan

Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sesuai
pasal 11 ayat (6) UU PPh sebagai berikut :

Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Tarif Penyusutan.


Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12.5% 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6.25% 12.5 %
Kelompok 3 20 tahun 5% 10 %

II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% ---
Tidak Permanen. 10 tahun 10 % ---
Figure 8. Daftar Tarif Penyusutan

Jenis-jenis harta termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan
penyusutan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan.

Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan pada Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan
Kelompok 4 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran
IV Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
Keuangan ini 21

Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran
II,Lampiran III, dan Lampiran IV, untuk kepentingan penyusutan digunakan masa manfaat dalam
Kelompok 3. Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan masa manfaat atas jenis-jenis harta berwujud
bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya dengan mengajukan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya jenis-jenis
harta berwujud bukan bangunan. Dalam hal permohonan sebagaimana ditolak, Wajib Pajak
menggunakan masa manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai ketentuan
sebelumnya.

Jenis Harta per kelompok selengkapnya dapat dilihat secara lengkap pada lampiran buku ini.

Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta
berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa

21
Keputusan Menteri Kaunagan No. 520/KMK.04/2000, tgl 14 Desember 2000 dan sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 Tgl 8 April 2002 jo PMK-96/PMK.03/2009 tantang Jenis-jenis
harta yang termasuk Jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta
Halaman 31
manfaat harus disusutkan sekaligus, sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools)
yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.

Contoh Metode garis lurus :

Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh)
tahun penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000 (Rp 100.000.000 : 20).

Contoh Metode Saldo Menurun :

Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2010 dengan harga perolehan
sebesar Rp 150.000.000. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif
penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya
adalah sebagai berikut :

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku


Harga Perolehan 150.000.000
2010 50% 75.000.000 75.000.000
2011 50% 37.500.000 37.500.000
2012 50% 18.750.000 18.750.000
2013 Sekaligus 18.750.000 0

Saat Dimulainya Penyusutan

Pasal 11 ayat (3) : Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang
masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
tersebut.

Pasal 11 ayat (4) : Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan
penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan
mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan
dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

Contoh 1 :

Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan


dimulai pada bulan Oktober 2013 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2014. Penyusutan
atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2014.

Contoh 2 :

PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2013. Perkebunan tersebut
mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2014. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak,
penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2014.

Dasar Penyusutan Setelah Revaluasi

Dasar Hukum : Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 UU PPh

Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan mengenai penilaian kembali aktiva dan
faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan
karena perkembangan harga (Pasal 19 UU PPh).

Halaman 32
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk
tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak
termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. 22

Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian
kembali aktiva tersebut.

Penyusutan Usaha Tertentu

Ketentuan mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha
tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Bidang usaha tertentu meliputi :23

No Bidang Usaha Jenis Aktiva Yang Dapat Disusutkan Kelompok Harta


1 Kehutanan Aktiva Tetap dan Komoditas Pokok Kelompok 4
meliputi Tanaman Kehutanan
2 Perkebunan Tanaman Keras Aktiva Tetap dan Komoditas utama Kelompok 4
bidang usaha perkebunan tanaman
keras, termasuk tanaman rempah
dan penyegar
3 Peternakan Aktiva Tetap dan bidang usaha Kelompok 2
peternakan, meliputi ternak,
termasuk ternak pejantan.
Figure 9. Penyusutan bidang usaha tertentu

Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud diatas dimulai
pada bulan produksi komersial. Bulan produksi komersial adalah bulan dimana penjualan mulai
dilakukan.

Amortisasi

Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 11A UU PPh

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk
biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-
bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi
atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus
dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas
tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) dan muhibah (goodwill) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode :
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
nilai sisa buku.

Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun pada akhir
masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.

22
Permenkeu Nomor : 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan
Perpajakan
23
Permenkeu Nomor 249/PMK.03/2008 jo Permenkeu Nomor 126/PMK.011/2012 tentang Penyusutan Atas
Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang Dimiliki dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu

Halaman 33
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok harta Masa Tarif Amortisasi


Tak berwujud. manfaat
Garis lurus Saldo menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12.5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6.25% 12.5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
Figure 10. Tarif Amortisasi

Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan
amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap
harta tak berwujud.

Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang
ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan
masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat)
tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak
berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.

Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud
meliputi : 24
1. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1
(satu) tahun.
2. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat
berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
3. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi
berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk
bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi
komersial. Bulan produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bulan dimana
penjualan mulai dilakukan.

Metode Satuan Produksi

Dasar Hukum: Pasal 11A ayat (4) dan ayat (5) UU PPh

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain, yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) dilakukan
dengan menggunakan metode satuan produksi.

Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap
tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada
tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi
tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain
maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.

24
Permenkeu Nomor 248/PMK.03/2008 tentang Amortisasi Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Tak
Berwujud dan Pengeluaran Lainnya Untuk Bidang Usaha Tertentu

Halaman 34
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain dimaksud diatas, hak
pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.

Contoh:

Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan yang mempunyai potensi 10.000.000
(sepuluh juta) ton kayu sebesar Rp 500.000.000 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan
produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata
jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari
potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga
puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari
pengeluaran atau Rp100.000.000.

Amortisasi Biaya Pra Operasi

Dasar Hukum: Pasal 11A ayat (3) dan ayat (6) UU PPh

Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1(satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam
pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial adalah biaya-biaya yang dikeluarkan
sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak
termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan
telepon, dan biaya kantor lainnya.

Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada
tahun pengeluaran.

Pengalihan Harta Tak Berwujud

Dasar Hukum: Pasal 11A ayat (7) dan ayat (8) UU PPh

Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud diatas, maka nilai
sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai
penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.

Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sumbangan/hibah/warisan sebagaimana


dimaksud asal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa
buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

Contoh :

PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu
lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah
sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai
100.000.000 (seratus juta) barel. PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain
dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan
hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500.000.000
Amortisasi yang telah dilakukan Rp 250.000.000
100.000.000/200.000.000 barel (50%)
Nilai buku harta Rp 250.000.000
Harga jual harta Rp 300.000.000
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian
dan jumlah sebesar Rp 300.000.000 dibukukan sebagai penghasilan.

Halaman 35
3. Iuran kepada dana pensiun

Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh

Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh
dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta

Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh

Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan
untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam
perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

5. Kerugian selisih kurs mata uang asing

Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh

Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Lihat
kembali penjelasan bab terdahulu, bahwa keuntungan selisih kurs mata uang asing adalah penghasilan
yang merupakan Objek Pajak Penghasilan. Jadi kerugian ini adalah kebalikan dari peristiwa keuntungan
tersebut.
Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan :25
a. Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang
asing tersebut.
b. Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya
dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun.Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai
pengurang penghasilan sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang
diselenggarakan secara taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam
rangka kegiatan usahanya atau berkaitan dengan usahanya.

Contoh :
Pada tanggal 30 April 2014 PT.A mendepositokan uangnya $10.000 dengan kurs jual BI Rp 12.457 atau
dikeluarkan uang Rp 124.570.000 dalam jangka waktu 6 bulan. Jatuh tempo 31 Oktober 2014. pada
saat pencairan kurs beli bank misalnya Rp. 12.000 perhitungan keuntungan selisih kurs :
Rupiah yang dikeluarkan ( $10.000 x Rp. 12.457) = Rp 124.570.000
Rupiah diterima ( $10.000 x Rp. 12.000) = Rp 120.000.000
Kerugian selisih kurs ($10.000 x 457) = Rp. 4.570.000

25
SE Dirjen Pajak Nomor SE - 03/PJ.31/1997 tentang Perlakuan PPh terhadap Selisih Kurs
Halaman 36
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan

Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh

Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar
untuk menemukan teknologi atau system baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan.

Yang dimaksud dengan biaya penelitian dan pengembangan adalah biaya yang nyata-nyata dikeluarkan
untuk pengembangan produksi (product development), serta biaya untuk meningkatkan efisiensi
perusahaan termasuk teknologi untuk pengembangan proses (process technology).26

Pembebanan penelitian dan pengembangan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kategori :


a. Biaya yang dikeluarkan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan harus disusutkan/diamortisasi, pembebanan biaya
tersebut harus dilakukan dengan disusutkan/diamortisasi sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat
(1) huruf b jo. Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan.
b. Biaya yang dikeluarkan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan biaya usaha sehari-hari, dibebankan
sebagai biaya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1)
huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan.
c. Biaya di luar biaya sebagaimana dimaksud butir a dan butir b antara lain biaya konsultan,
perlakuan perpajakannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.

7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan

Dasar Hukum: Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh

Beasiswa yang dapat dibiayakan diperluas meliputi pemberian beasiswa bukan kepada pegawai seperti
pelajar dan mahasiswa, tetapi tetap memperhatikan kewajarannya. Alasannya adalah untuk mendorong
peran serta masyarakat untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia melalui pendidikan. Biaya Beasiswa tidak dapat dikurangkan apabila yang diberikan
beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus.

Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian,
biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku.
dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. 27

Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib
Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendididikan nonformal
yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.

8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih

Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dikurangkan dengan syarat:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal
Pajak; dan
c. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang
menangani piutang Negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah

26
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 769/KMK.04/1990 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Biaya Penelitian dan
Pengembangan (Research and Development) Yang Dilakukan Oleh Perusahaan
27
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 246/PMK.08/2008 Jo Nomor : 154/PMK.03/2009 tentang Beasiswa Yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.
Halaman 37
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa
utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d. syarat tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar
sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-
upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.28

Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi:


a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau
media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
1. penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-
2. Bank Umum Nasional (PERBANAS);
3. penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; dan/atau
4. penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib
5. Pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang
jumlahnya tidak melebihi Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah
piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam
negeri sebagai akibat adanya pemberian :
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif
yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta
Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer
baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit. untuk keperluan petani yang tergabung
dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan
hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada
masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya
selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan
usaha kecil dan koperasi.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud diatas
adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).

Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal harus
mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud huruf c dilakukan dengan cara melampirkan :


a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah
dilegalisir oleh notaris; atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh
kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu,yang disetujui oleh kreditur.

28
Permenkeu Nomor : 105/PMK.03/2009 jo Permenkeu Nomor : 57/PMK.03/2010 jo Permenku Nomor :
207/PMK.010/2015 tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto

Halaman 38
Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud diatas
harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak, yang di dalam daftar tersebut mencantumkan identitas debitur, salah satunya berupa
Nomor Pokok Wajib Pajak.

Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995
tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit
sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 28/83/KEP/DIR
tanggal 12 Oktober 1995 mengatur hal-hal antara lain :
a. pada setiap pengajuan permohonan kredit, bank wajib meminta kepada pemohon kredit untuk
menyampaikan fotokopi kartu NPWP pemohon kredit; dan
b. kewajiban dimaksud pada huruf a berlaku bagi:
1. permohonan satu atau beberapa jenis kredit dengan plafon keseluruhan di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; atau
2. permohonan penambahan kredit sehingga plafon keseluruhan mencapai jumlah di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing.

Untuk menjaga keselarasan peraturan, keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor
Pokok Wajib Pajak dalam daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada
Direktorat Jenderal Pajak diterapkan terhadap piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang
berasal dari plafon utang di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), baik yang berasal dari satu
utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur.29

9. Sumbangan

Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (1) huruf i s.d. m UU PPh

Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto
dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas :30
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk
korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan
bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat
izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan
melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang
disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina.
mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga
prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga.
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud diatas dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dengan syarat :
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan
diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan

29
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 75/PJ/2015 tentang Penegasan Perlakuan Perpajakan Atas
Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
30
Peraturan Pemerintah Nomor : 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional,
Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga,
Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Halaman 39
d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. kecuali
badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan.

Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan
neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.

Sumbangan dan/atau biaya diatas tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi
apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang. Biaya pembangunan infrastruktur
sosial diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.

4.2. Biaya selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh

Selain Biaya yang dapat dikurangkan yang diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh diatas, terdapat beberapa
biaya yang dapat dikurangkan yang diatur khusus agar dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal. Biaya-
biaya tersebut dibahas secara mendetail dibawah ini.

1. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf c pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto kecuali:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang,
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan,
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan,
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
pengolahan limbah industri.
Yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan syariah ditetapkan sebagai berikut : 31

Bank Umum Konvensional Bank Umum Syariah


Jenis Piutang Besar Jenis Piutang Besar
Cadangan Cadangan
Piutang dengan kualitas yang 1% piutang dengan kualitas yang 1%
digolongkan lancar, tidak digolongkan lancar, tidak termasuk
termasuk Sertifikat Bank Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan
Indonesia dan Surat Utang Negara surat berharga yang diterbitkan
Pemerintah berdasarkan prinsip
syariah

Piutang dengan kualitas yang 5% piutang dengan kualitas yang 5%


digolongkan dalam perhatian digolongkan dalam perhatian khusus
khusus setelah dikurangi nilai setelah dikurangi nilai agunan
agunan
Piutang dengan kualitas yang 15% piutang dengan kualitas yang 15%
digolongkan kurang lancar setelah digolongkan kurang lancar setelah
dikurangi dengan nilai agunan dikurangi dengan nilai agunan;

31
Peraturan Menkeu Nomor : 81/PMK.03/2009 jo Permenkeu Nomor : 219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan
Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
Halaman 40
Piutang dengan kualitas yang 50% piutang dengan kualitas yang 50%
digolongkan diragukan setelah digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan dikurangi dengan nilai agunan
Piutang dengan kualitas yang 100% piutang dengan kualitas yang 100%
digolongkan macet setelah digolongkan macet setelah dikurangi
dikurangi dengan nilai agunan dengan nilai agunan.
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
diatas paling tinggi adalah : 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan 75% dari nilai agunan
lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk
menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak
mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Figure 11. Cadangan Piutang Tak Tertagih Bank Umum

Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat (BPR) ditetapkan sebagai
berikut :
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah
Jenis Piutang Besar Jenis Piutang Besar
Cadangan Cadangan
piutang dengan kualitas lancar 0,5% piutang dengan kualitas lancar tidak 0,5%
tidak termasuk Sertifikat Bank termasuk Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia Indonesia
piutang dengan kualitas kurang 10% piutang dengan kualitas kurang 10%
lancar setelah dikurangi lancar setelah dikurangi dengan nilai
dengan nilai agunan; agunan

piutang dengan kualitas 50% piutang dengan kualitas diragukan 50%


diragukan setelah dikurangi setelah dikurangi dengan nilai
dengan nilai agunan; agunan
dari piutang dengan kualitas 100% piutang dengan kualitas macet 100%
macet setelah dikurangi dengan setelah dikurangi dengan nilai
nilai agunan agunan
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
diatas paling tinggi adalah : 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan 75% dari nilai agunan
lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk
menutup kerugian, jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak
mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.
Figure 12. Cadangan Piutang Tak Tertagih BPR

Besarnya cadangan piutang tak tertagih selain bank ditetapkan sebagai berikut :
Jenis Perusahaan Besar Dasar perhitungan cadangan
Cadangan
Koperasi Simpan Pinjam 0,5% piutang dari piutang dengan kualitas lancar
10% kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai
agunan;
50% piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi
dengan nilai agunan
100% dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi
dengan nilai agunan
PT Permodalan Nasional 2,5% piutang yang digolongkan dalam perhatian khusus
Madani (Persero) setelah dikurangi nilai agunan
5% piutang yang digolongkan kurang lancar setelah
dikurangi dengan nilai agunan;
50% piutang yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan

Halaman 41
100% piutang yang digolongkan macet setelah dikurangi
dengan nilai agunan
Lembaga Pembiayaan Ekspor 1% piutang dengan kualitas lancar
Indonesia 5% piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus
setelah dikurangi nilai agunan
15% piutang dengan kualitas kurang lancar setelah
dikurangi nilai agunan;
50% piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi
nilai agunan;
100% 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas
macet setelah dikurangi nilai agunan.
Perusahaan pembiayaan 1% piutang dengan kualitas lancar
infrastruktur 5% piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam
perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan
15% piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
50% piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan
setelah dikurangi dengan nilai agunan
100% piutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Perusahaan Pengelola Aset 15% piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
50% piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan
setelah dikurangi dengan nilai agunan
100% iutang dengan kualitas yang digolongkan macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan
Perusahaan sewa guna usaha 2,5% rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang
dengan hak opsi
Perusahaan pembiayaan 5% rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang
konsumen
Perusahaan anjak piutang 5% rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang
Perusahaan Asuransi Kerugian 40% jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau
diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.

100% jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum


dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan sedang
dalam proses tetapi tidak termasuk klaim yang
belum dilaporkan
Perusahaan Asuransi Jiwa sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah
mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
Lembaga Penjamin Simpanan 80% dari surplus yang diperoleh Lembaga Penjamin
Simpanan dari kegiatan operasional selama 1 (satu)
tahun yang diakumulasikan sesuai peraturan
perundang-undangan mengenai Lembaga Penjamin
Simpanan
Usaha Pertambangan Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang
melakukan usaha pertambangan dihitung sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan energi dan sumber daya mineral
Kehutanan Cadangan biaya penanaman kembali untuk
perusahaan yang melakukan usaha kehutanan
dihitung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang kehutanan.
Industri untuk pengolahan Besarnya cadangan biaya penutupan dan
limbah industri pemeliharaan tempat pembuangan limbah dihitung
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup.
Figure 13. Cadangan Piutang Tak selain Bank Umum dan BPR
Halaman 42
2. Penggantian atau Imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf e

Istilah natura dan kenikmatan telah kita kenal pada saat membahas tentang Penghasilan Yang Bukan
merupakan Objek Pajak Penghasilan yaitu pasal 4 ayat (3) huruf d yang menyatakan bahwa
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah
bukan Objek Pajak, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara
final, atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh.

Sesuai dengan prinsip non taxable - non deductable maka bagi pemberi peghasilan seharusnya tidak
dapat mengurangkan natura dan kenikmatan sebagai biaya. Akan tetapi, berdasarkan pasal 9 ayat (1)
huruf (e) terdapat pengecualian dimana atas penggantian atau imbalan berupa natura dan kenikmatan
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan tidak memnjadi pengasilan bagi yang menerimanya,
tetapi terbatas pada biaya berupa :

a. Biaya Makan dan Minum untuk sebagian/seluruh pegawai


Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai meliputi : pemberian
makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau pemberian
kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat
memanfaatkan pemberian meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas
luar lainnya.32

Nilai kupon makanan dan/atau minuman dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
sesuai dengan nilai kupon yang wajar. Nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon
tersebut tidak melebihi pengeluaran penyediaan makanan dan/atau minuman per Pegawai yang
disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.33

Ketentuan "penyediaan makanan dan minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja"
tidak mutlak harus seluruh pegawai perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris.
Apabila terdapat sejumlah pegawai yang tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh
tasilitts in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti
para pegawai bagian pemasaran. bagian transportasi. dan dinas luar lainnya). Hal tersebut tidak
membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip tersebut di atas.34

b. Natura dan Kenikmatan didaerah terpencil

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah
untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :
- tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
- pelayanan kesehatan;
- pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
- peribadatan;
- pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
- olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda,
dan terbang layang,

32
PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau
Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja
33
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 51/PJ/2009 Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan
dan/atau minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, Dan Batasan Mengenai
Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja
34
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 14/PJ.31/2003 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Oleh Pemberi
Kerja Bagi Seluruh Pegawai di Tempat Kerja
Halaman 43
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.

Daerah tertentu sebagaimana dimaksud adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi
yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai
dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga
untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata penanam
modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang,
termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang
dasar lautnya memiliki cadangan mineral.35

Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, yang berlaku sejak tahun
pajak diterbitkannya keputusan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. Jangka waktu perpanjangan
adalah 5 (lima) tahun.

Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di daerah tertentu dapat mengajukan permohonan
penetapan daerah tertentu kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Permohonan harus dilampiri dengan : 36
a. fotokopi surat persetujuan penanaman modal berserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk wajib Pajak penanaman modal, atau rencana
investasi untuk Wajib Pajak lainnya;
b. fotokopi peta lokasi;
c. fotokopi laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum tahun permohonan; dan
d. pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan pemeriksaan, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama
Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan, paling lama 3 (tiga) bulan setelah
permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. Keputusan dapat diterbitkan paling lama 6
(enam) bulan setelah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap dalam hal diperlukan
pemeriksaan. Apabila jangka waktu terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama
Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan.

c. Natura berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan

Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.
Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud meliputi pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai,
serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.

Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan keamanan atau


Keselamatan pekerja yang diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau
pemerintah daerah setempat.37

3. Zakat dan Sumbangan Keagamaan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf g

35
PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau
Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja
36
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 51/PJ/2009 Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan
dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, Dan Batasan Mengenai
Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja
37
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 51/PJ/2009 Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan
dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, Dan Batasan Mengenai
Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja
Halaman 44
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g, harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (3) tidak dapat menjadi pengurang penghasilan brtuo kecuali
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
meliputi:38
zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam
dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain
agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama
selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Zakat atau sumbangan keagamaan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto oleh pemberi zakat
atau sumbangan keagamaan harus didukung oleh bukti-bukti yang sah. Apabila pengeluaran untuk
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat atau lembaga keagamaan yang disahkan oleh Pemerintah pengeluaran tersebut
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. 39

4. Pembayaran Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD)

Pengeluaran untuk Pajak Daerah dan Retibusi Daerah dapat dibebankan sebagai biaya dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 40
a. Memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34
Tahun 2000;
b. Berkaitan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan. menagih dan memelihara penghasilan
yang merupakan Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final dan atau tidak
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto/Norma Penghitungan Khusus;
c. Tidak termasuk pengeluaran untuk sanksi berupa bunga, denda, dan atau kenaikan.

5. Kenikmatan dan Fasilitas Yang Diberikan Untuk Pegawai Yang Dapat Dibiayakan hanya sebesar 50%

Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan diatur hal-hal sebagai
berikut : 41

38
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
39
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
40
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 02/PJ.42/2002 tentang Perlakuan PPh Atas Pengeluaran Untuk Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
41
Kep Dirjen Pajak Nomor KEP - 220/PJ./2002 tentang Perlakuan PPh Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan
Kendaraan Perusahaan

Halaman 45
Dapat Dibebankan hanya sebesar 50% :
Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan
perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dari jumlah
biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I
Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannyadari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan
perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang
sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya, dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau
perbaikan besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II
Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau sejenisnya yang
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun
pajak yang bersangkutan

Dapat Dibebankan Seluruhnya :


Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang
sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai melalui
penyusutan aktiva tetap kelompok II
Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
Figure 14. Biaya yang dapat dibebankan 50%

Atas biaya-biaya yang dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan diatas, tidak merupakan
penghasilan bagi para pegawai perusahaan yang bersangkutan.

6. Pembelian Software Umum dan Khusus

Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk
memproses berbagai pekerjaan dengan komputer. Program aplikasi khusus adalah program yang
dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha
tertentu, seperti dibidang perbankan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.

Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan upgrade Softtware diatur hal-hal sebagai berikut : 42

Software Umum
Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure dan diakui pada
saat pengeluaran;
Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya dikapitalisasi
bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1.

Software Khusus
Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan
diamortisasi selama 4 tahun;
Bila software khusus diupgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada Nilai Sisa Buku Fiskal
software yang bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang
bersangkutan.

42
Kepdirjen Pajak Nomor : KEP-316/PJ./2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan upgrade
Softtware
Halaman 46
7. Pembayaran PBB dan BPHTB

Perlakuan PPh untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan (BPHTB) adalah : 43
a. BPHTB adalah pajak yang dibayar dalam rangka dan merupakan bagian dari biaya
pengeluaran untuk memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan;
b. PBB adalah pajak yang dibayar sehubungan dengan pemilikan hak atau perolehan manfaat
atas tanah dan atau pemilikan, penguasaan, atau perolehan manfaat atas bangunan, yang
merupakan biaya/pengeluaran rutin setiap tahun;
c. BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui amortisasi hak atas tanah sepanjang hak
atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A Undang-undang Pajak
Penghasilan;
d. BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan sebagai biaya
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui penyusutan bangunan tersebut sesuai
ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan;
e. PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sekaligus
sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
f. Penegasan diatas, berlaku atas penghasilan yang tidak berkaitan dengan penerimaan/perolehan
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan atau dikenakan berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto/Norma Penghitungan Khusus.

8. Pinjaman Tanpa Bunga dari Pemegang Saham

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan menjadi pengurang penghasilan bruto apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari
pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan
usahanya.

Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan diatas, pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku
bunga wajar. 44

9. Pajak Masukan (Pajak Pertambahan Nilai )

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan.

Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sehubungan dengan pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang

43
SE-01/PJ.42/2002 tentang Perlakuan PPh Atas Pengeluaran Untuk BPHTB dan PBB sebagai
Biaya/Pengurang Penghasilan Bruto
44
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
Halaman 47
Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi. 45

10.Entertainment

Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Wajib Pajak harus
dapat membuktikan bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada
hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
perusahaan (materiil).46

Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya agar
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif yang berisi :
a. Nomor urut.
b. Tanggal entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
c. - Nama tempat entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan
- Alamat entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan
- Jenis entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan
- Jumlah (Rp) entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
d. Relasi usaha yang diberikan entertainment dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di
atas berisi :
- Nama
- Posisi
- Nama perusahaan
- Jenis usaha.

Format Daftar Nominatif adalah sebagai Berikut :

DAFTAR NOMINATIF BIAYA ENTERTAINMENT DAN SEJENISNYA

TAHUN PAJAK :

Nomor Pemberian entertaiment dan sejenisnya Relasi usaha yang diberikan Keterangan
entertainment dan sejenisnya
Tanggal Tempat Alamat Jenis Jumlah Nama Posisi Nama Jenis
(Rp) Perusahaan Usaha

Figure 15. Daftar Nominatif Biaya Entertainment

45
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
46
SE - 27/PJ.22/1986 tantang Biaya "Entertainment Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18)

Halaman 48
Bab 5. Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan
(NonDeductable Expenses)

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan
yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha
atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak
yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari
pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi
pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.

5.1. Yang Tidak Dapat Dikurangkan sesuai Pasal 9 ayat (1) UU PPh

Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf a

Pembagian laba ini seperti deviden termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Pembagian laba dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil
usaha koperasi kepada anggotanya dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena
pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai
pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf b

Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan
atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau
anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh
perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf c

Pembentukan atau Pemupukan dana cadangan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
kecuali :
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang;
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS);
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan ;
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
pengolahan limbah industri.

Halaman 49
Yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dana cadangan yang boleh dikurangkan ini telah dibahas dalam bab sebelumnya.47

d. Premi asuransi

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf d

Premi Asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali yang dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. Premi untuk
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa
yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto,
dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.

Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi
kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan
merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf e

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai, serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 48
Ketentuan biaya natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan telah dibahas dalam bab
sebelumnya.

f. Jumlah yang melebihi kewajaran

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf f

Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan
kepada pegawai yang juga pemegang saham, karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan
ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Contoh :
Seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada
badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar
sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham
tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai deviden.

47
Peraturan Menkeu Nomor : 81/PMK.03/2009 jo Permenkeu Nomor : 219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan
Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya
48
PMK-83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau
Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja
Halaman 50
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf g

Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
i sampai dengan huruf m, serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk dan
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 3 tentang Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak, berdasarkan
prinsip Nontaxable - Non Deductable, maka atas hibah, bantuan, sumbangan, dan warisan yang
bukan objek pajak bagi penerimanya sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, tidak
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberinya.

h. Pajak Penghasilan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf h

Pajak Penghasilan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sedangkan Pajak yang lain seperti
PBB, BPHTB, Bea Materai dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang
terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

i. Biaya Biaya yang dibebankan atau yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf i

Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada
hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena
itu, biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

j. Gaji yg dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf j

Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian, gaji
yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
badan tersebut.

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan

Dasar Hukum : Pasal 9 ayat (1) huruf k

Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana yang berkenaan dengan
pelaksanaan undang-undang di bidang perpajakan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Halaman 51
5.2. Biaya Yang Tidak Boleh Dikurangkan Lainnya

Selain diatur dalam Pasal 9 ayat (1) diatas, terdapat beberapa biaya lainnya yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto yang diatur tersendiri antara lain :

1. Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah : 49

a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang :


- bukan merupakan objek pajak;
- pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
- dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

Apabila terdapat biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan penghasilan
yang merupakan obyek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun penghasilan yang
bukan merupakan obyek Pajak (Joint Cost), maka besarnya biaya yang dapat dikurangkan dihitung
berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan obyek pajak dengan jumlah pendapatan
yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang bukan obyek pajak.

2. Bunga Pinjaman dan Deposito

Bunga deposito, tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh baik oleh Wajib Pajak
badan maupun oleh Wajib Pajak orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai
dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh jo Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000.

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha tetap (BUT), biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto.

Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya
langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari pihak ketiga yang
dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena
Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut
dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari
penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebesar 15%.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 50
a. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya sama dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-
rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka biaya
bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan
sebagai biaya.
b. Apabila jumlah rata-rata pinjaman Iebih besar dari jumlah rata-rata dari yang ditempatkan dalam
bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga atas pinjaman yang boleh dibebankan
sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan Iainnya (selisih rata-
rata pinjaman dengan rata-rata deposito).

49
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
50
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-46/PJ.4/1995 Tentang Perlakuan Biaya Bunga Yang Dibayar atau
Terutang Dalam Hal Wajib Pajak Menerima atau Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito atau Tabungan
Lainnya

Halaman 52
Walaupun begitu tidak semua biaya bunga yang telah dibebankan oleh perusahaan pasti dikoreksi
secara fiskal. Ada beberapa pengecualian sehingga biaya bunga pinjaman dapat dibebankan untuk
menghitung Penghasilan Kena Pajak :
a. dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas
jasanya dikenakan PPh yang bersifat final;
b. ada keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu
bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan
tersebut misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito
atau tabungan di Bank Pemerintah;
c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari
tambahan modal dan sisalaba tersebut kena pajak.

Seringkali perusahaan juga memperoleh pinjaman dalam bentuk valuta Asing. Dengan berjalannya
waktu pastilah akan timbul rugi/laba selisih kurs atau jumlah pinjaman yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Apakah kerugian yang ditimbulkan akibat pembebanan bunga pinjaman dalam bentuk valas dapat
dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak, dijelaskan dalam SE-46/PJ.4/1995 tersebut
hanya mengatur mengenai pembebanan biaya bunga pinjaman, sehingga dalam hal Wajib pajak
menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya, kerugian
akibat selisih kurs bukanlah unsur yang perlu dikoreksi.

Contoh Kasus :
Pada tahun 2011 PT X mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri dengan batas maksimum sebesar Rp
200.000.000 dan tingkat bunga pinjaman adalah 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil pada bulan Februari
sebesar Rp 125.000.000 pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp 25.000.000 dan sisanya (Rp 50.000.000) diambil
pada bulanAgustus 2011.
Disamping itu PT X mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian sebagai berikut :
- bulan Februari s.d. Maret sebesar Rp 25.000.000
- bulan April s.d. Agustus sebesar Rp 46.000.000
- bulan September s.d. Desember sebesar Rp 50.000.000

Dengan demikian berapa bunga pinjaman yang dapat dibebankan sebagai biaya? Pertama, cari rata-rata pinjaman
dan rata-rata deposito yang dimiliki PT X.
Rata-Rata Pinjaman :
Pinjaman Jangka Waktu Jumlah
Bulan Januari 0 1 bulan 0
Bulan Februari s.d Mei 125.000.000 4 bulan 500.000.000
Bulan Juni s.d Juli 150.000.000 2 bulan 300.000.000
Bulan Agustus s.d Desember 200.000.000 5 bulan 1.000.000.000
JUMLAH 1.800.000.000
Sehingga rata-rata pinjaman per bulan Rp l.800.000.000 :12 = Rp 150.000.000

Rata-Rata deposito :
Deposito Jangka Waktu Jumlah
Bulan Januari 1 bulan 0
Bulan Februari s.d Maret 25.000.000 2 bulan 50.000.000
Bulan April s.d Agustus 46.000.000 5 bulan 230.000.000
Bulan September s.d Desember 50.000.000 4 bulan 200.000.000
JUMLAH 480.000.000

Sehingga rata-rata deposito per bulan Rp 480.000.000 : 12 = Rp 40.000.000

Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (150.000.000-40.000.000) = Rp 22.000.000

Halaman 53
3. Biaya Pinjaman terkait Debt To Equity Ratio (Perbandingan Hutang dan Modal)

Pada tahun 2015 telah ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk keperluan
penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.

Utang adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung
berdasarkan:
a. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo utang meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo utang jangka pendek termasuk saldo
utang dagang yang dibebani bunga.

Modal adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung
berdasarkan:
a. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.

Besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding
satu (4:1). 51

Dikecualikan dari ketentuan perbandingan antara utang dan modal adalah :


a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
c. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
d. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan
umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur
atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
e. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
f. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Dalam hal besarnya perbandingan antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya
perbandingan dimaksud, biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan
kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan diatas.

Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan
peminjaman dana yang meliputi:
a. bunga pinjaman;
b. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
c. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of
borrowings);
d. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
e. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
f. selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut
sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e.

51
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 169/PMK.010/2015 tanggal 9 September 2015 Tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan

Halaman 54
Bab 6. Penilaian Harta Perusahaan

Dasar Hukum : Pasal 10 UU Pajak Penghasilan

Setelah mempelajari tentang penghasilan dan biaya fiskal, untuk dapat menghitung Pajak Penghasilan
masalah penilaian harta perusahaan penting juga dibahas, karena akan mempengaruhi harga pokok
penjualan yang pada akhirnya menentukan besarnya laba usaha yang merupakan objek pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b atau mempengaruhi besarnya keuntungan karena
penjualan atau karena pengalihan harta yang merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam pasal 4
ayat (1) huruf d.

6.1. Transaksi Jual Beli Harta

Dasar hukum : Pasal 10 ayat (1)

Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan
atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima.

Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang
sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima.
Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.

Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka
bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai
penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan
penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika
jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu, dalam ketentuan ini diatur
bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.

Contoh :

Memiliki Hubungan Tidak Memiliki Hubungan


Istimewa Istimewa
Nilai Buku Rp 12.000.000 Rp 12.000.000
Harga Jual Rp 12.000.000 Rp 20.000.000
Dari data pada tabel dapat dilihat bahwa harga jual dari transaksi yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki hubungan istimewa lebih kecil dibandingkan dengan penjualan antara pihak yang tidak memiliki
hubungan istimewa. Oleh karena itu, menurut pajak harga jual harta tersebut harus jumlah yang
seharusnya diterima yaitu sebesar Rp. 20.000.000,-. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku
harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan
sebesar Rp 10.000.000 (Rp20.000.000 - Rp10.000.000) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp
8.000.000 (Rp20.000.000- Rp12.000.000).

Halaman 55
6.2. Transaksi Tukar Menukar

Dasar hukum : Pasal 10 ayat (2)

Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Contoh :

PT A (Harta X) PT B (Harta Y)
Nilai sisa buku Rp 10.000.000 Rp 12.000.000
Harga pasar Rp 20.000.000 Rp 20.000.000

Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara
pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp
20.000.000 maka jumlah sebesar Rp 20.000.000 merupakan nilai perolehan yang seharusnya
dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.

Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang
dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000 (Rp20.000.000 - Rp10.000.000)
dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000 (Rp20.000.000- Rp12.000.000).

6.3. Pengalihan Harta dalam rangka likuidasi/merger

Dasar hukum : Pasal 10 ayat (3)

Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan
harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha. Selain itu, pengalihan
tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.

Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak.

Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku (pooling of interest). Wajib Pajak yang
melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah : 52
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering).

Prosedur Restrukturisasi Menggunakan Nilai Buku

Untuk dapat melakukan restrukturisasi menggunakan nilai buku, WP harus memenuhi serangkaian
prosedur dibawah ini. Mengingat kegagalan memenuhi prosedur ini akan mengakibatkan pengalihan harta
harus dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoleh dikenakan PPh.

a. Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat pemohon
terdaftar selambat-lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, peleburan atau pemekaran
usaha dilakukan.

52
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Pengggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta
Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha
Halaman 56
- Dalam hal penggabungan atau peleburan usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang
menerima pengalihan harta.
- Dalam hal pemekaran usaha permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan
harta.
b. Melunasi seluruh utang pajak dan tiap badan usaha yang terkait, termasuk cabang perwakilan yang
terdaftar di KPP-KPP lokasi.
c. Laporan Keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta, harus
diaudit oleh Akuntan Publik.
d. Apabila permohonan Wajib Pajak sudah lengkap, Kakanwil DJP menerbitkan surat keputusan
persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara
lengkap. Jika batas waktu 1 bulan te!ah lewat maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan
kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan.

Setelah permohonan penggabungan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku disetujui.
maka berlaku ketentuan-ketentuan dibawah ini :
- Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana pengalihan harta tadi
dilakukan secara prorata (penghitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana
yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta.
- Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan :
a. PPh pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dan jumlah PPh pasal 25 dan pihak-
pihak yang mengalihkan.
b. Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya dapat
dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan/pemotongan PPh Wajib Pajak yang
menerima pengalihan.
- Dalam hal penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan, maka :
a. kewajiban formal penyampaian SPT masa/tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, berakhir sampai dengan
Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha.
b. Kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Yang menerima
pengalihan harta dalam rangka peIeburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib Pajak
terdaftar di KPP setelah pendirian badan usaha baru.

Contoh:

PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga
pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut:

PT A PT B
Nilai sisa buku Rp 200.000.000 Rp 300.000.000
Harga pasar Rp 300.000.000 Rp 450.000.000

Pada dasarnya penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburan menjadi
PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian PT A mendapat keuntungan sebesar Rp
100.000.000 (Rp300.000.000 - Rp200.000.000) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp
150.000.000 (Rp450.000.000 - Rp300.000). Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut
dengan jumlah Rp750.000.000 (Rp 300.000.000 + Rp 450.000.000).

Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang social, ekonomi, investasi, moneter
dan kebijakan lainnya. Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga
pasar yaitu atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest). Dalam hal demikian PT C membukukan
penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000 (Rp 200.000.000 + Rp
300.000.000).

Halaman 57
6.4. Pengalihan Harta dengan Alasan Hibah, Sumbangan, dan Warisan

Dasar hukum : Pasal 10 ayat (4)

Apabila terjadi pengalihan harta , yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a dan huruf b (hibah, sumbangan atau warisan), maka dasar penilaian bagi yang menerima
pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak. Yang tidak memenuhi syarat ini, maka dasar penilaian bagi yang menerima
pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.

Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka
nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penetapan Dasar Nilai Bagi yang
Menerima Pengalihan Harta yang diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan yang
memenuhi syarat bukan sebagai objek pajak dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan ditetapkan
sebagai berikut : 53
- Apabila nilai atau perolehan harta bagi yang mengalihkan harta tersebut diketahui maka nilai
perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai atau harga perolehan
harta tersebut bagi yang mengalihkan.
- Apabila tidak diketahui namun tahun perolehannya diketahui maka nilai perolehan bagi yang
menerima pengalihan harta tersebut adalah :
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan dalam tahun 1986 atau
sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak 1986 atau;
b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986 sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT
PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut bagi yang mengalihkan, atau;
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala KPPBB.
- Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan harta berupa tanah
dan/atau bangunan tidak diketahui maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah
sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang
tertulis atas nama yang mengalihkan harta tersebut atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat
keterangan dari kepala KPPBB.
- Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan apabila nilai atau harga perolehan tidak diketahui maka
nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah sama besarnya dengan 60% dari
harga wajar harta tersebut pada saat terjadinya pengalihan.

Contoh :
PT A berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing kepada PT B dan kepada sebuah Badan
Sosial yang ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke badan sosial, PT A mencatat
hibah tersebut sebesar nilai sisa buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi atas hibah
gedung kepada PT B, PT A harus mencatat hibah tersebut sebesar harga pasar dan harus mengakui
laba/rugi.

6.5. Pengalihan harta untuk Setoran Modal

Dasar hukum : Pasal 10 ayat (5)

Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c (harta termasuk
setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal), maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari
harta tersebut.

53
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ./1995 tentang Penetapan Dasar Penilaian Bagi Yang
Menerima Pengalihan Harta Yang Diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan dan Warisan Yang Memenuhi
Syarat Sebagai Bukan Objek Pajak Penghasilan Dari Wajib Pajak Yang Tidak Menyelenggarakan Pembukuan

Halaman 58
Contoh:

Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp 25.000.000,00 kepada
PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp 20.000.000,00. Harga pasar
mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut
tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan
penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp
20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X
selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) merupakan Objek Pajak.

6.6. Persediaan Barang Dagangan

Dasar hukum : Pasal 10 ayat (6)

Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga
perolehan yang dilakukan secara rata-rata (Average) atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
diperoleh pertama (FIFO).

Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan,
barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan pada ayat ini mengatur
bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian
persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan
cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (first in first out atau disingkat FIFO). Metode yang
lain seperti LIFO (Last In First Out) tidak diperkenankan. Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut
juga diberlakukan tehadap sekuritas. Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian
persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus
digunakan cara yang sama.
Contoh :
1. Persediaan 100 satuan @ Rp 9.00
2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12.00
3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11.25
4. Penjualan/dipakai 100 satuan
5. Penjualan/dipakai 100 satuan
Penggunaan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara ratarata.
Misalnya sebagai berikut :
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan,
1. ---- ---- 100 st@ Rp 9.00 = Rp 900
2. 100 st @ Rp 12.00= Rp 1.200 ---- 200 st@ Rp10.50 = Rp 2.100
3. 100 st @ Rp 11.25=Rp 1.125 ---- 300st@ Rp10.75 = Rp 3.225
4. ----- 100 st @ Rp 10.75 200 st@ Rp 10.75= Rp 2.150
= Rp 1.075
5. ----- 100 st @ Rp 10.75 100 st@ Rp10.75= Rp 1.075
= Rp 1.075

Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO.
Misalnya sebagai berikut :
No. Didapat
Dipakai Sisa /Persediaan
1. --- ----- 100 st @ Rp 9 =Rp 900.-
2. 100 st@ Rp 12.00 = Rp1.200 ----- 100 st @ Rp 9 = Rp 900.-
100 st @ Rp12 =Rp1.200.
3. 100 st@ Rp 11.25 = Rp1.125 ----- 100 st @ Rp 9 =Rp 900.-
100 st @ Rp12 =Rp1.200.-
100 st @ Rp11.25 =Rp1.125.-
4. ---- 100 st @ Rp 9.00 = Rp 900.- 100 st @ Rp 12 =Rp 1.200.-
100 st @Rp12.00 = Rp 100 st @ Rp11.25 =Rp1.125.-
5. ---- 1.200.- 100 st @ Rp11.25 =Rp1.125.-

Halaman 59
6.7. Penilaian Persediaan bagi Wajib Pajak Pedagang Valuta Asing

Yang dimaksud dengan Pedagang Valuta Asing (PVA) adalah bank bukan bank devisa atau perusahaan yang
telah mendapat izin untuk melakukan jual beli Uang Kertas Asing (UKA) dan pembelian Traveller's Cheque
(TC). Penetapan kurs jual beli UKA diserahkan kepada PVA sesuai dengan perkembangan pasar. Pedagang
Valuta Asing diwajibkan menyampaikan Laporan Bulanan. Laporan Tahunan dan Laporan Khusus kepada
Bank Indonesia. 54

Untuk kepentingan perpajakan perlu ditegaskan bahwa penilaian persediaan dan pemakaian persediaan
untuk penghitungan harga pokok valuta asing sebagai barang dagangan bagi Wajib Pajak yang bergerak di
bidang usaha perdagangan valuta asing adalah berdasarkan harga perolehan valuta asing tersebut yang
dihitung secara rata-rata (average) atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama
(FIFO) dan harus dilakukan secara taat azas. 55

54
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 31/171/KEP/DIR tanggal 17 Desember 1998 tentang Pedagang
Valuta Asing
55
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 52/PJ.42/1999 tentang Penilaian Persediaan Bagi Wajib Pajak Pedagang
Valuta Asing

Halaman 60
Bab 7. Rekonsiliasi Fiskal

Seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, untuk menghitung Pajak Penghasilan Terutang untuk
Wajib Pajak Badan kita harus mengetahui jumlah Penghasilan Neto Fiskal dalam satu tahun pajak dimana
penghasilan neto fiiskal ini setelah dikurangi kompensasi kerugian tahun sebelumnya akan disebut sebagai
Penghasilan Kena Pajak. PPh terutang dihitung dengan mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan Tarif
Pajak.

Penghasilan Neto diperoleh dari Laporan Keuangan yang dihasilkan dari proses pembukuan yang dihasilkan
wajib pajak berdasarkan standar akuntansi yang berlaku yang disebut laporan keuangan komersial. Pajak
tidak mengatur secara khusus mengenai cara atau alur dalam menyusun laporan keuangan. Oleh karena
itu, wajib pajak dapat mengikuti alur penyusunan laporan keuangan yang terdapat dalam akuntansi
komersial. Secara umum, laporan keuangan dimulai dari pencatatan dokumen-dokumen dasar yang terjadi
dalam sebuah transaksi ke dalam buku harian. Kemudian, jurnal harian tersebut dimasukkan (posting) ke
dalam buku besar. Pada akhir periode, dari buku besar disusun neraca saldo sebelum penyesuaian. Dengan
penyesuaian terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi pada akhir tahun dan catatan penutup (closing
entries) disusunlah neraca saldo setelah penyesuaian. Dari neraca saldo setelah penyesuaian tersebut
diperoleh sebuah laporan keuangan komersial.

Karena terdapat beberapa perbedaan antara komersial dan pajak maka untuk kepentingan pajak, laporan
keuangan komersial disesuaikan dengan ketentuan pajak yang lebih dikenal dengan sebutan rekonsiliasi
fiskal. Rekonsiliasi Fiskal adalah mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara komersial
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan laba/rugi fiskal.

Penyebab terjadinya penyesuaian fiskal adalah perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal
(pajak). Perbedaan tersebut adalah :
1. Beda Tetap
Perbedaan atas penghasilan biaya yang secara fiskal/pajak tidak dapat diakui tetapi di komersial
dapat diakui
Contoh : Sumbangan, Hibah, Dividen, PPh dan lain-lain
2. Beda Waktu
Perbedaan pengakuan atas penghasilan/biaya karena selisih waktu pengakuannya saja artinya sama-
sama tetap diakui tetapi dalam waktu yang berbeda
Contoh : Penyusutan secara komersial dibebankan selama 5 tahun tetapi menurut pajak hanya 4 tahun

Pokok-pokok yang direkonsiliasi tidak terbatas pada penghasilan saja tetapi juga biaya pada suatu periode
tertentu. Akibat diadakannya rekonsiliasi inilah memunculkan koreksi atau penyesuaian fiskal baik positif
maupun negatif.

Skema Rekonsiliasi Fiskal

Figure 16
Skema
Rekonsiliasi
Fiskal

Halaman 61
7.1. Penyesuaian Fiskal Positif

Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan netto komersial (diluar unsur
penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung
Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya yang bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial.

Penyesuaian fiskal positif timbul karena adanya :


a. Adanya biaya, pengeluaran, dan kerugian yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan. Biaya yang tidak dapat dikurangkan ini
telah dibahas dalam bab 5.
b. Adanya perbedaan saat pengakuan biaya dan penghasilan atau karena penghitungan biaya
menurut metode fiskal lebih rendah dari penghitungan menurut metode akuntansi komersial.
c. Adanya penghasilan yang merupakan objek pajak yang tidak termasuk dalam penghasilan komersial.

Penyesuaian fiskal positif yang mengakibatkan bertambahnya laba bersih kena pajak atau penghasilan kena
pajak dalam SPT Tahunan PPh Badan dikelompokkan menjadi seperti dalam tabel berikut.

No Penyesuaian Fiskal Keterangan Dasar Hukum

A Biaya yang Pengeluaran perusahaan untuk Pasal 9 ayat (1)


dibebankan/dikeluarkan pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan huruf b
untuk kepentingan pribadi, biaya premi asuransi
pemegang saham, sekutu, pribadi/keluarga, dan pengeluaran lainnya
atau anggota. untuk kepentingan pemegang saham, sekutu,
atau anggota
B Pembentukan atau Pembentukan atau pemupukan dana Pasal 9 ayat (1)
Pemupukan Dana cadangan secara fiskal tidak dapat huruf c
Cadangan dibebankan sebagai biaya perusahaan, PMK Nomor
kecuali untuk usaha tertentu seperti bank 81/PMK.03/2009
dan asuransi
Jo PMK-
219/PMK.011/2012
C Penggantian atau Imbalan Natura dan Kenikmatan tidak dapat dibebankan Pasal 9 ayat (1)
Pekerjaan atau Jasa dalam sebagai biaya kecuali pemberian natura berupa huruf e
Bentuk Natura dan penyediaan makanan/minuman ditempat kerja PMK Nomor
Kenikmatan bagi seluruh pegawai, natura dan kenikmatan 83/PMK.03/2009
di daerah terpencil, serta pemberian natura
atau kenikmatan yang merupakan keharusan
dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana
keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan
tersebut mengharuskannya
D Jumlah yang melebihi Pembayaran gaji, honorarium, dan imbalan lain Pasal 9 ayat (1)
kewajaran yang sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang huruf f
dibayarkan kepada diberikan kepada pemegang saham atau pihak
pemegang saham/pihak yang mempunyai hubungan istimewa
yang mempunyai sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (4)
hubungan istimewa UU PPh dapat dibebankan sebagai biaya
sehubungan dengan perusahaan sepanjang jumlahnya tidak
pekerjaan melebihi kewajaran
E Harta yang dihibahkan, pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan Pasal 6 ayat (1)
bantuan atau sumbangan harta hibahan tersebut tidak dapat huruf i-m
dibebankan sebagai biaya perusahaan. Pasal 9 ayat (1)
Kecuali atas biaya sumbangan kecuali : huruf g
Sumbangan penanggulangan bencana PP Nomor 18
nasional, sumbangan penelitian dan TAHUN 2009
pengembangan yang dilakukan di Indonesia,
sumbangan pembangunan infrastruktur PMK-
sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, 245/PMK.03/2008
sumbangan pembinaan olahraga

Halaman 62
F Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan WP Badan serta kredit Pasal 9 ayat (1)
pajaknya bukan merupakan biaya perusahaan, huruf h
tetapi sebagai kredit pajak. Sedangkan pajak
selain pajak penghasilan seperti Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan Bea Materai dapat
dibiayakan (tidak dikoreksi fiskal)
G Gaji yang dibayarkan Bagian laba yang diterima atau diperoleh Pasal 4 ayat (3)
kepada anggota anggota dari perseroan komanditer yang huruf i
persekutuan, firma atau CV modalnya tidak terbagi atas saham-saham, Pasal 9 ayat (1)
yang modalnya tidak persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi huruf j
terbagi atas saham bukan merupakan penghasilan. Oleh karena
itu, sesuai dengan prinsip taxability and
deductibility bagi perseroan tersebut
pembayaran gaji kepada para anggotanya tidak
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
H Sanksi Administrasi Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan Pasal 9 ayat (1)
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda huruf k
yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan dibidang perpajakan
bukan merupakan biaya perusahaan sehingga
harus dikoreksi fiskal
I Selisih Penyusutan Apabila terjadi selisih penghitungan Pasal 11
Komersial diatas penyusutan yang mengakibatkan penyusutan
penyusutan fiskal menurut pajak lebih kecil dari penyusutan
komersial
J Selisih amortisasi Apabila terjadi selisih penghitungan amortisasi Pasal 11A
Komersial diatas yang mengakibatkan amortisasi menurut pajak
penyusutan fiskal lebih kecil dari amortisasi komersial
K Biaya yang ditangguhkan Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan Pemerintah Nomor
pengakuannya penghasilan dilakukan secara taat asas 94 Tahun 2010
berdasarkan prinsip akuntansi tentang
pengaitan biaya dengan penghasilan (matching
of costs againts revenues). Namun dalam hal-
hal tertentu karena kebijakan Pemerintah
Direktur Jenderal Pajak dapat mengatur saat
pengakuan penghasilan dan biaya yang
berbeda. Seperti misalnya biaya bunga yang
belum dibayar (bunga kredit macet)
L Penyesuaian Fiskal Positif Penyesuaian ini adalah penyesuaian yang tidak Pasal 9 ayat (1) UU
Lainnya dapat dikelompokkan kedalam penyesuaian PPh
diatas yang meliputi, contoh: Kep-220/PJ/2002
- Pembagian laba dalam bentuk apapun,
deviden, dan lain-lain Biaya Telepon
selular hanya dapat dibebankan 50%
- Biaya kendaraan (penyusutan dan
pemeliharan) sedan dan sejenisnya untuk
perusahaan hanya dapat dibebankan 50%
- Biaya untuk mendapatkan penghasilan
yang bukan objek pajak
- WP mengeluarkan biaya-biaya yang
dikeluarkan bersama-sama untuk
mendapatkan pendapatan yang telah
dikenakan PPh Final atau pendapatan yang
bukan objek pajak serta pendapatan yang
dikenakan PPh Non Final (Joint Cost) harus
harus dihitung secara proporsional
Figure 17. Daftar Penyesuaian Fiskal Positif

Halaman 63
7.2. Penyesuaian Fiskal Negatif

Penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan netto komersial (di luar unsur
penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung
Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial.

Dalam form SPT Tahunan PPh Badan, penyesuaian fiskal negatif dikelompokkan menjadi seperti dalam
tabel dibawah ini.

No Penyesuaian Fiskal Keterangan Dasar Hukum

A Selisih penyusutan Apabila penyusutan menurut pajak lebih besar Pasal 11


komersial dibawah dari komersial maka selisihnya adalah koreksi
penyusutan fiskal negatif yang mengakibatkan laba menurut
pajak menjadi lebih kecil
B Selisih Amortisasi Apabila amortisasi menurut pajak lebih Pasal 11A
komersial dibawah besar dari komersial maka selisihnya adalah
amortisasi fiskal koreksi fiskal negatif yang mengakibatkan
laba menurut pajak menjadi lebih kecil
C Penghasilan yang Dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah Nomor
ditangguhkan Pemerintah Direktur Jenderal Pajak dapat 94 Tahun 2010
pengakuannya mengatur saat pengakuan penghasilan dan Kep-184/PJ/2002
biaya yang berbeda. Misalnya : SE-08/PJ.42/2002
- Saat pengakuan penghasilan bank berupa
bunga kredit non performing loan dalam
rangka menunjang percepatan proses
restrukturisasi perbankan sesuai dengan
kebijakan Pemerintah.
Penghasilan bank berupa bunga kredit non-
performing loan diakui pada saat
penghasilan bunga tersebut diterima oleh
bank (cash basis). Dalam hal bank
membukukan penerimaan bunga kredit
non-performing sebagai pengurang pokok
kredit saat pengakuan penghasilan ditunda
hingga saat diterimanya penghasilan
bunga setelah pelunasan pokok kredit.
- saat pengakuan penghasilan dan biaya
bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

Figure 18. Daftar Penyesuaian Fiskal Negatif

7.3. Penyesuaian Fiskal atas Penghasilan Final dan Bukan Objek Pajak

Pada bab 3 telah dijelaskan mengenai Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan Yang Bukan Objek Pajak.
Atas kedua penghasilan ini akan direkonsiliasi karena harus dikeluarkan dari penghitungan PPh terutang
akhir tahun. Koreksi ini sebenarnya merupakan penyesuaian fiskal negatif, namun dalam memudahkan
pengisian SPT Tahunan maka koreksi khusus penghasilan final dan bukan objek pajak dilakukan dalam
kolom tersendiri.

a. WP Memiliki Penghasilan yang dikenakan PPh Final


Apabila Wajib Pajak memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut harus
direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun) karena atas penghasilan
tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban pembayaran pajaknya sudah selesai.
Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi
kredit pajak.

Halaman 64
Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut harus
dikeluarkan dari perhitungan PPh Terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi) karena sudah dipotong
PPh Final oleh bank.

b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak


Apabila Wajib Pajak memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan
tersebut harus juga direkonsiliasi karena wajib pajak tidak perlu membayar PPh atas penghasilan
tersebut.

Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak perusahaan sebesar
100juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45%. Penerimaan dividen tersebut tidak perlu
diperhitungkan sebagai penghasilan dalam menghitung PPh tentang perusahaan tersebut pada akhir
tahun karena bukan merupakan objek pajak.

Contoh format Rekonsiliasi fiskal sebagai terikut:


Akun Komersial Rekonsiliasi Fiskal Fiskal
(Rp) Positif Negatif (Rp)
Peredaran Usaha 1.000.000.000 1.000.000.000
(Tidak Final)
Biaya Usaha (Deductable) 700.000.000 700.000.000
Biaya Piknik 50.000.000 50.000.000 0
(Natura dan Kenikmatan
Non- Deductable)
Laba Usaha 250.000.000 50.000.000 300.000.000
Penghasilan Bunga/Jasa 25.000.000 25.000.000 0
Giro (Final)
Laba Neto Fiskal 275.000.000 50.000.000 25.000.000 300.000.000

Rekonsiliasi fiskal
ini akan diposting
ke dalam SPT
Tahunan Form
1771 - I

Figure 19.
Contoh Rekonsiliasi Fiskal

Halaman 65
Bab 8. Kompensasi Kerugian
Dasar Hukum : Pasal 6 ayat (2) UU Pajak Penghasilan

Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-
turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Dalam bab sebelumnya kita telah mempelajari tentang rekonsiliasi laporan keuangan secara komersial
menjadi laporan keuangan secara fiskal, sehingga kita akan memperoleh Penghasilan neto secara fiskal.
Apabila didapatkan hasil kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan
diisi oleh wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan.

Contoh :

PT Anindya dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000. Dalam 5 (lima)
tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000
2014 : laba fiskal Rp800.000.000

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Tahun Laba/(Rugi) Sisa Kompensasi


2009 (1.200.000.000) Dikompensasi
2010 200.000.000 (1.000.000.000)
2011 (300.000.000) (1.000.000.000)
2012 0 (1.000.000.000)
2013 100.000.000 (900.000.000)
2014 800.000.000 (100.000.000)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh
dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar
Rp300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena
jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

Berdasarkan sistem self assessment yang dianut dalam Undang-undang Perpajakan khususnya Undang-
undang Pajak Penghasilan, penetapan pajak pada tingkat pertama dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri
melalui penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT). Penerbitan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal
Pajak hanya dilakukan apabila terdapat fakta tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3),
Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UU KUP. Dengan demikian, apabila Surat Pemberitahuan yang
disampaikan oleh Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan formal maupun ketentuan material Undang-
undang Perpajakan, maka Direktur Jenderal Pajak tidak perlu menerbitkan ketetapan pajak. Demikian
pula apabila Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan ketetapan pajak, maka Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan ketetapan pajak berdasarkan Undang-undang Perpajakan.

Halaman 66
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan kompensasi kerugian fiskal dalam penghitungan Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh, yang dimaksud dengan kerugian fiskal adalah
kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
maupun kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan Wajib Pajak (self assess ment) dalam hal tidak ada atau
belum diterbitkan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dilakukannya pemeriksaan pajak terhadap SPT Tahunan yang menyatakan Rugi Tidak Lebih Bayar maupun
Rugi Lebih Bayar tidak meniadakan hak kompensasi kerugian fiskal Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
Pasal 6 ayat (2) UU PPh jo. ketentuan Pasal 12 UU KUP tersebut di atas.

Namun apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan
jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari SPT Tahunan atau menjadi tidak rugi, maka kompensasi kerugian
fiskal menurut SPT Tahunan tersebut harus segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur
sebagaimana diatur dalam UU KUP. Kerugian fiskal dari penghasilan yang bersumber di luar negeri hanya
dapat dikompensasikan dengan penghasilan dari sumber yang sama di luar negeri.

Kerugian fiskal dari penghasilan yang dikenakan PPh final atau penghasilan yang bukan merupakan Objek
Pajak, tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan lainnya yang dikenakan pa jak berdasarkan
ketentuan umum.

Halaman 67
Bab 9. Tarif PPh Badan

PPh Terutang dihitung dengan mengalikan Tarif dengan Penghasilan Kena Pajak yang telah dihitung
sebelumnya. Tarif Pajak Penghasilan Badan mengalami perubahan pada tahun 2009 seiri ng dengan
berlakunya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 pada tanggal 1 Januari 2009 .

Sebelum 1 Januari 2009 (Berdasarkan PPh No.17 Tahun 2000)

Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU dengan lapisan sebagai
berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000.00 10%
Diatas Rp 50.000.000 sd. Rp 100.000.000 15%
Diatas Rp 100.000.000 30%

Setelah 1 Januari 2009 (Berdasarkan PPh No.36 Tahun 2008)

1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan

Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa tarif pajak yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
adalah:

Tahun Pajak Tarif Pajak


Tahun Pajak 2009 28%
Sejak Tahun 2010 25%

Alasan Perubahan tarif ini adalah bahwa tarif tunggal selaras dengan prinsip netralitas dalam
pengenaan pajak atas badan dan tarif diturunkan secara bertahap untuk meningkatkan daya saing
dengan negara lain dalam menarik investasi luar negeri.

2. Tarif Pasal 17 ayat (2b) Undang-undang PPh dengan Peraturan Pemerintah Wajib Pajak Badan Dalam
Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka dapat diberikan penurunan tarif Pajak Penghasilan
sebesar 5% lebih rendah apabila :

a. Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam penitipan kolektif di lembaga
penyimpanan dan penyelesaian;
b. Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak;
c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham kurang
dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam
waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu)
Tahun Pajak. 56
Alasan Penurunan tarif ini adalah untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber
pembiayaan dunia usaha dan mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka dan kepemilikan
publik pada perseroan terbuka.

Wajib Pajak yang ingin mendapatkan penurunan tarif harus melampirkan surat keterangan dari Biro
Administrasi Efek pada Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan dengan melampirkan formulir
X.H.1-6 sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun pajak
terkait. Surat keterangan dibuat untuk setiap tahun pajak dengan mencantumkan nama Wajib Pajak,

56
Peraturan Pemerintah NOMOR 81 TAHUN 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 77 TAHUN 2013 tentang
Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka
Halaman 68
Nomor Pokok Wajib Pajak, Tahun Pajak serta menyatakan bahwa dalam waktu paling singkat 6 (enam)
bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak : 57
a. Saham Wajib Pajak dimiliki oleh publik paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan
saham yang disetor; dan
b. saham Wajib Pajak yang dimiliki oleh publik dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pihak dan
masing-masing pihak hanya memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham
yang disetor.

Dasar perhitungan besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang untuk satu tahun pajak berikutnya setelah Wajib Pajak mendapatkan fasilitas berupa
penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah adalah Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan tahun pajak yang mendapatkan faslitas.

3. Pengurangan Tarif sesuai Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan

Pasal 31 E ayat (1) : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 31 E ayat (2) : Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan
dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat
memperoleh fasilitas tersebut.

Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, meliputi : Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final,
Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final, dan Penghasilan yang dikecualikan dari
objek pajak.

Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto
tidak melebihi Rp50.000.000.000, tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai
dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan. 58

57
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Dan Pengawasan
Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka
58
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 66/PJ/2010 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU
Nomor 36 Tahun 2008
Halaman 69
Contoh Penghitungan :

a. Contoh 1 :
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan
Kena Pajak (PhKP) sebesar Rp 500.000.000.

Penghitungan pajak yang terutang:


Seluruh PhKP yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari
tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak
melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang :
(50% x 28%) x Rp 500.000.000 = Rp70.000.000

b. Contoh 2 :
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan PhKP
sebesar Rp 3.000.000.000. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000 = Rp 480.000.000.
Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas: Rp3.000.000.000 - Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000

Pajak Penghasilan yang terutang:


(50% x 28%) x Rp480.000.000 = Rp 67.200.000
28% x Rp2.520.000.000 = Rp 705.600.000 (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000

Halaman 70
Bab 10.Kredit Pajak WP Badan

10.1. Kredit Pajak

Untuk menghitung PPh terutang pada akhir tahun hasil perhitungan PPh Terutang diatas harus
dikurangi dengan kredit pajak. Pada prinsipnya sama dengan PPh Orang Pribadi, bahwa Kredit Pajak
ada yang berupa pemotongan/pemungutan pihak lain dan yang dibayar sendiri.

Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak yang diperkirakan akan
terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak
sendiri.

Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk
tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui : Pemotongan/Pemungutan
pajak oleh pihak lain seperti :
1. Pemotongan PPh Pasal 21 dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan.
jasa atau kegiatan;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari usaha;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan dari modal. jasa dan kegiatan tertentu.
4. dan Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 oleh Wajib Pajak sendiri.

Pelunasan pajak tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final. Semua Kredit Pajak yang dijelaskan dalam PPh Orang Pribadi
berlaku untuk Wajib Pajak Badan, kecuali PPh Pasal 21 yang khusus terutang untuk Subjek Pajak
Orang Pribadi.

PPh Pasal 22

Pasal 22 ayat (1) UU PPh menjelaskan Menteri Keuangan dapat menetapkan : bendahara pemerintah
untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu
untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain, dan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana diatas
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.59

Objek Tarif Sifat

Impor Barang 2.5% Tidak Final


- Importir - API 7.5%
- Importir - non API

Pembayaran atas pembelian barang Bendaharawan 1.5% Tidak Final


Pemerintah

59
Peraturan Menteri Keuangan Nomor-154/PMK.03/2010 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor
175/PMK.011/2013 tentang Pemungutan Pajak Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan
Barang Dan kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain
Halaman 71
Penjualan barang produksi
- Industri Semen 0.25% Tidak Final
- Industri Kertas 0.10%
- Industri Baja 0.30%
- Industri Otomotif 0.45%
- Industri Farmasi 0.30%

Penjualan barang produksi oleh Pertamina dan Badan Khusus penyerahan kepada
Usaha lain yang bergerak dalam bidang BBM dan Gas penyalur/ agen bersifat final
Premium Pertamina-Swasta
Solar 0.25% - 0.3%
Premix/Super TT 0.25% - 0.3%
Minyak Tanah 0.25% - 0.3%
Gas LPG 0.3% - 0
Pelumas 0.3% - 0
0.3% - 0

Pembelian bahan untuk keperluan industri atau 0.25% Tidak Final


ekspor dari pedagang pengumpul

Penjualan Barang yang tergolong sangat mewah : 60 5% Tidak Final


a. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp 20.000.000.000,
b. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp 10.000.000.000,
c. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau
harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari
500m2
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan
harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan
lebih dari 400m2
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan
orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,
spart utility vehicle (suv), multi purpose vehicle
(mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp5.000.000.000,00 dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
Figure 20. Kredit Pajak PPh Pasal 22

Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud diatas diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pemotong Pajak wajib untuk menerbitkan bukti potong PPh Pasal 22 yang akan menjadi dasar untuk
melakukan pengkreditan oleh yang wajib potong. PPh 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam
menghitung PPh yang masih kurang (lebih) dibayar.

PPh Pasal 23

Pasal 23 ayat (1) UU PPh menjelaskan Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan :

60
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut
PPh Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah
Halaman 72
Objek Tarif Sifat
Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
15% Tidak final
huruf g
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
15% Tidak final
huruf f
royalti 15% Tidak final
hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain
yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana 15% Tidak final
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah 2% Tidak final
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2)
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
2% Tidak final
lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Figure 21. Kredit Pajak PPh Pasal 23

Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud tabel diatas
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud diatas. Pemotong Pajak wajib untuk menerbitkan bukti
potong PPh Pasal 23 yang akan menjadi dasar untuk melakukan pengkreditan oleh yang wajib potong.

PPh Pasal 24 (Kredit Pajak Luar Negeri)

Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri ketentuan ini
mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

Pasal 24 ayat (1) UU Pajak Penghasilan :


Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima/diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang
Pajak Penghasilan dalam tahun pajak yang sama.

Tata cara pengkreditan pajak yang dipotong Luar Negeri, adalah sebagai berikut : 61

1. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan cara :
a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena
Pajak.
3. Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.
4. Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang
atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena
Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
5. Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak
dilakukan untuk masing-masing negara.

61
Keputusan Menkeu Nomor : 164/KMK.03/2002 Tentang Kredit Pajak Luar Negeri
Halaman 73
6. Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit
pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.
7. Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
b. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
8. Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dilakukan
bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 24 ayat (5) UU Pajak Penghasilan :


Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau
dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan

Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri,
sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan
semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang
Pajak Penghasilan. Misalnya dalam tahun 2013, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas
penghasilan luar negeri tahun pajak 2012 sebesar Rp 5.000.000 yang semula telah termasuk dalam jumlah
pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 2012, maka jumlah sebesar Rp
5.00.00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 2013.

Contoh :
PT A di Denpasar dalam tahun pajak 2014 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber
luar negeri sebagai berikut :
1. Di negara Singapura memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar
40% (Rp400.000.000)
2. Di negara Malaysia memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar
25% (Rp. 750.000.000)
3. Di negara Australia menderita kerugian Rp 2.500.000.000
4. Penghasilan usaha dalam negeri Rp 4.000.000.000

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :


Laba di negara Singapura Rp 1.000.000.000
Laba di negara Malaysia Rp 3.000.000.000
Rugi di negara Australia Rp 0
Jumlah penghasilan Luar Negeri Rp 4.000.000.000

Penghasilan Dalam Negeri Rp 4.000.000.000


Jumlah Penghasilan Neto Rp 8.000.000.000
PPh Terutang (25%) Rp 2.000.000.000

Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :


- Untuk Negara Singapura
1.000.000.000 X 2.000.000.000 = Rp 250.000.000
8.000.000.000
Pajak yang terutang di Negara Singapura adalah Rp 400.000.000, namun maksimum kredit pajak
yang dapat dikreditkan adalah hanya sebesar Rp. 250.000.000.
- Untuk Negara Malaysia
3.000.000.000 Rp 750.000.000
X 2.000.000.000 =
8.000.000.000
Pajak yang terutang di Negara Malaysia adalah Rp. 750.000.000, namun maksimum kredit pajak yang
dapat dikreditkan adalah juga sebesar Rp 750.000.000.-

Jumlah Kredit Pajak Luar Negeri yang diperkenankan adalah sebesar : Rp 250.000.000 + Rp
750.000.000 = Rp. 1.000.000.000.

Halaman 74
PPh Pasal 25

Sistem perpajakan kita menganut prinsip convenience to pay yang berarti bahwa wajib pajak diharapkan
membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Salah satu contohnya adalah membayar
angsuran pajak tiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka wajib pajak lebih ringan
bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah
akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara.

Pasal 25 ayat (1) UU Pajak Penghasilan :


Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan:
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Dalam menentukan besarnya PPh Pasal 25 setiap bulan, pajak mengasumsikan kondisi usaha wajib pajak di
tahun depan minimal sama dengan kondisi usaha tahun sekarang. Dengan asumsi tersebut pajak
menganggap besarnya PPh yang harus dibayar sendiri ditahun depan besarnya juga sama dengan jumlah
yang dibayar sendiri di tahun sekarang.

Cara umum menghitung PPh Pasal 25

PPh yang harus dibayar sendiri dalam tahun n-1


12

Contoh Kasus :

PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh 2012 Rp 50.000.000


Dikurangi:
a) PPh Pasal 21 Rp 15.000.000
b) PPh Pasal 22 Rp 10.000.000
c) PPh Pasal 23 Rp 2.500.000
d) PPh Pasal 24 (KPLN) Rp 7.500.000 (+)
Jumlah Kredit Pajak Rp 35.000.000 (-)
Selisih Rp 15.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2013 adalah
sebesar Rp 1.250.000 (Rp 15.000.000 dibagi 12). Apabila Pajak Penghasilan tersebut berkenaan
dengan penghasilan yang diterima/diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6
bulan dalam tahun 2011, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan
dalam tahun 2012 adalah sebesar Rp 2.500.000 (Rp 15.000.000 dibagi 6).

Halaman 75
Variasi penghitungan PPh Pasal 25

A. Angsuran Sebelum SPT Tahunan Disampaikan

Pasal 25 ayat (2) UU Pajak Penghasilan :


Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir tahun pajak yang lalu.

Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada contoh diatas disampaikan oleh
Wajib Pajak Badan pada bulan April 2013 maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib
Pajak tersebut untuk bulan Januari - Maret 2013 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember
2012, misalnya sebesar Rp1.000.000,00.

B. Wajib Pajak menerima ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu

Pasal 25 ayat (3) UU Pajak Penghasilan :


Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu,
maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

Contoh :
Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2012 yang disampaikan WP dalam bulan April 2013. Perhitungan
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000. Dalam bulan Juni 2013 telah
diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2012 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap
bulan sebesar Rp 2.000.000.
Besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2013 adalah sebesar Rp 2.000.000 Penetapan besarnya angsuran
pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran
pajak sebelumnya berdasarkan SPT Tahunan.

C. Penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu

Pasal 25 ayat (6) UU Pajak Penghasilan :


Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu.

Hal-hal tertentu adalah : 62


1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat
batas waktu yang ditentukan;
4) Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan;
5) Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
6) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

62
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 537/PJ./2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun
Pajak Berjalan Dalam Hal-hal Tertentu
Halaman 76
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian

Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar penghitungan jumlah penghasilan neto
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi
dengan kompensasi kerugian dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut
serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai
ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan dibagi 12
(dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar
penghitungan lainnya seperti tersebut dalam ayat (2) menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil),
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil.

1. Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan netto Tahun Pajak yang
bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan tahun pajak terakhir untuk dapat
melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak
berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan.
a. Kerugian habis dikompensasikan dengan Penghasilan Neto :
Contoh :
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2013 :
Penghasilan netto Rp 100.000.000
Kompensasi atas kerugian tahun 2012 Rp 20.000.000
Penghasilan netto setelah kompensasi Rp 80.000.000

b. Sisa Kerugian tidak bisa dikompensasikan untuk tahun berikutnya :


Contoh :
Penghasilan Netto Rp 100.000.000
Sisa kerugian 2009 Rp 150.000.000 dikompensasi Rp 100.000.000
Penghasilan Neto setelah kompensasi NIHIL

2. Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan netto Tahun Pajak yang
bersangkutan dan Tahun Pajak yang bersangkutan tidak merupakan Tahun Pajak terakhir untuk
dapat melakukan kompensasi, sehingga masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan
dengan penghasilan netto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun
Pajak yang bersangkutan dikurangi dengan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan
dengan penghasilan netto Tahun Pajak berikutnya.

3. Apabila penghasilan netto Tahun Pajak yang bersangkutan lebih kecil dari sisa kerugian yang masih
dapat dikompensasi dengan penghasilan netto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan
Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya adalah NIHIL.

Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur

Berdasarkan asumsi kondisi usaha wajib pajak di tahun depan sama dengan kondisi usaha tahun
sekarang, maka dalam menghitung PPh Pasal 25 tahun berikutnya bila wajib pajak menerima
penghasilan yang tidak teratur dalam tahun sekarang penghasilan yang tidak teratur tersebut tidak
ikut diperhitungkan dalam menghitung PPh Pasal 25 tahun berikutnya. Alasannya adalah penghasilan
tersebut dianggap tidak akan terjadi lagi di tahun mendatang.

Contoh penghasilan tidak teratur : keuntungan selisih kurs mata uang asing, keuntungan dari
pengalihan harta, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.

Halaman 77
Contoh :

Apabila terdapat penghasilan tidak teratur dalam Tahun Pajak yang bersangkutan. misalnya penghasilan dari
sewa mobil. maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung berdasarkan
penghasilan netto seluruhnya dikurangi dengan penghasilan tidak teratur tersebut.
Menurut SPT Tahunan Tahun 2013 :
Penghasilan Netto seluruhnya Rp 516. 800.000
Jumlah PPh Pasal 22. 23 dan 24 Rp 51.250.000
Jumlah PPh Pasal 23 (atas sewa mobil sebesar Rp 60.000.000) Rp 1.200.000
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2014 :
Penghasilan Netto seluruhnya Rp. 516.800.000
Penghasilan Netto tidak teratur Rp. 60.000.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 456.800.000

PPh Terutang :
25% X Rp. 456.800.00 Rp 114.200.000
Jumlah PPh Pasal 21. 22. dan 24 Tahun Pajak 2010
(tidak termasuk PPh Pasal 23 atas sewa mobil) Rp 50.050.000
PPh Yang Harus Dibayar Sendiri Rp 63.700.000
Angsuran bulanan PPh Ps.25 Tahun Pajak 2011:
1/12 x Rp 63.700.000 Rp 5.308.333

SPT Tahunan PPh disampaikan lewat batas waktu

Apabila SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalau disampaikan wajib pajak setelah lewat batas waktu
yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT
Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan
besarnya Pajak penghasilan bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.

Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan
SPT Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah SPT disampaikan lebih besar dari Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang disetor sebelumnya atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25
terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (2a) Undang-undang KUP, untuk jangka waktu yang
dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai
dengan tanggal penyetoran.

Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelumnya,
atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal
25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Contoh :
Wajib Pajak Badan baru menyampaikan SPT Tahunan Tahun 2013 pada tanggal 31 Juli 2014. Angsuran PPh
Pasal 25 untuk bulan Januari sd Juni 2014, masih mengikuti jumlah angsuran tahun pajak 2013 sebesar Rp.
2.000.000,-. Berdasarkan SPT Tahunan tersebut Angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp. 2.500.000,-.
Maka :

Mulai Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan, yaitu bulan April 2014, PPh Pasal 25 seharusnya sudah
menjadi sejumlah Rp 2.500.000,-. Oleh karena itu, Wajib Pajak tersebut harus menyetorkan kekurangan PPh
Pasal 25 dari bulan April s.d. Juni sebesar masing-masing Rp. 500.000,- dan atas kekurangan penyetoran ini
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai pasal 9 ayat (2a) UU KUP.

Halaman 78
Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT

Wajib Pajak Badan dapat mengajukan pernohonan perpanjangan penyampaian SPT dengan
menggunakan formulir 1771-Y. Dalam kondisi ini besarnya PPh Pasal 25 adalah sama dengan besarnya
PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada
saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan.

Besarnya PPh Pasal 25 mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan
disampaikannya SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama besarnya dengan PPh Pasal 25
menurut perhitungan sementara yang disampaikan WP pada saat penyampaian SPT Tahunan
Sementara.

Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan, besarnya angsuran dihitung sebagai berikut :


a. Berdasarkan perhitungan menurut SPT yang disampaikan dikurangi dengan PPh Pemotongan
Pemungutan dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
b. Dalam hal WP berhak atas kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur, PPh 25 dihitung
menurut contoh di atas.

Apabila perhitungan menurut SPT Tahunan tersebut menghasilkan angsuran PPh Pasal 25 yang lebih
besar, maka kekurangannya disetor lagi dengan ditambah bunga 2% sebulan terhitung mulai dari
bulan batas terakhir penyampaian SPT Tahunan sampai bulan disampaikannya SPT Tahunan tersebut.

Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan angsuran menjadi lebih besar

Wajib Pajak dapat membetulkan SPTahunan dengan cara menyampaikan SPT Tahunan yang dituliskan
kata Pembetulan pada halaman depasn SPT. Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan,
besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan tersebut dan berlaku surut
mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

Apabila Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya maka berlaku ketentuan sebagai
berikut :
a. PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku surut mulai batas
waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut.
b. Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT
harus disetor dan terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran (akan ditagih dengan SPT).
c. Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT
tersebut dapat diperhitungkan sebagai angsuran bulan berikutnya dengan cara
pemindahbukuan.

Terjadi perubahan usaha atau kegiatan wajib pajak

Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang
yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25. WP dapat mengajukan pengurangan PPh
Pasal 25 secara tertulis kepada kepala KPP. Permohonan tersebut harus disertai dengan penghitungan
besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa.

Sebaliknya bila dalam tahun pajak berjalan WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh
yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari tahun sebelumnya, besarnya PPh
Pasal 25 harus dihitung kembali.

Halaman 79
D. Wajib Pajak Baru dan Bandan yang Harus membuat Laporan Berkala

Pasal 25 ayat (7) UU Pajak Penghasilan :


Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi :
Wajib Pajak baru;
bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan
berkala; dan

Wajib Pajak Baru

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang
disetahunkan dibagi 12 (dua belas).63

Penghasilan netto yang dimaksud di atas adalah penghasilan neto setiap bulannya yang dihitung
berdasarkan pembukuannya.

Contoh :

PT A berdiri 5 April 2012 dan dalam bulan April 2012 memperoleh penghasilan bersih sebesar Rp10.000.000.
Perhitungan PPh Pasal 25 bulan April 2012 PT A adalah :

Neto Sebulan Rp. 10.000.000


Neto Setahun 12 X Rp 10Juta Rp. 120.000.000
PPh Terutang 25% X Rp. 120Juta Rp. 30.000.000

PPh Pasal 25 Bulan April : Rp 30Juta/12 Rp. 2.500.000

Wajib Pajak Bank/Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal
menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24 yang dibayar
atau terutang di luar negeri tahun yang lalu, dibagi 12.

Dalam hal wajib pajak Bank dan SGU dengan hak opsi tersebut merupakan wajib pajak baru, maka
besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba / rugi fiskal triwulan pertama yang
disetahunkan dibagi 12.

Contoh :

PT Bank B menyampaikan laporan triwulan I Tahun 2012. dengan data laba fiskal triwulan I Rp.100.000.000.
data tahun 2011 tidak ada PPh yang dibayar/terutang di luar negeri (PPh24). Sehingga penghitungan PPh
Pasakl 25 untuk bulan April s.d. Juni 2012 adalah :

Laba Triwulan 1 Rp. 100.000.000


Neto Setahun 4 X Rp 100Juta Rp. 400.000.000
PPh Terutang 25% X Rp. 400Juta Rp. 100.000.000
PPh Pasal 25 April sd Juni Rp.100juta/12 Rp 8.333.333

PPh Pasal 25 Bulan Juli dst : sesuai dengan laporan triwulan berikutnya

63
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 255/PMK.03/2008 jo Nomor 208/PMK.03/2009 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran PPh dalam Tahun Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru,
Bank, Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, BUMN, BUMD. Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak lainnya
yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Tertentu

Halaman 80
Wajib Pajak BUMN dan BUMD

Besarnya angsuran PPh pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif
umum atas laba/rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak
yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi
pemotongan dan pemungutan PPh 22, 23 serta 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun
pajak yang lalu dibagi 12.

Dalam hal RKAP belum disahkan, maka angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelumnya bulan
pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

Contoh :

PT E (Persero) telah mengesahkan RKAP untuk tahun 2013 pada tanggal 20 Februari 2013 dengan data :
- Laba Komersial 2013 diperkirakan sebesar Rp 9.000.000.000 setelah dilakukan koreksi fiskal diperoleh laba
fiskal Rp 10.000.000.000.
- PPh yang dipotong/dipungut tahun 2012 berupa PPh Pasal 22 sebesar Rp 50.000.000. PPh Pasal 23 sebesar
Rp 50.000.000 dan PPh Pasal 24 sebesar Rp 100.000.000 sehingga total sebesar Rp 200.000.000.
- PPh Pasal 25 bulan Desember 2012 sebesar Rp 30.000.000.

Penghitungan PPh Pasal 25 adalah :


- Untuk bulan Januari sama dengan angsuran Desember 2012 sebesar : Rp. 30.000.000
- Mulai bulan Februari 2012 sd Desember 2012 :
Laba Fiskal Rp 10.000.000.000
PPh Terutang Rp 2.500.000.000
PPh Pasal 25 (PPh Terutang-Kredit)/12 Rp 191.666.667

10.2. Perhitungan Pajak Akhir Tahun

Perhitungan akhir tahun untuk Wajib Pajak Badan sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-
undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan,
berupa :
- Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain;
- Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa;
- PPh Pasal 24 (KPLN) yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan;
- Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri;
- Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) Undang-
undang Pajak Penghasilan.

Pasal 28 ayat (2) : Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
peraturan perUndang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan
pajak yang terutang.

Halaman 81
Contoh:

Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan. baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang
dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan.

PPh yang terutang Rp 80.000.000

Kredit Pajak :

Pemungutan PPh Pasal 22 Rp 10.000.000


Pemotongan PPh Pasal 23 Rp 5.000.000
PPh Pasal 24 (KPLN) Rp 15.000.000
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 10.000.000 (+)
Jumlah PPh yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000 (-)

PPh yang masih harus dibayar Rp 35.000.000

Pajak Yang Lebih Bayar (Pasal 28 A)

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan. Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan
pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Halaman 82
Bab 11.PPh atas Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu
(PP 46 Tahun 2013)

Mulai Masa bulan Juli 2013 berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu.

Subjek Pajak

Subjek Pajak yang dikenakan ketentuan PPh bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini adalah Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap) dengan peredaran
bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Pengecualian Subjek Pajak sebagaimana dimaksud diatas adalah :
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk
pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat d iterima atau diperolehnya
pendapatan/penghasilan; dan/atau
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat
diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan. 64

Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
beroperasi secara komersial.

Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial melewati Tahun Pajak s aat
beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun
Pajak saat beroperasi secara komersial.

Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak
badan sebagaimana dimaksud diatas untuk Tahun Pajak selanjutnya, ditentukan berdasarkan
peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

Contoh 1 :
Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada
tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan
sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan
besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 2 :
Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersiai pada
tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan
diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

64
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2013 tentang PPh dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu

Halaman 83
Objek Pajak

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pengenaan Pajak Penghasilan ini didasarkan pada peredaran bruto
dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam
hal peredaran bruto dari usaha pada tahun pajak terakhir tidak meliputi jangka waktu 12 bulan, maka
dasar pengenaan PPh adalah jumlah peredaran bruto tahun pajak terakhir yang disetahunkan.

Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang. Peredaran bruto
yang tidak melebihi Rp 4,8 Miliar ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari setiap bulan, tidak
termasuk peredaran bruto dari :
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang -Undang
Pajak Penghasilan.

Tarif Pajak

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha. Pajak Penghasilan bersifat final.

Contoh perhitungan :

1. CV Widya memiliki usaha penjualan gerabah dan memiliki peredaran bruto :


Januari s.d Desember 2013 sebesar Rp 4.000.000.000
Januari s.d Oktober 2014 sebesar Rp 5.000.000.000

2. PT Dewata memenuhi kriteria WP yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP ini. Pada bulan
Agustus 2013 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah). Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2013
dihitung sebagai berikut:
PPh final = 1% x Rp 50.000.000
= Rp 500.000
Halaman 84
Kompensasi Kerugian

Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut :

kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
Tahun Pajak;
Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain

Karena dikenakan PPh Final, maka akan berimbas kepada mekanisme Pemotongan/Pemungutan Pajak
terhadap WP yang dikenakan PPh berdasarkan PP ini. Kalau dilakukan Pemotongan/Pemungutan oleh
pihak lain, PPh ini tentu tidak dapat dikrefitkan oleh WP bersangkutan. Oleh karena itu, telah dikeluarkan
Peraturan Dirjen Pajak tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi
WP yang dikenai PPh Berdasarkan PP 46 Tahun 2013. Dalam peraturan ini WP harus mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat
final kepada Direktur Jenderal Pajak. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang dapat dikreditkan diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas
(SKB). 65

Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan


sebagaimana dimaksud diatas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat :
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun
Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum
Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak
yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk
dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran
bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk
Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya
Surat Keterangan Bebas;
c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja,
Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung
sejenis lainnya.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Undang-Undang KUP.

Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan


Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas
yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban
Surat Pemberitahuan Tahunan. Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat
Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas.
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertntu untuk
65
Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan Dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh Bagi Wajib Pajak Yang Dikenai PPh Berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Usaha Tertentu
Halaman 85
setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat
Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas : impor,
pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, pembelian hasil produksi industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industry farmasi, pembelian kendaraan
bermotor di dalam negeri.
c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai transaksi
pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Undang-Undang KUP.

Contoh :

Penyetoran dan pelaporan

Setoran bulanan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh Pasal 25 . Kode Akun Pajak adalah
411128 dan Kode Jenis Setoran 420. Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh
Pasal 25. Jika ada penghasilan lain selain yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan PP ini,
maka atas penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan ketentuan umum. Jika ada angsuran PPh
Pasal 25 atau PPh yang dipotong/dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap PPh terutang tahun
pajak ybs, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Penyetoran paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Wajib Pajak
yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan dianggap telah menyampaika n Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan, sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.

Penyetoran PPh sesuai PP 46 ini semakin mudah dengan dikeluarkannya Peraturan Dirjen Pajak tentang
penyetoran PPh Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki
Peredaran Bruto tertentu melalu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM dilakukan dengan memasukkan NPWP, Masa Pajak
dan jumlah nominal Pajak Penghasilan yang akan dibayar. Atas penyetoran tersebut, Wajib Pajak
menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dalam bentuk cetakan struk ATM. 66

Dalam hal terdapat kendala pada mesin ATM sehingga BPN tidak dapat tercetak atau tercetak namun
tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta cetak ulang BPN di kantor cabang Bank Persepsi terdekat.
BPN termasuk cetakan ulang dan salinannya, merupakan sarana administrasi lain yang kedudukannya
disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

66
Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-37/PJ/2013 tanggal 30 Oktober 2013 tentang Tata Cara penyetoran PPh Atas
Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu melalui
Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

Halaman 86
Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa
Pajak berakhir. Dalam SPT Tahunan dilaporkan pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final
dan/atau bersifat final. Formulir SPT Tahunan 1771 untuk Wajib Pajak badan masih mengakomodasi.

Diisi
manual

Penghasilan Usaha WP yang


Memiliki Peredaran Bruto
FigureTertentu
22. Form 1771 lampiran IV

Halaman 87
Bab 12.Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Seiring dengan perkembangan globalisasi dan teknologi informasi, batas antar negara seakan sudah tidak
ada lagi. Perusahaan multinasional sudah sangat berkembang. Pengusaha berlomba-lomba untuk
melakukan ekspansi ke luar negeri, baik mendirikan perusahaan baru di sana atau cukup berbentuk
cabang, pabrik, gudang dan lainnya. Karena lebih mudah, perusahaan luar negeri cenderung untuk
mendirikan Permanent Establishment (BUT) di Indonesia. Begitu juga dengan perusahaan Indonesia yang
melakukan ekspansi ke Luar Negeri.

Karena alasan diatas, maka perlakuan perpajakan BUT menjadi sangat penting. Seperti telah dibahas pada
Bab tentang Subjek Pajak, BUT dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan sebagai Subjek Pajak Badan Dalam Negeri. Akan tetapi, perlakuan
perpajakannya juga sangat tergantung pada tax treaty antara Indonesia dengan negara asal BUT.

12.1. Definisi BUT

BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

Fasilitas Fisik
Tempat kedudukan manajemen
Cabang Perusahaan
Kantor Perwakilan
Gedung Kantor
Pabrik
Bengkel
Gudang
Ruang untuk promosi dan penjualan
Pertambangan dan penggalian sumber alam
Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.

Aktivitas
Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh)
hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bulan

Keagenan
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas

Asuransi
Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia

Figure 23. Kelompok BUT

Contoh :

Misalnya X Corp Ltd mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti X Corp merupakan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
BUT di Indonesia. X Corp dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut.

Halaman 88
X Corp

Singapura
Indonesia

sales product BUT sales product


X Corp

PT ABC income income PT PQR

BUT X Corp dikenakan


PPh Badan di Indonesia

Figure 24. Contoh BUT

BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Orang asing dapat menjalankan atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan Bentuk Usaha Tetap yang
dapat berupa :
a. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
c. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Contoh :

Misalnya Mr A berdomisili di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka, Mr
A dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di
Indonesia. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat kedudukan di lndonesia. Tapi
jika orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan
agen, broker, atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas (bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri) maka tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia.

Khusus untuk perusahaan asuransi asing, BUT atas asuransi asing sudah dianggap ada apabila perusahaan
asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia
melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Contoh:

Perusahaan asuransi Z Ltd tidak memiliki cabang di Indonesia tapi menerima pembayaran premi asuransi kapal
tanker milik perusahaan lndonesia. Premi tersebut diperoleh dari sebuah agen asuransi di Indonesia. Walaupun
perusahaan asuransi serta obyek asuransi (kapal tanker) berada di luar Indonesia tetapi karena pihak tertanggung
bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia maka Z Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia.

Halaman 89
12.2. Time Test BUT

Dari penjelasan tentang definisi BUT diatas kelihatan bahwa UU PPh Indonesia sangat mudah mengenakan
pajak terhadap perusahaan asing di Indonesia. Contohnya definisi BUT yang menyatakan bahwa proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan dianggap sebagai BUT tanpa memandang batas waktu. Jadi
walaupun proyek tersebut hanya berlangsung 1 hari maka kontraktor proyek tersebut sudah dianggap BUT
dan harus melaksanakan semua kewajiban pajak sebagaimana halnya suatu WP Badan Dalam Negeri.
Padahal kontraktor asing tersebut juga sudah dipajaki di negaranya masing-masing. Akibatnya timbul
pengenaan pajak berganda.

Agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, terutama untuk WP Luar Negeri yang jangka waktu
usahanya berlangsung sebentar maka digunakan metode batas waktu (time test) untuk rnenentukan
apakah suatu WP LN berhak dipajaki di Indonesia atau hanya membayar pajak di negaranya masing-
masing. Contohnya pemberian jasa dalam bentuk apapun (selain jasa konstruksi) oleh perusahaan asing.
tidak akan dikenakan pajak di Indonesia sepanjang dilakukan kurang dari 60 (enam puluh) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Jangka waktu 60 hari disini adalah time test untuk rnenentukan apakah
suatu usaha jasa WP LN selain jasa konstruksi bias dianggap BUT atau belum. Bagi jasa konstruksi asing UU
PPh Indonesia tidak rnemberikan time test.

Time test seperti diatas tidak berlaku untuk semua Wajib Pajak Luar Negeri. Sepanjang suatu negara
belum mengadakan perjanjian Penghindaram Pajak Berganda (Tax Treaty) dengan Indonesia, time test
diatas berlaku. Sedangkan bagi negara yang sudah rnemiliki Tax Treaty dengan Indonesia time testnya
diatur dalamTax Treaty masing-masing.

Contoh:

Tax Treaty antara Indonesia dengan Thailand menyatakan bahwa Time Test untuk penentuan BUT jasa konstruksi
rnaupun jasa lainnya adalah 183 hari. Jadi jika WP LN dari Thailand memberikan jasa di Indonesia kurang dari 183
hari, maka tidak dikenakan pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.

12.3. Objek Pajak BUT

Objek Pajak untuk Bentuk Usaha Tetap diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.

Yang menjadi Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah :


1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai (Attribution rule)

Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak
di Indonesia.

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di
Indonesia (force of attraction rule)

Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang dan pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap
sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut
termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi
apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia memberikan
pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.

Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di
luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan
produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha
tetapnya kepada pembeli di Indonesia.

Halaman 90
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap,
misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama
dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui
bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.

3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud (effectively - connected rule)

Penghasilan dalam pasal 26 seperti : dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah, maupun capital gain
(passive income). Ketentuan yang mengharuskan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari
usaha sejenis serta penghasilan passive income diterapkan untuk menghindari penghindaran pajak
oleh Kantor Pusat BUT. Seringkali terjadi Kantor Pusat BUT bertransaksi langsung dengan customer di
Indonesia tanpa melalui BUT-nya di Indonesia agar penghasilan BUT tetap kecil.

Contoh :
X Inc menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas
penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan
perjanjian tersebut X Inc juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan merek
dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai
hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan oleh karena itu penghasilan X Inc
yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

12.4. Biaya-biaya BUT

Pasal 5 ayat (3) UU PPh huruf a :


Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan
dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pada prinsipnya biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang dapat pula dikurangkan pada badan yang
menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri sebagaimana Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Selain itu sebagai konsekuensi
dari ketentuan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari usaha sejenis di Indonesia ke dalam
penghasilan BUT, maka dalam menentukan besarnya laba suatu BUT biaya administrasi Kantor Pusat yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT dapat menjadi pengurang laba BUT.

Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan
oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di
Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia.67

Bentuk usaha tetap di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat, wajib
menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh
usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai
lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi
harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan
perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing bentuk
usaha tetap di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan.

67
Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP - 62/PJ./1995 tentang Jenis dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat
Yang Diperbolehkan Untuk Dibebankan Sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap
Halaman 91
Pasal 5 ayat (3) UU PPh huruf b :
Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah :
1. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan mekanisme perpajakan Wajib Pajak Dalam Negeri
sehingga biaya yang tidak dapat dkurangkan juga mengacu pada pasal 9 UU PPh beserta ketentuan
lainnya.

Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh BUT
kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat merupakan perputaran dana
dalan satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT kepada kantor
pusatnya berupa royalty, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan BUT.

Pasal 5 ayat (3) UU PPh huruf c :


Pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak
dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan."

Namun apabila kantor pusat dan BUT-nya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran
berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut,
pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya tidak dianggap
sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan
usaha perbankan.

12.5. Laba Setelah Pajak BUT (Branch Profit Tax)

Pasal 26 ayat (4) UU PPh :

Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak
sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pengecualian pengenaan Branch Profit Tax kalau penghasilan BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam
bentuk :
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk
Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk
Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 68

Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang
ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya,
setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan;
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai
berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana huruf a, selain
persyaratan diatas, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

68
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 257/PMK.03/2008 jo PMK Nomor : 14/PMK.03/2011tentang Perlakuan
Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
Halaman 92
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan
usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal
paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi
komersial.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal huruf b, selain persyaratan diatas, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di
Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal
paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk : pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud
dalam huruf c atau investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud huruf d, selain
persyaratan diatas, Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang
bersangkutan.

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak
yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah
Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari
negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif
untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
yang berlaku.

Contoh :

Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar Rp 17.500.000.000.

Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000 = Rp 4.900.000.000
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp 12.600.000.000

Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang


20% X Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000

Namun apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 12.600.000.000 tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

12.6. Hubungan Istimewa BUT

Pada Bab sebelumnya telah disinggung masalah hubungan istimewa. Hubungan istimewa menurut pajak
terjadi jika Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain. Hubungan istimewa dapat juga teriadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Dari definisi diatas maka hubungan antar BUT dengan Kantor Pusatnya adalah hubungan istimewa karena
suatu BUT 100% dilniliki oleh Kantor Pusatnya. Transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa sangat mungkin tidak mencerminkan harga pasar yang wajar (transfer pricing).

Oleh karena itu, dalam Tax Treaty biasanya disebutkan bahwa dalam penentuan laba suatu BUT dianggap
sebagai perusahaan lain yang terpisah dari Kantor Pusatnya dan melakukan transaksi yang sepenuhnya
bebas dan berdiri sendiri. Untuk menghindari transaksi-transaksi yang tidak mencerminkan harga pasar
wajar maka telah diatur beberapa ketentuan sebagai berikut :
Halaman 93
A. Pengakuan Deviden

Dengan semakin berkembangnya globalisasi ekonomi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri
menanamkan modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap
penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang sudah go publik di Luar Negeri, Menteri
Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya deviden. Penentuan saat perolehan dividen
ini diatur khusus karena bisa saja WP melaporkan bahwa ia tidak pemah memperoleh dividen dari
penanaman modalnya di Luar Negeri dan fiskus akan kesulitan mengecek hal tersebut mengingat
perusahuan di Luar Negeri belum go publik. Ketentuan besarnya penyertaan modal pada badan usaha di
luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, sebagai berikut :
- paling rendah 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor ; atau
- secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan paling rendah
50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.

Contoh:

PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40 % dan 20% pada X Ltd yang berkedudukan di negara Q
saham X Ltd tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2004 X Ltd memperoleh laba setelah pajak
sejumlah Rp 100.000.000. Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen
dan dasar penghitungannya.

B. Kewenangan Menentukan Besarnya Penghasilan

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan
serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode
harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode
lainnya. (Pasal 18 ayat 3 UU PPh)

Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah
metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang
sebanding.

Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer
yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi
laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut
kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang
dilakukan dalam kondisi wajar.

Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan
dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi
dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada
harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba
transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas
transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba
yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.

Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya
terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak- pihak yang
Halaman 94
mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi
sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih
operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa lainnya. 69

Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan
penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi
mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.

Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan
modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau
memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.

Dalam pasal 18 ayat 3a s.d. 3c dibahas juga beberapa teknik untuk mencegah penghindaran pajak yang
dapat dirinci sebagai berikut :

Special Purpose Company

Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang
dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai
hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan
pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar
negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut.

Figure 25. Special Purpose Company

Perusahaan di Tax Haven Country

Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau Special Purpose Company)
yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven
Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan
saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di
Indonesia.

69
Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan kelaziman Usaha
Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa

Halaman 95
Figure 26. Conduit Company

Penghasilan dari Perusahaan Luar Negeri

Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang
memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran
lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tersebut.

Figure 27. Penghasilan


Keluarga dari Luar Negeri

C. Perjanjian Antar Negara

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan
pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir (Pasal 18 ayat 3a).

Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak
dengan Direktur Jenderal Pajak rnengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk
mengurangi terjadinya praktek penyalahgunaan transfer pricing perusahaan multi nasional. Persetujuan
antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual
produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA
selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak. Fiskus tidak perlu melakukan
koreksi harga jual dan keuntungan produk yang di jual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan
Wajib Pajak atau bilateral yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan
negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Halaman 96
Bab 13.Revaluasi Aktiva Tetap

Pasal 19 ayat (1) UU Pajak Penghasilan :

Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan mengenai penilaian kembali aktiva dan faktor
penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan karena
perkembangan harga.

Wajib Pajak memiliki alasan lain dalam melakukan revaluasi yaitu :


1. Meningkatkan nilai perusahaan (mark-up) sehingga memudahkan perusahaan dalam proses pencarian
dana baik melalui pinjaman bank maupun penjualan saham (go publik);
2. Meningkatkan biaya penyusutan aktiva tetap dimasa datang sehingga deductible expense dimasa
datang semakin besar dan beban pajak semakin kecil;
3. Meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun biaya sehingga mencerminkan
kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba;
4. Agar neraca perusahaan menunjukkan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya.

13.1. Subjek dan Objek Revaluasi

Wajib Pajak yang berhak melakukan revaluasi (subyek revaluasi) adalah WP Badan dalam negeri kecuali
yang menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat. Contohnya :
PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan. Perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana
pensiun dan bentuk usaha lainnya. 70

WP orang pribadi dalam negeri, walaupun menggunakan pembukuan, tidak berhak melakukan revaluasi
karena tidak terjadi pemisahan antara harta pribadi dan harta perusahaan. BUT serta WP Luar Negeri juga
tidak termasuk WP yang dapat melakukan revaluasi karena relatif tidak terkena dampak depresiasi rupiah.

WP Badan dalam negeri dijinkan melakukan revaluasi, jika telah memenuhi semua kewajiban pajaknya
sampai dengan masa pajak terakhir sebelum dilakukan revaluasi. Contohnya : melaporkan SPT Masa PPh
dan PPN dan membayar semua tunggakan pajak (STP dan SKPKB maupun SPPT PBB).

Aktiva Tetap yang dapat direvaluasi adalah semua aktiva tetap berwujud (tanah, kelompok bangunan dan
non bangunan) yang tidak dimaksudkan untuk dijual yang dipakai untuk menagih, mendapatkan dan
memelihara penghasilan yang merupakan obyek PPh. Aktiva lancar ( piutang, persediaan) maupun aktiva
tidak berwujud (goodwill, patent) tidak dapat direvaluasi. Demikian juga dengan aktiva leasing Finance
Lease. Lessor maupun lesse boleh melakukan revaluasi sesudah periode leasing berakhir saat lessee
menggunakan hak opsi atau saat lessor mengamhil kembali aktiva leasing.

Revaluasi dapat dilakukan untuk seluruh aktiva ataupun hanya untuk aktiva-aktiva tertentu yang dianggap
menguntungkan jika direvaluasi. Dengan demikian manfaat revaluasi menjadi lebih besar serta biaya jasa
penilai (appraisal) menjadi berkurang.

13.2. Cara Melakukan Revaluasi

Untuk mendapatkan persetujuan atas revaluasi, Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan
revaluasi ke KPP tempat WP terdaftar (dengan formulir khusus) dengan melampirkan :
a. Laporan Penilaian Aktiva Tetap dari Penilai (Appraisal) yang diakui pemerintah
b. Laporan Keuangan untuk tahun baku terakhir sebelum revaluasi
c. Penghitungan selisih lebih revaluasi dan besarnya PPh terutang yang dirinci dalam Daftar Penilaian
kembali Aktiva Tetap dengan formulir khusus
d. SSP atas pembayaran PPh terutang dibayar setelah revaluasi disetujui
e. Fotocopy izin usaha appraisal yang dilegalisir penerbit.

70
Peraturan Menkeu Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan
Perpajakan

Halaman 97
Dalam jangka waktu 1 bulan setelah tanggal Pelaporan Wajib Pajak diterima lengkap, Kakanwil DJP yang
membawahi KPP domisili WP yang bersangkutan wajib menerbitkan pengesahan atau penolakan
perhitungan revaluasi. Oleh karenanya, hal-hal yang perlu dilakukan wajib pajak adalah:
a. Meminta appraisal yang diakui pemerintah untuk menilai kembali aktiva-aktiva tetap yang ingin
direvaluasi dalam bentuk Laporan Penilaian
b. Meminta Akuntan Publik untuk mengaudit laporan keuangan wajib pajak. terutama neraca sebelum
dan sesudah revaluasi dan laporan audit tersebut dihitung juga selisih penilaian kembali
c. Menginventarisir semua hutang pajak yang belum dibayar, bila perlu mengkonfirmasikan hal tersebut
ke KPP
d. Membayar semua hutang pajak serta PPh Final atas revaluasi.

Wajib Pajak harus cermat dalam menjalankan Iangkah-langkah diatas karena WP harus mengeluarkan
uang untuk membayar PPh.

Perhitungan PPh Final Revaluasi

Pasal 19 ayat (2) UU Pajak Penghasilan :


Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri
dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

Selisih lebih revaluasi dihitung dengan mengurangkan nilai pasar aktiva (hasil penilaian) dengan Nilai Sisa
Buku Fiskal aktiva tersebut. PPh yang harus dibayar adalah 10% x selisih lebih Revaluasi dan bersifat final.
Apabila ada kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka
selisih revaluasi tidak boleh dikompensasikan dengan urutan sebagaimana urutan kompensasi sesuai pasal
6 ayat (2) UU PPh. 71

Perlakuan Aktiva Tetap Setelah Revaluasi

Aktiva tetap setelah direvaluasi akan memiliki nilai buku sesuai dengan harga pasar. Harga pasar tersebut
merupakan dasar penyusutan yang baru dan mulai berlaku pada tahun pajak dilakukannya revaluasi.
Penyusutan atas aktiva tetap yang telah direvaluasi dimulai pada bulan dilakukannya revaluasi. Masa
manfaat aktiva menjadi kembali mulai nol tahun atau seolah-olah belum pernah disusutkan. Tambahan
masa manfaat menurut penilai akan menentukan kelompok dan tarif penyusutan yang baru. Aktiva yang
telah direvaluasi tersebut tidak boleh dialihkan sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru (nilai sisa
buku fiskal menjadi nihil), kecuali dalam hal (Pasal 8 ayat (2) UU PPh jo. PMK-79/PMK.03/2008) :
a. pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan
pemerintah atau keputusan pengadilan
b. pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan, peleburan
atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan
c. penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak
darat diperbaiki lagi.

Apabila terjadi pengalihan (diluar yang dikecualikan), maka akan dikenakan sanksi tambahan 20% tanpa
dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun sebelumnya dan terutang pada saat pengalihan
dilakukan. Aturan ini diterapkan mengingat aktiva yang sudah direvaluasi sangat berpotensial
menyebabkan kerugian jika dijual (karena nilai bukuya sudah disamakan dengan harga pasar). Kerugian
karena pengalihan aktiva tetap adalah deductible expense yang akan mengurangi PPh terutang pihak
penjual.

71
Peraturan Menkeu Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan
Perpajakan
Halaman 98
Contoh Kasus :

Pada tanggal 1 Januari tahun 2013 PT X melakukan penilaian kembali beberapa aktiva perusahaannya. Posisi aktiva
perusahaan pada tanggal tersebut adalah sebagai berikut :
Aktiva Tetap Nilai Buku Fiskal Nllai Pasar Selisih Lebih
Tanah 2.000 Juta 2.500 Juta 500 Juta
Bangunan 250 Juta 450 Juta 250 Juta
Mesin 1.000 Juta 8.000 Juta 7.000 Juta
3.200 Juta 10.950 Juta 7.750 Juta

Untuk tahun 2013 PT memperoleh laba sebesar Rp. 200 juta. Tahun-tahun sebelumnya PT X mencatatkan kerugian
sebagal berikut:
2008 rugi 3.000 juta
2009 rugi 250 juta
2010 rugi 200 juta
2011 rugi 2.000 juta
2002 rugi 100 juta

Pertanyaan: .

Berapakah PPh Final atas revaluasi aktiva tetap yang harus dibayar?

Jawaban:

PT X tidak boleh mengkompensasikan laba tahun 2011 sebesar 200 juta dengan rugi-rugi tahun sebelumnya. PPh
Revaluasi aktiva tetap 10% x 7.750 juta = Rp 775 juta (Final)
Dalam kondisi tertentu (kondisi tidak memungkinkan membayar)wajib pajak dapat mengajukan angsuran paling lama
12 bulan.

13.3. Perlakuan Khusus Revaluasi Untuk Tahun 2015 dan 2016

Dalam rangka tahun pembinaan pada tahun 2015 telah ditebitkan Peraturan Menteri Keuangan Tentang
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015
dan Tahun 2016. Perlakuan khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah terkait
dengan pengenaan tarif yang lebih kecil dari seharusnya (10%) sesuai penjelasan diatas.

Perlakuan khusus tarif tersebut adalah sebagai berikut : 72


a. 3% (tiga persen), untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai
dengan tanggal 31 Desember 2015;
b. 4% (empat persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30
Juni 2016; atau
c. 6% (enam persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31
Desember 2016,

PPh Final dikenakan atas selisih lebih nilai aktiva tetap hasil penilaian kembali atau hasil perkiraan penilaian
kembali oleh Wajib Pajak, di atas nilai sisa buku fiskal semula. Nilai aktiva tetap hasil perkiraan penilaian
kembali oleh Wajib Pajak harus dilakukan penilaian kembali dan ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik
atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, paling lambat tanggal:
a. 31 Desember 2016, untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai
dengan tanggal 31 Desember 2015;
b. 30 Juni 2017, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni
2016; atau
c. 31 Desember 2017, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31
Desember 2016.

72
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tanggal 15 Oktober 2015, Tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016
Halaman 99
Dalam hal hasil penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah lebih besar daripada nilai perkiraan nilai pasar atau nilai
wajar yang diajukan dalam permohonan, atas selisih tersebut dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebesar:
a. 3% (tiga persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap
oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi
Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 2015;
b. 4% (empat persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap
oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi
Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30
Juni 2016;
c. 6% (enam persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap
oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan melunasi
Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31
Desember 2016; atau
d. 10% (sepuluh persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva
tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, dan
melunasi Pajak Penghasilan dimaksud pada tahun 2017.

Bertentangan dengan PMK-79/PMK.03/2008 Wajib Pajak yang dapat melakukan revaluasi meliputi Wajib
Pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
pembukuan, termasuk :
a. Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata
uang Dollar Amerika Serikat; dan
b. Wajib Pajak yang pada saat penetapan penilaian kembali nilai aktiva tetap oleh kantor jasa penilai
publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (3) atau ayat (4) belum melewati jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali
aktiva tetap terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengalihan aktiva tetap berupa: 73


a. aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua), yang telah memperoleh keputusan persetujuan
penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun;
b. aktiva tetap kelompok 3 (tiga) dan kelompok 4 (empat), yang telah memperoleh keputusan
persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun; atau
c. tanah dan/atau bangunan yang telah memperoleh keputusan persetujuan penilaian kembali sebelum
lewat jangka waktu 1 (satu) tahun, sejak dilakukannya penilaian kembali,
atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan yang berlaku
pada saat penilaian kembali aktiva tetap dikurangi pajak yang telah dibayarkan berdasarkan Peraturan
Menteri ini.

73
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor :
191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang
Diajukan Pada Tahun 2015 dan 2016.
Halaman 100
Bab 14.Fasilitas Dibidang PPh

Tujuan diberikannya fasilitas dibidang pajak adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di
Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara
lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.

14.1. Fasilitas Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan

Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan dan PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan PP Nomor 62 Tahun 2008 menyatakan bahwa kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk
perseroan terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal pada :

a. Bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I PP Nomor 1 Tahun 2007
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008;

b. Bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran ll
PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008 dapat
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa : 74

1) Pengurangan penghasilan netto sebesar 30% dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama
6 tahun masing-masing sebesar 5% per tahun.
- Fasilitas pengurangan penghasilan netto diberikan selama 6 tahun terhitung sejak tahun
dimulainya produksi komersial, yaitu setiap tahunnya sebesar 5% dari jumlah investasi berupa
perolehan aktiva tetap berwujud termasuk tanah untuk kegiatan utama usaha.
- Fasilitas ini sifatnya mengurangi penghasilan netto (dalam hal mendapat keuntungan usaha)
atau menambah kerugian fiskal (dalam hal mendapat kerugian usaha).

Contoh :
PT ABC melakukan penanaman modal sebesar Rp 100.000.000.000 berupa
pembelian aktiva tetap berupa tanah, bangunan dan mesin. Terhadap PT ABC dapat diberikan fasilitas
pengurangan penghasilan netto (investment allowance) sebesar 5% x Rp100.000.000.000 =
Rp5.000.000.000 setiap tahunnya, selama 6 tahun yang dimulai sejak tahun pemberian fasilitas.

2) Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.

Tarif Penyusutan dan Amortisasi


Kelompok Masa Manfaat Berdasarkan Metode
Aktiva Tetap Berwujud Menjadi
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 2 Tahun 50% 100%
Kelompok 2 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 3 8 Tahun 12.5% 25%
Kelompok 4 10 Tahun 10% 20%

II. Bangunan

Permanen 10 Tahun 10%


Tidak Permanen 5 Tahun 20%

74
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1
tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau Di daerah-daerah Tertentu.

Halaman 101
3) Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Tambahan 1 tahun, apabila penanaman modal baru pada bidang usaha sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I PP Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP
Nomor 62 Tahun 2008 dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat.
- Tambahan 1 tahun, apabila memperkerjakan sekurang-kurangnya 500 orang tenaga kerja
Indonesia selama 5 tahun berturut-turut;
- Tambahan 1 tahun, apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran untuk
insfrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000;
- Tambahan 1 tahun, apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalann
negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% dari
investasi dalam jangka waktu 5 tahun;
- Tambahan 1 tahun, apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi
dalam negeri paling sedikit 70% sejak tahun ke-4.

4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri
sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang berlaku.

Wajib Pajak yang mendapat fasilitas tersebut di atas, sebelum lewat jangka waktu 6 tahun sejak
tanggal pemberian fasilitas tidak boleh :
- Menggunakan aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas untuk tujuan selain yang diberikan
fasilitas;
- Mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas kecuali aktiva tetap
yang dialihkan tersebut diganti dengan aktiva tetap baru.

14.2. Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday)

Kepada Wajib Pajak badan yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan Industri Pionir dapat
diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. 75

Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian
nasional.

Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan adalah Wajib Pajak
badan yang memenuhi kriteria:
a. merupakan Wajib Pajak baru;
b. merupakan Industri Pionir;
c. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang
berwenang, paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
d. memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan;
e. menyampaikan surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di
Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada huruf c, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan
realisasi penanaman modal; dan
f. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau
setelah tanggal 15 Agustus 2011.

75
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan
Halaman 102
Pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan paling banyak 100% (seratus persen) dan paling sedikit
10% (sepuluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. Pengurangan Pajak Penghasilan
badan ini dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Tahun Pajak dan paling
singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi secara komersial.

Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan dengan persentase yang sama setiap tahun
selama jangka waktu tersebut. Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing
industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat emberikan
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu tersebut
menjadi paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak menyampaikan
permohonan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Permohonan tersebut harus dilampiri
dengan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. fotokopi ijin prinsip penanaman modal baru, yang dilengkapi dengan rinciannya;
c. asli surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di Indonesia; dan
b. surat keterangan fiskal.

14.3. Penurunan Tarif Perusahaan Terbuka

Pasal 17 ayat (2b) UU PPh mengatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan
terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat memperoleh Penurunan tarif
Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan
dalam negeri.76

Penurunan tarif Pajak Penghasilan diberikan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
Perseroan Terbuka setelah memenuhi persyaratan:
a. Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam penitipan kolektif di
lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
b. Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak;
c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham
kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam
waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu)
Tahun Pajak.

14.4. Pengurangan Besarnya PPh Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29 Tahun 2 013
Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diatur fasilitas dibidang PPh yaitu sebagai berikut : 77

1. Wajib Pajak badan industri tertentu dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk
Masa Pajak September 2013 sampai dengan Masa Pajak Desember 2013; dan/atau penundaan
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013
Wajib Pajak badan industri tertentu adalah Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha pada
bidang:

76
PP Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri
Yang Berbentuk Perseroan Terbuka
77
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri
Tertentu

Halaman 103
a. industri tekstil;
b. industri pakaian jadi;
c. industri alas kaki;
d. industri furnitur; dan/atau
e. industri mainan anak-anak,

2. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 dapat
diberikan kepada Wajib Pajak berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perindustrian. Besarnya Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat
diberikan paling tinggi sebesar :
a. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib
Pajak badan industri tertentu yang tidak berorientasi ekspor; atau
b. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak
badan industri tertentu yang berorientasi ekspor

3. Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

4. Fasilitas ini dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Halaman 104
Bab 15.SPT Tahunan PPh Badan

Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Pasal 1 UU KUP)

Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan pada prinsipnya ada dua yaitu SPT Masa dan SPT Tahunan. Dimana
SPT Masa (PPh25) hanyalah berbentuk SSP yang dipersamakan sebagai SPT. Mengenai SPT Masa Pasal 25,
kini Wajib Pajak (WP) tidak perlu lagi repot untuk melaporkan SPT Pasal 25-nya. Wajib Pajak yang telah
melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan
tanggal validasi yang tercantum pada SSP.

Tetapi, bagi WP dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk
satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak
mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 78

SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan adalah Formulir 1771. Bentuk dan isi serta tata cara pengisiannya
formulir ini sering mengalami perubahan. Perubahan terakhir diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak untuk tahun pajak 2014. 79

BENTUK DAN ISI SPT TAHUNAN PPh WP BADAN

Pasal 3 ayat (6) UU KUP :


Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang
digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan. 80

SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (Formulir 1771) dan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Badan yang diizinkan
menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan Mata Uang Dollar ($) Amerika Serikat (Formulir
1771/$) terdiri dari Induk SPT dan Lampiran-lampiran yang merupakan satu kesatuan yang terpisah.

No Kode Formulir
Nama Formulir Keterangan
1771 1771 $
1. 1771 1771/$ SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Induk SPT
2. 1771-I 1771-I/$ Perhitungan Penghasilan Netto Fiskal Lampiran I
3. 1771-II 1771-II/$ Perincian harga Pokok Produksi,Biaya Usaha Lampiran II
Lainnya dan Biaya Dari Luar Negeri
4. 1771 III 1771-III/$ Kredit Pajak dalam Negeri Lampiran III
5. 1771-IV 1771-IV/$ PPh Final dan Penghasilan yang Tidak Lampiran IV
Termasuk Obyek Pajak
6. 1771-V 1771-V/$ Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Lampiran V
Deviden Yang Dibagikan dan Daftar Susunan
Pengurus dan Komisaris
7. 1771-VI 1771-VI/$ Daftar Penyertaan Modal Modal pada Lampiran VI
Perusahaan Afiliasi, Daftar Pinjaman
dari/Kepada Pemegang Saham Dan atau
Perusahaan Afiliasi
Figure 28. Formulir SPT Tahunan PPh Badan

78
Peraturan Dirjen Pajak PER-22/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25
Wajib Pajak (WP)
79
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 19/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan
beserta Petunjuk Pengisiannya.
80
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan
Halaman 105
Selain formulir pokok yaitu 1771 Induk s.d. 1771-VI, terdapat pula formulir lampiran khusus yang wajib
diisi oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut :

NO Kode Formulir Nama Formulir


Lampiran Khusus
1 1A Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal
2 2A Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal
3 3A Pernyataan Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
4 3B Pernyataan Transaksi Dengan Pihak Yang Merupakan Penduduk Negara
Tax Heaven Country
5 4A Daftar Fasilitas Penenaman Modal Asing
6 5A Daftar Cabang Utama Perusahaan
7 6A Perhitungan PPh Pasal 26 ayat (4)
8 7A Kredit Pajak Luar Negeri
9 8A (1-8) Transkrif Kutipan Elemen-elemen Laporan Keuangan
Figure 29. Formulir lampiran khusus SPT Tahunan PPh Badan

Contoh formulir dan cara pengisiannya terlampir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari buku ini.

KELENGKAPAN SPT TAHUNAN PPh Badan

a. Sesuai dengan Pasal 3 Ayat (6) UU KUP, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (Formulir 1771) yang
disampaikan kepada KPP/Kapenpa dinyatakan dengan lengkap apabila telah dilampiri dengan :
1. Seluruh lampiran yang telah dibakukan (yaitu Formulir 1771-I s.d 1771-VI) harus diisi walaupun
nihil
2. Neraca dan Laporan Rugi Laba tahun pajak yang bersangkutan
3. Perhitungan angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak berikutnya untuk Wajib Pajak tertentu
4. SSP lembar ke-3 tahun pajak yang bersangkutan apabila SPT menunjukkan kurang bayar
5. Surat Kuasa Khusus dalam hal SPT ditanda tangani oleh bukan Pengurus atau bukan Direksi
6. Daftar Perhitungan Penyusutan/Amortisasi
7. Perhitungan Objek PPh Pasal 26 ayat (4) bagi Wajib Pajak BUT yang penghasilannya telah
dikenakan PPh yang bersifat Final
8. Lampiran lainnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak

b. Wajib Pajak dapat menyampaikan lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah : untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama
20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:


Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud diatas
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (t iga) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah
ditegur secara tertulis; atau
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan
atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

Halaman 106
Bab 16.Capita Selecta

16.1. Sewa Guna Usaha (Leasing)

Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara berkala.

Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara :


a. sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease);
b. sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease).

Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi (Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan berupa
penyediaan kredit bagi pengguna leasing (lessee). Penghasilan bagi perusahaan leasing (lessor) adalah
bunga yang diterima bersama dengan angsuran pelunasan hutang leasing oleh pengguna leasing (lessee).
Sedangkan kegiatan SGU tanpa hak opsi (Operating lease) pada dasarnya adalah jasa penyewaan barang.
Penghasilan bagi perusahaan penyewa adalah pendapatan sewa. Perbedaan jenis kegiatan ini
menimbulkan perbedaan perlakuan perpajakan yang sangat mendasar.

SEWA GUNA USAHA TANPA HAK OPSI (OPERATING LEASE)

Suatu Sewa Guna Usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) apabila
memenuhi semua kriteria berikut :
a. Jumlah pembayaran Sewa Guna Usaha selama masa Sewa Guna Usaha pertama tidak dapat
menutupi harga perolehan barang modal yang di-Sewa Guna Usaha-kan ditambah keuntungan yang
diperhitungkan oleh iessor;
b. Perjanjian Sewa Guna Usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Jadi Operating Lease adalah transaksi sewa menyewa biasa. Karena hanya transaksi sewa menyewa biasa,
maka kepemilikan barang masih berada di tangan pihak yang menyewakan (lessor) sehingga yang berhak
menyusutkan barang adalah Lessor.

Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan Perlakuan perpajakan bagi penyewa


(Lessor) (lessee)

a. Seluruh pembayaran sewa yang a. Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang


diterima/diperoleh oleh lessor, merupakan pada tahun tersebut boleh menjadi
objek PPh pasal 23 pengurang penghasilan (Deductible Expense)
b. Lessor berhak menyusutkan barang modal b. Lessee tidak boleh menyusutkan barang
yang di-SGU-kan karena kepemilikan barang modal karena barang masih milik lessor
ada ditangan lessor c. Lessee memotong PPh Pasal 23 setiap kali
c. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai membayar sewa kepada lessor dengan tarif
(PPN) atas jasa sewa yang diberikan. 2% jika barang modal yang disewakan selain
tanah dan bangunan, serta 10% jika barang
modalnya berupa tanah dan bangunan.

Contoh Kasus :
Lessor PT XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II dengan harga pokok Rp 200.000.000.- kepada PT. ABC
(lessee). Jangka waktu leasing 4 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam
kontrak SGU tidak tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah
pada akhir perode SGU. Pembayaran per bulan Rp 8.000.000.-.

Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:


Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp 8.000.000 X 24 bulan = Rp.
192.000.000.-. Jumlah tersebut lebih kecil dari harga pokok mesin sebesar Rp.200.000.000.-. Selain itu tidak
ada klausula pilihan tagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut pada akhir periode leasing. Oleh karena itu,
SGU ini tergolong SGU tanpa hak opsi (Operating Lease) atau sewa menyewa biasa .

Halaman 107
SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI (FINANCE LEASE)

Menurut ketentuan pajak kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi (Finance Lease)
apabila memenuhi kriteria berikut :
a. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa Barang modal, harus
menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b. Masa Sewa Guna Usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3
tahun untuk barang modal golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan;
c. Dalam hal Lessor dan Lessee membuat perjanjian Sewa Guna Usaha dengan opsi (Finance Lease)
namun masanya tidak memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease);
d. Perjanjian Sewa Guna Usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Ketiga syarat diatas harus dipenuhi seluruhnya agar suatu SGU dapat digolongkan sebagai SGU dengan hak
opsi (Capital Lease). Ketiga syarat diatas menunjukkan bahwa ketentuan Pajak menggolongkan suatu SGU
sebagai Finance Lease jika lessor sebenarnya berniat menjual barang. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah
seluruh angsuran yang diterima pada periode leasing pertama lebih besar dari harga pokok barang plus
laba dan harus adanya opsi pada akhir periode leasing.

Selain itu terdapat batas minimal jangka waktu leasing yang lamanya tergantung golongan barang.
Persyaratan jangka waktu minimal ini semakin menguatkan karakter Finance Lease bahwa Finance Lease
lebih bertujuan kepada pengalihan kepemilikan barang. Pada dasamya kegiatan SGU dengan hak opsi
(Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan (berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing
(lesse) oleh lessor maka penghasilan bagi perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima pada
saat angsuran pelunasan hutang leasing. Karena pada dasarnya Finance Lease adalah transaksi
pembiayaan maka pajak menganggap bahwa sebelum selesainya periode leasing, barang bukan milik
lessee maupun lessor sehingga baik lesse maupun lessor sama-sama tidak boleh menyusutkan barang.

Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan Perlakuan perpajakan bagi penyewa


(Lessor) (lessee)

1. Penghasilan lessor yang menjadi objek PPh 1. Lesse tidak boleh menyusutkan harga modal
adalah seluruh pembayaran SGU - angsuran yang diterima
pokok (bunga + administration fee). Dalam Dengan alasan yang sama seperti alasan
hal SGU Sindikasi yaitu SGU yang dibiayai oleh mengapa lessor tidak boleh menyusutkan
bebarapa perusahaan leasing, imbalan jasa barang leasing. lessee-pun tidak boleh
bagi masing-masing anggota dihitung secara menyusutkan barang leasing.
proporsional sesuai perjanjian antar anggota 2. Seluruh pembayaran leasing (angsuran plus
yang bersangkutan. Penghasilan tersebur bunga dan biaya adminislrasi) boleh menjadi
tidak dipotong PPh 23 oleh lessee. Pengenaan pengurang (Deductible Expense).
pajaknya dilakukan dengan penghitungan 3. Lesse tidak boleh memootong PPh 23 atas
akhir tahun dalam SPT Tahunan pembayaran angsuran leasing kepada lessor.
2. Lessor tidak boleh menyusutkan barang
modal yang di SGU- kan. Pajak menganut
aliran bahwa tidak ada yang memiliki barang
leasing sampai berakhirn periode leasing dan
diketahui dengan pasti siapa pemilik barang
tersebut. Bila Lesee menggunakan hak
opsinya, maka barang tersebut menjadi milik
lessee sedangkan bila tidak maka barang
tersebut menjadi milik lessor. Akibatnya
selama periode ieasing barang modal
tersebut tidak boleh disusutkan baik oleh
lessor maupun oleh lesse.
3. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang
Ragu-Ragu sebesar 2.5% dari rata-rata saldo
awal dan akhir piutang SGU. Karena Financial
Lease adalah transaksi pembiayaan maka
Halaman 108
pajak memperbolehkan lessor untuk
membuat cadangan piutang ragu-ragu dan
besamya 2.5% dari rata-rata saldo awal dan
akhir piutang SGU. Pandangan tersehut
dilakukan dengan mendebet biaya penyisihan
piutang serta mengkredit akun Akumulasi
Cadangan Penghapusan Piutang. Biaya
Penyisihan Piutang tersebut dapat
mengurangi penghasilan (Deductible
Expenses).
4. Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih dibebankan pada akun
akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang
tahun yang bersangkutan. Apabila besarnya
kerugian piutang yang nyata-nyata tidak
tertagih lebih besar dari penyisihan yang
dibuat maka selisihnya dapat menjadi biaya
(Deductible Expense). Sebaliknya jika
besarnya kerugian piutang yang nyata-nyata
tidak tertagih lebih kecil dari penyisihan yang
dibuat maka selisihnya harus diakui sebagai
penghasilan.
5. Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi lessor
dihitung berdasarkan laporan triwulan yang
disetahunkan. Perusahaan leasing
sebagaimana usaha pembiayaan lainnya
(Bank, Asuransi, dll) diwajibkan membuat
laporan keuangan triwulanan yang harus
disampaikan ke lembaga pemerintah terkait
(BI dan Depkeu). Besarnya PPh 25 harus
dihitung ulang setiap 3 bulan berdasarkan
laba rugi triwulan bersangkutan yang
disetahunkan.
6. Jasa pembiayaan SGU dengan hak opsi tidak
terutang PPN, tetapi penyerahan barang dari
lessor ke lesse terutang PPN.

Contoh Kasus:

Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II (masa manfaat 8 tahun.) dengan harga pokok Rp.200.000.000.-
kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 36 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil.
Dalam kontrak SGU tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah
pada akhir periode SGU. Pembayaran per bulan Rp. 8.000.000 terdiri dari pelunasan pokok hutang leasing sebesar
Rp. 5.553.555.- dan bunga Rp. 2.444.44.-
Perlakuan Pajaknya sebagai berikut:

Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp 8.000.000.- X 36 bulan =
Rp.288.000.000.-. Jumlah tersebut dapat menutupi harga pokok mesin sebesar Rp 200.000.000.00. dan nilai sisa
barang setelah periode leasing. Selain itu terdapat klausula pilihan bagi penyewa untuk memilih mesin tersebut.
Jangka waktu leasing adalah 3 tahun (36 bulan) sedangkan barang termasuk golongan II. Hal ini memenuhi syarat
Finlmce Lease karena untuk barang golongan II jangka waktu leasing minimal 3 tahun. Oleh karena ke-3 syarat
terpenuhi maka SGU ini tergolong SGU dengan hak opsi (Finance Lease).

Halaman 109
Lessor PT XYZ Lessee PT. ABC

Mencatat Piutang Leasing sebesar = Rp 288.000.000


Menerima pendapatan bunga/bulan = Rp 2.444.445
Menerima pelunasan pokok/bulan = Rp 5.555.555
Jumlah yang diterima = Rp 8.000.000 Membayar Biaya Leasing Rp.8 jt
Tidak menyusutkan mesin Tidak menyusutkan mesin
Mendebet Biaya Penyisihan Piutang leasing 2.5% Tidak memungut PPh Pasal 23
Dari saldo piutang leasing. (Deductible Expense)

Dasar Hukum :
- Keputusan Menteri Keuangan NOMOR 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(LEASING)

16.2. Pajak Penghasilan Yayasan/Lembaga Nirlaba Lainnya

Pada prinsipnya perlakuan PPh atas Yayasan sama dengan wajib pajak badan lainnya. Perbedaannya ada
pada istilah sisa lebih. Sisa Lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek PPh
selain penghasilan yang dikenakan PPh sendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional
sehari-hari badan/lembaga nirlaba (Pasal 1 ayat 2 PMK 80/PMK.03/2009 dan Pasal 1 angka 1 Per-
44/PJ/2009).

Biaya operasional sehari-hari adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
objek PPh selain penghasilan yang dikenakan PPh tersendiri. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan
atau lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya.

Sisa Lebih yang dikecualikan dari objek PPh, Jika selisih lebih yang diperoleh badan lembaga nirlaba yang
bergerak dibidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan atau prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan yang
diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak
diperolehnya sisa lebih yang meliputi : pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan
pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan
gedung dan prasarana tersebut seperti :
- pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium,dan perpustakaan;
- pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas, guru, dosen atau karyawan, dan
sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.

Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan
rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan


Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
dimulai. dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan sebagai berikut :


a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan
untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian
dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;

Halaman 110
b. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet
akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan
atau lembaga nirlaba.

Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa lebih tidak boleh dilakukan penyusutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan
sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan.

Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat
dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba.

Dalam hal dana pinjaman diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan dipergunakan
untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut
diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan.

Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegaiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan wajib membuat :
a. pernyataan bahwa :
1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
dan,
2. sisa lebih tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling
lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut yang merupakan lampiran dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih;
b. pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas badan atau lembaga nirlaba tidak
menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih
tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah
lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut.

Apabila dalam jangka waktu terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih
tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih
tersebut.

Apabila Badan atau lembaga nirlaba menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak menyampaikan
pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya dan tidak membuat pernyataan, pencatatan
dan laporan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun
pajak diperoleh sisa lebih tersebut. Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa lebih ini, ditambah dengan
sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Halaman 111
Dasar Hukum :
- Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 44/PJ./2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih Yang
Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Penelitian dan Pengembangan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan.

16.3. Pajak Penghasilan Perusahaan Berbasis Syariah

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Perusahaan Syariah yang selanjutnya disebut perusahaan adalah lembaga keuangan diluar bank yang
melakukan kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan/pemungutan pajak dari kegiatan usaha
perbankan syariah dan perusahaan syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam UU PPh, artinya
bahwa berlaku sama sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh.

Pengenaan PPh atas Perbankan Syariah


a. Penghasilan berupa bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang diperoleh dari kegiatan atau
transaksi nasabah penerima fasilitas dikenakan PPh seperti perbankan umum lainnya, yaitu diakui
sebagai penghasilan namun tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23
b. Penerimaan penghasilan lainnya diakui sebagai penghasilan sesuai dengan ketentuan mengenai Pajak
Penghasilan
c. Pembayaran bagi hasil kepada nasabah dikenakan ketentuan seperti bunga pada perbankan umum
d. Dalam hal terjadi transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk
memenuhi prinsip syariah dalam rangka kegiatan pembiayan oleh perusahaan dianggap pengalihan
langsung dari pihak ketiga kepada nasabah perusahaan sehingga tidak termasuk dalam pengertian
pengalihan harta sebagaimana dalam UU PPh.

Pengenaan PPh atas Perusahaan Pembiayaan Syariah


a. Usaha pembiayaan syariah meliputi : sewa guna usaha berdasarkan ijarah atau ijarah muntahiyah
bittamlik, anjak piutang berdasarkan akad wakalah bil ujrah, pembiayaan konsumen berdasarkan
murabahah, salam, atau istishna, usaha kredit usaha, dan kegiatan pembiayaan lainnya.
b. Atas kegiatan berupa sewa guna usaha berdasarkan ijarah perlakuan perpajakannya sama dengan
sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating lease).
c. Atas kegiatan berupa sewa guna usaha berdasarkan ijarah Muntahiyah Bittamlik perlakuan
perpajakannya sama dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease).
d. Atas usaha anjak piutang berdasarkan akad wakalah bil ujrah dan usaha pembiayaan konsumen
berdasarkan murabahah, salam, atau istishma berupa imbalan, margin keuntungan atau laba dikenai
pajak seperti ketentuan tentang bunga.
e. Atas usaha kredit usaha, dan kegiatan pembiayaan lainnya berlaku ketentuan umum pajak
penghasilan.
f. Dalam hal terjadi transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk
memenuhi prinsip syariah dalam rangka kegiatan pembiayaan oleh perusahaan dianggap pengalihan
harta langsung dari pihak ketiga kepada nasabah perusahaan sehingga tidak termasuk dalam
pengertian pengalihan harta sebagaiman dimaksud dalam UU PPh.

Halaman 112
Dasar Hukum :
- PP No.25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
- PMK-136/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk kegiatan usaha Perbankan
Syariah
- PMK-137/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Pembiayaan
Syariah
- PMK-251/PMK.03/2008 tentang penghasilan atas jasa keuangan yang dilakukan oleh badan usaha
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23.

16.4. Pajak Penghasilan Perusahaan Reksadana

Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Pemodal untuk
selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manager investasi.

Manager Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah
atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi,
dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Portofolio Efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh orang peroarangan, perusahaan, usaha bersama
asosiasi atau kelompok yang terorganisasi.

Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek
serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain menyelesaikan transaksi efek, dan
mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

Bentuk Reksadana di Indonesia ada 2 yaitu :


- Reksadana berbentuk perseroan tertutup maupun terbuka, sampai saat ini ada 2 reksadana perseroan
yaitu PT BDNI (Reksadana tertutup) dan PT Reksadana Perdana, Tbk.
- Reksadana berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) merupakan kontrak antara manager investasi dan
bank custodian yang pemegang unit penyertaan (investor) dimana manager investasi diberi wewenang
untuk mengelola portofolio investasi kolektif untuk diinvestasikan pada berbagai efek yang
diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang.

Beberapa penghasilan yang diterima reksadana antara lain deviden, bunga obligasi, bunga
deposito/tabungan, capital gain dan penghasilan di bursa efek. Perlakuan perpajakan atas penghasilan
tersebut diperlakukan sama dengan wajib pajak lainnya kecuali untuk penghasilan bunga obligasi.
Perlakuan untuk penghasilan bunga obligasi yang diperdagangkan di bursa efek yang diterima reksadana
adalah:

No Tahun Tarif Pajak Dasar hukum


1 s.d. Tahun 2008 Tidak Terutang PP Nomor 6 Tahun 2002
2 2009 - 2010 0% PP Nomor 16 Tahun 2009
3 2011 - 2013 5% - Final PP Nomor 16 Tahun 2009
4 2014 - . 15% - Final PP Nomor 16 Tahun 2009

Dengan keluarnya PP Nomor 100 Tahun 2013 sebagai Perubahan PP Nomor 16 Tahun 2009, maka bunga
dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan diatur kembali menjadi sebesar:
1) 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan
2) 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya."

Halaman 113
Penghasilan yang dibayarkan oleh Reksadana :
- Reksadana berbentuk perseroan
Berdasarkan UU Pasar Modal, pemegang penyertaan pada reksadana disebut pemegang saham,
sehingga perlakuan PPh atas penghasilan yang diperoleh pemegang saham ini adalah sesuai dengan
ketentuan perpajakan atas dividen.
- Reksadana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan kontrak kolektif termasuk
keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya tidak terutang pajak, termasuk jika
pemegang unit penyertaan yang merupakan subjek pajak luar negeri (PP 94/2010).

Dasar Hukum :
- UU Nomor 8 Tahun 1995, tentang pasar modal
- PP Nomor 16 Tahun 2009, Tentang PPh Atas Penghasilan berupa bunga obligasi
- SE-18/PJ.42/1996, tentang PPh atas Usaha Reksadana
- PP Nomor 100 Tahun 2013, Tentang PPh Atas Penghasilan berupa bunga obligasi

16.5. Perlakuan PPh atas Joint Operation

Beberapa ketentuan mengenai JO adalah :

Joint Operation (JO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara
hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dengan demikian JO bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU
PPh, dan oleh karenanya pengenaan PPh atas penghasilan dari proyek tersebut dikenakan pada masing-
masing badan anggota JO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya.
Pemberian NPWP terhadap JO adalah semata-mata untuk pemenuhan kewajiban pajak lainnya yang ada
pada JO yaitu sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26
serta PPN. Dalam rangka menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh yang terutang untuk badan-
badan tersebut, pembukuan terpisah dari masing-masing badan yang bergabung dalam JO dapat
dilakukan. Ketentuan ini mencakupdan berlaku bagi penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar
negeri.

Perlakuan perpajakan bagi JO (S-323/PJ.42/1989) :


1. Penghasilan yang diterima suatu JO sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya
adalah sebesar bagian masing-masing yang ditentukan sesuai perjanjian.
2. Jika atas penghasilan berupa bunga, sewa, dan lain-lain yang diterima atau diperoleh JO dari WP
Badan dalam negeri dan perseorangan yang ditunjuk, dipotong PPh Pasal 23 maka bukti potong PPh
Pasal 23 tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota JO agar dapat dikreditkan.
3. Besarnya PPh Pasal 23 untuk masing-masing JO sesuai dengan perjanjian joint agreement yang telah
disepakati bersama.
4. Joint Agreement tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh
Pasal 25 dan Pasal 29. Kewajiban yang ada hanya sebagai pemotong/pemungut PPh Pasal 21, PPh
Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN.

Jika telah dilakukan pemotongan PPh pasal 23 atau PPh Final atas nama joint operation maka harus
dilakukan pemecahan bukti potong yang prosedurnya (SE-44/PJ/1994) adalah :
1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps.23 kepada KPP dimana JO
terdaftar/berkedudukan, dilampiri foto copy dokumen pendirian JO.
2. KPP tersebut minta konfirmasi kepada KPP dimana pemotong PPh Pasal 23 terdaftar, mengenai
pemotongan terhadap JO.
3. Apabila benar telah dilakukan pemotongan terhadap JO maka KPP tersebut menerbitkan SKKPP PPh
Pasal 23 Yang Seharusnya Tidak Terutang.
4. Atas dasar SKKPP tersebut dilakukan pemindahbukuan dari PPh Pasal 23 ke PLB.
5. Dilakukan pemindahbukuan dari PLB ke PPh Ps 25 atas nama para anggotanya dengan jumlah pajak

Halaman 114
sebesar bagian masing-masing dengan tahun pajaknya sesuai dengan yang tercantum pada Bukti
Pemotongan PPh Ps.25 dilakukan karena bukti Pbk itu diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT
PPh Badan para anggotanya, bukan dalam SPT PPh Ps. 23;
6. Pada bukti pemindahbukuan (di bawah Nomor dan Tanggal SKKPP) supaya diketik : (Dalam rangka
pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 atas nama joint operation);
7. Atas SKKPP tersebut tidak boleh diterbitkan SPMKP, juga tidak boleh dipindahbukukan untuk
membayar kewajiban pajak JO
8. Apabila anggota JO adalah Wajib Pajak Luar Negeri maka pemecahan bukti pemotongan PPh Ps. 23
(yang berupa bukti Pbk. Ps. 25) tidak boleh diperhitungkan dengan kewajiban PPh Ps. 26 dari JO
karena Wajib Pajak Luar Negeri tersebut dianggap mempunyai BUT di Indonesia;
9. Lembar ke-1 Bukti Pbk tersebut disampaikan untuk para anggota sedang lembar lainnya untuk
ditatausahakan sesuai ketentuan dalam Pedoman Induk TUPRP.

Dasar Hukum :

- SE-44/PJ./1994 tentang pemecahan bukti pemotongan PPh Pasal 23


- S-323/pj.42/1989 terkait masalah perpajakan bagi JO
- S-251/PJ.313/1998 tentang pemecahan bukti pemotongan PPh Final yang diterbitkan untuk suatu JO
- S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002

16.6. Perlakuan PPh atas Built Operate and Transfer (BOT)

Bangun Guna Serah adalah :


Bentuk perjanjian kerja sama antara pemegang hak atas tanah dengan investor. Pemegang hak atas tanah
memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian Setelah masa
perjanjian berakhir, investor mengalihkan kepemilikan atas bangunan tersebut kepada pemegang hak
atas tanah. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa gedung perkantoan, apartemen, pusat
pembelanjaan, rumah, toko, hotel, dan/atau bangunan lainnya.

Investor adalah pihak yang diberikan hak untuk membanguan bangunan dan menggunakan atau
mengusahakan bangunan tersebut selama masa perjanjian BOT. Pemegang hak atas tanah adalah pihak
yang memberikan hak untuk mendirikan bangunan. menggunakan dan mengusahakan bangunan selama
masa perjanjian BOT.

Perlakuan PPh bagi Investor dalam BOT :


Biaya mendirikan bangunan diatas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai
perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan
tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi dalam jumlah
yang sama besar setiap tahun selama masa perjanjian bangun guna serah.
Amortisasi dimulai pada tahun bangunan tersebut mulai digunakan atau diusahakan oleh investor
Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi
sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih pendek
tersebut.
Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah
penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.
Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang telah
ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya penambahan
bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi dan diamortisasi
oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih panjang tersebut.

Perlakuan PPh bagi Pemegang Hak atas Tanah dalam BOT :


Penghasilan yang diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan dengan perjanjian BOT adalah:
Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah selama masa
BOT
Bagian dari uang sewa bangunan
Bagian dari keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan nama dan dalam bentuk apapun
Halaman 115
yang telah diberikan oleh investor
Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian BOT yang diterima atau diperoleh pemegang
hak atas tanah.
Apabila bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak investor, tetapi sebagian
diserahkan kepada pemegang hak atas tanah dalam tahun pajak yang bersangkutan maka atas
penyerahan tersebut terutang PPh sebesar 5% dari jumlah bruto nilai tertinggi antara nilai pasar
dengan NJOP bagian bangunan yang diserahkan, dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal
15 bulan berikutnya setelah penyerahan.
Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa
perjanjian BOT berakhir, merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah. dan terutang
PPh sebesar 5% Final dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan NJOP
bangunan yang telah diserahkan, dan harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa BOT berakhir.

Dasar Hukum :

- KMK 248/KMK.04/1995 tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap pihak-pihak yang


melakukan kerja sama dalambentuk perjanjian bangun guna serah
- SE Nomor 38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995 tentang perlakuan pajak penghasilan atas
penghasilan sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah.

16.7. Perlakuan PPh atas Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Yang menjadi Subjek PPh pelayaran dalam negeri adalah orang yang bertempat tinggal di Indonesia atau
badan yang didirikan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di
Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain.

Penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang. termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan
dari :
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
- Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

Pengenaan PPh atas pelayaran dalam negeri adalah :


- Norma Penghitungan penghasilan Neto = 4% X Peredaran Bruto
- PPh terutang sama dengan 30% X Norma Penghitungan Penghasilan Neto
- PPh Terutang = 30% X 4% X Peredaran Bruto = 1,2% X Peredaran Bruto.
- Pajak terutang bersifat FINAL
- Peredaran Bruto adalah semua imbalan atau nilai penggantian berupa uang atau nilai uang yang
diterima atau diperoleh WP Perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang
dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari
pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan Luar Negeri dan/atau sebaliknya.

Pelunasan PPh yang terutang dilakukan dengan cara sebagai berikut :


a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan Pemotong
pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib :
- memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai
pengganti;
- memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final)
kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan;
- menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya 10
bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan. dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP);
- Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan

Halaman 116
dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan
Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final).
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dalam negeri wajib :
- menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan. dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)Final;
- melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal
20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dilampiri dengan lembar
ke-3 SSP Final.
c. Dalam hal Wajib Pajak membayar pajak di Luar negeri atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya di luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal
(PPh Pasal 24), pajak yang dibayar di luar negeri tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang
terutang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini, untuk masing-masing negara setinggi-
tingginya 1.2% (satu koma dua persen) dari penghasilan yang diterima atau diperolehnya diluar
negeri tersebut.
d. Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan di
atas. maka atas penghasilan lainnya dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Dasar Hukum :
- KMK-416/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasialn neto bagi WP
perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
- SE-29/PJ.4/1996 tentang PPh terhadap WP perusahaan pelayaran Dalam Negeri

16.8. Perlakuan PPh atas Perusahaan Pelayaran /Penerbangan Luar Negeri

Yang menjadi subjek pajak adalah wajib pajakyang bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan
usaha pelayaran atau penerbangan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Dengan kata lain
bahwa jika tidak mempunyai BUT di Indonesia maka tidak kena PPh Pasal 15, tetapi memperhatikan
ketentuan Pasal 26.

Yang menjadi objek PPh adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia
dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan di luar negeri.

Dengan demikian tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan
pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang dari
pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.

Pengenaan PPh atas pelayaran/penerbangan luar negeri adalah :


- Norma Penghitungan penghasilan Neto = 6% X Peredaran Bruto
- PPh Terutang = 2,64% X Peredaran Bruto.
- Pajak terutang bersifat FINAL

Tata Cara Pengenaan PPh Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri :


a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter. maka pihak yang membayar atau
pihak yang mencharter wajib :
- memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai pengganti;
- Memberikan Bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri (final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan.
- menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan. dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
- melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan
dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri (final).

Halaman 117
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib :
- menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
- melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal
20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan dilampiri dengan lembar
ke-3 SSP Final.
c. Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan
sebagaimana diatas, maka atas penghasilan lainnya tersebut dikenakan PPh berdasarkan ketentuan
yang berlaku.

Dasar Hukum :

- KMK 417/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi


perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri.
- SE-32/PJ.4/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP yang
bergerak dibidang usaha pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri.

16.9. Perlakuan PPh atas Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri

Jenis Penghasilan perusahaan penerbangan dalam negeri dapat berasal dari :


a. Pengangkutan orang/barang dengan system angkutan umum artinya tidak dengan system carter
atau sewa
b. Pengangkutan orang, barang dengan system carter atau sewa.

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan penerbangan dalam negeri dikenakan tariff
umum pajak penghasilan.

PPh atas charter Pesawat kepada Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri :


- Penghasilan berdasarkan perjanjian charte meliputi semua bentuk charter. termasuk sewa
ruangan pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang (space charter) wajib dipotong oleh
pemotong pajak (yang mencharter) yang merupakan objek PPh Pasal 15.
- Tarif pemotongan PPh atas charter ini sebesar 1.8% dari peredaran bruto, tidak final dan
merupakan kredit pajak bagi perusahaan penerbangan dalam negeri.
- Penyetoran dilakukan oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
- Pelaporan dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya oleh Pemotong Pajak.

Dasar Hukum :

- KMK Nomor 475/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi
WP Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri
- SE-35/PJ.4/1996 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP
Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri

16.10. Perlakuan PPh atas Kantor Perwakilan Dagang Asing

Perwakilan dagang asing di Indonesia pada dasarnya ada 2 macam, yaitu perwakilan dagang asing yang
melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas dan perwakilan dagang asing yang tidak melakukan usaha
dan/atau pekerjaan bebas.

Kantor Perwakilan dagang asing yang melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas di Indonesia adalah BUT
yang dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan UU Pajak Penghasilan. Kantor Perwakilan Dagang Asing
Halaman 118
yang bukan BUT adalah kantor perwakilan dari perusahaan yang berkedudukan di Negara yang
mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) dengan Indonesia yang berdasarkan
treaty tersebut tidak dianggap sebagai BUT.

Yang menjadi subjek pajak kantor perwakilan dagang asing adalah wajib pajak luar negeri yang
mempunyai kantor perwakilan dagang, selanjutnya disingkat PKD di Indonesia yang berasal dari Negara
yang belum mempunyai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia.

Yang menjadi objek pajak kantor perwakilan dagang asing adalah nilai ekspor bruto yaitu semua nilai
penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada
atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengenaan PPh atas kantor perwakilan dagang asing adalah :


- PPh Terutang = 0.44% X Nilai Ekspor Bruto
- Termasuk PPh Pasal 15 dan bersifat Final
- Penyetoran Pajak dilakukan sendiri oleh kantor perwakilan dagang selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikutnya setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan.
- Pelaporan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilan.

Jika kantor perwakilan dagang berasal dari Negara mitra P3B maka besarnya tarif pajak yang terutang
disesuaikan dengan tarif BPT (Branch profit Tax) dari suatu bentuk usaha tetap tersebut sebagaimana
dimaksud dalam P3B tersebut.

Dasar Hukum :

- KMK 634/KMK.04/1994 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP LN


yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia.
- Kep-667/PJ./2001 tentang norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi WP LN yang
mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia
- SE-02/PJ.03/2008 tentang penegasan atas penerapan norma penghitungan khusus
penghasilan neto bagi WP LN yang mempunyai kantor perwakilan dagang (representative
office/liaison office) di Indonesia

Halaman 119
Bab 17. Lampiran-lampiran
Lampiran 1
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 156/PMK.010/2015
TENTANG : PELAKSANAAN PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS ORGANISASI
INTERNASIONAL DAN/ATAU PEJABAT
PERWAKILAN ORGANISASI
INTERNASIONAL YANG DIDASARKAN
PADA KETENTUAN DALAM PERJANJIAN
INTERNASIONAL

ORGANISASI INTERNASIONAL YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI


SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

1. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)


2. IMF (International Monetary Fund)
3. UNDP (United Nations Development Programme), meliputi:
a. IAEA (International Atomic Energy Agency)
b. ICAO (International Civil Aviation Organization)
c. ITU (International Telecommunication Union)
d. UNIDO (United Nations Industrial Development Organizations)
e. UPU (Universal Postal Union)
f. WMO (World Meteorological Organization)
g. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
h. UNEP (United Nations Environment Programme)
i. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
j. ESCAP (Economic and Social Commission for Asia and The Pacific)
k. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
l. WFP (World Food Programme)
m. IMO (International Maritime Organization)
n. WIPO (World Intellectual Property Organization)
o. IFAD (International Fund for Agricultural Development)
p. WTO (World Trade Organization)
q. WTO (World Tourism Organization)
4. FAO (Food and Agricultural Organization)
5. ILO (International Labour Organization)
6. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
7. UNIC (United Nations Information Centre)
8. UNICEF (United Nations Children's Fund)
9. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)
10. WHO (World Health Organization)
11. World Bank
12. Asean Secretariat
13. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
14. ACE (The ASEAN Centre for Energy)
15. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
16. Plan International Inc
17. PCI (Project Concern International)
18. IDRC (The International Development Research Centre)
19. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
20. The Commission of The European Communities
21. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International)
22. World Relief Cooperation
23. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
24. SIL (The Summer Institute of Linguistics, Inc.)
25. IPC (The International Pepper Community)
26. APCC (Asian Pacific Coconut Community)
27. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
Halaman 120
28. People Hope of Japan (PHJ) dan Project Hope
29. CIP (The International Potato Centre)
30. ICRC (The International Committee of Red Cross)
31. Terre Des Hommes Netherlands
32. Wetlands International
33. HKI (Helen Keller International, Inc.)
34. Taipei Economic and Trade Office
35. Vredeseilanden Country Office (VECO) Belgia
36. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
37. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
38. Save the Children-US dan Save the Children-UK
39. CIFOR (The Center for International Forestry Research)
40. Kyoto University-Jepang
41. ICRAF (the International Centre for Research in Agroforestry)
42. Swisscontact-Swiss Foundation for Technical Cooperation
43. Winrock International
44. Stichting Tropenbos
45. The Moslem World League (Rabithah)
46. NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization)
47. HSF (Hans Seidel Foundation)
48. DAAD (Deutscher Achademischer Austauschdienst)
49. WCS (The Wildlife Conservation Society)
50. BORDA (The Bremen Overseas Research and Development Association)
51. ASEAN Foundation
52. SOCSEA (Sub Regional Office of CIRDAP in Southeast Asia)
53. IMC (International Medical Corps)
54. KNCV (Koninklijke Nederlands Centrale Vereniging tot Bestrijding der Tuberculosis)
55. Asia Foundation
56. The British Council
57. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
58. CCF (Christian Children's Fund)
59. CWS (Church World Service)
60. The Ford Foundation
61. FES (Friedrich Ebert Stiftung)
62. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
63. IRRI (International Rice Research Institute)
64. Leprosy Mission
65. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
66. WE (World Education, Incorporated, USA)
67. KOICA (Korea International Cooperation Agency)
68. ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia)
69. JETRO (Japan External Trade Organization)
70. IFRC (International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies)

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM BAMBANG P. S. BRODJONEGORO
u.b.
KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN

ttd.

GIARTO
NIP 195904201984021001

Halaman 121
Lampiran 2
Daftar Biaya Fiskal

Non
Beban Usaha Deductible Ket Dasar Hukum
Deductible
Biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan. menagih dan
memelihara penghasilan
Prinsip realisasi V Pasal 28 UU KUP
Konservatis / penyisihan V Pasal 28 UU KUP
Biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan. menagih dan
memelihara penghasilan yang
bukan obyek PPh atau pengenaan
PPhnya final
1.Gaji/upah V PPh Ps Pasal 6 huruf a UU PPh
21
2.Tunjangan PPh pasal 21 V PPh ps PMK 252/PJ/2008
21
3.PPh dibayar perusahaan V Pasal 9 huruf h UU PPh
(ditanggung perusahaan)
4.Premi asuransi jiwa pegawai V PPh ps Pasal 9 huruf d UU PPh PMK
dibayar perusahaan 21 252/PJ/2008
5.Premi asuransi jiwa untuk V Pasal 9 huruf j UU PPh
pemilik / pemegang saham dan
keluarganya
6.Iuran Jamsostek PP No 14 tahun 1993
a.Jaminan kecelakaan Kerja V PPh Ps Pasal 9 huruf d UU PPh
(JKK) 21
b.Jaminan kematian (JKM) V PPh Ps PP No 14 tahun 1993 stdtd
21 PP Nomor 1 Tahun 2009
c. Jaminan pelayanan Kesehatan V PPh Ps PP No 14 tahun 1993 stdtd
21 PP Nomor 1 Tahun 2009
d.Iuran Jaminan Hari tua (JHT) PP No 14 tahun 1993 stdtd
(JAMSOSTEK) PP Nomor 1 Tahun 2009
Dibayar perusahaan V Pasal 6 huruf a UU PPh
Dibayar pegawai (bagi V PMK 252/PJ/2008
pegawai untuk menghitung
PPh 21)
7.Iuran pensiun ke dana pensiun PMK 252/PJ/2008
yang disahkan Menteri
Keuangan
Dibayar perusahaan V PMK 252/PJ/2008
Dibayar pegawai (bagi V PMK 252/PJ/2008
pegawai untuk menghitung
PPh 21)
8.Iuran pensiun ke dana pensiun V Pasal 6 huruf c UU PPh
yang belum disahkan Menkeu
9.Tunjangan Hari Raya V PPh Ps Pasal 6 huruf a UU PPh
21
10. Uang lembur V PPh Ps Pasal 6 huruf a UU PPh
21
11. Pengobatan Pasal 6 huruf a UU PPh

Halaman 122
a.Cuma-cuma (langsung ke V Pasal 6 huruf e UU PPh
rumah sakit. dianggap sebagai
kenikmatan)
b.Penggantian pengobatan V PPh Ps KEP 252/PJ/2000
(tunjangan dengan reimburst) 21
c. Tunjangan pengobatan V PPh Ps KEP 252/PJ/2000
21
12. Pemberian imbalan dalam V Pasal 9 huruf e UU PPh
bentuk natura dan
kenikmatan. misalnya
kendaraan. beras dsb
13. Pemberian makan kepada V KMK 466/KMK.04/2000
crew kapal/pesawat dalam
perjalanan
14. Pemberian dalam bentuk KMK 466/KMK.04/2000
natura dan kenikmatan
a.Pengeluaran untuk V KMK 466/KMK.04/2000
penyediaan makanan/
minuman bagi seluruh
pegawai. termasuk dewan
direksi dan dewan komisaris
di tempat kerja
b.Penggantian dalam bentuk V KMK 466/KMK.04/2000
natura & kenikmatan di
daerah tertentu :
Tempat V KMK 466/KMK.04/2000
tinggal/perumahan
pegawai sepanjang
fasilitas tersebut tidak
tersedia
Pelayanan kesehatan V KMK 466/KMK.04/2000
sepanjang fasilitas
tersebut tidak tersedia
Pendidikan pegawai & V KMK 466/KMK.04/2000
keluarganya sepanjang
fasilitas tersebut tidak
tersedia
Pengangkutan bagi V KMK 466/KMK.04/2000
pegawai dan keluarganya
sepanjang fasilitas
tersebut tidak tersedia
Olah raga bagi pegawai V KMK 466/KMK.04/2000
dan keluarganya
sepanjang fasilitas
tersebut tidak tersedia.
Sarana olah raga tidak
termasuk golf. boating.
pacuan kuda
c. Dalam rangka & berkaitan KEP-220/PJ./2002
dengan pelaksanaan kerja :
Beban antar jemput V KEP-220/PJ./2002
karyawan
Penyediaan makan / V KMK 466/KMK.04/2000
minum untuk awak kapal /
pesawat

Halaman 123
d.Untuk keamanan / V KEP 312/PJ/2001
keselamatan kerja yang
diwajibkan. misalnya :
pakaian dan peralatan bagi
pegawai pemadam
kebakaran. proyek. pakaian
seragam pabrik. hansip /
satpam
e.Berkenaan dengan situasi KEP 312/PJ/2001
lingkungan. misal :
Pakaian seragam pegawai V KEP 312/PJ/2001
hotel / penyiar TV
Makan tambahan bagi V KEP 312/PJ/2001
operator komputer /
pengetik
Makan / minum cuma- V KEP 312/PJ/2001
cuma bagi pegawai
restoran
15. Pembebanan yang masa V Pasal 6 ayat 1 UU PPh
manfaatnya lebih dari satu
tahun. dengan cara
penyusutan sesuai Pasal 11
UU No 17 Tahun 2000
16. Cuti pegawai :
a. diberikan uang cuti V PPh Ps (penjelasan pasal 6 ayat(1)
21 huruf a UU PPh)
b. tunjangan cuti V PPh Ps KEP 545/PJ/2000
21
c. dibayar perusahaan V Pasal 9 huruf e UU PPh
17. Perjalanan dinas pegawai :
a.didukung bukti-bukti yang sah V penjelasan pasal 6 ayat (1)
/ dipertanggung jawabkan huruf a UU PPh)
b.lumpsum (tidak didukung V Pasal 9 huruf e UU PPh
bukti-bukti)
c. lumpsum dianggap honor V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1)
pegawai 21 huruf a UU PPh)
d.honor / uang saku V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1)
21 huruf a UU PPh)
e.Biaya picnic / rekreasi V Pasal 9 huruf e UU PPh
18. Bonus atas prestasi Kerja yang V PPh Ps PMK Nomor
dibebankan pada tahun 21 252/PMK.03/2008
berjalan
19. Pembagian bonus. tantiem. V PPh Ps Pasal 9 ayat (1)
gratifikasi. jasa produksi. yang 23 SE-11/PJ.42/1992
dibebankan ke laba ditahan (kepada
(Retained Earning) pemega
ng
saham)
20. Biaya seminar. penataran. V Pasal 6 ayat 1 UU PPh
kursus (pendidikan) di dalam
negeri
21. Honor / uang saku pegawai V PPh Ps Pasal 6 ayat 1 UU PPh
yang mengikuti seminar dsb 21
22. Bea siswa : PPh Ps Pasal 6 Ayat (1 ) huruf g.

Halaman 124
a. Ada ikatan kerja dengan V 21
perusahaan
b. Tidak ada ikatan kerja dengan
perusahaan (sumbangan )
V
23. Sumbangan ke karyawan V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1)
dalam bentuk uang 21 huruf a UU PPh
24. Kendaraan perusahaan yang Pasal 9 ayat(1) huruf b UU
dibawa pulang & dikuasai PPh.
pegawai: Lihat Kembali KEP-
a. Penyusutan 220/PJ/2002 dan SE -
V
b. Biaya reparasi / 09/PJ.42/2002 di mana pe-
V meliharaan mobil sedan
pemeliharaan
V dapat di-bebankan 50%
c. Bahan bakar / oli dsb
25. Perumahan perusahaan & pasal 9 ayat(1) huruf b UU
asrama : PPh) jo
a. Pegawai yang menempati penjelasan pasal 6 ayat(1)
tidak diberi tunjangan huruf a UU PPh)
perumahan :
V
Penyusutan rumah
V
Biaya eksploitasi rumah
b.pegawai yang menempati
diberi tunjangan perumahan
minimal sebesar biaya PPh Ps
penyusutan & biaya 21
eksploitasi : V
tunjangan perumahan V
biaya penyusutan rumah V
biaya eksploitasi rumah
26. Mess untuk transit. Pasal 2 ayat (2) KMK
pendidikan (sementara): 466/KMK.04/2000
a. biaya penyusutan V
b. biaya eksploitasi V
27. Sewa rumah pegawai yang V PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf e UU
tidak diberi tunjangan sewa 4 ayat PPh
minimal sebesar sewa rumah (2)
tersebut
28. Diberikan uang sewa rumah V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1)
(tunjangan) 21 huruf a UU PPh
29. Upah pesangon V PPh Ps PMK 252/ PMK /2008
21
30. Upah borongan pekerja ke V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1)
orang pribadi 21 huruf a UU PPh
31. Imbalan ke pegawai yang V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1)
merupakan pemegang saham 21 huruf a UU PPh
(25% ke atas)
a.Gaji yang wajar V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat(1)
21 huruf a UU PPh
b.imbalan di atas kewajaran V PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf f UU
23 PPh
c. Deviden terselubung : PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf f UU
23 PPh
Premi asuransi jiwa V pasal 9 ayat(1) huruf f UU

Halaman 125
PPh
biaya listrik. telpon rumah V pasal 9 ayat (1) huruf f UU
pribadi PPh
biaya pemeliharaan mobil V pasal 9 ayat( 1) huruf f UU
pribadi PPh
PBB rumah pribadi V pasal 9 ayat (1) huruf f UU
PPh
Pengeluaran perusahaan V pasal 9 ayat (1) huruf f UU
untuk keperluan langsung PPh
karyawan/pemegang saham
Pembagian laba secara V pasal 9 ayat(1) huruf f UU
langsung/tidak langsung PPh
32. Gaji yang dibayarkan ke V pasal 9 ayat (1) huruf f UU
anggota / sekutu Persekutuan. PPh
CV. Firma
33. Beban bunga :
a.biaya bunga untuk V pasal 6 UU PPh
memperoleh Ph yang
merupakan obyek pajak
b.bunga atas pinjaman yang PP 138/2000
digunakan untuk membeli
saham yang sudah beredar
atau untuk melakukan
akuisisi saham milik
pemegang saham
(penyerahan dalam negeri).
bagi PTDN. BUMN/D.
koperasi. yayasan:
Dibebankan pada tahun V PP 138/2000
ybs
Dikapitalisasi pada harga V PP 138/2000
perolehan investasi saham
c. Biaya bunga atas pinjaman V PP 138/2000
untuk melakukan
penyertaan pada
perusahaan yang baru
didirikan atau mengambil
right issue
d.Biaya bunga selama masa V SE-20/PJ.42/1994 jo SE-
konstruksi. tidak boleh 217/PJ.42/1994
dibebankan pada th ybs.
tetapi menambah harga
perolehan aktiva tetap
e.Biaya bunga jika ada PP 138/2000 jo SE-
penghasilan bunga 46/PJ.4/1995
deposito/tabungan yang
sudah dikenakan PPh final.
tak semua biaya bunga
dapat dibebankan
f. Biaya bunga atas pinjaman V pasal 9 ayat (1) huruf b UU
untuk keperluan pribadi PPh
G. Pembayaran bunga : Pasal 23 UU PPh
Ke bank-bank di V penjelasan pasal 6 ayat (1)
Indonesia huruf a UU PPh)
Ke bukan bank V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1)
Halaman 126
23 huruf a UU PPh)
Ke WP LN non tax treaty V PPh Ps Pasal 26 UU PPh
26
Ke WP LN tax treaty V PPh Ps Surat Keterangan Tarif PPh
26 Ps 26
Ke pemegang V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1)
saham/hubungan 23 huruf a UU PPh)
istimewa
- Wajar
- tidak wajar V PPh Ps pasal 9 ayat (1) huruf f UU
(selisihnya) 23 PPh
34. beban sewa selain tanah dan / Pasal 6 UU PPh
atau bangunan
a. ke WP DN orang pribadi V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1)
23 huruf a UU PPh)
b. ke WP DN Badan / BUT V PPh Ps penjelasan pasal 6 ayat (1)
23 huruf a UU PPh)
35. Sewa tanah dan / atau Pasal 9 ayat (1)
bangunan Pasal 4 PP 138/2000
a. ke WP DN orang pribadi V
b. ke WP DN Badan / BUT V
36. Biaya royalty Pasal 6 UU PPh
a. ke WP DN PPh Ps
23
b. Ke WP LN non tax treaty V PPh Ps
26
c. Ke WP LN tax treaty V PPh Ps
26
37. Jasa manajemen WP DN. V PPh Ps Pasal 6 UU PPh
pemberian jasa dengan ikut 23
serta secara langsung
melaksanakan manajemen
38. Jasa teknik WP DN. pemberian V PPh Ps Pasal 6 UU PPh
jasa dalam bentuk pemberian 23
informasi yang berkenaan
dengan pengalaman di bidang
: industri. perdagangan. ilmu
pengetahuan meliputi :
a. penelitian tanah
b. pembuatan design
bangunan
c. pengawasan pelaksanaan
bangunan
d. informasi teknik . gambar.
petunjuk produksi.
perhitungan dsb
e. latihan teknik
f. informasi bidang
manajemen
g. jasa rekrutmen pegawai
39. Jasa konstruksi : Deductible dilakukan oleh
pengusaha konstruksi besar
(omzet di atas 1 milyar)
Halaman 127
a. jasa pelaksanaan V PPh Ps PP Nomor 51 Tahun 2008
konstruksi 4 (2) / dan PMK-244/PMK/2008
PPh
Pasal 23
b. jasa pengawasan V PPh Ps PP Nomor 51 Tahun 2008
konstruksi 4 (2)
c. jasa perencanaan V PPh Ps PP Nomor 51 Tahun 2008
konstruksi 4 (2)
40. Jasa konsultan hukum dan V PPh Ps PMK-244/PMK/2008
pajak 23
41. Pembayaran jasa ke LN.
seluruh pekerjaan dilakukan di
LN
A. Negara non tax treaty V PPh Ps
21
b. negara tax treaty V SKT Ps
26
42. Beban Litbang (R&D) yang Pasal 6 ayat (1) huruf f UU
dilakukan di Indonesia dalam PPh
jumlah yang wajar untuk
menemukan teknologi /
sistem baru bagi
pengembangan perusahaan :
a. penyusutan aktiva tetap V
b. bahan yang digunakan V
c. gaji / honor pegawai V PPh Ps
21
d. honor konsultan PPh Ps
23
e.biaya konsultan yang
memborong litbang yang
jumlahnya cukup material :
Amortisasi V
biaya litbang V
-----dilakukan di Indonesia V
-----dilakukan di LN V PPh Ps Pasal 4
26 PP 138/2000

43. Sanksi perpajakan : denda. V Pasal 9 ayat (1) huruf k UU


bunga. kenaikan. PPh
44. PBB untuk tanah / bangunan V Pasal 6 UU PPh
pabrik / kantor
45. PBB untuk tanah / bangunan V Pasal 9 ayat(1) UU PPh
yang tak digunakan untuk
usaha / milik pribadi
46. Pajak masukan yang tidak Pasal 4 PP 138/2000
dapat dikreditkan :
a.Untuk perolehan BKP / JKP V
sesuai Ps 6
b.Masa manfaat lebih dari V
satu tahun dengan
penyusutan
c. Untuk perolehan BKP / JKP V

Halaman 128
sesuai Ps 9
d.Faktur pajak Standart yang V Pasal 3 PP 138/2000
tidak lengkap. tidak benar
atau cacat sepanjang dapat
dibuktikan telah dibayar
47. Biaya entertainment:
a.Tidak dibuat daftar V SE-27/PJ.22/1986
nominatif
b.Dibuat daftar nominatif V
:nomor urut. jenis. nama
tempat. alamat dan jumlah
entertainment diberikan.
relasi : nama. posisi. nama
dan jenis perusahaan
48. Keperluan pegawai dibayar V Penjelasan pasal 4 ayat (3)
perusahaan huruf g jo Pasal 9 ayat (1)
huruf a UU PPh
49. Keperluan pegawai yang V PPh Ps Penjelasan pasal 4 ayat (3)
merupakan pemilik / 23 huruf g jo Pasal 9 ayat(1)
pemegang saham dibayar huruf a UU PPh
perusahaan merupakan
dividen terselubung
50. Biaya promosi:
a. didukung bukti yang sah V
b. tidak didukung bukti V
51. Kerugian piutang bagi
perusahaan bukan bank /
sewa guna usaha dengan hak
opsi
a. Penyisihan V Pasal 9 ayat(1) hrf c UU PPh
b. Metode langsung. tidak V
dibuat daftar nominatif
c. metode langsung dibuat V
daftar nominatif
(dilampirkan): nama.
alamat. tanggal pinjaman
diberikan. jumlah piutang
dan keterangan
52. Rugi selisih kurs : Pasal 6 ayat(1) huruf e UU
PPh
a. Kurs tengah BI akhir tahun V
b. pada waktu pembayaran V
53. SGU tanpa hak opsi. V PPh Ps
pembayaran SGU 23
54. SGU dengan hak opsi : V KMK 1169/KMK.01/91 Jo
a. Penyusutan aktiva SGU 10/PJ.47/1994
b.bunga SGU V KMK 1169/KMK.01/91 Jo
10/PJ.47/1994
c. Jumlah pembayaran SGU V KMK 1169/KMK.01/91 Jo
10/PJ.47/1994
55. Kerugian pengalihan harta : Pasal 4 PP 138 / 2000
a. digunakan untuk usaha V
b. tidak digunakan untuk usaha V

Halaman 129
56. Beban alat tulis kantor V Pasal 6 UU PPh
57. Beban listrik. telpon. Fax V
58. Beban perangko / materai V
59. Beban starco / handphone V Dapat dibebankan 50% KEP
Nomor 220/PJ./2002
60. Beban pemeliharaan dan V KEP Nomor 220/PJ./2002
perbaikan mobil antar jemput
karyawan
61. Macam-macam biaya :
a. tidak diperinci V
b. diperinci V
62. Biaya bea siswa dalam rangka V SE-33/PJ.421/1996.
GN-OTA yang dikeluarkan termasuk dalam kategori
perusahaan. dengan bukti beasiswa Pasal 6 ayat (1)
setoran / transfer ke BRI a/n huruf g.
Lembaga GN-OTA

Halaman 130
Lampiran 3

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 96/PMK.03/2009

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 1


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku,
kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan,.
Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplicator, mesin
fotokopi, mesin akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner
dan sejenisnya.
b. Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/cassette, video
recorder, televisi dan sejenisnya.
c. Sepeda motor, sepeda dan becak.
d. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang
bersangkutan.
e. Dies, jigs, dan mould.
f. Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon
seluler dan sejenisnya.
2 Pertanian,perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul,
kehutanan. peternakan, perikanan, garu dan lain-lain.
3 Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller,
minuman pemecah kulit, penyosoh, pengering, pallet, dan sejenisnya.
4 Transportasi dan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum.
Pergudangan
5 Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system,
elimination (PE8-1), pose checker.
6 Jasa Persewaan Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire
Peralatan Tambat Air Ropes, Mooring Accessoris.
Dalam
7 Jasa telekomunikasi Base Station Controller
selular

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 2


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari
dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan, Alat
pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.
2 Pertanian, a. Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak,
perkebunan, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya.
kehutanan, b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan
perikanan atau barang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
3 Industri makanan a. Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan,
dan minuman misalnya pabrik susu, pengalengan ikan.
b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa,
margarin, penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian
seperti penggilingan beras, gandum, tapioca.
c. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan
minuman segala jenis.
d. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan

Halaman 131
makanan segala jenis.
4 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin
jahit, pompa air).
5 Perkayuan, a. Mesin dan peralatan penebangan kayu.
kehutanan b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan
atau barang kehutanan.
6 Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane
buldozer dan sejenisnya.
7 Transportasi dan a. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck
Pergudangan ngangkang, dan sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk
pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji
tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki,
kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai
dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-
kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung
dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai
dengan 250 DWT;
e. Kapal balon,
8 Telekomunikasi a. Perangkat pesawat telepon;
b. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio
telegraf dan radio telepon,
9 Industri semi Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear
konduktor tester, bipolar test handler (automatic), cleaning machine, coating
machine, curing oven, cutting press, dambar cut machine, dicer, die
bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test
handler, eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark,
hand maker, individual mark, inserter remover machine, laser marker
(FUM A-01), logic test system, marker (mark), memory test system,
molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass
oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine,
tiebar cut press, trimming/forming machine, wire bonder, wire pull
tester,
10 Jasa Persewaan
Peralatan Tambat Spoolling Machines, Metocean Data Collector
Air Dalam
11 Jasa Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location
Register, Authentication Centre, Equipment Identity Register, Intelligent
Telekomunikasi
Network Service Control Point, intelligent Network Service Managemen
Seluler Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link,
Antena

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 3


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Pertambangan Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesin-
selain minyak mesin yang mengolah produk pelican.
dan gas
2 Permintalan, a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya
pertenunan kain katun, sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena
dan rami, permadani, kain-kain bulu, tule),
pencelupan b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing,
texturing, packaging dan sejenisnya.
3 Perkayuan a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk kayu, barang-
barang dari jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya,
b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu.
Halaman 132
4 Industri kimia a. Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia
dan industri yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya
bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis dan logam
mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia organis, produk farmasi,
pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan
resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias,
sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina,
perekat, bahan peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis,
barang fotografi dan sinematografi,
b. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk industri lainnya (misalnya
damar tiruan, bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis,
karet tiruan, kulit samak, jangat dan kulit mentah).
5 Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat
(misalnya mesin mobil, mesin kapal).
6 Transportasi a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk
dan pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan,
Pergudangan biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki,
kapal penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas
100 DWT sampai dengan 1,000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong kapal, kapal suar,
kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya,
yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1,000 DWT,
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250
DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis.
7 Telekomunikasi Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.

JENIS-JENIS HARTA BERWUJUD YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK 4


Nomor Jenis Usaha Jenis Harta
1 Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi
2 Transportasi a. Lokomotif uap dan tender atas rel.
b. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan batere atau dengan tenaga
dan
listrik dari sumber luar.
Pergudangan c. Lokomotif atas rel lainnya.
d. Kereta, gerbong penumpang dan barang, termasuk kontainer khusus
dibuat dan diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa
alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk
pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan,
biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki,
kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas
1,000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar,
kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan
sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1,000 DWT.
g. Dok-dok terapung.

Halaman 133

Anda mungkin juga menyukai