Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.

Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat

manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan

hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan

tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk

penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap

orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal

tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat.

Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang

salah 1 pihak melakukan wanprestasi.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan,

maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan

mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang

biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari

pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan

tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun

1
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara

administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu

terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia

merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada

rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok

Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah

yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.

Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat

sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa

tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala

besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

B. Rumusan masalah

1. Sebutkan Pengertian Agraria !

2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Agraria Di Indonesia

3. Sebutkan Azas Hukum Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia

4. Apa Contoh Kasus Hukum Agraria

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang Pengertian Agraria


2. Untuk mengetahui tentang Sejarah Perkembangan Hukum Agraria Di

Indonesia
3. Untuk mengetahui tentang Azas Hukum Agraria Dalam Tata Hukum

Indonesia

2
5. Untuk mengetahui tentang Contoh Kasus Hukum Agraria dan

penyelesaiannya

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. Pengertian Agraria

Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif,

yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian

agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.

Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager

yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan,

pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan

Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan

pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu

dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan

agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat

peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah

yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan

dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.

Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi

pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang

memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di

bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari

hukum administrasi negara.

Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada

departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan

Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria,

4
kementerian agraira, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria,

departemen pertanian dan agraria, direktur jenderak agraria, direktorat jenderal

agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian

demikian.

Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal

48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang

mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha

memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh

bumi di bawahnya serta yangberada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4

ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di

daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.

Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan

sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan

tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang

ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman

200 meter atau lebih, di mana masih meungkin diselenggarakan eksplorasi dan

sksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak ekslusif atas kekayaan

alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada pada Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun 1973)(LN. 1973-1, TLN 2994).

5
Pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah

Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974

tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang

seluas itu. pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari

sumber-sumber air, baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).

Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan

galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam

batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam.

Undang-undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).

Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain

kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah

Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN.

1985-46).

Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air

tersebut perlku dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi

Eksklusif, yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mili laut diukur

dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk

melakukamn eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam

hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tuuh bumi di bawahnya dan

air di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor : 5

Tahun 1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).

6
Sementara, A.P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria

mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas

tanah, atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah

mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas

mirip dengan pengertian ruang dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992

tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang

adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai

satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan

pengertian agraria dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan

pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi

bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah

meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti

fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria

yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.

B. Sejarah Perkembangan Hukum Agraria Di Indonesia


1. Masa Pra-Kolonial

7
Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaan-kerajaan

di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau

pengawasan,yang diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau

yang berwenang di istana.Agaknya,pada masa itu konsep³pemilikan´menurut

konsep Barat (³property´,´eigendom´) memang tidak dikenal,bahkan juga

bagi penguasa.Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya ³dimiliki´ oleh pejabat-

pejabat atau penguasa,melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik

mempunyai hak jurisdiksi atastanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan

kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan,dan secara teoritis juga

mempunyai hak untuk menguasai ,menggunakan ataupun menjual hasil-

hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.

Pada awal abad ke-19 VOC bangkrut dan penguasaannya digantikan oleh

pemerintahKerajaan Belanda.Gubernur Jendral Daendels memprakarsai

perubahan ±perubahan administrasi untuk meniptakan kekuasaan politik yang

lebih sistematis .Tetai sejauh itu masalah penguasaan tanah secaraformal belum

memperoleh perhatian sepenuhnya.Barulah ketika pemerintahan

Inggrismenggantikannya (1811-1816) saat Raffles memperkenalkan teorinya yang

terkenal itu ,yaitu teoridomein, masalah keagrariaan memperoleh perhatian yang

sebenarnya.Zaman Raffles inilah yang dapatdianggap sebagai ³tonggak sejarah´

yang pertama dalam soal keagrariaan ,di Indonesia.

2. Masa Pemerintah Inggris (1811-1816)

8
Sebagai Gubernur Jendral di Indonesia,Raffles menginginkan agar langkah

politiknyamemperoleh pembenaaran,yaitu ³teori domein´nya.Maka pada tahun

1811,dibentuklah sebuah PanitiaPenyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie

dengan tugas ³melakukan penyelidikan statistik mengenaikeadaan agraria

´.Berdasarkan hasil peenyelidikan inilah Raffles menarik kesimpulan bahwa

³semuatanah adalah milik raja atau pemerintah´.Inilah yang dikenal sebagai teori

domein dariRaffles.Sehingga dibuatlah system penarikan pajak bumi

(landrente),yaitu setiap petani diwajibkanmembayar pajak sebesar 2/5 dari hasil

tanah garapannya.Teori Raffles ini ternyata mempengaruhikebijakan agraria

selama sebagian besar abad ke -19

3. Zaman Cultuurstelsel´ (1830)

Gubernur Jenderal Van den Bosch melaksanakan apa yang disebut

cultuurstel sel atau tanam paksa.Dasarnya adalah teori Raffles (domein),yaitu

bahwa tanah adalah milik pemerintah.Para KepalaDesa dianggap menyewa

kepada Pemerintah,dan selanjutnya Kepala Desa meminjamkan

kepada petani.Maka isi pokok Cultuurstelsel bahwa 1/5 daari tanah si pemilik

tanah harus ditanami dengantanaman tertentu yang dikehendaki oleh

pemerintah,seperti nila,kopi,tembakau,dansebgainya,kemudian harus diserahkan

kepada Pemerintah(untuk di ekspor ke Eropa).

Hasil politik ³Tanam Paksa´ini ternyata melimpah bagi Pemerintah

Belanda,sehingga menimbulkan iri hati bagikaum pemilik modal swasta.

4. Perubahan undang-undang dasar belanda (1848)

9
Terjadi pertentangan antar kaum liberal yang menentang Cultuurstelsel

dengan kaumkonservatif.Kemenangan pertama dipetik oleh golongan liberal

ketika pada tahun 1848 akhirnyaUndang-Undang Dasar Belanda dirubah yaitu

dengan adanya ketentuan di dalamnya yangmenyebutkan bahwa pemerintahan di

tanah jajahan harus di atur dengan undang ±undang.Undang-Undang yang

dimaksud ternyata baru selesai pada tahun 1954,yaitu dengan keluarnya

RegeringsRegelment (RR) 1854.Pada tahun 1865 Menteri Jajahan Frans Van de

Putte,seorang liberal,mengajukan RancanganUndang-Undang ,yang isi nya antara

lain adalah bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selam 99

tahun ; hak milik pribumi diakui sebagai hak milik mutlak(eigendom) ; dan

tanahkomunal dijadikan hak milik perorangan eigendom.Ternyata RUU ini ditolak

oleh parlemen,demikianlah sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk

menanam modalnya di bidang pertanian di Indonesia,belum tercapai.

5. Zaman liberal (1870)

Menteri Van de Putte jatuh karena dianggap terlalu tergesa-gesa

memberikan hak eigendomkepada pribumi.Pada tahun 1867/1868,pemerintah

jajahan lalu mengadakan suatu penelitian tentanghak-hak penduduk Jawa atas

tnah,yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa.Namunternyata,pemerintah

Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut.Pada tahun

1870,enamtahun sebelum laporan itu terbit,Menteri Jajahan de wall mengajukan

RUU yang akhirnya diterimaoleh parlemen.Isinya terdiri dari 5 ayat.Kelima ayat

ini kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal62 RR,yang kemudian

dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsreggeling (IS).Inilah yang disebut

10
denganAgrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara

(Staatsblad) BO.55, 1870.

Dengan demikian tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting

dalam sejarah agraria di Indonesia.Karena sejak itu maka berduyun-duyunlah

modal swasta Eropa masuk keIndonesia.Muncullah perkebunan swasta besar di

Sumatera dan juga Jawa.Tujuan Undang-Undang Agraria 1870 untuk memberikan

kesempatan luas bagi modal swastaasing memang berhasil.Tapi tujuan

lainnya,yaitu melindungi dan memperkuat hak tanah bagi bangsaIndonesia asli

ternyata jauh dari harapan.Hal ini terjadi karena banyak para sultan sultan

yangmemberikan konsesi atas tanah nya kepada pihak asing,dengan kata lain

mengabaikan kepentinganrakyat nya,Hal ini menyebabkan kemiskinan

masyarakat Indonesia asli.Menanggapi hal tersebut,Pemerintah Kolonial

membentuk Panitia Penyelidik Kemiskinan(Mindere WelvaartCommissie) pada

tahun 1902.Namun laporan lengkap penelitian itu (MindereWelvaart Onderzoek))

ternyata baru selesai tahun 1920.Pencerminan rasa bersalah pemerintah

Belandaditunjukkan dengan di bentuknya kebijakan baru yang terkenal dengan

istilah ³Politik Etis´ dengantokoh utamanya C.Th. van Deventer.Mulai awal abad

ke-20 itu pemerintah berusaha memperbaikikeadaan melalui enam bidang

yaitu,irigasi,reboisasi,transmigrasi,system perkreditan,pendidikan dankesehatan

masyarakat.Walaupun disana sini usah tersebut memang dirasakan

hasilnya,namunkebijaksanaan ini secara fundamental tidak berhasil

mentransformasikan masyarakat pedesaan.Kebijaksanaan perkreditan

11
misalnya,dianggap tidak bersifat memacu perubahan dan perkembangan

ekonomi ,melainkan sekedar mempertahankan ³statusquo´.

6. Masa Kemerdekaan

a. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.

Diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa

Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan

tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat

yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat

berusaha untuk menduduki tanah.

Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah

pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan

melakukan hal-hal berikut :

1) Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang

mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di

daerah Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan

oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ±

23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut

perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000

Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.

2) Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua

perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan

kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta

12
memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan

yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di

daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian,

untuk itu perlu ditertibkan.

3) Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah

pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan

penyerapan air.

4) Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan

ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan

ketertiban umum.

Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954

tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.

Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :

1) Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala

sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar

pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;

2) Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka

1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan

tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan

memperhatikan :

a) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan

yangbersangkutan;

13
b) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan

perekonomuian negara.

Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-

baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :

1) Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan

milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka

dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;


2) Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
3) Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik

perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan

ini diberlakukan;
4) Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.

Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat,

maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah

tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.

Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan

pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-

undangan sebagai berikut :

a. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan

Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan

Nasionalisasi.

b. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan

Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.

c. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan

Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.

14
d. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga

negara Belanda yang kembali ke negerinya.

7. Setelah Indonesia Merdeka


a. Masa orde lama

Setelah 15 tahun Indonesia merdeka, maka pada tanggal 24 September

1960, lahirlah Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria,yang kemudianterkenal dengan istilah UUPA.Lahirnya UUPA

bukan proses yang pendek.Karena setelah Indonesiamerdeka, sejak awal

sebenarnya pemerintah telah mulai memperhatikan masalah agraria.Mulai

PanityaAgraria Yogya (1948), Panitya Jakarta (1951), Panitya Suwahjo(1956),

Rancangan Soenarjo(1958),dan akhirnya Rancangan Sadjarwo(1960).Lahirnya

UUPA-1960,yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, No.56 tahun 1960 (yang dikenal sebagai Undang-Undang ³Landreform´)

sebenarnya merupakan hasildari usaha untuk meletakkan dasar strategi

pembangunan seperti yang dianut juga oleh berbagai Negara Asia pada masa awal

sesudah Perang Dunia kedua (Jepang,Korea,Tiwan,India,Iran,dan lain-

lain).Namun dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun setelah Indonesia

merdeka,kondisi social politik serta kurangnya dana memang tidak

memungkinkan untuk melaksanakan pembangunan ekonomisecara

teratur.Demikian pula program Landreform mengalami hambatan besar.

Sesungguhnya ,semangat dan jiwa UUPA pada hakekatnya bersifat

kerakyatan,populistik (dalam arti komunistik,sekaligus bukan

kapitalistik).Kerangka UUPA itu disusun dalam kondisi yangada saat itu.Sebagai

sebuah Undang-Undang yang berisi peraturan-peraturan dasar .,diperlukan

15
penjabaran lebh lanjut.Namun,sebagian besar hal itu belum sempat

tergarapkeburu terjadi pergantian pemerintah dari yang lama ke pemerintahan

Orde Baru yang mengambil dasar keebijakanyang sama sekali berbeda

b. Masa Orde Baru

Belum sampai terlaksana sepenuhnya apa yang diprogramkan dalam

Reformasi Agraria padamasa Orde Lama,terjaditragedi nasional dalam tahun

1965,yang melahirkan Orde Baru.Penguasa OrdeBaru mewarisi situasi nasional

dalam keadaan perekonomiaan Negara yang menyedihkan dankonstelasi politik

yang dinilai sebagai penyimpangan dasar dari sila-sila Pancasila dan Undang-

UndangDasar 1945.Ciri kebijakan pemerintah Orde Baru ditandai oleh dua hal

pokok.Pertama : Secara umum,strategi pembanguannya mengandalkan kepada

bantuan, hutang, dan investasi dari luar negeri, dan bertumpu kepada ³yang besar

´(betting on the strong), tidak berbasis pada potensi rakyat.Kedua :Khusus dalam

hal kebijakan masalah Agraria,dsadari oleh tidak oleh para perumus kebijakan

padamasa awal Orde Baru itu, Indonesia mengambil jalan apa yang sekarang

dikenal sebagai By-passApproach, atau pendekatan jalan pintas.Alur pemikiran

pendekatan ini adalah sebagai berikut :reforma agraria umumnya lahir sebagai

respon terhadap suatu stuktur agraria yang terasa tidak adil,yang pada gilirannya

berpotensi bagi terjadinya konflik agraria.Untuk menangani konflik agraria ,

orang harus memahami dulu apa maknanya.Penganut pendekatan jalan pintas

berpandangan bahwa(sebagai asumsi dasar) makna konflik agraria adalahmasalah

pangan.

c. Masa Reformasi

16
Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang asasi dalam

kebijakan pembangunannasional di bidang ekonomi,sebagai yang ditetapkan

dalam kebijakan pembangunan nasional di bidangekonomi, sebagai yang

ditetapkan dalam TAAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Politik

EkonomiDalam Rngka Demokrasi Ekonomi, yang berbeda benar dengan

kebijakan pembangunan ekonomiOrde Baru.TAP MPR tersebut ditetapkan atas

dasar pertimbangan,bahwa pelaksanaan DemokrasiEkonomi, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945 belum terwujud.Dinyatakan dalam TAPMPR

tersebut, bahwa politik ekonomi mencakup kebijaksanaan , strategi dan

pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-

prinsip dasar DemokrasiEkonomi,yang mengutamakan kepentingan rakyat

banyak, untuk sebesar besarnya kemakmuranrakyat,sebagaimana dimaksud dalma

pasal 33 UUD 1945.Politik Ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan

struktur ekonomi nasional ,agar teerwujud pengusaha menengah yang kuat dan

besar jumlahnya,serta terbentuk keterkaitan dan kemitraan yang saling

menguntungkan antar pelaku ekonomiyang meliputi usaha kecil,menengah dan

koperasi, usaha besar swasta san Badan Usaha Milik Negara,yang saling

memperkuat untuk mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan efisiensi nasional yang

berdayasaing tinggi.Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam

lainnya,harus dilaksanakan secaraadil dengan menghlangkan segala bentuk

penguasaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangankemampuan ekonomi

usaha kecil,memengah, kopersi,serta masyarakat luas.Tanah sebagai basis

usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian

17
rakyat,yang mampumelibatkan serta memberi sebesar besarnya kemakmuaran

bagi usaha kecil, menengah, dam koperasi.

C. Azas Hukum Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia

Menurut UUPA Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan

dalam hukum pertanahan

3. Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat.

Berdasarkan tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah

kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang

berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa

untuk dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:

a. Persyaratan obyek materiil Yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya.

b. Persyaratan obyek formal Yaitu UUPA sebagai pedoman atau dasar dalam

penyusunan hukum agraria nasional.

Berdirinya cabang ilmu hukum agraria kiranya menjadi sebuah tuntutan atau

keharusan, karena:

a. Persoalan agraria mempunyai arti penting bagi bangsa dan negara agraris.

b. Dengan adanya kesatuan/kebulatan, akan memudahkan bagi semua pihak

untuk mempelajarainya.Disamping masalah agraria yang mempunyai sifat

18
religius, masalah tanah adalah soal masyarakat bukan persoalan

perseorangan.

D. Contoh Kasus Hukum Agraria

Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H.

Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada

tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi

proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah

milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah

asli seperti girik.

Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga

DPR pun turun tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang

menempati tanah meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak

manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT Portanigra,namun tiba-tiba

saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000

warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya tanah milik warga,

tanah milk negara yang di atasnya terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosialpun

masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30

tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, dimana warga meruya

sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan

Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan

kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya

mengeluarkan sertifikat tanah yang masih bersengketa.

19
Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu

antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44

Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi

tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan

digugat secara perdata (1996).

Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah

kurun waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang,

baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti

personelnya sudah silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun

kewenangan atas tanah meruya tersebut. Mereka merasa telah menjalankan tugas

dengan baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau

disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya.

Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan

sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah

penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah banyak berubah. Paradigma

masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan berhadapan

dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh

sertifikat tanah.

Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat

pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN) yang bisa menerbitkan

sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak

serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan

MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun

20
kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan

sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata

lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.

Penyelesaian kasus sengketa tanah meruya

Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah

pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga

sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati

tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat

jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.

Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra

hanya bisa mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus

Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli

langsung hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang

berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan,

21
pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan

Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan

pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu

dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan

agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat

peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah

yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan

dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam

penulisan ataupun pembahasan serta penjelasan kurang jelas, kami mohon maaf.

Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.

Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga makalah ini bermanfaat bagi

kita semua. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian dan pastisipasinya

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin & Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada,
Imam sudiyat, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty
Satjipto Raharjo, 1954, Hukum dan masyarakat, Bandung: Angkasa.

22
Muhammad, Bushar,Asas- asas Hukum Adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1977.
Wiratama, I Gede, Hukum Adat Indonesia: Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005

23

Anda mungkin juga menyukai