Jurnal Syok Perdarahan Trauma
Jurnal Syok Perdarahan Trauma
Oleh :
Alvin Andrean Jiwono
C11109115
Pembimbing :
dr. M. Farid
Supervisor :
dr. Ratnawati, Sp.An
Bahwa BENAR telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Anestesi, Perawatan Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Supervisor Pembimbing
Abstrak
Beberapa permasalahan telah meningkat mengenai kelayakan prinsip klasik resusitasi
kristaloid yang agresif pada syok perdarahan akibat trauma. Isu ini membahas kemajuan yang
mengarah ke perubahan protokol departemen emergensi tentang resusitasi dari status syok
termasuk literatur terbaru mengenai paradigma terbaru pada penanganan syok perdarahan
trauma yang kebanyakan dikenal sebagai resusitasi pengendalian kerusakan. Tujuan dan titik
akhir dari resusitasi dan pembahasan tentang pilihan cairan utama didiskusikan, bersama
dengan trauma koagulopati dan penanganannya, bagaimana mengenali syok hemorragik pada
cedera kepala akibat trauma dan terapi farmakologi terbaru untuk syok hemorragik.
Kesimpulan utama termasuk penggunaan asam traneksamat pada semua pasien dengan
perdarahan tidak terkontrol (Kelas I), pengaplikasian protokol transfusi masif dengan
perbandingan antara produk darah (Kelas II), peenghindaran resusitasi kristaloid dalam
volume besar (kelas III), dan penggunaan sesuai dengan hipotensi permisif (kelas III).
Pemilihan cairan untuk resusitasi awal tidak ditunjukkan untuk mempengaruhi pengeluaran
dari trauma (kelas I).
Presentasi kasus
Di tengah jaga malam Sabtu, pasien masuk ke rumah sakit dengan mengendarai mobilnya
sendiri dengan luka tusuk pada punggung kiri atas. Laki-laki 19 tahun ini mengatakan bahwa
dia sedang dalam perjalanan ke gereja ketika dia dihadang oleh 2 orang yang menikamnya.
Dia mengatakan bahwa dia dapat lari ke suatu tempat untuk menghindari mereka. Ditemukan
pasien dalam keadaan sadar namun lesu. Pasien dapat berbicara normal dan jalan napasnya
paten. Bunyi napas kedua paru simetris. Tanda-tanda vital berupa nadi 140x/menit, tekanan
darah 80/50 mmHg, napas 20 x/menit, suhu 36,1 C, SpO2 100%. Pasien melaporkan hanya
terdapat satu titik luka dan ketika pakaiannya dibuka, tidak ada tanda trauma lain yang
ditemukan. Nadi perifer teraba dan saat diinspeksi, lukanya tampak mengalami sedikit
perdarahan. Pemeriksaan FAST negatif. Dua IV 18 G dipasang, hasil lab diambil, dan 2L
ringer laktat dimasukkan. Tekanan darah pasien meningkat dengan cepat menjadi 110/75
mmHg, dan pasien mulai mengeluhkan sulit bernapas. Foto thorax x-ray menunjukkan
adanya hemothoraks yang besar, dan tekanan darah pasien turun menjadi 75/55 mmHg.
Setelah 50 menit kemudian, emergency medical services (EMS) tiba dengan pejalan kaki
yang ditabrak oleh mobil. EMS mengatakan bahwa laki-laki berusia 24 tahun tersebut
merupakan korban tabrak lari di mana penabrak meninggalkannya setelah menabrak dan
menjatuhkannya dengan mobil. Pasien ditemukan dalam keadaan terbangun dan marah,
mengeluhkan nyeri pada kuadran kanan atasnya. Pasien berada di atas back board,
mengenakan collar, dan terdapat memar pada dada kanan dan abdomen. Jalan napasnya
terbuka dan suara napasnya simetris kiri-kanan. Tanda-tanda vital pasien tersebut: denyut
nadi 125x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, napas 20 x/menit, suhu 36,6 C dan SpO2
94%. Menurut EMS, pasien dalam keadaan hipotensi saat mereka tiba di lokasi, dengan
tekanan darah 80/40 mmHg, namun dengan cepat meningkat setelah dilakukan pemberian 2L
kristaloid dalam perjalanan. IV line kedua dipasang dan hasil lab diambil. Pemeriksaan FAST
menunjukkan adanya hemoperitoneum. Pasien kemudian mengalami diaforesis dan tekanan
darahnya sekarang menjadi 75/40 mmHg. Perawat menanyakan apakah ingin dipasangi 2L
kristaloid lagi.
Pendahuluan
Resusitasi dari kondisi syok merupakan bagian utama dari kedokteran kegawatdaruratan.
Dalam beberapa tahun terakhir, gold standar terpai adalah pemulihan secara cepat volume
sirkulasi dengan larutan kristaloid ke normal. Penelitian selama 30 tahun terakhir
menghasilkan peningkatan signifikan dalam terapi syok dengan berbagai penyebab, termasuk
terapi untuk syok sepsis, menggunakan variasi tujuan awal terapi yang dikemukakan pertama
kali oleh Rivers et al.1 Namun, semua tipe syok tidaklah sama dan perbedaan penyebab
membutuhkan pendekatan yang berbeda. Kehilangan intravaskular yang berasal dari third
spacing, seperti sepsis atau pankreatitis, utamanya air dan elektrolit. Penggantian kehilangan
secara agresif ini dengan kristaloid sebelum kerusakan irreversible terjadi merupakan
tindakan yang tepat. Sebaliknya, kehilangan yang berasal dari perdarahan termasuk air,
elektrolit, koloid, faktor pembekuan, trombosit, dan sel darah merah. Ditambah adanya
respon imun dan inflamasi akibat perdarahan dan kerusakan jaringan yang berakibat third
spacing, menyebabkan kehilangan lebih lanjut. Kompleksitas dalam mengatasi kehilangan ini
baru saja dimulai untuk dipahami.
Emergency medicine practice fokus pada pengetahuan lebih lanjut tentang perubahan
pokok bagaimana cara kita mengobati pasien trauma dengan syok perdarahan. Bukti yang
paling baik dari literatur menyarankan bahwa kita harus berubah dari paradigma lama yang
digunakan oleh para praktisi emergensi. Berikut pertanyaan menyediakan tuntunan untuk
mengubah dasar:
Metode standar resusitasi saat ini kemungkinan 90% tepat pada pasien dengan trauma.2
Review ini utamanya berniat untuk menunjukkan kebutuhan pada luka-luka kritis pasien
yang dalam keadaan syok hemorragik. Meskipun dalam pusat trauma pendidikan terbesar,
pasien ini jarang ada, terhitung hanya 1% sampai 2% dari semua kasus trauma yang ada. 2
Meskipun demikian, sejak syok perdarahan memimpin prevalensi penyebab kematian,
penggunaan terapi efektif untuk populasi kecil ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup.
Epidemiologi
Keharusan untuk mengendalikan dan mengatasi perdarahan sudah merupakan tantangan sejak
William Harvey pertama kali mengemukakan proses sirkulasi darah pada awal 1600-an.
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada pemuda di US, dan cedera sistem saraf
pusat menjadi penyebab utama trauma yang berhubungan dengan kematian, kehilangan darah
terhitung pada 39% semua kematian yang berkaitan dengan trauma dalam suatu penelitian
dan tetap menjadi penyebab utama kematian yang berhubungan dengan trauma.3 Cairan
fisiologis pertama kali diproduksi pada akhir 1800-an, dan segera setelah itu, resusitasi
kristalloid dengan normal saline ataupun ringer laktat menjadi terapi yang tetap untuk
mengatasi perdarahan. Tipe darah besar ditemukan pada tahun 1900-an dan transfusi
ditambahkan segera setelahnya.
Dalam perang dunia I, dokter bedah mulai khawatir tentang efek negatif dari resusitasi
cairan. Dalam artikel 1918, Cannon dkk mengatakan, “jika tekanan naik sebelum dokter
bedah siap untuk memeriksa perdarahan yang mengambil tempat, darah yang sangat
dibutuhkan dapat hilang.”4 Pemikiran ini juga muncul saat perang dunia II, dan artikel saat
waktu itu membahas celah dari resusitasi cairan yang sebelumnya mengendalikan
perdarahan.5
Di awal 1960-an, pekerjaan yang dilakukan oleh Fogelman dan Wilson6 dan
dikonsolidasi oleh Shires7 dan lainnya menunjukkan bahwa trauma dan perdarahan mengarah
kepada kehilangan volume ekstraselular di luar kehilangan darah dan penambahan kristaloid
untuk penggantian darah dapat mengarah untuk meningkatkan harapan hidup. Sebagai hasil,
pada pertengahan 1960-an, pendekatan terhadapa resusitasi cairan volume besar menjadi
populer. Meskipun perhatian awal, titik pusat dari resusitasi perdarahan menjadi akses awal
intravena dan resusitasi cepat kristaloid. ATLS merekomendasikan infus 2 liter kristaloid,
dan pepatah meramalkan “...sekarang secara umum semua pasien trauma (bukan pasien
syok) diinfus menggunakan 2 hingga lebih larutan RL”8,9
Pada awal1980-an, perhatian baru berkembang menjadi efek samping dari infus
kristaloid dalam jumlah besar. Beberapa menghubungkan dengan efek imunologis dari
perdarahan dan dari cairan yang dipilih untuk resusitasi. Yang lainnya berdasar pada
komplikasi yang berhubungan dengan timing dan volume cairan resusitasi.10-12 Dalam
penelitian oleh Bickel et al pada 1994, 598 pasien hipotensi denggan trauma penetrasi diacak
untuk resusitasi cairan standar atau tertunda. Hasil penelitian menunjukkan angka survival
62% pada yang menerima resusitasi cairan segera dan 70% pada resusitasi yang tertunda
(P=0,04). Lebihnya, hanya 23% dari kelompok resusitasi tertunda memilki komplikasi
postoperasi, dimana 30% dari kelompok standar memiliki komplikasi (P=0,08), dan durasi
rata-rata hospitalisasi lebih singkat dibanding resusitasi tertunda.13 hasil dari penelitian ini
menjadi perdebatan hebat, keduanya karena hasil dan masalah metolodi penelitian.
Kontroversi yang berkembang ini membisikkan Office of Naval Research untuk meminta
Institute of Medicine (IOM) mengadakan review tentang strategi resusitasi cairan.14
rekomendasi dibuat dalam laporan IOM melakukan penelitian dalam dekade terakhir dan
menghasilkan pengertian tentang perdarahan dan penanganannya. Penuntun trauma yang
digunakan militerUSA saat ini menyarakan resusitasi cairan direstriksi hanya pada pasien
dengan syok, sangat dibatasi dalam volume, dan memiliki tujuan spesifik.15
Karena pengetahuan yang luas mengenai trauma yang berhubungan dengan perdarahan,
peneliti mengamati dalam jangka waktu lama statistik pertempuran untuk mengevaluasi
pengukuran kualitas resusitasi. Meskipun pengambilan keputusan mengenai teknik resusitasi
melewati dekade yang berbeda dan tipe konflik sangat menantang, data historik tetap
merupakan beberapa jendela yang berharga dalam perubahan penanganan perdarahan. Secara
umum diakui bahwa kematian dalam tugas menjadi indikator senjata mematikan yang
digunakan dan efektivitas dari pelindung diri. Kematian akibat luka telah dipikirkan untuk
mengukur efektivitas penanganan medis perang, dan case fatality rate(CFR) digunakan untuk
mengukur keseluruhan lingkungan perang yang mematikan. Beberapa penulis mencatat
bahwa persentasi kematian dalam perang dan persentasi kematian akibat luka berubah sedikit
antara perang dunia II dan perang vietnam dan menggunakan bukti ini untuk meberlakukan
pendekatan resusitasi cepat pada perang Vietnam tidak efektif.9 yang lainnya melihat
peningkatan CFR pada konflik ini dan menyarakan peningkatan signifikan dari sistem
penanganan trauma dapat dipertanggung jawabkan.16
Evaluasi dari data Tabel 1 memperlihatkan terjadi timbal balik antara kematian dalam
perang dan kematian oleh luka dalam konflik yang terjadi. Penjelasan terbaik untuk ini
mungkin bahwa luka berat, yang terjadi dulu, dapat meninggal sebelum mencapai
penanganan definitif medis yang sekarang sedang diresusitasi lebih efektif di lapangan dan
dibawa lebih cepat ke rumah sakit perang di mana luka yang mereka alami berubah menjadi
kematian oleh luka. Peningkatan kematian oleh luka dapat menjadi lebih besar jika tidak
dibantu dengan peningkatan resusitasi, penanganan bedah, dan penanganan intesif sejak
perang Vietnam.17 peningkatan dalam resusitasi ini sesuai dengan klinisi emergensi.
Sayangnya, perubahan ini dalam kualitas perawatan diimplementasikan terbatas atau
setengah-setengah dalam rumah sakit umum dan bahkan tak sebanyak pada penanganan
perdarahan non trauma.
Resuscitation Injury
Dalam trauma, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, mengarah pada kehilangan cairan
intravskular ke ruang interstitial. Selain itu, asidosis yang merupakan hasil dari trauma
merusak fungsi jantung. Penanganan pasien ini dengan kristaloid volume besar dapat
menyebabkan pembengkakan sel yang mengarah ke disfungsi sel.18 penelitian pada hewan
menunjukkan kerja kristaloid berhubungan dengan peningkatan aktivitas neutrofil dan
peningkatan marker inflamasi.19,20 respon inflamasi ini dapat menciptakan siklus yang buruk
di mana “...cairan berlebih dan edema menurunkan penggantian cairan dan memperburuk
edema.”10 siklus ini dipikirkan sebagai kerusakan reperfusi, namun sekarang lebih dikenal
sebagai kerusakan resusitasi.21 (lihat gambar 1)
Dua uji coba terakhir pra-rumah sakit mendukung meminimalkan waktu dengan
membatasi intervensi memakan waktu. Sebuah penelitian multiprospektif di Canada
melibatkan 9405 pasien menunjukkan peningkatan mortalitas dengan ATLS ® intervensi di
lapangan saat dibandingkan dengan "scoop and run."26 dalam penelitian retrospektif, Seamon
et al meneliti 180 korban taruma tertusuk yang menjalani ED tracheotomy dan dilaporkan
bahwa prediktor independen satunya kematian adalah jumlah prosedur pra-rumah sakit.27 tiap
prosedur, risiko kematian meningkat 2,63 kali (oods ratio [OR] 0,38, 95% confidence interval
[CI], 0,18-0,79, P<0,0096). Temuan ini tidak dapat diaplikasikan pada daerah keras,
terisolasi, ataupun kondisi perang.
Guideline saat ini menawarkan beberapa rekomendasi Level II yang secara primer dapat
diaplikasikan ke area dengan waktu transport yang singkat. Rekomendasi signifikan yang
pertama adalah akses vaskular yang tidak didapatkan di lapangan, dan terjadi penundaan
penanganan yang pasti. Rekomendasi kedua adalah saat akses mungkin diperoleh perjalanan,
penggunaan cairan harus dibatasi untuk “menjaga vena terbuka”.28
Sebuah studi observasional terbaru besar berusaha untuk mengevaluasi dogma ini, dan
menemukan itu cukup jauh dari tanda.29 Untuk pasien dengan perkiraan perdarahan yang
lebih besar dari 40% (Kelas 4 shock), denyut jantung rata-rata adalah 95 (kisaran interkuartil
80-114), dan median tekanan darah sistolik (SBP) adalah 120 (interkuartil kisaran 98-140).
Dalam penelitian terbaru yang lain, kematian untuk pasien trauma tumpul usia lanjut dengan
SBP awal dari 120 lebih dari 12%.30 Jadi, sementara tanda vital abnormal dapat menunjukkan
bahwa pasien dalam keadaan syok, Tanda-tanda vital normal tidak cukup untuk
mengecualikan kemungkinan. Faktor-faktor seperti mekanisme cedera, (dengan perhatian
khusus terhadap cedera lokal), cedera kepala bersamaan, dan umur pasien semua harus
dipertimbangkan dalam triase awal.
Pasien trauma harus diperhatikan jalan napasnya, pernapasan, dan sirkulasi (ABC) segera
diatasi, dengan evaluasi utama diarahkan untuk mengidentifikasi etiologi syok. Dalam
kebanyakan pusat trauma, identifikasi pasien dalam syok hemoragik akan mengaktifkan tim
trauma, termasuk produk darah, ahli bedah, dan ruang operasi. Di pusat-pusat yang tidak
dilengkapi untuk secara teratur mengelola pasien di syok hemoragik traumatik, kajian cepat
sumber daya dibandingkan kebutuhan harus dibuat. Jika aset yang cukup tidak akan tersedia
pada waktu yang tepat, pemberian awal untuk transfer ke perawatan definitif harus dilakukan.
Sumber perdarahan harus dikontrol, bila mungkin (misalnya, tekanan langsung ke pembuluh
darah), diperkecil ketika praktis (misalnya, membungkus sebuah panggul tidak stabil), dan
cepat dilokalisasi (misalnya, melalui penilaian fokus dan sonografi dalam pemeriksaan
trauma [FAST] atau x-ray dada), sehingga ketika perawatan definitif yang tersedia dapat
diarahkan dengan tepat.
Studi Diagnostik
Tes Laboratorium
Diskusi detail dari tes laboratorium, pada trauma berada di luar lingkup artikel ini. Secara
umum, pasien trauma atau berisiko syok hemoragik memerlukan berikut :
Bedside ultrasound
Pemeriksaan FAST diperlukan untuk semua trauma pasien pada syok hemorragik, eFAST,
yang juga mengevaluasi pneumothorax dan hemothorax lebih sering digunakan. Modalitas ini
menggantikan diagnostic peritoneal lavage (DPL) pada banyak rumah sakit.
Radiografi dada merupakan pemeriksaan pokok untuk menilai pasien trauma dan dapat
dengan cepat mengidentifikasi hemothorax, pneumothoraks, kontusio pulmonal, luka
mediastinum, atau abnormalitas tulang. X-ray pelvis dan cervical harus dilakukan untuk
beberapa pasien. X-ray cervicalpada pasien syok hemorragik memiliki nilai kecil.
Secara umum, CT scans tidak memiliki peran untuk penilaian awal atau resusitasi pasien
trauma pada syok hemorragik.
Penanganan
Cairan apa yang terbaik untuk resusitasi?
Normal Saline
Saline normal telah sering digunakan (dan di banyak institusi, dapat dipertukarkan), dengan
RL untuk resusitasi pada pasien shock hemorragik. Ini telah lama diketahui menyebabkan
asidosis hiperkloremik, terutama bila diberikan dalam jumlah besar volume.39 Baru-baru ini,
sebuah studi oleh Todd dkk membandingkan resusitasi dengan LR ke NS dalam model babi
dengan perdarahan yang tidak terkendali. Hewan diresusitasi dengan NS yang memiliki
kebutuhan volume secara signifikan lebih tinggi (P = 0,04), lebih asidosis (P <0,01), dan
memiliki level fibrinogen lebih rendah (P = 0,02), menunjukkan peningkatan dilutional
coagulopathy.40 Tidak ada studi yang signifikan yang secara langsung membandingkan NS
dengan LR untuk resusitasi dari syok hemoragik. Pada fasilitas yang terus menggunakan NS
sebagai kristaloid utama dalam trauma, strategi yang mempromosikan transisi awal NS ke LR
dalam resusitasi dapat mencegah potensi asidosis, koagulopati, dan hipotermia, lama
dianggap sebagai triad mematikan dari trauma.
Tinjauan sistematis besar dilakukan pada akhir tahun 1990 membandingkan koloid dan
cairan resusitasi kristaloid melaporkan hasil yang berbeda. Schierhout dkk melaporkan
peningkatan risiko absolute mortalitas sebanyak 4% (95% CI, 0% -8%) pada kelompok yang
diobati dengan koloid.42 Di sisi lain, Choi dkk tidak menemukan perbedaan angka kematian
untuk semua pasien, tetapi analisis subkelompok pasien trauma menunjukkan angka kematian
secara signifikan lebih buruk pada kelompok koloid (risiko relatif [RR] 0,39, 95% CI, 0,17-
0,89) .43 Kedua penulis dan komentar berikutnya mencatat bahwa studi yang mendasarinya
memiliki kualitas yang buruk.
Diterbitkan pada tahun 2004, studi evaluasi cairan saline dengan albumin (AMAN)
membandingkan albumin 4% dengan NS. Dalam studi ini, 6997 pasien diacak dan tidak ada
perbedaan signifikan yang dilaporkan dalam risiko kematian (RR 0,99, 95% CI, 0,91-1,09).
Insiden gagal organ, hari perawatan intensif (ICU), hari sakit, hari ventilator, dan hari terapi
ginjal pengganti juga semua sama. Para penulis menyimpulkan bahwa albumin dan saline
harus dipertimbangkan "setara" dalam populasi heterogen pasien dalam ICU.44 Kesimpulan
penting yang lain dari penelitian SAFE adalah bahwa rasio volume intravaskular yang
dibutuhkan dengan albumin dibandingkan dengan NS hanya 1.4:1 . Pada saat itu, komentator
menyatakan bahwa meskipun albumin mungkin sama-sama aman jika dibandingkan dengan
saline, ia menawarkan sedikit manfaat.45 Sebuah tinjauan Cochrane diterbitkan pada tahun
2007, yang termasuk data dari percobaan SAFE, menyimpulkan bahwa pada pasien dengan
trauma, luka bakar, atau mengikuti operasi, koloid tidak dikaitkan dengan penurunan
kematian bila dibandingkan dengan kristaloid dan lebih lanjut menyatakan bahwa
penggunaannya tidak dapat dibenarkan karena mereka lebih mahal.46
Sebuah analisis subkelompok sidang SAFE diterbitkan pada tahun 2007 menemukan
peningkatan mortalitas untuk pasien dengan TBI yang diresustasi dengan 4% albumin (RR
1,63, 95% CI, 1,17-2,26, P = 0,003) .47 Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa
koagulopati dilusi mengakibatkan tingginya level transfusi sel darah merah yang dikemas
(PRBCs) dalam 2 hari pertama postrandomization.48 Mengingat bahwa kematian meningkat
berasal dari analisis subkelompok, maka hal ini harus diperlakukan sebagai pasien suspek.
Namun demikian, tampaknya masuk akal untuk menghindari pemberian albumin pada pasien
dengan TBI.
Sebuah tinjauan Cochrane ialah dibandingkannya larutan koloid untuk cairan resusitasi
termasuk dekstran 70, pati hidroksietil, gelatin dimodifikasi, albumin, dan fraksi protein
plasma. Dalam meninjau 70 percobaan, tidak ada perbedaan mortalitas yang signifikan
ditemukan, dan pengulas tidak dapat mencapai kesimpulan yang jelas tentang efektivitas
koloid yang berbeda. Kualitas data yang mendasari itu cukup buruk, bagaimanapun, bahwa
pengulas tidak dapat baik menyingkirkan atau mendeteksi perbedaan klinis yang signifikan
antara berbagai colloids.49
Saline Hipertonik
Saline hipertonik pertama kali digunakan untuk resusitasi pada perdarahan di tahun 1980.50
Selain ekspansi volume, telah terbukti juga memiliki efek pada imunologi. Dalam satu studi
hewan, HTS memulihkan fungsi sel T yang telah ditekan oleh perdarahan dan ditemukan
dapat menjadi proteksi pada kejadian sepsis berikutnya.51 Lingkungan hipertonik tampaknya
memiliki efek langsung pada respon sitotoksik neutrofil polimorfonuklear, terutama ketika
diberikan pada awal posthemorrhage.52, 53 Tahun 2004, tinjauan Cochrane gagal untuk
menunjukkan perbedaan kematian antara pemberian hipertonik, isotonik, dan hampir isotonik
kristaloid namun dilaporkan bahwa interval kepercayaan yang terlalu lebar untuk
mengeksklusikan perbedaan yang signifikan.54 Meskipun manfaat yang berpotensi dari HTS,
yang menyangkut tentang hipernatremia dan hyperchloremia bertahan. Keprihatinan ini
mengarahkan para peneliti untuk mengembangkan dan menguji kombinasi HSD.37 Penelitian
terbesar yang terbaru tentang pasien syok hemoragik termasuk hubungan HTS bersama
dengan HSD dan dibahas di bawah.
Saline hipertonik juga telah lama digunakan sebagai pengobatan untuk meningkatan
tekanan intrakranial, dan dalam dekade terakhir telah terjadi peningkatan minat dalam larutan
hipertonik sebagai pengobatan awal untuk cedera otak. Pada tahun 2004, Cooper et al
melaporkan hasil uji coba terkontrol secara acak doubleblind dari 229 pasien dengan TBI
parah (Glasgow Coma Scale [GCS] skor <9) yang juga hipotensi. Pasien diacak diberikan
bolus cepat 250 mL baik 7,5% garam atau LR. Tak ada pembatasan pada pemberian cairan
berikutnya. Tidak ada perbedaan yang signifikan baik hasil neurologis, berdasarkan Glasgow
Outcome Scale Extended (Gose), (P = 0,45) atau mortalitas (RR 0,99, 95% CI, 0,76-1,30, P =
0,96). Menariknya, meskipun peningkatan efek hemodinamik yang akan diharapkan dalam
kelompok HTS, kedua kelompok akhirnya menerima total volume cairan pra-rumah sakit
yang sama, median 1,25 L.55
Saline-Dextran Hipertonik (HSD)
Kombinasi saline hipertonik dengan dextran untuk memulai resusitasi cairan pertama kali
diperkenalkan oleh Kramer56 dan Maningas57 pada 1986 dan menjanjikan sebagai cairan
untuk resusitasi. Formula yang saat ini diterima dari HSD adalah 7,5% NaCl dan 6% dextran
70. Sejak 1986, ada sebuah penelitian besar pada resusitasi menggunakan HSD. Meta-analisis
awal untuk membandingkan HSD dengan cairan isotonik menunjukkan peningkatan harapan
hidup menggunakan HSD namun tidak signifikan.58 Baru-baru ini percobaan HSD
dibandingkan dengan placebo (NS) menunjukkan bahwa HSD menurunkan aktivasi neutrofil
dan menurunkan produksi dari mediator inflamasi. Penulis menyarankan bahwa penggunaan
HSD dapat melemahkan disfungsi multiorgan akibat post-trauma. Model hewan
meningkatkan perhatian tentang peningkatan resiko perdarahan dengan HSD, tapi ini
bergantung dari dosisnya.60 Baru-baru ini, Bruttig menunjukkan bahwa kecepatan infus
merupakan elemen penting untuk membatasi perdarahan.61
The Resusitation Outcome Consortium (ROC) berusaha untuk menentukan yang mana
diantara resusistasi dengan HTS atau HSD yang dapat menurunkan kematian. Dalam
percobaan yang dilakukan menggunakan bolus 250 ml saline 7,5% (HTS) dibandingkan
dengan 7,5% saline dengan 6% dextran 70 (HSD) dan plasebo sebagai awal cairan yang
diberikan kepada pasien dengan syok perdarahan. Hasil primer adalah bertahan hidup hingga
28 hari. Hasil sekunder termasuk kebutuhan cairan dan darah dalam 24 jam pertama, insiden
ARDS, disfungsi multiorgan dan infeksi nosokomial. Penelitian awalnya mengharapkan
untuk mendaftarkan lebih dari 3700 pasien tapi dihentikan lebih awal karena sia-sia karena
peningkatan kematian pada HTS dan HSD. Kematian hari ke 28 (74,5% HSD, 73% HTS, dan
74,4% NS) dan semua hasil sekunder adalah sama pada semua ketiga penelitian. Penulis
mendalilkan bahwa karena tidak ada restriksi cairan setelah pengaturan cairan, kematian awal
mungkin berhubungan dengan resusitasi berlebihan.62
Saline-hipertonis dextran juga telah dievaluasi sebagai terapi awal potensial untuk cedera
otak. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pasien dengan cedera otak berat, dengan
memasukkan HSD lebih awal dapat meningkatkan biomarker serum dari cedera otak.63 ROC
mengkonduksi penelitian besar dari pasien cedera otak secara simultan dengan percobaan
pada syok hipovolemik dan dengan terapi yang sama. Ini termasuk bolus 250 mL NS, HTS,
atau HSD. Hasil primer adalah GOSE dan kematian. Penelitian dihentikan lebih awal karena
sia-sia. Analisis data untuk 1331 pasien yang diacak menunjukkan tidak ada perbedaan pada
GOSE (P=0,55) atau kematian 28 hari (74,3% HSD, 75,5% HTS, dan 75,1% NS). Lagi,
meskipun antisipasi lebih besar terhadap efek hemodinamik pada HTS dan HSD tidak ada
perbedaan pada total volume cairan diberikan antara 3 kelompok.64 Dalam waktu sekarang,
tidak ada bukti untuk menyarankan kedua HTS atau HSD memberikan keuntungan signifikan
pada terapi awal pasien dengan cedera otak.
Kesimpulan, data saat ini telah gagal untuk menunjukkan bahwa kristaloid atau koloid
merupakan superior untuk RL pada resusitasi pasien syok perdarahan. Penelitian lebih besar,
saat ini, telah terhambat oleh standar terapi saat ini, dimana pasien secara rutin diberikan
volume besar sebagai tambahan untuk penelitian cairan. Namun, sepertinya cocok untuk
melanjutkan pengguanaan RL sebagai cairan pilihan utama pada pasien syok perdarahan.
Diberikan bahwa RL L-isomer memiliki konsekuensi rendah inflamasi dan imunitas dan
sama tersedia dan harganya mirip dengan RL racemik, ini mungkin pilihan cairan yang paling
cocok untuk pasien syok perdarahan. Lebih lanjut, karena HSD ditunjukkan mendekati
ekuivalen masuk akal juga untuk mempertimbangkan penggunaannya untuk kasus spesifik,
khususnya yang terpenting mudah dibawa. Garis bawah yang menjadi pilihan utama untuk
resusistasi syok perdarahan kemungkinan memilki dampak kecil untuk morbiditas atau
mortalitas.
Telah diketahui sejak PD I bahwa resusiatsi tanpa kontrol perdarahan dapat membahayakan.4
Standar praktek berubah, namun setelah penelitian seminal yang dilakukan pada 1950-an oleh
Wiggers dan lainnya menunjukkan resusitasi cairan agresif dapat meningkatkan harapan
hidup pada hewan percobaan.65 Ini merupakan penelitian besar yang dilakukan pada hewan
yang telah berdarah untuk diperbaiki volume atau tekanan darahnya. Perdarahan kemudian
berhenti dan hewan teresusitasi. Model ini umumnya mengacu pada kontrol perdarahan dan
mirip dengan apa yang akan dilihat, postoperatif, pada pasien trauma. Masalah utama dengan
model ini adalah mayoritas pasien hemorragik muncul ke ED dengan perdarahan tidak
terkontrol. Perdarahan tidak terkontrol maksudnya bahwa perdarahan baik yang akan maupun
yang berulang akibat perburukan koagulopati ataua peningkatan tekanan darah.
Hukum dari resusitasi cairan agresif menunjukkan bahwa teori keuntungan dari
normalisasi ataupun di atas normal tekanan darah & pemberian oksigen jelas. Keuntungan ini
termasuk pembayaran utang oksigen, pembebasan asidosis, dan koreksi defisist cairan
ekstraseluler.7,66 Namun, bukti saat ini (utamanya pada model dengan perdarah tidak
terkontrol) menunjukkan bahwa resusitasi prematur atau agresif dapat menuju ke pelepasan
gumpalan halus dan dilutional koagulopati dengan hasil peningkatan perdarahan dan
kematian. Literatur besar akan ratio cairan dan timing datang dari data hewan.
Sebelum mendiskusikan data manusia untuk strategi resusistasi restriksi, mesti dicatat
bahwa semua strategi yang memperbolehkan hipotensi sangat kontraindikasi dengan pasien
cedera otak. Telah ditunjukkan bahwa bahkan episode tunggal dari penyebab hipotensi
melipatgandakan kematian pada populasi pasien tersebut.73 Meskiupun ada berbagai
perdebatan pada subyek, saat ini, terapi apapun yang menghasilkan hipotensi pada pasien
cedera otak dikontraindikasikan.
Dua perbedaan kecil yang telah dilakukan unutk mencegah gangguan pembekuan dan
dilutional koagulopati. Yang pertama adalah adalah delayed resusitation dimana cairan
ditahan hingga pedarahan benar-benar terkontrol. Yang kedua adalah permissive hypotension
dimana cairan diberikan, tapi tujuan akhir resusitasi tidak kurang dari normotensi.74
Penelitian pada manusia terbesar dari delayed resusitation dilakukan pada 1994 oleh Bickel
menggunakan 598 pasien hipotensi (prehospital sistolik <90) didemonstrasikan peningkatan
angka kematian dari 70% menjadi 62% dengan delayed resusitation (P=0,004) dibanding
dengan resusitasi tradisional.13 Strategi ini juga memiliki satu percobaan non-trauma. Pada
1986, Blair melaporkan bahwa insiden berdarah kembali menurun pada pasien dengan
perdarahan gastrointestinal yang mengalami penundaan transfusi awal (P<0,001).75 Dengan
data relatif pada manusia, review Cochrane datang ke kesimpulan bahwa tidak bukti untuk
atau melawan resusistasi awal pada perdarahan volume tidak terkontrol.76 Kontroversi
terhadap delayed resusitation berlanjut. Data saat ini menunjukkan bahwa pasien dengan
trauma tusuk yang tiba dengan cepat di UGD dengan akses ke perawatan definitif dari
strategi delayed resusitation. Di luar dari sub grup kecil ini, strategi delayed resusitation tidak
memilki cukup bukti untuk membantu implementasinya.
Diskusi dari resusitasi hipotensi lebih rumit dibandingkan dengan delayed resusitation.
Untuk mendeskripsikan strategi resusitasi terbatas, penting untuk menentukan tujuan akhir
dari strategi tersebut. Status perfusi tipikalnya diakses oleh parameter di seluruh tubuh seperti
status mental, denyut jantung, tekanan darah, dan denyut nadi yang dapat dipalpasi. Beberapa
data menunjukkan bahwa pengukuran tersebut buruk dengan perfusi jaringan.77 Parameter
lainnya, seperti defisit base dan laktat, direkomendasikan untuk menuntun resusitasi untuk
pasien yang telah menerima kontrol defenitif perdarahan.78
Dalam percobaan acak terkontrol pada manusia, Dutton memilih target sistolik dari 70
mmHg. Mereka memilih tekanan darah sebagai tujuan akhir resusistasi mereka karena telah
tersedia dan umumnya digunakan untuk membawa terapi cairan dalam praktek standar.
Mereka mengunakan teknik bolus 250-500 mL untuk mengobati hipotensi. Sayangnya,
mereka menemukan bahwa tekanan darah sering berfluktuasi dengan bolus, membuatnya
sulit untuk mempertahankan nilai yang diinginkannya. Sebagai hasil, dari 110 pasien yang
diacak, rata-rata sistolik 100mmHg pada protokol terbatas dan 114 mmHg pada standar
kohort (P<0,001). Harapan hidup setara pada 92,7% dengan 4 kematian setiap grup.79
Pada satu-satunya penelitian dari tipenya, Sonden menginvestigasi tekanan darah yang
diperlukan untuk menyebabkan perdarahan kembali pad babi dengan kerusakan vaskuler.
Mereka menemukan poin perdarahan kembali yang dapat dipercaya pada tekanan sistolik 94
mmHg & tekanan darah arteri 64 mmHg.80 Karena hasil ini, tidak mengejutkan bahwa ada
perbedaan kecil ditemukan pada penelitian oleh Dutton. Mengumpulkan semua hal tersebut
bersama-sama, mungkin masuk akal untuk mengusahakan target sistolik antara 70-90 mmHg
atau tekanan darah arteri mendekati 65.
Penelitian pada manusia saat ini menuju pada hasil lain dari kematian pada penggunaan
cairan kristaloid. Pada percobaan restriktif melawan penggunaan cairan perioperatif yang
bebas, grup cairan terestriksi secara signifikan menurunkan komplikasi pulmonal dan
menurunkan angka kematian.81 Insiden ARDS dicatat untuk penurunan secara signifikan
pada 5 tahun penelitian observasi pada 1913 dengan pasien pada trauma mayor. Penulis
menegaskan penyebab, namun mereka mendalilkan bahwa penggunaan strategi pelindung
paru dan penggunaan signifikan pada penggunaan cairan awal dari 3,9 L menjadi 3,2 L
(P<0,001) mungkin menjadi faktor dalam peningkatan ini.82
Guideline militer US saat ini menunjukkan bahwa indikator terbaik dari syok perdarahan
adalah pemikiran abnormal (tidak adanya trauma otak) dan nadi perifer yang lemah dan
hilang.15 Pentingnya, ini didesain untuk mengidentifikasi pasien yang hipotensi mendalam
dan memerlukan intervensi segera. Lebih dari itu, cairan tidak direkomendasikan untuk
pasien yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Untuk pasien yang tidak memenuhi kriteria
syok, militer merekomendasikan bolus Hextend, yang dapat diulangi sekali setelah 30 menit
jika tidak ada respon atau responnya Cuma sementara. Hextend adalah kristaloid
seimbang/larutan koloid yang tidak didukung oleh literatur. Ini dipilih untuk alasan taktis
bagi kristaloid untuk dimengerti bahwa HSD tidak lagi tersedia.83
Militer Israel sering mengoperasi di lingkungan dengan waktu transpor dan sumber yang
dekat menyerupai ED masyarakat US saat ini. Guideline mereka melarang resusitasi cairan
agresif untuk syok perdarahan tak terkontrol. Mereka lebih merekomendasikan pendekatan
“scoop and run” untuk pasien dengan waktu transpor <1 jam.84
Kesimpulannya, mayoritas luas pasien dengan perdarahan tak terkontrol, tidak ada bukti
level I untuk penuntun, namun bukti pendukung terbaik yang ada mendukung yang
tercantum:
Penting untuk diakui bahwa resusitasi pasien pada syok perdarahan harus individual
Pasien resusitasi dengan cedera otak menuju ke tensi normal secepat mungkin
Ketika kontrol perdarahan telah tercapai pada ED, tujuan resusitasi adalah untuk
normalisasi parameter fisiologis seperti tekanan darah dan denyut nadi tapi juga
harusdiarahkan pada pembersihan laktat dan normalisasi defisit basal
Pasien dengan trauma penetrasi ke dada atau abdomen yang memerlukan perawatan
definitif segera, mungkin menguntungkan dari delayed resusitation.
Rekomendasi terbaik saat ini adalah resusitasi pasien trauma hanya ke poin dimana
mereka mengadekuatkan pemikiran dan nadi perifer yang korespon ke tekanan
sistolik sekitar 80 mmHg.
Pada pasien yang cedera sangat berat dengan triad lethal yaitu hypothermia, asidosis dan
koagulopati sudah lama dikenali. Pengontrolan secara bedah yang diterima secara luas di
akhir tahun 1990-an, tumbuh dari kebutuhan untuk meminimalkan faktor-faktor ini dan telah
berhasil menurunkan angka kematian pada pasien terluka parah. 85 Pada tahun 2002,
MacLeod dkk melaporkan bahwa 28% dari pasien trauma yang koagulopati pada saat
kedatangan ke pusat trauma dan dengan PT dan PTT yang abnormal adalah prediktor
independen kematian, dengan rasio odds yang disesuaikan 1,35 untuk PT (95% CI, 1,11-1,68
, P <0,001) dan 4,26 untuk PTT (95% CI, 3,23-5,63, P <0,001) .86 (Lihat Gambar 2).
Beberapa mekanisme menjelaskan bagaimana pasien dapat tiba di UGD yang sudah
mengalami koagulopati . Yang pertama adalah bahwa cedera jaringan berperan langsung
dalam pengembangan koagulopati . Kerusakan jaringan dapat memulai terjadinya koagulasi
dan jalur fibrinolitik dan dapat mengakibatkan konsumsi trombosit dan faktor pembekuan .
Koagulopati telah terbukti berkaitan erat dengan keparahan cedera dan tampaknya
disebabkan oleh hipoperfusi dan menghasilkan hyperfibrinolysis.87-89 Hemodilusi , yang
mungkin menjadi produk isi ulang fisiologis pembuluh darah , administrasi kristaloid , dan
bahkan transfusi PRC , juga merupakan penyebab utama koagulopati pada korban hemoragik
shock.90 Hipotermia adalah umum pada pasien trauma , dan bahkan hipotermia ringan dapat
memiliki efek yang signifikan pada fungsi trombosit dan aktivitas faktor pembekuan.91
Sebuah intervensi sederhana untuk membantu mencegah atau mengobati hipotermia adalah
dengan menggunakan cairan yang hangat . Acidemia hampir universal dalam syok
hemoragik dan selanjutnya dapat mengganggu fungsi protease plasma . Dalam model hewan ,
hanya membalikkan asidosis dengan pemberian bikarbonat tampaknya tidak cukup untuk
membalikkan koagulopati yang disebabkan oleh acidosis.92
Memahami bahwa koagulopati trauma sudah hadir bagi banyak pasien pada saat
kedatangan mereka kepada manajemen dampak ED dalam pengobatan koagulopati syok
hemoragik tidak lagi menjadi tanggung jawab hanya ahli bedah dan intensivist, tapi memulai
pengobatan juga dalam keadaan darurat lingkup klinisi. Perawatan ini merupakan bagian
penting dari apa yang kemudian dikenal sebagai DCR.
Pengobatan standar syok hemoragik akut seperti yang didefinisikan oleh ATLS ®
berikut infus kristaloid dengan PRC , tetapi menghambat penggunaan rutin plasma ,
trombosit , dan cryoprecipitate.8 Administrasi produk darah bukanlah intervensi yang tidak
membahayakan. Efek samping termasuk infeksi , penekanan kekebalan seluler , hiperkalemia
, hipokalsemia , toksisitas sitrat , dan mistransfusion.93 Ini juga telah menunjukkan bahwa
strategi transfusi liberal dapat mengakibatkan peningkatan angka kematian di beberapa
patients kritis.94 , 95 tahun 2003 , Hirshberg et al menganalisis pedoman transfusi masif
menggunakan simulasi komputer dan menemukan bahwa protokol yang ada meremehkan
pengenceran faktor pembekuan pada pasien perdarahan hebat . Mereka direkomendasikan
rasio 1:1,5 untuk plasma dan 1:1.25 untuk platelets.96 Secara teoritis , jika pelaksanaan rasio
ini berhasil , itu akan mengurangi perdarahan dan mungkin mengurangi kebutuhan untuk
transfusi dan akan meningkatkan angka kematian .
Sejumlah penelitian telah melaporkan peningkatan signifikan dalam kelangsungan hidup
pasien yang diresustasi dengan fresh frozen plasma ( FFP ) rasio - PRBC dari 1:1.97-99 Snyder
dkk menantang temuan ini , bagaimanapun , mencatat bahwa sebagian besar peningkatan
mortalitas dalam 24 jam pertama dan mewakili kelangsungan hidup biasa.10 penelitian yang
sama tidak menemukan keuntungan yang spesifikpada rasio 1:1 pada pasien yang selamat
pada perawatan ICU.101 Sejauh mana rasio produk darah bertanggung jawab atas perbaikan
dalam kelangsungan hidup masih belum jelas , tetapi protokol terbaru tampaknya memiliki
rasio dekat dengan yang direkomendasikan oleh Hirshberg .
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa pelaksanaan MTP dengan transfusi
rasio tetap dapat meningkatkan angka kematian pada level yang sebelumnya dianggap berasal
dari peningkatan plasma use.102 Ada 3 uji kasus kontrol alami baru-baru ini di mana pasien
yang diobati dengan MTP baru dilaksanakan diikuti secara prospektif dan dibandingkan
dengan kontrol cocok sejarah . Cotton dkk menemukan penurunan yang signifikan dalam
kematian pasien yang resusitasi dilakukan sesuai dengan MTP ( RR 0,26 , 95 % CI , 0,12-
0,56 , P = 0,001 ) .103 Selanjutnya, sementara ada peningkatan produk darah yang digunakan
sebelum masuk ke ICU , penggunaan jumlah PRBC ( P = 0,695 ) dan FFP ( 0,595 ) adalah
serupa dan penggunaan kristaloid telah menurun secara signifikan ( P = 0,002 ). Dente dkk
melaporkan peningkatan yang signifikan dalam angka kematian dari 36% menjadi 17 % (P =
0,008 ) dan penurunan berarti penggunaan kristaloid dari 9,2 L menjadi 6,9 L ( P = 0,006 )
.104 Riskin dkk sama melaporkan kematian menurun dari 45 % menjadi 19 % ( P = 0,02 ) .
Penelitian ini juga melaporkan secara signifikan lebih cepat untuk sel darah merah pertama
crossmatched , FFP , dan platelets.102 Berdasarkan bukti ini, pelaksanaan MTP di setiap
lembaga yang memperlakukan pasien dalam syok hemoragik dianjurkan . Untuk ringkasan
MTP , lihat Tabel 4.
Duchesne dkk melaporkan studi pertama DCR dalam literatur sipil pada tahun 2010 . Ini
merupakan suatu studi retrospektif dari 196 pasien ditemukan peningkatan yang signifikan
dalam mortalitas 30 hari dari 73,6 % menjadi 54,8 % ( P < 0,009 ) , dan , setelah penyesuaian
untuk pembaur , ditemukan rasio kemungkinan kematian sebesar 0,19 ( 95 % CI , 0,05-0,33 ,
P = 0,005 ) mendukung DCR atas resusitasi yang konvensional. Tidaklah mengejutkan ,
pasien DCR menerima secara signifikan dalam jumlah yang lebih dari FFP dan trombosit dan
lebih secara signifikan dari kristaloid . Bahkan , rata-rata volume kristaloid yang diberikan di
UGD menurun dari 4,7 L menjadi 1,1 L ( P = 0,0001 ) 0,105
Sejumlah terapi lain telah diajukan untuk mengatasi koagulopati dan meminimalkan
kebutuhan transfusi . Sebuah tinjauan Cochrane baru-baru rekombinan faktor VIIA untuk
pengobatan pendarahan tidak menemukan peningkatan mortalitas dan tidak
merekomendasikan penggunaannya.106 Di sisi lain , tinjauan Cochrane pada penyelamatan sel
, atau Autotransfusi , menyimpulkan bahwa ada bukti yang cukup untuk mendukung
penggunaannya dalam beberapa keadaan . 107 Meskipun ada indikasi potensial yang relative
sedikit untuk pasien syok hemoragik , satu kesempatan yang jelas untuk mempertimbangkan
pendekatan ini adalah untuk pasien dengan hemothorax yang besar .
Ada 3 rekomendasi utama tentang pengelolaan koagulopati trauma:
Mulailah pengobatan koagulopati trauma terkait segera setelah pasien tiba di UGD.
Mengimplementasikan MTP yang meminimalkan penundaan dalam administrasi
produk darah yang harus diberikan dalam rasio tetap.
Sementara DCR membutuhkan studi yang lebih, literatur awal sangat menjanjikan.
Chart Koagulopati
Hipotermia
Asidosis
Penggantian cairan Syok
Dilusi Hipoperfusi
koagulopati
Hiperfibrinolisis
Inflamasi
Pada 2010, percobaan acak double-blind CRASH-2 placebo kontrol dengan perspektif
kualitas tinggi telah dilakukan untuk mengevaluasi TXA pada tatalaksana perdarahan
signifikan. Asam traneksamat adalah antifibrinolitik yang menghambat aktivitas plasminogen
dan aktivasi plasmin dan telah ditunjukkan sebelumnya untuk mengurangi perdarahan pada
pasien yang akan mengalami operasi elektif. Pada penelitian ini, 20.211 pasien dari 40 negara
yang acak menerima perawatan standar atau TXA, 1 gram tiap 10 menit diikuti 1 gr infus tiap
8 jam. Kematian dalam grup terapi menurun dari 16% ke 14,5% (RR 0,91; 95%, CI 0,85-
0,97; P=0,0035) dan resiko kematian dari perdarahan dikurangi dari 5,7% ke 4,9% (RR 0,85;
95% CI,0,76-0,96; P=0,0077). Lebih dari itu, tidak ada perbedaan dari episode oklusi
vaskuler.108
Asam traneksamat tidaklah mahal, review saat ini, mengkalkulasi biaya $6300/nyawa
yang selamat dari penggunaan TXA pada semua militer yang menerima produk darah.109
Berdasarkan bukti ini, penggunaan TXA pada perdarahan direkomendasikan. Strategi yang
beralasan dalam pemberian TXA pada semua pasien dengan perdarahan tak terkontrol yang
memerlukan transfusi.
Kondisi tertentu
Tertulis sebelumnya, resusitasi hipotensi tidak diindikasikan pada pasien dengan trauma otak.
Juga, jika kontrol perdarahan memungkinkan dalam ED (contoh luka tusuk ekstremitas)
pasien harus diresusitasi ke normotensi dengan tujuan menormalisasi laktat dan/atau defisit
basal. Pertimbangan hati-hati harus diberikan pada pasien dengan fungsi platelet abnormal
atau koagulopati. Ketika isu ini harus ditujukan pada pasien trauma yang syok perdarahan,
sekarang tidak ada pendekatan ideal yang dilakukan
The "Holy grail" resusitasi dari syok hemoragik adalah pengembangan pengganti darah.
Sampai saat ini, tidak ada upaya yang telah berhasil. 115 Sejumlah terapi lain untuk syok
hemoragik telah diusulkan dan menunjukkan setidaknya beberapa manfaat yang berpotensi
pada model binatang, termasuk vasopresin dosis rendah, asam valproik, dan androstenediol.
116-118
Terapi ini bukan hanya tidak terbukti, tetapi mereka sebagian besar belum teruji.
Penempatan (Disposisi)
Semua pasien dalam syok hemoragik harus dipindahkan ke ruang operasi, dirawat di ICU,
atau dipindahkan ke tempat dengan fasilitas yang tepat
Ringkasan
Syok hemoragik terus menjadi penyebab kematian yang terkemuka di seluruh dunia.
Kemajuan dalam manajemen memberikan potensi untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Ada beberapa studi yang dirancang dengan baik yang menyediakan Level I bukti
atas yang menjadi dasar rekomendasi, namun, ada perkembangan dari literatur yang
mendukung praktek-praktek berikut. (Untuk Level, lihat halaman 9).
Perawatan pra-rumah sakit untuk pasien dalam syok hemoragik diarahkan pada
transportasi yang cepat untuk perawatan definitif. Disarankan bahwa pelayanan medis
darurat untuk menghindari prosedur yang memakan waktu di lapangan (Level
evidence II27).
Pilihan Cairan belum terbukti mempengaruhi hasil pada trauma (Level evidence I62).
Keuntungan teoritis mendukung penggunaan cairan jenis-L LR (Level evidence III37).
Hindari volume besar kristaloid resusitasi (Level evidence III72).
Untuk perdarahan yang tidak terkendali tanpa adanya TBI, Target resusitasi untuk
SBP antara 70 dan 90 mm Hg atau pemikiran normal dan denyut nadi perifer teraba
(Level evidence III15).
Disarankan bahwa semua rumah sakit yang mengantisipasi merawat pasien dengan
syok hemoragik lembaga yang MTP dengan rasio tetap (Level evidence II102-104).
Berikan TXA ke semua pasien dengan perdarahan yang tidak terkendali yang
membutuhkan transfusi (Level evidence I108).
Kesimpulan Kasus
Pasien yang ditikam di punggung atas berada pada keadaan syok hemoragik eksaserbasi
oleh resusitasi dengan tekanan darah normal, dan mungkin hemodilusi, dengan kristaloid.
Anda mengaktivasi MTP dan memasukkan selang dada, yang dikeringkan 1500 mL darah
segera. Anda akan dianggap sebagai autotransfuser, memiliki satu yang telah tersedia.
Pasien diberi dosis TXA dan, pada evaluasi ulang, masih tetap terjaga, dengan denyut nadi
perifer teraba. Selanjutnya administrasi kristaloid dihindari, tekanan darah pasien menurun,
dan denyut nadi perifer menjadi melemah. Angsuran pertama PRC dan FFP diberikan
kepada pasien melalui cairan hangat, dengan peningkatan tekanan darah 90/60 mmHg.
Dokter bedah tiba dan setuju untuk membawa pasien ke ruang operasi. Karena pasien dalam
keadaan hangat dan koagulopati nya telah ditangani, iamelalui operasi dan dipulangkan
dari rumah sakit pada hari ke 4 setelah cedera.
Pasien kedua, yang merupakan korban dari trauma tumpul , juga dalam syok hemoragik
dengan hemoperitoneum. Anda mengaktifkan lagi MTP dan memberi pasien sebuah dosis
dari TXA . Konsultasi bedah ditunda oleh pasien sebelumnya. Produk darah dibawa ke sisi
tempat tidur , dan administrasi kristaloid yang sangat terbatas . Tekanan darah pasien tetap
stabil sekitar 80/50 mm Hg , dan ia terus waspada , dengan denyut nadi perifer yang baik .
Pemeriksaan laboratorium awal kembali dan menunjukkan hemoglobin normal , tapi PT
yang meningkat . Anda memutuskan untuk memberikan transfusi perlahan dia dengan 2 unit
PRC dan 2 unit FFP melalui cairan hangat . Ini membawa tekanan darah pasien hingga
100/60 mm Hg dan denyut jantung turun sampai 100 denyut per menit . Pasien tetap stabil
sampai konsultasi bedah tiba . Karena keadaannya menunjukkan stabilisasi , ia menjalani
CT scan , yang menunjukkan cedera hepar grade 3 dengan muka memerah . Dia dibawa ke
ruangan angiografi dan pada heparnya yang luka terdapat emboli . Pasien dimonitor di ICU
dan keadaannya membaik , tidak membutuhkan lagi operasi . Dia akhirnya pulang ke rumah
setelah 1 minggu di rumah sakit .
Pada akhir jam shift yang sibuk , Anda mencerminkan pada perawatan luar
biasayang Anda mampu lakukan untuk 2 pasien sakit kritis . Berbeda dengan " buku resep "
Anda yang diberikan kepada anda untuk merawat pasien trauma sebagai penduduk , Anda
mampu mengelola kompleksitas masalah mereka dengan tegas . Di tangan orang yang
kurang mampu , pasien ini mungkin tidak akan membaik . Anda juga memutuskan untuk
memanggil direktur EMS setempat untuk membahas pembaharuan protokol mereka.
Referensi
Kedokteran berbasis bukti membutuhkan penilaian kritis dari literatur berdasarkan
metodologi studi dan jumlah mata pelajaran. Tidak semua referensi yang sama-sama kuat.
Temuan uji coba besar, prospektif, acak, dan buta harus membawa berat lebih dari sebuah
laporan kasus.