Anda di halaman 1dari 157

PROBLEMATIKA DAN TANTANGAN PEMECAHAN MASALAH

PROFESI KEPNDIDIKAN DI ERA DIGITAL

Disusun
Oleh

Sandra Ibrahim
441416040

Program Studi Pendidikan Kimia


Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Gorontalo
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat
limpah karunia nikmatNya saya dapat menyelesaikan paper yang bertajuk “ Problemmatika
dan tantangan pemecahan masalah profesi kependidikan diera digital “ dengan lancar.
Penyusunan paper ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan.

Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam
menyelesaikan paper ini.

Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan paper ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga
penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.

Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga paper ini dapat bermanfaat untuk
masyarakat umumnya, dan untuk saya sendiri khususnya.

Gorontalo, Februari 2018

Penyusun
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah tonggak perkembangan sebuah bangsa, melalui pendidikan yang


berkualitas tentu berkorelasi dengan daya saing sebuah bangsa. Salah satu elemen penting
dalam pendidikan adalah ketersediaan tenaga guru. Sebagai bagian dari elemen penting
dalam dunia pendidikan, profesionalitas peran guru dalam proses pembelajaran, pengajaran
dan pendidikan memiliki pertalian dengan peningkatan mutu pendidikan.Menanggapi
kondisi tersebut, telah ditempuh berbagai upaya pembenahan sistem pendidikan dan
perangkatnya di Indonesia terus dilakukan. Akibatnya muncul beberapa peraturan pendidikan
untuk saling melengkapi dan menyempurnakan peraturan- peraturan yang sudah tidak
relevan lagi dengan kebutuhan saat ini. Termasuk memberlakukannya UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional UU No 14 Tahun 2014 tentang Guru dan Dosen.

Disisi lain, tantangan datang dari perspektif bahwa kualitas pendidikan menjadi
tuntutan global untuk kemudian menyiapkan sumberdaya yang dapat bersaing dengan dunia
global. Tanggung jawab dan peran seorang pendidik amatlah berat dan tidak semudahapa
yang diucapkan, sebab pendidik adalah kader-kader bangsa yang serba unik dan kompleks
dan seorang pendidik harus siap dalam menghadapi perubahan dalam pendidikan di masa
depan.Pentingnya proses belajar mengajar dalam kelas ditengarai sangat ditentukan oleh
bagaimana seorang guru bersikap didalam kelas. Begitu pentingnya pola mengajar bagi
seorang guru ini seringkali disebutkan secara khusus dalam kebijakan -kebijakan pendidikan
kontenporer di Indonesia yang terkait dengan beban kerja guru yang selama ini kita kenal.
Karena itu, tulisan sederhana ini ingin memberikan eksplorasi mengenai profesionalisme
guru dan tantangan kedepan dalam peningkatan mutu pendidikan.

Tulisan singkat ini berusaha mengkaji peran dan kompetensi guru dalam
meningkatkan mutu pendidikan di era global. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan
sumber daya pendidik yang berkualitas dalam rangka menyongsong era kedepan yang
semakin ketat,dalam hal ini pendidik yang merupakan agent pengajaran, bagaimana
pendidik mampu dan bisa bukan hanya fasilitator akan tetapi juga sebagai panutan untuk
peserta didiknya. Selain itu juga pendidik sebagai abdi negara dituntut juga harus mampu
menjadi abdi yang baik bagi negara, segala aturan dan tuntutan dari pemerintah hendaknya
mampu terakomodir dengan baik oleh setiap pendidik. Dengan begitu pendidik akan menjadi
baik dari segi tugas mengabdinya kepada peserta didik dan baik juga sebagai abdi
pemerintah, sehingga apapun tantangan yang akan ada di depan apabila kedua aspek tersebut
berjalan beriringan pada setiap pendidik, profesionalisme pendidik akan mampu terwujud.
Melalui tulisan ini akan sedikit dikupas menggenai profesionalisme guru dan tantangan
kedepan yang akan dihadapi oleh guru.
A. Rasional
 Problemmatika Kependidikan

Dewasa ini masyarakat sering mempertanyakan kualitas pendidik yang tidak sebaik
dulu. Padahal instruktur maupun suprastruktur pendidikan sekarang ini boleh dibilang jauh
lebih maju bila disbanding zaman dulu. Pelatihan guru sering dilakukan, berbagai alat dan
buku telah tercukupi, namun ternyata tidak berpengaruh sama sekali. Hal tersebut
menimbulkan penilaian dari masyarakat antara biaya, tenaga dan waktu yang dikeluarkan
dengan dampak yang dihasilkan belum seimbang. Lalu dimana letak kesalahannya? Mengapa
input yang begitu banyak dan berharga tidak berpengaruhsecara signifikan terhadap produk
pendidikan?

Slamat mengatakan bahwa penyebab rendahnya kualitas pendidik adalah karena


aspek pengelolaan atau manajemen. Secara internal hal tersebut disebabkan oleh penerapan
pendekatan input-output yang berliku. Terlalu mengendapkan aspek input pada penyelesaian
hampir semua kasus pendidikan disekolah. Seakan mutu pendidikan akan meningkat dengan
sendirinya apabila sejumlah input ditambahkan. Misalnya kekurangan guru, ditambah guru.
Belum punya laboratorium, dibangun laboratorium dan seterusnya. Ada satu faktor yang
terlupakan, yaitu bagaimana berbagai input tersebut disimplikasikan sedemikian rupa. Seakan
proses belajar mengajar didepan kelas akan dengan sendirinya menjadi baik apabila gurunya
telah ditatar, kualifikasinya ditingkatkan dan peralatan yang mendukung pada proses belajar
mengajar telah dilengkapi.

 Tantangan kependidikan
Era globalisasi telah menjadi sebuah realitas yang harus dihadapi oleh masyarakat
dan bangsa Indonesia. Perubahan yang berlangsung begitu cepat dan munculnya berbagai
tantangan sebagai dampak globalisasi harus dihadapi dan diselesaikan baik pada tingkat
wacana maupun kebijakan aksi. Pendidikan mau tidak mau terlibat di dalamnya dan dituntut
untuk mampu memberikan kontribusi yang signifikan.
Di era globalisasi ini, dunia pendidikan pada umumnya sedang menghadapi berbagai
tantangan, antara lain: pertama, globalisasi di bidang budaya, etika dan moral sebagai akibat
dari kemajuan teknologi di bidang transportasi dan informasi. Kedua, diberlakukannya
globalisasi dan perdagangan bebas, yang berarti persaingan alumni dalam pekerjaan semakin
ketat. Ketiga, hasil-hasil survey internasional menunjukkan bahwa mutu pendidikan di
Indonesia masih rendah atau bahkan selalu ditempatkan dalam posisi juru kunci jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Keempat, masalah rendahnya tingkat social-
capital. Inti dari social capital adalah trust (sikap amanah).Berbagai tantangan tersebut di atas
menuntut kita untuk segera melakukan hijrah, atau meninggalkan satu keadaan yang
didorong oleh karena ketidak senangan terhadap keadaan itu, menuju ke keadaan lain guna
meraih yang baik atau lebih baik. Persoalannya adalah bagaimana kita harus berhijrah, dalam
arti mengubah strategi pengembangan pendidikan dalam menghadapi berbagai tantangan
tersebut di atas.
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan
melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di berbagai universitas
terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan tinggi. Otonomi
pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta
untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk
menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan
berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru
untuk mendatangkan dana.
 Masalah yang dihadapi
permasalahan permasalahan yang muncul terkait pelaksanaan inklusi adalah terkait
dengan guru, siswa,orangtua, sekolah, masyarakat, pemerintah dan kurangnya sarana
prasarana yang mendukung pelaksanaan sekolah inklusi. Hal ini juga dikarenakan kurang
adanya kerjasama dari berbagai pihak. Guru merupakan faktor utama dalam proses
pendidikan inklusi, tetapi tanpa adanya bantuan dari pihak lain pelaksanaan sekolah inklusi
tidak bisa berjalan dengan maksimal, sehingga selain guru yang ditangani, perlu juga
menumbuhkan budaya sekolah inklusi baik didalam sekolah itu sendiri ataupun komunitas
diluar sekolah tersebut, selain itu kebijakan pemerintah juga sangat menentukan pelaksanaan
sekolah inklusi. Penelitian awal ini masih belum mendalam. Penelitian ini mempunyai
keterbasan dengan tidak adanya elaborasi data lebih lanjut. Untuk itu penelitian selanjutnya
sebaiknya: Melakukan wawancara mendalam atau FGD komprehensif dengan guru, siswa,
orangtua, masyarakat dan pemerintah yang terlibat dalam pelaksanaan sekolah inklusi.

B. Masalah yang dibahas


1. Hakikat profesi guru
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru
3. Pengembangan Profesionalisme Pendidik Guru
4. Kemampuan professional sebagai Guru
5. Kompetensi guru penting dalam hubungan dengan kegiatan dan hasil belajar
siswa
C. Pembahasan
1. Hakikat profesi guru

Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian
khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang
kependidikan.
Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip
mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut.

1. Guru dapat membandingkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang
diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber yang bervariasi
2. Guru harus dapat membangkitkan minat beserta didik untuk aktif dalam berpikir
serta mencari dan menentukan sendiri pengetahuan
3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan
penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik
4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi
mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajarn, diharapkan guru dapat
menjelaskan unit penjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga
tanggapan peserta didik menjadi jelas
6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata
pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari
7. Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara
memberikan ksesempatan berupa pengalaman secara langsung,
mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya
8. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan
social, baik dalam kelas maupun di luar kelas
9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secaranya individual
agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah demikian pesat, guru tidak
lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai
fasilitor, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian, keahlian
guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar
seperti telah diuraikan.(Uno,2014 :15-17)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru


Beberapa faktor yang memepengaruhi kinerja guru yang dapat diungkap tersebut
antara lain :
a) Kepribadian dan dedikasi

Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai cirri-ciri pribadi yang mereka
miliki. Cirri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian
sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan,
tindakan, ucapan, cara berpakai dan dalam menghadapi setiap persoalan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat ZakiahDarajat (dalam Djamara SB, 1994) bahwa kepribadian yang
sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui
adalah penampilan atau bekasnya dalam segala sepi dan aspek kehidupan misalnya dalam
tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam setiap persoalan atau masalah,
baik yang ringan maupun yang berat.

Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan
membimbing anak didik. Semakin baik kepibadian guru, semakin baik dedikasinya dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru, ini berarti tercermin suatu dedikasi
yang tinggi dari guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Hal
tersebut dipertegas oleh Drosat (1998) bahwa sala satu dasar pembentukan kepribadian
adalah sukses yang merupakan sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap,
dari keterampilan karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia.

Aspek-aspek diatas merupakan potensi kepribadian sebagai syarat mutlak yang harus
dimiliki seorang guru dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat
tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian dan
dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu menunjukan
kinerja yang memuaskan sesorang atau sekelompok dalam suatu organisasi.

b) Pengembangan profesi

Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan pengetahuan dan
teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan. Dalam melaksanakan pekerjaan itu
harusahli, orang yang sudah memiliki daya piker, ilmu dan keterampilan yang tinggi.
Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung jawabkan segala tindakan dan hasil
karyanya yang menyangkut profesi itu.

Pengembangan professional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang


dikemukakan Stilles dan Horsley (1998) bahwa ada empat standar pengembangan praksi guru
yaitu:

Standar ini dimaksudkan untuk menangkai kecendurungan kesempatan


pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutkan. Apabila guru di Indonesia
telah memenuhi standar professional guru sebagaimana yang berlaku di amerika serikat maka
kualitas. Sumber daya manusia Indonesia semakin baik, tuntutan memenuhi standar
profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari keinginan menghasilkan guru-guru yang
mampu membina peserta didik sesuai dengan tuntutan masyarakat, disampaikan sebagai
tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam meraih predikat guru yang professional sebagai
mana yang dijelaskan dalam jurnal Educational leadership (dalam Supriadi D.1998) bahwa
untuk menjadi professional seorang guru yang dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1).
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2). Guru menguasai secara
mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa, (3)
guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4)
guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya, (5) guru sejogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya.

c) Kemampuan mengajar
Untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guna memerlukan kemampuan.
Cooper (dalam Zahera,1997) mengemukakan bahwa guru harus memiliki kemampuan
merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajar, menyajikan bahan pelajaran,
memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa,
mengamati kelas, dan menevaluasi hasil belajar.
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam mengelola
pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampua guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang
harus dipelajari (learning what to be learnl), guru dituntut mampu menciptakan dan
menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar anak
dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru harus mampu menafsirkan dan
mengembangkan isi kurikulum yang di gunakan selama ini pada suatu jenjang pendidikan
yang diberlakukan sama walaupun latar belakang social, ekonomi dan budaya yang berbeda-
beda (Nasanius Y, 1998)
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan
pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap
siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar guru mampu
berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel, meninggalkan sikap
konservatif, tidak bersifat defensive tetapi mampu membuat anak lebih bersifat onfensif
(Sutadipura,1994).
d) Antar hubungan dan komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling berhubungan
satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam
masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat
komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya komunikasi
yang baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancer dan berhasil dan begitu pula
sebaliknya. Misalnya kepala sekolah tidak menginformasika kepada guru-guru mengenai
kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar kemungkinan guru tidak akan datang
mengajar. Contoh diatas menandakan betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Muhammad A, (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek
yang lebih besar terhadap kelangsungannya kegiatan.
e) Hubungan dengan masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan komunikasi
eksterm yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Masyarakat
merupakan kelompok individu-individu yang berusaha menyelenggarakan pendidikan atau
membantu usaha-usaha pendidik. Dalam masyarakat terdapat individu-individu atau pribadi –
pribadi yang bersimpati terhadap pedidikan disekolah.
Tujuan hubungan masyarakat berdasarkan dimensi kepentingan sekolah antara lain:
(1). Memelihara kelangsungan hidup sekolah, (2). Meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah, (3). Memperlancar kegiatan belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan dan
dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program
sekolah.
f) Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan disiplin sebagai berikut. Disiplin adalah suatu
keadaan tertib diman orang-orang yang bergabung dalam suatu organisasi tunduk pada
peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang.
Sendangkan Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin
sebagai berikut
a. Proses atau hasi pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan
guba mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil
b. Mancari tindakan terpilihndengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun
menghadapi rintangan
c. Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah
d. Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.

Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai


pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun
kinerja yang professional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu mencermati
aturan-aturan dan langkah strategi dalam melaksanakn proses kegiatan belajar mengajar.

g) Kesejahteraan

Faktor kesejahteraan menjadi sala satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru
didalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin tinggi
kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa
terpengaruhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan keouasan dalam
melaksanakan apapun.

h) Iklim kerja

Iklim sekolah memegang penting sebab iklim itu menunjukan susasana kehidupan
pergaulan dan pergaulan disekolah itu. Iklim itu menggambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi,
dan cara bertindak personalia yang ada disekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim
ialah keseluruhan sikap guru-guru disekolah itu, khususnya kalangan guru-guru disekolah
terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan dan kepuasan mereka (Rahmat,2016 :126-
140)
3. Pengembangan Profesi Guru

Cara lain untuk mendapat guru yang berkualitas tingi dapat dilakukan dengan jalan seleksi
penerimaan yang ketat. Seleksi tersebut tidak saja dilakukan terhadap kemampuan akademis,
tetapi juga terhadap aspek-aspek lain yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberhasilan
guru, seperti kesehatan dan kesempurnaan jasmani, kepribadian, dan sebagainya. Seleksi
kemampuan akademis akan menghasilkan guru yang berkualitas tinggi, tetapi mungkin tidak
dapat mencapai jumlah yang cukup besar apabila tidak tersedia calon yang berlimpah dan
kurang minat kepada jabatan guru. Meskipun seleksi kemampuan akademis tersebut baik,
tetapi kiranya kurang dapat untuk dilaksanakan sekarang. Hal itu disebabkan karena usaha
pemerataan kesempatan belajar memerlukan jumlah guru yang cukup banyak dan harus
dipenuhi dalam waktu yang relatif singkat. Tanpa seleksi yang ketat pun, kekurangan guru
yang sangat besar, apalagi kalau diadakan seleksi yang ketat. Disinalah kemudian timbul
dilema profesi guru. Apabila tingkat professional guru dipertahankan akan mengakibatkan
banyak anak terlantar tidak dapat sekolah, yang tidak mustahil akan menimbulkan masalah
sosial yang mengganggu ketahanan masyarakat dan bangsa. Sebaliknya apabila tingkat
professional guru tidak dipertahankan akan mengakibatkan menurunnya mutu pendidikan,
yang selanjutnya akan menimbulkan masalah sosial pula dalam jangka waktu yang lama
setelah pelaksanaan pendidikan berlangsung. (Oding Supriadi,2008)

4. Kemampuan professional sebagai Guru

Profesionalisme guru memiliki posisi sentraldan strategi. Karena posisinya tersebut,


baik dari kepentingan pendidik nasional maupun tugas fungsional guru, semuanya menuntut
agar pendidik dilaksanakan secara professional. Pembahasan guru professional terkait dengan
berberapa istilah, yaitu profesi, professional itu sendiri, profesionalisme, dan profesionalitas.(
Edi Hendri, 2010)

Kriteria profesionalisme guru meliputi kemampuan: menguasai bahan, mengelola


PBM, mengelola kelas, mengelola media atau sumber, menguasai landasan kependidikan,
mengenal interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa, mengenal fungsi dan program
pelayanan BP, dan mengenal administrasi sekolah. (Yusutria, 2017)

profesional sebagai guru dan pendidik guru mencakup penguasaan sosok utuh
kompetensi guru dan kemampuan melaksanakan tugas yang mengutamakan kemaslahatan
dan kepuasaan peserta didik. Dengan demikian, tolok ukur utama keberhasilan bagi guru
profesional adalah kualitas proses dan hasil belajar para siswa yang menjadi tanggung
jawabnya. Sejalan dengan itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru dapat ditandai dari
tingkat penguasaan sosok utuh kompetensi sebagai dosen, baik secara akademik maupun
penerapannya dalam konteks otentik pemberian layanan kepada peserta didik (guru dan calon
guru) yang menjadi tangung jawabnya. Indikator lain yang dapat dijadikan ukuran tingkat
keprofesionalan pendidik guru adalah kepuasan para guru/calon guru yang menjadi tanggung
jawabnya, yang tercermin dalam kualitas proses dan hasil belajar para guru dan calon guru
tersebut.Di samping itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru juga dapat dilihat dari
kuantitas dan kualitaspenelitian yang pernah dilakukan serta karya ilmiah yang pernah
diterbitkan atau disajikan dalam berbagai pertemuan. Hal ini menjadi sangat penting karena
sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2, “Dosen adalah
pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”. (Wardani, 2012)

Menurut Miftahur Rohman (2016), Problem yang dihadapi tenaga pendidik di daerah
perbatasan sangat memprihatin kan. Sebagai contoh, keadaan guru yang mengajar di daerah
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Selain fasilitas, sarana dan prasarana yang belum
memadai, mereka kerap tidak mendapatkan tunjangan yang layak.28Jumlahnya juga masih
kurang, sehingga guru harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Sebagian dari mereka adalah guru
honorer.29Dengandemikian, pendidikan di Indonesia semakin terlihat diskriminatif, terutama
untuk wilayah perbatasan yang sangat memperihatinkan. Selain di perbatasan kalimantan,
kekurangan jumlah guru juga terjadi di NTT. Menurut Gubernur NTT.

Upaya pemerintah yang ingin memenuhi kuota kebutuhan guru secara nasional perlu
diapresiasi oleh semua kalangan. Kita berharap,pemerintah tidak hanya bertekad memenuhi
jumlah kuantitas saja,tapi hendaknya berusaha agar diperoleh guru berkualitas prima yang
memiliki kompetensi guru lengkap (kompetensi paedagogik,kompetensi
kepribadian,kompetensisosial ,dankompetensiprofesional).8 Pertanyaan kita adalah apakah
PPG merupakan solusi bagi tercukupinya jumlah guru yang memenuhi harapan secara
kualitas?Ada pihak-pihak yang merasa khawatir dengan keberadaan PPG. Alasan yang
dikemukakan bersifat pragmatis karena telah terdapat lembaga pendidikan profesi guru yang
telah ada selama ini yaitu Program Akta Iv yang telah dapat memenuhi kebutuhan tenaga
kependidikan. Program Akta IV yang telah berlangsung kurang lebih dua dasa warsadi
pandang telah memecahkan persoalan kebutuhan guru dan menghasilkan banyak guru yang
berkualitas. Kebijakan PPG tentu menimbulkan pertanyaan mengenai kelanjutan Program
Akta IV. Hal ini jauh hari pernah disinyalir oleh Prof.Dr.MunginEdiWibowo M.Pd,-Ketua
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)-bahwadengan diberlakukannya PPG akan
menghapus ProgramAktaIV.9 Aturan keharusan mengikutI PPG bersifat mengikat semua
alumni S 1atau D-IV non kependidikan bila ingin berprofesi sebagai guru.( Zamakhsari,
2009)

Menurut Tanmin (2000) Beberapa tantangan dijasa transportasi yang akan dihadapi
oleh Indonesia mendatang sebagai akibat dari adanya perubahan kebijakan global baik
eksernal maupun internal berupa kebijakan globalisasi, isu otonomi, dampak krisis moneter,
serta beberapa isu lainnya telah dijelaskan. Tulisan ini berisi beberapa sumbangan pemikiran
ITB dalam usaha menangani permasalahan transportasi baik perkotaan maupun regional,
nasional, dan internasional. Sumbangan pemikiran tersebut masih berupa beberapa usalan
terbaik dengan mempertimbangankan kondisi, criteria, asumsi laiinya yang mungkin belum
terpikirkan.

5. Kompetensi guru penting dalam hubungan dengan kegiatan dan hasil belajar
siswa

Proses belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh sekolah, ola, struktur,
dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang
mengajar dan membimbing mereka. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan
lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan, dan akan lebih mampu mengolah kelasnya,
sehingga belajar para siswa berada pada tingkat mampu mengelolah. (Hamalik, 2002:36)

D. Penutup
1. Kesimpulan

Pendidikan adalah tonggak perkembangan sebuah bangsa, melalui pendidikan yang


berkualitas tentu berkorelasi dengan daya saing sebuah bangsa. Salah satu elemen penting
dalam pendidikan adalah ketersediaan tenaga guru.

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang terus, bahkan dewasa ini berlangsung
dengan pesat. Perkembangan itu bukan hanya dalam hitungan tahun, bulan, atau hari,
melainkan jam, bahkan menit atau detik, terutama berkaitan dengan teknologi informasi dan
komunikasi yang ditunjang dengan teknologi elektronika. Pengaruh meluas ke berbagai
bidang kehidupan, termaksuk bidang kependidikan.

2. Saran

Semoga paper ini dapat menambah wawasan mahasiswa dan dapat bermanfaat
Daftar Pustaka

Hamalik, Oemar. 2002. Pendidikan Guru. Jakarta: Bumi Aksara

Hendri, Edi. (2010). Guru Berkualitas: Profesional dan Cerdas Emosi. Jurnal Saung. 01(2)

Rahmat, Abdul. 2014. Profesi Kependidikan. Gorontalo: Ideas Publishing

Rohman, Miftahur. (2016). Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem Pendidikan
Nasional. Cendekia. 14(1).

Supriadi, Oding. (2008). Profesi Guru dan Langkah Pengembangannya. Jurnal Tabularasa.
05(1)

Tamin, Ofyar Z. (2000). Tantangan dan Pemecahan Masalah Sektor Transportasi di


Indonesia. .32(2),89-123

Uno, Hamzah B. 2014. Profesi Kependidikan. Gorontalo: Bumi Aksara

Wardani, K.( 2012). Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru. Jurnal Pendidikan,


13(1), 32-44

Yusutri. (2017). Profesionalisme Guru dalam Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia.


Jurnal Curricula. 02(1).

Zamakhsari. (2009). Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan. .16(26)


MENGEMBANGKAN PROFESIONALISME PENDIDIK GURU
Kajian Konseptual dan Operasional

I G. A. K. Wardani (wardani@ut.ac.id)
Universitas Terbuka

ABSTRACT

The role of teacher educators is becoming more and more important in fulfilling the need of
profesional teachers as stated in the Indonesian Republic Law #14/2005 on Teacher and
Lecturer. In order to be able to educate profesional teachers and teacher candidates, the
teacher educators alone should be profesional, and have willingness to continuously
develop profesionalism. Developing profesionalism is a must for teacher educators, due to
four reasons: (1) the nature of profesionalism, (2) the rapid development of science,
technology and arts, (3) the life-long learning paradigm, and (4) the demand of Law #
14/2005 on Teacher and Lecturer. But the data on teacher educators from several Teacher
Education Institutions indicate that not all of teacher educators show willingness to develop
profesionalism. Therefore, profesionalism development should be encouraged by all parties
related to teachers and teacher educators. There are many activities that can be undergone
by teacher educators in order to develop profesionalism, some of which are: taking further
study, taking relevant courses, regular self reflection, joining academic activities (seminar,
workshop, training,etc.), school familiarization, conducting research, and publishing scientific
article.

Keywords: developing professionalism, teacher educator

ABSTRAK

Peran pendidik guru menjadi lebih dan lebih penting dalam memenuhi kebutuhan guru
profesional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia # 14/2005
tentang Guru dan Dosen. Agar dapat mendidik guru profesional dan calon guru, pendidik
guru sendiri harus profesional, dan memiliki kemauan untuk terus mengembangkan
profesionalisme. Mengembangkan profesionalisme adalah suatu keharusan bagi pendidik
guru, karena empat alasan: (1) sifat profesionalisme, (2) perkembangan pesat ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, (3) paradigma pembelajaran seumur hidup, dan (4)
permintaan Hukum # 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Namun data pada pendidik guru
dari Lembaga Pendidikan Guru beberapa menunjukkan bahwa tidak semua pendidik guru
menunjukkan kesediaan untuk mengembangkan profesionalisme. Oleh karena itu,
pengembangan profesionalisme harus didorong oleh semua pihak yang terkait dengan guru
dan pendidik guru. Ada banyak kegiatan yang dapat dialami oleh pendidik guru dalam
rangka mengembangkan profesionalisme, beberapa diantaranya adalah: mengambil studi
lebih lanjut, mengambil kursus yang relevan, refleksi diri secara teratur, bergabung dengan
kegiatan akademik (seminar, lokakarya, pelatihan, dll), pengenalan sekolah , melakukan
penelitian, dan penerbitan artikel ilmiah.

Kata kunci: pendidik guru, pengembangan profesionalisme


Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44

Lembaga Pendidikan Guru (LPG) yang selama ini dikenal dengan nama Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan satu lembaga dengan tugas utama mendidik
para calon guru atau para guru yang memerlukan pendidikan lanjutan. Melihat tugas yang begitu
penting, dapat dipastikan bahwa harapan masyarakat sangat besar pada LPG ini. Lebih-lebih setelah
keluarnya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang membawa banyak
perubahan pada status pekerjaan seorang guru, LPG menjadi sorotan yang cukup tajam dari
masyarakat pendidikan. Guru profesional yang dicanangkan oleh undang-undang tersebut membawa
perubahan yang cukup drastis pada posisi guru, lebih-lebih lagi pada LPG yang mendidik calon guru
dan guru. Mengapa seperti itu?
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendapat perhatian cukup serius di berbagai
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dapat dimaklumi karena kenyataan
menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam kemajuan satu negara. Jepang
yang hancur lebur dalam Perang Dunia kedua, segera bangkit kembali karena memberi perhatian
yang serius pada pendidikannya. Melalui pendidikan, berbagai keterampilan, terutama keterampilan
hidup, dapat dikembangkan, di samping tentu saja berbagai pengetahuan dan sikap yang perlu
dikuasai dan ditampilkan oleh setiap orang jika mau hidup secara layak dalam dunia yang
berkembang sangat pesat ini. Salah satu faktor yang berperan besar dalam dunia pendidikan dan
yang sering dikaitkan dengan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan formal adalah guru. Peran
guru ini menjadi semakin penting karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Wardani dan Julaeha
(2011), perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) yang sangat pesat
membawa berbagai perubahan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Perkembangan IPTEKS
yang pesat ini juga membuat peran pendidikan semakin penting karena pendidikan diasumsikan
mampu mentransfer segala perubahan tersebut kepada peserta didik. Dalam kaitan ini, guru
memegang peran yang sangat vital karena melalui gurulah diharapkan segala perubahan tersebut
akan sampai kepada peserta didik. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa guru
memegang peran yang sangat penting dalam pendidikan suatu bangsa. Kualitas pendidikan sangat
banyak tergantung kepada guru, di samping berbagai komponen pendidikan lainnya, seperti
kebijakan pemerintah, sarana prasarana, keluarga, masyarakat.
Tentu belum semua guru mampu memainkan peran yang penting tersebut karena kualitas
guru juga beragam, lebih-lebih jika guru tidak mau berkembang, sehingga semakin jauh dari sosok
guru profesional yang diamanatkan oleh Undang-undang Guru dan Dosen. Guru dihasilkan oleh
Lembaga Pendidikan Guru, di bawah asuhan para dosen yang berperan sebagai pendidik guru.
Sejalan dengan pemikiran ini, kualitas pendidik guru atau dengan perkataan lain profesionalisme
seorang pendidik guru akan sangat berperan dalam membentuk kualitas guru yang dihasilkan.
Apakah semua pendidik guru sudah mampu mengembangkan kadar profesionalismenya? Berkaitan
dengan hal ini, topik tentang pengembangan kemampuan profesional atau profesionalisme pendidik
guru menjadi penting untuk dikaji.
Pendidik guru dituntut untuk mampu menjadi model bagi para guru atau calon guru yang
dididiknya. Sebagaimana yang ditekankan oleh Swennen dan Van der Klink (2009), pemodelan
merupakan aspek sentral dalam pekerjaan seorang pendidik guru serta merupakan keterampilan
yang sangat kompleks dan mempersyaratkan pemahaman yang mendalam tentang mengajar dan
peran sebagai pendidik guru. Adalah hal yang mustahil jika seorang pendidik guru mengharapkan
para guru atau calon guru yang dididiknya akan mampu mengembangkan kemampuannya sebagai
guru jika dia sendiri tidak menunjukkan perkembangan tersebut. Jika guru dianggap sebagai
seseorang yang patut digugu dan ditiru, maka pendidik guru semestinya dianggap sebagai

33
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru

seseorang yang mutlak harus digugu dan ditiru. Oleh karena itu, para pendidik guru di semua LPG
perlu menjawab tantangan ini dengan serius. Namun, berdasarkan pengamatan berbagai dokumen
yang berkaitan dengan pendidik guru dan diskusi internal, tampaknya belum semua pendidik guru
menyadari posisi yang sangat penting dan menentukan ini. Oleh karena itu, diharapkan tulisan ini
dapat menyadarkan para pendidik guru akan perannya yang sangat sentral tersebut serta mengambil
langkah nyata dalam pengembangan profesionalisme.

Pengembangan Profesionalisme Pendidik Guru


Apa yang dimaksud dengan kemampuan profesional dan pengembangan kemampuan
profesional atau profesionalisme? Untuk menjawab pertanyaan ini, kajian tentang istilah profesi,
profesional, dan profesionalisme harus dilakukan terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia atau disingkat KBBI (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa ,1997), profesi diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
tertentu, sedangkan istilah profesional yang merupakan kata sifat dimaknai sebagai sesuatu yang
bersangkutan dengan profesi. Dengan demikian, pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang
memerlukan kepandaian khusus untuk melakukannya dan mengharuskan adanya pembayaran bagi
pelakunya (lawan dari amatir). Selanjutnya, profesionalisme yang merupakan kata benda, dimaknai
sebagai mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri satu profesi atau orang yang
profesional. Tidak jauh berbeda dengan KBBI, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Wehmeier,
2005), mendefinisikan profesionalisme sebagai suatu standar tinggi yang kita harapkan dari
seseorang yang terlatih dengan baik dalam pekerjaan tertentu, atau “great skill and ability” (hal:
1205).
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Darling-Hammond dan Goodwin (1993), setiap
pekerjaan professional mempunyai persamaan karakteristik, yang membedakannya dari pekerjaan
non-profesional. Karakteristik tersebut adalah: (1) pekerjaan dilandasi/ dilaksanakan berdasarkan
ilmu terkait yang disebut sebagai “codified body of knowledge” (Darling- Hammond & Goodwin,
1993: 25), (2) ada mekanisme terstruktur untuk mengatur perekrutan, pendidikan, dan penetapan
standar praktek yang etis dan tepat, serta (3) tanggung jawab utama adalah kemaslahatan/
kepuasan klien.
Berdasarkan ketiga karakteristik di atas, dari karakteristik pertama dapat ditafsirkan bahwa
jika pekerjaan sebagai pendidik guru dipandang sebagai pekerjaan profesional, maka paling tidak
seorang pendidik guru harus menguasai ilmu yang mendasari pekerjaannya sebagai guru dan
pendidik guru. Ilmu yang harus dikuasai oleh guru dan para pendidik guru itu disebut sebagai “the
scientific basis of the art of teaching”, yang meliputi: (1) pemahaman yang mendalam tentang
karakteristik peserta didik, dalam hal ini para calon guru dan guru yang mengambil studi lanjut, (2)
penguasaan bidang studi, baik dari sisi disiplin ilmu maupun sisi pedagogis, termasuk materi dalam
kurikulum pendidikan peserta didik, (3) pengelolaan pembelajaran yang mendidik, yang mencakup
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian proses dan hasil belajar, di samping
pemanfaatan hasil penilaian untuk perbaikan, serta (4) pengembangan kemampuan profesional
secara berkelanjutan (Gage, dalam Joni, 2007). Inilah yang kemudian menjadi sosok utuh
kompetensi guru, yang di dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen serta Permendiknas
no.16/2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru dipilah menjadi kompetensi pedagogik,
kompetensi keperibadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Karakteristik kedua menyiratkan adanya mekanisme yang terstruktur dalam mengelola
pendidikan guru dan profesi guru, serta adanya standar yang etis dan memadai bagi praktek

34
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44

pelayanan kepada peserta didik. Ini berarti, tidak sembarang orang dapat menjadi guru, lebih-lebih
lagi menjadi pendidik guru. Dengan perkataan lain, mereka yang diterima di lembaga pendidikan
guru atau yang memasuki pekerjaan sebagai guru, lebih-lebih lagi sebagai pendidik guru, haruslah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam rekrutmen, termasuk sistem pendidikannya. Namun
kenyataan menunjukkan, tidak semua pendidik guru mempunyai latar belakang
kependidikan/keguruan ketika mulai bertugas di LPG sebagai pendidik guru. Hal ini terjadi karena
masih terbatasnya calon dosen yang mempunyai latar belakang kependidikan/keguruan. Kondisi
seperti ini pasti membuat muram wajah profesi guru/pendidik guru, sebagaimana yang disiratkan
oleh Darling-Hammond dan Goodwin (1993). Namun, kondisi yang serupa tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang masih mempunyai masalah dengan kualitas
sumber daya manusia. Untuk mengatasi hal ini, sebelum bertugas sebagai dosen, para pendidik guru
ini mendapatkan bekal kependidikan/keguruan, dan kemudian diikuti dengan mengambil studi lanjut,
baik yang mengarah kepada pencapaian gelar maupun yang berupa sertifikat. Selanjutnya, standar
yang etis dan memadai dalam praktek tercermin dalam kode etik guru dan dosen, terutama yang
berkaitan dengan layanan bagi peserta didik.
Karakteristik ketiga, yaitu tanggung jawab utama guru dan pendidik guru adalah peserta
didik, berimplikasi bahwa guru dan pendidik guru harus selalu peduli pada kepentingan peserta
didiknya, sehingga mereka harus melakukan diagnosis sebelum melakukan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya (siswa bagi guru dan calon
guru atau guru bagi pendidik guru). Dengan demikian, jika guru dan pendidik guru benar-benar
professional, kualitas layanan yang diberikan akan mampu mengembangkan potensi peserta didik
karena memang program layanan ini dikembangkan berdasarkan hasil analisis kebutuhan peserta
didik. Layanan atau program pembelajaran yang dikelola guru dan pendidik guru akan memenuhi
kebutuhan peserta didik, sehingga menimbulkan rasa puas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan profesional sebagai guru dan
pendidik guru mencakup penguasaan sosok utuh kompetensi guru dan kemampuan melaksanakan
tugas yang mengutamakan kemaslahatan dan kepuasaan peserta didik. Dengan demikian, tolok ukur
utama keberhasilan bagi guru profesional adalah kualitas proses dan hasil belajar para siswa yang
menjadi tanggung jawabnya. Sejalan dengan itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru dapat
ditandai dari tingkat penguasaan sosok utuh kompetensi sebagai dosen, baik secara akademik
maupun penerapannya dalam konteks otentik pemberian layanan kepada peserta didik (guru dan
calon guru) yang menjadi tangung jawabnya. Indikator lain yang dapat dijadikan ukuran tingkat
keprofesionalan pendidik guru adalah kepuasan para guru/calon guru yang menjadi tanggung
jawabnya, yang tercermin dalam kualitas proses dan hasil belajar para guru dan calon guru tersebut.
Di samping itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru juga dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas
penelitian yang pernah dilakukan serta karya ilmiah yang pernah diterbitkan atau disajikan dalam
berbagai pertemuan. Hal ini menjadi sangat penting karena sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang
Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2, “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”.
Kewajiban dosen untuk melakukan penelitian, sejalan dengan wacana pendidik guru sebagai
peneliti yang dikemukakan oleh Livingston, Call, dan Morgado (2009). Ketiga pakar ini
mengemukakan bahwa minimal ada dua alasan mengapa pendidik guru juga harus berperan sebagai
peneliti. Alasan pertama adalah berkembangnya “evidence-based practiced” (hal. 191) atau praktek-
praktek yang berdasarkan bukti-bukti, bukan hanya dalam bidang pendidikan tetapi juga dalam

35
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru

profesi lain. Berkembangnya fokus pada penelitian membuat penilaian kuantitas dan kualitas
penelitian para dosen mempengaruhi peringkat institusi tempatnya bekerja, di samping hadiah-
hadiah finasial yang mungkin diterima oleh institusi tersebut. Alasan kedua, adalah pentingnya
belajar berkelanjutan dan keinginan para pendidik guru untuk merefleksikan dan meningkatkan
kemampuan belajar dan mengajar berdasarkan berbagai konsep, yaitu: pandangan dinamis tentang
pengetahuan, perubahan sosial, perubahan jenjang pendidikan, bekerja antar profesi, belajar
sepanjang hayat, serta model kolaboratif dalam pengembangan kegiatan belajar dan mengajar.
Berdasarkan ulasan Lingston, Call, dan Morgado (2009) tersebut, pendidik guru yang berperan
sebagai peneliti akan mempunyai nilai tambah yang sangat bermakna, baik bagi individu pendidik
guru sendiri maupun bagi LPG tempatnya bekerja.
Selanjutnya perlu dikaji apa yang dimaksud dengan pengembangan kemampuan profesional
atau pengembangan profesionalisme. Dengan mengacu kepada definisi dari Wikipedia (diunduh 29
Desember 2010), dapat dikatakan bahwa pengembangan kemampuan profesional seorang pendidik
guru adalah meningkatnya kemampuan pendidik guru, baik dalam pengetahuan, keterampilan,
maupun sikap, yang berdampak pada meningkatnya kualitas layanan para pendidik guru pada
peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Ini berarti bahwa peningkatan kemampuan tersebut
memang berdampak positif bagi layanan yang diberikan oleh pendidik guru kepada guru atau calon
guru yang menjadi tanggung jawabnya. Jika peningkatan kemampuan itu tidak meningkatkan kualitas
layanan yang diberikan, berarti kemampuan profesional pendidik guru tersebut belum berkembang.
Dengan demikian, pengembangan kemampuan profesional selalu dikaitkan dengan meningkatnya
kualitas layanan ahli yang diberikan kepada klien.
Pertanyaan berikut yang perlu dibahas adalah: mengapa pendidik guru harus
mengembangkan kemampuan profesionalnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, paling tidak ada
empat alasan yang dapat dijadikan acuan, yaitu: alasan yang berkaitan dengan hakikat
profesionalisme, perkembangan IPTEKS, filosofi atau paradigma belajar sepanjang hayat, dan UU
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Keempat alasan ini saling berkaitan, sehingga yang satu
hampir tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
Alasan yang berkaitan dengan hakikat profesionalisme menekankan bahwa pekerjaan
profesional mempersyaratkan penguasaan ilmu yang merupakan landasan dalam melaksanakan
tugas profesional. Guru dan pendidik guru harus menguasai the scientific basis of the art of teaching,
agar mampu memberi layanan ahli untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, yang menjadi tanggung
jawab utamanya. Sementara itu, perkembangan IPTEKs yang begitu pesat, membawa perubahan
hampir pada semua aspek kehidupan, termasuk hirarkhi kebutuhan manusia seperti yang
digambarkan oleh Maslow (dalam Santrock, 2008). Ilmu keguruan dan teori belajar berkembang
dengan pesat, termasuk di dalamnya munculnya berbagai pendekatan/strategi pembelajaran untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik yang juga berubah. Oleh karena itu, mau tidak mau kebutuhan
peserta didik yang juga berubah tersebut harus dipahami oleh para pendidik guru, sehingga ia
mampu mengembangkan strategi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berkaitan
dengan hal ini, perlu dicatat bahwa pembelajaran yang semula lebih banyak berpusat kepada guru
telah berkembang menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sejalan dengan ini, berbagai
pendekatan/model pembelajaran seperti konstruktivistik, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran kreatif dan produktif (Ditjen Dikti, 2004) telah tersebar luas dan sudah mulai diterapkan
di sekolah-sekolah. Tentulah sangat tidak masuk akal jika para pendidik guru tidak akrab dengan
berbagai perubahan dalam pembelajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah.

36
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44

Selanjutnya, alasan yang berkaitan dengan filosofi atau paradigma belajar sepanjang hayat,
yang menurut Wikipedia (diunduh tanggal 6 Mei 2011) dikenal sebagai “lifelong learning paradigm”
menyiratkan bahwa belajar terjadi sepanjang hidup manusia, dari ayunan sampai ke liang kubur.
Tentulah mustahil untuk mempertahankan posisi sebagai pendidik guru, jika seorang pendidik guru
tidak mampu atau tidak mau belajar sepanjang hayat. Berdasarkan filosofi belajar sepanjang hayat,
tidak mungkin seorang guru, lebih-lebih pendidik guru, berhenti belajar karena merasa sudah pintar
atau sudah menguasai segalanya. Perlu dicatat bahwa paradigma belajar sepanjang hayat
sebenarnya juga telah menjadi filosofi yang turun temurun dalam masyarakat Indonesia. Hal ini
antara lain dapat diidentifikasi dari ungkapan yang tersirat dalam lagu rakyat Bali, yang salah satu
baitnya berbunyi: Yadian ririh, liu enu pelajahin, yang bermakna: meski pintar, masih banyak yang
perlu dipelajari. Kekayaan budaya ini dapat dianggap sebagai kearifan lokal yang menegaskan
perlunya belajar sepanjang hayat. Sebagai orang yang digugu dan ditiru, pendidik guru harus
memodelkan kebiasaan belajar sepanjang hayat ini kepada para peserta didik yang menjadi
tanggung jawabnya. Dalam kaitan ini, pendidik guru haruslah terlebih dahulu mampu memodelkan
perilaku/kebiasaan belajar terus menerus sepanjang hayat, agar terjadi “trickledown effect” ( Dikti,
2004) pada para calon guru dan guru, sehingga para calon guru/guru ini dapat memodelkannya
kepada para siswa yang diajarnya, jika kemudian sudah menjadi guru atau kembali bertugas sebagai
guru.
Terakhir, Undang Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 60, mewajibkan
dosen “meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni”. Kewajiban
yang dicanangkan dalam undang-undang ini, mau tidak mau haruslah dilaksanakan oleh para dosen
pada umumnya dan lebih-lebih lagi oleh dosen pendidik guru. Hal ini tentu tidak akan jadi masalah
bagi para dosen yang sudah terbiasa memenuhi kewajibannya sebagai pendidik guru, sehingga
segala kemudahan yang menjadi haknya, misalnya kenaikan pangkat dan jabatan, akan terpenuhi
sebagai hasil dari pemenuhan kewajiban.
Dengan demikian, mengembangkan kemampuan profesional merupakan satu keharusan
bagi para pendidik guru, sehingga mereka tidak pernah ketinggalan jaman karena selalu mengikuti
perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan. Perlu juga dicatat bahwa dalam mengembangkan
kemampuan profesional, pendidik guru perlu bersikap terbuka karena perkembangan IPTEKS yang
begitu pesat memungkinkan informasi dapat diakses dengan cara mudah oleh siapa saja, termasuk
oleh peserta didik, dalam hal ini para guru dan calon guru. Tidak mustahil, guru dan calon guru
menguasai informasi tertentu terlebih dahulu dari dosennya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar
karena pendidik guru dan peserta didik belajar sepanjang hayat dengan gaya dan kemampuan
masing-masing. Jika sikap terbuka ini dapat dimodelkan oleh pendidik guru kepada para guru atau
calon guru, dampaknya akan berlipat ganda karena guru akan berupaya menampilkan sikap tersebut
di depan para siswanya.
Akhirnya perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa pengembangan profesionalisme dosen sebagai
pendidik guru didasarkan pada alasan yang kokoh, sehingga merupakan sesuatu yang mutlak yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ini berarti, tidak ada tempat lagi di Lembaga Pendidikan Guru bagi
mereka yang sudah tidak berminat mengembangkan profesionalisme sebagai dosen pendidik guru.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Profesionalisme Pendidik Guru


Pengalaman menilai borang Program Studi S1 PGSD sejak tahun 2008 menunjukkan masih
banyak Lembaga Pendidikan Guru, baik negeri maupun swasta, yang memiliki dosen (pendidik guru)

37
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru

yang belum memenuhi persyaratan jenjang pendidikan minimal yaitu S2, demikian pula dengan
jabatan akademik, masih banyak yang menyandang jabatan tenaga pengajar dan asisten ahli. Perlu
dicatat bahwa jenjang pendidikan dan jabatan akademik yang dimiliki para pendidik guru merupakan
salah satu indikator pemenuhan persyaratan dosen profesional. Dari sisi jenjang pendidikan atau
kualifikasi akademik, makin tinggi jenjang pendidikan seorang dosen, kemampuan akademiknya
diasumsikan akan meningkat. Demikian pula jabatan akademik dosen mencerminkan kualitas
kemampuan profesional seorang dosen dalam melaksanakan tri dharma perguruan tinggi. Oleh
karena itu, masih adanya dosen yang belum memiliki jenjang penidikan S2 dan jabatan akademik
masih asisten ahli (meskipun masa kerja sudah cukup lama) merupakan suatu bukti adanya
kemandegan atau kemacetan dalam pengembangan kemampuan profesional. Melihat data tersebut,
muncul pertanyaan besar, mengapa para dosen tersebut tidak pernah mengusulkan atau barangkali
belum berhasil dalam usulan kenaikan jabatan akademik? Atau mengapa terjadi kemandegan
tersebut? Padahal, kenaikan jabatan akademik sangat menentukan imbalan yang diterima oleh
dosen. Untuk menganalisis kondisi seperti ini, perlu dikaji faktor yang mempengaruhi pengembangan
profesionalisme pendidik guru.
Secara umum, faktor yang mempengaruhi perkembangan profesionalisme seorang pendidik
guru dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor
dari dalam diri pendidik guru sendiri, mencakup keperibadian, kemampuan, wawasan terhadap
pekerjaan sebagai pendidik guru, tujuan hidup, etos kerja, dan lain-lain. Faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang berasal dari luar pendidik guru, yang antara lain meliputi: kesempatan untuk
mengembangkan diri, kebijakan lembaga, biaya, beban kerja, teman sekerja. Dari segi kesempatan,
kebijakan lembaga, dan biaya, tampaknya peluang untuk mengembangkan profesionalisme sangat
terbuka lebar. Ada berbagai lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri yang menyediakan
beasiswa untuk melanjutkan studi atau mengembangkan profesionalisme. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi sendiri, hampir dalam setiap tahun anggaran menyediakan beasiswa, baik untuk
melanjutkan studi di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagai contoh, ada beasiswa program
pascasarjana (BPPS), Program Academic Recharging (PAR), ada juga beasiswa luar negeri seperti
beasiswa Fulbright. Di samping itu, jika para dosen memang jeli dan mengikuti perkembangan, serta
rajin membuka website Dikti (http://www.dikti.go.id atau dikti.kemdiknas.go.id) kesempatan untuk
mendapatkan beasiswa dari berbagai negara seperti Australia dan Jepang akan terbuka. Tetapi
tentu saja kesempatan tersebut hanya mungkin diraih melalui kompetisi. Di samping itu, program-
program hibah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat hampir setiap tahun ditawarkan.
Memang mungkin yang menjadi kendala adalah beban kerja, yaitu banyaknya tugas-tugas yang
harus dilakukan oleh para dosen, misalnya para dosen FKIP- Universitas Terbuka mempunyai tugas-
tugas pengelolaan (manejerial) di samping tugas-tugas akademik sebagai tugas utama. Di sisi lain,
banyak juga dosen, khususnya dari perguruan tinggi tatap muka, yang mengajar atau mempunyai
pekerjaan tambahan di luar kampus asalnya, sehingga ini barangkali yang merupakan hambatan.
Dari faktor internal, secara sepintas, dosen yang tidak mengajukan usul kenaikan jabatan
akademik atau jabatan fungsional, tampaknya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama,
mereka yang sebenarnya banyak berperan penting dalam berbagai kegiatan akademik, baik
pengajaran, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat, namun tidak membudayakan
kebiasaan mendokumentasikan bukti fisik kegiatan yang telah diikutinya dan tidak cukup usaha untuk
menyusun usulan kenaikan jabatan akademik. Kedua, mereka yang memang sangat jarang terlibat
dalam kegiatan akademik, sehingga memang tidak mempunyai bukti fisik yang dapat diajukan
sebagai bukti dalam usulan kenaikan jabatan akademik. Dosen kelompok ini pada umumnya

38
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44

menganggap mengajar hanya sebagai tugas wajib dan rutin, sehingga mereka menganggap tidak
perlu ada perubahan. Dapat diperkirakan, bahwa dosen yang seperti ini tidak akan pernah berubah,
baik dalam gaya mengajar, mempersiapkan diri, maupun dalam menyikapi pekerjaannya sebagai
pendidik guru. Jarangnya keterlibatan dalam kegiatan akademik mungkin terjadi karena berbagai
alasan. Wawancara informal dengan para dosen yang jarang terlibat dalam kegiatan akademik
mengungkapkan adanya beragam alasan, seperti tidak tertarik, merasa puas dengan apa yang
sudah dicapai, tidak ada waktu karena ada kegiatan lain, tidak melihat ada manfaatnya. Beragam
alasan tersebut mencerminkan absennya kemauan untuk mengembangkan diri.
Dari sisi profesionalisme, kedua kelompok tersebut dapat dianalisis lebih lanjut. Kelompok
yang pertama barangkali dapat digolongkan sebagai dosen yang bekerja dengan baik, terlibat dalam
berbagai kegiatan akademik, namun tidak terlalu ambisius untuk naik jabatan akademik. Pandangan
yang seperti ini tentu keliru karena pekerjaan profesional disangga minimal oleh dua pilar, yaitu
layanan ahli yang aman untuk menjamin kemaslahatan dan kepuasan klien serta pengakuan dan
penghargaan yang memadai dari masyarakat (Joni, 1989; Konsosium Ilmu Pendidikan, 1993).
Layanan ahli ditentukan oleh berkembangnya kemampuan profesional yang tercermin dalam
berbagai kegiatan layanan kepada peserta didik dan dunia profesi, sedangkan pengakuan dan
penghargaan tercermin dari tingkat jabatan akademik yang diduduki, yang kemudian berimplikasi
pada imbalan. Kedua pilar ini harus seimbang agar kemampuan profesional dapat berkembang
secara sehat. Hal ini sejalan pula dengan hak dan kewajiban guru dan dosen, sebagaimana yang
tercantum dalam Undang Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 51 sampai dengan
Pasal 60. Tentu saja, tanpa pernah mengajukan kenaikan jabatan akademik, dosen yang
bersangkutan tidak akan pernah menikmati pengakuan dan penghargaan, yang kemudian terwujud
dalam bentuk imbalan yang memadai karena itulah persyaratan dalam sistem kepegawaian yang
berlaku di Indonesia.
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang mempunyai alasan tertentu untuk tidak
mengusulkan kenaikan jabatan akademik. Di antara alasan yang pernah berembus adalah: (1) tidak
mampu lagi belajar, (2) sudah tua, sehingga lebih mengutamakan anak-anak saja, (3) sudah mau
pensiun, sehingga tidak perlu melakukan sesuatu kegiatan yang menguras pikiran, tenaga, dan
waktu, serta (4) tidak ada waktu karena punya kesibukan lain. Alasan yang diberikan ini tentu
merupakan “mental block”, yang menghambat atau men-demotivasi para dosen untuk
mengembangkan kemampuan profesional melalui belajar sepanjang hayat. Kalau dosen sebagai
pendidik guru sudah menunjukkan sikap seperti ini, bagaimana kira-kira guru dan calon guru yang
dididik? Apakah mungkin seorang dosen yang tidak lagi bersemangat untuk belajar dapat memotivasi
para calon guru dan atau para guru yang sedang menjadi mahasiswa agar bersemangat belajar?
Jawaban dari pertanyaan ini barangkali sangat jelas. Seseorang hanya mampu menunjukkan apa
yang dia miliki atau kuasai. Tidak mungkin seorang maling menasehati agar anaknya jangan
mencuri, demikian pula tidak mungkin seorang guru meminta muridnya datang tepat waktu kalau dia
sendiri selalu terlambat. Dengan demikian, setiap pendidik guru seyogianya menyadari bahwa jika
masih tetap ingin menjadi dosen pendidik guru, tidak ada alasan untuk tidak belajar atau menunda
belajar karena alasan tersebut akan mengerem langkah untuk maju. Sekali saja alasan itu disepakati,
maka sepanjang hidup alasan tersebut akan membuntuti dan sulit untuk melepaskan diri darinya.

Berbagai Kiat untuk Mengembangkan Kemampuan Profesional Pendidik Guru


Sesuai dengan tuntutan Undang-undang Guru dan Dosen, setiap dosen program sarjana
(S1) harus memiliki kualifikasi akademik minimal S2 serta wajib melaksanakan tugas utama

39
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru

mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni


melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sejalan dengan tuntutan
tersebut, setiap dosen, khususnya pendidik guru wajib mengembangkan kemampuan profesional,
yang antara lain dapat dilakukan melalui berbagai cara berikut.
1. Meningkatkan kualifikasi akademik (jika belum sampai pada kualifikasi puncak) dengan cara
studi lanjut, baik untuk S2 maupun S3. Perlu juga diingatkan kembali bahwa menurut UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 46, ayat (2), kualifikasi akademik minimum dosen
adalah lulusan program magister untuk dosen program sarjana. Studi lanjut ini dapat dilakukan
di berbagai lembaga pendidikan guru, baik yang tatap muka, maupun jarak jauh, baik yang di
dalam negeri maupun luar negeri. Dalam memilih program studi, setiap pendidik guru yang akan
mengambil studi lanjut harus mencari informasi yang akurat tentang karakteristik dan
keistimewaan program studi pilihan yang ditawarkan oleh berbagai perguruan tinggi.
Berdasarkan informasi tersebut pendidik guru mungkin akan mendapatkan program studi yang
tepat, serta perguruan tinggi yang sesuai. Selanjutnya, dalam memilih program studi, perlu pula
diingat bahwa peningkatan kualifikasi dan kompetensi dosen haruslah berdampak positif pada
peningkatan kualitas layanan dosen kepada peserta didiknya, dalam hal ini para calon guru dan
guru yang sedang menjadi mahasiswa. Oleh karena itu, program studi yang dipilih dalam studi
lanjut sebaiknya berkaitan dengan tugas layanan kepada calon guru dan guru sebagai peserta
didik.
2. Mengambil mata kuliah yang diperlukan untuk memperkaya wawasan dan meningkatkan
kemampuan, baik dalam mata kuliah yang diampu, maupun yang berkaitan dengan kemampun
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, seperti mata kuliah kependidikan, yang
barangkali bermanfaat dalam memberikan bantuan belajar kepada mahasiswa. Pengambilan
program non-degree ini dapat dilakukan secara tatap muka atau on-line. Jika ingin mencoba
mengambil on-line courses, pendidik guru dapat mengakses berbagai mata kuliah yang
ditawarkan secara on-line melalui http://www.onlinecourses.net/education (Copyright
@2011OnlineCourses.net) yang ditawarkan oleh berbagai universitas. Khusus untuk pendidik
guru dari FKIP Universitas Terbuka, keinginan dan kesiapan mengambil on-line courses akan
memperkaya pengalaman, keterampilan, dan wawasan belajar jarak jauh. Hal ini akan
membawa keuntungan, jika dosen ingin menyarankan para guru untuk mengambil online
courses. Mata kuliah yang diambil tentu yang berkaitan dengan bidang pendidikan/keguruan, di
samping mata kuliah yang merupakan pengayaan.
3. Melakukan refleksi secara teratur terhadap berbagai tindakan yang telah dilakukan dalam
melaksanakan tri dharma perguruan tinggi, dengan tujuan untuk menemukan kekuatan dan
kelemahan dari praktek/tindakan yang telah dilakukan. Hasil refleksi ini selanjutnya digunakan
untuk meningkatkan atau memperbaiki tindakan yang berikutnya. Refleksi yang paling sering
dilakukan adalah refleksi yang berkaitan dengan pembelajaran yang telah dilakukan. Pendidik
guru seyogyanya secara teratur melakukan refleksi setiap akhir pembelajaran, dengan cara
mengingat kembali peristiwa apa yang menarik dalam pembelajaran, mengapa peristiwa itu
terjadi, dan apa dampaknya bagi calon guru atau guru yang sedang belajar. Hasil refleksi
digunakan oleh dosen untuk memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
berikutnya. Jika refleksi dilakukan secara teratur, pendidik guru akan makin kenal kekuatan dan
kelemahannya dalam mengelola pembelajaran, di samping makin kenal karakteristik
mahasiswanya dan dengan demikian akan tergugah melakukan perbaikan secara teratur.
Kegiatan sebagai pembimbing calon guru dalam mengajar juga memerlukan refleksi, sehingga

40
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44

pendidik guru menyadari apakah cara pembimbingannya sudah memadai sehingga membuat
calon guru merasa nyaman, ataukah masih ada hal-hal yang membuat calon guru merasa
ketakutan atau tidak nyaman. Dalam berbagai lieteratur dikenal istilah-istila reflection, reflective
practice, reflective thinking, critical reflection on practice, reflection method (Harrison & Yaffe,
2009; Konno, Higuchi, & Mitsuishi, 2009). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa reflection
method, terbukti merupakan satu upaya yang efektif untuk memperbaiki kualitas perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran (Konno, Higuchi, &Mitsuishi, 2009). Tentu saja perbaikan ini
mengarah kepada pengembangan kadar profesionalisme guru dan pendidik guru. Di samping
refleksi dalam melaksanakan tugas mendidik, refleksi juga perlu dilakukan dalam melaksanakan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Misalnya, dalam melakukan penelitian, dosen
dapat merenungkan mengapa angket yang dikirimkan banyak yang tidak kembali atau mengapa
laporan penelitian tidak selesai tepat waktu, atau bagaimana respon masyarakat terhadap
program pengabdian yang telah dilakukan. Tentu saja hasil refleksi ini digunakan untuk
memperbaiki rencana dan pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
berikutnya.
4. Mengikuti berbagai kegiatan akademik, seperti pelatihan dalam berbagai aspek pendidikan,
mengikuti seminar/konferensi baik lokal, nasional, maupun internasional; baik dalam maupun
luar negeri; baik secara tatap muka maupun on-line. Pelatihan dalam bidang pendidikan
mencakup berbagai aspek, seperti penulisan bahan ajar, bahan ujian, peningkatan kualitas
pembelajaran, termasuk pelatihan dalam mengembangkan berbagai instrumen penilaian atau
asesmen otentik. Dalam berbagai kegiatan akademik tersebut, sebaiknya setiap dosen
berupaya untuk meraih kesempatan menjadi pembicara atau fasilitator, sehingga tidak selalu
menjadi peserta. Dengan demikian, para dosen dapat berbagi pengalaman, bukan hanya
menerima pengalaman dari orang lain.
5. Menjadi anggota berbagai ikatan profesi yang terkait dengan bidang pendidikan. Misalnya
Asosiasi Profesi Pendidikan Jarak Jauh Indonesia (APPJJI), Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia (ISPI), Ikatan Pengembang Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI). Secara ideal,
setiap anggota satu profesi harus aktif mengikuti kegiatan dan perkembangan dalam profesi
tersebut, seperti seminar, lokakarya, atau pelatihan; bahkan harus menyumbangkan gagasan
atau pengalaman dalam meningkatkan profil profesi.
6. Sebagai pendidik guru, keakraban dengan lapangan juga merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kemampuan profesional. Makin akrab pendidik guru dengan sekolah tempat
para guru mengajar, akan makin meningkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan
guru/calon guru karena ia mampu mengaitkan mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya
dengan kebutuhan nyata di lapangan. Oleh karena itu, pengakraban dengan lapangan, baik
melalui program penugasan dosen ke sekolah (PDS) yang dikelola oleh program studi, maupun
yang dirancang sendiri dengan para guru yang sedang menjadi mahasiswa merupakan salah
satu kegiatan untuk mengembangkan kemampuan profesional. Pentingnya keakraban dengan
lapangan bagi pendidik guru dapat dilihat dari kebijakan rekrutmen pendidik guru di Inggris.
Para pendidik guru ini (terutama untuk pra-jabatan) hampir selalu direkrut dari guru-guru
sekolah yang berkualitas dan berprestasi karena mereka mempunyai pengalaman profesional
yang kaya (Murray, Swennen, & Shagrir, 2009).
7. Melakukan penelitian, khususnya yang berkaian dengan dunia pendidikan, termasuk di
dalamnya penelitian tindakan kelas (PTK). Sebagai pendidik guru, kemampuan meneliti akan
sangat membantu dalam membimbing mahasiswa calon guru/ para guru yang menjadi

41
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru

mahasiswa dalam melakukan penelitian, khususnya PTK. Untuk merealisasikan peran sebagai
peneliti, para pendidik guru harus ikut serta bersaing mendapatkan dana hibah penelitian. Untuk
memperbesar peluang mendapatkan dana hibah, pendidik guru sebaiknya mencermati panduan
yang diterbitkan oleh sponsor, kemudian mempelajari segala persyaratan yang diminta.
Berdasarkan bidang penelitian yang relevan dengan permintaan sponsor, pendidik guru dapat
memilih topik yang menarik perhatian (yang sedang banyak dibicarakan), sesuai dengan minat
peneliti, serta dapat diteliti melalui pengumpulan dan analisis data, sebagaimana yang
disarankan oleh Gay, Mills, & Airasian (2009). Keikutsertaan bersaing dalam memperoleh dana
hibah penelitian merupakan upaya yang sangat positif untuk mengembangkan kemampuan
meneliti secara sehat, sehingga peran pendidik guru sebagai peneliti dapat dimainkan dengan
sempurna. Selanjutnya, melakukan penelitian secara kolaboratif dengan mahasiswa atau
dengan para guru di sekolah membuka peluang bagi dosen untuk menyebarluaskan
kemampuan meneliti, yang sekaligus akan meningkatkan kemampuan meneliti dosen. Hal ini
bertolak dari filosofi bahwa yang mengajar, pasti belajar.
8. Menulis karya ilmiah. Karya ilmiah mencerminkan keluasan wawasan penulis dalam bidang
tertentu. Kemahiran menulis karya ilmiah tidak terjadi secara instan, tetapi memerlukan proses
latihan yang berkesinambungan. Melalui karya ilmiah para dosen dapat mengungkapkan idea-
ideanya dalam bidang tertentu sehingga idea-idea tersebut diketahui oleh masyarakat luas,
khususnya masyarakat yang akrab dengan dunia pendidikan. Karya ilmiah dapat disampaikan
dalam kegiatan ilmiah seperti seminar, pelatihan, diskusi ilmiah, dan dapat pula diterbitkan
melalui berbagai jurnal, baik di tingkat lembaga, nasional, maupun internasional. Karya ilmiah
dapat berasal dari laporan penelitian yang sudah dilakukan, ataupun kajian teoritis yang
dilakukan dalam bidang yang terkait dengan pendidikan guru.

PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian, pengamatan secara umum, dan pengalaman di lapangan yang
telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan profesionalisme pendidik guru
merupakan satu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Siapapun yang mau
mempertahankan posisi sebagai pendidik guru harus mau dan mampu mengembangkan
profesionalisme secara berkelanjutan. Tanpa pengembangan profesionalisme, pendidik guru tidak
mungkin mampu melaksanakan perannya sebagai penentu kualitas pendidikan yang sangat
berpengaruh terhadap masa depan bangsa dan negara. Ada empat alasan kuat yang mendorong
pendidik guru untuk mengembangkan profesionalisme, yaitu: (1) hakikat pendidik guru sebagai
sebuah profesi, (2) perkembangan IPTEKS yang pesat, (3) filosofi belajar sepanjang hayat, dan (4)
Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Dosen dan Guru.
Jika setiap pendidik guru telah menyadari kewajiban untuk mengembangkan
profesionalisme, dapat diharapkan ia akan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar
para guru atau calon guru yang menjadi tanggung jawabnya. Pada gilirannya, para guru yang
dihasilkan akan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar para siswa yang menjadi peserta
didiknya. Dengan demikian, dapat diharapkan kualitas pendidikan akan meningkat, sehingga akan
membawa dampak positif bagi masa depan bangsa. Namun, perlu disadari bahwa kondisi seperti ini
memerlukan upaya yang serius untuk mewujudkannya. Upaya tersebut harus berlangsung secara
sinergis, yang melibatkan berbagai pihak yang bertanggung jawab, mulai dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Pendidikan Guru, Direktorat Jenderal dan Badan yang
berkaitan dengan guru, Dinas Pendidikan di daerah, dan tidak kalah pentingnya adalah sekolah.

42
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44

Upaya yang dilakukan dapat mulai dari kebijakan, penyediaan fasilitas, kesempatan, dan
dorongan yang mendukung kebijakan tersebut, di samping pemberian penghargaan bagi yang mau
dan mampu berkembang serta pengenaan sanksi bagi pendidik guru yang tidak mau berkembang.
Agar pemberian penghargaan dan sanksi dapat dilakukan secara efektif, etis, dan mendidik, sistem
penilaian kemampuan pendidik guru harus dikembangkan dan disosialisasikan secara terbuka.
Komponen penilaian yang sangat perlu disosialisasikan adalah waktu penilaian, instrumen penilaian,
penilai, dan kriteria keberhasilan. Berdasarkan hasil penilaian ini, penghargaan dan sanksi harus-
benar diberikan bagi yang layak menerimanya.

REFERENSI
Darling-Hammond, L., & Goodwin, A. L. (1993). Progress toward profesionalism in teaching. In
Gordon Cawellti (Editor). Challenges and achievements of American Education. Alexandria:
Association for supervision and curriculum development.
Ditjen Dikti. (2004). Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan
Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional.
Gay, L. R.; Mills, G. E., & Airasian, P. (2009). Educational research. Columbus: Pearson Edcation,
Inc.
Harrison, J., & Yaffe, E. (2009). Teacher educators and reflective practice. Dalam: Swennen, A. &
van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and practice for teacher
educators .(hal.145-161). Amsterdam: Springer Science+Business Media.
Joni,T. R. (1989). Mereka masa depan, Sekarang. Tantangan bagi pendidikan dalam menyonsong
abad informasi. (Ceramah Ilmiah: disampaikan dalam Upacara Dies Natalis XXXV, Lustrum
VII IKIP Malang, 18 Oktober 1989).
Joni,T. R. (2007). Prospek pendidikan profesional guru di bawah naungan UU No.14 Tahun 2005.
Dipaparkan dalam Rembuk Nasional Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru, 17 November
2007, di Universitas Negeri Malang.
Konno, F.; Higuchi, Y., & Mitsuishi, T. (2009). A study on teacher reflection method by presenting
differences between lesson plan and actual instructions. Educational technology Res., 32,
101-111.
Konsorsium Ilmu Pendidikan. (1993). Profesionalisasi jabatan guru: tawaran dan tantangannya.
Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan.
Livingston, K.; McCall, J., & Morgado, M. (2009). Teacher educators as researchers. Dalam:
Swennen, A. & van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and
practice for teacher educators .(hal.191-204). Amsterdam: Springer Science+Business
Media.
Murray, Swennen, & Shagrir. (2009). Understanding teacher educators’work and identities. Dalam:
Swennen, A. & van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and
practice for teacher educators .(hal.29-44). Amsterdam: Springer Science+Business Media.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar
Kualifikasi dan kompetensi guru. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology. (3rd ed). New Yoyk: McGraw-Hill Companies, Inc.
Swennen, A., & van der Klink, M. (2009). Epilogue: Enhanching the profession of teacher educator.
Dalam: Swennen, A. & van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and

43
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru

practice for teacher educators .(hal.219-225). Amsterdam: Springer Science+Business


Media.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1997). Kamus besar bahasa
Indonesia. Edisi 2, Cetakan ke 9. Jakarta: Balai Pustaka.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Wardani, I G. A. K, & Julaeha, S. (2011). Encouraging teacher’s profesional development through
open and distance learning. Paper presented at The 24th ICDE World Conference, Nusa
Dua, Bali, 2-5 Oktober 2011.
Wehmeier, S. (Chief Editor). 2005. Oxford advanced learner’s dictionary (7th ed). Oxford: Oxford
University Press.
Wikipedia, the free encyclopedia. (2010). Diambil 29 Desember 2010, dari: http://en.wikipedia.org/
wiki/Profesional_development.
Wikipedia, the free encyclopedia. (2011). Diambil 6 Mei 2011, dari: http://en.wikipedia.org/
wiki/Lifelong_learning.

44
PROBLEMATIKA GURU DAN DOSEN
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Miftahur Rohman
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
email: miftahur.rohmaan@gmail.com

Abstract: This paper highlights educator problem in education system in Indonesia.


The discussion focuses on general education and religious education. Educators of
non-religious education are product of education and institute of teacher training
and education (IKIP) which teach general science, meanwhile educators of religious
education are product of Islamic Higher Education (PTKI) which teach religious
knowledge. This study aims to analyze books, rules, researches, and news about teacher.
To sum up, the educator problems include: poor quality teacher and low teacher salaries
that are caused by some factors, government policy that is not implemented well, teacher
training institution (LPTK) that are not able to produce a professional teacher.

‫ و ُر ّكزت الدراسة يف‬.‫ حاولت هذه املقالة دراسة مشاكل املربّني يف ضوء النظام الرتبوي اإلندونيسي‬:‫ملخص‬
‫ كان املعلّم يف الرتبية العامة خ ّريج املعهد العالي للمعلّمني والعلوم الرتبوية‬.‫الرتبية العامة والرتبية الدينية‬
‫ أما معلموا العلوم الدينية‬. ‫تغي كثري منها إىل اجلامعات اليت تد ّرس العلوم التجريبية والكونية‬ ّ ‫ ث ّم‬IKIP
ُ
،‫ كتبت هذه الدراسة عن طريق حتليل الكتب‬.‫فخ ّرجيوا اجلامعات اإلسالمية اليت تد ّرس العلوم اإلسالمية‬ ِ
‫ نوعية املدرسني‬: ‫ استخلصت الدراسة النتائج التالية‬.‫ واألخبار عن املعلّمني‬،‫ والبحوث العلمية‬،‫والقوانني‬
‫ واملؤسسات الرتبوية‬،‫ وهذه نتيجة من أن قرارات احلكومة اليت مل تطبّق جيدا‬.‫ورفاهية حياتهم ضعيفتان‬
.‫ مل تكن ف ّعالة يف انتاج املعلّمني‬LPTK ‫العالية‬

Keywords: Problematika, pendidikan, pendidik, kebijakan pemerintah


50 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan aspek terpenting kemajuan sebuah bangsa.
Kemajuan bangsa dapat dilihat dari kemajuan sistem pendidikannya. Dalam
sistem pendidikan terdapat berbagai macam stakeholder yang saling berkaitan.
Komponen yang paling urgen adalah pendidik. Pendidik memainkan peran yang
sangat penting yang berdampak pada kualitas pendidikan yang dijalankan. Secara
historis, pendidik atau guru di Indonesia tidak lepas dari sistem pendidikan yang
diterapkan dari masa ke masa sejak era kemerdekaan hingga sekarang. Di setiap
masanya diterapkan kebijakan dan manajemen pendidikan yang beragam, yang
bertujuan mengembangkan pendidikan yang lebih kompetitif dan unggul.
Kualifikasi pendidik juga tergantung dari institusi pendidikan guru yang
ada. Reformasi pendidikan yang dijalankan di Indonesia telah berjalan sekian
lama sejak kemerdekaan. Berdasarkan jenis pendidikan, secara umum pendidik
di Indonesia dibedakan ke dalam pendidikan umum dan pendidikan Agama.
Kedua jenis pendidikan tersebut berada di bawah naungan kementerian yang
berbeda. Pendidikan umum berada di bawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Pendidikan Tinggi Riset dan
Teknologi (Kemenristek Dikti). Sedangkan pendidikan agama berada di bawah
naungan Kementerian Agama (Kemenag).
Perbedaan nomenklatur kementerian yang menaungi jenis pendidikan di
Indonesia secara tidak langsung juga mempengaruhi kualifikasi pendidik yang
dihasilkan. Institusi pendidikan yang melahirkan guru untuk pendidikan umum
adalah IKIP (Institusi Keguruan dan Pendidikan) dan institusi pendidikan yang
melahirkan guru Agama adalah LPTKI (Lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan
Islam). Dalam realitanya, baik pendidik pendidikan umum maupun pendidik
pendidikan agama, mempunyai problem yang tak kunjung usai dari masa ke masa.
Penulis membatasi pembahasan artikel ini pada problem-problem pendidik
pada pendidikan umum dan pendidikan agama. Sesuai dengan pembatasan
masalah yang telah ditentukan di atas, maka permasalahan tulisan ini dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut: “Bagaimana problematika
pendidik dalam pendidikan umum dan pendidikan agama di Indonesia?”
Dalam tulisan ini, penulis tidak melakukan empirical research, hanya
mengambil sumber-sumber dari berbagai literatur seperti buku, jurnal, website
yang ter-update yang penulis percaya informasi yang dihasilkannya merupakan
informasi berdasarkan riset atau studi lapangan.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 51

KONSEP PENDIDIK DAN DASAR KEBIJAKANNYA


Guru memiliki pengertian yang luas. Namun dalam konteks jabatan,
guru memiliki makna yang terbatas yaitu mereka yang profesinya mendidik
pada lembaga pendidikan formal, dari pendidikan Dasar sampai menengah.
Sementara mereka yang mengajar pada lembanga pendidikan tinggi disebut
dosen.1 Menurut PP No. 74 Tahun 2008, guru merupakan pendidik profesional
dengan tugas mendidik, mengajar, membinbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.2 Sedangkan untuk pendidikan
tinggi, pendidik yang bertugas memberikan pengajaran disebut dosen. Menurut UU
No. 14 Tahun 2005, dosen merupakan pendidik profesional dan ilmuan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.3 Guru adalah profesi yang mulia karena guru merupakan sosok
pertama yang mengenalkan pada ilmu-ilmu pengetahuan.
UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 di atas menyebutkan guru harus
memiliki kualifikasi dan kompetensi akademik. Kualifikasi tersebut berupa
pendidikan minimal sarjana atau progam diploma empat. Sedangkan kompetensi
tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi tersebut bersifat holistik.
Ketentuan mengenai kompetensi tersebut secara lebih jelas dijabarkan
dalam PP No. 74 Tahun 2008. Pertama, kompetensi pedagogik yang merupakan
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang meliputi: pemahaman
terhadap peserta didik, pengembangan silabus, RPP, pembelajaran dialogis, evaluasi
hasil belajar, dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
Kedua, kompetensi kepribadian yang mencakup: beriman dan bertakwa, berakhlak
mulia, arif dan bijaksana, demokratis, mantab, berwibawa, stabil, dewasa, jujur,
sportif, menjadi teladan, bersifat obyektif, dan mengembangkan diri secara
mandiri dan berkelanjutan. Ketiga, kompetensi sosial yang meliputi: santun dalam
berkomunikasi, menggunakan teknologi komunikasi secara fungsional, dapat
bergaul dengan efektif dengan semua pihak (sesama pendidik, peserta didik,
dan wali peserta didik), bergaul secara baik dengan lingkungan masyarakat, dan
menerapkan prinsip persaudaraan dalam kebersamaan. Keempat, kompetensi

1
Muhammad Kosim, Pendidikan Guru Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Nusantara,
2012), 11.
2
Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.
3
Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Guru dan Dosen.
52 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

profesional yang meliputi penguasaan materi dan metode pembelajaran. Keempat


kompetensi tersebut wajib dimiliki oleh guru.
Menurut Robert McNergney, profesi guru merupakan profesi yang mulia.
Karena gurulah yang membentuk karakter, kedisiplinan, kecintaan, dan kasih
sayang. Dengan demikian, tidak diragukan lagi kita harus belajar dari mereka.4
Secara umum ada tiga tugas guru sebagai profesi, yakni mendidik, mengajar,
dan melatih.5 E. Mulyasa mengidentifikasi 19 (sembilan belas) peran guru yaitu
guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu
(inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas,
pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor,
emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.6
Ibnu Jama’ah berpendapat bahwa guru ideal dalam Islam adalah guru
yang menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Sifat-sifat rendah hati, khusyuk,
tawadhu’, dan berserah diri kepada Allah. Selain itu, guru harus berkepribadian
agamis, yakni memiliki tingkah laku sesuai dengan tuntutan Rasul berdasarkan
al-Quran dan Hadis.7 Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun, guru ideal seharusnya
mendidik dan melatih peserta didik secara sistematis dengan disesuaikan
kapasitas mereka. Kemudian menumbuhkan kreativitas berpikir siswa dengan
pembelajaran yang komprehensif, yaitu sebelum peserta didik paham, guru tidak
berpindah ke materi lain. Seorang guru juga harus membiasakan diskusi dan tukar
pikiran dengan peserta didik, membantu peserta didik dalam mencapai tujuan
pembelajaran dengan pemahaman materi yang baik.8 Sementara itu, Abd al-
Amir Syams al-Di>n mendefinisikan guru ideal harus senantiasa membudayakan
membaca, menelaah, berpikir, menghafal, berdiskusi, dan membuat karya.
Seorang guru tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang tidak ada kaitannya
dengan ilmu pengetahuan.9 Sejalan dengan ulama-ulama Islam di atas, al-Ghaza>li>
menyatakan seorang guru harus bertaggung jawab pada pelajaran yang diajarinya
dan membuka jalan yang seluas-luasnya untuk mempelajari bidang studi lain,
maka harus menjaga kemajuan murid secara bertahap.10

4
Robert McNergney & Carol Carrier, Teacher Development, (New York: Macmillan
Publising, 1981), vii.
5
Suyanto, Asep Jihad, Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru
di Era Global, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2013), 1.
6
E.Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan,
cet ke-10, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 13.
7
Abd al-Amir Syams al-Di>n, al-Mazhab al-Tarbawi ‘in Ibnu Jama’ah, (Beirut: Da>r al-Iqra,
1404 H/1984 M), 23.
8
Abd al-Amir Syams al-Di>n, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibnu Khaldun wa Ibnu al-Azraq, cet
ke-1, (Beirut: Da>r al-Iqra, 1413 H/1993 M), 87-89.
9
Ibid., 23.
10
Al-Ghaza>li>, Ihya>’ Ulumuddi>n, (ttp: Masyadul Husaini, t.t.), Juz I, 46.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 53

Di Indonesia jumlah guru menurut data Kemendikbud ada sebanyak 3.015.315


guru. Dari jumlah itu, sebanyak 2.294.191 guru berstatus PNS dan guru tetap yayasan
(GTY). Sedangkan sisanya sebanyak 721.124 guru berstatus guru tidak tetap (GTT)
dan tidak bersertifikasi.11 Dari 3 (tiga) juta guru tersebut tidak sedikit yang masih
bermasalah, baik dari segi profesionalisme maupun kepribadian.
Hasil penelitian banyak yang menunjukkan sertifikasi guru tidak berjalan
lurus dengan kompetensi guru dalam mengajar. Penelitian Kardiyem terhadap
guru akuntatansi bersertifikasi di SMK se-Kabupaten Grobogan menunjukkan
kompetensi profesional guru belum maksimal. Dalam hal ini kemampuan guru
masih kurang dalam menerapkan SK dan KD, pengembangan materi, dan pola
berpikir peserta didik.12 Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Badrun
Kartowagiran. Ia meneliti kualitas guru yang sudah tersertifikasi di Kabupaten
Sleman. Dalam penelitiannya diambil sampel sebesar 10 persen dari total 548
guru bersertifikasi di semua jenjang pendidikan di Kabupaten Sleman. Dari
hasil penelitiannya ditemukan bahwa kinerja sebagian guru profesional (pasca
sertifikasi) yang ada di Kabupaten Sleman belum baik. Kekurangan tersebut di
antaranya dalam membuat dan menyusun perangkat pembelajaran (RPP).13
Penelitian kualitas guru bersertifikasi selanjutnya adalah penelitian Sujianto.
Ia meneliti guru kejuruan yang bersertifikat pendidik se-Malang Raya. Dari
hasil penelitiannya ia menemukan bahwa pemberlakuan UU No. 14/2005 yang
diikuti dengan tunjangan profesi sebenarnya memberikan harapan besar untuk
menumbuhkan minat guru dalam mengembangkan profesionalitasnya, namun
kenyataannya tidak demikian. Pengembangan profesionalitas berkelanjutan
guru bersertifikat pendidik di SMK rumpun teknologi se-Malang Raya masih
tergolong rendah.14 Untuk kasus guru Pendidikan Agama Islam (PAI), penelitian
Khoirunnisa di SMPN se-Kota Bekasi menyimpulkan bahwa kompetensi guru
sudah cukup baik, kecuali evaluasi dan proses hasil belajar, masih terdapat guru
yang tidak dapat menerima pluralisme dan multikulturalisme serta minimnya
pengetahuan guru terhadap teknologi informasi.15 Dengan demikian, tunjangan

11
Data ini disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Sumarna Surapranata. Lihat Ati, “2016, Sebanyak 72.082 Guru
di Indonesia Bersertifikasi”, Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 2016. www.krjogja.com/sebanyak-
72082-guru-di-indonesia-bersertifikasi. Diakses pada 16 Pebruari 2016.
12
Kardiyem, “Analisis Kinerja Guru Pasca Sertifikasi: Studi Empiris pada Guru Akuntansi
SMK Se-Kabupaten Grobogan”, JEE: Journal of Economic Education, No. 2, Vol. I, Juni 2013, 1.
13
Badrun Kartowagiran, “Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi)”, Jurnal
Cakrawala Pendidikan, No. 3, Vol. XXX, (Nopember 2011), 472.
14
Sujianto, “Pengembangan Profesionalitas Berkelanjutan Guru Bersertifikat Pendidik di
SMK Rumpun Teknologi se-Malang Raya”, Jurnal Pendidikan Sains, No. 2, Vol. I, Juni 2013, 159.
15
Khoirunnisa, “Profil Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam SMPN Di Kota Bekasi”,
Jurnal Tarbawi, No. 3, Vol. I, (September 2012), 205.
54 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

sertifikasi yang diterima guru tidak sejalan dengan profesionalismenya dalam


mengajar.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian di atas, masih terdapat
problematika pendidik, terutama dalam pendidik yang sudah bersertifikasi.
Kenyataan tersebut mengindikasikan terjadi kesenjangan antara kebijakan
pemerintah dengan realitas di lapangan. Guru ideal yang diharapkan semakin
bermunculan pasca berlakunya UU No. 14 Tahun 2005 pada kenyataannya
sulit terwujud. Problematika tersebut tentu saja tidak lahir secara instan. Jika
akan mengukur kualitas dan kompetensi guru, tentu tidak dapat dilepaskan
dari lembaga pendidikan yang melahirkan guru. Pendidikan guru di Indonesia
dikenal dengan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang kemudian
bertransformasi menjadi Universitas Keguruan. Selain itu, ada FKIP yang
terdapat di universitas-universitas negeri maupun swasta. Sedangkan lembaga
pendidikan yang mencetak guru pendidikan agama Islam dikenal dengan UIN,
IAIN, dan STAIN.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA


Setelah Indonesia merdeka, sistem pendidikan guru mengalami perkembangan
dari sebelumnya pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Sistem
pendidikan di Indonesia dijalankan melalui Kementerian Pendidikan16 sebagai
penyelenggara pendidikan umum, dan kementerian Agama17 sebagai penyelenggara
pendidikan Agama.

16
Dalam sejarahnya, nama kementerian ini mengalami beberapa kali perubahan
nomenklatur; tahun 1945-1959 bernama Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemudian dari tahun 1959-1961 berubah menajadi Departemen Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan. Tahun 1961-1966 dipecah menjadi tiga Departemen: Departemen Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, dan
Departemen Olahraga. Selanjutnya pada tahun 1966-1999 menjadi Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Pada tahun 1999-2010 menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Tahun
2010-2011 berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan Nasional. Kemudian pada tahun
2011-2014 berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terakhir, mulai tahun
2014 hingga sekarang dipecah menjadi 2 (dua) Kementerian yaitu: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang membawahi Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Kementerian Pendidikan
Tinggi Riset dan Teknologi yang membawahi Pendidikan Tinggi.
17
Kementerian Agama dibentuk dalam Kabinet Syahrir tanggal 3 Januari 1946. Kemudian
pada tahun 1960 berubah nama menjadi Departemen Agama. Sejak 28 Januari 2010 hingga
sekarang berubah kembali menjadi Kementerian Agama.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 55

Lembaga pendidikan guru yang pernah berkembang dalam naungan


Kementerian Pendidikan, untuk calon guru sekolah dasar, antara lain: SGC18
(2 tahun setelah SD), SGB19 (4 tahun setelah SD), SGA (6 tahun setelah SD),
dan SPG (3 tahun setelah SMP). Sedangkan untuk calon guru pada jenjang
pendidikan menengah disiapkan melalui lembaga pendidikan guru jenjang
pendidikan tinggi, yaitu PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru), IPG
(Institut Pendidikan Guru), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan Universitas bekas IKIP.20
Perguruan Tinggi Guru berdiri tahun 1954 dengan nama Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) untuk mendidik guru sekolah menengah. PTPG ini
berdiri di empat tempat, yaitu Bandung, Malang, Batu Sangkar, dan Tondodano.
Pada tahun 1961 berdasarkan kesepakatan antara Departemen Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen Perguruan Tinggi. Dalam
kesepakatan itu, PTPG dimasukan ke dalam universitas sebagai Fakutas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ditujukan untuk mendidik calon
sekolah lanjutan (baik lanjutan pertama maupun lanjutan atas).21
Selanjutnya, FKIP dianggap tidak memenuhi ekspektasi untuk mendidik
calon-calon guru yang kompeten, sehingga didirikan IPG (Institut Pendidikan
Guru) di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K).
Akibatnya, timbul dualisme penyelenggara pendidikan guru tingkat menengah
karena saat itu FKIP berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Tinggi
dan Ilmu Pengetahuan. Akibat dualisme penyelenggara pendidikan guru tingkat
menengah, melalui Dekrit Presiden tanggal 3 Januari 1963, FKIP dan IPG
diintegrasikan menjadi satu lembaga Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) di bawah Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP).22
IKIP pada akhirnya berubah menjadi Universitas yang mendidik calon tenaga
guru tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.

18
Sehubungan dengan kebutuhan guru SR yang mendesak, maka dibukalah sekolah guru
yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan guru. Untuk itu didirikan sekolah guru 2 (dua)
tahun setelah SR yang disebut Sekolah Guru C (SGC). Namun keberadaan SGC dirasakan kurang
bermanfaat, sehingga SGC ditutup dan sebagian dijadikan SGB. www.file.upi.edu. Diakses pada
3 April 2015.
19
Pendidikan SGB dimaksudkan untuk mendidik guru SR. Murid yang diterima adalah lulusan
SR yang lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. www.file.upi.edu. Diakses pada 3 April 2015.
20
Kosim, Pendidikan Guru Agama, 5.
21
Diambil dari artikel “Guru” dalam www.file.upi.edu. Diakses pada 3 April 2015.
22
Fahriany, “Teacher Education in Indonesia,” JURNAL TARBIYA: Journal Education of Muslim
Society No. 1, Vol. I, (Juni 2014), 4-5.
56 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

Tabel 1: Perkembangan Pendidikan Guru Kementerian Pendidikan


Jenjang
No Tahun Jenis Pendidikan
Mengajar
1 1945 SGB (4 tahun setelah SD) SD
SGA (3 tahun setelah SMP) SMP
2 1950 KPKPKB
• SGB (6 tahun setelah SD) SD
• PGSLP (BI) SMP
• PGSLA (BII) SMA
3 1954 PTPG SMP dan SMA
4 1961 FKIP (Bagian dari universitas) SMP dan SMA
IPG (Institut Pendidikan Guru) SMP dan SMA
5 1963 IKIP (integrasi FKIP dan IPG) SMP dan SMA

Gambar 1: Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud

Gambar 2: Pengelolaan Pendidikan Tinggi Kemenristek Dikti


Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 57

Kementerian Agama juga mengalami perkembangan jenis pendidikan


sebagaimana Kementerian Pendidikan. Pengadaan guru agama melalui pendirian
sekolah guru diawali dengan pendirian Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam
(SGHI) di Solo pada tanggal 16 Mei 1948. SGHI sempat vacuum saat agresi militer
Belanda II. SGHI merupakan sekolah yang mendidik calon guru dan hakim agama
Islam secara bersama dalam satu lembaga. Kemudian pada tanggal 15 Agustus
1950 SGHAI dikembangkan dan didirikan SGAI (Sekolah Guru Agama Islam).23
Selanjutnya, nama SGHAI diganti menjadi SGHA (Sekolah Guru dan Hakim
Agama) dengan masa belajar tetap 4 tahun setelah MTs/SMP. Sedangkan SGAI
diganti menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dengan masa belajar 5 tahun
setelah SD/MI.
Selanjutnya, PGA 5 tahun berubah menjadi PGA 6 tahun. Seiring
berjalannya waktu perubahan-perubahan dilakukan untuk memajukan
pendidikan keagamaan di Indonesia. Berikut ini diasajikan dalam tabel, jenis-
jenis pendidikan guru jenjang menengah.

Tabel 2: Perubahan Lembaga Pendidikan Guru Agama Islam Negeri


Jenjang Pendidikan Menengah

No Tahun Nama Lembaga Dasar Pendirian


1 1948-1950 SGHAI Peraturan Menteri Agama
Nomor 3/C-3/1950
2 1950 SGHAI 4 tahun S E Ke p a l a B a g i a n C
SGAI 2 tahun (Pendidikan Agama) Nomor
SGAI 5 tahun 277/C/C-9/1950
3 1951 SGH 4 tahun Penetapan Menteri Agama
Nomor 7/1951
PGA 5 tahun
4 1953 PGA 6 tahun; Penetapan Menteri Agama
• PGAPN 4 tahun Nomor 35/1953
• PGAAN 2 tahun
5 1959 PGAN 4 tahun Penetapan Menteri Agama
Nomor 18/1959
PGAN 6 tahun
6 1978 PGAN 3 tahun Keputusan Menteri Agama
Nomor 19/1978
7 1992 PGAN menjadi MAN Keputusan Menteri Agama
Nomor 42/1992

23
Kosim, Pendidikan Guru Agama, 29-31.
58 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

Selanjutnya, untuk pendidikan guru jenjang menengah, dipersiapkan oleh


Fakultas Tarbiyah yang merupakan bagian dari PTKIN. Sejarah berdirinya IAIN
dimulai di Yogyakarta pada tahun 1960 yang berdasar pada Peraturan Presiden
Nomor 11/1960. IAIN merupakan hasil integrasi PTKIN dan ADIA (Akademi
Dinas Ilmu Agama). Pada perkembangan selanjutnya IAIN dipecah menjadi
dua: IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta, yang masing-masing memiliki tugas
koordinasi dan pembinaan terhadap fakultas-fakultas cabang di daerah.24
Setelah IAIN Jakarta berdiri pada tahun 1963, pendirian fakultas dan
IAIN semakin luas yang tersebar di daerah-daerah. Sampai tahun 1972, telah
berdiri di tiga belas wilayah dengan sejumlah fakultas yang mencapai 104
buah yang tersebar tidak hanya di ibukota Propinsi, tetapi juga di kota-kota
kabupaten.25 Pada perkembangan selanjutnya, sejumlah IAIN berubah nama
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) karena memiliki fakultas dan jurusan
di luar studi keislaman. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah perguruan
tinggi Islam pertama yang berubah menjadi UIN. Jika pada tahun 2000 tercatat
masih terdapat 14 IAIN di Indonesia, saat ini 11 di antaranya telah berubah
status menjadi UIN.26
Tabel 3: Daftar Universitas Islam Negeri di Indonesia

No Nama Tahun Berdiri Kota


1 UIN Syarif Hidayatullah 2002 Tangerang Selatan
2 UIN Sunan Kalijaga 2004 Yogyakarta
3 UIN Maulana Malik Ibrahim 2004 Malang
4 UIN Sunan Gunung Djati 2005 Bandung
5 UIN Alaudin 2005 Makassar
6 UIN Sultan Syarif Kasim 2005 Pekan Baru
7 UIN Ar-Raniry 2013 Banda Aceh
8 UIN Sunan Ampel 2013 Surabaya
9 UIN Raden Fatah 2014 Palembang
10 UIN Sumatera Utara 2014 Medan
11 UIN Walisongo 2014 Semarang

24
Ibid, 88-90.
25
Ibid.
26
Universitas Islam Negeri, http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_negeri. Diakses
pada 5 April 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 59

Gambar 3: Pengelolaan Pendidikan Kementerian Agama

PROBLEMATIKA GURU
Pasca pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, program
akta IV secara bertahap dihapus. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat
(1) UU 14/2005, untuk menjadi guru profesional tidak harus lulusan sarjana
kependidikan. Semua sarjana atau diploma empat memiliki peluang yang sama
menjadi guru, asal memenuhi ketentuan dan lulus pendidikan profesi.
Dengan meningkatnya persyaratan akademik calon guru menjadi minimal
lulusan sarjana atau diploma IV (empat) dan lulus pendidikan profesi, maka
sejak Indonesia merdeka hingga kini telah terjadi tiga kali perubahan syarat
minimal calon guru. Perubahan-perubahan tersebut yaitu: Pertama, periode
1945-1989. Syarat pendidikan calon guru di masa ini bersifat multi strata sesuai
dengan jenjang dan satuan pendidikan yang menjadi wilayah tugasnya. Kedua,
periode 1989-2005, semua guru pada periode ini harus memiliki kualifikasi
akademik minimal jenjang pendidikan tinggi dengan jenis progam yang sesuai
dengan tugasnya. Ketiga, periode 2005 hingga sekarang, terutama setelah UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen disahkan. Semua calon guru wajib memiliki
kualifikasi minimal sarjana atau diploma IV (empat) dan untuk menjadi pendidik
profesional harus lulus pendidikan profesi.27

27
Kosim, Pendidikan Guru Agama, 140.
60 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

Tabel 4: Kualifikasi Minimum Pendidikan Calon Guru

No Periode Satuan Pendidikan Kualifikasi Minimal


1 1945-1980 • SD/MI Sekolah Menengah Keguruan
• SMP/MTs Sarjana Muda
• SMA/MA Sarjana Lengkap
2 1989-2005 • SD/MI Diploma II
• SMP/MTs Diploma III
• SMA/MA Sarjana S1
3 2005-Sekarang SD/MI, SMP/MTs, Sarjana S1 atau Diploma IV
SMA/MA dan Pendidikan Profesi Guru

Meskipun profesi guru sudah menjadi tenaga profesional sesuai amanat UU


Guru dan Dosen No. 14/2005, namun masih banyak problem yang ditemukan
tentang mereka. Permasalahan yang dihadapi di setiap daerah tentu berbeda-
beda, melihat luasnya wilayah nusantara. Guru yang mengabdi di wilayah
terluar nusantara yang berbatasan langsung dengan negara tetangga kerap kali
mendapatkan kendala dalam sarana prasarana mengajar. Sulitnya akses dan
beratnya medan membuat mereka seakan terisolasi dan terlupakan jasanya.
Mereka seharusnya menjadi miniatur proses pendidikan Indonesia yang dapat
dilihat oleh negara tetangga.
Problem yang dihadapi tenaga pendidik di daerah perbatasan
sangat memprihatin­kan. Sebagai contoh, keadaan guru yang mengajar
di daerah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Selain fasilitas, sarana
dan prasarana yang belum memadai, mereka kerap tidak mendapatkan
tunjangan yang layak.28 Jumlahnya juga masih kurang, sehingga guru harus
mengajar 2-3 kelas sekaligus. Sebagian dari mereka adalah guru honorer. 29
Dengan demikian, pendidikan di Indonesia semakin terlihat diskriminatif, terutama
untuk wilayah perbatasan yang sangat memperihatinkan. Selain di perbatasan
kalimantan, kekurangan jumlah guru juga terjadi di NTT. Menurut Gubernur NTT,

Derita Guru di perbatasan”, Pontianak Time, 25 Nopember 2013. www.pontianak-times.


28

com/edukasi/251113/derita-guru-mengajar-di-perbatasan. Diakses pada 7 April 2015.


29
Said Dian Utomo, “Potret Pendidikan di perbatasan Kalimantan”. http://pattiro.
org/?p=4143. Diakses pada 7 April 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 61

Frans Lebu Raya, sampai tahun 2015 terdapat 20 ribu guru yang masih berijazah
SMA dari 97 ribu guru yang ada di NTT. 30
Sebenarnya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan telah mengambil
kebijakan untuk pendidikan di daerah tertinggal dan daerah terluar nusantara.
Di antaranya ialah progam “Indonesia Mengajar”. Progam tersebut ditujukan
untuk pemerataan pendidikan di seluruh wilayah nusantara, terutama daerah
yang masih tertinggal atau daerah terpencil yang kekurangan guru. Untuk itu,
dikirim tenaga guru untuk mengabdi di wilayah tersebut.
Selanjutnya, Kemendikbud meluncurkan progam SM-3T (Sarjana mendidik
di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal). Bagi sarjana keguruan yang baru
lulus diberikan kesempatan mengajar di daerah 3T selama 1 (satu) tahun.
Menurut Anis Baswedan, progam ini bertujuan mempercepat pembangunan di
daerah 3T. Progam ini sebagai solusi mengatasi kekurangan guru di daerah 3T.31
Progam ini mengirimkan sekitar 3000 sarjana pendidikan setiap tahun.
Mereka ditempatkan di sejumlah daerah terpencil di wilayah Papua, NTT,
Kalimantan dan sejumlah daerah terpencil lainnya. Sebelum mengikuti progam
ini mereka diberi pelatihan bagaimana mengajar di daerah 3T. Setelah 1 (satu)
tahun menempuh progam ini, mereka yang berminat menjadi guru diberikan
diberikan beasiswa pendidikan profesi. Dengan mengikuti pendidikan profesi
ini, setelah lulus mereka sudah bisa mengabdi sebagai guru melalui jalurnya
masing-masing.32
Selain pemerataan jumlah guru, problem yang kerap kali menghiasi
wajah pendidikan di Indonesia adalah minimnya kesejahteraan guru,
terutama guru honorer. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), Sulistyo, menilai status kepegawaian guru honorer tidak jelas.
Bahkan, gaji yang diterima guru honorer menurutnya tidak layak. Seharusnya
guru honorer yang didahulukan untuk diseleksi menjadi CPNS. Namun
ditingkat Kabupaten/Kota data tersebut dimanipulasi.33 Pemerintah dalam
pandangan PGRI tidak memiliki data akurat tentang jumlah guru di

30
Yohanes Seo, “20 Ribu Guru di NTT Masih Berijazah SMA”, Tempo, 05 Mei 2015.
http://www.nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/Ribu-Guru-di-NTT-Masih-Berijazah-
SMA. Diakses pada 20 Mei 2015.
31
Nadia Agma, “Progam SM3T, Anis Baswedan Siap Sebar 1000 Sarjana ke Daerah
Pelosok”, Aktual Post, 21 Januari 2015. www.aktualpost.com/program-sm3t-anies-baswedan-
siap-sebar-1000-sarjana-ke-daerah-pelosok-45924/. Diakses pada 8 April 2015.
32
Ratih Anbarini, “Progam SM3T Salah Satu Solusi Pemerataan Kualitas Pendidikan”,
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/2951. Diakses pada 8 April 2015.
33
Karta Raharja, ”PGRI: Gaji Guru Honorer Tidak Manusiawi”, Republika, 19 Maret 2015,
www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/nlgsj7-pgri-gaji-guru-honorer-tidak-
manu siawi. Diakses pada 3 April 2015.
62 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

Indonesia. Selama ini data yang disampaikan pemerintah, jumlah guru di


Indonesia sudah cukup. Namun menurut PGRI data tersebut dimanipulasi.
Sebagai contoh 6.000 guru honorer di Kabupaten Purwakarta tidak diangkat
menjadi pegawai negeri sipil (PNS), padahal mereka sudah mengabdi bertahun-
tahun. Hal tersebut menurut Sang Bupati Dedi Mulyadi karena tidak tersedianya
alokasi APBD untuk menggaji mereka.34
Untuk lingkup Kementerian Agama juga terdapat problem yang tidak
sedikit. Mulai dari rendahnya kualitas guru, gaji guru honorer, dan kurangnya
jumlah guru di daerah. Salah satu daerah yang mengalami krisis guru agama
adalah DIY. Dari media online yang penulis kutip, jumlah guru agama di Kanwil
Kemenag DIY jauh dari cukup. Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam Kemenag
DIY, Bardan Usman mengatakan di seluruh DIY saat ini hanya terdapat 3.000
guru agama Islam. Sedangkan jumlah sekolah negeri dan swasta di DIY mencapai
lebih dari 3.000 sekolah dan memiliki banyak kelas pararel. Akibatnya, beban
guru agama Islam di DIY sangat berat. Mereka kelebihan jam mengajar.35
Selain di DIY, problem pendidik di lingkup Kementerian Agama juga
terjadi di Cianjur. Ribuan guru non-pegawai negeri sipil (PNS) belum menerima
Tunjangan Profesi Guru (TPG) selama delapan bulan terakhir. Keresahan
para guru non PNS atau honorer tersebut cukup beralasan mengingat honor
mereka sebagai guru sangat minim jauh dari jumlah TPG yang mereka harusnya
terima.Secara terpisah, Kepala Seksi (Kasi) Pendidikan Madrasah Kemenag
Cianjur, Tavip Supriadi, tidak menampik belum cairnya tunjangan sertifikasi
menyebebkan keresahan di antara para guru madrasah. Bahkan ada sejumlah
guru yang harus hutang gara-gara tunjangan sertifikasinya belum cair.36
Selain permasalahan di atas, pendidikan di Indonesia dihadapkan dengan
kualifikasi pendidik itu sendiri. Banyak ditemukan guru yang mengajar tidak
sesuai dengan background keilmuan yang dimilikinya. Dengan demikian, transfer
of knowledge tidak berjalan dengan optimal. Untuk itu, Kementerian Pendidikan
melakukan sertifikasi guru-guru yang ada. Tujuannya adalah untuk membentuk guru

34
Nanung Sutisna, “Nasib 6.000 Guru Honorer di Purwakarta Tidak Jelas”, Tempo, 05 Mei
2015.http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/058663608/nasib-6-000-guru-honorer-di-
purwa karta-tidak-jelas. Diakses pada 20 Mei 2015.
35
Neni Ridarineni, “Banyak Daerah Krisis Guru Agama”, Republika, 21 Januari 2015,
http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/15/01/21/niiroa1--banyak--daerah-
krisis-guru -agama. Diakses pada 8 April 2015.
36
Bisri Mustofa, “Bisri Mustofa, “Tunjangan Guru Non-PNS di Kemenag 8
Bulan Belum Cair”, Pikiran Rakyat, 04 Mei 2015, http://www.pikiran-rakyat.com/
pendidikan/2015/05/04/325963/ tunjangan-guru-non-pns-di-kemenag-8-bulan-belum-cair.
Diakses pada 20 Mei 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 63

yang profesional sesuai dengan UU Guru dan Dosen No. 14/2005. Sertifikasi tersebut
mulai dengan portofolio, PLPG, dan yang terakhir PPG. Progam-progam tersebut
diluncurkan dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih baik dan kompetitif.
Portofolio dan PLPG sudah tidak diterapkan lagi karena diang­g ap
kurang tepat. Gantinya adalah PPG (Pendidikan Profesi Guru).37 Berdasarkan
Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan, PPG adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan
lulusan S1 Kependidikan dan S1/D IV Non-Kependidikan yang memiliki bakat
dan minat menjadi guru agar memiliki kompetensi guru secara utuh sesuai
dengan standar nasional pendidikan, sehingga dapat memperoleh sertifikat
pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.38
Dalam Permendikbud tersebut, peserta didik PPG berasal dari sarjana
kependidikan dan non-kependidikan. Dengan demikian, sertifikat akta IV
secara berangsur mulai dihapus. Jika dicermati, adanya peraturan tersebut untuk
meningkatkan kualitas guru melalui Progam Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Namun di sisi lain penghapusan akta IV akan mengikis eksistensi fakultas
keguruan dan fakultas tarbiyah sebagai LPTK penghasil guru. Sarjana lulusan
dari fakultas lain dapat menjadi guru dengan syarat mengikuti progam PPG.
Demikian juga sarjana FKIP dan Tarbiyah. Mereka dapat mendapatkan lisensi
mengajar setelah menempuh progam profesi tersebut. Keadaan demikian akan
menimbulkan anomali dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak,
lulusan dari FKIP dan Tarbiyah disamakan dengan lulusan fakultas lain. Setelah
lulus, mereka belum dapat mengajar meskipun mereka lulusan fakultas keguruan.
Selanjutnya, untuk sektor birokrasi, pemerintah belum lama ini membentuk
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen Guru dan Tendik).
Pembentukan direktorat jenderal yang khusus menangani guru dan tenaga
kependidikan ini tertuang dalam PP No. 14/2015 tentang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Mendikbud, Ditjen Guru dan Tendik
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan. Ditjen
Guru dan Tendik berfungsi melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan
rencana kebutuhan dan pengendalian formasi, pengembangan karier, peningkatan
kualifikasi dan kompetensi, pemindahan, serta peningkatan kesejahteraan guru

37
Priadi Surya, “Model Pendidikan Guru Prajabatan: dari Penghapusan Akta IV Menuju
Sertifikat Profesi”, Jurnal Dinamika Pendidikan, No.1, Vol. I, (Mei 2014), 96.
38
Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2013
tentang Progam Pendidikan Profesi Guru Prajabatan.
64 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

dan pendidik lainnya. Fungsi berikutnya adalah melaksanakan kebijakan di


bidang penyusunan rencana kebutuhan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi,
pemindahan lintas daerah provinsi serta peningkatan kesejahteraan tenaga
kependidikan.39
Pembentukan Ditjen Guru tersebut merupakan kebijakan Menteri yang
baru. Sudah sering dijumpai di Indonesia setiap pejabat mengeluarkan kebijakan-
kebijakan baru bagi instansi yang dipimpinnya. Kebijakan tersebut tidak jarang
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Jika dicermati hingga
kini banyak kebijakan dan peraturan yang justru tumpang tindih dan tidak
bermanfaat di kemudian hari. Pembentukan Ditjen Guru dan Tendik memang
baru beberapa bulan yang lalu dan belum bisa dinilai kinerja dan fungsinya.
Gambar 4: Problem Guru di Indonesia

PROBLEMATIKA DOSEN
Tidak hanya guru, data Kemenristek Dikti menunjukkan Indonesia ternyata
masih sangat kekurangan tenaga dosen. Fakta ini sangat memprihatinkan dan
dapat mengancam keberlangsungan pendidikan tinggi di tanah air. Menurut data
Kemenristek Dikti, jumlah dosen saat ini kurang dari 160.000 orang. Jumlah
tersebut sangat jauh dari cukup karena jumlah mahasiswa yang mencapai 5,4
juta orang. Dari jumlah 160.000 dosen tersebut, sebanyak 30% di antaranya
masih lulusan S1, lalu S2 separuhnya dan S3 hanya 11%.40

39
Mitra Tarigan, “Baru dibentuk Apa Tugas Direktorat Jenderal Guru?”, Tempo, 08
Februari 2015, http://www.nasional.tempo.co/read/news/2015/02/08/079640843/Baru-Dibentuk-
Apa-Tugas-Di rektorat-Jenderal-Guru. Diakses pada 20 Mei 2015.
40
Tajuk Sindo, “Krisis Dosen”, Koran Sindo, 02 Februari 2015, http://www.nasional.
sindonews.com/read/958755/16/krisis-dosen-1422847912. Diakses pada 4 April 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 65

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, perguruan tinggi di Indonesia sangat


minim melakukan perekrutan tenaga dosen baru. Saat ini banyak dosen yang
pensiun, namun tidak diimbangi dengan perekrutan dosen baru. Kedua, minimnya
minat seorang mahasiswa untuk menjadi dosen. Kebanyakan mereka lebih memilih
bekerja di BUMN, perusahaan swasta atau perusahaan multinasional. Alasannya
adalah gaji yang lebih besar daripada menjadi tenaga dosen.41
Rendahnya kualitas dosen sangat terlihat di daerah-daerah. Staf pengajar
di level pendidikan tinggi seharusnya minimal berpendidikan master. Namun
faktanya banyak dijumpai dosen atau asisten dosen yang belum berkualifikasi
master. Selain itu, mereka kerap mengampu mata kuliah yang sebenarnya bukan
keahliannya. Keadaan demikian membuat pendidikan di Indonesia semakin
tertinggal dengan negara tetangga, terutama dalam mengahadapi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Keadaan tersebut penulis cermati akibat longgarnya
pengawasan pemerintah untuk pendidikan tinggi. Seharusnya pemerintah
melalui Dirjen Dikti Kemenristek dan Dirjen Diktis Kemenag menjadi garda
terdepan dalam memajukan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.
Parameter untuk memajukan pendidikan tinggi di Indonesia adalah dengan
meningkatkan jumlah guru besar (profesor) dan jumlah Doktor (Dr/Ph.D). Jumlah
Doktor di Indonesia masih kalah dibanding Malaysia.42 Apalagi jika dibandingkan
dengan China yang sudah memiliki 500 ribu doktor.43 Jika dicermati secara seksama,
kenyataan tersebut sangat ironis mengingat Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Untuk
mengelola sumber daya alam yang membentang dari Sabang sampai Merauke
dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang expert di bidangnya. Dengan demikian,
eksploitasi asing terhadap sumber daya alam Indonesia dapat diminimalisasi.
Problem yang dihadapi Kementerian Agama juga tidak jauh berbeda.
Menurut Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amir,
kualitas SDM pengajar di PTKI tergolong rendah. Data Kementerian Agama
saat ini menunjukkan jumlah dosen PTKI mencapai 32.271 orang dengan
sebaran 12.049 orang di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)

41
Ibid,.
42
Rasio jumlah doktor di Indonesia pada tahun 2015 adalah 143 doktor per satu juta
populasi penduduk. Kalah dengan Malaysia 509 doktor per satu juta penduduknya. Kemudian
di India terdapat 1.410 doktor setiap satu juta penduduknya. Bila dibandingkan dengan Jepang,
Indonesia masih sangat jauh yang mencapai 6.438 doktor per satu juta penduduk. http://kalbar.
antaranews.com/ berita/332228/indonesia-kekurangan-doktor. Diakses pada 9 April 2015.
43
Didi Purwadi, “Kemendikbud: Indonesia Ketinggalan Jumlah SDM Bertitel Doktor”,
Republika, 01 Maret 2015, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/01-
kemendikbud-indonesia-ketinggalan-jumlah-sdm-bertitel-doktor. Diakses pada 18 Mei 2015.
66 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

dan 19.212 berada di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Dari
jumlah tersebut, dosen PTKIN yang berpendidikan doktor (S-3) hanya 1.803
orang (15,5%), sedangkan yang berpendidikan master (S-2) sebanyak 9.012
orang. Sedangkan pada PTKIS, hanya 1.173 (5,8%) orang berkualifikasi doktor
(S-3), dan 12.509 (65,1%) orang masih berkualifikasi Master (S-2).44
Sedangkan jumlah PTKI di Indonesia menurut Menteri Agama, Lukman
Hakim Syaifuddin, sangat memadai. Indonesia memiliki 686 PTKI, baik negeri
maupun swasta. Jumlah tersebut sangat besar jika dibandingkan perguruan tinggi
di negara Islam lainnya seperti Mesir yang tidak lebih dari 50 perguruan tinggi
dan Arab Saudi yang tidak lebih dari 60 perguruan tinggi.45 Dengan demikian,
kebangkitan Islam sangat mungkin lahir dari Indonesia.
Menyikapi problem di atas, pemerintah meluncurkan progam-progam beasiswa
master (S-2) dan doktor (S-3). Di antara progam-progam tersebut adalah progam
beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Di Kementerian Agama,
progam tersebut sudah dijalankan untuk mendorong terwujudnya lebih banyak
kualifikasi tenaga pengajar setingkat doktor di PTKI. Salah satu yang menjadi
progam unggulan yang mulai dijalankan Kemeterian agama adalah mencetak
5.000 Doktor. Progam ini akan terus berjalan untuk meningkatkan sumber daya
manusia di lingkungan pendidikan tinggi Islam di tanah air.
Selain itu, publikasi karya ilmiah dosen juga masih rendah. Hal tersebut
disebabkan berbagai faktor di antaranya tidak adanya waktu untuk menulis
dan meneliti karena padatnya jam mengajar. Selain itu, minimnya dana yang
dialokasikan oleh pemerintah juga menjadi penghambat. Dengan demikian,
tradisi akademik yang seharusnya melekat pada diri seorang dosen menjadi tidak
produktif lagi. Untuk itu, kualitas jurnal ilmiah di Indonesia harus ditingkatkan
untuk menyuburkan kegiatan akademik di kalangan dosen dan peneliti. Sebab,
menurut data dikti sampai tahun 2014, jurnal yang terakreditasi nasional baru
sebanyak 158 buah dan yang terindek internasional baru 19 buah jurnal.46

44
Khoirul Muzakki, “Beri Beasiswa, Kemenag Target 5000 Doktor”, Koran Sindo, 10 Maret
2015, http://www.koran-sindo.com/read/974440/149/beri-beasiswa-kemenag-target-5000-doktor.
Diakses pada 18 Mei 2015.
45
Ibid.
46
Bambang Sutopo Hadi, “DIKTI: Jumlah Jurnal Terakreditasi Perlu Ditingkatkan”, Koran
Sindo, 10 Maret 2015, http://www.koran-sindo.com/read/974440/149/beri-beasiswa-kemenag-
target-5-000-doktor-1425959258. Diakses pada 18 Mei 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 67

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU


Untuk menjadi guru yang profesional tidak cukup hanya membaca buku
yang sama, pelatihan yang sama dan cara mengajar yang sama, dan tidak
melakukan inovasi. Guru juga harus belajar dari lingkungan. Lingkungan menjadi
faktor eksternal yang membentuk profesionalitas guru. Sebab, di lingkungan
masyarakat, guru menjadi figur yang dicontoh. Dari merekalah penilaian baik
buruknya seorang guru didapatkan. Lebih-lebih guru Agama yang biasanya oleh
masyarakat diminta untuk ikut berkontribusi dalam pendidikan non-formal. Hal
demikian menuntut seorang guru lebih kreatif mengembangkan potensinya.
Guru perlu belajar dari lingkungan karena lingkungan menjadi ilmu praktis
yang dapat diaplikasikan di dalam kelas ketika mengajar.Dalam pengertian yang
lebih luas, peran lingkungan bagi seorang guru menjadi sumber praktis guru sebagai
bekal untuk mengajar. Dengan kata lain, penting perlunya melibatkan diri dalam
lingkungan masyarakat untuk menambah kemampuan aspek psikomotorik dan
afektif. Semakin aktif seorang guru terlibat dalam masyarakat, semakin terasah
kemampuannya.
Untuk meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia, bangsa ini perlu
melihat pendidikan di mancanegara. Sebagai contoh di Australia. Di negara
kanguru ini, peningkatan profesionalitas guru dilakukan dengan progam Smarter
Shools: Improving Teacher Quality National Partnership (TQNP). Progam ini
bertujuan untuk menyiapkan, mengembangkan, dan meningkatkan kualitas guru
dan kepala sekolah. Secara umum, progam tersebut bertujuan meningkatkan
kualitas pengajaran melalui:
1. Menarik lulusan terbaik.
2. Meningkatkan kualitas pendidikan guru.
3. Meningkatkan standar pendaftaran calon guru.
4. Memberikan reward bagi guru dan kepala sekolah berprestasi.47

PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa problem pendidik
di Indonesia, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama, mencakup
problem internal dan eksternal. Problem internal terletak pada diri pendidik itu
sendiri karena sering dijumpai pendidik yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai
guru atau dosen, sehingga dalam praktik mengajarnya menjadi kurang menarik
dan tidak inspiratif bagi anak didiknya. Kedua, problem eksternal. Dalam hal

47
David T. Hansen, dkk., Teacher Education around the World, (London: Rouledge 2012), 128.
68 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

ini pemerintah sebagai decision maker harus berbenah dan mengevaluasi sisi-sisi
pendidikan yang kurang. Secara spesifik problem internal yang kerap dihadapi
guru di antaranya:
1. Masih banyak guru di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajar tidak
membuat perangkat pembelajaran (RPP) sebelumnya.
2. Tidak mampu mengintegrasikan materi dalam SK dan KD yang diajarkan,
sehingga pembelajaran kurang menarik bagi siswa karena hanya
menggunakan satu pendekatan (mono approach) dan metode pembelajaran.
3. Terjadi ketimpangan kesejahteraan yang sangat signifikan antara guru PNS
dengan guru honor yang membuat kecemburuan sosial.
4. Niat yang luntur akibat minimnya kesejahteraan yang diterima oleh guru,
terutama guru tidak tetap atau guru honor. Dengan pendapatan minim,
mereka kurang antusias dalam mengajar, sehingga kurang menikmati
profesinya yang membuat mereka jadi tidak profesional.
5. Kelebihan beban mengajar akibat minimnya jumlah guru, terutama guru-guru
di daerah tertinggal. Mereka juga banyak yang belum memenuhi kualifikasi
standar sebagai seorang pendidik dan mengajar bukan di bidang keahliannya.
Selanjutnya, pemerintah sebagai decision maker dan LPTK sebagai lembaga
pencetak guru juga memiliki problem yang belum terselesaikan, di antaranya:
1. Tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akibat
kepentingan politik dan golongan sekelompok elit penguasa.
2. Begitu menjamurnya lembaga pendidikan guru tanpa kualitas yang dibuka
setiap tahun dan mendapatkan ijin pemerintah.
3. Kurangnya pengawasan oleh pemerintah terhadap LPTK yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Sehingga banyak ditemukan LPTK yang tidak
memenuhi syarat perundang-undangan, seperti meluluskan mahasiswa yang
belum waktunya dan belum layak menjadi calon guru.
4. Kurang selektifnya LPTK dalam menjaring mahasiswa, terutama LPTK
yang ada di daerah-daerah yang hanya mementingkan kuantitas dari pada
kualitas calon mahasiswanya.
5. Minimnya SDM dosen di LPTK setingkat doktor dan guru besar (profesor)
yang berkontribusi dalam meningkatkan research and development.
6. Pola pendidikan guru yang instan yang tidak sesuai dengan prosedur dan
perundang-undangan. Banyak LPTK yang meluluskan mahasiswanya tanpa
melalui tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat) yang benar dan sesuai kurikulum pendidikan tinggi.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 69

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghaza>li>, Ihya>’ Ulumuddi>n, ttp.: Masyadul Husaini, t.t., Juz I.


Fahriany, “Teacher Education in Indonesia”, TARBIYA: Journal Education of
Muslim Society, No.1, Vol. I, (Juni, 2014).
Hansen T, David, dkk., Teacher Education around the World, London: Rouledge,
2012.
Khoirunnisa, “Profil Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam SMPN Di Kota
Bekasi”, Jurnal Tarbawi, No. 3, Vol. I, (September 2012).
Kardiyem, “Analisis Kinerja Guru Pasca Sertifikasi: Studi Empiris pada Guru
Akuntansi SMK Se-Kabupaten Grobogan”, JEE: Journal of Economic
Education Unes, No. 2, Vol. 1, (Juni 2013).
Kartowagiran, Badrun, “Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi)”,
Jurnal Cakrawala Pendidikan, No. 3, Vol. XXX, (Nopember 2011).
Kosim, Muhammad, Pendidikan Guru Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Nusantara, 2012.
Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, cet ke-10, Bandung: Rosdakarya, 2011.
Robert McNergney, Carol Carrier, Teacher Development, New York: Macmillan
Publishing, 1981.
Sujianto, “Pengembangan Profesionalitas Berkelanjutan Guru Bersertifikat
Pendidik di SMK Rumpun Teknologi se-Malang Raya”, Jurnal Pendidikan
Sains, No. 2, Vol. I, (Juni 2013).
Surya, Priadi, “Model Pendidikan Guru Prajabatan: dari Penghapusan Akta IV
Menuju Sertifikat Profesi”, Jurnal Dinamika Pendidikan, No. 01, Vol. XXI,
(Mei 2014).
Suyanto, Asep Jihad, Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan
Kualitas Guru di Era Global, Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2013.
Syams al-Di>n, Abd al-Amir, al-Mazhab al-Tarbawi ‘in Ibnu Jama’ah, Beirut: Da>r
al-Iqra, 1404 H/1984 M.
______, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibnu Khaldun wa Ibnu al-Azraq, cet ke-1, Beirut:
Da>r al-Iqra, 1413 H/1993 M.
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.
70 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2013 tentang


Progam Pendidikan Profesi Guru Prajabatan.
Sumber dari Media Online
Agma, Nadia, “Progam SM3T, Anis Baswedan Siap Sebar 1000 Sarjana ke
Daerah Pelosok”, Aktual Post, 21 Januari 2015. www.aktualpost.com/
program-sm3t-anies-baswedan-siap-sebar-1000-sarjana-ke-daerah-
pelosok-45924/. Diakses pada 8 April 2015.
Ati, “2016, Sebanyak 72.082 Guru di Indonesia Bersertifikasi”, Kedaulatan
Rakyat, 11 Januari 2016. www.krjogja.com/sebanyak-72082-guru-di-
indonesia-bersertifikasi. Diakses pada 16 Pebruari 2016.
Anbarini, Ratih “Progam SM3T Salah Satu Solusi Pemerataan Kualitas
Pendidikan”, http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/2951. Diakses pada
8 April 2015.
“Derita Guru diperbatasan”, Pontianak Time, 25 Nopember 2013. www.
pontianak-times.com/edukasi/251113/derita-guru-mengajar- di-
perbatasan. Diakses pada 7 April 2015.
“Indonesia Kekurangan Doktor”, http://kalbar.antaranews.com/berita/332228/
indonesia-kekurangan-doktor. Diakses pada 9 April 2015.
Mustofa, Bisri, “Tunjangan Guru Non-PNS di Kemenag 8 Bulan Belum Cair”,
Pikiran Rakyat, 04 Mei 2015, http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan
/2015/05/04/325963/tunjangan-guru-non-pns-di-kemenag-8-bulan-
belum-cair. Diakses pada 20 Mei 2015.
Muzakki, Khoirul, “Beri Beasiswa, Kemenag Target 5000 Doktor”, Koran
Sindo, 10 Maret 2015, http://www.koran-sindo.com/read/974440/149/
beri-beasiswa-kemenag-target-5-000-doktor-1425959258. Diakses pada
18 Mei 2015.
Purwadi, Didi, “Kemendikbud: Indonesia Ketinggalan Jumlah SDM Bertitel
Doktor”, Republika, 01 Maret 2015, http://www.republika.co.id/berita/
nasional/ umum/14/03/01/n1rj31-kemendikbud-indonesia-ketinggalan-
jumlah-sdm-bertitel-doktor. diakses pada 18 Mei 2015.
Raharja, Karta, ”PGRI: Gaji Guru Honorer Tidak Manusiawi”, Republika, 19
Maret 2015.www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/
nlgsj7-pgri-gaji-guru- honorer tidak-manusiawi. Diakses pada 3 April 2015.
Ridarineni, Neni, “Banyak Daerah Krisis Guru Agama”, Republika, 21 Januari
2015,http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanahkoran/15/01/21/
niiroa1--banyak--daerah--krisis-guru-agama. Diakses 8 April 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 71

Seo, Yohanes, “20 Ribu Guru di NTT Masih Berijazah SMA”, Tempo, 05 Mei
2015. http://www.nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/Ribu-Guru-
di-NTT-Masih-Berijazah-SMA. Diakses pada 20 Mei 2015.
Sutisna, Nanung, “Nasib 6.000 Guru Honorer di Purwakarta Tidak Jelas”, Tempo,
05 Mei 2015. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/058663608/
nasib-6-000-guru-honorer-di-purwakarta-tidak-jelas. Diakses pada 20
Mei 2015.
Sutopo Hadi, Bambang, “DIKTI: Jumlah Jurnal Terakreditasi Perlu Di-
tingkatkan”, Koran Sindo, 10 Maret 2015, http://www.koransindo.com/
read/974440/ 149/beri-beasiswa-kemenag-target-5-000-doktor-1425959
258. Diakses pada 18 Mei 2015.
Tajuk Sindo, “Krisis Dosen”, Koran Sindo, 02 Februari 2015, http://nasional.
sindonews.com/read/958755/16/krisis-dosen-1422847912. Diakses pada
4 April 2015.
Tarigan, Mitra, “Baru dibentuk Apa Tugas Direktorat Jenderal Guru?”, Tempo, 08
Pebruari 2015, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/08/0796408
43/Baru-Dibentuk-Apa-Tugas-Direktorat-Jenderal-Guru. Diakses pada
20 Mei 2015.
Universitas Islam Negeri, http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_negeri.
Diakses pada 5 April 2015.
Utomo, Said Dian, “Potret Pendidikan diperbatasan Kalimantan”, dalam http://
pattiro.org/?p=4143. Diakses pada 7 April 2015.
Vol 2, No. 1 (2017)

PROFESIONALISME GURU
DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
Yusutria
Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Sumatera Barat
Jl. Gunung Pangilun Padang Sumatera Barat.
Email: yusutriayusut@ymail.com
Submitted :13-10-2016, Reviewed:23-11-2016, Accepted:20-04-2015
http://dx.doi.org/10.22216/jcc.2017.v2i1.1472

ABSTRACT
Competition in various life both in the field of science and technology is influenced by the quality
of human resources (HR). HR Quality is determined by the quality and level of education. The
quality of education is low causing low quality of human resources; the higher the education
level, the higher the quality of human resources that will affect the way of thinking, reasoning,
insight, breadth and depth of knowledge. The goal is to mengetahuan definition of
professionalism, factors affecting the professional teachers and professional competence of
teachers. Improving the quality of human resources, conducted by the path of qualification,
competence and certification of educators. The professionalism of teachers is reflected in the
implementation of the tasks that are marked with expertise both in material and methods. The
figure indicated by the teacher's professional responsibility to perform the entire devotion.
Professionals should be able to assume and carry out the responsibility as a teacher to the
students, parents, community, nation state, and religion. Teacher professional social
responsibility, intellectual, moral, and spiritual.
Keywords: professionalism; improve human resources;

ABSTRAK
Persaingan dalam berbagai kehidupan baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM ditentukan oleh mutu dan
tingkat pendidikan. Kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan kualitas SDM rendah; makin
tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi pula kualitas SDM yang akan berpengaruh
terhadap cara pikir, nalar, wawasan, keluasan dan kedalaman pengetahuan. Tujuannya untuk
mengetahuan definisi profesionalisme, faktor yang mempengaruhi guru profesional serta
kompetensi guru profesional.Meningkatkan kualitas SDM, dilakukan dengan jalur kualifikasi,
kompetensi dan sertifikasi pendidik. Profesionalisme guru tercermin pada pelaksanaan tugas
yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Sosok profesional guru
ditunjukkan melalui tanggung jawab dalam melaksanakan seluruh pengabdian. Profesional
hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta
didik, orang tua, masyarakat, bangsa negara, dan agamanya. Guru professional mempunyai
tanggung jawab sosial, intelektual, moral, dan spiritual.
Kata kunci: profesionalisme, meningkatkan, sumber daya manusia.

Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 38


Vol 2, No. 1 (2017)

PENDAHULUAN Taiwan, Hongkong, Cina, dan Malaysia sangat


Persaingan bebas dalam kemajuan ilmu ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia
pengetahuan dan teknologi khususnya yang dimiliki.
teknologi informasi, sehingga menjadi Upaya peningkatan kualitas SDM
tantangan bagi kehidupan masa depan haruslah diikuti dengan peningkatan kualitas
sekaligus ancaman bagi seluruh bangsa yang pendidikan dan guru. Dengan komitmen
belum siap menghadapinya. Upaya pemerintah untuk berperan dalam peningkatan
peningkatan sumber daya manusia kemudian mutu pendidikan dan juga guru, serta upaya-
menjadi wacana yang mendesak untuk upaya agar peningkatan mutu pendidikan dan
direalisasikan. Kemajuan ilmu pengetahuan guru dapat terlaksana dengan baik, diharapkan
dan teknologi tersebut berkaitan dengan dimasa depan akan muncul generasi yang
sumber daya manusia yang akan membuat dan cerdas, kreatif, dan kompetitif untuk
mengelola serta menerapkannya, sehingga berpartisipasi dalam membangun bangsa dan
sumber daya manusiamenjadi asset dalam negara guna mewujudkan bangsa dan negara
kemajuan berbangsa dan bernegara. yang maju dimasa mendatang.
Aset paling strategis bagi suatu bangsa Komisi Internasional UNESCO untuk
dan negara adalah sumber daya manusia, pendidikan memasuki abad ke-21 menyatakan
karena kemajuan suatu bangsa dan negara bahwa berbeda dengan periode sebelumnya,
bukan hanya bertumpu pada ketersediaan dalam memasuki abad ke-21 ini guru memiliki
sumberdaya alam, namun juga ditentukan oleh peranan yang sangat strategis karena
kualitas sumber daya manusia. Kualitas diharapkan dapat ikut membentuk karakter
sumber daya manusiatiap negara satu dengan dan kecerdasan generasi muda atau dalam
negara lain pasti berbeda dan memiliki bahasa aslinya “moulding character and minds
karakteristik sendiri-sendiri. Setiap orang yang of young generation” (Soedijarto: 2008).
bekerja di suatu negara, harus menyesuaikan Komisi Internasional UNESCO untuk
kualitas SDM di negara tersebut dan harus pendidikan memasuki abad ke-21 menyatakan
dapat menyesuaikan pula dengan karakter bahwa berbeda dengan periode sebelumnya,
Negara tersebut. dalam memasuki abad ke-21 ini guru memiliki
Kualitas sumber daya manusia peranan yang sangat strategis karena
ditentukan oleh mutu dan tingkat pendidikan. diharapkan dapat ikut membentuk karakter
Kualitas pendidikan yang rendah dan kecerdasan generasi muda atau dalam
menyebabkan kualitas sumber daya manusia bahasa aslinya “moulding character and minds
rendah; makin tinggi tingkat pendidikan maka of young generation” (Soedijarto: 2008).
makin tinggi pula kualitas sumber daya Sejalan dengan kebijakan pemerintah,
manusia. Hal ini berpengaruh terhadap cara melalui UU No. 14 Tahun 2005 pasal 7
pikir, nalar, wawasan, keluasan dan mengamanatkan bahwa pemberdayaan profesi
kedalaman pengetahuan. Dengan tingkat guru diselenggarakan melalui pengembangan
pendidikan yang tinggi diharapkan akan lebih diri yang dilakukan secara demokratis,
mudah memperoleh kesempatan guna berkeadilan, tidak diskriminatif, dan
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak
dengan penghasilan yang relatif lebih tinggi, asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan dengan penghasilan yang relatif tinggi kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
akan dengan sendirinya dapat memelihara Disamping itu menurut pasal 20, dalam
kesehatan yang relatif lebih baik. Kemajuan melaksanakan tugas keprofesionalan, guru
negara-negara Asea, seperti Singapura, Korea, berkewajiban meningkatkan dan
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 39
Vol 2, No. 1 (2017)

mengembangkan kualifikasi akademik dan model kebijakan yang komprehensif mulai


kompetensi secara berkelanjutan sejalan tingkat sekolah sampai ke kementrian
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga dengan beban kerja yang ada masih
teknologi, dan seni. tetap mampu mengembangkan
Dunia pendidikan dituntut agar profesionalisme. (Gunawan. 2011).
menghasilkan sumber daya manusia yang Profesionalisme guru menjadi perhatian
sesuai dengan kemajuan IPTEK. Guru secara global, karena guru memiliki tugas dan
mempunyai peranan yang penting dalam peran bukan hanya memberikan informasi-
pendidikan, sehingga hampir semua usaha informasi ilmu pengetahuan dan teknologi,
pembaharuan di bidang pendidikan melainkan juga membentuk sikap dan jiwa
bergantung pada guru. Pengembangan yang mampu bertahan dalam era
profesionalisme guru diarahkan pada hiperkompetisi. Sudarwan Danim (2003:192)
peningkatan kualitas. menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru
Kriteria profesionalisme guru meliputi yang profesional tidak pernah surut, karena
kemampuan: menguasai bahan, mengelola dalam proses kemanusiaan dan pemanusiaan,
PBM, mengelola kelas, mengelola media atau ia hadir sebagai subjek paling diandalkan,
sumber, menguasai landasan kependidikan, yang sering kali disebut sebagai Oemar bakri.
mengenal interaksi belajar mengajar, menilai Guru sebagai pendidik profesional
prestasi siswa, mengenal fungsi dan program mempunyai citra yang baik di masyarakat
pelayanan BP, dan mengenal administrasi apabila dapat menunjukkan kepada
sekolah. masyarakat bahwa layak menjadi panutan
Profesionalisme guru merupakan suatu sekelilingnya, masyarakat terutama akan
kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda melihat sikap dan perbuatan guru itu sehari-
lagi, seiring dengan dengan semakin hari. Untuk menciptakan seorang guru yang
meningkatnya persaingan yang semakin ketat profesional dalam melahirkan dan
dalam era globalisasi, sesuai dengan kapasitas meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang dimilikinya agar dapat berperan secara perlu dijelaskan dalam paper ini dari sudut
maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesionalisme guru dalam meningkatkan
profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian kualitas sumber daya manusia.
tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena
factor tuntutan dari perkembangan zaman, METODE PENELITIAN
tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu
keharusan bagi setiap individu dalam kerangka Tulisan ini akan membahas mengenai
perbaikan kualitas hidup manusia. upaya bentuk membentuk profesionalisme
Profesionalisme menuntut keseriusan dan guru dalam meningkatkan kualitas
kompetensi yang memadai, sehingga sumberdaya manusia. Tulisan ini bersifat
seseorang dianggap layak untuk deskriptif yaitu deskriptif yang memusatkan
Melaksanakan sebuah tugas. (Tika, 2013: 3). perhatiannya pada prinsip umum yang
Pada hakekatnya pembinaan professionalisme mendasari perwujudan satuan-satuan gejala
guru ditekankan pada tiga kemampuan dasar, yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-
yaitu: kemampuan profesi, kemampuan pola (Rahmat, 2016).
pribadi dan kemampuan sosial. (Supriadi:
2009).
Belum optimalnya pengembangan
profesionalisme guru, diperlukan pendekatan
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 40
Vol 2, No. 1 (2017)

PEMBAHASAN norma tertentu serta memerlukan pendidikan


profesi. (UU RI nomor 14 tahun 2005).
Pembahasan tentang profesionalisme Sehingga profesional dituntut untuk
guru dalam meningkatkan kualitas sumber menjalankan pekerjaannya sesuai dengan
daya manusia akan dijelaskan beberapa tuntutan profesi atau dengan kata lain
penjelasan di bawah ini. memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan
tuntutan profesinya.
1. Profesionalisme Kesadaran menghadirkan guru dan
Berbicara mengenai kualitas sumber tenaga kependidikan yang profesional sebagai
daya manusia, pendidikan memegang peran sumber dayautama pencerdas bangsa,
yang sangat penting dalam proses peningkatan barangkali sama tuanya dengan sejarah
kualitas sumber daya manusia. peradaban pendidikan. DiIndonesia, khusus
Peningkatan kualitas pendidikan untuk guru, dilihat dari dimensi sifat dan
merupakan suatu proses yang terintegrasi substansinya, alur untuk mewujudkanguru
dengan proses peningkatan kualitas sumber yang benar-benar profesional, yaitu: (1)
daya manusia itu sendiri. penyediaan guru berbasis perguruan tinggi,
Seorang guru profesional harus (2) induksi guru pemula berbasis sekolah, (3)
menguasai betul tentang seluk profesionalisasi guru berbasis prakarsa
belukpendidikan dan pengajaran serta ilmu- institusi, dan (4) profesionalisasi guru berbasis
ilmu lainnya, guru juga harus individu atau menjadi guru madani.
mendapatpendidikan khusus untuk menjadi (Mahsunah: 2012. 44).
guru yang memiliki keterampilan ataukeahlian Bagi guru yang profesioanl, dia harus
khusus, dan memiliki kompetensi agar memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif.
menjadi guru yang profesional. Guru yang Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang
profesional mampu menguasai karakteristik baik itu harus memenuhi tujuh kriteria: (1)
bahan ajar dan karakteristik peserta didik sifat positif dalam membimbing peserta didik,
(Mardapi, 2012, 5). (2) pengetahuan yang mamadai dalam mata
Profesionalisme berasal dari kata pelajaran yang dibina, (3) mampu
profesi. Mc Cully mengartikan profesi adalah menyampaikan materi secara lengkap, (4)
“a vocation in which professed knowledge mampu menguasai metodologi pembelajaran,
ofsome departement of learning or science (5) mampu memberikan harapan riil terhadap
isused in its aplication to the affairs of others peserta didik, (6) mampu mereaksi kebutuhan
or in the practice of an art founded upon it”. peserta didik, (7) mampu menguasi
Hal ini mengandung makna bahwa manajemen kelas. (I Nengah Sudja: 2013.
dalam suatu pekerjaan profesional selalu 223-224).
digunakanteknik serta prosedur yang Guru profesional adalah guru
bertumpu pada landasan intelektual yang yangmelaksanakan tugas keguruan
secara sengaja harus dipelajari, dan kemudian dengankemampuan tinggi (profesiensi)
secara langsung dapat diabadikan bagi sebagai sumber kehidupan. Dalam
kemaslahatan orang lain (Rohman: 2007. 123). menjalankan kewenangan profesionalnya,
Sedangkan profesional adalah pekerjaan guru dituntut memiliki keanekaragaman
atau kegiatan yang dilakukan olehseseorang kecakapan (competencies) psikologis yang
dan menjadi sumber penghasilan kehidupan meliputi: (1) kompetensi kognitif (kecakapan
yang memerlukan keahlian,kemahiran, atau ranah cipta);kompetensi afektif (kecakapan
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 41
Vol 2, No. 1 (2017)

ranah rasa);kecakapan psikomotor (kecakapan profesionalitas para calon guru yang siap
ranahkarsa). pakai Profesionalisme menekankan kepada
Kompetensi yang diperlukan guru,yakni penguasaan ilmu pengetahuan atau
kompetensi kepribadian (Syah, 2011). kemampuan manajemen beserta strategi
Profesionalisme guru memiliki posisi sentral penerapannya.
dan strategis, karena semua posisinya Profesionalisme bukan sekadar
menuntut agar pendidikan dilaksanakan secara pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi
profesional. Profesionalisme guru sering lebih merupakan sikap, pengembangan
dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup profesionalisme lebih dari seorang teknisi
penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi bukan hanya memiliki keterampilan yang
guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
faktor tersebut, disinyalir berkaitan erat dipersyaratkan.(Kasful Anwar. Us.2015. 105).
dengan maju-mundurnya kualitas pendidikan Guru yang professional tidak hanya
di Indonesia.Jadi Guru profesional adalah guru dituntut untuk menguasai materi pembelajaran
yang menyadari bahwa dirinyaterpanggil tetapi juga harus menguasai seluruh aspek
untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam yang ada dalam pembelajaran, karena
belajar. Pemahaman profesional dilihat dari pembelajaran yang bermakna adalah
dua dimensi, yaitu peningkatan status dan pembelajaran yang melibatkan peserta didik
peningkatan kemampuan praktis harus sejalan dan mencakup semua ranah pembelajaran,
dengan tuntutan tugas yang diemban sebagai seperti aspek kognitif (berfikir), aspek affektif
guru. (prilaku) dan aspek psikomotor
(keterampilan). (Nur’aeni Asmarani: 2014.
2. Faktor yang Mempengaruhi Guru 504).
Profesional Profesionalisme guru dapat dilakukan;
Profesionalitas sebagai penunjang pertama; dengan memahami tuntutan standar
kelancaran guru dalam melaksanakan profesi yang ada. Kedua; mencapai kualifikasi
tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor dan kompetensi yang dipersyaratkan. Ketiga;
besar yaitu faktor internal yang meliputi minat membangun hubungan kesejawatan yang baik
dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dan luas termasuk lewat organisasi profesi.
dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, Keempat; mengembangkan etos kerja atau
serta berbagai latihan yang dilakukan guru. budaya kerja yang mengutamakan pelayanan
(Kasful Anwar. Us. 2015.88). bermutu tinggi kepada konstituen.Kelima;
Untuk meningkatkan mutu guru perlu mengadopsi inovasi atau mengembangkan
adanya kebijakan meningkatkan mutu kreativitas dalam pemamfaatan teknologi
pendidikan guru, di antaranya meningkatkan komunikasi dan informasi mutakhir agar
jenjang pendidikan S1/S2/S3 dan program senantiasi tidak ketinggalan dalam
penyetaraan serta berbagai pelatihan dan kemampuannya mengelola pelajaran.
penataran untuk meningkatkan kualitas (Muhson: 2014. 97).
kompetensi dan profesionalitas guru. Misalnya Guru yang profesional bisa dipengaruhi
PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG oleh: (1) Jenjang pendidikan, (2). Pelatihan
(Kelompok Kerja Guru) dan Persatuan Guru dan program penyetaraan serta berbagai
Republik Indonesia (PGRI) atau lembaga penataran yang diikuti, (3). Membangun
pendidikan tinggi yang mendidik para calon hubungan kesejawatan yang baik dan luas, (4).
guru dengan merancang kurikulum yang Mengembangkan etos kerja yang
mampu membangun kompetensi dan mengutamakan pelayanan bermutu tinggi
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 42
Vol 2, No. 1 (2017)

kepada konstituen, (5). Mengadopsi Professional guru perlu dilakukan sesuai


inovasidalam pemamfaatan teknologi dengan kebutuhan guru agar terus
komunikasi dan informasi mutakhir. berkembang. Berbagai laporan dilapangan
menunjukkan beberapa hambatan dalam
3. Kompetensi Guru Profesional pelaksanaan pengembangan professional guru
Menurut Suryadi dalam Suwarna (2004), karena model pengembangan professional
predikat guru profesional dapat dicapai dengan guru yang dilakukan tidak berdasarkan pada
memiliki karakteristik profesional, yaitu: kebutuhan guru (Yusuf: 2016. 339).
1) Kemampuan profesional Kualitas profesionalisme guru
(professional capacity), yaitu ditunjukkan oleh lima sikap, yakni: (1)
kemampuan intelegensi, sikap, nilai, keinginan untuk selalu menampilkan perilaku
dan keterampilan serta prestasi yang mendekati standar ideal; (2)
dalam pekerjaan. Secara sederhana, meningkatkan dan memelihara citra profesi;
guru harus menguasai materi yang (3) keinginan untuk senantiasa mengejar
diajarkan. kesempatan pengembangan profesional yang
2) Kompetensi upaya profesional dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas
(professional effort), yaitu pengetahuan dan ketrampilannya; (4)
kompetensi untuk membelajarkan mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi;
siswa. (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya
3) Profesional dalam pengelolaan (Sagala, 2009).
waktu (time devotion). Klicman (dalam Dantes, 2004: 2-3)
4) Imbalan profesional (professional mengajukan dua syarat penting yang harus
rent) yang dapat menyejahterakan dimiliki oleh seorang guru yang profesional,
diri dan keluarganya. yaitu harus kompeten dan memiliki komitmen
Arifin (2000) mengemukakan guru tinggi.Dari guru yang memiliki kompetensi
Indonesia yang profesional dipersyaratkan tinggi dan komitmen tinggi suatu sekolah dan
mempunyai: peserta didik mendapatkan kontribusi optimal
1) Dasar ilmu yang kuat sebagai dalam pembelajaran yang dapat berdampak
pengejawantahan terhadap optimal pula pembentukan pengetahuan,
masyarakat teknologi dan keterampilan, sikap dan nilai pada peserta
masyarakat ilmu pengetahuan di didik.
abad 21; Pengembangan tenaga pendidikan
2) Penguasaan kiat-kiat profesi menyangkut dua hal yaitu: (1) Pola rekruitmen
berdasarkan riset dan praksis tenaga kependidikan, (2) Pengembangan
pendidikan yaitu ilmu pendidikan kompetensi tenaga kependidikan. Pengamatan
sebagai ilmu praksis bukan hanya lapangan menunjukan ada tiga pola
merupakan konsep-konsep belaka. pendekatan yang menjadi pilihan kebijakan
Pendidikan merupakan proses yang dalam rekruitmen tenaga kependidikan, yaitu:
terjadi di lapangan dan bersifat (1) Pendekatan yang didasarkan pada prinsip-
ilmiah, serta riset pendidikan prinsip profesionalisme, (2) Pendekatan politik
hendaknya diarahkan pada praksis balas budi dan hubungan baik, (3) Pendekatan
pendidikan masyarakat Indonesia; geogarafis kedaerahan akibat otonomi daerah.
3) Pengembangan kemampuan (Nur: 2009. 6).
profesional berkesinambungan. Peningkatan kualitas guru menurut
model UNESCO sebagai berikut. (1)
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 43
Vol 2, No. 1 (2017)

Pendidikan pra-jabatan para guru; (2) belajar untuk mencapai sukses yang sama atau
Sertifikasi atau ijazah para guru;(3) bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui
Pengerahan atau rekruitmen dan penempatan networking inilah guru memperoleh akses
para guru;(4) Kondisi kerja para guru, seperti terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya
besarnya kelas, jumlah jam, fasilitas dan akses sosial yang lainnya.
pendukung diperhatikan;(5) Gaji guru yang Keempat, mengembangkan etos kerja
tinggi dan menarikminat kaum muda. atau budaya kerja yang mengutamakan
(Wijanarti. 2016: 209). pelayanan bermutu tinggi kepada pengguna
Dengan adanya tuntutan untuk pendidikan, merupakan suatu keharusan di era
peningkatan kualitas profesionalisme guru, reformasi pendidikan sekarang ini.Artinya,
maka guru harus selalu berusaha melakukan semua sektor dan bidang dituntut memberikan
hal-hal sebagai berikut: pelayanan prima kepada kastemer atau
Pertama, memahami tuntutan standar pengguna. Maka, Guru pun harus memberikan
profesi yang ada, yaitu guru berupaya pelayanan prima kepada pengguna yaitu
memahami tuntutan standar profesi yang ada siswa, orangtua dan sekolah sebagai
dan ditempatkan sebagai prioritas utama jika stakeholder. Terlebih lagi pelayanan
guru ingin meningkatkan profesionalisme. Hal pendidikan adalah termasuk pelayanan publik
ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu vang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan
(1) persaingan global sekarang memungkinkan untuk kepentingan publik.Dengan demikian,
adanya mobilitas guru secara lintas negara, (2) guru harus mempertanggungjawabkan
sebagai profesional seorang guru harus pelaksanaan tugasnya kepada publik.
mengikuti tuntutan perkembangan profesi Kelima, mengadopsi inovasi atau
secara global, dan tuntutan masyarakat yang mengembangkan kreativitas dalam
menghendaki pelayanan yang lebih baik, (3) pemanfaatan teknologi komunikasi dan
untuk memenuhi standar profesi ini, guru informasi mutakhir agar guru senantiasa tidak
harus belajar secara terus menerus sepanjang ketinggalan tidak “gaptek” (gagap teknologi)
hayat, (4) guru harus membuka diri, mau dalam kemampuan mengelola pembelajaran.
mendengar dan melihat perkembangan baru di Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide
bidangnya. baru bidang teknologi pendidikan seperti
Kedua mencapai kualifikasi dan media presentasi dengan menggunakan LCD
kompetensi yang dipersyaratkan, artinya dan komputer (hard technologies) dan juga
upaya untuk mencapai kualifikasi dan pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi
kompetensi yang dipersyaratkan bagi pendidikan (soft technologies) (Purwanto,
guru.Maka, dengan dipenuhinya kualifikasi http://www.pustekkom.com), menggunakan
dan kompetensi yang memadai, guru memiliki internet sebagai media pembelajaran. Sebab,
posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat perkembangan teknologi “informasi dan
yang dibutuhkan. internet” merupakan faktor pendukung utama
Ketiga, membangun hubungan percepatan yang memungkinkan tembusanya
kesejawatan yang baik dan luas termasuk batas-batas dimensi ruang dan waktu yang
lewat organisasi profesi.Upaya membangun tentu juga akanberpengaruh pada paradigma
hubungan kesejawatan yang baik dan luas pendidikan termasuk profesi guru dalam
dapat dilakukan guru dengan membina menjalankan tugasnya. (Sanaky: 2005).
jaringan kerja atau networking. Guru harus Peningkatan kualitas profesionalisme
berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan guru, guru harus memahami tuntutan standar
oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa profesi yang ada, mencapai kualifikasi dan
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 44
Vol 2, No. 1 (2017)

kompetensi yang dipersyaratkan, membangun memebentu peneliti untuk melakukan


hubungan kesejawatan yang baik dan penilitian ini meliputi Ketua Sekolah Tinggi
luas,mengembangkan etos kerja bermutu Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera
tinggi, mengadopsi inovasi dalam Barat, Civitas Akademika STKIP PGRI
pemanfaatan teknologi komunikasi dan Sumatera Barat.
informasi mutakhir.
DAFTAR PUSTAKA
SIMPULAN
Berdasarkan dari papapran di atas dapat Anwar.Us.Kasful.2015. Jaminan Mutu dan
disimpulkan bahwa kemajuan suatu bangsa Upaya Pengembangan Profesionalitas
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia Guru Pada Abad Pengetahuan.Jurnal
dari pada kekayaan sumber daya alam.Untuk Nur El-Islam.
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Arifin, I. 2000. “Profesionalisme Guru:
diperlukan pendidikan yang berkualitas. Analisis Wacana Reformasi Pendidikan
Peningkatan kualitas pendidikan dalam Era Globalisasi”.Simposium
ditentukan 3 komponen yaitu in put, proses Nasional Pendidikan di Universitas
dan out put.Adapun in put terdiri dari Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli
pendidik, tenaga kependidikan, peserta 2001.
didik(in put pola rekruitmen pendidik dan Asmarani, Nuraeni. 2014. Peningkatan
tenagapendidik), pengalaman guru dalam Kompetensi Profesional Guru di Sekolah
mengajar dan pengembangankompetensi serta Dasar. Jurnal Administrasi Pendidikan.
peserta didik. Volume 2 Nomor 1, Juni 2014.
Adapun proses bisa dilihat bagaimana Danim, Sudarwan. 2003. .Agenda pemabruan
pendidik melakukan proses pembelajaran dan sistem pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
tenaga kependidikan mendukung proses Pelajar.
pembelajaran tersebut serta peserta didik yang Dantes.Nyoman. 2004. Profesionalisme Guru
dapat memahami proses pembelajaran yang di Dalam Kaitannya Dengan Pelaksanaan
sampaikan, barulah dapat diketahui Kurikulum Dan Implementasinya Pada
akankualitas out put dari lembaga pendidikan Model Asesmen Berbasis Kompetensi
tersebut. Makalah (disampaikan pada Seminar
Rekomendasi yang bisa diberikan tentang profesionalisme Guru di
terhadap profesionalisme guru dalam Kabupaten Gianyar, tanggal 27
pengembangan kualitas sumber daya manusia Nopember 2004)
hendaknya dilaksanakan secara sungguh- D. Mardapi, 2012. Strategi Meningkatkan
sungguh. Selama pemerintah tidak sungguh- Profesionalisme Guru.Makalah pada
sungguh mewujudkan profesionalisme guru Seminar Regional Pendidikan Pusat
dalam pengembangan kualitas sumber daya Kajian dan Advokasi Pendidikan
manusia, bisa dipastikan bahwa mutu Yogyakarta.
pendidikan stagnan dan bahkan menurun Mahsunah.Dian.dkk. 2012. Kebijakan
dalam pengembangan kualitas sumber daya Pengembangan Profesi Guru. Badan
manusia. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Kebudayaan dan
UCAPAN TERIMAKASIH Penjaminan Mutu Pendidikan
Terimakasih peneliti ucapkan kepada Kementerian Pendidikan dan
semua pihak yang telah mefasilitasi dan Kebudayaan.
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 45
Vol 2, No. 1 (2017)

Muhson, Ali. 2014. Meningkatkan 2087-9016, Volume 3, Nomor 2, Juli


Profesionalisme Guru: Sebuah 2013.
Harapan, Jurnal Ekonomi & Supriadi.Oding.2009.Pengembangan
Pendidikan, Vol, 2 No. 1 Agustus 2014. Profesionalisme Guru Sekolah
Rahmat, W. (2016). Penerapan kaba Dasar.Jurnal Tabularasa PPS
minangkabau sebagai media pelestarian Unimed.Vol.6 No.1, Juni 2009.
bahasa amai (ibu) dan kesusastraan dalam Suwarna. 2004. Guru Profesional, Variabel
pendidikan literasi di minangkabau. Investasi di Era Otonomi. Kedaulatan
Jurnal Iptek Terapan, 4(4), 236–241. Rakyat, 22 Mei 2004.
Rohman, Arif. 2007. “pendidik dan peserta Syah, M. 2011. Psikologi Pendidikan dengan
didik”, dalam Dwi Siswono dkk (ed,) Pendekatan Baru.
Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: UNY Bandung:RemajaRosdakarya.
Press. Tika, Marselinus. 2013. Sertifikasi dan
Rudy Gunawan. 2011. Implementasi Profesionalisme Guru.
Pengembangan Profesionalisme Bagi Tersedia:hhtp://50304946.siap-
Guru Bersertifikat sekolah/com.
Pendidik.Jurnal.UHAMKA. Undang-undang Republik Indonesia nomor 14
Sagala, H. Syaiful. 2009. Kemampuan tahun 2005.
Profesional Guru danTenaga Wijanarti, Novita. Evaluasi Pencapaian
Kependidikan, Bandung: Alfabeta. Standar Pelayanan Minimal
Sanaky.Hujair AH. 2005. Sertifikasi dan Berdasarkan Prinsip Good Governance
Profesionalisme Guru di era Reformasi di Sekolah Dasar Negeri.Jurnal
Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam, Manajemen Pendidikan Magister
Jurusan Tarbiyah, 2 Mei 2005. Manajemen Pendidikan FKIP
Universitas Kristen Satya Wacana.
Soedijarto. 2008. Seminar Nasional Tentang Volume: 3, No. 2, Juli-Desember 2016.
“Perlindungan Bagi Profesi Guru”. Yusuf.Ahmad.2016. Model-Model
Jakarta. Pengembangan rofesionalisme Guru.
Sudja.I Nengah.2013. Pembelajaran Konvensi Nasional Pendidikan
Demokratis Menuju Profesionalisme Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016.
Guru.Jurnal Santiaji Pendidikan, ISSN

Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 46


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

PROFESI GURU DAN LANGKAH


PENGEMBANGANNYA
Oding Supriadii

Abstrak
Guru memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai seorang
yang harus digugu dan ditiru. Tugas dan tanggung jawab
guru tersebut berkembang seiring dengan perjalanan waktu.
Jenis kemampuan yang idealnya dikuasai oleh guru tersirat
pada Kode Etik guru. Jenis kemampuan ideal tersebut dapat
diklarifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: Kemampuan
membantu siswa belajar efesien dan efektif mencapai hasil
optimal, Kemampuan menjadi penghubung kebudayaan
masyarakat yang aktif-kreatif dan Kemampuan menjadi
pendukung pengelolaan program kegiatan sekolah dan
profesi.

Kata kunci: Profesi, Guru, Langkah Pengembangan

A. PENDAHULUAN
Guru (dalam bahasa Jawa) adalah seorang yang harus digugu
dan harus ditiru oleh semua muridnya. Digugu berarti segala sesuatu
yang disampaikan guru senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai
kebenaran oleh semua murid. Segala ilmu pengetahuan yang
disampaikan sang guru dijadikan sebagai sebuah kebenaranyang tidak
perlu dibuktikan atau diteliti lagi. Seorang guru juga harus ditiru,
artinya seorang guru menjadi suri teladan bagi semua muridnya.
Mulai cara berfikir, cara bicara hingga cara berperilaku sehari-hari.
Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru seorang dengan
sendirinya memiliki peran yang luar biasa dominanya bagi murid.
Sampai saat ini masih terjadi kekurangan guru di Indonesia.
Pada tahun 1980 terdapat kekurangan guru SMP sebanyak 81.848
orang, dan guru SMA sebanyak 24.778 orang. Kekurangan jumlah
guru bertambah besar bila dihitung berdasarkan persyaratan minimal,
yang diharuskan saat ini. Pada tahap sekarang prioritas utama
diletakkan pada pemerataan dan peningkatan profesi guru lebih

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 35


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

diutamakan serta pada peningkatan pelaksanaan pendidikan guru (pre-


service-education).
Pada zaman penjajahan Belanda lahir dan berkembang
pergerakan politik dan sosial yang bertujuan mencapai kemerdekaan.
Organisasi sosial budaya yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
menonjol peranannya pada masa itu antara lain yaitu Muhamadiyyah
dan Perguruan Nasioanal Taman Siswa. Muhamadiyah didirikan oleh
K.H.A.Dahlan di Yogyakarta pada 12 November 1912 dengan tujuan
menyebarkan dan memajukan kehidupan Islam dikalangan rakyat.
Perguruan Nasional Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara
di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 dengan tujuan menumbuhkan jiwa
merdeka dan berkebudayaan Nasional. Baik Muhamadiyah maupun
Pergerakan Nasional Taman Siswa lahir dan berkembang pada masa
itu, sebagai reaksi terhadap sistem kolonial Belanda yang tidak sehat.
Muhamadiyah melihat sistem tersebut menitikberatkan pada hal-hal
yang bersifat keduniawian dan tidak mampu mengembangkan
kehidupan Islam. Taman Siswa melihat sistem tersebut tidak
menumbuhkan jiwa merdeka dan nasional pada diri siswa. Dalam
zaman pergerakan ini lama-lama hidup dan berkembang harapan
tentang tugas kewajiban guru. Guru yang diharapkan bukanlah guru
yang hanya dapat mengajar pengetahuan, tapi lebih dari itu dapat
menumbuhkan semangat kerakyatan, kemerdekaan dan kesatriaan.
Untuk itu guru sendiri harus memilikinya sebelum berusaha
menumbuhkannya dalam diri siswa.
Dari uraian tersebut, terlihat perkembangan dan tanggung jawab
seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Pada tulisan ini akan
dicoba dikaji tentang profesi guru dan perkembangannya saat ini, baik
ditinjau dalam melaksanakan tugas maupun harapannya dalam
menjalani pekerjaan.

B. PEMBAHASAN
1. Profesi Guru
Profesi adalah suatu jabatan/pekerjaan yang biasanya
memerlukan persiapan dan keahlian dan biasanya memiliki kode etk
profesi. World Confederation of Organization of Teaching Profession
(WCOTP) merumuskan ciri-ciri suatu profesi sebagai berikut: 1)
Suatu profesi adalah suatu pekerjaan/jabatan atau panggilan jiwa.
Profesi tidak saja menuntut kemampuan akademis atau keahlian,
tetapi juga pengabdian. Profesi tidak hanya merupakan pekerjaan yang

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 36


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

dilakukan untuk mendapatkan bayaran, tetapi juga yang bersifat


pengabdian, 2) Suatu profesi adalah suatu pekerjaan/jabatan yang
fungsinya telah terumuskan dengan jelas, 3) Suatu profesi menetapkan
persyaratan-persyaratan minimal untuk dapat melakukannya, yang
berkenaan dengan kualifikasi pendidikan, pengalaman, ketrampilan
praktis dan sebagainya, 4) Suatu profesi mengenakan disiplin kepada
seluruh anggotanya dan biasanya bebas dari campurantangan atau
kekuasaan luar, 5) Suatu profesi berusaha meningkatkan status
ekonomi dan sosial para anggotanya, dan 6) Suatu profesi terbentuk
berdasarkan konsep dari disiplin intelektual dalam suatu masyarakat
terpelajar, dengan anggota-anggota yang terorganisasi untuk memberi
pelayanan kepada kepentingan umum dan memajukan profesi.
Ciri-ciri yang dikemukakan oleh Konfederasi Organisasi Profesi
Guru Dunia diatas dapat dijadikan kriteria atau landasan untuk menilai
status professional guru dalam masyarakat. Status professional guru
menggambarkan kedudukan dan martabat jabatan atau pekerjaan guru
masyarakat, dilihat dari segi akademis, ekonomis, organisasi
professional, dan sebagainya.
Status akademis. Dalam hubungan ini kedudukan dan martabat
pekerjaan guru dilihat dari kualifikasi pendidikan dan kemampuan
minimal yang menjadi persyaratan untuk dapat memasuki dunia
pekerjaan guru. Makin tinggi persyaratan kualifikasi pendidikan dan
kemampuan minimal yang diminta, makin tinggi pula status
akademisnya.
Kualifikasi pendidikan merupakan persyaratan formal tentang
tingkat pendidikan yang harus dimiliki seseorang agar dapat
memasuki dunia pekerjaan guru. Ada perbedaan persyaratan minimal
tentang pendidikan formal atau ijazah yang diperlukan untuk menjadi
guru Sekolah Dasar (SD) dan Guru Sekolah lanjutan (SL). Agar
standar minimal tersebut tercapai, perlu ditunjang suatu sistem
pendidikan professional bagi calon guru yang sesuai dengan
kebutuhan, baik dalam segi tingkat kemampuan yang diperlukan
dilapangan.
Disamping persyaratan formal, diperlukan pula persyaratan
substansial berupa jenis dan tingkat kemampuan efesien dan efektif,
seperti dikehendaki oleh kurikulum. Jenis kemampuan yang idealnya
dikuasai oleh guru tersirat pada Kode Etik Guru. Jenis kemampuan
ideal tersebut dapat diklarifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 37


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

a. Kemampuan membantu siswa belajar efesien dan efektif mencapai


hasil optimal. Kelompok ini mencakup jenis kemampuan: 1)
Mengelola kegiatan belajar mengajar, dan 2) Melaksanakan
bimbingan siswa.
b. Kemampuan menjadi penghubung (liaison) kebudayaan
masyarakat yang aktif-kreatif dan fungsional. Kelompok ini
mencakup jenis kemampuan: 1) Menjadi mediator kebudayaan,
baik sebagai pembawa kebudayaan, pemelihara kebudayaan,
maupun sebagai pengembang kebudayaan, dan 2) Menjadi
komunikator sekolah dan masyarakat.
c. Kemampuan menjadi pendukung pengelolaan program kegiatan
sekolah dan profesi. Kelompok ini mencakup jenis kemampuan:
1) Menjadi anggota staf sekolah yang produktif, dan 2) Menjadi
anggota organisasi professional yang fungsional.
Sedangkan mengenai tingkat kemampuan yang diharapkan
tergantung jenjang kepangkatannya, yang terentang dari tingkatan
guru bantu sampai guru penuh (ahli). Tingkat kemampuan yang ideal
diharapkan telah dikuasai oleh guru penuh adalah tingkat kemampuan
professional. Seseorang dikatakan telah mempunyai tingkat
kemampuan professional apabila menunjukan efesiensi yang tinggi
dalam melaksanakan pekerjaannya. Menurut Aallen-Richard ,
efisiensi professional mencakup lima hal, yaitu:
a. Ketrampilan teknologi (Dapat melakukan pekerjaan dengan
mempergunakan teknik-teknik kerja ilmiah yang mendekati
kesempurnaan)
b. Pengetahuan teknologi yang relevan (Dapat menguasai teknik-
teknik kerja ilmiah yang dapat digunakan untuk melaksanakan
bidang pekerjaannya)
c. Pengetahuan tambahan untuk pengembangan (Dapat menguasai
pengetahuan tentang konsep dan metoda penelitian dan
pengembangan yang dapat digunakan dalam bidang pekerjaannya)
d. Kemampuan mengambil keputusan secara tepat (Dapat
melaksanakan kepemimpinan dalam bidang pekerjaannya)
e. Kualitas moral (teguh terikat kepada Kode Etik jabatannya dalam
situasi bagaimanapun yang dihadapinya)

2. Peranan Guru
Status dan peranan mempunyai hubungan yang sangat erat
sekali. Status guru menggambarkan kedudukan guru dalam

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 38


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

masyarakat, baik yang diharapkan maupun yang dapat dicapai, dan


dalam hal kedudukannya terlihatlah martabat guru. Dalam statusnya
itu, guru menerima dan menjalankan seperangkat tugas kewajiban
tertentu. Seperangkat tugas kewajiban yang diterima tersebut
merupakan seperangkat tugas kewajiban yang diharapkan oleh
masyarakat harus dilaksanakan. Tugas kewajiban demikian disebut
peranan yang diharapkan atau disebut ascribed role. Sedangkan
seperangkat tugas kewajiban yang dapat dikerjakan sesuai dengan
kondisi yang ada, merupakan peranan yang dapat dicapai atau disebut
achieved role.

3. Kode Etik Guru


Harapan yang lebih terperinci tentang sikap, tingkahlaku dan
perbuatan guru dinyatakan dalam Kode Etik Guru (Suara Guru No. 6
Tahun XXVI Juli 1976) seperti tercantum dibawah ini:
1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk
membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
2. Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan
kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
3. Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh
informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari
segala bentuk penyalahgunaan.
4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara
kehidupan dengan orang tua murid sebaik-baiknya bagi
kepentingan anak didik.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat disekitar
sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan
pendidikan
6. Guru secara tersendiri-sendiri/atau bersama-sama berusaha
mengembangkan dan meningkatkan mutu fropesinya
7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru
baik berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan
keseluruhan
8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan
meningkatkan mutu organisasi guru professional sebagai sarana
pengabdiannya
9. Guru melaksanakan ketentuan yang merupakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang pendidikan

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 39


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

Kode Etik guru menjadi pengikat batin yang mampu melahirkan


pada tingkah laku guru yang bersifat mulia dan terpuji. Pola
tingkahlaku guru yang diharapkan terdiri atas tiga pernyataan, yaitu:
Ing ngarso Sung Tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri
handayani

4. Penghasilan Guru
Gaji guru Negeri terdiri atas gaji pokok dan tunjangan. Hal ini
diatur oleh peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (P.P No. 7 Tahun
1977-LN Tahun 1977 No. 11 tan TLN No. 3098). Dalam Peraturan
tersebut, Pasal 4 dinyatakan: “Kepada Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat menurut Peraturan Pemerintah ini, diberikan gaji pokok
berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat itu
sebagaimana tersebut dalam daftar Lampiran II Peraturan Pemerintah
ini.” Berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut
dan KEP.PRES. R. I. No. 15 Tahun 1977 (Pemberian Tunjangan
Jabatan Bagi Pegawai Negeri tertentu di Bidang Pendidikan) dapat
disimpulkan bahwa:
a. Guru SD dan SL Negeri tidak berhak menerima tunjangan struktur
ataupun tunjangan jabatan seperti yang diatur dalam
KEP.PRES.No. 15 dan No. 16 Dosen, Pengawas/penilik dan
Kepala Sekolah mendapatkan tunjangan jabatan sesuai dengan
kepangkatannya.
b. Jenis tunjangan yang diberikan kepada guru SD dan SL adalah
tunjangan:
(1) Keluarga, yamg terdiri atas tunjangan suami/istri sebesar 5%
dari gaji pokok, dan tunjangan anak maksimum tiga orang
anak yang berusia di bawah 18 Tahun, sebesar 2% untuk
setiap anak.
(2) Pangan, yang diatur oleh Menteri Keuangan setelah
mendengar Kepala Badan Administrasi Negara
(3) Lainnya apabila alasan-alasan yang kuat.

Di samping menerima gaji, guru sebagai Pegawai Negeri


mempunyai hak mendapat cuti. Hal ini dinyatakan dalam Undang-
undang Pokok-pokok Kepegawaian pada Pasal 8 yang berbunyi
sebagai berikut:”Setiap pegawai Negeri berhak atas cuti”. Dalam
penjelasan pasal tersebut dirumuskan apa yang dimaksud dengan cuti
dan macam-macam cuti. Yang dimaksud dengan cuti adalah tidak

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 40


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu. Cuti


mempunyai tujuan obyektif dan subyektif. Tujuan obyektif adalah
menjamin kesegaran jasmani dan rohani Pegawai Negeri Yang
bersangkutan. Sedangkan tujuan subyektifnya adalah membantu
Pegawai Negeri yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikan
kepentingan hidupnya secara lebih sempurna. Cuti Pegawai Negeri
atas cuti tahunan, cuti sakit, cuti karena alasan penting, cuti besar, cuti
bersalin, dan cuti diluar tanggungan negara.
Hak yang ketiga dari guru sebagai Pegawai Negeri adalah
mendapatkan santunan karena mengalami kecelakaan dalam dan
karena menjalankan tugas kewajiban. Hal ini ditegaskan pada pasal 9
Undang-undang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi sebagai
berikut:
(1) Setiap Pegawai Negeri yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan
dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya, berhak
memperoleh perawatan.
(2) Setiap Pegawai Negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat
rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang
mengakibatkannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apa
pun juga, berhak memperoleh tunjangan.
(3) Setiap Pegawai Negeri yang tewas, keluarganya berhak
memperoleh uang duka.”
Seperti telah dinyatakan pada salah satu ciri profesi, pekerjaan
guru adalah pekerjaan memberi pelayanan sosial kepada masyarakat
pada umumnya. Dalam hubungan ini yang menjadi medan kerja guru
yang utama adalah anak didik dan orangtuanya. Kelihatannya
lapangan yang menjadi medan kerja guru tidaklah berbahaya,
sehingga tidak atau kurang menimbulkan kecelakaan, cacat atau
kematian pada guru, sebenarnya secara potensial pekerjaan guru dapat
pula menyebabkan kecelakaan, cacat ataupun kematian. Pekerjaan
guru secara berangsur-angsur dapat menimbulkan penyakit darah
tinggi, kebutaan, dan sebagainya. Di samping itu pula dapat
menimbulkan kematian karena ditewaskan oleh anggota masyarakat
yang naik pitam (Cobalah berikan satu contoh tentang bentuk
kecelakaan, cacat, dan kematian yang dapat diderita guru dalam
menjalankan tugas kewajibannya).
Selain dari itu, guru sebagai Pegawai Negeri mempunyai hak
untuk mendapatkan pensiun. Hal ini ditegaskan pada pasal 10
Undang-undang Pokok-pokok Kepegawaian, yang berbunyi sebagai

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 41


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

berikut: “Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat


yang ditentukan, berhak atas pensiun”. Dalam penjelasannya
dikemukakan bahwa pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai
balas-jasa terhadap Pegawai Negeri yang telah bertahun-tahun
mengabdikan dirinya kepada Negara. Dalam keadaan normal, pensiun
diberikan setelah yang bersangkutan (guru) berusia 56 tahun, atau jika
usia guru dan masa kerjanya berjumlah 75 tahun. Pensiun tidak
diberikan kepada guru yang masa kerjanya kurang dari empat tahun
karena pencabutan hak pensiun.
Dalam hubungannya dengan kesejahteraan keluarga, guru
sebagai Pegawai Negeri mendapat hak menerima pelayanan kesehatan
bagi dirinya dan keluarganya. Hal ini dinyatakan pada Pasal 32, ayat
(2), dari Undang-undang Pokok-pokok Kepegawaian, yang bunyinya
sebagai berikut: ”(2) Pegawai Negeri Sipil dan keluarganya pada
waktu sakit atau melahirkan berhak memperoleh bantuan perawatan
kesehatan”.
Status organisasi. Ada dua kriteria atau ukuran yang dapat
dipergunakan dalam menilai kedudukan dan martabat sesuatu
organisasi, yaitu kriterium intern-ekstern. Kriterium intern berkenaan
dengan otonomi organisasi, yaitu keutuhan dan kemampuan
organisasi dalam melaksanakan tugasnya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Sedangkan kriterium ekstern berkenaan dengan fungsinya
terhadap lingkungan. Dalam hubungan ini berkenaan dengan
sumbangannya kepada : perumusan kebijaksanaannya dan
pelaksanaan program pendidikan, peningkatan kemampuan dan
kesejahteraan para anggota, serta kerjasama dengan lembaga-lembaga
international dalam bidang pendidikan.
Persatuan guru Republik Indonesia (disingkat PGRI) merupakan
satu-satunya organisasi guru yang resmi diakui oleh pemerintah. PGRI
adalah organisasi guru yang bertaraf nasional dengan cabang dan
rantingnya yang tersebar ke seluruh wilayah Indonesia. Dalam
perjalanan hidupnya, PGRI tidaklah terlepas dari perjalanan
kehidupan bangsa. PGRI pernah menjadi ajang perebutan partai
politik dalam rangka perebutan massa rakyat. Hal ini terjadi sekitar
tahun 1960-1965. PGRI terpecah menjadi PGRI vak sentral dan PGRI
nonvak sentral. Perpecahan tersebut disebabkan karena turut
campurnya pihak luar, terutama partai politik pada masa itu. Dengan
demikian PGRI tidak otonom lagi dalam menentukan kebijaksanaan
dan programnya.

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 42


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

Memasuki zaman pembangunan. PGRI mencoba


mengkonsolidasikan dirinya dan diharapkan dapat berperan sebagai
organisasi professional guru, dan bukan sebagai serikat buruh.
Sebagai organisasi professional, PGRI antara lain diharapkan dapat :
a. Mengembangkan standar professional guru yang yang mantap
dan mengikat kehidupan batiniah guru secara sukarela.
b. Membina kualitas professional guru dalam kemampuan dan
kesejahteraan
c. Membina dan mengawasi pelaksanaan standar professional
guru dalam pelaksanaan pendidikan
d. Turut serta secara aktif mengarahkan kebijaksanaan dan
program pendidikan
Dalam hubungannya dengan usaha pengembangan standar
professional guru, PGRI antara lain telah mensyahkan Kode Etik
Guru, seperti telah dinyatakan pada uraian terdahulu. Kode Etik Guru
tersebut perlu difahami dan diresapkan oleh para guru agar mampu
menjadi kekuatan yang mengarahkan dan memberi isi kepada sikap
dan tingkah laku guru dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian
menjadi sesuatu yang berperan dalam kehidupan guru, sehingga kode
etik guru menjadi dasar kearifan sikap dan tingkahlaku guru.
Kearifbijaksanaan guru dalam mengambil keputusan dan
bertingkahlaku dirasakan dan diterima oleh anak didik serta pihak lain
yang bersangkut paut dengan pekerjaan guru.
Penerapan standar professional yang efektif bukan saja
memerlukan dorongan dari dalam yang berupa pemahaman dan
penghayatan guru, tetapi juga dorongan dari luar yang berupa
pendisiplinan anggota, melibatkan usaha penyeleksian angota yang
akan memasuki dunia pekerjaan guru dan pengawasan terhadap
keberlakuan standar professional bagi anggotanya. Sedangkan
perlindungan anggota akan melibatkan usaha melindungi anggota dari
pembayaran dibawah standar kelayakan, dan melindungi anggota dari
perlakuan-perlakuan yang tidak adil dari luar. Pelaksanaan seleksi
professional dan perlindungan professional dan pelayanan
professional organisasi terhadap anggota dewasa ini mengalami
hambatan karena masalah kekurangan guru yang sangat mendesak.
Guru dalam usaha meningkatkan kemampuan professional
mereka membentuk badan konsultasi kerja antar mereka, yang disebut
Musyawarah Guru Bidang Studi (disingkat (MGBS) dan Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP). Badan ini tidak merupakan organisasi

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 43


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

dalam arti formal yang mempunyai anggaran dasar dan sebagainya,


tetapi merupakan kelompok kerja antar guru, yang bertujuan lebih
melancarkan tugas-tugas sehari-hari dalam melaksanakan kurikulum
MGBS lahir sebagai akibat pelaksanaan kurikulum 1975 mengalami
hambatan-hambatan yang berkenaan dengan kemampuan guru.
Kegiatan MGBS berupa konsolidasi pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar, konsultasi dan pertukaran informasi/pengalaman, dan
pembinaan kemampuan teknis professional. Peranan guru adalah
kegiatan guru. Keterlibatan guru dalam kegiatan MGBS sangat
penting sekali, karena inti kegiatan MGBS sangat dipengaruhi oleh
kemauan dan kesempatan guru. Penciptaan kesempatan antara lain
tergantung kepada Kepala Sekolah. Oleh karena itu Kepala Sekolah
mempunyai peranan yang penting dalam penyediaan waktu, sarana
serta pengarahan MGBS.

3. Pengembangan Profesi Guru


Cara lain untuk mendapat guru yang berkualitas tingi dapat
dilakukan dengan jalan seleksi penerimaan yang ketat. Seleksi
tersebut tidak saja dilakukan terhadap kemampuan akademis, tetapi
juga terhadap aspek-aspek lain yang diperkirakan berpengaruh
terhadap keberhasilan guru, seperti kesehatan dan kesempurnaan
jasmani, kepribadian, dan sebagainya. Seleksi kemampuan akademis
akan menghasilkan guru yang berkualitas tinggi, tetapi mungkin tidak
dapat mencapai jumlah yang cukup besar apabila tidak tersedia calon
yang berlimpah dan kurang minat kepada jabatan guru. Meskipun
seleksi kemampuan akademis tersebut baik, tetapi kiranya kurang
dapat untuk dilaksanakan sekarang. Hal itu disebabkan karena usaha
pemerataan kesempatan belajar memerlukan jumlah guru yang cukup
banyak dan harus dipenuhi dalam waktu yang relatif singkat. Tanpa
seleksi yang ketat pun, kekurangan guru yang sangat besar, apalagi
kalau diadakan seleksi yang ketat. Disinalah kemudian timbul dilema
profesi guru. Apabila tingkat professional guru dipertahankan akan
mengakibatkan banyak anak terlantar tidak dapat sekolah, yang tidak
mustahil akan menimbulkan masalah sosial yang mengganggu
ketahanan masyarakat dan bangsa. Sebaliknya apabila tingkat
professional guru tidak dipertahankan akan mengakibatkan
menurunnya mutu pendidikan, yang selanjutnya akan menimbulkan
masalah sosial pula dalam jangka waktu yang lama setelah
pelaksanaan pendidikan berlangsung.

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 44


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

Gunakan untuk menilai kedudukan dan martabat jabatan atau


pekerjaan guru. Kriteria tersebut antara lain yaitu : penghasilan yang
diterima dalam bentuk gaji, kesejahteraan, honoraria, pensiun dan
sebagainya. Status ekonomi ini sangat penting karena melibatkan
pemenuhan kebutuhan pokok manusia yang dasar, yaitu sandang-
pangan dan papan. Hal ini tidaklah berarti bahwa kebutuhan manusia
hanyalah kebutuhan tersebut,. Menurut A.H. Maslow manusia
mempunyai kebutuhan yang urutannya sebagai berikut:
a. Kebutuhan fisiologis yang pokok (Basic physiologicalneeds);
b. Keselamatan dan keamanan (Safety and security);
c. Kebutuhan bergaul dengan sesamanya (Belonging and social
needs);
d. Bermartabat dan berposisi (Esteem and status);
e. Mewujudkan dan menyempurnakan diri (Self actualization and
fullfilment).
Status ekonomi terutama berkenaan dengan kebutuhan tingkat
pertama dan kedua dalam urutan atau hierarki tingkat kebutuhan
menurut A.H.Maslow. Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan dalam
menilai status ekonomi sesuatu jabatan yang berkenaan dengan
penghasilan, tidak hanya dilihat besarnya penghasilan yang diperoleh,
tetapi juga standar kehidupan yang berlaku di sesuatu tempat dan
dalam waktu tertentu.
Ada perbedaan antara pengaturan gaji untuk Guru Sekolah
Negeri (disingkat Guru Negeri) dan Guru Sekolah Swasta (disingkat
Guru Swasta). Guru Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil, yang
penggajiannya diatur berdasarkan Undang-undang Pokok
Kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974 No. 55 dan Penjelasannya TLN
No. 3041), peraturan-peraturan lainnya.
Dalam Undang-undang Pokok-pokok Kepegawaian, Pasal 7
dinyatakan: “Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang
layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggungjawab”. Berdasarkan
penjelasannya dan peraturan lainnya dapat disimpulkan bahwa sistem
penggajian menggunakan sistem skala gabungan. Selanjutnya yang
dimaksud dengan sistem skala tunggal adalah sistem pemberian gaji
berdasarkan kesamaan pangkat dan tidak atau kurang memperhatikan
sifat pekerjaan, beban kerja dan prestasi kerja. Sedangkan sistem skala
gabungan adalah sistem pemberian gaji pokok berdasarkan sifat
pekerjaan, beban kerja dan prestasi kerja.

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 45


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

Ada berbagai masalah atau ketimpangan yang terdapat dalam


dunia profesi guru. Ketimpangan tersebut berhubungan dengan
gurunya sendiri, pendidikan guru, organisasi guru dan pelaksanaan
pendidikan nasional.
Masalah guru dewasa ini antara lain mencakup masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Belum semua jenis guru memenuhi persyaratan akademis suatu
profesi. Apabila direntang lebih jauh, maka masalah ini antara lain
meliputi masalah-masalah: a) Belum terintegrasinya persyaratan
akademnis guru SD dengan guru SL. Secara ideal, pekerjaan
professional hendaknya berkualifikasi akademis tingkat
pendidikan tinggi. Guru SD secara resmi berkualitas akademis
tingkat pendidikan menengah. Ini pun masih belum seluruh guru
Pre service education SD memenuhinya, b) Belum semua guru
SD, guru SL memiliki kualifikasi akademis yang sesuai dengan
tuntutan kualifikasi akademis kurikulum 1975 dan c) Belum
semua guru SL mempunyai kualifikasi akademis tingkat
pendidikan tinggi minimal, apalagi penuh.
2. Guru SD dan SL belum mempunyai status ekonomi yang
memadai. Hal ini antara lain mencakup masalah: a) Status
ekonomi guru SD dan SL masih setengah dari yang yang
diharapkan, b) Banyak guru SD dan SL yang kurang konsentrasi
kerja karena harus bekerja sepanjang hari untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup
3. Tugas kewajiban guru kompleks dan luas: a) Sifat pekerjaan guru
melibatkan banyak aspek kehidupan manusia dan hal-hal yang
halus, b) Tuntutan tugas sesuai dengan kondisi yang dapat
diperoleh
4. Kebanggaan profesi guru masih belum berkembang dan kokoh
5. Pekerjaan guru masih kurang mendapatkan perlindungan
akademis dan ekonomi.
Masalah pendidikan guru antara lain berkenaan dengan masalah
relevansi dan keterpaduan anatar pendidikan persiapan dengan
pembinaan. Masalah-masalah tersebut dapat diterangkan sebagai
berikut:
1. Tamatan pendidikan guru masih kurang sesuai dengan kebutuhan
di lapangan.
2. Pendidikan persipapan dan pembinaan masih kurang terpadu
dalam konsep dan pelaksanaan

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 46


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

PGRI sebagai organisasi profesi guru di Indonesia tidak luput


dari berbagai masalah, baik yang bersifat intern maupun ekstern.
Mengenai hal tersebut antara lain dapat diterangkan sebagai berikut:
1. PGRI masih belum menjadi organisasi professional yang kokoh
kuat. Hal ini antara lain berhubungan dengan masalah-masalah
sebagai berikut: a) Keanggotaan PGRI belum selektif dalam arti
persyaratan akademis, b) Adanya campur tangan pihak luar dalam
penanganan urusan professional guru
2. PGRI masih kurang mampu memberikan pelayanan professional
kepada anggota dan masyarakat: a) Kode Etik Guru masih belum
menjiwai sepenuhnya kehidupan professional guru, b) PGRI
masih kurang mampu memberikan perlindungan professional
akademik dan ekonomi kepada anggotanya, c) PGRI masih belum
mantap dalam melaksanakan pembinaan professional kepada
anggotanya, dan d) PGRI masih belum optimal dalam
memberikan sumbangan konseptual dalam bidang pendidikan
kepada pemerintah
Masalah profesi guru tidak terlepas pula dari kebijaksanaan dan
pelaksanaan pendidikan secara nasional. Ada beberapa kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang pendidikan yang kurang mendorong kepada
peningkatan mutu professional guru.
Masalah-masalah professional guru yang timbul karena
kebijaksanaan tersebut anatar alain sebagai berikut:
1. Pembedaan secara formal (resmi) antara persyaratan akademis
guru SD dan SL. Hal ini berarti turut serta mengisi dunia profesi
guru dengan anggota yang belum professional dalam tingkat
persyaratan akademis.
2. Baik guru SD maupun guru SL tidak menerima tunjangan jabatan.
Dalam hubungan ini Pemerintah kurang menghargai secara
finansial terhadap fungsi pekerjaan guru SD dan SL, sehingga
mereka tidak berhak menerima tunjangan jabatan/fungsional.
3. Secara tidak langsung ada pemerataan persyaratan akademis bagi
guru SL sebagai akibat kebutuhan guru yang sangat besar dan
mendesak. Program pemerataan membawa pengaruh positif dan
negatif terhadap dunia profesi guru. Pengatuh positifnya yaitu
pandangan penyediaan guru menjadi urusan pentig dan
peningkatan kesadaran peranan guru dalam pembangunan.
Pengaruh negatifnya menimbulkan kebutuhan guru yang besar dan
mendesak yang tidak dapat dipenuhi melalui penyiapan guru

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 47


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

secara konvensional. Dengan demikian muncul berbagai cara in-


konvensional yang apabila tidak ditangani secara sungguh-
sungguh dan intensif dapat menurunkan mutu guru yang
dihasilkan.
Penampilan masalah-masalah tersebut dimaksudkan untuk
menyadarkan kita semua, bahwa kita semua harus berupaya
mengatasinya. Pemecahan masalah tersebut dapat ditempuh dengan
melalui berbagai jalur, yang pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua
macam yaitu jalur individual dan jalur kelembagaan. Jalur individual
adalah usaha pemecahan yang dilakukan oleh setiap orang yang
langsung atau tidak langsung melaksanakan pekerjaan guru.
Sedangkan jalur kelembagaan adalah usaha pemecahan yang
dilaksanakan secara organisatoris atau melalui organisasi, baik oleh
organisasi profesi guru (PGRI), lembaga pendidikan guru persiapan
(pre-service) dan lembaga pendidikan pembinaan/penataran (in-
service)maupun pemerintah pada umumnya.
Usaha-usaha individual yang dapat dilakukan guru dalam
meningkatkan kemampuan professional antara lain dengan jalan:
Belajar mencintai pekerjaan guru. Hal ini berarti belajar
mencari hal-hal yang positif dari pekerjaan guru, dan kemudian
mensyukurinya. Mencintai pekerjaan bisa terjadi antara lain apabila
kita merasa dekat dengan pekerjaan yang dilakukan dan menghayati
makana pekerjaan yang sedang dilakukan. Oleh karena itu belajar
mencintai pekerjaan guru anatar lain belajar akrab dengan pekerjaan
guru dan belajar memperoleh makna dalam melakukan pekerjaan
tersebut. Belajar melalui bekerja. Dalam bekerja, kita dapat sekaligus
belajar. Pengalaman-pengalaman melakukan pekerjaan guru
mengajarkan kepada kita apa yang tepat dan benar dilakukan dan apa
pula yang tidak atau kurang tepat dan benar dilakukan. Dari situ kita
dapat belajar teknik kerja mana yang harus dimantapkan dan teknik
kerja mana yang masih perlu mengalami perubahan, penyesesuai atau
penggantian.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan lembaga pendidikan guru
dalam menghasilkan dan membina guru antara lain dengan jalan:
1. Lebih mengintensifkan pelaksanaan proses pendidikan dilembaga-
lembaga pendidikan guru. Usaha ini makin menjadi lebih penting,
karena dengan adanya pemendekan waktu belajar. Hal ini anatar
lain dapat dilakukan dengan memantapkan kurikulumnya,
sehingga secara konsepsional atau teoritis sesuai dengan tingkat

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 48


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

dan jenis kemampuan yang dituntut oleh lapangan dan mempunyai


struktur yang jelas dan logis dalam pencapaian tujuan. Disamping
itu juga tidak kurang pentingnya adalah memantapkan sistem
belajar mengajar, sehingga secara operasional dapat dicapai hasil
belajar yang optimal. Lain daripada itu juga penyediaan dan
pemantapan sarana dan sumberbelajar.
2. Lebih mengintensifkan kerjasama antara lembaga pendidikan
persiapan (pre-service) educations), lembaga penataran (in-service
education) dan sekolah beserta instansi pengelolaannya.
Kerjasama tersebut diarahkan kepada terselenggaranya pendidikan
seumur hidup yang kontinu dalam mengembangkan karir guru.
Hal ini anatar lain dapat dapat dilakukan dengan jalan
menyelenggarakan pendidikan karier guru yang terpadu. Sistem
pemberian informasi yang lancar dan fungsional, pembagian
bidang operasional kerja masing-masing dalam pembinaan guru,
dan sebagainya.
3. Mengkaitkan penyelenggaraan penataran dengan kenaikan
pangkat guru. Hasil penataran hendaknya dihargai seperti
pendidikan persiapan sehingga dapat dipergunakan untuk
menentukan kewenangan akademis dan kenaikan pangkat. Dengan
demikian penataran mempunyai status akademis yang sama
dengan pendidikan persiapan, dan bukan sekedar tambahan saja.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan organisasi guru dalam
mengembangkan profesi guru antara lain dengan:
a. Secara bertahap menguatkan keanggotaan organisasi profesi guru.
Secara bijaksana dan berangsur-angsur keanggotaan profesi guru
ditingkatkan, sehingga sudah mempunyai kualifikasi pendidikan
formal dan kemampuan nyata yang bertingkat perguruan tinggi,
yang berstarata. Hal ini memerlukan kerjasama antara organisasi,
lembaga pendidikan dan pemerintah.
b. Secara berangsur-angsur dan bijaksana diusahan agar Kode Etik
Guru mampu menjiwai kehidupan professional guru. Hal ini
antara lain dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan
pemahaman dan penghayatan melalui proses pendidikan orang
dewasa, dan pengalaman dengan melalui pendidikan dan
perlindungan anggota. Hal yang terakhir itu perlu sekali untuk
menumbuhkan keterikatan (commitment) anggota terhadap
organisasi pada umumnya dan Kode Etik Guru pada khususnya.

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 49


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

Lebih meningkatkan usaha memperkaya kegiatan ilmiah yang


membahas masalah-masalah professional dan pemecahannya.
Pembahasan terutama diarahkan kepada pengembangan peningkatan
teknis professional yang mendesak dibutuhkan untuk melaksanakan
tugas guru sehari-hari yang pokok, yaitu mengajar dan mendidik.
Akhirnya usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam
menunjang pengembangan dan peningkatan profesi guru antara lain
yaitu: 1) Secara bertahap hendaknya menyusun dan menyelenggrakan
program pendidikan karier untuk guru yang terpadu antara pendidikan
persiapan dan pendidikan pembinaan, 2) Secara bertahap hendaknya
menyelenggarakan pendidikan guru bertahap perguruan tinggi untuk
semua tingkat sekolah, yang didalamnya terdapat strata sesuai dengan
tingkat sekolah, dan 3) Secara bertahap hendaknya mengadakan
perbaikan ekonomi guru pada tahap yang layak sesuai dengan fungsi
yang harus dilaksanakan. Perlu ditimbangkan dalam waktu dekat ini
agar guru SD dan SL mendapatkan tunjangan jabatan seperti rekannya
diperguruan tinggi.

4. Harapan Terhadap Guru


Setiap masyarakat mempunyai penilaian tertentu terhadap
kedudukan berbagai pekerjaan dalam masyarakat, termasuk pekerjaan
guru. Dalam masyarakat lama jauh sebelum jaman kemerdekaan, guru
ditempatkan pada kedudukan yang tinggi, lebih tinggi daripada raja.
Hal ini antara ternyata dari ungkapan tentang siapa yang wajib
disembah dalam kehidupan di dunia ini, yang wajib di sembah yaitu;
“Guru, Ratu, Wongatuwo Karo”. Yang pertama wajib dihormati dan
dipatuhi adalah guru, baru kemudian penguasa (raja/ratu) dan kedua
orang tua kita. Guru mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan
diharapkan dapat menjalankan tugas kewajiban yang mulia, yaitu
sebagai petunjuk jalan untuk mencapai keutamaan dalam hidup.
Dalam masyarakat demikian tidak sembarang orang dapat menjadi
guru, tetapi terbatas kepada mereka yang terpanggil untuk hidup
sebagai guru. Mereka mempunyai keistimewaan dalam menguasai
ilmu tentang hidup. Mereka adalah para pendeta dalam zaman
kerajaan Hindu/Budha dan wali/Alim ulama dalam zaman kerajaan
Islam mereka mempunyai perguruan/pesantren sebagai tempat para
siswa (cantrik/santri) belajar.
Zaman kemudian berubah akibat datangnya orang-orang Eropa
ke Nusantara. Kehidupan masyarakatpun mengalami perubahan, baik

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 50


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

dalam struktur maupun aspirasi. Dalam zaman penjajahan Belanda


mulai diperkenalkan sistem pendidikan dalam bentuk sekolah dengan
guru yang berkedudukan sebagai pegawai. Mereka yang menjadi guru
bukan lagi terutama karena panggilan (titah), tetapi terutama karena
mendapatkan pendidikan/latihan khusus untuk jabatan guru.
Setelah melalui perjuangan yang berat dan berliku-liku akhirnya
bangsa Indonesia dapat menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus
1945. harapan-harapan yang terpendam semasa perjuangan tentang
kehidupan bangsa yang merdeka diungkapannya dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Harapan tentang tugas pokok guru
dalam kehidupan bangsa yang merdeka tersirat pada alinia ke 4 dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Guru mempunyai tugas
pokok mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini berarti bahwa guru
mempunyai tugas menumbuhkan kemampuan anak didik yang dapat
meningkatkan mutu kehidupan bangsa. Kemampuan yang harus
ditumbuhkan pada diri anak didik yaitu: (1) kemampuan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) kemampuan mengambil keputusan
secara tepat dan tepat; (3) kemampuan melaksanakan pekerjaan secara
tepat; (4) kemampuan berbudi pekerti yang luhur; (5) kemampuan
kepribadian yang kuat dan (6) kemampuan bersemangat kebangsaan
yang kokoh. Kemampuan-kemampuan tersebut harus dapat
melestarikan dan memperkembangkan mutu kehidupan bangsa dalam
rangka percaturan kehidupan dunia.
Guru dalam melaksanakan tugasnya diharapakan berlaku
sebagai pahlawan yang karyanya tertanam dalam hati sanubari dan
mampu berfungsi sebagai suara-suara dan kekuatan yang mengajak
dan mendorong seseorang untuk berbuat mulia/baik. Harapan ini
tertulis pada Himne Guru yang berjudul: “Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa”.

C. PENUTUP
Uraian diatas menunjukkan bahwa profesi guru di Indonesia
mengandung berbagai masalah dan perlu pemecahan oleh berbagai
pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Kalau
demikian halnya, bagaimanakah masa depan profesi guru di
Indonesia?
Ada berbagai faktor ekstern yang positif membantu terhadap
kelangsungan hidup profesi guru. Faktor-faktor tersebut antara lain
yaitu:

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 51


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

1. Kebutuhan guru yang terus meningkat. Permintaan akan guru,


baik secara kuantitatif maupun kualitatif akan meningkatkan pada
masa mendatang. Hal ini akan menyebabkan profesi guru akan
tetap dibutuhkan oleh masyrakat. Di samping itu akan mendorong
pula perlunya peningkatan mutu guru.
2. Pemerintah mempunyai kemauan positif untuk meningkatkan
pendidikan, termasuk pendidikan guru, Dengan demikian akan
mendorong kepada usaha-usaha pengembangan pendidikan guru
yang lebih baik.
Lain daripada itu pula faktor-faktor intern guru yang positif
menunjang kepada kelangsungan dan perkembangan hidup profesi
guru. Faktor-faktor tersebut antara lain yaitu:
1. Orang yang akan dan telah menjadi guru. Mereka mempunyai
vitalitas hidup. Mereka mempunyai kepentingan langsung akan
kehidupan profesi guru yang lebih baik dan lebih berperan dalam
masyarakat. Mereka dengan sendirinya akan mendukung usaha-
usaha pelestarian, perbaikan dan pengembangan profesi guru dari
pihak lainnya.
2. Organisasi guru (PGRI) yang diakui eksistensinya oleh
Pemerintah, dunia luar dan guru sendiri. PGRI sebagai organisasi
profesi merupakan wadah perjuangan guru untuk memperbaiki
nasibnya, dan juga misinya memberikan pelayanan kepada
masyarakat, khususnya kepada generasi muda. Bagaimana
mengsisi perjuangan tersebut? Berpeluang kepada kita semua para
guru. Marilah kita mengisi perjuangan tersebut.
3. Sudah tersedianya seperangkat sarana pendidikan guru, baik yang
berkenan dengan pendidikan persiapan (pre-service education)
maupun pendidikan pembinaan (in-service education). Sarana ini
makin dimantapkan baik dalam konsep maupun pelaksanaannya.
Kelengkapan yang kamin mantap ini akan menjadi pendorong
kepada makin dikembangkannya profesi guru.

DAFTAR PUSTAKA
Sanusi, Ahmad. (1990). Profesionalisasi dalam pengelolaan
Pendidikan Nasional. Jakarta: Makalah Seminar
Wijaya, Cece dan A. Tabrani (1994). Kemampuan Dasar Guru Dalam
Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 52


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

Wijaya, Wijaya dan A. Tabrani (1994). Upaya Pembaharuan dalam


Pengajaran dan Pendidikan., Bandung: Remaja Rosda Karya.
Semiawan, Conny R. (1991). Pendekatan Keterampilan Prose.
Jakarta: Grafindo.
Ahmad, Djauzak. (1995). Pedoman Pembinaan Profesional Guru
Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud RI.
Depdikbud (1995), Pedoman Pembinaan Profesional Guru, Jakarta:
Proyek Pembinaan Mutu TK.SD.SLB.
Satori, Djam’an. (1989). Pengembangan Model Supervisi SD:
Penelitian terhadap Efektifitas Sistem Pelayanan Profesional
bagi Guru-guru SD di Cianjur Jawa Barat, Bandung:
Desertasi PPS IKIP Bandung.
Engkoswara. (1984). Menata Peningkatan Kualitas Manusia
Indonesia Tinggal Landas, Jakarta: Depdikbud.
Hoyle, E. (1980), World Yearbook of Education, Profesional
Development of Teachers, New York : Nicholes Publising
Company.
IPSI. (1992), Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Jakarta:
Depdikbud.
Nurtain (1983). Gaya dan Wibawa Kepemimpinan Kepala Sekolah
dalam mengelola Kematangan Guru dan Dihubungkan
dengan Hasil Belajar Murid , Bandung: Desertasi FPS IKIP
Bandung.
Sutisna, Oteng. (1989). Profesional Tenaga Pendidkan Kepala
Sekolah, Bandung: FPS IKIP.
Yunus, Rusli (2000). Pengembangan Profesional Guru sekolah
Dasar., Jakarta : PPPG.
Samsudin, Z.A. (1990), Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan ,
Bandung: Angkasa.
T. Raka Joni (1989), Profesi Guru di Indonesia Tawaran dan
Tantangan , Analisis CSIS Nomor 4 Jakarta.
Tarbidin (1992), Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 53


JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.5 No.1, Juni 2008

William B (1981), the Personel Fungtion In Educational


Administration , New York : MacMillan Publishing.
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989. tentang Sistem Pendidikan
Nasional Jakarta : Depdikbud
Soedjadi, 1990. Media Pendidikan Matematika, IKIP Surabaya.
------, 1991. Wajah Pendidikan Matematika Di Sekolah Dasar Kita
Beberapa Hasil Pengamatan Lapangan Sebagai Bekal Upaya
Perbaikan Di Masa Depan, Penataran Penyiapan Calon
Penatar (PCP) Dosen PGSD-DII Guru Kelas, Jakarta.
Sulu Lipu La Sulo, dkk, 1998. Supervisi Klinis (Pendekatan dalam
Penyelenggaraan Program Pengalaman Lapangan), P2LPTK
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Jakarta.

i
Dr (C) Oding Supriadi, M.Pd adalah Dosen STKIP Yasika
Majalengka - Jawa Barat

Profesi Guru … (Oding Supriadi, 35:54) 54


PENDIDIKAN PROFESI GURU:
HARAPAN DAN TANTANG AN

Zamakhsari
Staf UIN Sunan Kalijaga, sedang menyelesaikan studi pada Program Doktor
Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Abstract

Teacher certification program is mandated by law No. 20 of 2003 on National


Education System. The Program expected to produce professional teachers. There
are two ways of the program such asportofolio assessment and education. Beginning
in 2009, the government implements the certification procedure for the determination
of graduation education teachers with the teaching profession.
Every person who wants to become a teacher, has to take Professional Education of
Teachers. The teacher condition must be followed already well educated SI
backgrounds, educational and non educational. Due to different backgrounds, it
should be. curriculum and the learning process can not be equated, especially when
viewed from the subjects of interest. Professional Education of Teachers will be
successful if the curriculum noticed 1) Competency Standards Graduates, 2) initial
capacity of participants, and 3) the needs of each group of participants. In addition,
the learning system uses the principles of 1) learning by doing, 2) active learners,
3) higher order thinking, 4) the impact of accompaniment, 5) periodic reversal
mechanism, 6) utilization of information technology, and contextual learning.
Keywords: Professional Education of Teachers, curriculum, teaching learning process,
and certification.

Pendahuluan
Duni a senantiasa berubah yang membawa implikasi perubahan pada semua aspek,
tak tcrkecuali pendidikan. Sekolah/madrasah adalah tempat yang musih sangat diyakini
oleh sebagian besar masyarakai sebagai tempat transformasi nilai, pengetahuan, dan
keterampilan yang tentunya tems ikut rnengalami perubahan. Lembaga sekolah agar tidak
tertinggal, mau tidak mail harus maju menyelaraskan dengan dinamika lingkungan dunia.
Jika sekolah tidak mampu -dikatakan sekoiah tidak bermutu- maka tinggal menunggu
waktu akan ditinggalkan oleh masyarakat sebagai pelanggan.

imail. Vol. XV, No. 2<> Januari - |uni 2(H>M I 23


Zamakhsari

Di sisi lain, tidak ada seorangpun yang dapat menegaskan bahwa pendidikan yang
selama ini kita laksanakan telah berhasil. Berbagai indikator dapat dijadikan rujukan betapa
pendidikan kita belum mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Secara kuantitatif,
misalnya, Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNESCO pertahunnya,
kita selalu berada urutan di bawah 100. HDI Indonesia tahun 2007, misalnya, menempati
posisi 107, jauh di bawah negara tetangga, Malaysia - yang tahun 70-an sampai dengan
awal tahun 80-an merupakan 'anak didik' kita, sekarang kita yang menjadi anak didiknya.
Sampai tahun 2007, tidak kurang dari 14.000 mahasiswa kita belajar di Malaysia1 - di
urutan ke 63. Bandingkan juga dengan Singapura yang masuk dalam jajaran 25 besar
perolehan HDI. Negara kita mengungguli Papua Nugini pada posisi 145 dan Timor Leste
yang menduduki posisi 150.2 Tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat kita
bersekolah ke luar negeri
Selanjutnya, keterpurukan pendidikan kita tidak hanya ditunjukkan dengan perolehan
angka secara kuantitatif, namun juga secara kualitas kegagalan pendidikan kita tampak
pada aspek afektif dengan maraknya kenakalan dan kejahatan remaja, pergaulan bebas,
pomografi dan pornoaksi yang menambah buram potret pendidikan kita. Selain itu, peristi wa
kekerasan dalam masyarakat kita terjadi karena kekurangdewasaan bangsa kita dalam
menyikapi sesuatu hal yang berakhir dengan konflik yang merugikan semua pihak.
Bukankah tujuan utama pendidikan adalah mencapai kedewasaan diri?
Tenaga kerja kita tidak mendapat tempat terhormat di kawasan wilayah dunia, Asia,
bahkan tingkat Asia Tenggara. Lulusan lembaga pendidikan kita kurang mampu bersaing
dalam dunia kerja. Tenaga kerja kita berlimpah, namun hanya mampu berperan dalam
level buruh alias TKI (Tenaga Kerja Indonesia), bukan kelas manajer, dan karena mereka
tidak memlliki ji wa entrepeneurship. Data Migrant Care sampai tahun 2006, terdapat 6,9
juta orang Indonesai yang menjadi TKI.3 Karena, pendidikan kita tidak memberikan apa
yang seharusnya diperoleh oleh peserta pendidikan. Dengan tidak mengecilkan peran
buruh, pekerjaan buruh tidak memerlukan kompetensi akademik yang tinggi. Sejak 1 Januari
2003, kita telah berada pada era bebas baik dalam perdagangan maupun tenaga kerja
dengan diberlakukannya AFLA (Asean Free Labour Area) dan AFTA (Asean Free Trade
Area) yang menuntut kepemilikan kompetensi yang mampu bersaing dengan negara-negara
di wilayah regional Asean.
Pencapaian kesejahteraan suatu bangsa dalam bidang apapun tidak dapat melepaskan
diri dari peran pendidikan. Pendidikan adalah upayaperubahan. Pendidikan dengan segala
bentuknya, masih menjadi pilihan paling dominan sebagian besar kalangan untuk
mengentaskan diri. Kepercayaan besar masyarakat ini harus diimbangi dengan upaya
perbaikan si stein pendidikan.

124 Mukatldimtih, Vol. XV, No. 2h j . i n u . i r i - J u n i 20(W


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

Kondisi Guru
Pcndidi kan sebagai suatu sistem berarti setiap bagian-bagianny a saling menyesuaikan,
saling menunjang, dan saling memperkuat. Pendidikan dapat dipandang dengan model
input - proses - output. Dalam proses pendidikan terdapat berbagai komponen yang
menumt Coombs dalam Bamadib4 terdapat 12 komponen yang perlu diperhatikan dalam
membahas masalah pendidikan, yaitu: (1) tujuan dan prioritas; (2) pesena didik; (3)
manajemen; (4) strukturdan jadual waktu; (5) isi dan bahan belajar; (6) guru; (7) alat
bantu belajar, (8) fasilitas; (9) tekhnologi; (10) pengawasan mutu; (11) peneliuan; dan (12)
biaya pendidikan. Pemecahan masalah terhadap berbagai persoalan pendidikan hendaknya
melibatkan berbagai komponen pendidikan di at as.
Guru adalah salah satu komponen sistem pendidikan. Fungsi guru akan terpenuhi
dengan baik bila guru memiliki kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru. Fasli Jala),
Dirjen Pendidikan Tinggi menyatakan hampir separuh dari 2,6 juta guru yang ada dianggap
belum layak merigajar. Kuali fikasi kompetensinya tidak memenuhi.5 Pernyataan di atas
diperkuat oleh Wardii nan Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan), dalam wawancara
di Televisi Pendidikan Indonesia tanggal 16 Agustus 2008, yang mengemukakan bahwa
hanya 43% guru yang memenuhi syarat.6Sisanya (57%), tidak atau belum memenuhi
syarat/tidak kompeten/tidak profcsional melaksanakan tugas sebagai guru. Kondisi tersebut
sangat ironis. Sangat wajar, pendidikan kita masih sangat jauh dari harapan dan kebutuhan
duniakeija.
Guru yang telah mendapatkan sertifikat guru profesional berarti telah memiliki bukd
formal sebagai pengakuari bahwa guru yang bersangkutan adalah tenaga profesional.7
Sertifikasi dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah proses
pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikasi adalah uji kompetensi yang
dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan
pemberian sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 61 UU tersebut disebutkan :"Sertifikat dapat berbentuk
ijazah dan sertifikat kompetensi". Sertifikat kompetensi ini diperoleh dari penyelenggara
pendidikan dan lembaga pelatihan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Selama ini, pemberian sertifikat gum profesional dilaksanakan melalui penilaian
ponofolio dan jalur pendidikan, yaitu melalui uji kompetensi. Mulai tahun 2009, pemerintah
menerdpkandanmengganti tatacarapenetapan sertifikasi guru tersebut menjadi kelulusan
Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dalam PPG ini terdiri dari Sertifikasi Prajabatan dan
Sertifikasi Dalam Jabatan. Harapannya adalah PPG akan memberikan kontribusi terhadap
perbaikan mutu pendidikan kita. Hal ini sesuai dengan tujuan unium PPG yaitu dalam

Mnkatltliinah. Vol XV. No. 26 lann.iri -Juni 2009 125


Zamakhsari

rangkamewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan dilaksanakannya PPQ pemerintah


menyempurnakan - untuk tidak mengatakan merubah - tata cara pencapaian predikat
guru profesional yang semula berdasarkan penilaian portofolio menjadi kelulusan PPG
Tentu langkah pemerintah ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Upaya pemerintah yang ingin memenuhi kuota kebutuhan guru secara nasional perlu
diapresiasi oleh semua kalangan. Kita berharap, pemerintah tidak hanya bertekad
memenuhi jumlah kuantitas saja, tapi hendaknya berusaha agar diperoleh guru berkualitas
prima yang memiliki kompetensi guru lengkap (kompetensi paedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional).8 Pertanyaan kita adalah apakah
PPG merupakan solusi bagi tercukupinya jumlah guru yang memenuhi harapan secara
kualitas?
Ada pihak-pihak yang merasa khawatir dengan keberadaan PPG. Alasan yang
dikemukakan bersifat pragmatis karena telah terdapat lembaga pendidikan profesi guru
yang telah ada selama ini yaitu Program Akta IV yang telah dapat memenuhi kebutuhan
tenaga kependidikan. Program Akta IV yang telah berlangsung kurang lebih dua dasa
warsa dipandang telah memecahkan persoalan kebutuhan guru dan menghasilkan banyak
guru yang berkualitas. Kebijakan PPG tentu menimbulkan pertanyaan mengenai kelanjutan
Program Akta IV. Hal ini jauh hari pernah disinyalir oleh Prof. Dr. Mungin Edi Wibowo
M.Pd, - Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) - bahwa dengan
diberlakukannya PPG akan menghapus Program Akta IV.9Aturan keharusan mengikuti
PPG bersifat mengikat semua alumni S1 atau D-IV non kependidikan bila ingin berprofesi
sebagai guru.
Sertifikasi guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi
profesional. Dengan demikian, proses sertifikasi - dalam hal ini PPG - adalah bagian
penting dalam rangka mencapai salah satu standar nasional pendidikan aspek tenaga pendidik
(Bab VI PPNomor 19Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan). Pemenuhan
kompetensi oleh guru akan dibarengi dengan pemberian penghargaan bagi guru profesional
melalui pendidikan guru yang dirancang secara cermat. Namun, apakah PPG yang
dilaksanakan setahun mampu memberikan semua kompetensi yang diperlukan bagi seorang
guru profesional? Jawaban pertanyaan ini sangat terkait dengan kurikulum meliputi: struktur
kurikulum, sistem pembelajaran, dan penilaian peserta. Yakinkah kita bahwa kompetensi
guru serta merta dapat dibentuk 'hanya' dalam waktu setahun? Tidakkah terdapat faktor
rentang waktu pengalaman yang berperan mematangkan pencapaian kompetensi seorang
guru? Jika kita meniadakan faktor waktu, seharusnya kurikulum PPG dibuat dengan cermat
memuat kompetensi yang dituntut terdapat pada seorang guru, desain pembelajaran, dan
penilaian terhadap peserta didik.

Mitkadilhnali, Vol. XV, No.2b l.inu.iri - Juni 2009


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

Bagaimanakah konsep kurikulum yang disampaikan pada PPG? Terdapat


kekhawatiran bahwa jangan-jangan kurikulum PPG berorientasi pada kurikulum barat,
bukan yang berakar dari kehidupan bangsa kita. Apakah telah mengedepankan konsep
kontekstualitas? Jika tidak, jelas guru-guru alumni PPG tidak akan mampu memecahkan
berbagai masalah kependidikan khas Indonesia karena peserta didik kita adalah manusia
Indonesia yang menikmati, menyandarkan hidup, dan sekaligus menginginkan pemecahan
berbagai masalah yang dihudapi.
Sebaik apapun percncanaan dan pelaksanaan suatu program, tanpa adanya penilaian
yang memadai maka sia-sialah semuanya. Penilaian terhadap peserta PPG sangat berguna
bagi diri peserta sendiri, tenaga pengajar/dosen, program PPG, pemerintah selaku pengambil
kebijakan, dan masyarakatpengguna.
PPG adalah suatu sistem yang keberhasilan sangat tergantung pada berbagai komponen
sistem di dalamnya. Secara internal, keberhasilan PPG sangat ditentukan oleh banyak hal,
antara lain: sistem penerimaan peserta didik, kurikulum, pembelajaran, evaluasi, dan
penjaminan mutu PPG Agar dapat mengetahui efektivitas PPG kita tidak dapat melakukan
pengamatan segera, namun diperlukan penciltian evaluasi sistem, program, dan pelaksanaan
setelah rentang waktu PPG berlangsung. Secara eksternal, PPG adalah sub sistem dari
sistem yang lebih besar, PPG dituntut mampu mengharmoniskan diri dan mengikuti dinamika
perubahan sistem yang lain.
Dalam tulisan ini kami berupaya membahas harapan dari keberadaan PPG di tengah
perubahan berbagai hal terkait dan tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh PPG
dalam mencapai tujuannya.
Betapa banyak masalah yang terkait dengan PPG, namun pada tulisan ini hanya
dibatasi pada beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimanakah struktur kurikulum PPG agar dapat menjawab tuntutan dunia pendidikan
tentang kebutuhan guru yang kompeten?
2. Bagaimanakah sistem pembelajaran yang sesuai untuk pelaksanaan PPG?
3. Bagaimanakah penilaian peserta PPG?
4. Tantangan apa sajakah yang mungkin dihadapi oleh PPG secara internal dan eksternal
dalam rangka menjalankan ftmgsi sebagai lembaga pendidikan profesi yang berkualitas?

Pendidikan Profesi Guru (PPG)


Guru adalah profesi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Pekerjaan yang bersifat profesional
memerlukan beberapa bidang ilmu yang hams dipelajari dan diaplikasikan untuk kepentingan
umum. 10 Menurut Djojonegoro1' bahwa profesionalisme dalam suatu pekerjaan/jabatan
ditentukan oleh tiga faktor penting. Tiga faktor tersebut adulah :

\Jiikuili1iitinh. Vol. XV, No.2h J.inu.u'i - J u n i 200LJ 127


Zamakhsari

a. memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau
spesialisasi.
b. kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus) yang
dimiliki.
c. penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian yang dimiliki itu.

Dengan demikian, pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki keahlian
khusus dalam bidang keguruan sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara
maksimal.
Tolok ukur untuk menjadi guru profesional adalah memperoleh sertifikat guru
profesional dalam PPG PPG merupakan salah satu impelementasi adanya UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan
S1 Kependidikan dan S1/D-IV non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi
guru yang profesional serta memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar
nasional pendidikan dan dapat memperoleh sertifikat pendidik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.12PPG
menyediakan layanan pendidikan profesi bagi guru di tiap jenjang satuan pendidikan. Dengan
demikian terdapat perbedaan struktur kurikulum dan beban belajar guru pada tiap kelompok
jenjang pendidikan yang diikutinya.

TbjuanPPG
Tujuan umum PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor
20 Tahun 2003 yaitu:
"mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, akap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab".
Adapun tujuan khusus PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usiadini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian.13
Pendek kata, PPG bertujuan untuk menghasilkan guru yang kompeten dalam seluruh aspek
kegiatan pembelajaran.
Dasar Pelaksanaan PPG
1. UU Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2S
Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

2. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen


3. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
4. PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Kurikulum PPG
Penetapan kurikulum PPG adalah sangat penting karenahakekat kurikulum sebagai
pedoman dalam penyelenggaraan PPG Di dalam kurikulum memuat berbagai aspek terkait
dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang bermuara pada pencapaian tujuan
kegiatan.'4 Kecennatan dalam penyusunan kurikulum merupakan awal keberhasilan PPG

Penyusunan kurikulum PPG


mengikuti alurberikut
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PPG

KEMAMPUAN AWAL PESERTA

KEBUTUHAN TIAP KELOMPOK PESERTA

1 . Standar Kompetensi Lulusan (SKL)


Penyusunan dan pengembangan kurikulum PPG merupakan penjabaran dari SKL
PPG SKL merupakan kompetensi lulusan minimal yang diharapkan dicapai oleh setiap
alumnus pendidikan profesi guru. SKL ini masih merupakan tujuan yang bersifat umum.
Agar SKLdapat tercapai hams dijabarkan ke dalam indikator-indikator hasil belajar.
Guru ideal memiliki kriteria lengkap. Guru minimal dapat berfungsi sebagai
pendamping dalam belajar, sumber ilmu, dan pen-transfer ilmu pengetahuan.
Kompetensi berikut menggambarkan sosok utuh seorang guru:15
(a) kemampuan mengenal secaramendalampesertadidikyangdilayani,
(b) penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan
mengemas materi pembelajaran kependidikan,
(c) kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik (perencanaan -
pelaksanaan, penilaian - pemanfaatan hasil penilaian), dan
(d) pengembangan profesionalitas berkelanjutan.
Keempat kompetensi di atas erat berkaitan dengan kompetensi akademik dan
kompetensi profesional . Kompetensi akademik adalah segala kemampuan yang dapat
diperolch dari pendidikan di lembaga non kependidikan terkait dengan materi mumi

- [mil 2(W)
Zamakhsari

tanpa adanya implementasi materi tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan


kompetensi profesional guru adalah kemampuan yang dapat diperoleh dari lembaga
penyelenggara pendidikan profesi guru berkaitan dengan penerapan kemampuan
akademik dalam pembelajaran di kelas. Kedua kompetensi di atas saling menunjang
dan hams dimiliki oleh guru.
Kompetensi profesional yang terkait dengan kegiatan guru di kelas sejalan dengan
peranan guru dalam pembelajaran yang meliputi: (1) guru sebagai demonstrator, (2)
guru sebagai pengelola kelas, (3) guru sebagai mediator, (4) guru sebagai fasilitator,
dan (5) guru sebagai evaluator.16 Sebagai demonstrator, guru selalu menguasai bahan
pelajaran yang diajarkan dan dapat mengembangkannya. Peranan guru sebagai
pengelola kelas adalah mengelola kelas sebagai organisasi dan lingkungan belajar.
Kelas perlu diatur agar semua kegiatan belajar mengarah kepada pencapaian tujuan
pendidikan. Guru sebagai mediator hams mampu memahami berbagai macam media
belajar yang menuju kepada percepatan pencapaian kompetensi. Sebagai fasilitator,
guru hendaknya mampu mengarahkan siswa untuk menggunakan berbagai sumber
belajar yang berguna bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagai evaluator, guru
harus mampu mengadakan penilaian yang sangat berguna sebagai umpan balik
mengenai ketercapaian tujuan pembelajaran, ketepatan materi, ketepatan strategi
pembelajaran, dan efektivitas penggunaan media.
Program PPG adalah sebuah lembaga yang bertujuan agar peserta didik memiliki
kompetensi profesional. Adapun kompetensi profesional PPG, yang mempakan SKL
PPG adalah:
1. Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi.
2. Menguasai ilmu pendidikan, perkembangan, dan membimbing peserta didik.
3. Menguasai pembelajaran bidang studi, belajar dan pembelajaran, evaluasi
pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran, dan penelitian
bagi peningkatan pembelajaran bidang studi.
4. Mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi.
5. Memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial,
konatif, dan afektif.
6. Kompetensi sosial mempakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara
langsung maupun menggunakan media di sekolah dan di luar sekolah.
SKL di atas dijabarkan menjadi indikator-indikator hasil belajar yang sesuai.
Selanjutnyadilakukan identifikasi materi yang relevan dengan indikator hasil belajar
dengan menetapkan berbagai macam strategi pembelajaran yang tepat. Langkah ini
harus relevan dan disinkronkan dengan kemampuan awal peserta.

\\nkt\thiimnh, Vol. XV, Nn. 2*> l . i m u r i - | u n i 2()(W


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

Selain harus memiliki SKLprofesional seharusnya tiap guru hams memiliki standar
mental, spiritual, intelektual, fisik, dan psikis sebagai berikut: "
1. Standar mental
Guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi
yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
2. Standar moral
Guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
3. Standar sosial
Guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan
masyarakat lingkungannya.
4. Standar spiritual
Guru harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan
dalam ibadah sehari-hari.
5. Standar intelektual
Guru harus memiliki pengetahuandanketerampilan yang memadaiagar dapat
melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
6. Standar fisik
Guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular
yang membahayakan diri, peserta didik, dan lingkungannya.
7. Standar psikis
Guru harus sehat rohani artinya tidak mengalami gangguan jiwa alau pun kelainan
yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesinya.
Apakah pemerintah telah memikirkan bagaimana ketujuh standar di atas dapat
terukur sebagai dasar penetapan sertifikasi guru secara komprehensif? Bisa jadi
seorang guru yang telah dinyatakan lulus PPG dengan segenap kompetensi profesio-
nal yang dimiliki, masih belum memiliki salah satu atau beberapa standar kompetensi
diatas.
2. Kemampuan awal peserta
Syarat akademis input PPG adalah semua sarjana S-l/D-IV kependidikan dan
non kependidikan yang tentunya memiliki latar belakang dan orientasi materi pelajaran
berbeda. Penyusunan kurikulum PPG harus melalui serangkaian analisa terhadap
kurikulum yang telah adapadajenjang pendidikan formal sebagai prasyarat mengikim
PPG, yaitu Pendidikan S1 Kependidikan dan Pendidikan S1/D-IV Non Kependidikan
dihubungkan dengan tujuan PPG. Hasil analisa seperti tercantum dalamTabel berikut:

. Vol X V , N o . 2 h | j n u , m - l u n i 201W
Zamakhsari

Tabel 1.
Analisa Perbandingan Kompetensi Lulusan S-1 Kependidikan dan S-l/D-IV
Non Kependidikan

Lulusan SI Lulusan Sl/D-IV Non


No. Kompetensi
Kependidikan Kependidikan
1. Akademik Telah menguasai konsep Belum menguasai konsep
dan landasan kependidikan dan landasan
kependidikan
Telah memahami peserta Belum memahami peserta
didik secara baik didik karena tidak
diprogramkan dalam
pembelajaran
Telah menguasai bidang Telah menguasai bidang
studi dan mampu studi secara mendalam
mengemas bidang studi tapi belum mampu
untuk pembelajaran mengemas bidang studi
untuk pembelajaran
Telah menguasai Belum menguasai
pengetahuan tentang pengetahuan tentang
pembelajaran dan segala pembelajaran dan segala
aspeknya aspeknya
2. Profesional Telah memiliki kemampuan Belum memiliki
merencanakan dan kemampuan
melaksanakan pembelajaran merencanakan dan
dengan segala aspeknya melaksanakan
walaupun belum sempurna pembelajaran karena tidak
diprogramkan dalam
pembelajarannya

Berdasarkan Tabel 1 di atas maka disusun kurikulum PPG yang sesuai untuk
kedua kelompok lulusan pendidikan dan non kependidikan yang tercantum pada Tabel
berikut:

MttkntUitniili. Vol. XV, No. 26 !,i


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

Tabel 2.
Kerangka Kurikulutn Program PPG

No. Kompetensi LulusanSl Lulusan SI/D-IV Non


Kependidikan Kependidikan
1. Akademik Pengemasan materi Kajian tentang teori pendidikan
bidang studi untuk dan pembelajaran
pembelajaran bidang studi Kajian tentang peserta didik
yang mendidik (subject Pengemasan materi bidang studi
specific pedagogy) untuk pembelajaran bidang
studi yang mendidik (subject
specific pedagogy)
Pembentukan kompetensi
kepribadian pendidik
2. Profesional PPL Kependidikan PPL Kependidikan

Kompetensi akademik lebih terfokus pada pengetahuan yang berkenaan dengan


pembelajaran secarakonseptual. Dengan kata lain, kompetensi akademik memuat
berbagai kemampuan yang terkait dengan penguasaan pengetahuan yang bersifat
deklaratif, seperti: fakta, konsep, danpenanaman sikappositif terhadapprofesi guru.
Sedangkan kompetensi profesional memuat kompetensi yang terkait dengan penerapan
pengetahuan deklaratif ke dalam prosedural pembelajaran dan berbagai kerni mgki nan
pengembangan diri secara profesional.
Berdasarkan Tabel 2 di atas terdapatperbedaan struktur kurikulum PPG peserta
lulusan S1 Kependidikan dan peserta lulusan S1/D-IV Non Kependidikan. Perbeda-
an ini didasarkan pada kurikulum jenjang pendidikan sebelumnya, yang dijadikan dasar
dalam menetapkan kemampuan awal peserta didik.
3. Kebutuhan tiap kelompok peserta
Peserta didik dikelompokkan ke dalam berbagai kelompok yang disesuaikan dengan
tingkat satuan pendidikan dan mata pelajaran yang akan diampunya. Tiap jenjang pendidikan
tertentu akan memiliki beban belajar yang berbeda dengan tingkat yang Iain terkait dengan
keluasan dan kedalaman materi. Berikut ini Tabel yang menjelaskan tentang tingkat satuan
pendidikan, latar belakang pendidikan, dan beban belajar yang hams diselesaikan:

Mnkaiiitinttih. Vol. XV,No.2h J-inuari- |nm 2 t X W


Zamakhsari

Tabel 3.
Tingkat Satuan Pendidikan, Latar Belakang Pendidikan Peserta Didik PPG, dan
Beban Belajar dalam PPG
Latar Belakang Beban
No. Tingkat Satuan Pendidikan
Pendidikan Belajar
1. TK/RA/TKKh atau bentuk lain Sarjana (SI) atau D-IV 18-20SKS
yang sederajat Kependidikan untuk
TK/RA/TKKh atau bentuk
lain yang sederajat
2. SD/MI/SDKh atau bentuk lain Sarjana(Sl)atauD-IV 18-20SKS
yang sederajat Kependidikan untuk
SD/MI/SDKh atau bentuk
lain yang sederajat
3. TK/RA/TKKh atau bentuk lain Sarjana(Sl)atauD-IV 36-40 SKS
yang sederajat Kependidikan setain untuk
TK/RA/TKKh atau bentuk
lain yang sederajat
4. SD/MI/SDKh atau bentuk lain Sarjana(Sl)atauD-IV 36-40 SKS
yang sederajat Kependidikan untuk selain
SD/MI/SDKh atau bentuk
lain yang sederajat
5. TK/RA/TKKh atau bentuk lain Sarjana psikologi SI 36-40 SKS
yang sederajat
6. SMP/MTs/SMPKh atau bentuk Sarjana(Sl)atauD-IV 36-40 SKS
lain yang sederajat kependidikan maupun S 1
atau D-IV non kependidikan
7. SMA/MA/SMAKh/SMK/MAK Sarjana (SI) atau D-IV 36-40 SKS
atau bentuk lain yang sederajat kependidikan maupun S 1
atau D-IV non kependidikan

Selanjutnyajika terdapat ketidaksesuaian antara matapelajaran yang akan diampu


dengan pendidikan S1/D-IV yang telah ditempuh maka dilakukan program matrikulasi
yang kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan. Materi matrikulasi berupa materi
yang memperkuat kompetensi akademik bidang studi dan atau kompetensi kademik
kependidikan.

Sistem Pembelajaran
Dalam PPG digunakan prinsip-prinsip pembelajaran:l9
1. Belajar dengan berbuat (learning by doing)
Dengan konsep belajar "belajar dengan berbuat" diharapkan segala pemahaman
menjadi lebih baik untuk semuaaspek baik kognitif. atektif maupun psikomotorik.

I.VI Mitkaddiinalt, Vol. XV, No. 2(> l . i n u n r i - l u n i 201


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena peserta clidik melakukan dan


menemukan sendiri pengetahuan.
Belajar dengan berbuat memberikan hasil belajar yang lebih baik daripada hany a
sckedar inendcngar, membaca, atau kombinasi keduanya. Sutrisno^mengemukakan
bahwa siswa belajar 90% dan yang dikatakan dan dilakukan. Bandingkan dengan
siswa belajar 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat,
50% dari yang dilihat dan didengar, dan 70% dari yang dikatakan.
2. Keaktifan peserta didik
Peserta didik aktif menemukan, menggali, rnengobservasi fenomena, melakukan
pemecahan masalah, dan rnelaporkan. Kegiatan dilakukan melalui berbagai cara
penemuan dan media pembelajaran yang sesuai.
3. Higher order thinking
Pembelajaran PPG adalah pembelajaran orang dewasadalam rangka menghasilkan
tenaga yang profesional. Tingkat berpikir para peserta didik diarahkan pada pemikir-
an tingkat tinggi meliputi berfikir kritis, krcatif, logis, reflektif, pemecahan masalah,
dan pengambilan keputusan.
4. Dampakpengiring
Dampak pengiring (nurtutant effects) diharapkan terjadi sebagai upaya membantu
pengembangan sikap dan kepribadian peserta didik sebagai guru. Dalam berbagai
interaksi dan komunikasi antar peserta didik dengan tenaga pengajar/dosen, dalam
pembelajaran, dalam pengerjaan tugas, dan Iain-lain dimungkinkan terjadi
pengembangan kompetensi kepribadian dan sosial peserta didik. Kcdua kompetensi
di atas, justeru, seringkali tercapai karena frekuensi, intensitas, dan efektivitas pada
komunikasi yang terjadi. Tidak berarti kcdua kompetensi di atas tidakpenting. Justeru,
hal ini memudahkan pekerjaan. Dalam kegiatan dapat mencapai beberapa kompetensi
guru sekaligus.
5. Mekanisme balikan secaraberkala
Dalam pembelajaran hendaknyamenggunakan berbagai macam alat penilaian yang
dapat digunakan sebagai kontrol terhadappelaksanaan dan efekti vitas pembelajaran.
6. Pemanfaatan teknologi informasi
Teknologi bertujuan memudahkan kehidupan manusi a dalam berbagai biding kehidupan,
tidak terkecuali pendidikan. Penerapan teknologi informasi (dan juga komunikasi)
sedemikian pesat dan telah menjadi keniscayaan bahwa setiap pelaku pendidikan
(termasuk guru) dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Ketrampilan mengoperasikan teknologi informasi dan komunikasi dan memanfaatkan
dalam pembelajaran sebagai media belajar mutlak dimiliki oleh setiap peserta didik.
Berbagai media yang memanfaatkan ICT (Information and Communication
Technology) dalam bidang pendidikan hendaknya bukan sesuatu yang asing bagi

Mnkinlttinniii. Vol. XV, No.26 hinu.iri- J i m i 2(MW |J5


Zamakhsari

peserta didik. Komunikasi dengan email, SMS, chatting, menghemat waktu, tenaga,
dan biaya yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas dan layanan. Namun,
diperlukan penanaman nilai-nilai kontrol terhadap pengaruh budaya global yang bersifat
merusak melalui pendidikan literacy technology. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalkan dampak negatif dari perkembangan teknologi itu sendiri bagi peserta
didik.
7. Pembelajaran kontekstual
PPG adalah kegiatan pembentukan dan pengembangan profesi guru Indonesia Dengan
demikian, segenap materi, kegiatan dan mediapembelajaran hendaknya berakar dan
bersumber pada keseharian yang akrab dengan nilai-nilai ke-indonesia-an. Misalnya,
kurikulum PPG untuk guru IPA hendaknya menampilkan IPA khas Indonesia dalam
rangka mencapai kompetensi penggunaan indikator alam untuk berbagai senyawa
asam dan basa. Indikator yang digunakan adalah berasal dari keanekaragaman tanaman
Indonesia, seperti: kunyit, temu lawak, kembang sepatu, dan lain sebagainya. Dengan
pembelajaran yang kontekstual akan mengarahkan peserta didik kepada pemanfaatan
potensi lokal dalam rangka mencapai pembelajaran bermakna. Demikian jugamisal
lain bagi guru IPS, Bahasa, dan yang lainnya.
Berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran PPG di atas, tidak ada yang menjelaskan
tentang model-model pembelajaran yang disarankan dalam proses pembelajaran. Padahal
kita diketahui bahwa kegiatan pembelajaran adalah kegiatan inti dalam kegiatan pendidikan.
Model pembelajaran yang dipilih sangat terkait dengan tujuan kegiatan pembelajaran. Dengan
demikian model pembelajaran diperlukan agar kegiatan terarah yang menghasilkan proses
pelaksanaan yang sempurna dan pembelajaran menjadi bermakna bagi murid, guru, dan
pihak lain yang berkepentingan.
Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangkakonseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu yang berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan
dan melaksanakan pembelajaran.22Dengan demikian, pembelajaran benar-benarmerupakan
kegiatan yang memiliki tujuan dan pelaksanaannya sistematis.
Di dalam model-model terdapat langkah-langkah yang seharusnya ada (sintaks) dan
dilakukan oleh guru. Hal ini tidak untuk mematikan kreativitas guru dalam mengajar. Namun,
langkah-langkah tersebut sebagai pedoman mengajar, yang di antara langkah-langkah
tersebut dapat dilakukan improvisasi oleh guru. Beberapa model pembelajaran yang
disarankan dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran bekerjasama (cooperative learning), dan pembelajaran
berbasis masalah (Problem Based Learning).2* Perbedaan di antara ketiga model tersebut
terdapat pada langkah-langkah pembelajaran.

M t t k t t i i i t i n u i l i . Vol. XV, Nn. 2h U n u u r i - l u n i 2l)(W


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

Terdapat lima langkah penting yang hams dilakukan oleh guru dalain pembelajaran
langsung, yaitu: (1) penyampaian tujuan dan mengkondisikan murid; (2) presentasi bahan
ajar atau demonstrasi tentang keierampilan tertentu; (3) pembimbingan murid latihan; (4)
pengecekan pemahaman dan umpan balik; dan (5) Penerapan pengetahuan atau
keterampilan dalain dunia nyaia. Sedang dalam pembelajaran kooperatif terdapat enam
langkah utama, yaitu: (l)pcnyampaian tujuan dan motivasi murid; (2) penyajian informasi;
(3) Pengorganisasian murid-murid dalam kelompok-kelompok bclajar; (4) Pembimbingan
kelompok bekerjadan belajar;(5)Evaluasi; dan (6) Pemberian penghargaan. Dan dalam
pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima langkah utama, yaitu: (1) orientasi murid
kepada masalah; (2) pengorganisasikan murid unluk belajar, (3) pembi mbii igan penyelidikan
individu maupun kelompok; (4) pengembangan dan penyajian hasil karya; dan (5) anal isis
dan mcnge vai uasi proses pemecahan masalah.24
Jika dalam pembelajaran di PPG ddak diarahkan pada penggunaan tiga model di atas,
bagaimanakah seorang lulusan PPG mampu mengajarkan sesuai dengan yang diharapknn
oleh kuri kuluni yang sedang berlaku bila mereka belum pernah mendapat kan pengalaman
belajar mengenai model-model pembelajaran yang sesuai? Pemahaman tentang ketiga
model di atas sangat diperiukan agar diketahui apa, bagain lana, dan bila model di atas
hams diterapkan. Diperiukan role model yaitu tenaga pengajar sebagai contoh kongkrit
penerapan model pembelajaran yang ideal.
Selain itu model cooperative learning memiliki kepentingan dalam berupaya
membiasakan peserta didik bekerjadalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model ini tetap menggunakan penilaian kelas. Dengan menggunakan model ini, diberikan
bcntuk kelas sebagai miniatur masyarakat yang di dalamnya terdapat prinsi p-prins ip kerja
kelompok yang mengedepankan kerjasama, hormat-menghormati, dan Iain-lain. Untuk
model problem based learning dapat dilaksanakan dengan prinsip belajar sambil berbuat
dan higher order thingking.

Sistem Penilaian Peserta Didik


Pada dasarnya terdapat dua kelompok kompetensi besar yang hams dicapai oleh
peserta didik. Kedua kompetensi ini dapat dicapai melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran yang sistematis, ierpadu, dan terarah. Dengan demikian dapat dikatakan
hah wa kurikulum PPG adalah kurikulum berbasis kompetensi karena pengembangan
kurikulum berangkat pada "kompetensi apa" yang akan dicapai oleh peserta didik bukan
dimulai pada "inaieri apa" yang akan dipelajari oleh peserta didik. •' Hal ini berimplikasi
pada penilaian yang dilakukan. Penilaian kelas merupakan konsekuensi dari pelaksanaan
kurikulum berbasis kompetensi. Penilaian yang tepat diberikan kepada setiap peserta didik
adalah penilaian yang mendasarkan pada pencapaian kompetensi tiap peserta didik bukan

Mukaddinnth, Vol. XV, No. 26 Januari - Juni 2009 137


Zamakhsari

penilaian secara berkelompok. Oleh karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada peserta
didik selama proses pembelajaran berlangsung harus dapat diukur dan dikuantifikasi dengan
cermat menggunakan alat penilaian yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran tertentu.
Penilaian kelas adalah penilaian internal (internal assessment) terhadap proses dan
hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh tenagapengajar/dosen untuk
menilai kompetensi peserta didik selama pembelajaran.26 Dengan demikian, tenaga pengajar
dituntut untuk melaksanakan penilaian secara terus menerus dan berkesinambungan agar
hasil penilaian benar-benar mencerminkan perubahan peserta didik baik kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Sangat tepat dilakukan penilaian produk dalam penilaian PPG Setiap peserta didik
diwajibkan menyusun perangkat pembelajaran dalamprofesional development berupa
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).1 Yang menjadi pertanyaan di sini adalah
siapakah yang menyusun silabus pembelajaran? Silabus adalah kurikulum/pedoman
pembelajaran yang dalam kurikulum berbasis kompetensi (sekarang disebut Kurikulum
Tmgkat Satuan Pendidikan/ KTSP) dibuat oleh guru sebagai kewenangan guru. Ketepatan
penilaian peserta didik juga dengan ditunjukkan tidak teori an sich, peserta didik wajib
menunjukkan kinerjanya dalam mengajar dan dalam kegiatan Program Pengalaman
Lapangan (PPL). Penilai tidak mesti dari kalangan lembaga PPG melainkan juga dari luar.
Hal ini menunjukkan tidak ada arogansi pihak PPG dalam mengklaim diri sebagai lembaga
pemegang mandat penuh keberadaan PPG Lembaga lain diberikan kesempatan melakukan
penilaian eksternal yang diharapkan terjadi sinkronisasi dan koreksi agar dihasilkan lulusan
yangberkualitas.

"Cermin" Lulusan PPG


Dambaan dan harapan setiap orang yang bekerja sebagai guru adalah lulus sertifikasi,
sehingga disebut guru profesioanl. Di sisi lain, tantangan di ruang kelas dan di sekolah,
tidaklah ringan. Baik dari segi manajemen kelas, manajemen sekolah, dan dengan standar
kompetensi yang dimiliki, yang akan selalu dimintai pertanggungjawabannya. Misalnya
persoalan kecil yang menjadi problema saat ini adalah tiadanya jam yang cukup yang
dirasakan dan dikeluhkan guru untuk tatap muka di depan kelas, yang berakibat kurangnya
jam pelajaran minimal 24 jam pelajaran perminggunya.
Bila kita berpedoman pada jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), jam kerjanya adalah
37,5 jam/minggunya. Sedangbagi duniapendidikan, 1 jam pelajaran itu tidak sama dengan
jam hitungan normal 60 menit. Bagi jenjang pendidikan SD/MI, 1 jam pelajaran (JP) sama
dengan 35 menit, jenjang SMP/MTs 40 menit, dan jenjang SM A/MA sama dengan 45
menit. Tabel berikut adalah kewajibanjam kerja guru dan guru yang mendapat tugas
tarn bah an.

138 Mnkaddimah, Vol. XV, No. 26 J a n u a r i - J i m i 2009


Pendidikan Profesi Gum: Harapan dan Tantangan

Tabel4
Beban Kerja PNS/Non PNS (37,5 jam / minggu)
Jenis Waka Sek/Kepala
Guru Kepala Sekolah
Jabatan Unit
PNS Tatap muka di kelas 24 Tatap muka 12 Tatap muka di kelas 6
jam/minggu, selain jam/minggu, selain jam/minggu, selain
tugas administratif tugas lambahan tugas manajerial dan
leadership, serta tugas-
tugas Iain.

Persoalan yang muncul di dunia pendidikan sekolah akhir-akhir ini adalah tidak
terpenuhinya batasan minimal jam mengajarsebanyak 24 jam/minggu. Padahal sebetulny a,
apabila para guru dan kepala sekolah dapat mengelola proses dan manajemen pembelajaran
dengan baik, persoalan ataupun keluhan kekurangan jam mengajar akan terselesaikan,
y aitu sal all satuny a dengan penerapan belaj ar tun tas bagi siswa- Yaitu, proses pembelajaran
yang mengedepankan tercapainya kompetensi minimal peserta didik. Artinya, bagi siswa
yang belum memenuhi kompetensi perlu diadakan tambahan pelajaran (non kurikuler),
yang pada akhirnya secara alamiah, siswa yang memenuhi standar kompetensi dapat
cepat menyelesaikan jenjang pendidikanya, dan yang belum memenuhi standar kompetensi
mengikuti program remediasi. Apabila itu dapat dilakukan, maka sistem SKS di sekolah
akan berjalan dengan sendirinya. Tetapi, beranikah para lulusan PPG atapun guru yang
bersertifikatprofesional memulainya?

Penutup
Keberhasilan PPG sangat tergantung pada kecermatan penyusunan kurikulum PPG
Berdasarkan pengamatan terhadap kurikulum PPG aspek struktur kurikulum, sistem
pembel a j aran, dan peni lai an peserta didik disimpulkan bahwa kurikulum telah dibuai dengan
sebaik-baiknya dengan mendasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi yang
mengantisipasi tuntutan kompetensi yang mampu bersaing di era globalisasi dengan tidak
melupakan konteks ke-indonesia-an. Konsep kurikulum berbasis kompetensi berimpli kasi
pada sistem pembelajaran yang mengedepankan pencapaian kompetensi yang telah
ditetapkan dan penilaian kelas. Dengan penilaian kelas akan dihasilkan guru yang matang
dalam aspek kompetensi akademik dan profesi secarapribadi. Namun, perlu mendapal
sorotan pada sistem pembelajaran yang kurang mengedepankan model pembelajaran
colaborative learning dengan sistem belajar bersama dalam rangka mencapai kompetensi.
Bila colaborative learning ini diterapkan akan menghasilkan guru yang mampu
bekerjasama dan saling menghargai perbedaan. Penerapan model ini tidak akan mengurangi
kualitas guru secara individu, karena penilaian beracuan patokan dengan menetapkan
standar minimal kelulusan.

MukaddimahfVo\.\V,Mo.26 J a n u a r i - J u n i 2009 139


Zamakhsari

Selain itu, lulusan PPG yang dinyatakan berhak menganlongi sertifikat gum profesional
adalah alumni yang memiliki kompetensi profesional. Namun, masih terdapat kompetensi
standar lain yang harus dimiliki dan penting keberadaannya pada tiap guru profesional.
Masih perlu dipikirkan cara untuk menguji kompetensi lain (tujuh kompetensi guru menurut
Mulyasa) agar terukur dan dapat dimiliki guru melalui serangkaian pengujian/sertifikasi.
Sebagai program baru, PPG belum teruji, namun dengan kurikulum yang dirancang
dengan baik dengan memperhatikan kebutuhan lokal, regional, dan internasional maka
diharapkan PPG dapat mencapai tujuan menghasilkan guru profesional yang mampu
mewujudkan tujuan nasional pendidikan. Tantangan yang dihadapi PPG adalah tantangan
dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam terkait dengan konsistensi PPG dalam
menjalankan fungsi sebagai lembaga yang menghasilkan guru profesional dan harmonisasi
lembaga PPG sebagai suatu sistem dengan sistem lain. Sedangkan tantangan dari luar
adalah seberapa besar respons positif yang diberikan oleh masyarakat terhadap keberadaan
PPG

Catalan Akhir
1
Harjanto Prabowo, (2009), Encapsulation in University: Creating Sustianable Competitive
Adventage through Information and Communication Technology and Knowledge Management,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Manajemen Sistem Informasi, Universitas Bina Nusantara Jakarta,
25 Marct 2009.
2
Wikipedia, List of countries by human development index, diakses 12 Juni 2008.
3
Ciputra, Ciputra Quantum Leap: Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Anda dan
Masa Depan bangsa, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2008, hal. 35.
* Barnadib, Imam dan Sutari Imam Barnadib, 1995. Beberapa Aspek Substansial Hmu
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Andi, hal. 47.
3
http://pakzam.blogguru.net/2QQ9/Q2/01/pendidikan-profesi-guru-pendidikan-lebih hermutu/
. diakses 29 Maret 2009.
6
www. pgririau.org/teroka.php. diakses 9 Mei 2009.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Ayat 12.
8
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
9
Pendidikan Profesi Guru Ancam Program Akta IV, Suara Merdeka, Selasa 24 Januari 2006.
10
Moh. Uzer Usman, 2007, Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
hal. 14
11
Wardiman Djojonegoro d alam Guru Sebagai Profesi (Draf 7 Februari 2005), Departemen
Pendidikan Nasional, it, hal. 9.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat
Ketenagaan, Draft Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan.hzL 1.
13
Ibid, hal. 2.
u
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hal. 121-141.
15
Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, hal. 5.
16
Moh. Uzer Usman, op.cit, hal. 9.
17
Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Senifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008, hal. 28.

140 Mukaddintalt. Vol. XV, No.26 J a n u a r i - J u n i 2009


Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan

18
Panduan Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan, hal. 9.
19
Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia (Membedah Metode dan Teknik Pendidikan
Berbasis Kompetensi), Yogyakarta: Ar-Ruz, 2005, hal. 66.
20
Udin, Saripudin, W. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk
Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992, hal. 109-110.
21
Didang Setiawan, dkk, Model-model Pembelajaran. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agania RI, 2006. hal. 87.
22
Ibid, hal. 93.
2J
Ibid, hal. 15.
24
Panduan Penilaian Kelas untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta : Depdiknas, 2006,
hal. 44.
25
Panduan Pendidikan Profesi Guni Prajabatan, hal. 10.
25
Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, hal. 10.

Daftar Pustaka
Buku
Barnadib, Imam dan Sutari Imam Barnadib. (1995), Beberapa Aspek Substansial Ilmu
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Ciputra, (2008), Ciputra Quantum Leap: Entrepreneurship Mengubah Masa Depan
Anda dan Masa Depan bangsa,, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Departemen Pendidikan Nasional, (2007), Direktorat Jenderal Pendidikan Tmggi, Direktorat
Ketenagaan, Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Jakarta:
Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, (2006), Panduan Penilaian Kelas untuk Pendidikan
Dasar dan Menengah, Jakarta : Depdiknas,
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun
2008, Buku 5 Rambu-Rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru (PLPG), Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun
2008, Buku 6 Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru dalam
Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun
2008, Buku 7 Rambu-Rambu Penyusunan Kurikulum Sertifikasi Guru
Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
Didang Setiawan, dkk, (2005), Model-model Pembelajaran, Jakarta : Pusdiklat Teknis
Keagamaan Departemen Agama.

MnJtrtdrfiwrt/i,Vol.XV, No.26 )amiari-Juni 2009 141


Zamakhsari

Harjanto Prabowo, (2009), Encapsulation in University: Creating Sustianable


Competitive Adventuge through Information and Communication
Technology and Knowledge Management, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Manajemen Sistem Informasi, Universitas Bina Nusantara, Jakarta, 25 Maret
2009.
Moh. Uzer Usman, (2007), Menjadi Guru Profesional, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung,
Mulyasa, E., (2008), Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja
Rosdakarya,
Nasution, S., (1998), Asas-asas Kurikulum, cet. 3., Jakarta: Bumi Aksara.
Sutrisno, (2005), Revolusi Pendidikan di Indonesia (membedah Metode dan Teknik
Pendidikan Berbasis Kompetensi), Yogyakarta: Ar-Ruz.
Udin, Saripudin, W., (1992), Model-model Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas
untuk Peningkatan dan Pengembangan Akti vitas Instruksional Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wardiman Djojonegoro dalam Guru Sebagai Profesi (Draft 7 Februari 2005), Departemen
Pendidikan Nasional, tt
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang Nomor 14Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikat
Bagi Guru Dalam Jabatan.
Media Masa Cetak dan Elektronik
http://pakzam.bloggiirn.ret/2009/02A)l/rjendidika^
. diakses 29 Maret 2009.
Kompas on line, Pendidikan Profesi Guru Dimulai Tahun 2009, Rabu 4 Juni 2008.
Suara Merdeka, Pendidikan Profesi Guru Ancam Program Akta IV, Selasa 24 Januari
2006.
Wikipedia, List of countries by human development index, diakses 12 Juni 2009.
www.pgririau.org/teroka.php. diakses 9 Mei 2009.

142 AfHfcri*M/Hm/i, Vol.XV,No.26 Januari-Juni 2009

Anda mungkin juga menyukai