Disusun
Oleh
Sandra Ibrahim
441416040
Segala puji hanya bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat
limpah karunia nikmatNya saya dapat menyelesaikan paper yang bertajuk “ Problemmatika
dan tantangan pemecahan masalah profesi kependidikan diera digital “ dengan lancar.
Penyusunan paper ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan.
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam
menyelesaikan paper ini.
Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan paper ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga
penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.
Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga paper ini dapat bermanfaat untuk
masyarakat umumnya, dan untuk saya sendiri khususnya.
Penyusun
PENDAHULUAN
Disisi lain, tantangan datang dari perspektif bahwa kualitas pendidikan menjadi
tuntutan global untuk kemudian menyiapkan sumberdaya yang dapat bersaing dengan dunia
global. Tanggung jawab dan peran seorang pendidik amatlah berat dan tidak semudahapa
yang diucapkan, sebab pendidik adalah kader-kader bangsa yang serba unik dan kompleks
dan seorang pendidik harus siap dalam menghadapi perubahan dalam pendidikan di masa
depan.Pentingnya proses belajar mengajar dalam kelas ditengarai sangat ditentukan oleh
bagaimana seorang guru bersikap didalam kelas. Begitu pentingnya pola mengajar bagi
seorang guru ini seringkali disebutkan secara khusus dalam kebijakan -kebijakan pendidikan
kontenporer di Indonesia yang terkait dengan beban kerja guru yang selama ini kita kenal.
Karena itu, tulisan sederhana ini ingin memberikan eksplorasi mengenai profesionalisme
guru dan tantangan kedepan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Tulisan singkat ini berusaha mengkaji peran dan kompetensi guru dalam
meningkatkan mutu pendidikan di era global. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan
sumber daya pendidik yang berkualitas dalam rangka menyongsong era kedepan yang
semakin ketat,dalam hal ini pendidik yang merupakan agent pengajaran, bagaimana
pendidik mampu dan bisa bukan hanya fasilitator akan tetapi juga sebagai panutan untuk
peserta didiknya. Selain itu juga pendidik sebagai abdi negara dituntut juga harus mampu
menjadi abdi yang baik bagi negara, segala aturan dan tuntutan dari pemerintah hendaknya
mampu terakomodir dengan baik oleh setiap pendidik. Dengan begitu pendidik akan menjadi
baik dari segi tugas mengabdinya kepada peserta didik dan baik juga sebagai abdi
pemerintah, sehingga apapun tantangan yang akan ada di depan apabila kedua aspek tersebut
berjalan beriringan pada setiap pendidik, profesionalisme pendidik akan mampu terwujud.
Melalui tulisan ini akan sedikit dikupas menggenai profesionalisme guru dan tantangan
kedepan yang akan dihadapi oleh guru.
A. Rasional
Problemmatika Kependidikan
Dewasa ini masyarakat sering mempertanyakan kualitas pendidik yang tidak sebaik
dulu. Padahal instruktur maupun suprastruktur pendidikan sekarang ini boleh dibilang jauh
lebih maju bila disbanding zaman dulu. Pelatihan guru sering dilakukan, berbagai alat dan
buku telah tercukupi, namun ternyata tidak berpengaruh sama sekali. Hal tersebut
menimbulkan penilaian dari masyarakat antara biaya, tenaga dan waktu yang dikeluarkan
dengan dampak yang dihasilkan belum seimbang. Lalu dimana letak kesalahannya? Mengapa
input yang begitu banyak dan berharga tidak berpengaruhsecara signifikan terhadap produk
pendidikan?
Tantangan kependidikan
Era globalisasi telah menjadi sebuah realitas yang harus dihadapi oleh masyarakat
dan bangsa Indonesia. Perubahan yang berlangsung begitu cepat dan munculnya berbagai
tantangan sebagai dampak globalisasi harus dihadapi dan diselesaikan baik pada tingkat
wacana maupun kebijakan aksi. Pendidikan mau tidak mau terlibat di dalamnya dan dituntut
untuk mampu memberikan kontribusi yang signifikan.
Di era globalisasi ini, dunia pendidikan pada umumnya sedang menghadapi berbagai
tantangan, antara lain: pertama, globalisasi di bidang budaya, etika dan moral sebagai akibat
dari kemajuan teknologi di bidang transportasi dan informasi. Kedua, diberlakukannya
globalisasi dan perdagangan bebas, yang berarti persaingan alumni dalam pekerjaan semakin
ketat. Ketiga, hasil-hasil survey internasional menunjukkan bahwa mutu pendidikan di
Indonesia masih rendah atau bahkan selalu ditempatkan dalam posisi juru kunci jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Keempat, masalah rendahnya tingkat social-
capital. Inti dari social capital adalah trust (sikap amanah).Berbagai tantangan tersebut di atas
menuntut kita untuk segera melakukan hijrah, atau meninggalkan satu keadaan yang
didorong oleh karena ketidak senangan terhadap keadaan itu, menuju ke keadaan lain guna
meraih yang baik atau lebih baik. Persoalannya adalah bagaimana kita harus berhijrah, dalam
arti mengubah strategi pengembangan pendidikan dalam menghadapi berbagai tantangan
tersebut di atas.
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan
melanda dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di berbagai universitas
terkemuka di Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan tinggi. Otonomi
pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta
untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk
menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan
berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru
untuk mendatangkan dana.
Masalah yang dihadapi
permasalahan permasalahan yang muncul terkait pelaksanaan inklusi adalah terkait
dengan guru, siswa,orangtua, sekolah, masyarakat, pemerintah dan kurangnya sarana
prasarana yang mendukung pelaksanaan sekolah inklusi. Hal ini juga dikarenakan kurang
adanya kerjasama dari berbagai pihak. Guru merupakan faktor utama dalam proses
pendidikan inklusi, tetapi tanpa adanya bantuan dari pihak lain pelaksanaan sekolah inklusi
tidak bisa berjalan dengan maksimal, sehingga selain guru yang ditangani, perlu juga
menumbuhkan budaya sekolah inklusi baik didalam sekolah itu sendiri ataupun komunitas
diluar sekolah tersebut, selain itu kebijakan pemerintah juga sangat menentukan pelaksanaan
sekolah inklusi. Penelitian awal ini masih belum mendalam. Penelitian ini mempunyai
keterbasan dengan tidak adanya elaborasi data lebih lanjut. Untuk itu penelitian selanjutnya
sebaiknya: Melakukan wawancara mendalam atau FGD komprehensif dengan guru, siswa,
orangtua, masyarakat dan pemerintah yang terlibat dalam pelaksanaan sekolah inklusi.
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian
khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang
kependidikan.
Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip
mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut.
1. Guru dapat membandingkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang
diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber yang bervariasi
2. Guru harus dapat membangkitkan minat beserta didik untuk aktif dalam berpikir
serta mencari dan menentukan sendiri pengetahuan
3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan
penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik
4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi
mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajarn, diharapkan guru dapat
menjelaskan unit penjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga
tanggapan peserta didik menjadi jelas
6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi atau hubungan antara mata
pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari
7. Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara
memberikan ksesempatan berupa pengalaman secara langsung,
mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya
8. Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan
social, baik dalam kelas maupun di luar kelas
9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secaranya individual
agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah demikian pesat, guru tidak
lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai
fasilitor, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian, keahlian
guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar
seperti telah diuraikan.(Uno,2014 :15-17)
Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai cirri-ciri pribadi yang mereka
miliki. Cirri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian
sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan,
tindakan, ucapan, cara berpakai dan dalam menghadapi setiap persoalan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat ZakiahDarajat (dalam Djamara SB, 1994) bahwa kepribadian yang
sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui
adalah penampilan atau bekasnya dalam segala sepi dan aspek kehidupan misalnya dalam
tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam setiap persoalan atau masalah,
baik yang ringan maupun yang berat.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan
membimbing anak didik. Semakin baik kepibadian guru, semakin baik dedikasinya dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru, ini berarti tercermin suatu dedikasi
yang tinggi dari guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Hal
tersebut dipertegas oleh Drosat (1998) bahwa sala satu dasar pembentukan kepribadian
adalah sukses yang merupakan sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap,
dari keterampilan karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia.
Aspek-aspek diatas merupakan potensi kepribadian sebagai syarat mutlak yang harus
dimiliki seorang guru dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat
tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian dan
dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu menunjukan
kinerja yang memuaskan sesorang atau sekelompok dalam suatu organisasi.
b) Pengembangan profesi
Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan pengetahuan dan
teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan. Dalam melaksanakan pekerjaan itu
harusahli, orang yang sudah memiliki daya piker, ilmu dan keterampilan yang tinggi.
Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung jawabkan segala tindakan dan hasil
karyanya yang menyangkut profesi itu.
c) Kemampuan mengajar
Untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guna memerlukan kemampuan.
Cooper (dalam Zahera,1997) mengemukakan bahwa guru harus memiliki kemampuan
merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajar, menyajikan bahan pelajaran,
memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa,
mengamati kelas, dan menevaluasi hasil belajar.
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam mengelola
pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampua guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang
harus dipelajari (learning what to be learnl), guru dituntut mampu menciptakan dan
menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar anak
dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru harus mampu menafsirkan dan
mengembangkan isi kurikulum yang di gunakan selama ini pada suatu jenjang pendidikan
yang diberlakukan sama walaupun latar belakang social, ekonomi dan budaya yang berbeda-
beda (Nasanius Y, 1998)
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan
pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap
siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar guru mampu
berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel, meninggalkan sikap
konservatif, tidak bersifat defensive tetapi mampu membuat anak lebih bersifat onfensif
(Sutadipura,1994).
d) Antar hubungan dan komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling berhubungan
satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam
masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat
komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya komunikasi
yang baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancer dan berhasil dan begitu pula
sebaliknya. Misalnya kepala sekolah tidak menginformasika kepada guru-guru mengenai
kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar kemungkinan guru tidak akan datang
mengajar. Contoh diatas menandakan betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Muhammad A, (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek
yang lebih besar terhadap kelangsungannya kegiatan.
e) Hubungan dengan masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan komunikasi
eksterm yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Masyarakat
merupakan kelompok individu-individu yang berusaha menyelenggarakan pendidikan atau
membantu usaha-usaha pendidik. Dalam masyarakat terdapat individu-individu atau pribadi –
pribadi yang bersimpati terhadap pedidikan disekolah.
Tujuan hubungan masyarakat berdasarkan dimensi kepentingan sekolah antara lain:
(1). Memelihara kelangsungan hidup sekolah, (2). Meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah, (3). Memperlancar kegiatan belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan dan
dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program
sekolah.
f) Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan disiplin sebagai berikut. Disiplin adalah suatu
keadaan tertib diman orang-orang yang bergabung dalam suatu organisasi tunduk pada
peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang.
Sendangkan Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin
sebagai berikut
a. Proses atau hasi pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan
guba mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil
b. Mancari tindakan terpilihndengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun
menghadapi rintangan
c. Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah
d. Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
g) Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi sala satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru
didalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin tinggi
kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa
terpengaruhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan keouasan dalam
melaksanakan apapun.
h) Iklim kerja
Iklim sekolah memegang penting sebab iklim itu menunjukan susasana kehidupan
pergaulan dan pergaulan disekolah itu. Iklim itu menggambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi,
dan cara bertindak personalia yang ada disekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim
ialah keseluruhan sikap guru-guru disekolah itu, khususnya kalangan guru-guru disekolah
terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan dan kepuasan mereka (Rahmat,2016 :126-
140)
3. Pengembangan Profesi Guru
Cara lain untuk mendapat guru yang berkualitas tingi dapat dilakukan dengan jalan seleksi
penerimaan yang ketat. Seleksi tersebut tidak saja dilakukan terhadap kemampuan akademis,
tetapi juga terhadap aspek-aspek lain yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberhasilan
guru, seperti kesehatan dan kesempurnaan jasmani, kepribadian, dan sebagainya. Seleksi
kemampuan akademis akan menghasilkan guru yang berkualitas tinggi, tetapi mungkin tidak
dapat mencapai jumlah yang cukup besar apabila tidak tersedia calon yang berlimpah dan
kurang minat kepada jabatan guru. Meskipun seleksi kemampuan akademis tersebut baik,
tetapi kiranya kurang dapat untuk dilaksanakan sekarang. Hal itu disebabkan karena usaha
pemerataan kesempatan belajar memerlukan jumlah guru yang cukup banyak dan harus
dipenuhi dalam waktu yang relatif singkat. Tanpa seleksi yang ketat pun, kekurangan guru
yang sangat besar, apalagi kalau diadakan seleksi yang ketat. Disinalah kemudian timbul
dilema profesi guru. Apabila tingkat professional guru dipertahankan akan mengakibatkan
banyak anak terlantar tidak dapat sekolah, yang tidak mustahil akan menimbulkan masalah
sosial yang mengganggu ketahanan masyarakat dan bangsa. Sebaliknya apabila tingkat
professional guru tidak dipertahankan akan mengakibatkan menurunnya mutu pendidikan,
yang selanjutnya akan menimbulkan masalah sosial pula dalam jangka waktu yang lama
setelah pelaksanaan pendidikan berlangsung. (Oding Supriadi,2008)
profesional sebagai guru dan pendidik guru mencakup penguasaan sosok utuh
kompetensi guru dan kemampuan melaksanakan tugas yang mengutamakan kemaslahatan
dan kepuasaan peserta didik. Dengan demikian, tolok ukur utama keberhasilan bagi guru
profesional adalah kualitas proses dan hasil belajar para siswa yang menjadi tanggung
jawabnya. Sejalan dengan itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru dapat ditandai dari
tingkat penguasaan sosok utuh kompetensi sebagai dosen, baik secara akademik maupun
penerapannya dalam konteks otentik pemberian layanan kepada peserta didik (guru dan calon
guru) yang menjadi tangung jawabnya. Indikator lain yang dapat dijadikan ukuran tingkat
keprofesionalan pendidik guru adalah kepuasan para guru/calon guru yang menjadi tanggung
jawabnya, yang tercermin dalam kualitas proses dan hasil belajar para guru dan calon guru
tersebut.Di samping itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru juga dapat dilihat dari
kuantitas dan kualitaspenelitian yang pernah dilakukan serta karya ilmiah yang pernah
diterbitkan atau disajikan dalam berbagai pertemuan. Hal ini menjadi sangat penting karena
sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2, “Dosen adalah
pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”. (Wardani, 2012)
Menurut Miftahur Rohman (2016), Problem yang dihadapi tenaga pendidik di daerah
perbatasan sangat memprihatin kan. Sebagai contoh, keadaan guru yang mengajar di daerah
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Selain fasilitas, sarana dan prasarana yang belum
memadai, mereka kerap tidak mendapatkan tunjangan yang layak.28Jumlahnya juga masih
kurang, sehingga guru harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Sebagian dari mereka adalah guru
honorer.29Dengandemikian, pendidikan di Indonesia semakin terlihat diskriminatif, terutama
untuk wilayah perbatasan yang sangat memperihatinkan. Selain di perbatasan kalimantan,
kekurangan jumlah guru juga terjadi di NTT. Menurut Gubernur NTT.
Upaya pemerintah yang ingin memenuhi kuota kebutuhan guru secara nasional perlu
diapresiasi oleh semua kalangan. Kita berharap,pemerintah tidak hanya bertekad memenuhi
jumlah kuantitas saja,tapi hendaknya berusaha agar diperoleh guru berkualitas prima yang
memiliki kompetensi guru lengkap (kompetensi paedagogik,kompetensi
kepribadian,kompetensisosial ,dankompetensiprofesional).8 Pertanyaan kita adalah apakah
PPG merupakan solusi bagi tercukupinya jumlah guru yang memenuhi harapan secara
kualitas?Ada pihak-pihak yang merasa khawatir dengan keberadaan PPG. Alasan yang
dikemukakan bersifat pragmatis karena telah terdapat lembaga pendidikan profesi guru yang
telah ada selama ini yaitu Program Akta Iv yang telah dapat memenuhi kebutuhan tenaga
kependidikan. Program Akta IV yang telah berlangsung kurang lebih dua dasa warsadi
pandang telah memecahkan persoalan kebutuhan guru dan menghasilkan banyak guru yang
berkualitas. Kebijakan PPG tentu menimbulkan pertanyaan mengenai kelanjutan Program
Akta IV. Hal ini jauh hari pernah disinyalir oleh Prof.Dr.MunginEdiWibowo M.Pd,-Ketua
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)-bahwadengan diberlakukannya PPG akan
menghapus ProgramAktaIV.9 Aturan keharusan mengikutI PPG bersifat mengikat semua
alumni S 1atau D-IV non kependidikan bila ingin berprofesi sebagai guru.( Zamakhsari,
2009)
Menurut Tanmin (2000) Beberapa tantangan dijasa transportasi yang akan dihadapi
oleh Indonesia mendatang sebagai akibat dari adanya perubahan kebijakan global baik
eksernal maupun internal berupa kebijakan globalisasi, isu otonomi, dampak krisis moneter,
serta beberapa isu lainnya telah dijelaskan. Tulisan ini berisi beberapa sumbangan pemikiran
ITB dalam usaha menangani permasalahan transportasi baik perkotaan maupun regional,
nasional, dan internasional. Sumbangan pemikiran tersebut masih berupa beberapa usalan
terbaik dengan mempertimbangankan kondisi, criteria, asumsi laiinya yang mungkin belum
terpikirkan.
5. Kompetensi guru penting dalam hubungan dengan kegiatan dan hasil belajar
siswa
Proses belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh sekolah, ola, struktur,
dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang
mengajar dan membimbing mereka. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan
lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan, dan akan lebih mampu mengolah kelasnya,
sehingga belajar para siswa berada pada tingkat mampu mengelolah. (Hamalik, 2002:36)
D. Penutup
1. Kesimpulan
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang terus, bahkan dewasa ini berlangsung
dengan pesat. Perkembangan itu bukan hanya dalam hitungan tahun, bulan, atau hari,
melainkan jam, bahkan menit atau detik, terutama berkaitan dengan teknologi informasi dan
komunikasi yang ditunjang dengan teknologi elektronika. Pengaruh meluas ke berbagai
bidang kehidupan, termaksuk bidang kependidikan.
2. Saran
Semoga paper ini dapat menambah wawasan mahasiswa dan dapat bermanfaat
Daftar Pustaka
Hendri, Edi. (2010). Guru Berkualitas: Profesional dan Cerdas Emosi. Jurnal Saung. 01(2)
Rohman, Miftahur. (2016). Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem Pendidikan
Nasional. Cendekia. 14(1).
Supriadi, Oding. (2008). Profesi Guru dan Langkah Pengembangannya. Jurnal Tabularasa.
05(1)
I G. A. K. Wardani (wardani@ut.ac.id)
Universitas Terbuka
ABSTRACT
The role of teacher educators is becoming more and more important in fulfilling the need of
profesional teachers as stated in the Indonesian Republic Law #14/2005 on Teacher and
Lecturer. In order to be able to educate profesional teachers and teacher candidates, the
teacher educators alone should be profesional, and have willingness to continuously
develop profesionalism. Developing profesionalism is a must for teacher educators, due to
four reasons: (1) the nature of profesionalism, (2) the rapid development of science,
technology and arts, (3) the life-long learning paradigm, and (4) the demand of Law #
14/2005 on Teacher and Lecturer. But the data on teacher educators from several Teacher
Education Institutions indicate that not all of teacher educators show willingness to develop
profesionalism. Therefore, profesionalism development should be encouraged by all parties
related to teachers and teacher educators. There are many activities that can be undergone
by teacher educators in order to develop profesionalism, some of which are: taking further
study, taking relevant courses, regular self reflection, joining academic activities (seminar,
workshop, training,etc.), school familiarization, conducting research, and publishing scientific
article.
ABSTRAK
Peran pendidik guru menjadi lebih dan lebih penting dalam memenuhi kebutuhan guru
profesional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia # 14/2005
tentang Guru dan Dosen. Agar dapat mendidik guru profesional dan calon guru, pendidik
guru sendiri harus profesional, dan memiliki kemauan untuk terus mengembangkan
profesionalisme. Mengembangkan profesionalisme adalah suatu keharusan bagi pendidik
guru, karena empat alasan: (1) sifat profesionalisme, (2) perkembangan pesat ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, (3) paradigma pembelajaran seumur hidup, dan (4)
permintaan Hukum # 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Namun data pada pendidik guru
dari Lembaga Pendidikan Guru beberapa menunjukkan bahwa tidak semua pendidik guru
menunjukkan kesediaan untuk mengembangkan profesionalisme. Oleh karena itu,
pengembangan profesionalisme harus didorong oleh semua pihak yang terkait dengan guru
dan pendidik guru. Ada banyak kegiatan yang dapat dialami oleh pendidik guru dalam
rangka mengembangkan profesionalisme, beberapa diantaranya adalah: mengambil studi
lebih lanjut, mengambil kursus yang relevan, refleksi diri secara teratur, bergabung dengan
kegiatan akademik (seminar, lokakarya, pelatihan, dll), pengenalan sekolah , melakukan
penelitian, dan penerbitan artikel ilmiah.
Lembaga Pendidikan Guru (LPG) yang selama ini dikenal dengan nama Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan satu lembaga dengan tugas utama mendidik
para calon guru atau para guru yang memerlukan pendidikan lanjutan. Melihat tugas yang begitu
penting, dapat dipastikan bahwa harapan masyarakat sangat besar pada LPG ini. Lebih-lebih setelah
keluarnya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang membawa banyak
perubahan pada status pekerjaan seorang guru, LPG menjadi sorotan yang cukup tajam dari
masyarakat pendidikan. Guru profesional yang dicanangkan oleh undang-undang tersebut membawa
perubahan yang cukup drastis pada posisi guru, lebih-lebih lagi pada LPG yang mendidik calon guru
dan guru. Mengapa seperti itu?
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendapat perhatian cukup serius di berbagai
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dapat dimaklumi karena kenyataan
menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam kemajuan satu negara. Jepang
yang hancur lebur dalam Perang Dunia kedua, segera bangkit kembali karena memberi perhatian
yang serius pada pendidikannya. Melalui pendidikan, berbagai keterampilan, terutama keterampilan
hidup, dapat dikembangkan, di samping tentu saja berbagai pengetahuan dan sikap yang perlu
dikuasai dan ditampilkan oleh setiap orang jika mau hidup secara layak dalam dunia yang
berkembang sangat pesat ini. Salah satu faktor yang berperan besar dalam dunia pendidikan dan
yang sering dikaitkan dengan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan formal adalah guru. Peran
guru ini menjadi semakin penting karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Wardani dan Julaeha
(2011), perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) yang sangat pesat
membawa berbagai perubahan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Perkembangan IPTEKS
yang pesat ini juga membuat peran pendidikan semakin penting karena pendidikan diasumsikan
mampu mentransfer segala perubahan tersebut kepada peserta didik. Dalam kaitan ini, guru
memegang peran yang sangat vital karena melalui gurulah diharapkan segala perubahan tersebut
akan sampai kepada peserta didik. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa guru
memegang peran yang sangat penting dalam pendidikan suatu bangsa. Kualitas pendidikan sangat
banyak tergantung kepada guru, di samping berbagai komponen pendidikan lainnya, seperti
kebijakan pemerintah, sarana prasarana, keluarga, masyarakat.
Tentu belum semua guru mampu memainkan peran yang penting tersebut karena kualitas
guru juga beragam, lebih-lebih jika guru tidak mau berkembang, sehingga semakin jauh dari sosok
guru profesional yang diamanatkan oleh Undang-undang Guru dan Dosen. Guru dihasilkan oleh
Lembaga Pendidikan Guru, di bawah asuhan para dosen yang berperan sebagai pendidik guru.
Sejalan dengan pemikiran ini, kualitas pendidik guru atau dengan perkataan lain profesionalisme
seorang pendidik guru akan sangat berperan dalam membentuk kualitas guru yang dihasilkan.
Apakah semua pendidik guru sudah mampu mengembangkan kadar profesionalismenya? Berkaitan
dengan hal ini, topik tentang pengembangan kemampuan profesional atau profesionalisme pendidik
guru menjadi penting untuk dikaji.
Pendidik guru dituntut untuk mampu menjadi model bagi para guru atau calon guru yang
dididiknya. Sebagaimana yang ditekankan oleh Swennen dan Van der Klink (2009), pemodelan
merupakan aspek sentral dalam pekerjaan seorang pendidik guru serta merupakan keterampilan
yang sangat kompleks dan mempersyaratkan pemahaman yang mendalam tentang mengajar dan
peran sebagai pendidik guru. Adalah hal yang mustahil jika seorang pendidik guru mengharapkan
para guru atau calon guru yang dididiknya akan mampu mengembangkan kemampuannya sebagai
guru jika dia sendiri tidak menunjukkan perkembangan tersebut. Jika guru dianggap sebagai
seseorang yang patut digugu dan ditiru, maka pendidik guru semestinya dianggap sebagai
33
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru
seseorang yang mutlak harus digugu dan ditiru. Oleh karena itu, para pendidik guru di semua LPG
perlu menjawab tantangan ini dengan serius. Namun, berdasarkan pengamatan berbagai dokumen
yang berkaitan dengan pendidik guru dan diskusi internal, tampaknya belum semua pendidik guru
menyadari posisi yang sangat penting dan menentukan ini. Oleh karena itu, diharapkan tulisan ini
dapat menyadarkan para pendidik guru akan perannya yang sangat sentral tersebut serta mengambil
langkah nyata dalam pengembangan profesionalisme.
34
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44
pelayanan kepada peserta didik. Ini berarti, tidak sembarang orang dapat menjadi guru, lebih-lebih
lagi menjadi pendidik guru. Dengan perkataan lain, mereka yang diterima di lembaga pendidikan
guru atau yang memasuki pekerjaan sebagai guru, lebih-lebih lagi sebagai pendidik guru, haruslah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam rekrutmen, termasuk sistem pendidikannya. Namun
kenyataan menunjukkan, tidak semua pendidik guru mempunyai latar belakang
kependidikan/keguruan ketika mulai bertugas di LPG sebagai pendidik guru. Hal ini terjadi karena
masih terbatasnya calon dosen yang mempunyai latar belakang kependidikan/keguruan. Kondisi
seperti ini pasti membuat muram wajah profesi guru/pendidik guru, sebagaimana yang disiratkan
oleh Darling-Hammond dan Goodwin (1993). Namun, kondisi yang serupa tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang masih mempunyai masalah dengan kualitas
sumber daya manusia. Untuk mengatasi hal ini, sebelum bertugas sebagai dosen, para pendidik guru
ini mendapatkan bekal kependidikan/keguruan, dan kemudian diikuti dengan mengambil studi lanjut,
baik yang mengarah kepada pencapaian gelar maupun yang berupa sertifikat. Selanjutnya, standar
yang etis dan memadai dalam praktek tercermin dalam kode etik guru dan dosen, terutama yang
berkaitan dengan layanan bagi peserta didik.
Karakteristik ketiga, yaitu tanggung jawab utama guru dan pendidik guru adalah peserta
didik, berimplikasi bahwa guru dan pendidik guru harus selalu peduli pada kepentingan peserta
didiknya, sehingga mereka harus melakukan diagnosis sebelum melakukan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya (siswa bagi guru dan calon
guru atau guru bagi pendidik guru). Dengan demikian, jika guru dan pendidik guru benar-benar
professional, kualitas layanan yang diberikan akan mampu mengembangkan potensi peserta didik
karena memang program layanan ini dikembangkan berdasarkan hasil analisis kebutuhan peserta
didik. Layanan atau program pembelajaran yang dikelola guru dan pendidik guru akan memenuhi
kebutuhan peserta didik, sehingga menimbulkan rasa puas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan profesional sebagai guru dan
pendidik guru mencakup penguasaan sosok utuh kompetensi guru dan kemampuan melaksanakan
tugas yang mengutamakan kemaslahatan dan kepuasaan peserta didik. Dengan demikian, tolok ukur
utama keberhasilan bagi guru profesional adalah kualitas proses dan hasil belajar para siswa yang
menjadi tanggung jawabnya. Sejalan dengan itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru dapat
ditandai dari tingkat penguasaan sosok utuh kompetensi sebagai dosen, baik secara akademik
maupun penerapannya dalam konteks otentik pemberian layanan kepada peserta didik (guru dan
calon guru) yang menjadi tangung jawabnya. Indikator lain yang dapat dijadikan ukuran tingkat
keprofesionalan pendidik guru adalah kepuasan para guru/calon guru yang menjadi tanggung
jawabnya, yang tercermin dalam kualitas proses dan hasil belajar para guru dan calon guru tersebut.
Di samping itu, tingkat keprofesionalan pendidik guru juga dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas
penelitian yang pernah dilakukan serta karya ilmiah yang pernah diterbitkan atau disajikan dalam
berbagai pertemuan. Hal ini menjadi sangat penting karena sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang
Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2, “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”.
Kewajiban dosen untuk melakukan penelitian, sejalan dengan wacana pendidik guru sebagai
peneliti yang dikemukakan oleh Livingston, Call, dan Morgado (2009). Ketiga pakar ini
mengemukakan bahwa minimal ada dua alasan mengapa pendidik guru juga harus berperan sebagai
peneliti. Alasan pertama adalah berkembangnya “evidence-based practiced” (hal. 191) atau praktek-
praktek yang berdasarkan bukti-bukti, bukan hanya dalam bidang pendidikan tetapi juga dalam
35
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru
profesi lain. Berkembangnya fokus pada penelitian membuat penilaian kuantitas dan kualitas
penelitian para dosen mempengaruhi peringkat institusi tempatnya bekerja, di samping hadiah-
hadiah finasial yang mungkin diterima oleh institusi tersebut. Alasan kedua, adalah pentingnya
belajar berkelanjutan dan keinginan para pendidik guru untuk merefleksikan dan meningkatkan
kemampuan belajar dan mengajar berdasarkan berbagai konsep, yaitu: pandangan dinamis tentang
pengetahuan, perubahan sosial, perubahan jenjang pendidikan, bekerja antar profesi, belajar
sepanjang hayat, serta model kolaboratif dalam pengembangan kegiatan belajar dan mengajar.
Berdasarkan ulasan Lingston, Call, dan Morgado (2009) tersebut, pendidik guru yang berperan
sebagai peneliti akan mempunyai nilai tambah yang sangat bermakna, baik bagi individu pendidik
guru sendiri maupun bagi LPG tempatnya bekerja.
Selanjutnya perlu dikaji apa yang dimaksud dengan pengembangan kemampuan profesional
atau pengembangan profesionalisme. Dengan mengacu kepada definisi dari Wikipedia (diunduh 29
Desember 2010), dapat dikatakan bahwa pengembangan kemampuan profesional seorang pendidik
guru adalah meningkatnya kemampuan pendidik guru, baik dalam pengetahuan, keterampilan,
maupun sikap, yang berdampak pada meningkatnya kualitas layanan para pendidik guru pada
peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Ini berarti bahwa peningkatan kemampuan tersebut
memang berdampak positif bagi layanan yang diberikan oleh pendidik guru kepada guru atau calon
guru yang menjadi tanggung jawabnya. Jika peningkatan kemampuan itu tidak meningkatkan kualitas
layanan yang diberikan, berarti kemampuan profesional pendidik guru tersebut belum berkembang.
Dengan demikian, pengembangan kemampuan profesional selalu dikaitkan dengan meningkatnya
kualitas layanan ahli yang diberikan kepada klien.
Pertanyaan berikut yang perlu dibahas adalah: mengapa pendidik guru harus
mengembangkan kemampuan profesionalnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, paling tidak ada
empat alasan yang dapat dijadikan acuan, yaitu: alasan yang berkaitan dengan hakikat
profesionalisme, perkembangan IPTEKS, filosofi atau paradigma belajar sepanjang hayat, dan UU
No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Keempat alasan ini saling berkaitan, sehingga yang satu
hampir tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
Alasan yang berkaitan dengan hakikat profesionalisme menekankan bahwa pekerjaan
profesional mempersyaratkan penguasaan ilmu yang merupakan landasan dalam melaksanakan
tugas profesional. Guru dan pendidik guru harus menguasai the scientific basis of the art of teaching,
agar mampu memberi layanan ahli untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, yang menjadi tanggung
jawab utamanya. Sementara itu, perkembangan IPTEKs yang begitu pesat, membawa perubahan
hampir pada semua aspek kehidupan, termasuk hirarkhi kebutuhan manusia seperti yang
digambarkan oleh Maslow (dalam Santrock, 2008). Ilmu keguruan dan teori belajar berkembang
dengan pesat, termasuk di dalamnya munculnya berbagai pendekatan/strategi pembelajaran untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik yang juga berubah. Oleh karena itu, mau tidak mau kebutuhan
peserta didik yang juga berubah tersebut harus dipahami oleh para pendidik guru, sehingga ia
mampu mengembangkan strategi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berkaitan
dengan hal ini, perlu dicatat bahwa pembelajaran yang semula lebih banyak berpusat kepada guru
telah berkembang menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sejalan dengan ini, berbagai
pendekatan/model pembelajaran seperti konstruktivistik, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran kreatif dan produktif (Ditjen Dikti, 2004) telah tersebar luas dan sudah mulai diterapkan
di sekolah-sekolah. Tentulah sangat tidak masuk akal jika para pendidik guru tidak akrab dengan
berbagai perubahan dalam pembelajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah.
36
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44
Selanjutnya, alasan yang berkaitan dengan filosofi atau paradigma belajar sepanjang hayat,
yang menurut Wikipedia (diunduh tanggal 6 Mei 2011) dikenal sebagai “lifelong learning paradigm”
menyiratkan bahwa belajar terjadi sepanjang hidup manusia, dari ayunan sampai ke liang kubur.
Tentulah mustahil untuk mempertahankan posisi sebagai pendidik guru, jika seorang pendidik guru
tidak mampu atau tidak mau belajar sepanjang hayat. Berdasarkan filosofi belajar sepanjang hayat,
tidak mungkin seorang guru, lebih-lebih pendidik guru, berhenti belajar karena merasa sudah pintar
atau sudah menguasai segalanya. Perlu dicatat bahwa paradigma belajar sepanjang hayat
sebenarnya juga telah menjadi filosofi yang turun temurun dalam masyarakat Indonesia. Hal ini
antara lain dapat diidentifikasi dari ungkapan yang tersirat dalam lagu rakyat Bali, yang salah satu
baitnya berbunyi: Yadian ririh, liu enu pelajahin, yang bermakna: meski pintar, masih banyak yang
perlu dipelajari. Kekayaan budaya ini dapat dianggap sebagai kearifan lokal yang menegaskan
perlunya belajar sepanjang hayat. Sebagai orang yang digugu dan ditiru, pendidik guru harus
memodelkan kebiasaan belajar sepanjang hayat ini kepada para peserta didik yang menjadi
tanggung jawabnya. Dalam kaitan ini, pendidik guru haruslah terlebih dahulu mampu memodelkan
perilaku/kebiasaan belajar terus menerus sepanjang hayat, agar terjadi “trickledown effect” ( Dikti,
2004) pada para calon guru dan guru, sehingga para calon guru/guru ini dapat memodelkannya
kepada para siswa yang diajarnya, jika kemudian sudah menjadi guru atau kembali bertugas sebagai
guru.
Terakhir, Undang Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 60, mewajibkan
dosen “meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni”. Kewajiban
yang dicanangkan dalam undang-undang ini, mau tidak mau haruslah dilaksanakan oleh para dosen
pada umumnya dan lebih-lebih lagi oleh dosen pendidik guru. Hal ini tentu tidak akan jadi masalah
bagi para dosen yang sudah terbiasa memenuhi kewajibannya sebagai pendidik guru, sehingga
segala kemudahan yang menjadi haknya, misalnya kenaikan pangkat dan jabatan, akan terpenuhi
sebagai hasil dari pemenuhan kewajiban.
Dengan demikian, mengembangkan kemampuan profesional merupakan satu keharusan
bagi para pendidik guru, sehingga mereka tidak pernah ketinggalan jaman karena selalu mengikuti
perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan. Perlu juga dicatat bahwa dalam mengembangkan
kemampuan profesional, pendidik guru perlu bersikap terbuka karena perkembangan IPTEKS yang
begitu pesat memungkinkan informasi dapat diakses dengan cara mudah oleh siapa saja, termasuk
oleh peserta didik, dalam hal ini para guru dan calon guru. Tidak mustahil, guru dan calon guru
menguasai informasi tertentu terlebih dahulu dari dosennya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar
karena pendidik guru dan peserta didik belajar sepanjang hayat dengan gaya dan kemampuan
masing-masing. Jika sikap terbuka ini dapat dimodelkan oleh pendidik guru kepada para guru atau
calon guru, dampaknya akan berlipat ganda karena guru akan berupaya menampilkan sikap tersebut
di depan para siswanya.
Akhirnya perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa pengembangan profesionalisme dosen sebagai
pendidik guru didasarkan pada alasan yang kokoh, sehingga merupakan sesuatu yang mutlak yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ini berarti, tidak ada tempat lagi di Lembaga Pendidikan Guru bagi
mereka yang sudah tidak berminat mengembangkan profesionalisme sebagai dosen pendidik guru.
37
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru
yang belum memenuhi persyaratan jenjang pendidikan minimal yaitu S2, demikian pula dengan
jabatan akademik, masih banyak yang menyandang jabatan tenaga pengajar dan asisten ahli. Perlu
dicatat bahwa jenjang pendidikan dan jabatan akademik yang dimiliki para pendidik guru merupakan
salah satu indikator pemenuhan persyaratan dosen profesional. Dari sisi jenjang pendidikan atau
kualifikasi akademik, makin tinggi jenjang pendidikan seorang dosen, kemampuan akademiknya
diasumsikan akan meningkat. Demikian pula jabatan akademik dosen mencerminkan kualitas
kemampuan profesional seorang dosen dalam melaksanakan tri dharma perguruan tinggi. Oleh
karena itu, masih adanya dosen yang belum memiliki jenjang penidikan S2 dan jabatan akademik
masih asisten ahli (meskipun masa kerja sudah cukup lama) merupakan suatu bukti adanya
kemandegan atau kemacetan dalam pengembangan kemampuan profesional. Melihat data tersebut,
muncul pertanyaan besar, mengapa para dosen tersebut tidak pernah mengusulkan atau barangkali
belum berhasil dalam usulan kenaikan jabatan akademik? Atau mengapa terjadi kemandegan
tersebut? Padahal, kenaikan jabatan akademik sangat menentukan imbalan yang diterima oleh
dosen. Untuk menganalisis kondisi seperti ini, perlu dikaji faktor yang mempengaruhi pengembangan
profesionalisme pendidik guru.
Secara umum, faktor yang mempengaruhi perkembangan profesionalisme seorang pendidik
guru dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor
dari dalam diri pendidik guru sendiri, mencakup keperibadian, kemampuan, wawasan terhadap
pekerjaan sebagai pendidik guru, tujuan hidup, etos kerja, dan lain-lain. Faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang berasal dari luar pendidik guru, yang antara lain meliputi: kesempatan untuk
mengembangkan diri, kebijakan lembaga, biaya, beban kerja, teman sekerja. Dari segi kesempatan,
kebijakan lembaga, dan biaya, tampaknya peluang untuk mengembangkan profesionalisme sangat
terbuka lebar. Ada berbagai lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri yang menyediakan
beasiswa untuk melanjutkan studi atau mengembangkan profesionalisme. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi sendiri, hampir dalam setiap tahun anggaran menyediakan beasiswa, baik untuk
melanjutkan studi di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagai contoh, ada beasiswa program
pascasarjana (BPPS), Program Academic Recharging (PAR), ada juga beasiswa luar negeri seperti
beasiswa Fulbright. Di samping itu, jika para dosen memang jeli dan mengikuti perkembangan, serta
rajin membuka website Dikti (http://www.dikti.go.id atau dikti.kemdiknas.go.id) kesempatan untuk
mendapatkan beasiswa dari berbagai negara seperti Australia dan Jepang akan terbuka. Tetapi
tentu saja kesempatan tersebut hanya mungkin diraih melalui kompetisi. Di samping itu, program-
program hibah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat hampir setiap tahun ditawarkan.
Memang mungkin yang menjadi kendala adalah beban kerja, yaitu banyaknya tugas-tugas yang
harus dilakukan oleh para dosen, misalnya para dosen FKIP- Universitas Terbuka mempunyai tugas-
tugas pengelolaan (manejerial) di samping tugas-tugas akademik sebagai tugas utama. Di sisi lain,
banyak juga dosen, khususnya dari perguruan tinggi tatap muka, yang mengajar atau mempunyai
pekerjaan tambahan di luar kampus asalnya, sehingga ini barangkali yang merupakan hambatan.
Dari faktor internal, secara sepintas, dosen yang tidak mengajukan usul kenaikan jabatan
akademik atau jabatan fungsional, tampaknya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama,
mereka yang sebenarnya banyak berperan penting dalam berbagai kegiatan akademik, baik
pengajaran, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat, namun tidak membudayakan
kebiasaan mendokumentasikan bukti fisik kegiatan yang telah diikutinya dan tidak cukup usaha untuk
menyusun usulan kenaikan jabatan akademik. Kedua, mereka yang memang sangat jarang terlibat
dalam kegiatan akademik, sehingga memang tidak mempunyai bukti fisik yang dapat diajukan
sebagai bukti dalam usulan kenaikan jabatan akademik. Dosen kelompok ini pada umumnya
38
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44
menganggap mengajar hanya sebagai tugas wajib dan rutin, sehingga mereka menganggap tidak
perlu ada perubahan. Dapat diperkirakan, bahwa dosen yang seperti ini tidak akan pernah berubah,
baik dalam gaya mengajar, mempersiapkan diri, maupun dalam menyikapi pekerjaannya sebagai
pendidik guru. Jarangnya keterlibatan dalam kegiatan akademik mungkin terjadi karena berbagai
alasan. Wawancara informal dengan para dosen yang jarang terlibat dalam kegiatan akademik
mengungkapkan adanya beragam alasan, seperti tidak tertarik, merasa puas dengan apa yang
sudah dicapai, tidak ada waktu karena ada kegiatan lain, tidak melihat ada manfaatnya. Beragam
alasan tersebut mencerminkan absennya kemauan untuk mengembangkan diri.
Dari sisi profesionalisme, kedua kelompok tersebut dapat dianalisis lebih lanjut. Kelompok
yang pertama barangkali dapat digolongkan sebagai dosen yang bekerja dengan baik, terlibat dalam
berbagai kegiatan akademik, namun tidak terlalu ambisius untuk naik jabatan akademik. Pandangan
yang seperti ini tentu keliru karena pekerjaan profesional disangga minimal oleh dua pilar, yaitu
layanan ahli yang aman untuk menjamin kemaslahatan dan kepuasan klien serta pengakuan dan
penghargaan yang memadai dari masyarakat (Joni, 1989; Konsosium Ilmu Pendidikan, 1993).
Layanan ahli ditentukan oleh berkembangnya kemampuan profesional yang tercermin dalam
berbagai kegiatan layanan kepada peserta didik dan dunia profesi, sedangkan pengakuan dan
penghargaan tercermin dari tingkat jabatan akademik yang diduduki, yang kemudian berimplikasi
pada imbalan. Kedua pilar ini harus seimbang agar kemampuan profesional dapat berkembang
secara sehat. Hal ini sejalan pula dengan hak dan kewajiban guru dan dosen, sebagaimana yang
tercantum dalam Undang Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 51 sampai dengan
Pasal 60. Tentu saja, tanpa pernah mengajukan kenaikan jabatan akademik, dosen yang
bersangkutan tidak akan pernah menikmati pengakuan dan penghargaan, yang kemudian terwujud
dalam bentuk imbalan yang memadai karena itulah persyaratan dalam sistem kepegawaian yang
berlaku di Indonesia.
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang mempunyai alasan tertentu untuk tidak
mengusulkan kenaikan jabatan akademik. Di antara alasan yang pernah berembus adalah: (1) tidak
mampu lagi belajar, (2) sudah tua, sehingga lebih mengutamakan anak-anak saja, (3) sudah mau
pensiun, sehingga tidak perlu melakukan sesuatu kegiatan yang menguras pikiran, tenaga, dan
waktu, serta (4) tidak ada waktu karena punya kesibukan lain. Alasan yang diberikan ini tentu
merupakan “mental block”, yang menghambat atau men-demotivasi para dosen untuk
mengembangkan kemampuan profesional melalui belajar sepanjang hayat. Kalau dosen sebagai
pendidik guru sudah menunjukkan sikap seperti ini, bagaimana kira-kira guru dan calon guru yang
dididik? Apakah mungkin seorang dosen yang tidak lagi bersemangat untuk belajar dapat memotivasi
para calon guru dan atau para guru yang sedang menjadi mahasiswa agar bersemangat belajar?
Jawaban dari pertanyaan ini barangkali sangat jelas. Seseorang hanya mampu menunjukkan apa
yang dia miliki atau kuasai. Tidak mungkin seorang maling menasehati agar anaknya jangan
mencuri, demikian pula tidak mungkin seorang guru meminta muridnya datang tepat waktu kalau dia
sendiri selalu terlambat. Dengan demikian, setiap pendidik guru seyogianya menyadari bahwa jika
masih tetap ingin menjadi dosen pendidik guru, tidak ada alasan untuk tidak belajar atau menunda
belajar karena alasan tersebut akan mengerem langkah untuk maju. Sekali saja alasan itu disepakati,
maka sepanjang hidup alasan tersebut akan membuntuti dan sulit untuk melepaskan diri darinya.
39
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru
40
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44
pendidik guru menyadari apakah cara pembimbingannya sudah memadai sehingga membuat
calon guru merasa nyaman, ataukah masih ada hal-hal yang membuat calon guru merasa
ketakutan atau tidak nyaman. Dalam berbagai lieteratur dikenal istilah-istila reflection, reflective
practice, reflective thinking, critical reflection on practice, reflection method (Harrison & Yaffe,
2009; Konno, Higuchi, & Mitsuishi, 2009). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa reflection
method, terbukti merupakan satu upaya yang efektif untuk memperbaiki kualitas perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran (Konno, Higuchi, &Mitsuishi, 2009). Tentu saja perbaikan ini
mengarah kepada pengembangan kadar profesionalisme guru dan pendidik guru. Di samping
refleksi dalam melaksanakan tugas mendidik, refleksi juga perlu dilakukan dalam melaksanakan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Misalnya, dalam melakukan penelitian, dosen
dapat merenungkan mengapa angket yang dikirimkan banyak yang tidak kembali atau mengapa
laporan penelitian tidak selesai tepat waktu, atau bagaimana respon masyarakat terhadap
program pengabdian yang telah dilakukan. Tentu saja hasil refleksi ini digunakan untuk
memperbaiki rencana dan pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
berikutnya.
4. Mengikuti berbagai kegiatan akademik, seperti pelatihan dalam berbagai aspek pendidikan,
mengikuti seminar/konferensi baik lokal, nasional, maupun internasional; baik dalam maupun
luar negeri; baik secara tatap muka maupun on-line. Pelatihan dalam bidang pendidikan
mencakup berbagai aspek, seperti penulisan bahan ajar, bahan ujian, peningkatan kualitas
pembelajaran, termasuk pelatihan dalam mengembangkan berbagai instrumen penilaian atau
asesmen otentik. Dalam berbagai kegiatan akademik tersebut, sebaiknya setiap dosen
berupaya untuk meraih kesempatan menjadi pembicara atau fasilitator, sehingga tidak selalu
menjadi peserta. Dengan demikian, para dosen dapat berbagi pengalaman, bukan hanya
menerima pengalaman dari orang lain.
5. Menjadi anggota berbagai ikatan profesi yang terkait dengan bidang pendidikan. Misalnya
Asosiasi Profesi Pendidikan Jarak Jauh Indonesia (APPJJI), Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia (ISPI), Ikatan Pengembang Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI). Secara ideal,
setiap anggota satu profesi harus aktif mengikuti kegiatan dan perkembangan dalam profesi
tersebut, seperti seminar, lokakarya, atau pelatihan; bahkan harus menyumbangkan gagasan
atau pengalaman dalam meningkatkan profil profesi.
6. Sebagai pendidik guru, keakraban dengan lapangan juga merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kemampuan profesional. Makin akrab pendidik guru dengan sekolah tempat
para guru mengajar, akan makin meningkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan
guru/calon guru karena ia mampu mengaitkan mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya
dengan kebutuhan nyata di lapangan. Oleh karena itu, pengakraban dengan lapangan, baik
melalui program penugasan dosen ke sekolah (PDS) yang dikelola oleh program studi, maupun
yang dirancang sendiri dengan para guru yang sedang menjadi mahasiswa merupakan salah
satu kegiatan untuk mengembangkan kemampuan profesional. Pentingnya keakraban dengan
lapangan bagi pendidik guru dapat dilihat dari kebijakan rekrutmen pendidik guru di Inggris.
Para pendidik guru ini (terutama untuk pra-jabatan) hampir selalu direkrut dari guru-guru
sekolah yang berkualitas dan berprestasi karena mereka mempunyai pengalaman profesional
yang kaya (Murray, Swennen, & Shagrir, 2009).
7. Melakukan penelitian, khususnya yang berkaian dengan dunia pendidikan, termasuk di
dalamnya penelitian tindakan kelas (PTK). Sebagai pendidik guru, kemampuan meneliti akan
sangat membantu dalam membimbing mahasiswa calon guru/ para guru yang menjadi
41
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru
mahasiswa dalam melakukan penelitian, khususnya PTK. Untuk merealisasikan peran sebagai
peneliti, para pendidik guru harus ikut serta bersaing mendapatkan dana hibah penelitian. Untuk
memperbesar peluang mendapatkan dana hibah, pendidik guru sebaiknya mencermati panduan
yang diterbitkan oleh sponsor, kemudian mempelajari segala persyaratan yang diminta.
Berdasarkan bidang penelitian yang relevan dengan permintaan sponsor, pendidik guru dapat
memilih topik yang menarik perhatian (yang sedang banyak dibicarakan), sesuai dengan minat
peneliti, serta dapat diteliti melalui pengumpulan dan analisis data, sebagaimana yang
disarankan oleh Gay, Mills, & Airasian (2009). Keikutsertaan bersaing dalam memperoleh dana
hibah penelitian merupakan upaya yang sangat positif untuk mengembangkan kemampuan
meneliti secara sehat, sehingga peran pendidik guru sebagai peneliti dapat dimainkan dengan
sempurna. Selanjutnya, melakukan penelitian secara kolaboratif dengan mahasiswa atau
dengan para guru di sekolah membuka peluang bagi dosen untuk menyebarluaskan
kemampuan meneliti, yang sekaligus akan meningkatkan kemampuan meneliti dosen. Hal ini
bertolak dari filosofi bahwa yang mengajar, pasti belajar.
8. Menulis karya ilmiah. Karya ilmiah mencerminkan keluasan wawasan penulis dalam bidang
tertentu. Kemahiran menulis karya ilmiah tidak terjadi secara instan, tetapi memerlukan proses
latihan yang berkesinambungan. Melalui karya ilmiah para dosen dapat mengungkapkan idea-
ideanya dalam bidang tertentu sehingga idea-idea tersebut diketahui oleh masyarakat luas,
khususnya masyarakat yang akrab dengan dunia pendidikan. Karya ilmiah dapat disampaikan
dalam kegiatan ilmiah seperti seminar, pelatihan, diskusi ilmiah, dan dapat pula diterbitkan
melalui berbagai jurnal, baik di tingkat lembaga, nasional, maupun internasional. Karya ilmiah
dapat berasal dari laporan penelitian yang sudah dilakukan, ataupun kajian teoritis yang
dilakukan dalam bidang yang terkait dengan pendidikan guru.
PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian, pengamatan secara umum, dan pengalaman di lapangan yang
telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan profesionalisme pendidik guru
merupakan satu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Siapapun yang mau
mempertahankan posisi sebagai pendidik guru harus mau dan mampu mengembangkan
profesionalisme secara berkelanjutan. Tanpa pengembangan profesionalisme, pendidik guru tidak
mungkin mampu melaksanakan perannya sebagai penentu kualitas pendidikan yang sangat
berpengaruh terhadap masa depan bangsa dan negara. Ada empat alasan kuat yang mendorong
pendidik guru untuk mengembangkan profesionalisme, yaitu: (1) hakikat pendidik guru sebagai
sebuah profesi, (2) perkembangan IPTEKS yang pesat, (3) filosofi belajar sepanjang hayat, dan (4)
Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Dosen dan Guru.
Jika setiap pendidik guru telah menyadari kewajiban untuk mengembangkan
profesionalisme, dapat diharapkan ia akan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar
para guru atau calon guru yang menjadi tanggung jawabnya. Pada gilirannya, para guru yang
dihasilkan akan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar para siswa yang menjadi peserta
didiknya. Dengan demikian, dapat diharapkan kualitas pendidikan akan meningkat, sehingga akan
membawa dampak positif bagi masa depan bangsa. Namun, perlu disadari bahwa kondisi seperti ini
memerlukan upaya yang serius untuk mewujudkannya. Upaya tersebut harus berlangsung secara
sinergis, yang melibatkan berbagai pihak yang bertanggung jawab, mulai dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Pendidikan Guru, Direktorat Jenderal dan Badan yang
berkaitan dengan guru, Dinas Pendidikan di daerah, dan tidak kalah pentingnya adalah sekolah.
42
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012, 32-44
Upaya yang dilakukan dapat mulai dari kebijakan, penyediaan fasilitas, kesempatan, dan
dorongan yang mendukung kebijakan tersebut, di samping pemberian penghargaan bagi yang mau
dan mampu berkembang serta pengenaan sanksi bagi pendidik guru yang tidak mau berkembang.
Agar pemberian penghargaan dan sanksi dapat dilakukan secara efektif, etis, dan mendidik, sistem
penilaian kemampuan pendidik guru harus dikembangkan dan disosialisasikan secara terbuka.
Komponen penilaian yang sangat perlu disosialisasikan adalah waktu penilaian, instrumen penilaian,
penilai, dan kriteria keberhasilan. Berdasarkan hasil penilaian ini, penghargaan dan sanksi harus-
benar diberikan bagi yang layak menerimanya.
REFERENSI
Darling-Hammond, L., & Goodwin, A. L. (1993). Progress toward profesionalism in teaching. In
Gordon Cawellti (Editor). Challenges and achievements of American Education. Alexandria:
Association for supervision and curriculum development.
Ditjen Dikti. (2004). Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan
Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional.
Gay, L. R.; Mills, G. E., & Airasian, P. (2009). Educational research. Columbus: Pearson Edcation,
Inc.
Harrison, J., & Yaffe, E. (2009). Teacher educators and reflective practice. Dalam: Swennen, A. &
van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and practice for teacher
educators .(hal.145-161). Amsterdam: Springer Science+Business Media.
Joni,T. R. (1989). Mereka masa depan, Sekarang. Tantangan bagi pendidikan dalam menyonsong
abad informasi. (Ceramah Ilmiah: disampaikan dalam Upacara Dies Natalis XXXV, Lustrum
VII IKIP Malang, 18 Oktober 1989).
Joni,T. R. (2007). Prospek pendidikan profesional guru di bawah naungan UU No.14 Tahun 2005.
Dipaparkan dalam Rembuk Nasional Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru, 17 November
2007, di Universitas Negeri Malang.
Konno, F.; Higuchi, Y., & Mitsuishi, T. (2009). A study on teacher reflection method by presenting
differences between lesson plan and actual instructions. Educational technology Res., 32,
101-111.
Konsorsium Ilmu Pendidikan. (1993). Profesionalisasi jabatan guru: tawaran dan tantangannya.
Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan.
Livingston, K.; McCall, J., & Morgado, M. (2009). Teacher educators as researchers. Dalam:
Swennen, A. & van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and
practice for teacher educators .(hal.191-204). Amsterdam: Springer Science+Business
Media.
Murray, Swennen, & Shagrir. (2009). Understanding teacher educators’work and identities. Dalam:
Swennen, A. & van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and
practice for teacher educators .(hal.29-44). Amsterdam: Springer Science+Business Media.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar
Kualifikasi dan kompetensi guru. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology. (3rd ed). New Yoyk: McGraw-Hill Companies, Inc.
Swennen, A., & van der Klink, M. (2009). Epilogue: Enhanching the profession of teacher educator.
Dalam: Swennen, A. & van der Klink, M.( Editors). Becoming a teacher educator. Theory and
43
Wardani, Mengembangkan Profesionalisme Pendidik Guru
44
PROBLEMATIKA GURU DAN DOSEN
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Miftahur Rohman
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
email: miftahur.rohmaan@gmail.com
و ُر ّكزت الدراسة يف. حاولت هذه املقالة دراسة مشاكل املربّني يف ضوء النظام الرتبوي اإلندونيسي:ملخص
كان املعلّم يف الرتبية العامة خ ّريج املعهد العالي للمعلّمني والعلوم الرتبوية.الرتبية العامة والرتبية الدينية
أما معلموا العلوم الدينية. تغي كثري منها إىل اجلامعات اليت تد ّرس العلوم التجريبية والكونية ّ ث ّمIKIP
ُ
، كتبت هذه الدراسة عن طريق حتليل الكتب.فخ ّرجيوا اجلامعات اإلسالمية اليت تد ّرس العلوم اإلسالمية ِ
نوعية املدرسني: استخلصت الدراسة النتائج التالية. واألخبار عن املعلّمني، والبحوث العلمية،والقوانني
واملؤسسات الرتبوية، وهذه نتيجة من أن قرارات احلكومة اليت مل تطبّق جيدا.ورفاهية حياتهم ضعيفتان
. مل تكن ف ّعالة يف انتاج املعلّمنيLPTK العالية
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan aspek terpenting kemajuan sebuah bangsa.
Kemajuan bangsa dapat dilihat dari kemajuan sistem pendidikannya. Dalam
sistem pendidikan terdapat berbagai macam stakeholder yang saling berkaitan.
Komponen yang paling urgen adalah pendidik. Pendidik memainkan peran yang
sangat penting yang berdampak pada kualitas pendidikan yang dijalankan. Secara
historis, pendidik atau guru di Indonesia tidak lepas dari sistem pendidikan yang
diterapkan dari masa ke masa sejak era kemerdekaan hingga sekarang. Di setiap
masanya diterapkan kebijakan dan manajemen pendidikan yang beragam, yang
bertujuan mengembangkan pendidikan yang lebih kompetitif dan unggul.
Kualifikasi pendidik juga tergantung dari institusi pendidikan guru yang
ada. Reformasi pendidikan yang dijalankan di Indonesia telah berjalan sekian
lama sejak kemerdekaan. Berdasarkan jenis pendidikan, secara umum pendidik
di Indonesia dibedakan ke dalam pendidikan umum dan pendidikan Agama.
Kedua jenis pendidikan tersebut berada di bawah naungan kementerian yang
berbeda. Pendidikan umum berada di bawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Pendidikan Tinggi Riset dan
Teknologi (Kemenristek Dikti). Sedangkan pendidikan agama berada di bawah
naungan Kementerian Agama (Kemenag).
Perbedaan nomenklatur kementerian yang menaungi jenis pendidikan di
Indonesia secara tidak langsung juga mempengaruhi kualifikasi pendidik yang
dihasilkan. Institusi pendidikan yang melahirkan guru untuk pendidikan umum
adalah IKIP (Institusi Keguruan dan Pendidikan) dan institusi pendidikan yang
melahirkan guru Agama adalah LPTKI (Lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan
Islam). Dalam realitanya, baik pendidik pendidikan umum maupun pendidik
pendidikan agama, mempunyai problem yang tak kunjung usai dari masa ke masa.
Penulis membatasi pembahasan artikel ini pada problem-problem pendidik
pada pendidikan umum dan pendidikan agama. Sesuai dengan pembatasan
masalah yang telah ditentukan di atas, maka permasalahan tulisan ini dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut: “Bagaimana problematika
pendidik dalam pendidikan umum dan pendidikan agama di Indonesia?”
Dalam tulisan ini, penulis tidak melakukan empirical research, hanya
mengambil sumber-sumber dari berbagai literatur seperti buku, jurnal, website
yang ter-update yang penulis percaya informasi yang dihasilkannya merupakan
informasi berdasarkan riset atau studi lapangan.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 51
1
Muhammad Kosim, Pendidikan Guru Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Nusantara,
2012), 11.
2
Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.
3
Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Guru dan Dosen.
52 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
4
Robert McNergney & Carol Carrier, Teacher Development, (New York: Macmillan
Publising, 1981), vii.
5
Suyanto, Asep Jihad, Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru
di Era Global, (Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2013), 1.
6
E.Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan,
cet ke-10, (Bandung: Rosdakarya, 2011), 13.
7
Abd al-Amir Syams al-Di>n, al-Mazhab al-Tarbawi ‘in Ibnu Jama’ah, (Beirut: Da>r al-Iqra,
1404 H/1984 M), 23.
8
Abd al-Amir Syams al-Di>n, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibnu Khaldun wa Ibnu al-Azraq, cet
ke-1, (Beirut: Da>r al-Iqra, 1413 H/1993 M), 87-89.
9
Ibid., 23.
10
Al-Ghaza>li>, Ihya>’ Ulumuddi>n, (ttp: Masyadul Husaini, t.t.), Juz I, 46.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 53
11
Data ini disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Sumarna Surapranata. Lihat Ati, “2016, Sebanyak 72.082 Guru
di Indonesia Bersertifikasi”, Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 2016. www.krjogja.com/sebanyak-
72082-guru-di-indonesia-bersertifikasi. Diakses pada 16 Pebruari 2016.
12
Kardiyem, “Analisis Kinerja Guru Pasca Sertifikasi: Studi Empiris pada Guru Akuntansi
SMK Se-Kabupaten Grobogan”, JEE: Journal of Economic Education, No. 2, Vol. I, Juni 2013, 1.
13
Badrun Kartowagiran, “Kinerja Guru Profesional (Guru Pasca Sertifikasi)”, Jurnal
Cakrawala Pendidikan, No. 3, Vol. XXX, (Nopember 2011), 472.
14
Sujianto, “Pengembangan Profesionalitas Berkelanjutan Guru Bersertifikat Pendidik di
SMK Rumpun Teknologi se-Malang Raya”, Jurnal Pendidikan Sains, No. 2, Vol. I, Juni 2013, 159.
15
Khoirunnisa, “Profil Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam SMPN Di Kota Bekasi”,
Jurnal Tarbawi, No. 3, Vol. I, (September 2012), 205.
54 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
16
Dalam sejarahnya, nama kementerian ini mengalami beberapa kali perubahan
nomenklatur; tahun 1945-1959 bernama Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemudian dari tahun 1959-1961 berubah menajadi Departemen Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan. Tahun 1961-1966 dipecah menjadi tiga Departemen: Departemen Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, dan
Departemen Olahraga. Selanjutnya pada tahun 1966-1999 menjadi Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Pada tahun 1999-2010 menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Tahun
2010-2011 berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan Nasional. Kemudian pada tahun
2011-2014 berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terakhir, mulai tahun
2014 hingga sekarang dipecah menjadi 2 (dua) Kementerian yaitu: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang membawahi Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Kementerian Pendidikan
Tinggi Riset dan Teknologi yang membawahi Pendidikan Tinggi.
17
Kementerian Agama dibentuk dalam Kabinet Syahrir tanggal 3 Januari 1946. Kemudian
pada tahun 1960 berubah nama menjadi Departemen Agama. Sejak 28 Januari 2010 hingga
sekarang berubah kembali menjadi Kementerian Agama.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 55
18
Sehubungan dengan kebutuhan guru SR yang mendesak, maka dibukalah sekolah guru
yang dalam waktu singkat dapat menghasilkan guru. Untuk itu didirikan sekolah guru 2 (dua)
tahun setelah SR yang disebut Sekolah Guru C (SGC). Namun keberadaan SGC dirasakan kurang
bermanfaat, sehingga SGC ditutup dan sebagian dijadikan SGB. www.file.upi.edu. Diakses pada
3 April 2015.
19
Pendidikan SGB dimaksudkan untuk mendidik guru SR. Murid yang diterima adalah lulusan
SR yang lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. www.file.upi.edu. Diakses pada 3 April 2015.
20
Kosim, Pendidikan Guru Agama, 5.
21
Diambil dari artikel “Guru” dalam www.file.upi.edu. Diakses pada 3 April 2015.
22
Fahriany, “Teacher Education in Indonesia,” JURNAL TARBIYA: Journal Education of Muslim
Society No. 1, Vol. I, (Juni 2014), 4-5.
56 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
23
Kosim, Pendidikan Guru Agama, 29-31.
58 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
24
Ibid, 88-90.
25
Ibid.
26
Universitas Islam Negeri, http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_negeri. Diakses
pada 5 April 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 59
PROBLEMATIKA GURU
Pasca pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, program
akta IV secara bertahap dihapus. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat
(1) UU 14/2005, untuk menjadi guru profesional tidak harus lulusan sarjana
kependidikan. Semua sarjana atau diploma empat memiliki peluang yang sama
menjadi guru, asal memenuhi ketentuan dan lulus pendidikan profesi.
Dengan meningkatnya persyaratan akademik calon guru menjadi minimal
lulusan sarjana atau diploma IV (empat) dan lulus pendidikan profesi, maka
sejak Indonesia merdeka hingga kini telah terjadi tiga kali perubahan syarat
minimal calon guru. Perubahan-perubahan tersebut yaitu: Pertama, periode
1945-1989. Syarat pendidikan calon guru di masa ini bersifat multi strata sesuai
dengan jenjang dan satuan pendidikan yang menjadi wilayah tugasnya. Kedua,
periode 1989-2005, semua guru pada periode ini harus memiliki kualifikasi
akademik minimal jenjang pendidikan tinggi dengan jenis progam yang sesuai
dengan tugasnya. Ketiga, periode 2005 hingga sekarang, terutama setelah UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen disahkan. Semua calon guru wajib memiliki
kualifikasi minimal sarjana atau diploma IV (empat) dan untuk menjadi pendidik
profesional harus lulus pendidikan profesi.27
27
Kosim, Pendidikan Guru Agama, 140.
60 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
Frans Lebu Raya, sampai tahun 2015 terdapat 20 ribu guru yang masih berijazah
SMA dari 97 ribu guru yang ada di NTT. 30
Sebenarnya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan telah mengambil
kebijakan untuk pendidikan di daerah tertinggal dan daerah terluar nusantara.
Di antaranya ialah progam “Indonesia Mengajar”. Progam tersebut ditujukan
untuk pemerataan pendidikan di seluruh wilayah nusantara, terutama daerah
yang masih tertinggal atau daerah terpencil yang kekurangan guru. Untuk itu,
dikirim tenaga guru untuk mengabdi di wilayah tersebut.
Selanjutnya, Kemendikbud meluncurkan progam SM-3T (Sarjana mendidik
di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal). Bagi sarjana keguruan yang baru
lulus diberikan kesempatan mengajar di daerah 3T selama 1 (satu) tahun.
Menurut Anis Baswedan, progam ini bertujuan mempercepat pembangunan di
daerah 3T. Progam ini sebagai solusi mengatasi kekurangan guru di daerah 3T.31
Progam ini mengirimkan sekitar 3000 sarjana pendidikan setiap tahun.
Mereka ditempatkan di sejumlah daerah terpencil di wilayah Papua, NTT,
Kalimantan dan sejumlah daerah terpencil lainnya. Sebelum mengikuti progam
ini mereka diberi pelatihan bagaimana mengajar di daerah 3T. Setelah 1 (satu)
tahun menempuh progam ini, mereka yang berminat menjadi guru diberikan
diberikan beasiswa pendidikan profesi. Dengan mengikuti pendidikan profesi
ini, setelah lulus mereka sudah bisa mengabdi sebagai guru melalui jalurnya
masing-masing.32
Selain pemerataan jumlah guru, problem yang kerap kali menghiasi
wajah pendidikan di Indonesia adalah minimnya kesejahteraan guru,
terutama guru honorer. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), Sulistyo, menilai status kepegawaian guru honorer tidak jelas.
Bahkan, gaji yang diterima guru honorer menurutnya tidak layak. Seharusnya
guru honorer yang didahulukan untuk diseleksi menjadi CPNS. Namun
ditingkat Kabupaten/Kota data tersebut dimanipulasi.33 Pemerintah dalam
pandangan PGRI tidak memiliki data akurat tentang jumlah guru di
30
Yohanes Seo, “20 Ribu Guru di NTT Masih Berijazah SMA”, Tempo, 05 Mei 2015.
http://www.nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/Ribu-Guru-di-NTT-Masih-Berijazah-
SMA. Diakses pada 20 Mei 2015.
31
Nadia Agma, “Progam SM3T, Anis Baswedan Siap Sebar 1000 Sarjana ke Daerah
Pelosok”, Aktual Post, 21 Januari 2015. www.aktualpost.com/program-sm3t-anies-baswedan-
siap-sebar-1000-sarjana-ke-daerah-pelosok-45924/. Diakses pada 8 April 2015.
32
Ratih Anbarini, “Progam SM3T Salah Satu Solusi Pemerataan Kualitas Pendidikan”,
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/2951. Diakses pada 8 April 2015.
33
Karta Raharja, ”PGRI: Gaji Guru Honorer Tidak Manusiawi”, Republika, 19 Maret 2015,
www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/nlgsj7-pgri-gaji-guru-honorer-tidak-
manu siawi. Diakses pada 3 April 2015.
62 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
34
Nanung Sutisna, “Nasib 6.000 Guru Honorer di Purwakarta Tidak Jelas”, Tempo, 05 Mei
2015.http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/058663608/nasib-6-000-guru-honorer-di-
purwa karta-tidak-jelas. Diakses pada 20 Mei 2015.
35
Neni Ridarineni, “Banyak Daerah Krisis Guru Agama”, Republika, 21 Januari 2015,
http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/15/01/21/niiroa1--banyak--daerah-
krisis-guru -agama. Diakses pada 8 April 2015.
36
Bisri Mustofa, “Bisri Mustofa, “Tunjangan Guru Non-PNS di Kemenag 8
Bulan Belum Cair”, Pikiran Rakyat, 04 Mei 2015, http://www.pikiran-rakyat.com/
pendidikan/2015/05/04/325963/ tunjangan-guru-non-pns-di-kemenag-8-bulan-belum-cair.
Diakses pada 20 Mei 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 63
yang profesional sesuai dengan UU Guru dan Dosen No. 14/2005. Sertifikasi tersebut
mulai dengan portofolio, PLPG, dan yang terakhir PPG. Progam-progam tersebut
diluncurkan dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih baik dan kompetitif.
Portofolio dan PLPG sudah tidak diterapkan lagi karena diangg ap
kurang tepat. Gantinya adalah PPG (Pendidikan Profesi Guru).37 Berdasarkan
Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan, PPG adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan
lulusan S1 Kependidikan dan S1/D IV Non-Kependidikan yang memiliki bakat
dan minat menjadi guru agar memiliki kompetensi guru secara utuh sesuai
dengan standar nasional pendidikan, sehingga dapat memperoleh sertifikat
pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.38
Dalam Permendikbud tersebut, peserta didik PPG berasal dari sarjana
kependidikan dan non-kependidikan. Dengan demikian, sertifikat akta IV
secara berangsur mulai dihapus. Jika dicermati, adanya peraturan tersebut untuk
meningkatkan kualitas guru melalui Progam Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Namun di sisi lain penghapusan akta IV akan mengikis eksistensi fakultas
keguruan dan fakultas tarbiyah sebagai LPTK penghasil guru. Sarjana lulusan
dari fakultas lain dapat menjadi guru dengan syarat mengikuti progam PPG.
Demikian juga sarjana FKIP dan Tarbiyah. Mereka dapat mendapatkan lisensi
mengajar setelah menempuh progam profesi tersebut. Keadaan demikian akan
menimbulkan anomali dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak,
lulusan dari FKIP dan Tarbiyah disamakan dengan lulusan fakultas lain. Setelah
lulus, mereka belum dapat mengajar meskipun mereka lulusan fakultas keguruan.
Selanjutnya, untuk sektor birokrasi, pemerintah belum lama ini membentuk
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen Guru dan Tendik).
Pembentukan direktorat jenderal yang khusus menangani guru dan tenaga
kependidikan ini tertuang dalam PP No. 14/2015 tentang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Mendikbud, Ditjen Guru dan Tendik
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan. Ditjen
Guru dan Tendik berfungsi melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan
rencana kebutuhan dan pengendalian formasi, pengembangan karier, peningkatan
kualifikasi dan kompetensi, pemindahan, serta peningkatan kesejahteraan guru
37
Priadi Surya, “Model Pendidikan Guru Prajabatan: dari Penghapusan Akta IV Menuju
Sertifikat Profesi”, Jurnal Dinamika Pendidikan, No.1, Vol. I, (Mei 2014), 96.
38
Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2013
tentang Progam Pendidikan Profesi Guru Prajabatan.
64 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
PROBLEMATIKA DOSEN
Tidak hanya guru, data Kemenristek Dikti menunjukkan Indonesia ternyata
masih sangat kekurangan tenaga dosen. Fakta ini sangat memprihatinkan dan
dapat mengancam keberlangsungan pendidikan tinggi di tanah air. Menurut data
Kemenristek Dikti, jumlah dosen saat ini kurang dari 160.000 orang. Jumlah
tersebut sangat jauh dari cukup karena jumlah mahasiswa yang mencapai 5,4
juta orang. Dari jumlah 160.000 dosen tersebut, sebanyak 30% di antaranya
masih lulusan S1, lalu S2 separuhnya dan S3 hanya 11%.40
39
Mitra Tarigan, “Baru dibentuk Apa Tugas Direktorat Jenderal Guru?”, Tempo, 08
Februari 2015, http://www.nasional.tempo.co/read/news/2015/02/08/079640843/Baru-Dibentuk-
Apa-Tugas-Di rektorat-Jenderal-Guru. Diakses pada 20 Mei 2015.
40
Tajuk Sindo, “Krisis Dosen”, Koran Sindo, 02 Februari 2015, http://www.nasional.
sindonews.com/read/958755/16/krisis-dosen-1422847912. Diakses pada 4 April 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 65
41
Ibid,.
42
Rasio jumlah doktor di Indonesia pada tahun 2015 adalah 143 doktor per satu juta
populasi penduduk. Kalah dengan Malaysia 509 doktor per satu juta penduduknya. Kemudian
di India terdapat 1.410 doktor setiap satu juta penduduknya. Bila dibandingkan dengan Jepang,
Indonesia masih sangat jauh yang mencapai 6.438 doktor per satu juta penduduk. http://kalbar.
antaranews.com/ berita/332228/indonesia-kekurangan-doktor. Diakses pada 9 April 2015.
43
Didi Purwadi, “Kemendikbud: Indonesia Ketinggalan Jumlah SDM Bertitel Doktor”,
Republika, 01 Maret 2015, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/01-
kemendikbud-indonesia-ketinggalan-jumlah-sdm-bertitel-doktor. Diakses pada 18 Mei 2015.
66 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
dan 19.212 berada di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Dari
jumlah tersebut, dosen PTKIN yang berpendidikan doktor (S-3) hanya 1.803
orang (15,5%), sedangkan yang berpendidikan master (S-2) sebanyak 9.012
orang. Sedangkan pada PTKIS, hanya 1.173 (5,8%) orang berkualifikasi doktor
(S-3), dan 12.509 (65,1%) orang masih berkualifikasi Master (S-2).44
Sedangkan jumlah PTKI di Indonesia menurut Menteri Agama, Lukman
Hakim Syaifuddin, sangat memadai. Indonesia memiliki 686 PTKI, baik negeri
maupun swasta. Jumlah tersebut sangat besar jika dibandingkan perguruan tinggi
di negara Islam lainnya seperti Mesir yang tidak lebih dari 50 perguruan tinggi
dan Arab Saudi yang tidak lebih dari 60 perguruan tinggi.45 Dengan demikian,
kebangkitan Islam sangat mungkin lahir dari Indonesia.
Menyikapi problem di atas, pemerintah meluncurkan progam-progam beasiswa
master (S-2) dan doktor (S-3). Di antara progam-progam tersebut adalah progam
beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Di Kementerian Agama,
progam tersebut sudah dijalankan untuk mendorong terwujudnya lebih banyak
kualifikasi tenaga pengajar setingkat doktor di PTKI. Salah satu yang menjadi
progam unggulan yang mulai dijalankan Kemeterian agama adalah mencetak
5.000 Doktor. Progam ini akan terus berjalan untuk meningkatkan sumber daya
manusia di lingkungan pendidikan tinggi Islam di tanah air.
Selain itu, publikasi karya ilmiah dosen juga masih rendah. Hal tersebut
disebabkan berbagai faktor di antaranya tidak adanya waktu untuk menulis
dan meneliti karena padatnya jam mengajar. Selain itu, minimnya dana yang
dialokasikan oleh pemerintah juga menjadi penghambat. Dengan demikian,
tradisi akademik yang seharusnya melekat pada diri seorang dosen menjadi tidak
produktif lagi. Untuk itu, kualitas jurnal ilmiah di Indonesia harus ditingkatkan
untuk menyuburkan kegiatan akademik di kalangan dosen dan peneliti. Sebab,
menurut data dikti sampai tahun 2014, jurnal yang terakreditasi nasional baru
sebanyak 158 buah dan yang terindek internasional baru 19 buah jurnal.46
44
Khoirul Muzakki, “Beri Beasiswa, Kemenag Target 5000 Doktor”, Koran Sindo, 10 Maret
2015, http://www.koran-sindo.com/read/974440/149/beri-beasiswa-kemenag-target-5000-doktor.
Diakses pada 18 Mei 2015.
45
Ibid.
46
Bambang Sutopo Hadi, “DIKTI: Jumlah Jurnal Terakreditasi Perlu Ditingkatkan”, Koran
Sindo, 10 Maret 2015, http://www.koran-sindo.com/read/974440/149/beri-beasiswa-kemenag-
target-5-000-doktor-1425959258. Diakses pada 18 Mei 2015.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 67
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa problem pendidik
di Indonesia, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama, mencakup
problem internal dan eksternal. Problem internal terletak pada diri pendidik itu
sendiri karena sering dijumpai pendidik yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai
guru atau dosen, sehingga dalam praktik mengajarnya menjadi kurang menarik
dan tidak inspiratif bagi anak didiknya. Kedua, problem eksternal. Dalam hal
47
David T. Hansen, dkk., Teacher Education around the World, (London: Rouledge 2012), 128.
68 Miftahur Rohman, Problematika Guru dan Dosen dalam Sistem ...
ini pemerintah sebagai decision maker harus berbenah dan mengevaluasi sisi-sisi
pendidikan yang kurang. Secara spesifik problem internal yang kerap dihadapi
guru di antaranya:
1. Masih banyak guru di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajar tidak
membuat perangkat pembelajaran (RPP) sebelumnya.
2. Tidak mampu mengintegrasikan materi dalam SK dan KD yang diajarkan,
sehingga pembelajaran kurang menarik bagi siswa karena hanya
menggunakan satu pendekatan (mono approach) dan metode pembelajaran.
3. Terjadi ketimpangan kesejahteraan yang sangat signifikan antara guru PNS
dengan guru honor yang membuat kecemburuan sosial.
4. Niat yang luntur akibat minimnya kesejahteraan yang diterima oleh guru,
terutama guru tidak tetap atau guru honor. Dengan pendapatan minim,
mereka kurang antusias dalam mengajar, sehingga kurang menikmati
profesinya yang membuat mereka jadi tidak profesional.
5. Kelebihan beban mengajar akibat minimnya jumlah guru, terutama guru-guru
di daerah tertinggal. Mereka juga banyak yang belum memenuhi kualifikasi
standar sebagai seorang pendidik dan mengajar bukan di bidang keahliannya.
Selanjutnya, pemerintah sebagai decision maker dan LPTK sebagai lembaga
pencetak guru juga memiliki problem yang belum terselesaikan, di antaranya:
1. Tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akibat
kepentingan politik dan golongan sekelompok elit penguasa.
2. Begitu menjamurnya lembaga pendidikan guru tanpa kualitas yang dibuka
setiap tahun dan mendapatkan ijin pemerintah.
3. Kurangnya pengawasan oleh pemerintah terhadap LPTK yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Sehingga banyak ditemukan LPTK yang tidak
memenuhi syarat perundang-undangan, seperti meluluskan mahasiswa yang
belum waktunya dan belum layak menjadi calon guru.
4. Kurang selektifnya LPTK dalam menjaring mahasiswa, terutama LPTK
yang ada di daerah-daerah yang hanya mementingkan kuantitas dari pada
kualitas calon mahasiswanya.
5. Minimnya SDM dosen di LPTK setingkat doktor dan guru besar (profesor)
yang berkontribusi dalam meningkatkan research and development.
6. Pola pendidikan guru yang instan yang tidak sesuai dengan prosedur dan
perundang-undangan. Banyak LPTK yang meluluskan mahasiswanya tanpa
melalui tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat) yang benar dan sesuai kurikulum pendidikan tinggi.
Cendekia Vol. 14 No. 1, Januari - Juni 2016 69
DAFTAR PUSTAKA
Seo, Yohanes, “20 Ribu Guru di NTT Masih Berijazah SMA”, Tempo, 05 Mei
2015. http://www.nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/Ribu-Guru-
di-NTT-Masih-Berijazah-SMA. Diakses pada 20 Mei 2015.
Sutisna, Nanung, “Nasib 6.000 Guru Honorer di Purwakarta Tidak Jelas”, Tempo,
05 Mei 2015. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/05/058663608/
nasib-6-000-guru-honorer-di-purwakarta-tidak-jelas. Diakses pada 20
Mei 2015.
Sutopo Hadi, Bambang, “DIKTI: Jumlah Jurnal Terakreditasi Perlu Di-
tingkatkan”, Koran Sindo, 10 Maret 2015, http://www.koransindo.com/
read/974440/ 149/beri-beasiswa-kemenag-target-5-000-doktor-1425959
258. Diakses pada 18 Mei 2015.
Tajuk Sindo, “Krisis Dosen”, Koran Sindo, 02 Februari 2015, http://nasional.
sindonews.com/read/958755/16/krisis-dosen-1422847912. Diakses pada
4 April 2015.
Tarigan, Mitra, “Baru dibentuk Apa Tugas Direktorat Jenderal Guru?”, Tempo, 08
Pebruari 2015, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/08/0796408
43/Baru-Dibentuk-Apa-Tugas-Direktorat-Jenderal-Guru. Diakses pada
20 Mei 2015.
Universitas Islam Negeri, http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_negeri.
Diakses pada 5 April 2015.
Utomo, Said Dian, “Potret Pendidikan diperbatasan Kalimantan”, dalam http://
pattiro.org/?p=4143. Diakses pada 7 April 2015.
Vol 2, No. 1 (2017)
PROFESIONALISME GURU
DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
Yusutria
Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Sumatera Barat
Jl. Gunung Pangilun Padang Sumatera Barat.
Email: yusutriayusut@ymail.com
Submitted :13-10-2016, Reviewed:23-11-2016, Accepted:20-04-2015
http://dx.doi.org/10.22216/jcc.2017.v2i1.1472
ABSTRACT
Competition in various life both in the field of science and technology is influenced by the quality
of human resources (HR). HR Quality is determined by the quality and level of education. The
quality of education is low causing low quality of human resources; the higher the education
level, the higher the quality of human resources that will affect the way of thinking, reasoning,
insight, breadth and depth of knowledge. The goal is to mengetahuan definition of
professionalism, factors affecting the professional teachers and professional competence of
teachers. Improving the quality of human resources, conducted by the path of qualification,
competence and certification of educators. The professionalism of teachers is reflected in the
implementation of the tasks that are marked with expertise both in material and methods. The
figure indicated by the teacher's professional responsibility to perform the entire devotion.
Professionals should be able to assume and carry out the responsibility as a teacher to the
students, parents, community, nation state, and religion. Teacher professional social
responsibility, intellectual, moral, and spiritual.
Keywords: professionalism; improve human resources;
ABSTRAK
Persaingan dalam berbagai kehidupan baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM ditentukan oleh mutu dan
tingkat pendidikan. Kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan kualitas SDM rendah; makin
tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi pula kualitas SDM yang akan berpengaruh
terhadap cara pikir, nalar, wawasan, keluasan dan kedalaman pengetahuan. Tujuannya untuk
mengetahuan definisi profesionalisme, faktor yang mempengaruhi guru profesional serta
kompetensi guru profesional.Meningkatkan kualitas SDM, dilakukan dengan jalur kualifikasi,
kompetensi dan sertifikasi pendidik. Profesionalisme guru tercermin pada pelaksanaan tugas
yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Sosok profesional guru
ditunjukkan melalui tanggung jawab dalam melaksanakan seluruh pengabdian. Profesional
hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta
didik, orang tua, masyarakat, bangsa negara, dan agamanya. Guru professional mempunyai
tanggung jawab sosial, intelektual, moral, dan spiritual.
Kata kunci: profesionalisme, meningkatkan, sumber daya manusia.
ranah rasa);kecakapan psikomotor (kecakapan profesionalitas para calon guru yang siap
ranahkarsa). pakai Profesionalisme menekankan kepada
Kompetensi yang diperlukan guru,yakni penguasaan ilmu pengetahuan atau
kompetensi kepribadian (Syah, 2011). kemampuan manajemen beserta strategi
Profesionalisme guru memiliki posisi sentral penerapannya.
dan strategis, karena semua posisinya Profesionalisme bukan sekadar
menuntut agar pendidikan dilaksanakan secara pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi
profesional. Profesionalisme guru sering lebih merupakan sikap, pengembangan
dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup profesionalisme lebih dari seorang teknisi
penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi bukan hanya memiliki keterampilan yang
guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
faktor tersebut, disinyalir berkaitan erat dipersyaratkan.(Kasful Anwar. Us.2015. 105).
dengan maju-mundurnya kualitas pendidikan Guru yang professional tidak hanya
di Indonesia.Jadi Guru profesional adalah guru dituntut untuk menguasai materi pembelajaran
yang menyadari bahwa dirinyaterpanggil tetapi juga harus menguasai seluruh aspek
untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam yang ada dalam pembelajaran, karena
belajar. Pemahaman profesional dilihat dari pembelajaran yang bermakna adalah
dua dimensi, yaitu peningkatan status dan pembelajaran yang melibatkan peserta didik
peningkatan kemampuan praktis harus sejalan dan mencakup semua ranah pembelajaran,
dengan tuntutan tugas yang diemban sebagai seperti aspek kognitif (berfikir), aspek affektif
guru. (prilaku) dan aspek psikomotor
(keterampilan). (Nur’aeni Asmarani: 2014.
2. Faktor yang Mempengaruhi Guru 504).
Profesional Profesionalisme guru dapat dilakukan;
Profesionalitas sebagai penunjang pertama; dengan memahami tuntutan standar
kelancaran guru dalam melaksanakan profesi yang ada. Kedua; mencapai kualifikasi
tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor dan kompetensi yang dipersyaratkan. Ketiga;
besar yaitu faktor internal yang meliputi minat membangun hubungan kesejawatan yang baik
dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dan luas termasuk lewat organisasi profesi.
dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, Keempat; mengembangkan etos kerja atau
serta berbagai latihan yang dilakukan guru. budaya kerja yang mengutamakan pelayanan
(Kasful Anwar. Us. 2015.88). bermutu tinggi kepada konstituen.Kelima;
Untuk meningkatkan mutu guru perlu mengadopsi inovasi atau mengembangkan
adanya kebijakan meningkatkan mutu kreativitas dalam pemamfaatan teknologi
pendidikan guru, di antaranya meningkatkan komunikasi dan informasi mutakhir agar
jenjang pendidikan S1/S2/S3 dan program senantiasi tidak ketinggalan dalam
penyetaraan serta berbagai pelatihan dan kemampuannya mengelola pelajaran.
penataran untuk meningkatkan kualitas (Muhson: 2014. 97).
kompetensi dan profesionalitas guru. Misalnya Guru yang profesional bisa dipengaruhi
PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG oleh: (1) Jenjang pendidikan, (2). Pelatihan
(Kelompok Kerja Guru) dan Persatuan Guru dan program penyetaraan serta berbagai
Republik Indonesia (PGRI) atau lembaga penataran yang diikuti, (3). Membangun
pendidikan tinggi yang mendidik para calon hubungan kesejawatan yang baik dan luas, (4).
guru dengan merancang kurikulum yang Mengembangkan etos kerja yang
mampu membangun kompetensi dan mengutamakan pelayanan bermutu tinggi
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 42
Vol 2, No. 1 (2017)
Pendidikan pra-jabatan para guru; (2) belajar untuk mencapai sukses yang sama atau
Sertifikasi atau ijazah para guru;(3) bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui
Pengerahan atau rekruitmen dan penempatan networking inilah guru memperoleh akses
para guru;(4) Kondisi kerja para guru, seperti terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya
besarnya kelas, jumlah jam, fasilitas dan akses sosial yang lainnya.
pendukung diperhatikan;(5) Gaji guru yang Keempat, mengembangkan etos kerja
tinggi dan menarikminat kaum muda. atau budaya kerja yang mengutamakan
(Wijanarti. 2016: 209). pelayanan bermutu tinggi kepada pengguna
Dengan adanya tuntutan untuk pendidikan, merupakan suatu keharusan di era
peningkatan kualitas profesionalisme guru, reformasi pendidikan sekarang ini.Artinya,
maka guru harus selalu berusaha melakukan semua sektor dan bidang dituntut memberikan
hal-hal sebagai berikut: pelayanan prima kepada kastemer atau
Pertama, memahami tuntutan standar pengguna. Maka, Guru pun harus memberikan
profesi yang ada, yaitu guru berupaya pelayanan prima kepada pengguna yaitu
memahami tuntutan standar profesi yang ada siswa, orangtua dan sekolah sebagai
dan ditempatkan sebagai prioritas utama jika stakeholder. Terlebih lagi pelayanan
guru ingin meningkatkan profesionalisme. Hal pendidikan adalah termasuk pelayanan publik
ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu vang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan
(1) persaingan global sekarang memungkinkan untuk kepentingan publik.Dengan demikian,
adanya mobilitas guru secara lintas negara, (2) guru harus mempertanggungjawabkan
sebagai profesional seorang guru harus pelaksanaan tugasnya kepada publik.
mengikuti tuntutan perkembangan profesi Kelima, mengadopsi inovasi atau
secara global, dan tuntutan masyarakat yang mengembangkan kreativitas dalam
menghendaki pelayanan yang lebih baik, (3) pemanfaatan teknologi komunikasi dan
untuk memenuhi standar profesi ini, guru informasi mutakhir agar guru senantiasa tidak
harus belajar secara terus menerus sepanjang ketinggalan tidak “gaptek” (gagap teknologi)
hayat, (4) guru harus membuka diri, mau dalam kemampuan mengelola pembelajaran.
mendengar dan melihat perkembangan baru di Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide
bidangnya. baru bidang teknologi pendidikan seperti
Kedua mencapai kualifikasi dan media presentasi dengan menggunakan LCD
kompetensi yang dipersyaratkan, artinya dan komputer (hard technologies) dan juga
upaya untuk mencapai kualifikasi dan pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi
kompetensi yang dipersyaratkan bagi pendidikan (soft technologies) (Purwanto,
guru.Maka, dengan dipenuhinya kualifikasi http://www.pustekkom.com), menggunakan
dan kompetensi yang memadai, guru memiliki internet sebagai media pembelajaran. Sebab,
posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat perkembangan teknologi “informasi dan
yang dibutuhkan. internet” merupakan faktor pendukung utama
Ketiga, membangun hubungan percepatan yang memungkinkan tembusanya
kesejawatan yang baik dan luas termasuk batas-batas dimensi ruang dan waktu yang
lewat organisasi profesi.Upaya membangun tentu juga akanberpengaruh pada paradigma
hubungan kesejawatan yang baik dan luas pendidikan termasuk profesi guru dalam
dapat dilakukan guru dengan membina menjalankan tugasnya. (Sanaky: 2005).
jaringan kerja atau networking. Guru harus Peningkatan kualitas profesionalisme
berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan guru, guru harus memahami tuntutan standar
oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa profesi yang ada, mencapai kualifikasi dan
Jurnal Curricula Kopertis Wilayah X 44
Vol 2, No. 1 (2017)
Abstrak
Guru memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai seorang
yang harus digugu dan ditiru. Tugas dan tanggung jawab
guru tersebut berkembang seiring dengan perjalanan waktu.
Jenis kemampuan yang idealnya dikuasai oleh guru tersirat
pada Kode Etik guru. Jenis kemampuan ideal tersebut dapat
diklarifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: Kemampuan
membantu siswa belajar efesien dan efektif mencapai hasil
optimal, Kemampuan menjadi penghubung kebudayaan
masyarakat yang aktif-kreatif dan Kemampuan menjadi
pendukung pengelolaan program kegiatan sekolah dan
profesi.
A. PENDAHULUAN
Guru (dalam bahasa Jawa) adalah seorang yang harus digugu
dan harus ditiru oleh semua muridnya. Digugu berarti segala sesuatu
yang disampaikan guru senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai
kebenaran oleh semua murid. Segala ilmu pengetahuan yang
disampaikan sang guru dijadikan sebagai sebuah kebenaranyang tidak
perlu dibuktikan atau diteliti lagi. Seorang guru juga harus ditiru,
artinya seorang guru menjadi suri teladan bagi semua muridnya.
Mulai cara berfikir, cara bicara hingga cara berperilaku sehari-hari.
Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru seorang dengan
sendirinya memiliki peran yang luar biasa dominanya bagi murid.
Sampai saat ini masih terjadi kekurangan guru di Indonesia.
Pada tahun 1980 terdapat kekurangan guru SMP sebanyak 81.848
orang, dan guru SMA sebanyak 24.778 orang. Kekurangan jumlah
guru bertambah besar bila dihitung berdasarkan persyaratan minimal,
yang diharuskan saat ini. Pada tahap sekarang prioritas utama
diletakkan pada pemerataan dan peningkatan profesi guru lebih
B. PEMBAHASAN
1. Profesi Guru
Profesi adalah suatu jabatan/pekerjaan yang biasanya
memerlukan persiapan dan keahlian dan biasanya memiliki kode etk
profesi. World Confederation of Organization of Teaching Profession
(WCOTP) merumuskan ciri-ciri suatu profesi sebagai berikut: 1)
Suatu profesi adalah suatu pekerjaan/jabatan atau panggilan jiwa.
Profesi tidak saja menuntut kemampuan akademis atau keahlian,
tetapi juga pengabdian. Profesi tidak hanya merupakan pekerjaan yang
2. Peranan Guru
Status dan peranan mempunyai hubungan yang sangat erat
sekali. Status guru menggambarkan kedudukan guru dalam
4. Penghasilan Guru
Gaji guru Negeri terdiri atas gaji pokok dan tunjangan. Hal ini
diatur oleh peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (P.P No. 7 Tahun
1977-LN Tahun 1977 No. 11 tan TLN No. 3098). Dalam Peraturan
tersebut, Pasal 4 dinyatakan: “Kepada Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat menurut Peraturan Pemerintah ini, diberikan gaji pokok
berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat itu
sebagaimana tersebut dalam daftar Lampiran II Peraturan Pemerintah
ini.” Berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut
dan KEP.PRES. R. I. No. 15 Tahun 1977 (Pemberian Tunjangan
Jabatan Bagi Pegawai Negeri tertentu di Bidang Pendidikan) dapat
disimpulkan bahwa:
a. Guru SD dan SL Negeri tidak berhak menerima tunjangan struktur
ataupun tunjangan jabatan seperti yang diatur dalam
KEP.PRES.No. 15 dan No. 16 Dosen, Pengawas/penilik dan
Kepala Sekolah mendapatkan tunjangan jabatan sesuai dengan
kepangkatannya.
b. Jenis tunjangan yang diberikan kepada guru SD dan SL adalah
tunjangan:
(1) Keluarga, yamg terdiri atas tunjangan suami/istri sebesar 5%
dari gaji pokok, dan tunjangan anak maksimum tiga orang
anak yang berusia di bawah 18 Tahun, sebesar 2% untuk
setiap anak.
(2) Pangan, yang diatur oleh Menteri Keuangan setelah
mendengar Kepala Badan Administrasi Negara
(3) Lainnya apabila alasan-alasan yang kuat.
C. PENUTUP
Uraian diatas menunjukkan bahwa profesi guru di Indonesia
mengandung berbagai masalah dan perlu pemecahan oleh berbagai
pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Kalau
demikian halnya, bagaimanakah masa depan profesi guru di
Indonesia?
Ada berbagai faktor ekstern yang positif membantu terhadap
kelangsungan hidup profesi guru. Faktor-faktor tersebut antara lain
yaitu:
DAFTAR PUSTAKA
Sanusi, Ahmad. (1990). Profesionalisasi dalam pengelolaan
Pendidikan Nasional. Jakarta: Makalah Seminar
Wijaya, Cece dan A. Tabrani (1994). Kemampuan Dasar Guru Dalam
Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
i
Dr (C) Oding Supriadi, M.Pd adalah Dosen STKIP Yasika
Majalengka - Jawa Barat
Zamakhsari
Staf UIN Sunan Kalijaga, sedang menyelesaikan studi pada Program Doktor
Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstract
Pendahuluan
Duni a senantiasa berubah yang membawa implikasi perubahan pada semua aspek,
tak tcrkecuali pendidikan. Sekolah/madrasah adalah tempat yang musih sangat diyakini
oleh sebagian besar masyarakai sebagai tempat transformasi nilai, pengetahuan, dan
keterampilan yang tentunya tems ikut rnengalami perubahan. Lembaga sekolah agar tidak
tertinggal, mau tidak mail harus maju menyelaraskan dengan dinamika lingkungan dunia.
Jika sekolah tidak mampu -dikatakan sekoiah tidak bermutu- maka tinggal menunggu
waktu akan ditinggalkan oleh masyarakat sebagai pelanggan.
Di sisi lain, tidak ada seorangpun yang dapat menegaskan bahwa pendidikan yang
selama ini kita laksanakan telah berhasil. Berbagai indikator dapat dijadikan rujukan betapa
pendidikan kita belum mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Secara kuantitatif,
misalnya, Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNESCO pertahunnya,
kita selalu berada urutan di bawah 100. HDI Indonesia tahun 2007, misalnya, menempati
posisi 107, jauh di bawah negara tetangga, Malaysia - yang tahun 70-an sampai dengan
awal tahun 80-an merupakan 'anak didik' kita, sekarang kita yang menjadi anak didiknya.
Sampai tahun 2007, tidak kurang dari 14.000 mahasiswa kita belajar di Malaysia1 - di
urutan ke 63. Bandingkan juga dengan Singapura yang masuk dalam jajaran 25 besar
perolehan HDI. Negara kita mengungguli Papua Nugini pada posisi 145 dan Timor Leste
yang menduduki posisi 150.2 Tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat kita
bersekolah ke luar negeri
Selanjutnya, keterpurukan pendidikan kita tidak hanya ditunjukkan dengan perolehan
angka secara kuantitatif, namun juga secara kualitas kegagalan pendidikan kita tampak
pada aspek afektif dengan maraknya kenakalan dan kejahatan remaja, pergaulan bebas,
pomografi dan pornoaksi yang menambah buram potret pendidikan kita. Selain itu, peristi wa
kekerasan dalam masyarakat kita terjadi karena kekurangdewasaan bangsa kita dalam
menyikapi sesuatu hal yang berakhir dengan konflik yang merugikan semua pihak.
Bukankah tujuan utama pendidikan adalah mencapai kedewasaan diri?
Tenaga kerja kita tidak mendapat tempat terhormat di kawasan wilayah dunia, Asia,
bahkan tingkat Asia Tenggara. Lulusan lembaga pendidikan kita kurang mampu bersaing
dalam dunia kerja. Tenaga kerja kita berlimpah, namun hanya mampu berperan dalam
level buruh alias TKI (Tenaga Kerja Indonesia), bukan kelas manajer, dan karena mereka
tidak memlliki ji wa entrepeneurship. Data Migrant Care sampai tahun 2006, terdapat 6,9
juta orang Indonesai yang menjadi TKI.3 Karena, pendidikan kita tidak memberikan apa
yang seharusnya diperoleh oleh peserta pendidikan. Dengan tidak mengecilkan peran
buruh, pekerjaan buruh tidak memerlukan kompetensi akademik yang tinggi. Sejak 1 Januari
2003, kita telah berada pada era bebas baik dalam perdagangan maupun tenaga kerja
dengan diberlakukannya AFLA (Asean Free Labour Area) dan AFTA (Asean Free Trade
Area) yang menuntut kepemilikan kompetensi yang mampu bersaing dengan negara-negara
di wilayah regional Asean.
Pencapaian kesejahteraan suatu bangsa dalam bidang apapun tidak dapat melepaskan
diri dari peran pendidikan. Pendidikan adalah upayaperubahan. Pendidikan dengan segala
bentuknya, masih menjadi pilihan paling dominan sebagian besar kalangan untuk
mengentaskan diri. Kepercayaan besar masyarakat ini harus diimbangi dengan upaya
perbaikan si stein pendidikan.
Kondisi Guru
Pcndidi kan sebagai suatu sistem berarti setiap bagian-bagianny a saling menyesuaikan,
saling menunjang, dan saling memperkuat. Pendidikan dapat dipandang dengan model
input - proses - output. Dalam proses pendidikan terdapat berbagai komponen yang
menumt Coombs dalam Bamadib4 terdapat 12 komponen yang perlu diperhatikan dalam
membahas masalah pendidikan, yaitu: (1) tujuan dan prioritas; (2) pesena didik; (3)
manajemen; (4) strukturdan jadual waktu; (5) isi dan bahan belajar; (6) guru; (7) alat
bantu belajar, (8) fasilitas; (9) tekhnologi; (10) pengawasan mutu; (11) peneliuan; dan (12)
biaya pendidikan. Pemecahan masalah terhadap berbagai persoalan pendidikan hendaknya
melibatkan berbagai komponen pendidikan di at as.
Guru adalah salah satu komponen sistem pendidikan. Fungsi guru akan terpenuhi
dengan baik bila guru memiliki kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru. Fasli Jala),
Dirjen Pendidikan Tinggi menyatakan hampir separuh dari 2,6 juta guru yang ada dianggap
belum layak merigajar. Kuali fikasi kompetensinya tidak memenuhi.5 Pernyataan di atas
diperkuat oleh Wardii nan Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan), dalam wawancara
di Televisi Pendidikan Indonesia tanggal 16 Agustus 2008, yang mengemukakan bahwa
hanya 43% guru yang memenuhi syarat.6Sisanya (57%), tidak atau belum memenuhi
syarat/tidak kompeten/tidak profcsional melaksanakan tugas sebagai guru. Kondisi tersebut
sangat ironis. Sangat wajar, pendidikan kita masih sangat jauh dari harapan dan kebutuhan
duniakeija.
Guru yang telah mendapatkan sertifikat guru profesional berarti telah memiliki bukd
formal sebagai pengakuari bahwa guru yang bersangkutan adalah tenaga profesional.7
Sertifikasi dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah proses
pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikasi adalah uji kompetensi yang
dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan
pemberian sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 61 UU tersebut disebutkan :"Sertifikat dapat berbentuk
ijazah dan sertifikat kompetensi". Sertifikat kompetensi ini diperoleh dari penyelenggara
pendidikan dan lembaga pelatihan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Selama ini, pemberian sertifikat gum profesional dilaksanakan melalui penilaian
ponofolio dan jalur pendidikan, yaitu melalui uji kompetensi. Mulai tahun 2009, pemerintah
menerdpkandanmengganti tatacarapenetapan sertifikasi guru tersebut menjadi kelulusan
Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dalam PPG ini terdiri dari Sertifikasi Prajabatan dan
Sertifikasi Dalam Jabatan. Harapannya adalah PPG akan memberikan kontribusi terhadap
perbaikan mutu pendidikan kita. Hal ini sesuai dengan tujuan unium PPG yaitu dalam
a. memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau
spesialisasi.
b. kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus) yang
dimiliki.
c. penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian yang dimiliki itu.
Dengan demikian, pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki keahlian
khusus dalam bidang keguruan sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara
maksimal.
Tolok ukur untuk menjadi guru profesional adalah memperoleh sertifikat guru
profesional dalam PPG PPG merupakan salah satu impelementasi adanya UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan
S1 Kependidikan dan S1/D-IV non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi
guru yang profesional serta memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar
nasional pendidikan dan dapat memperoleh sertifikat pendidik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.12PPG
menyediakan layanan pendidikan profesi bagi guru di tiap jenjang satuan pendidikan. Dengan
demikian terdapat perbedaan struktur kurikulum dan beban belajar guru pada tiap kelompok
jenjang pendidikan yang diikutinya.
TbjuanPPG
Tujuan umum PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor
20 Tahun 2003 yaitu:
"mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, akap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab".
Adapun tujuan khusus PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik pada pendidikan anak usiadini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta melakukan penelitian.13
Pendek kata, PPG bertujuan untuk menghasilkan guru yang kompeten dalam seluruh aspek
kegiatan pembelajaran.
Dasar Pelaksanaan PPG
1. UU Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2S
Pendidikan Profesi Guru: Harapan dan Tantangan
- [mil 2(W)
Zamakhsari
Selain harus memiliki SKLprofesional seharusnya tiap guru hams memiliki standar
mental, spiritual, intelektual, fisik, dan psikis sebagai berikut: "
1. Standar mental
Guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi
yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
2. Standar moral
Guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
3. Standar sosial
Guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan
masyarakat lingkungannya.
4. Standar spiritual
Guru harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan
dalam ibadah sehari-hari.
5. Standar intelektual
Guru harus memiliki pengetahuandanketerampilan yang memadaiagar dapat
melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
6. Standar fisik
Guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular
yang membahayakan diri, peserta didik, dan lingkungannya.
7. Standar psikis
Guru harus sehat rohani artinya tidak mengalami gangguan jiwa alau pun kelainan
yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesinya.
Apakah pemerintah telah memikirkan bagaimana ketujuh standar di atas dapat
terukur sebagai dasar penetapan sertifikasi guru secara komprehensif? Bisa jadi
seorang guru yang telah dinyatakan lulus PPG dengan segenap kompetensi profesio-
nal yang dimiliki, masih belum memiliki salah satu atau beberapa standar kompetensi
diatas.
2. Kemampuan awal peserta
Syarat akademis input PPG adalah semua sarjana S-l/D-IV kependidikan dan
non kependidikan yang tentunya memiliki latar belakang dan orientasi materi pelajaran
berbeda. Penyusunan kurikulum PPG harus melalui serangkaian analisa terhadap
kurikulum yang telah adapadajenjang pendidikan formal sebagai prasyarat mengikim
PPG, yaitu Pendidikan S1 Kependidikan dan Pendidikan S1/D-IV Non Kependidikan
dihubungkan dengan tujuan PPG. Hasil analisa seperti tercantum dalamTabel berikut:
. Vol X V , N o . 2 h | j n u , m - l u n i 201W
Zamakhsari
Tabel 1.
Analisa Perbandingan Kompetensi Lulusan S-1 Kependidikan dan S-l/D-IV
Non Kependidikan
Berdasarkan Tabel 1 di atas maka disusun kurikulum PPG yang sesuai untuk
kedua kelompok lulusan pendidikan dan non kependidikan yang tercantum pada Tabel
berikut:
Tabel 2.
Kerangka Kurikulutn Program PPG
Tabel 3.
Tingkat Satuan Pendidikan, Latar Belakang Pendidikan Peserta Didik PPG, dan
Beban Belajar dalam PPG
Latar Belakang Beban
No. Tingkat Satuan Pendidikan
Pendidikan Belajar
1. TK/RA/TKKh atau bentuk lain Sarjana (SI) atau D-IV 18-20SKS
yang sederajat Kependidikan untuk
TK/RA/TKKh atau bentuk
lain yang sederajat
2. SD/MI/SDKh atau bentuk lain Sarjana(Sl)atauD-IV 18-20SKS
yang sederajat Kependidikan untuk
SD/MI/SDKh atau bentuk
lain yang sederajat
3. TK/RA/TKKh atau bentuk lain Sarjana(Sl)atauD-IV 36-40 SKS
yang sederajat Kependidikan setain untuk
TK/RA/TKKh atau bentuk
lain yang sederajat
4. SD/MI/SDKh atau bentuk lain Sarjana(Sl)atauD-IV 36-40 SKS
yang sederajat Kependidikan untuk selain
SD/MI/SDKh atau bentuk
lain yang sederajat
5. TK/RA/TKKh atau bentuk lain Sarjana psikologi SI 36-40 SKS
yang sederajat
6. SMP/MTs/SMPKh atau bentuk Sarjana(Sl)atauD-IV 36-40 SKS
lain yang sederajat kependidikan maupun S 1
atau D-IV non kependidikan
7. SMA/MA/SMAKh/SMK/MAK Sarjana (SI) atau D-IV 36-40 SKS
atau bentuk lain yang sederajat kependidikan maupun S 1
atau D-IV non kependidikan
Sistem Pembelajaran
Dalam PPG digunakan prinsip-prinsip pembelajaran:l9
1. Belajar dengan berbuat (learning by doing)
Dengan konsep belajar "belajar dengan berbuat" diharapkan segala pemahaman
menjadi lebih baik untuk semuaaspek baik kognitif. atektif maupun psikomotorik.
peserta didik. Komunikasi dengan email, SMS, chatting, menghemat waktu, tenaga,
dan biaya yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas dan layanan. Namun,
diperlukan penanaman nilai-nilai kontrol terhadap pengaruh budaya global yang bersifat
merusak melalui pendidikan literacy technology. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalkan dampak negatif dari perkembangan teknologi itu sendiri bagi peserta
didik.
7. Pembelajaran kontekstual
PPG adalah kegiatan pembentukan dan pengembangan profesi guru Indonesia Dengan
demikian, segenap materi, kegiatan dan mediapembelajaran hendaknya berakar dan
bersumber pada keseharian yang akrab dengan nilai-nilai ke-indonesia-an. Misalnya,
kurikulum PPG untuk guru IPA hendaknya menampilkan IPA khas Indonesia dalam
rangka mencapai kompetensi penggunaan indikator alam untuk berbagai senyawa
asam dan basa. Indikator yang digunakan adalah berasal dari keanekaragaman tanaman
Indonesia, seperti: kunyit, temu lawak, kembang sepatu, dan lain sebagainya. Dengan
pembelajaran yang kontekstual akan mengarahkan peserta didik kepada pemanfaatan
potensi lokal dalam rangka mencapai pembelajaran bermakna. Demikian jugamisal
lain bagi guru IPS, Bahasa, dan yang lainnya.
Berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran PPG di atas, tidak ada yang menjelaskan
tentang model-model pembelajaran yang disarankan dalam proses pembelajaran. Padahal
kita diketahui bahwa kegiatan pembelajaran adalah kegiatan inti dalam kegiatan pendidikan.
Model pembelajaran yang dipilih sangat terkait dengan tujuan kegiatan pembelajaran. Dengan
demikian model pembelajaran diperlukan agar kegiatan terarah yang menghasilkan proses
pelaksanaan yang sempurna dan pembelajaran menjadi bermakna bagi murid, guru, dan
pihak lain yang berkepentingan.
Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangkakonseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu yang berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan
dan melaksanakan pembelajaran.22Dengan demikian, pembelajaran benar-benarmerupakan
kegiatan yang memiliki tujuan dan pelaksanaannya sistematis.
Di dalam model-model terdapat langkah-langkah yang seharusnya ada (sintaks) dan
dilakukan oleh guru. Hal ini tidak untuk mematikan kreativitas guru dalam mengajar. Namun,
langkah-langkah tersebut sebagai pedoman mengajar, yang di antara langkah-langkah
tersebut dapat dilakukan improvisasi oleh guru. Beberapa model pembelajaran yang
disarankan dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran bekerjasama (cooperative learning), dan pembelajaran
berbasis masalah (Problem Based Learning).2* Perbedaan di antara ketiga model tersebut
terdapat pada langkah-langkah pembelajaran.
Terdapat lima langkah penting yang hams dilakukan oleh guru dalain pembelajaran
langsung, yaitu: (1) penyampaian tujuan dan mengkondisikan murid; (2) presentasi bahan
ajar atau demonstrasi tentang keierampilan tertentu; (3) pembimbingan murid latihan; (4)
pengecekan pemahaman dan umpan balik; dan (5) Penerapan pengetahuan atau
keterampilan dalain dunia nyaia. Sedang dalam pembelajaran kooperatif terdapat enam
langkah utama, yaitu: (l)pcnyampaian tujuan dan motivasi murid; (2) penyajian informasi;
(3) Pengorganisasian murid-murid dalam kelompok-kelompok bclajar; (4) Pembimbingan
kelompok bekerjadan belajar;(5)Evaluasi; dan (6) Pemberian penghargaan. Dan dalam
pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima langkah utama, yaitu: (1) orientasi murid
kepada masalah; (2) pengorganisasikan murid unluk belajar, (3) pembi mbii igan penyelidikan
individu maupun kelompok; (4) pengembangan dan penyajian hasil karya; dan (5) anal isis
dan mcnge vai uasi proses pemecahan masalah.24
Jika dalam pembelajaran di PPG ddak diarahkan pada penggunaan tiga model di atas,
bagaimanakah seorang lulusan PPG mampu mengajarkan sesuai dengan yang diharapknn
oleh kuri kuluni yang sedang berlaku bila mereka belum pernah mendapat kan pengalaman
belajar mengenai model-model pembelajaran yang sesuai? Pemahaman tentang ketiga
model di atas sangat diperiukan agar diketahui apa, bagain lana, dan bila model di atas
hams diterapkan. Diperiukan role model yaitu tenaga pengajar sebagai contoh kongkrit
penerapan model pembelajaran yang ideal.
Selain itu model cooperative learning memiliki kepentingan dalam berupaya
membiasakan peserta didik bekerjadalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model ini tetap menggunakan penilaian kelas. Dengan menggunakan model ini, diberikan
bcntuk kelas sebagai miniatur masyarakat yang di dalamnya terdapat prinsi p-prins ip kerja
kelompok yang mengedepankan kerjasama, hormat-menghormati, dan Iain-lain. Untuk
model problem based learning dapat dilaksanakan dengan prinsip belajar sambil berbuat
dan higher order thingking.
penilaian secara berkelompok. Oleh karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada peserta
didik selama proses pembelajaran berlangsung harus dapat diukur dan dikuantifikasi dengan
cermat menggunakan alat penilaian yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran tertentu.
Penilaian kelas adalah penilaian internal (internal assessment) terhadap proses dan
hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh tenagapengajar/dosen untuk
menilai kompetensi peserta didik selama pembelajaran.26 Dengan demikian, tenaga pengajar
dituntut untuk melaksanakan penilaian secara terus menerus dan berkesinambungan agar
hasil penilaian benar-benar mencerminkan perubahan peserta didik baik kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Sangat tepat dilakukan penilaian produk dalam penilaian PPG Setiap peserta didik
diwajibkan menyusun perangkat pembelajaran dalamprofesional development berupa
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).1 Yang menjadi pertanyaan di sini adalah
siapakah yang menyusun silabus pembelajaran? Silabus adalah kurikulum/pedoman
pembelajaran yang dalam kurikulum berbasis kompetensi (sekarang disebut Kurikulum
Tmgkat Satuan Pendidikan/ KTSP) dibuat oleh guru sebagai kewenangan guru. Ketepatan
penilaian peserta didik juga dengan ditunjukkan tidak teori an sich, peserta didik wajib
menunjukkan kinerjanya dalam mengajar dan dalam kegiatan Program Pengalaman
Lapangan (PPL). Penilai tidak mesti dari kalangan lembaga PPG melainkan juga dari luar.
Hal ini menunjukkan tidak ada arogansi pihak PPG dalam mengklaim diri sebagai lembaga
pemegang mandat penuh keberadaan PPG Lembaga lain diberikan kesempatan melakukan
penilaian eksternal yang diharapkan terjadi sinkronisasi dan koreksi agar dihasilkan lulusan
yangberkualitas.
Tabel4
Beban Kerja PNS/Non PNS (37,5 jam / minggu)
Jenis Waka Sek/Kepala
Guru Kepala Sekolah
Jabatan Unit
PNS Tatap muka di kelas 24 Tatap muka 12 Tatap muka di kelas 6
jam/minggu, selain jam/minggu, selain jam/minggu, selain
tugas administratif tugas lambahan tugas manajerial dan
leadership, serta tugas-
tugas Iain.
Persoalan yang muncul di dunia pendidikan sekolah akhir-akhir ini adalah tidak
terpenuhinya batasan minimal jam mengajarsebanyak 24 jam/minggu. Padahal sebetulny a,
apabila para guru dan kepala sekolah dapat mengelola proses dan manajemen pembelajaran
dengan baik, persoalan ataupun keluhan kekurangan jam mengajar akan terselesaikan,
y aitu sal all satuny a dengan penerapan belaj ar tun tas bagi siswa- Yaitu, proses pembelajaran
yang mengedepankan tercapainya kompetensi minimal peserta didik. Artinya, bagi siswa
yang belum memenuhi kompetensi perlu diadakan tambahan pelajaran (non kurikuler),
yang pada akhirnya secara alamiah, siswa yang memenuhi standar kompetensi dapat
cepat menyelesaikan jenjang pendidikanya, dan yang belum memenuhi standar kompetensi
mengikuti program remediasi. Apabila itu dapat dilakukan, maka sistem SKS di sekolah
akan berjalan dengan sendirinya. Tetapi, beranikah para lulusan PPG atapun guru yang
bersertifikatprofesional memulainya?
Penutup
Keberhasilan PPG sangat tergantung pada kecermatan penyusunan kurikulum PPG
Berdasarkan pengamatan terhadap kurikulum PPG aspek struktur kurikulum, sistem
pembel a j aran, dan peni lai an peserta didik disimpulkan bahwa kurikulum telah dibuai dengan
sebaik-baiknya dengan mendasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi yang
mengantisipasi tuntutan kompetensi yang mampu bersaing di era globalisasi dengan tidak
melupakan konteks ke-indonesia-an. Konsep kurikulum berbasis kompetensi berimpli kasi
pada sistem pembelajaran yang mengedepankan pencapaian kompetensi yang telah
ditetapkan dan penilaian kelas. Dengan penilaian kelas akan dihasilkan guru yang matang
dalam aspek kompetensi akademik dan profesi secarapribadi. Namun, perlu mendapal
sorotan pada sistem pembelajaran yang kurang mengedepankan model pembelajaran
colaborative learning dengan sistem belajar bersama dalam rangka mencapai kompetensi.
Bila colaborative learning ini diterapkan akan menghasilkan guru yang mampu
bekerjasama dan saling menghargai perbedaan. Penerapan model ini tidak akan mengurangi
kualitas guru secara individu, karena penilaian beracuan patokan dengan menetapkan
standar minimal kelulusan.
Selain itu, lulusan PPG yang dinyatakan berhak menganlongi sertifikat gum profesional
adalah alumni yang memiliki kompetensi profesional. Namun, masih terdapat kompetensi
standar lain yang harus dimiliki dan penting keberadaannya pada tiap guru profesional.
Masih perlu dipikirkan cara untuk menguji kompetensi lain (tujuh kompetensi guru menurut
Mulyasa) agar terukur dan dapat dimiliki guru melalui serangkaian pengujian/sertifikasi.
Sebagai program baru, PPG belum teruji, namun dengan kurikulum yang dirancang
dengan baik dengan memperhatikan kebutuhan lokal, regional, dan internasional maka
diharapkan PPG dapat mencapai tujuan menghasilkan guru profesional yang mampu
mewujudkan tujuan nasional pendidikan. Tantangan yang dihadapi PPG adalah tantangan
dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam terkait dengan konsistensi PPG dalam
menjalankan fungsi sebagai lembaga yang menghasilkan guru profesional dan harmonisasi
lembaga PPG sebagai suatu sistem dengan sistem lain. Sedangkan tantangan dari luar
adalah seberapa besar respons positif yang diberikan oleh masyarakat terhadap keberadaan
PPG
Catalan Akhir
1
Harjanto Prabowo, (2009), Encapsulation in University: Creating Sustianable Competitive
Adventage through Information and Communication Technology and Knowledge Management,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Manajemen Sistem Informasi, Universitas Bina Nusantara Jakarta,
25 Marct 2009.
2
Wikipedia, List of countries by human development index, diakses 12 Juni 2008.
3
Ciputra, Ciputra Quantum Leap: Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Anda dan
Masa Depan bangsa, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2008, hal. 35.
* Barnadib, Imam dan Sutari Imam Barnadib, 1995. Beberapa Aspek Substansial Hmu
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Andi, hal. 47.
3
http://pakzam.blogguru.net/2QQ9/Q2/01/pendidikan-profesi-guru-pendidikan-lebih hermutu/
. diakses 29 Maret 2009.
6
www. pgririau.org/teroka.php. diakses 9 Mei 2009.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Ayat 12.
8
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
9
Pendidikan Profesi Guru Ancam Program Akta IV, Suara Merdeka, Selasa 24 Januari 2006.
10
Moh. Uzer Usman, 2007, Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
hal. 14
11
Wardiman Djojonegoro d alam Guru Sebagai Profesi (Draf 7 Februari 2005), Departemen
Pendidikan Nasional, it, hal. 9.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat
Ketenagaan, Draft Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan.hzL 1.
13
Ibid, hal. 2.
u
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hal. 121-141.
15
Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, hal. 5.
16
Moh. Uzer Usman, op.cit, hal. 9.
17
Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Senifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008, hal. 28.
18
Panduan Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan, hal. 9.
19
Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia (Membedah Metode dan Teknik Pendidikan
Berbasis Kompetensi), Yogyakarta: Ar-Ruz, 2005, hal. 66.
20
Udin, Saripudin, W. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk
Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992, hal. 109-110.
21
Didang Setiawan, dkk, Model-model Pembelajaran. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agania RI, 2006. hal. 87.
22
Ibid, hal. 93.
2J
Ibid, hal. 15.
24
Panduan Penilaian Kelas untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta : Depdiknas, 2006,
hal. 44.
25
Panduan Pendidikan Profesi Guni Prajabatan, hal. 10.
25
Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan, hal. 10.
Daftar Pustaka
Buku
Barnadib, Imam dan Sutari Imam Barnadib. (1995), Beberapa Aspek Substansial Ilmu
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Ciputra, (2008), Ciputra Quantum Leap: Entrepreneurship Mengubah Masa Depan
Anda dan Masa Depan bangsa,, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Departemen Pendidikan Nasional, (2007), Direktorat Jenderal Pendidikan Tmggi, Direktorat
Ketenagaan, Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Jakarta:
Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, (2006), Panduan Penilaian Kelas untuk Pendidikan
Dasar dan Menengah, Jakarta : Depdiknas,
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun
2008, Buku 5 Rambu-Rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru (PLPG), Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun
2008, Buku 6 Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru dalam
Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, (2008), Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun
2008, Buku 7 Rambu-Rambu Penyusunan Kurikulum Sertifikasi Guru
Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
Didang Setiawan, dkk, (2005), Model-model Pembelajaran, Jakarta : Pusdiklat Teknis
Keagamaan Departemen Agama.