Anda di halaman 1dari 8

ORANG LAUT / SUKU LAUT (PENGHUNI ASLI BATAM)

18 Mei 2012 pukul 9:09


Suku Laut merupakan suatu etnis atau suku bangsa yang terdapat di wilayah Kepulauan Riau.
Mereka hidup di atas perahu yang disebut Kajang dan selalu berpindah-pindah tergantung
kepada iklim dan musim.

Mereka bukan nelayan umumnya yang saat malam pergi melaut dan saat siang datang, pulang
kembali ke daratan. Mereka adalah nelayan yang 'pantang' pulang ke daratan. Setiap jengkal
hidup mereka habiskan di laut. Sejak fajar menyingsing hingga matahari menghilang di ujung
timur cakrawala. Mulai dari makan hingga minum. Mulai dari terbangun hingga terlelap.
Bahkan untuk bercinta dan melahirkan sekalipun, mereka lakukan di atas laut. Di dalam
sampan yang mereka namakan Kajang.

Seperti inilah Suku Laut menjalani hidup dan kehidupan. Di atas laut yang luas dan terbuka.

Bagi suku laut, laut telah menjadi takdir. Sesuatu yang sepertinya mutlak harus mereka
terima sebagai sebuah kehidupan. Hampir semua kehidupan mereka tak terpisahkan dari laut.
Air laut yang asin, anyir bangkai ikan, ombak, bakau, serta sinar matahari yang membakar
adalah sesuatu yang mereka telan setiap hari. Suku laut dan laut telah menjadi sebuah
kesetiaan. Tidak terpisahkan.

Dari laut lah Suku Laut mengais hidup. Saat malam bergerak naik, dan air laut mulai surut,
mereka mulai menyulut lampu petromak. Begitu lampu menyala terang, dengan hanya
berbekal dayung dan tombak, mereka bergerak menuju tengah lautan. Berburu sotong atau
cumi-cumi, Ikan Ribam, Nos, Pari atau jika beruntung bisa membawa pulang duyung.

SEJARAH SINGKAT SUKU LAUT & KOTA BATAM


Pulau Batam dimasa lalu

“Tidak banyak yang memberi catatan tentang Pulau Batam”. Demikian pengakuan
Pemerintah Kota Batam melalui buku profilnya.
Batam sempat di sebutkan pada Traktat London Tahun 1824. Dari naskah kuno milik Raja
Kamarudin, salah satu tokoh di wilayah Kampung Melayu Jodoh, di terangkan bahwa tokoh
penduduk Melayu sejak jaman raja-raja Kerajaan Riau, banyak yang menikah dengan orang-
orang bugis.

Orang bugis yang jiwanya pelaut dan perantau itu sering memakai Pulau Batam sebagai
Batang atau jembatan untuk melanjutkan perjalanan di lautnya. Mereka sering mengatakan
pulau itu sebagai pulau Batang, maka lambat laun penduduk asli mengatakan pulau Batam.
Sedangkan Riau merupakan asal kata dari riuh, yang artinya ramai. Pasalnya sejak aman
Kerajaan Melayu memang di kenal dengan riuh. Sayangnya naskah milik Raja
Kamarudin tidak bisa di selamatkan saat kebakaran yang memusnahkan Kampung Melayu.

Berikut catatan Naskah milik Raja Kamarudin.


Tahun 231 M, Pulau Batam telah duni suku laut. Suku laut adalah suku melay asli yang
mendiami pulau-pulau di selat Malaka dan Selat Singapore. Tahun 1300 M, Pulau Batam di
kuasai oleh Kerajaan Tumasik yang berada di Pulau Singapore sekarang. Pada masa Kerajaan
Malaka Berjaya,Pulau Batam dikuasai Kerajaan Malaka dengan pengawasan Laksamana
Hang Tuah. Setelah kerajaan Malaka jatuh, Pulau Batam di kuasai Laksamana Hang Nadim
yang berkedudukan di Pulau Bentan, atau sekarang Pulau Bintan.

Sepeninggal Hang Nadim, Pulau Batam di bawah pengaruh Sultan Johor. Sekitar tahun 1800
hadir Kerajaan Riau Lingga yang menguasai Kepulauan Riau termasuk Pulau Batam, yaitu
Yang Dipertuan Muda Riau sampai berakhirnya Kerajaan Melayu Riau yang berpusat di
Lingga berpisah dengan Kerajaan Johor, maka Yang Dipertuan Besar kemudian Kerajaan
Melayu Lingga Riau dimekarkan menjaid tiga kesultanan, yakni Kesultanan di Daek Lingga,
Kesultann Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan Tumenggung Abdul Jamal di Pulau
Bulang.
Kedatangan orang Belanda yang semula hanya berdagang pada akhirnya menjajah seluruh
Nusantara termasuk Pulau Batam dalam genggamannnya. Penjajah Belanda sering di rompak
di daerah Selat Malaka, diantara perompak itu adalah Laksamana Ladi, yang sreing sembunyi
di sungai. Sekarang sungai tempat persembunyiannya itu di sebut Sei Ladi yang kini telah
berubah menjadi Dam Sei Ladi.

Sejarah Singkat Suku Laut Batam

Orang menyebutnya Suku Laut karena suku ini hidup mengembara di laut serta memiliki ciri-
ciri yang khusus seperti melakukan aktivitas sehari-hari di atas perahu dan mengembara di
sepanjang perairan. Pada umumnya, Suku laut memiliki kebudayaan yang sama yang masih
sederhana, baik sosial maupun teknologi.

Kawasan yang mereka diami adalah, sepanjang perbatasan RI dengan Singapura, Malaysia
dan Vietnam, tepatnya pada 4º15-0º48’LS dan 103º10’BT - 109º00’BT. Maka secara
geografis mereka mendiami wilayah strategis yang merupakan silang pelayaran internasional
yang padat antara Selat Malaka, Selat Philip, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan.

Sebab itulah kehidupan mereka menarik perhatian. Karena Suku Laut yang berpindah-pindah
itu, kadang tanpa sengaja sering melintasi perbatasan tanpa jalur resmi. Sehingga tanpa sadar,
merekapun kadang-kadang sudah berdiam diperairan nagara lain, karena kehidupan di atas
perahu yang berpindah-pindah itu.

Diantara jenis mata pencaharian mereka yang utama adalah memancing, menangkap /
menombak ikan. Anak suku laut sejak berumur 12 tahun telah dapat menangkap ikan.
Mereka terlatih menombak ikan dengan tepat pada jarak 10 meter. Oleh karena itu, Laut
adalah ladang mereka yang sangat mengikat, dimana mereka hidup berkelompok untuk
mencari ikan dengan berpindah-pindah tempat dari satu pulau ke pulau lain, dan jarang
mendarat kecuali untuk mengambil air atau menjual ikan kepada “Tauke”.

Alasan mereka mencari tauke adalah untuk menjual hasil tangkapan ikan mereka, biasanya
dari tauke mereka mendapatkan beras, gula, baju-baju bekas dan kebutuhan lainnya sebagai
pengganti ikan yang di jualnya.

Yang lebih memprihatinkan adalah kehidupan suku laut yang masih di atas perahu itu
dilakukan di perahu yang berukuran relatif kecil 1,5 x 5 meter. Diatas perahu itulah semua
kehidupan mereka berlangsung. Tinggal, memasak nasi, mencuci, membakar ikan, tidur
sampai peresmian perkawinan pun dilangsungkan di atas perahu.

Secara fisik Suku Laut terkenal tangguh menghadapi tantangan badai di laut, karena
pengetahuan mengenai arah mata angin, cuaca, dan pasang surut laut di rabanya secara
tradisional dan naluriah. Namun demikian kehidupan sosial mereka tetap tidak berdaya
menghadapi belenggu kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan dari berbagai aspek
kehidupan.

Kepercayaan masyarakat suku laut terhadap hal-hal yang berbau mistik dan tahayul dianut
mereka, sehingga upacara tradisional yang bersifat ritual sering mereka lakukan, biasanya
dalam kampung mereka ada seorang yang memimpin yang disebut Kepala Suku. Kepala suku
inilah yang dapat menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh warganya.

Suku Laut : Ekonomi Dan Pendidikan Yang Tertinggal

Suku Laut, atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku yang menghuni Kepulauan Riau,
salah satu provinsi di barat pulau Sumatera. Istilah Orang Laut mencakup berbagai suku yang
bermukim di pulau-pulau dan muara sungai Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan
Batam, dan pesisir serta pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung
Malaya bagian selatan.

Kondisi kepulauan, Riau yang terdiri atas 96 % lautan sangat mendukung bagi sebagian besar
warga Suku Laut yang bekerja turun-temurun sebagai nelayan tradisional. Pekerjaan dengan
tingkat penghasilan relatif kecil ini sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat Suku
Laut dan berimbas pada tingkat kesejahteraan mereka yang memiliki persentase kemiskinan
mencapai 7,40% pada periode Maret 2011.
Sebagian besar masyarakat Suku Laut yang berjumlah sekitar 300 kepala keluarga belum
memiliki rumah permanen, ditambah penghasilan melaut yang tidak seberapa. Hasil
tangkapan terbanyak adalah Ikan Senangin yang harganya cukup mahal, sekitar Rp 23.000
per kilogram, dan Ikan Otek seharga Rp 5.000 per kg. Namun hanya sebagian nelayan yang
memiliki alat menangkap ikan dan jarring yang memadai serta mempunyai kemampuan
melaut yang mengikuti perkembangan zaman, sehingga hasil tangkapan yang didapat stagnan
dan tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dengan pengaruh minimnya
kesejahteraan ekonomi tersebut, anak-anak Suku Laut banyak yang terpaksa mengalami
putus sekolah karena tidak ada biaya. Banyak diantaranya yang bahkan tidak pernah
mengenyam pendidikan sama sekali, dan pada usia anak-anak harus bekerja layaknya orang
dewasa. Tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Kepulauan Riau tertinggi adalah di
tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan persentase 99.35 %. Pada tahun 2010 dan semakin
menurun saat mencapai tingkat SMA. Sangat jarang kita melihat anak-anak Suku Laut yang
berhasil membuka bisnis kecil-kecilan, menjadi guru maupun polisi. Menjadi Sarjana ataupun
Pejabat Pemerintahan pun rasanya jauh dari angan.

Pendidikan masyarakat nelayan suku laut masih sangat rendah, tidak banyak yang
mengenyam pendidikan sampai jenjang sekolah menengah atas, "Kebanyakan warganyai
hanya lulusan sekolah dasar, setelah itu langsung ikut orang tuanya melaut.

Nenek moyang ku seorang pelaut…

Namun sebenarnya, masyarakat Suku Laut memiliki potensi yang cukup besar untuk
mengangkat perekonomian dan pendidikan masyarakatnya. Secara geografis mereka
mendiami wilayah strategis yang merupakan silang pelayaran internasional yang padat antara
Selat Malaka, Selat Philip, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan.

Permasalahan Suku Laut adalah tidak mampu mengelola dan mendistribusikan hasil
tangkapannya, yang banyak dikelola oleh pihak penampung dengan harga murah. Ini
memprihatinkan dan membuat masyarakat Suku Laut menjadi semakin tertinggal.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi ini adalah diadakan upaya
peningkatan SDM Suku Laut, Bantuan permodalan untuk membeli perahu atau pompon, dan
konsentrasi pada pendidikan. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius bagi
Pemerintah pusat dan juga Pemda.

Indonesia di kenal sebagai negara maratim, berpulau-pulau, hingga mengapa sebutan nenek
moyangku seorang pelaut itu mungkin karena alat trasnportasi yang digunakan pada zaman
dahulu untuk berpindah dari suatu temapt ketempat lain dan segala aktifitas mereka selama
perjalanan yang lama itu mereka lakukan di atas sebuh kapal atau perahu, karena sebagian
besar kehidupan mereka dilakukan di atas kapal atau perahu maka mereka disebut seorang
pelaut. gitu kali ya?. ya kalau salah maaf ya, saya bukan orang sejarah.
namun saya tidak membahasa itu, kita akan membahas mengenai perjalanan suku laut,
mengarungi hidupnya.. kalao ada salah tolong di koreksi ya..
SUKU LAUT

Banyak istilah mengenai pengertian dari suku laut, ada yang mengatakan suku laut adalah
suatu kelompok masyarakat nelayan yang kehidupannya atau pekerjaannya mencari nafkah di
laut seperti halnya nelayan dan tinggal di pingir laut. namun ada juga yang mengatakan
bahwa suku laut adalah suatu kelompok masyarakat yang seluruh aktifitasnya di lakukan di
atas laut atau sungai, seperti memasak dan sebagainya.

Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai
Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Dari beberapa
potret mengenai suku laut, suku laut tidak hanya tergantung pada laut untuk mencari nafkah
namun juga segala kehidupan mereka tergantung dengan laut, bahkan beberapa potret
menunjukan bahwa perahu-perahu yang mereka gunakan memiki fungsi sebagai alat untuk
mencari nafkah dan tempat tinggal.

Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut", karena mereka
hidup berpindah-pindah di atas perahu. Mereka tidak mendiami suatu pulau sebagai
daerahnya, mereka selalu mengembara untuk hidup mencarai nafkah dimana laut
menyiadakan, walaupun demikian suku laut juga terkadang mampir kesuatu daratan untuk
bertahan dari badai dan cuaca laut yang buruk, ataupun hanya sekedar untuk menukar bahan
makanan yang mereka butuhkan.

Belakangan ini eksistensi suku Laut semakin terancam oleh desakan nelayan bermodal besar
dari berbagai daerah atau mancanegara yang memiliki teknologi modern. Mereka lebih gesit
mencari ikan karena menggunakan kapal besar yang dilengkapi radar pemantau ikan dan
navigasi canggih. Demi menangkap berton-ton ikan secara cepat, mereka tidak segan
menggunakan jaring pukat atau kunsi, dinamit, dan bahan kimia seperti putas. Akibatnya,
ekosistem laut semakin rusak dan banyak ikan yang masih kecil terbunuh sia-sia.
Hemm rasanya sayang sekali jika nyanyian nenek moyangku seorang pelaut tinggal nyanyian
saja, ketika nanti anak cucu kita mendapati suku laut tinggalah sebuah cerita zaman ayah atau
ibunya.

Perkampungan melayu di pesisir pulau batam sebahagian besar berasal dari keturunan suku
laut bugis

Hal unik mencari pasangan hidup orang suku laut.

Ada bebeapa permainan khas tradisi orang suku laut untuk mencari pasangan hidup.
1. Dalam hal mencari jodoh para wanita suku laut akan melakukan sebuah perlombaan
sampan atau perahu dengan calon pria pasangannya. Apabila calon pria kalah dari si wanita
maka pria tersebut gagal meninangnya.

2. Selain itu ada juga permainan pukul bantal yaitu sebuah permainan dimana sang wanita
harus menghindar dari pukulan bantal dari calon sang pria yang ditentukan 3 kali kesempatan
bagi wanita terkena pukulan.

Info :
Bagi orang suku laut kata " Bangkai " adalah sebutan untuk orang yang telah meninggal
dunia.

Semoga artikel ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita semua...


Terimakasih.

Suku (Orang) Laut

Suku (Orang) Laut adalah suku yang berada di pesisir sepanjang kepulauan Riau.
Beberapa sejarah mencatat bahwa suku Laut ini terbentuk dari lima periode
kekuasaan. yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-
Lingga, Belanda (1911—42), Jepang (1942—45), dan Republik Indonesia (1949
sampai sekarang) (Chou, 2003:25). Adapun yang mengatakan bahwa suku Laut ini
asalnya adalah para perompak yang memiliki pengaruh kuat pada masa kerajaan
Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor.

Peranan Suku (Orang) Laut


Suku Laut berperan untuk menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para
pedagang ke pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan
Johor, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut. Di Indonesia,
penyebutan suku bangsa ini biasa dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (sea people) atau
‘Suku Sampan’ (boat tribe/sampan tribe) yang juga terdapat pada wilayah psisir
lainnya. Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang
hidup di laut dan berpidah di kawasan Asia Tenggara, kita temukan beberapa
macam sebutan, seperti ‘sea nomads’, ‘sea folk’, ‘sea hunters and gatherers’
(Sopher, 1977; Chou, 2003:2; Lenhart, 2004:750), dan dalam bahasa Thai disebut
Cho Lai atau Chaw Talay (Granbom, 2005; Katanchaleekul, 2007). Meskipun
demikian, oleh orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai ‘Orang
Laut’ (Chou, 2003:2).

Keberadaan suku Laut dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh ajaran
Islam yang menyebar lewat lautan dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang
dianut oleh suku Laut sendiri masih keprecayaan Animisme, meskipun sebagian
yang lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan
nenek moyang.

Sulit untuk “mengadabkan” orang-orang suku Laut, orang-orang suku Laut


memandang bahwa daratan adalah tempat yang tak masuk akal bagi mereka.
Mereka menganggap daratan hanyalah tempat untuk menguburkan jenazah mereka,
sehingga daratan bagi mereka adalah kotor. Melihat fenomena terseut pemerintah
saat itu mencari akal agar masyarakat suku Laut pun mau berinteraksi dengan
daratan. Disebarnyalah beberapa orang untuk menyebarkan ajaran Islam pada
masyarakat suku Laut, menjelaskan bahwa tinggal di Laut sekalipun belum tentu
bersih dan malah mudah terkena najis, sehingga tidak bisa menjalankan ibadah
solat. Selain tiu dalam himbauannya juga orang-orang suku Laut akan diberi
bantuan oleh pemerintah berupa KTP, fasilitas rumah, pendidikan, perahu bermotor,
dan lain sebagainya.

Suku laut yang kita lihat berada pada wilayah pesisir Kepulauan Riau,
bersinggungan dengan daerah Melayu, membuat suku Laut sendiri dipengaruhi kuat
oleh bahasa Melayu. Bahkan suku Laut sendiri lebih fasih menggunakan bahasa
Melayu mereka dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini juga disebabkan oleh
interaksi masyarakat suku Laut yang lebih sering bersua dengan orang-orang
Melayu. Hidup berpindah-pindah juga menjadi salah satu faktor penggunaan bahasa
Indonesia yang tidak lancer.

Orang-orang suku Laut menganggap bahwa diri mereka adalah Melayu asli, mereka
pun menjaga betul garis keturunannya. Namun, hal ini ditentang oleh orang Melayu
pada umumnya (yang tinggal di darat). Orang Melayu sendiri membuat beberapa
catatan apa saja yang harus dilakukan oleh orang Melayu, maka tersebutlah
beberapa syarat, seperti: sunat (bagi laki-laki), tidak memakan babi dan menenggak
minuman beralkohol, menaati tata-cara Islam dalam pemakaman, mengucap dua
kalimat syahadat, kawin-cerai secara Islam, bersembayang lima waktu sehari secara
Islam, membangun masjid di lingkungan kampung/desa, solat pada dua hari raya
Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), solat Jumat, menjalani puasa di bulan Ramadan,
memberi zakat, dan bila mampu melaksanakan ibadah haji (Chou, 2003:28).
Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut tidak diyakini dan dijalani, maka mereka
bukanlah benar-benar orang Melayu.

Berdasarkan penolakan tersebut suku Laut pada akhirnya berada pada bagian
paling luar dari keturunan asli Melayu. Merasa diri sebagai orang Melayu, suku Laut
mengusung pola patrilineal atau garis keturunan ayah sebagai pola kekerabatan.
Mereka hidup di lautan, mereka lahir, kawin, dan mati di laut

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat suku Laut adalah nelayan. Hampir
semua orang di suku Laut melakukan aktivitas yang berkaitan dengan laut, baik
nelayan, memancing, dan lainnya. Bahkan kebiasaan warga suku Laut pada malam
hari adalah memancing.Warga suku Laut mempercayai bahwa memancing pada
tengah malam akan mendapatkan ikan lebih mudah, mereka memancing hanya
menggunakan perahu sederhana(getek) dan tombak. Jika mereka tidak
mendapatkan ikan mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek
tanpa selimut(sekadarnya).

Suku Laut adalah suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang mereka
dapatkan adalah apa yang mereka pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-mesin
canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang digunakan dalam menangkap
ikan. Saat pemerintah mencoba memasukan pendidikan pada anak suku Laut, ini
menjadi kerja keras para pengajar. Pasalnya sopan santun yang terbentuk di suku
Laut menjadi hal yang pertama kali mesti dibenhi, baru kemudian berhitung dan
lainnya.

Walau bagaimana pun juga, suku Laut menjadi satu dari keberagaman suku di
Indonesia. Dengan segala keunikan yang dimilikinya, suku Laut memberikan
pembelajaran tersendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai