Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN IMUNOSEROLOGI

TES WIDAL

a. Tujuan
Untuk mengetahui adanya antibodi spesifik dengan bakteri salmonella dan membantu diagnosis
demam typhoid

b. Metode
Metode yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah slide aglutinasi. Teknik aglutinasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan
dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit, tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji
hapusan

c. Prinsip
Adanya antibody Salmonella pada sampel serum akan bereaksi dengan antigen yang terdapat
pada reagen widal sehingga menyebabkan reaksi aglutinasi

d. Dasar teori
Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk batang.
Morfologi Salmonella typhosa berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi
mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2-4
mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar darah, koloninya besar
bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan
hemolisis. Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 - 41oC (suhu
pertumbuhan optimum 37 oC) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Salmonella sp. yang hanya
menginfeksi manusia, diantaranya S. typhii, S. paratyphi A, S. paratyphi C. Kelompok ini
termasuk agen yang menyebabkan demam tifoid dan paratifoid, yang menjadi penyebab sebagian
besar serangan salmonella. Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang menjadi masalah
kesehatan dunia. Demam tifoid terjadi baik di neg ara tropis maupun negara subtropis, terlebih
pada negara berkembang. Besarnya angka kejadian demam tifoid sulit ditentukan karena
mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang luas. Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap
daerah. Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan
WHO (2003), insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi
180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica, terutama serotype Salmonella
thypii (S. typhii). Bakteri ini termasuk kuman Gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora,
motil, berbentuk batang,berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O,
H dan Vi. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis yang timbul pada semua penderita
demam tifoid ini. Namun, pada anak manifestasi klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
bervariasi sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Untuk menentukan diagnosis pasti dari
penyakit ini diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman, uji serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan bahwa Demam typhoid memiliki masa inkubasi yang paling panjang,
menghasilkan suhu badan yang tertinggi, dan memiliki angka mortalitas yang tertinggi. S.
typhii dapat di isolasi dari darah dan kadang-kadang feses dan urin penderita yang menderita
demam enterik. Sindrom paratyphoid lebih lemah dibanding typhoid (Karsinah,1994).
Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis dan tes serologis
saja. Uji Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara
luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Widal adalah uji diagnosis serologi
untuk demam enterik yang ditemukan pada tahun 1896 oleh Georges Fernand Isidore
Widal. Reaksi aglutinasi ini menunjukkan adanya lipopolisakarida (LPS),somatik (O) dan
flagella (H) dari Salmonella thypii dalam serum dari pasien yang menggunakan suspensi O dan
H antigen. Kit komersil yang tersedia adalah untuk antigen Salmonella thypii para-A, B dan
C. Salah satu kelemahan utama dari uji widal adalah reaktivitas silang karena yang beberapa
bakteri lain yang memiliki genus sama sering menghasilkan hasil positif palsu, sehingga
hasil positif harus berkorelasi secara klinis sebelum meresepkan obat.Jadi, tes widal adalah
pilihan untuk demam tifoid terutama di daerah pedesaan (Aziz dan Haque, 2012).
Uji Widal ada dua macam yaitu uji Widal tabung yang membutuhkan waktu inkubasi
semalam dan uji Widal peluncuran yang hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja.
Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji Widal cara meluncurkan, karena merupakan uji
serologis yang cepat dan mudah dalam melaksanakannya. Sensitivitas dan terutama spesifisitas
tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji Widal
yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (lokal)
memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang secara bermakna lebih tinggi daripada bila dipakai
antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah endemis (impor) (Baron et al.,1994). Uji
Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang termasuk
Indonesia. Walaupun mempunyai banyak keterbatasan dan penafsiran uji Widal, untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid harus hati-hati karena beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaannya. Yaitu antara lain keadaan gizi, saat pemeriksaan,
pengobatan antibiotica yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis, vaksinasi,
penggunaan obat imunosupresif, reaksi silang serta teknik pemeriksaan (Pang et al.,1997).
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid masih kontroversial di antara para ahli
karena hasil yang berbeda-beda. Uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid
(94,3%), asalkan dapat diketahui titer antibodi di orang normal dan penderita demam nontifoid.
Pang dan Puthucheary mengatakan bahwa uji Widal masih merupakan pilihan cara yang praktis
sehubungan kesulitan dalam memeriksa bakteri di negara berkembang (Pang et al.,1997).
Hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau
aglutinin H dalam jangka waktu 5–7 hari bernilai diagnostik amat penting untuk demam tifoid.
Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada satu kali pemeriksaan Widal terutama
aglutinin H tidak memiliki arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Namun demikian,
masih dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid di penderita dewasa yang berasal
dari daerah nonendemik atau anak umur kurang dari 10 tahun dari daerah endemik. Sebab di
kelompok penderita ini kemungkinan terkena S.typhi dalam dosis subterinfeksi masih amat kecil.
Di orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemik
kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subterinfeksi lebih besar, sehingga uji Widal
dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu
dengan yang lainnya. Bergantung dari derajat endemisnya dan juga perbedaan keadaan antara
anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Uji Widal masih diperlukan untuk menunjang
diagnosis demam tifoid, ambang atas titer rujukannya baik anak maupun orang dewasa perlu
ditentukan. Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di lndonesia belum
terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegunaan uji Widal
untuk diagnosis demam tifoid bergantung prosedur yang digunakan di masing-masing rumah
sakit atau laboratorium. Uji Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin
O maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria tunggal
maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada aglutinin H (Handojo, I, 1982).
Antibodi (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum darah dan cairan
jaringan pada mamalia. Antibodi memiliki lebih dari satu tempat pengkombinasian antigen.
Kebanyakan antibodi makhluk hidup mempunyai 2 tempat pengkombinasian yang disebut
bivalen. Beberapa antibodi bivalen dapat membenuk beraneka antibodi yang mempunyai lebih
dari 10 tempat pengkombinasian antigen (Volk Wheeler, 1984).
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau organisme
multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibodi terhadapnya dan dengan
antibodi itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat antigenik dapat ditentukan oleh berat
molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis lainnya dalam familyEnterobacteriaceae mempunyai
beberapa jenis antigen, yaitu antigen O (somatik), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen)
(Volk Wheeler, 1984).
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya
terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam,
alkohol dan asam yang encer (Baronet al.,1994).
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur
kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa
Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian
alkohol atau asam (Baron et al.,1994).
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis
dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C,
dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier
(Baron et al.,1994).
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma
dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri
dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP,
terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi
untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada
suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa
peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52
kDa (Baron et al.,1994).
Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi
terhadap Salmonella thypii dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O, H, dan
Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka reaksi widal positif, berarti serum orang
tersebut mempunyai antibodi terhadap Salmonella thypii, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh
dari penyakit tipus ataupun sedang menderita tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki
antibodi terhadap Salmonella thypii (tidak terjadi aglutinasi). Berdasarkan hasil pengamatan pada
pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi berarti penderita tidak memiliki antibodi
terhadap Salmonella thypii(hasilnya negatif). Jika hasilnya positif terjadi adanya endapan pasir,
sedangkan jika hasilnya negatif maka tetap jernih. Adanya aglutinasi menandakan bahwa
penderita positif terinfeksi Salmonella thypii yang dapat dilihat Pada serum 20 μl, titer Ab + 1/80
= infeksi ringan (Volk and Wheeler, 1984).

e. Alat dan Bahan


No Alat Bahan
1 Objeck glass Serum
2 Pipet tetes Reagen antigen AH, CH, BO
3 centrifuge

f. Cara Kerja

Menyiapkan alat dan bahan

Meneteskan serum ditiga bagian slide

AH CH BO

Meneteskan antigen AH, CH, BO pada tiap bagian slide dan goyangkan selama 1 menit

AH CH BO
Memperhatikan terjadinya aglutinasi atau tidak pada serum

g. Hasil
- Salmonella H antigen group A = negatif
- Salmonella H antigen group C = negatif
- Salmonella O antigen group B = positif

h. Pembahasan
Praktikum kali ini adalah melakukan test widal yang merupakan salah satu test untuk
mendukung diagnosis terhadap infeksi bakteri Salmonella yang dapat menyebabkan demam
typhoid. Metode yang digunakan adalah metode slide aglutinasi, sampel berupa serum yang
berasal dari probandus bernama Ika Rahma Yulia. Serum tersebut ditetesi dengan
antigen Salmonella yaitu AH, CH, dan BO. Pada serum yang ditetesi antigen AH dan CH
menunjukkan hasil negatif ini menandakan tidak ada infeksi bakteri Salmonella untuk antigen
yang berada pada flagel Salmonella. Akan tetapi untuk antigen BO menunjukkan hasil positif
yang menandakan probandus pernah terinfeksi bakteriSalmonella. Hanya saja hasil positif
tersebut tidak didukung dengan pernyataan probandus bahwa pernah mengalami demam typhoid.
Hal tersebut mungkin terjadi karena ada kesalahan pada pra analitik, analitik, post analitik
maupun pada probandus sendiri yang mungkin tidak tahu pernah terinfeksi bakteri Salmonella.
Pada test widal sendiri memiliki beberapa kelemahan yaitu rendahnya sensitivitas dan
spesifitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil, akan tetapi uji widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid. Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan
karena belum ada kesepakata akan nilai standar aglutinasi. Beberapa hal yang sering disalah
artikan:
a. Pemeriksan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh, hal ini pengertian yang salah. Uji
widal hanya menunjukkan adanya antibody terhadap bakteri Salmonella.
hb. Pemeriksaan widal yang hilang setelah pengobatan dan menunjukkan hasil potf diangga
masih menderita tifus, hal ini juga pengertian yang salah. Setelah seseorag menderita tifus dan
mendapatakan pengobatan, hasil uji widal tetap postif untuk waktu yang lama sehingga uji widal
tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan.

i. Kesimpulan
Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan widal
menunjukkan hasil positif pada salmonella O antigen group B.

Anda mungkin juga menyukai