Anda di halaman 1dari 7

a.

Kekuatan Otot
Pemeriksaan kekuatan otot dengan metode leg strength test
Alat dan Bahan :
back-leg dynamometer.

Cara Kerja:
1) Subjek yang akan diperiksa dipersilahkan untuk melakukan
stretching(peregangan) dan pemanasan terlebih dahulu
2) Subjek berdiri diatas Back-leg dynamometer
3) Kedua tangan memegang bagian tengah tongkat pegangan Back-leg
dynamometer
4) Kedua tangan dan punggung lurus
5) Sedangkan lutut ditekuk mebuat sudut kurang lebih 110-120 derajat.
6) Setelah itu tarik tongkat pegangan keatas sekuat-kuatnya dengan meluruskan
lutut
7) Tumit tidak boleh diangkat
8) Dilakukan 3 kali, diambil hasil yang terbaik.
Gambar 4. Leg strength test dengan dynamometer

Tabel 7. Norma Penilaian Kekuatan Otot


Kategori Grip kiri Grip kanan Back Leg
Laki – Laki
Baik sekali >67 >69 >208 >240
Baik 56-67 62-69 177-208 214-240
Cukup 43-55 48-61 126-176 160-213
Kurang 39-42 41-47 91-125 137-159
Kurang sekali <39 <41 <91 <137
Perempuan
Baik sekali >36 >40 >110 >135
Baik 34-36 38-40 98-110 114-135
Cukup 22-33 25-37 52-97 66-113
Kurang 18-21 22-24 39-51 49-65
Kurang sekali <18 <22 <39 <49
(Sumber : Hayward Vivian, 1998)

b. Ketahanan Otot
Pemeriksaan ketahanan otot diukur menggunakan metode sit up 1 menit.
Alat dan Bahan :
1) Matras
2) Stopwatch

Cara Kerja:
1) Subyek berbaring di lantai menggunakan alas matras.
2) Kedua lutut dibengkokkan dan kedua kaki dirapatkan.
3) Kedua lengan berada di sisi kepala dengan jari – jari memegang telinga.
4) Kedua siku diarahkan untuk menyentuh lutut saat pengukuran.
5) Saat pengukuran, kedua siku menyentuh kedua lutut dan kembali ke posisi
berbaring dengan bahu menyentuh lantai (dianggap sebagai sit up lengkap).
6) Dilakukan selama 1 menit dengan menggunakan stop watch.
7) Jumlah sit up lengkap yang dapat dilakukan dalam 1 menit dicatat sebagai
hasil.
Gambar 5. Sit up 1 menit

Tabel 8. Norma tes sit up 1 menit


Kategori Umur (tahun)
15-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69
Laki – Laki
Baik sekali ≥ 48 ≥ 43 ≥ 36 ≥ 31 ≥ 26 ≥ 23
Baik 42-47 37-42 31-35 26-30 22-25 17-22
Cukup 38-41 33-36 27-30 22-25 18-21 12-16
Kurang 33-37 29-32 22-26 17-21 13-17 7-11
Kurang sekali ≤ 32 ≤ 28 ≤ 21 ≤ 16 ≤ 12 ≤6
Perempuan
Baik sekali ≥ 42 ≥ 36 ≥ 29 ≥ 25 ≥ 19 ≥ 16
Baik 36-41 31-35 24-28 20-24 12-18 12-15
Cukup 31-35 25-30 20-23 15-19 5-11 4-11
Kurang 27-30 21-24 15-19 7-14 3-4 2-3
Kurang sekali ≤ 26 ≤ 20 ≤ 14 ≤6 ≤2 ≤1
(Sumber : Nieman D, 1990)

c. Kesanggupan Kardiovaskuler (Ketahanan Jantung Paru)


Pengukuran Kesanggupan Kardiovaskuler menggunakan metode Harvard Step
Test
Alat dan Bahan:
1) Spygnomanometer
2) Pengukur waktu
3) Bangku Harvard setinggi 19 inchi (1 inchi = 2,54 cm)
4) Metronom (frekuensi 2x ayunan per detik)

Cara Kerja:
1) Metronom diatur sehingga memberikan irama 120x/menit
2) Probandus berdiri menghadap bangku Harvard dengan sikap tenang.
Metronom mulai dijalankan.
3) Probandus menempatkan salah satu kaki (yang kanan ataupun yang kiri) di
atas bangku tepat pada detikan pertama metronom
4) Pada detikan kedua, kaki lainnya dinaikkan ke atas bangku, sehingga
probandus berdiri di tegak di atas bangku.
5) Pada detikan ketiga, kaki yang pertama naik ke atas diturunkan
6) Pada detikan keempat, kaki yang masih di atas bangku diturunkan pula,
sehingga probandus berdiri di depan bangku.
7) Segera setelah itu probandus disuruh duduk dan denyut nadinya dihitung
selama 30 detik, sebanyak tiga kali pada: 1’-1’30”, 2’-2’30”, dan dari 3’-3’30”

Gambar 6. Harvard Step Test

Interpretasi Hasil
Cara menghitung indeks kesanggupan badan serta penilaiannya dapat dilakukan
dengan dua cara:
1) Cara lambat
Rumus:
𝐿𝑎𝑚𝑎 𝑛𝑎𝑖𝑘 𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛 (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)𝑥 100
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 =
2 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑦𝑢𝑡 𝑛𝑎𝑑𝑖 𝑡𝑖𝑎𝑝 30"

Tabel 5. Intrepetasi Hasil Harvard Step Test Cara Lambat


Indeks Interpretasi
<55 Kesanggupan kurang
55-64 Kesanggupan sedang
65-79 Kesanggupan cukup
80-89 Kesanggupan baik
>90 Kesanggupan amat baik

2) Cara cepat
Rumus
𝐿𝑎𝑚𝑎 𝑛𝑎𝑖𝑘 𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛 (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)𝑥 100
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 =
5,5 𝑥 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑦𝑢𝑡 𝑛𝑎𝑑𝑖 30" 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎

Tabel 6. Intrepetasi Hasil Harvard Step Test Cara Cepat


Indeks Interpretasi
<50 Kesanggupan kurang
50-80 Kesanggupan sedang
>80 Kesanggupan baik
Adaptasi metabolic

Terjadi peningkatan volume mitokondria yang disebabkan meningkatnya aktivitas enzim


mitokondria dalam siklus kreb, transport electron, beta oksidasi. Peningkatan ini didasarkan
pada peningkatan cAMP/

Adaptasi pada latihan aerobik adalah :

a. Perubahan jenis serat otot
 Latihan aerobik seperti jogging dan latihan dengan intensitas
latihan rendah sampai sedang banyak menggunakan jenis otot slow twicth, maka pada latihan
aerobik terjadi perkembangan pada serat slow twitch (otot merah). Karena latihan 7%-22%
serat otot Slow Twitch menjadi lebih besar dari pada serat otot fast twicth.

b. Perubahan supplai kapiler Latihan ketahanan jumlah kapiler yang mensupplai pada setiap
otot menjadi lebih banyak 5–10%, dan pada latihan yang lebih lama dapat meningkat sampai
15 %. Peningkatan jumlah kapiler ini memungkinkan pertukaran gas, panas, sisa metabolisme,
dan nutrisi antara darah dan otot semakin besar. Hal ini menjaga produksi energi dan kontraksi
otot yang berulang-ulang.

c. Perubahan kadar myoglobin
 Myoglobin berfungsi membawa oksigen dari membran sel ke
metokondria untuk metabolisme aerobik. Latihan ketahanan banyak memerlukan oksigen,
sehingga kadar myoglobin dapat meningkat 75 s/d 85 %, myoglobin ini banyak terdapat pada
serat otot slow twich (ST).

d. Perubahan fungsi metokondria
 Latihan ketahanan juga mempengaruhi fungsi


metokondria, guna meningkatkan kapasitas serat otot untuk meproduksi ATP secara aerobik.
Kemampuan untuk menggunakan oksigen dan menghasilkan ATP tergantung pada jumlah,
ukuran dan efisiensi pada metokondria. Sehingga pada latihan ketahanan, jumlah dan ukuran
metokondria menjadi lebih besar.

e. Perubahan enzim oksidative
 Aktivitas enzim oksidatif meningkat pada latihan ketahanan.
Peningkatan jumlah dan ukuran metokondria disertai dengan peningkatan efisiensi
metokondria. Pemecahan bahan makanan secara oksidatif dan produksi ATP bergantung pada
aksi enzim metokondria. Salah satu enzim yang memegang kunci enzim oksidatif adalah
succinate dehydroginase (SDH) selama latihan terjadi peningkatan.

f. Perubahan pada sumber energi
 Latihan aerobik, sumber energi lebih banyak dan efisien
menggunakan dari lemak. Dengan demikian memungkinkan penyimpanan glikogen pada hati
dan otot. Orang yang terlatih (atlet) simpanan glikogen dalam otot lebih besar dari pada orang
yang tidak terlatih, sehingga orang yang terlatih lebih tahan berkativitas dan tidak cepat lelah.
Pada orang yang terlatih juga menyimpan lebih banyak trigliserida dalam otot. Aktivitas enzim
yang berperan dalam beta oksidasi yang memecah lemak, kemudian menjadi energi juga
meningkat pada latihan. Peningkatan reaksi beta oksidasi ini meningkatkan penggunaan lemak
sebagai energi dan glikogen otot lebih banyak tersimpan (Wilmore dan Costill, 1994).

Promotif
Meskipun seseorang bebas dari penyakit, belum tentu orang tersebut bugar. Dengan
mengukur beban latihan yang diberikan kepada seseorang (lari 2,4 km, test bangku
Harvard, test bangku Sharkey, test bangku Kash dll), maka kebugaran dapat
diklasifikasikan menjadi: sangat kurang, kurang, cukup, baik, sangat baik dan istimewa.
Latihan fisik yang teratur dan terukur disertai gizi yang cukup akan meningkatkan
kebugaran seseorang.Kebugaran ini ditandai oleh: daya tahan jantung, daya tahan otot,
kelenturan tubuh, komposisi tubuh, kecepatan gerak, kelincahan, keseimbangan, kecepatan
reaksi, kemampuan koordinasi panca indra. Heart rate zona latihan harus selalu dimonitor
(periksa), agar tak melebihi denyut yang diperbolehkan yaitu antara 72-87 % dari denyut
maksimal. Heart rate maksimal permenit adalah 220 – umur.

2. Preventif
Olah raga kesehatan dapat mencegah dampak negatif dari hipokinesia (kurang gerak),
memperlambat proses penuaan, memperlancar proses kelahiran pada wanita hamil.

3. Kuratif Membantu proses penyembuhan pada penyakit-penyakit jantung koroner,


penyakit kencing manis, rematik, asma bronchiale, keropos tulang, dll. Peredaran darah
orang yang berolah raga lebih lancar, sehingga racun-racun yang menumpuk di tubuh cepat
dikeluarkan.

4.Rehabilitatif
Penyandang cacat / penyakit myopathy, cerebral palsy/kerusakan otak, tuna runggu, epilepsi,
dll, membutuhkan olah raga yang sesuai dengan keadaan penderita. Apabila penyandang cacat
ini tidak melakukan olah raga, maka cacatnya akan bertambah karena terjadi kekurangan
gerak, otot menjadi lemah, sehingga mudah timbul penyakit-penyakit jantung, ginjal, saluran
darah, dll. Selain itu, olah raga bagi penyandang cacat juga sangat diperlukan untuk
menghilangkan anggapan masyarakat bahwa mereka tak mampu berbuat apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai