PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul “Aplikasi Teknologi Pendidikan”,
penulis membagi berdasarkan kisi-kisi sekaligus rumusan masalah sebagai berikut :
1
o Apakah Pengertian Teknologi Pendidikan ?
o Bagaimana Aplikasi Teknologi Pendidikan ?
o Bagaimana Desain Sistem Pembelajaran Pendidikan Multikultural ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
o National centre for programmed,
Teknologi pendidikan adalah penerapan pengetahuan ilmiah tentang belajar dan
kondisi untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi pengajaran dan latihan.
Ketiadaan prinsip-prinsip yang dibangun secara ilmiah, teknologi pendidikan
melaksanakan teknik-teknik pengujian empiric untuk memperbaiki situasi-situasi
belajar.
Dalam rumusan ini fungsi pokok teknologi pendidikan adalah penerapan dengan
obyek pengetahuan ilmiah atau hasil penelitian dalam bidang belajar dengan
maksud memperbaiki efektifitas dan efisiensi pengajaran dan latihan, khususnya
memperbaiki situasi-situasi belajar.
o Commission on Instructional Technology (USA)
Teknologi pendidikan adalah suatu cara sistematik tentang belajar dan mengajar
dalam kerangka-kerangka tujuan khusus, berdasarkan penelitian dalam belajar dan
komunikasi dan mendayagunakan sumber-sumber manusiawi dan non manusiawi
menuju pengajaran yang lebih efektif.
o Association For Educational Communications and Technology (AECT-1972)
Teknologi pendidikan adalah suatu bidang / disiplin dalam memfasilitasi belajar
manusia melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan pemanfaatan
secara sistematis seluruh sumber belajar dan melalui pengelolaan proses
kesemuanya itu.
Atau dapat dikatakan bahwa teknologi pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang
memfokuskan diri dalam upaya memfasilitasi belajar pada manusia. Jadi obyek
formal teknologi pendidikan menurut pengertian ini adalah bagaimana
memfasilitasi belajar. Melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan
pemanfaatan secara sistematis seluruh sumber belajar. Disamping itu, melalui
pengelolaan yang baik dan tepat terdapat proses daripada pengembagan,
pengoganisasian dan pemanfaatan secara sistematis seluruh sumber belajar
tersebut.
o Association For Educational Communications and Technology (AECT-1977);
Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang,
prosedur, gagasan, sarana dan organisasi untuk menganalisis masalah dan
merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam
aspek belajar manusia. Menurut pengertian ini bahwa formal teknologi pendidikan
4
adalah memecahkan masalah belajar manusia yang dilakukan dengan cara
menganalisis masalah terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan, menilai dan
mengelola pemecahan masalah tersebut.
o Association For Educational Communications and Technology (AECT-1994);
Teknologi Instruksional adalah teori dan praktek dalam mendesain,
mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, dan menilai proses-proses maupun
sumber-sumber belajar. Definisi ini lebih operasional dari pada rumusan tahun 1977
yang menurut saya terlalu rumit. Definisi ini menegaskan adanya lima domain
(kawasan) teknologi pembelajaran, yaitu kawasan desain, kawasan pengembagnan,
kawasan pemanfaatan, kawasan pengelolaan, dan kawasan penilaian baik untuk
proses maupun sumber belajar. Seorang teknologi pembelajaran bisa saja
memfokuskan bidang garapannya dalam salah satu kawasan tersebut.
o Tom Cutchall (1999)
Teknologi pembelajaran merupakan penelitian dan aplikasi ilmu prilaku dan teori
belajar dengan menggunakan pendekatan system untuk melakukan analisis, desain,
pengembangan, implementasi, evaluasi dn pengelolaan penggunaan teknologi
untuk membantu memecahkan masalah belajar dan kinerja. Tujuan utamanya
adalah pemanfaatan teknologi (soft-technology maupun hard-technology) untuk
membantu memecahkan masalah belajar dan kinerja manusia.
o AECT (2004):
Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan /
memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang tepat.
Jelas, tujuan utamanya masih tetap untuk memfasilitasi pembelajaran (agar efektif,
efisien dan menarik/joyfull) dan meningkatkan kinerja.
5
3. Dalam mewujudkannya menggunaka pendekatan sistemik (pendekatan yang
holistic/komprehensif, bukan pendekatan yang bersifat parsial);
4. Kawasan teknologi pembelajaran dapat meliputi kegiatan yang berkaitan
dengan analisis, desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, implementasi
dan evaluasi baik proses-proses maupun sumber-sumber belajar.
5. Teknologi pembelajaran tidak hanya bergerak di persekolahan tetapi juga
dalam semua aktifitas manusia (seperti perusahaan, keluarga, organisasi
masyarakat, dan lain-lain) sejauh berkaitan dengan upaya memecahkan masalah
belajar dan peningkatan kinerja.
6. Yang dimaksud dengan teknologi disini adalah teknologi dalam arti luas,
bukan hanya teknologi fisik (hardtech), tetapi juga teknologi lunak (softtech).
6
Masih menurut Seels dan Richey (1994), dalam Teknologi Pembelajaran
praktik sangat berpengaruh terhadap evolusi bidang tersebut, bahkan lebih besar
daripada teorinya. Mempraktikkan Teknologi pembelajaran akan berhadapan dengan
elemen-elemen yang memudahkan atau menyulitkan praktik itu sendiri. Elemen-
elemen tersebut yaitu: 1) jenis materi pembelajaran; 2) sifat atau karakteristik
pembelajar; 3) organisasi di mana pembelajaran berlangsung; 4) kemampuan sarana
yang tersedia; dan 5) keahlian para praktisi.
Dimensi praktik teknologi pembelajaran sejalan dengan perkembangan
teknologi. Pada tahun 30-an ketika komputer elektronik pertama berhasil diciptakan,
teknologi pembelajaran berkembang pesat sejalan dengan teknologi tersebut. Teknologi
ini melahirkan berbagai alat yang merubah dunia dalam berbagai aspeknya, mulai dari
bom atom dalam mengakhiri Perang Dunia II hingga Internet sebagai jaringan
informasi publik global yang mampu menghubungkan jutaan orang di seluruh penjuru
dunia hanya melalui komputer yang terhubung dengan jaringan. Fenomena yang juga
banyak disebut sebagai revolusi digital inilah yang mampu meyakinkan banyak orang
bahwa peradaban umat manusia akan segera memasuki sebuah era baru yang
diintrodusir sebagai era informasi.
Seiring dengan perkembangan pesat Teknologi Pembelajaran tersebut,
berkembang pula tempat kerja para teknolog pembelajaran. Hal ini juga mempunyai
dampak terhadap keyakinan, nilai-nilai dan prioritas dalam bidang teknologi
pembelajaran. Dampak ini pada akhirnya juga mempengaruhi perkembangan pola dan
ragam praktik teknologi pendidikan, namun hal ini tidak mempengaruhi secara
signifikan terhadap struktur dasar bidang studi. Kelima kawasan umum dalam
Teknologi Pembelajaran masih tetap sesuai dengan konteks masing-masing kerja.
Dampak kecil tersebut umumnya dapat diamati pada sumber yang digunakan, isi yang
digarap, dan kadang-kadang proses yang dilaksanakan. Teknologi Pembelajaran telah
berkembang dari ‘sekedar keterampilan’ menjadi profesi dan kemudian menjadi bidang
kajian.
Perlu diperhatikan dalam perkembangan pesat teknologi pembelajaran ini, salah
satunya adalah praktik teknologi pembelajaran harus tetap memperhatikan kawasan
dan memegang konsep utama yang membatasinya serta memanfaatkan dukungan dari
pelbagai ilmu lain yang relevan (Atwi Suparman dalam Budiningsih, 2000). Miarso
(2004) menambahkan bahwa teknologi, termasuk teknologi pendidikan harus
memililiki ciri: 1) proses untuk meningkatkan nilai tambah (added values); 2)
7
menghasilkan dan memanfaatkan produk yang bervariasi dan semakin canggih; dan 3)
interaksi proses dan produk tersebut sebagai suatu sistem dengan lingkungannya
sebagai suatu sistem yang lebih luas.
Berkaitan dengan kawasan dan konsep utama serta ciri teknologi pembelajaran,
tema makalah ini berada di kawasan Desain, dengan fokus pada Desain Sistem
Pembelajaran (DSP). Desain Sistem Pembelajaran adalah prosedur yang terorganisasi
yang meliputi langkah-langkah penganalisaan, perancangan pengembangan,
pengaplikasian dan penilain pembelajaran. Penganalisaan adalah adalah proses
perumusan apa yang akan dipelajari; perancangan adalah proses penjabaran bagaimana
hal tersebut akan dipelajari; pengembangan adalah proses penulisan dan pembuatan
atau produksi bahan-bahan pembelajaran; pelaksanaan adalah pemanfaatan bahan dan
strategi yang bersangkutan; dan penilaian adalah proses penentuan ketepatan
pembelajaran.
Aplikasi teknologi pendidikan secara khusus dalam PSDM terlalu banyak untuk
disebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Pada tahun 1980 AECT (sebagai organisasi
profesi Teknologi Pendidikan yang berpusat di Amerika Serikat) bekerja sama dengan
NSPI (National Society for Performance of Instruction) membentuk suatu joint task
force untuk menyusun standar dalam bidang desain dan pengembangan instruksional,
khususnya untuk keperluan PSDM. Joint task force ini kemudian dilebur dalam suatu
lembaga baru yang disebut International Board of Standards for Training, Performance,
and Instruction (IBSTPI) pada tahun 1985. IBSTPI antara lain merumuskan
kompetensi dasar bagi instruktur PSDM, yaitu :
1. Menganalisis bahan belajar dan informasi pembelajar.
2. Mempersiapkan tempat untuk kegiatan instruksional.
3. Menentukandan mempertahankan kredibiltas instruktur.
4. Mengelola lingkungan belajar.
5. Mendemonstrasikan keterampilan berkomunikasi yang efektif.
6. Mendemonstrasikan keterampilan presentasi yang efektif
7. Mendemonstrasikan keterampilan dan teknik bertanya yang efektif.
8. Merespons kebutuhan belajar dengan senantiasa mengusahakan umpan
balik.
9. Memberikan penguatan dan dorongan untuk belajar.
10. Menggunakan metode instruksional dengan semestinya.
11. Menggunakan media instruksional secara efektif.
8
12. Mengevaluasi kinerja pembelajar.
13. Mengevaluasi pembelajaran.
14. Melaporkan hasil penilaian.
9
Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang,
dan IKIP Ujung Pandang. Tak terhitung lagi pemanfaatannya di sekolah dasar dan
menengah serta satuan pendidikan lain. Yang terakhir ini berkembang dengan adanya
siaran televise pendidikan.
Sebagaimana tercantum dalam UUSPN Pasal 30 setiap tenaga kependidikan yang
bekerja pada satuan pendidikan mempunyai hak untuk menggunakan sarana, prasarana,
dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya. Sarana, prasarana, dan
fasilitas pendidian itu perlu disediakan, dikembangkan dan dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya supaya diperoleh efektifitas dan efisiensi yang tinggi. Media pendidikan sebagai
salah satu bentuk sarana pendidikan telah pula ditentukan dalam GBHN 1988 untuk terus
dikembangkan dan dimanfaatkan (MPR-RI, 1988 : halaman. 70)
Jelaslah bahwa untuk membantu memecahkan masalah pendidikan dan pelatihan
dengan kondisi unik Indonesia, serta untuk menyerasikan perkembangan teknologi dengan
dampak globalisasi, diperlukan usaha sinergistik yang memadukan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi, informasi, dan social-ekonomi. Kesemuanya ini
merupakan bidang kompetensi teknologi pendidikan. Untuk itu mutlak diperlukan tenaga
profesi yang mahir dan ahli dalam teknologi pendidikan.
Teknologi pendidikan merupakan suatu disiplin terapan, artinya ia berkembang
karena adanya kebutuhan di lapangan, yaitu kebutuhan untuk belajar lebih efektif, lebih
efesien, lebih banyak, lebih luas, lebih cepat, dan sebagainya. Untuk itu ada produk yang
sengaja dibuat ada yang ditemukan dan di manfaatkan. Namun perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi yang sangat pesat akhir-akhir ini dan menawarkan sejumlah
kemungkinan yang semula tidak terbayangkan, telah membalik cara berpikir kita dengan “
bagaimana menganbil manfaat teknologi tersebut untuk mengatasi masalah belajar “.
Berkembangnya penerapan teknologi pendidikan boleh dikatakan berasal dari
Amerika Serikat. Pada awal perkembangan sekitar ratusan tahun yang lalu teknologi itu
dikenal sebagai cara mengajar dengan menggunakan alat peraga hasil buatan sendiri oleh
guru di sekolah. Tiga puluh tahun kemudian (sekitar tahun 1930) penggunaan alat peraga
itu berkembang dengan diproduksinya secara massal media belajar-pengajaran untuk
digunakan disekolah secara meluas. Sepuluh tahun kemudian, saat Amereka Serikat terlibat
dalam PD II, diperlukan banyak sekali tenaga terampil dalam mengoperasikan dan
menangani peralatan perang. Untuk itu diperlukan latihan yang efektif dalam waktu yang
pendek dan dapat diulang sesering mungkin. Dikembangkanlah cara pelatihan dengan
10
menggunakan berbagai media dan simulator untuk keperluan pelatihan personel angkatn
bersenjata tersebut. Mulailah dikenal istilah teknologi kinerja (performance technology).
Seusai PD II mulai dikembangkan pengalaman di kalangan angkatan bersenjata
tersebut untuk keperluan pendidikan dan pelatihan. Dalam lingkungan sekolah dan
perguruan tinggi mulai dibangun suatu lembaga yang dipisahkan dari perpustakaan, dengn
menyediakan dan mengembangkan media pengajaran dan diberi nama Pusat Sumber
Belajar. Program studi atau keahlian dalam teknologi pendidikan mulai dibuka di beberapa
perguruan tinggi di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
Namun pendidikan dalam lingkungan sekolah ini lebih berorientasi teoritis dan
mengganggap fungsinya adalah mempersiapkan peserta didik untuk masa depan yang siap
latih. Padahal dengan semakin berkembangnya kegiatan social ekonomi diperlukan tenaga
yang kompeten lebih banyak dan cepat. Hal ini memicu tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan dan kursus sebagai upaya pendidikan
berkelanjutan yang bersifat terapan. Lembaga-lembaga ini ada yang berdiri sendiri, namun
banyak yang merupakan bagian dari organisasi bisnis, industri dan public, serta organisasi
pemerintah. Untuk mereka ini lebih tepat digunakan istilah “teknologi pembelajaran”,
karena mereka lebih berkepentingan dalam membelajarkan orang dalam lingkungan kerja
mereka sendiri atau pembelajaran untuk penguasaan suatu kompetensi tertentu.
Perkembangan ini dapat digambarkan seperti pada gambar berikut :
Di Indonesia sendiri penerapan teknologi pembelajaran tidak jauh berbeda dengan
perkembangan seperti halnya di amerika Serikat, hanya terpaut waktu yang cukup lama.
Perkembangan itu boleh dikatakan baru dikenal sekitar awal tahun 1950, dengan
didirikannya Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru (BKTPG) dan Balai Alat Peraga
Pendidikan (BAPP) di Bandung. BKTPG yang sekarang menjadi Pusat Pengembangan
Penataran Guru Tertulis (P3G Tertulis) bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
penataran kualifikasi guru dengan bahan pelajaran tertulis dengan berpegangan pada
konsep belajar mandiri. BAPP pada awal tahun 1970 diintegrasikan dengan Pusat
Pengaembangan Penataran Guru bidang studi.
Beberapa bentuk penerapan teknologi pembelajaran secara menyeluruh, yaitu yang
meliputi semua komponen dan karena itu merupakan system dapat dicontohkan sebagai
berikut :
o Proyek percontohan system PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang
tua, dan Guru) di Kabupaten Karanganyar, Surakarta pada tahun 1974, dan disebarkan
di Kabupaten Malang dan Gianyar pada tahun 1978.
11
o Pemasyarakatan P4 melalui permainan yang diujicobakan di Kabupaten Batu,
Malang.
o Proyek Pendidikan Melalui Satelit (Rural Satellite Project) di Perguruan tinggi
wilayah Indonesia bagian Timur (BKSPT INTIM).
o Program Pendidikan karakter melalui serial televise ACI (Aku Cinta Indonesia =
Amit, Cici, Ito) = serial televise (pendidikan) pertama (dan terakhir).
o Program KEJAR Paket A dan B
o Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
o SLTP Terbuka
o Universitas Terbuka
o Sistem Belajar Jarak Jauh yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan
dan pelatihan.
o Jaringan system belajar jarak jauh (Indonesian Distance Learning Network =
IDLN) dan SEAMOLEC 9SEAMEO Open Learning Center) yang berkedudukan di
Pustekkom Diknas.
12
dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem
etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz,2006).
Dalam pengalaman dan proses belajar, sesungguhnya manusia memperoleh
serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu
(benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli
sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah komponen
utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia
itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti oleh
manusia. Sehingga Geertz (1966) menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah
suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol. Dengan adanya simbol-
simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa atau benda dapat
dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja.
Dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau
dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti
yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol,
seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk,
mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol
yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian simbol-simbol itu dilihat
sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam antropologi
budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan.
Menurut Spradley (1972) kebudayaan dapat secara operasional merupakan
sebuah resep. Di mana kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda
kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang
dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap
kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi,
dan merangkaikan simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah
terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam
bentuk kelakuan atau benda-benda kebudayaan sebageimana diinginkan oleh
pelakunya. Di samping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat resep-resep yang
antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara
untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai
berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk
mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta
bagaimana mengatasinya.
13
Budaya sebagai nilai, simbol, ataupun resep, akan memberikan makna bahwa
pembelajaran dengan berbasis budaya setempat di mana si pebelajar hidup adalah
sangat efektif. Hal ini disebabkan budaya lokal di mana si pebelajar hidup sudah sangat
akrab, menyatu dan riil, yang artinya dialaminya berkali-kali. Dengan menggali
kembali/memanggil kembali budaya yang telah dialaminya dan sedang dijalaninya dan
merekonstruksi ulang sebagai kesatuan ‘materi’ tertentu akan terjadi pemahaman baru,
yang sangat mungkin pada gilirannya sikap baru (sebagai hasil belajar).
Untuk membuat pembelajaran berbasis budaya (yang berhasil), maka unsur-
unsur dalam kebudayaan itu sendiri harus dipahami sepenuhnya. Sebagaimana menurut
Conrad P. Kottak (dalam Ghofur, 2006), kebudayaan memiliki karakter-karakter
khusus, yaitu:
Pertama, kultur adalah sesuatu yang spesifik dan general sekaligus. Dalam
kondisi bagaimanapun, secara general setiap manusia memiliki kultur. Namun secara
spesifik, kultur pada kelompok manusia berbeda antara satu dan lainnya tergantung
pada kelompok mana kultur itu berada. Pendek kata, setiap manusia mempunyai kultur,
dan mereka hidup dalam kulturnya masing-masing. Maka, sulit dibantah bahwa
masyarakat di Yogyakarta, misalnya, memiliki kultur yang berbeda dengan masyarakat
di Jawa Timur.
Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Di sini kultur terbentuk oleh ritus
kegiatan yang dilakukan secara intens dan simultan oleh sekelompok masyarakat.
Kultur lahir karena improvisasi kolektif yang secara alamiah mengikat pelakunya
dalam satu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, kultur terjadi karena sebuah rutinas,
dilakukan berulang-ulang, persis sebagaimana seorang anak meniru kebiasaan
orangtuanya.
Ketiga, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang
menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat tertentu.
Kultur, secara alamiah, ditransformasikan melalui masyarakat.
Keempat, kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukanlah sekumpulan
adat istiadat dan kepercayaan yang hampa makna. Kultur disatukan oleh sistem-sistem
yang tersusun secara jelas. Adat-istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai adalah sesuatu
yang saling berkait kelindan antara satu lainnya.
Kelima, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Dengan kata lain, kultur
merupakan proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan
14
lingkungan sekitarnya. Sehingga, semua anggota melakukan usaha maksimal untuk
bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Andersen dan Cusher (dalam Ghofur: 2006) mengatakan bahwa multikultural
adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Posisi kebudayaan masih sama
dengan apa yang dikemukakan dalam sejumlah definisi di atas, yaitu keragamaan
kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari, jadi berstatus sebagai objek studi. Dalam
pengertian ini, pendidikan multikultural diharapkan mampu menyuntikkan kesadaran
sekaligus pengakuan siswa terhadap berbagai perbedaan kultur tersebut. Fokusnya
adalah pada pemahaman dan hidup dengan perbedaan sosial dan budaya, baik secara
individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu dilihat sebagai refleksi
dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya.
Bertolak dari preposisi tersebut, Baidhawi (2005) merumuskan kompetensi
yang hendak dicapai dalam pendidikan multikultural adalah: 1) mengembangkan
kompetensi akademik standar dan dasar (standard and basic academic skills) tentang
nilai-nilai persatuan-kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau
saling menghargai dalam keragaman budaya; 2) mengembangkan kompetensi sosial
agar dapat menumbuhkan pemahaman (a better understanding) tentang latar belakang
budaya sendiri dan budaya lain dalam masyarakat; 3) mengembangkan kompetensi
akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas (intelligent
decisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real-life problems) melalui sebuah
proses demokratis atau inkuiri dialogis (dialogical inquiry); dan 4) membantu
mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik,
demokratis dan memiliki persamaan derajat.
Penulis sepakat dengan Ghofur (2006) yang merumuskan bahwa tujuan
proyek pendidikan multikultural, yaitu: 1) memahami latar belakang diri dan kelompok
dalam masyarakat; 2) menghormati dan mengapresiasi kebhinekaan budaya dan sosio-
historis etnik; 3) menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh
purbasangka; 4) memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis
yang menyebabkan terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik; 5)
meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu
melalui proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil
dan bebas; dan 6) mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.
Secara operasional, kompetensi pendidikan multikultural yang dirumuskan
oleh Baidhawi dan tujuan pendidikan multikultural yang dirumuskan Ghofur tersebut
15
dapat dijadikan sebagai langkah penganalisaan untuk merumuskan apa yang akan
dipelajari. Selain itu, deskripsi tentang pendidikan multikultural ini mempunyai dua
fungsi sekaligus, yaitu sebagai isi pesan dari desain sistem pembelajaran dan sekaligus
memperkuat bahwa budaya sebagai basis pembelajaran adalah efektif.
16
Pendekatan ketiga yang dimaksud oleh Harto adalah pendekatan
perencanaan sosial (social plannning approach), yaitu pendekatan yang mendorong
pemahaman dan komitmen peserta didik terhadap agama yang dipeluknya, dan
pada waktu yang sama juga mendorong lahirnya sikap menghormati pemeluk dan
ajaran agama lain untuk saling berdampingan dalam kemajemukan. Pendekatan ini
perlu dirumuskan aspek-aspeknya. Pertama, apa yang disebut dengan
multikulturalisme itu, apa saja materinya, keragaman agama atau keragaman
budaya, apakah bersifat kognitif, atau bersifat pendekatan pembelajaran, berapa
porsinya, dan sebagainya. Kedua, bagaimana metode guru agama dalam proses
pembelajarannya, guru yang bagaimana yang mampu mengajarkannya, diklat apa
yang diperlukan oleh para guru agama itu, dan sebagainya. Ketiga, sarana apa saja
yang dapat mendukung wawasan multikulturalisme itu, buku sumber belajar yang
bagaimana, alat belajar-mengajar apa dan bagaimana yang diperlukan dan
sebagainya. Keempat, lingkungan sosial yang bagaimana yang diperlukan untuk
mendukung wawasan multikultural itu.
Selain pendekatan sebagaimana telah terurai di atas, strategi pembelajaran
yang digunakan guru juga mempunyai peran penting dalam membentuk sikap dan
perilaku peserta didik dalam konteks multikultural. Menurut Cushner, pendidikan
hendaknya memadukan pengalaman-pengalaman berikut, yakni mempelajari
bagaimana dan di/ke mana memperoleh tujuan, informasi yang akurat mengenai
kelompok budaya lain :
o mengidentifikasi dan menguji pandangan yang positif dari kelompok atau
individu yang berbudaya lain;
o mempelajari toleransi terhadap keragaman melalui eksperimentasi di
sekolah dan ruang kelas dengan kebiasaan dan praktik alternatif;
o menghadapi, jika mungkin, pengalaman positif dari tangan pertama dengan
kelompok budaya yang berbeda;
o mengembangkan perilaku empatik melalui strategi bermain peran dan
simulasi; dan mempraktikkan penggunaan “kaca mata perspektif”, yaitu,
dengan melihat sebuah peristiwa, kurun sejarah, atau isu melalui perspektif dari
kelompok budaya lain (Cushner: 1993: 56 dalam Harto, 2006).
17
Berkaitan dengan apa yang dikemukana oleh Cushner tersebut, pendidik dituntut
untuk secara tepat memilih strategi pembelajaran dalam komunitas yang majemuk.
Peserta didik harus dibiasakan melihat persoalan dari berbagai pendekatan dan
perpektif. Ia harus dapat menjelaskan dan memberikan pengertian bahwa perbedaan
dan keragaman merupakan hal yang biasa dan sebuah keniscayaan, upaya
penyeragaman merupakan bentuk pengingkaran terhadap sunatullah. Karena itu
pendekatan pembelajaran tidak monolitik; bahwa seolah-olah kebenaran pendapat
hanya miliknya, seolah pendapat pihak lain yang kebetulan berbeda pendekatan
adalah keliru dan sesat. Strategi pembelajaran ini harus diterapkan ketika guru
membahas persoalan keagamaan maupun persoalan budaya.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang dapat dijadikan catatan.
Pertama, pendidikan agama yang diajarkan pada lembaga pendidikan perlu
dilakukan reformulasi pola pendekatan pembelajaran dengan menyesuaikan pada
konteks multikultural. Sebab, munculnya berbagai kasus konflik dan kerusuhan
masa yang bernuansa etnis dan agama lebih disebabkan oleh minimnya wawasan
pemahaman terhadap keragaman budaya yang sudah menjadi keniscayaan. Kedua,
perlunya merubah paradigma pembelajaran agama yang selama ini dianut oleh
sebagian umat beragama, sebab paradigma yang selama ini dijalankan ternyata
lebih cenderung membentuk manusia beragama yang bersikap intoleran, eksklusif,
egois, close-minded, dan berorientasi pada kesalehan individu. Karena itu,
menghadapi kehidupan masyarakat yang multikultural ini, selain pendidikan
dengan paradigma to think, to do dan to be, juga perlu paradigma to live together.
2. Aspek Desain Bahan Pembelajaran
Langkah ketiga dalam Mendesaian Sistem Pembelajaran adalah pengembangan,
yaitu proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pembelajaran.
Proses penulisan bahan pembelajaran harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kejelasan tujuan pembelajaran (realistis dan terukur);
18
f. Interaktivitas;
h. Kontekstualitas;
19
Selain harus memperhatikan aspek-aspek di atas, langkah pemanfaatan juga dapat
menggunakan komunikasi visual sebagai strategi pembelajaran, dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Komunikatif: visualisasi mendukung materi ajar, agar mudah
dicerna oleh siswa;
b. Kreatif: visualisasi diharapkan disajikan secara unik dan tidak klise
(sering digunakan), agar menarik perhatian;
c. Sederhana: visualisasi tidak rumit, agar tidak mengurangi kejelasan
isi materi ajar dan mudah diingat;
d. Unity: menggunakan bahasa visual yang harmonis, utuh, dan senada,
agar materi ajar dipersepsi secara utuh (komprehensif);
e. Penggambaran objek dalam bentuk image (citra) yang representatif;
f. Pemilihan warna yang sesuai, agar mendukung kesesuaian antara
konsep kreatif dan topik yang dipilih;
g. Tipografi (font dan susunan huruf), untuk memvisualisasikan bahasa
verbal agar mendukung isi pesan, baik secara fungsi keterbacaan maupun
fungsi psikologisnya;
h. Tata letak (lay-out): peletakan dan susunan unsur-unsur visual
terkendali dengan baik, agar memperjelas peran dan hirarki masing-masing
unsur tersebut;
i. Unsur visual bergerak (animasi dan/atau movie), animasi dapat
dimanfaatkan untuk mensimulasikan materi ajar dan video untuk
mengilustrasikan materi secara nyata;
j. Navigasi (icon) yang familiar dan konsisten agar efektif dalam
penggunaannya.
5. Penilaian, Umpan Balik dan Perbaikan Terus Menerus
Langkah kelima dalam mendesain sistem pembalajaran adalah penilaian, yaitu
proses penentuan ketepatan pembelajaran. Setiap bab menyajikan
rangkuman/kesimpulan dan atau soal latihan untuk mengukur keberhasilan belajar
peserta didik dan sekaligus mengevaluasi ketepatan strategi pembelajaran.
Penilaian ini mutlak dilakukan sebagai sistem manajemen mutu dan pengendalian
proses belajar mengajar sehingga terjadi umpan balik dan perbaikan secara terus
menerus (continous improvement).
20
6. Desain Sistem Pembelajaran dan KTSP
Desain Sistem Pembelajaran Pendidikan Multikultural dihadirkan untuk
memanfaatkan peluang liberasi muatan kurikulum lokal dalam KTSP. Oleh
karenanya, untuk memudahkan usulan, Desain Sistem Pembelajran Pendidikan
Multikultural ini harus didesain sebagaimana desain mata pelajaran lain dalam
konteks penyesuaian dengan standar KTSP. Pada dasarnya KTSP hanya
memberikan rambu-rambu bahwa kurikulum dan proses pembelajaran harus
berpatokan pada Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), maka guru
bisa Mendesain Sistem Pembelajaran secara otonom. Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar meliputi: 1) Tingkat Satuan Pendidikan; 2) Mata Pelajaran; 3)
Latar Belakang Pelajaran; 4) Tujuan Mata Pelajaran; 5) Ruang Lingkup Mata
Pelajaran; 6) Tabelisasi Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar; dan 7) Arah
Pengembangan.
BAB III
KESIMPULAN
21
Desain, Pengembangan, Pemanfaatan, Pengelolaan dan Evaluasi Sumber dan Proses
Belajar.
22
BIBLIOGRAPY
BNSP. 2006. Instrumen Penilaian Tahap II Buku Teks Pelajaran Ekonomi SMA/MA.
diakses melalui www.google.com/search?q=cache:W7IEGU_K5bQJ:www. bsnp-
indonesia.org/files/FORMAT_INSTRUMEN_EKONOMI_8agst-FINAL
.pdf+penilaian+ketepatan+pembelajaran&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=5 tanggal 11
Desember 2008.
DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike. 2001. Quantum Learning (Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan). Bandung: Kaifa.
Ghofur, Saiful Amin. 2006. KTSP dan Pendidikan Multikultural. Opini dalam Buletin
Safiria. Yogyakarta, Magister Studi Islam UII.
Kompas, 2006. Nilai-nilai Bidaya jawa Penting untuk Tangkal Budaya Asing. Kompas
Yogyakarta, 5 Desember 2006. Halaman G (Dikbud).
Miarso, Yusuf Hadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
23
Seels, Barbara B. & Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan
Kawasannya. Penerjemah Dewi S. Prawiradilaga dkk. Jakarta: Kerjasama IPTPI
LPTK UNJ.
Suryani, Neneng. 2006. Urgensi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. diakses dari Riau
Pos Online http://riaupos.co.id/. tanggal 5 Desember 2008.
24