I. PENDAHULUAN
III. PENUTUP
IQ, EQ dan SQ masing-masing memiliki peran yang penting dalam
setiap kehidupan manusia. Ketiganya harus berjalan secara seimbang
agar didapatkan keberhasilan yang sesungguhnya. Begitu pula bagi
seorang pendidik (guru). Dia harus mampu menguasai ketiga
kecerdasan ini.
Tugas dan peranan guru sebagai pengajar yang professional ,
berorientasi pada kegiatan layanan pengajaran kepada masyarakat
dan upaya konsisten dalam sistem pendidikan nasional. Seorang
pendidik (calon pendidik) diharapkan memiliki tiga kecerdasan ini (IQ,
EQ dan SQ) yang baik sehingga mampu melahirkan generasi-generasi
yang juga memiliki IQ,EQ serta SQ yang luar biasa. Tidak hanya
memiliki kecerdasan otak yang tinggi tetapi juga memiliki sikap,
moral dan tingkah laku yang luhur serta beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa (menguasai iptek dan imtak).
Sekolah Hanya Fokus IQ, EQ dan SQ Terlewatkan Sabtu, 09 Oktober 2010. Diposkan
oleh Dhink di 23.54 oleh : Eko Soenaryo SE Pendidikan sekolah bukan lagi satu-
satunya tumpuan keberhasilan seseorang dalam meraih kebahagiaan. Sistem pendidikan
yang dikenal selama ini hanya menekankan pada nilai akademik, kecerdasan otak saja.
Siswa dituntut belajar mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekedar supaya
memeroleh nilai bagus yang dapat dijadikan bekal mencari pekerjaan. Kecerdasan IQ
ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan
emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan
perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan
kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi. Emotional
Spiritual Quotient (ESQ) mencoba menjawab persoalan tersebut. Konsep ESQ yang
berlaku secara universal akan membawa seseorang pada ‘predikat memuaskan’ bagi
dirinya serta sesama. ESQ yang dicetuskan Ary Ginanjar Agustian, pendiri ESQ
Leadership Center, memandu seseorang dalam membangun prinsip hidup dan karakter
berdasar ESQ Way 165. Bagaimana konsep ESQ dalam memengaruhi keberhasilan
seseorang? Berikut petikan penuturan Eko Soenaryo SE, Koordinator ESQ Leadership
Center Cabang Malang kepada Restu Distiamardianti dari KORAN PENDIDIKAN Bisa
anda jelaskan tiga kecerdasan apa yang dimiliki diri manusia? Dan kecerdasan apa yang
tidak terlalu ditonjolkan oleh setiap manusia? Setiap manusia memiliki kecerdasan otak
(Intellectual Qoutient), kecerdasan emosi (Emosional Quotient) dan Spiritual Qoutient
atau penguasaan ruhiah vertikal. IQ berupa keahlian (skill) dan pengetahuan
(knowledge). EQ merupakan kemampuan untuk ‘merasa’ yang berpusat pada kejujuran
suara hati. SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna (value),
kecerdasan untuk menilai tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna. Saya
menggambarkan EQ dengan garis hubung antara manusia dengan manusia yang lain.
Sedangkan SQ, hubungan manusia dengan Tuhan. Tiga kecerdasan tersebut tidak bisa
dipisahkan. Ketika seseorang berhasil meraih kesuksesan dengan memaksimalkan IQ
dan EQ, seringkali ada perasaan hampa dalam kehidupan batinnya, karena mereka tidak
memuat SQ. ESQ sebagai metode dan konsep merupakan jawaban atas kekosongan
batin. Ada hubungan antara duniawi, kepekaan emosi dan intelegensi yang baik, dengan
akhirat. ESQ memelihara keseimbangan antara akhirat dan duniawi, sehingga keduanya
mampu bersinergi menghasilkan kekuatan jiwa raga yang seimbang. Tidak ada dikotomi
pemikiran dunia saja atau akhirat saja. Adakah contoh kasus mengenai hal ini dalam
kehidupan masyarakat kita? Tiga kecerdasan ini seharusnya mendapat porsi yang serupa
saat diasah, sebab ketiganya menentukan keberhasilan seseorang. Selama ini banyak
orang lebih mengutamakan kecerdasan otak, Orangtua beramai-ramai memasukkan
anaknya ke sekolah, hanya supaya mereka pintar. Indonesia tidak pernah kekurangan
orang pandai, tapi orang yang tidak beretika juga tidak kalah banyak. Permasalahan ini
pernah dikaji Emotional Quotient Inventory, suatu lembaga data bank raksasa, dengan
melakukan riset IQ. Hasilnya, secara teori IQ hanya memberikan kontribusi sebesar 20
persen bagi keberhasilan manusia. Faktanya, yang benar-benar terjadi, sekitar 6 persen.
Jadi, IQ hanya menyumbang 6-20 persen atas keberhasilan seseorang. Kecerdasan otak
baru syarat minimal mencapai meraih keberhasilan, sedangkan kecerdasan emosi
memiliki peran jauh lebih signifikan. Dengan demikian, bagaimana anda
menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia? Masyarakat kita banyak yang
mengalami split personality (keterbelahan jiwa), banyak pribadi manusia yang memiliki
dua jiwa yang bertolak belakang. Seperti yang saya katakan tadi, bangsa ini memang
tidak kekurangan orang pintar. Juara olimpiade kimia dan fisika berasal dari Indonesia.
Banyak hacker yang canggih juga berasal dari Indonesia. Lantas, banyak juga orang
yang tidak memiliki moral dan etika. Padahal ratusan ribu jamaah Indonesia setiap
tahun menunaikan ibadah haji. Banyak orang rajin beribadah, tapi (maaf) tidak
ketinggalan melakukan kegiatan negatif. Mereka hanya menggunakan agama sebagai
simbol, sebab pemaknaan terhadap ajarannya terkesan kering yang tidak menghasilkan
kerinduan terhadap kasih sayang dan kejujuran terhadap orang lain. Padahal ini berlaku
di semua agama. Dapat dikatakan, masyarakat kita mengalami krisis moral? Iya, mereka
yang krisis moral ini hanya menempatkan agama seperti simbol. Mereka tidak mencapai
esensi spiritualitas yang berada di atas agama. Mereka yang mengalami hal ini perlu
ditetesi sedikit demi sedikit, untuk mengeluarkan Emotional Spiritual Quotient (ESQ).
Manusia kan memiliki tiga kecerdasan yang pasti ada semenjak ia lahir.
Perkembangannya, saat dewasa ada kecerdasan yang makin lama makin tidak diasah.
Inilah yang menyebabkan masyarakat kita memiliki moral rendah. Penyebab lain, ada
kalanya suara hati manusia tertutup. Mereka tidak mengakui perasaan universal saat
menyaksikan kejadian yang menonjolkan value kasih sayang. Maka yang terjadi adalah
kekerasan dan penyimpangan perilaku muncul dimana-mana. Tidak sama saat manusia
mengiyakan perasaan tersebut. Perasaan ini berasal dari God Spot yang disebut dengan
kesadaran spiritual, bahwa semua manusia itu memiliki suara hati yang sama secara
universal. Namun, ada 7 faktor yang membelenggu suara hati dan membuat manusia
menjadi buta, antara lain prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan,
sudut pandang, pembanding, dan literatur. Oleh karena itu, kemampuan melihat sesuatu
secara obyektif, harus didahului kemampuan mengenali faktor-faktor yang
memengaruhi. Langkahnya, dengan mengembalikan manusia pada fitrah hatinya.
Apakah seseorang bisa menemukan hubungan antara IQ, EQ dan SQ dengan sendiri
atau memerlukan bantuan, semacam pelatihan? Bisa, namun tidak semua orang bisa
memunculkan ESQ dalam dirinya. Analoginya begini, seseorang memiliki bahan baku
lengkap seperti gula, garam, dan singkong. Tetapi tidak mengetahui resep untuk
membuat bahan baku tadi menjadi makanan yang enak. Melakukan pelatihan membantu
seseorang menemukan resep tadi, juga berguna bagi seseorang untuk menyinergikan IQ,
EQ, dan SQ secara komprehensif. Patut diingat, pada umumnya IQ tidak berubah
selama masih hidup, berbeda dengan kecakapan emosi yang dapat terus meningkat
dengan motivasi dan usaha yang benar. Meningkatkan EQ yang seimbang dengan IQ,
disertai latihan dan tidak mengabaikan kecerdasan emosi dan spiritual, akan
meminimalisir kegagalan. Siapa saja yang perlu menumbuhkan kecerdasan emosi dan
spiritual? Setiap orang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Anak-anak tidak
terlepas dari masalah yang membelit, misalnya yang kita dengar ada anak-anak yang
mengalami stres kemudian bunuh diri, adapula yang melakukan kekerasan terhadap
teman sebayanya. Tekanan psikologis ini bisa dijumpai di rumah, sekolah, dan
lingkungannya. Pada orang dewasa, ini nyata terjadi semisal pada lingkungan
perusahaan. Membangun ESQ dapat meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja.
Bahkan bisa merubah budaya ketidakdisplinan menjadi disiplin dan meningkatkan rasa
tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Metodologi training
yang diterapkan akan menuntun peserta membangkitkan 7 nilai dasar, yakni kejujuran,
keadilan, kedisiplinan, tanggung jawab, visioner, kerjasama, dan kepedulian. Tujuh nilai
dasar itu sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Sehingga melalui pelatihan akan
menghasilkan peningkatan ESQ secara berkesinambungan dan berkelanjutan seumur
hidup. Mengapa anak-anak memerlukan ESQ? Apakah pendidikan di sekolah belum
mengarah ke sana? Sekolah kan merupakan pendidikan formal yang mengasah
kemampuan otak. Siswa belajar, supaya bisa membaca menulis dan berhitung. Selama
ini, masyarakat hanya mendewakan pencapaian kecerdasan intelektual, yang
berhubungan dengan kemampuan menghafal, nalar, dan logika. Pendidikan dengan pola
demikian, hanya akan menghasilkan seseorang yang berdasar intelektual komitmen.
Intelektual komitmen menyangkut hal-hal yang bersifat fisik atau materi, contohnya,
pelajar yang hanya ingin memeroleh nilai tinggi saat ujian, mengharapkan pujian atau
hadiah dari teman atau keluarga saat nilai mereka baik, termasuk menghalalkan segala
cara supaya mendapat nilai baik dengan mencontek pekerjaan teman. Ini adalah dampak
dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ dan
SQ. Mengapa, training ESQ mengelompokkan anak-anak menjadi satu kelas tersendiri?
Ini kembali pada tujuan ESQ untuk membentuk karakter yang tangguh dengan
memadukan konsep IQ, EQ, dan SQ. Anak-anak jauh lebih sulit dikendalikan daripada
orang dewasa. Sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar, kelas untuk anak-
anak saja dibatasi 75-100 orang. Lagipula untuk memasuki dunia anak-anak perlu
media yang berbeda, lebih banyak permainannya dan berkesan atraktif dan
demonstratif. Pelatihan khusus anak-anak juga menyiasati bagaimana seorang trainer
menghindarkan rasa jenuh, sehingga pikiran terbuka untuk memudahkan menyerap
materi. Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni yang berarti "Diri"
atau "Saya", dan yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan
demikian, istilah ini etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.
Ego yang lapar adalah ego yang jahat. Memperbandingkan ego dengan perut
sangat tepat untuk menjelaskan mengapa orang bertindak sebagaiman yang
mereka lakukan. Seseorang yang makan kenyang tiga kali sehari tidak terlalu
memikirkan perutnya. Tetapi seseorang yang tidak makan satu atau dua hari
menjadi benar-benar lapar dan seluruh kepribadiannya tampak berubah, dari
orang yang pemurah, periang dan baik hati, dia cenderung akan menjadi suka
bertengkar dan jahat. Dia jadi lebih suka mencela. Tidak ada suatu apapun
yang memuaskannya. Tidak ada gunanya bagi teman-teanyang beritikad baik
untuk menghampirinya dan mengatakan bahwa masalahnya hanyalah bahwa
dia “terlalu pemperhatikan perutnya” dan bahwa dia harus mengalihkan pikiran
dari perutnya.
Demikian pula tidak ada manfaatnya mengatakan kepadanya bahwa dia
akan bisa mengatasi sifat “memntingkan perutnya sendiri” dan bahwa itu berarti
menyesuaikan diri dengan tuntutan alam akan kelestarian. Alam telah
menempatkan insting dalam setiap makhluk hidup yang mengatakan “Anda dan
kebutuhan dasar Anda didahulukan”. Singkatnya dia harus makan, dan
memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, sebelum dia bisa memberikan
perhatian kepada hal-hal lainnya.
Demikian pula halnya dengan orang yang mementingkan diri sendiri. Bagi
pribadi yang sehat jasmani dan rohani serta normal, alam menuntut takaran
tertentu penerimaan diri dan persetujuan diri. Dan tidak ada manfaatnya
mengecam orang yang mementingkan diri sendiri dan menyuruhnya
mengalihkan pikiran dari dirinya sendiri. Dia tidak bisa mengalihkan pikiran dari
dirinya sebelum dahaganya akan ego belum terpuaskan. Setelah itu, dia pasti
akan mengalihkan pikiran dari dirinya sendiri, dan memberikan perhatiannya
kepada pekerjaannya, serta kepada orang lain dan kebutuhan mereka.
B.Tentang egois !
Pada dasarnya manusia itu merupakan makhluk yang egois. Ini sudah
dijelaskan oleh berbagai ilmu pengetahuan, yang antara lain:
keselamatannya.
Suka mengatur untuk kebaikan.
Tidak suka melihat hal-hal yang tidak baik.
Selalu berusaha dan pantang menyerah walaupun sering mengalami kegagalan.
Membantah untuk sesuatu yang tidak baik dan berdampak buruk.
Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya; tidak dapat melihat dari sudut
pandang orang lain, apa lagi merasakan apa yang orang lain rasakan. Jadi,
tidak mudah untuk berbincang dengannya kerana ia akan berusaha agar kita
menuruti pendapatnya.
Hanya memikirkan kepentingan peribadinya; jadi, apa yang dilakukannya selalu
untuk kepentingan peribadi, bukan ikhlas untuk kepentingan orang lain. Ia tidak
mengenal erti pengorbanan dan ketulusan; semua hal diperkirakan
berdasarkan untung ruginya.
Kesan Peribadi Yang Ego. Orang sekeliling sukar menerimanya kerana tidak
ada usaha darinya untuk menyesuaikan diri. Daripada terjadi konflik, pada
umumnya orang sekeling akan menjauhkan diri dari berhubungan dengannya
sehingga ia terpaksa hidup bersendirian. Malangnya, semakin kesunyian,
semakin ia menganggap bahawa orang sekeliling yang salah. Pada akhirnya
orang yang ego hidup dalam bersendirian. Sahabat pun sukar untuk
mempercayainya sebab mereka menilai ia tidak jujur. Semua yang
dikerjakannya cenderung dinilai mempunyai maksud tersembunyi di
belakangnya. Pada akhirnya hubungannya dengan yang lain tersekat dan
semakin hari semakin sedikit orang yang bersedia berkawan dengannya.
seandainya bersahabatpun, hubungan yang terjalin merupakan hubungan
timbal-balik, tanpa keikhlasan dan pengorbanan.
1.2.1. Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul
dari pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk
dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial
pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa
ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap
egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang
masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa
senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek
sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat
melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah
menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang
menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau
altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi
nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang
yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa
yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur
dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya
dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek
sosial, maka hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan
pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme etis:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau
kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap
individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui
bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan
dikembangkan sepenuhnya.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing
individu manusia.
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan
nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip
egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen
pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang
mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang
paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak
justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa
yang dia butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya,
maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa
kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam
argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk
bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk
berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya justru tidak egoistik.
Cara mengetes diri sendiri apakah anda termasuk diri yang egois atau
tidak, diantaranya sebagai berikut :
Orang egois itu adalah orang yang merokok di angkutan umum dan dengan
cueknya menghembuskan asap rokoknya sementara orang-orang
disampingnya sudah mengap-mengap, atau orang yang tetap merokok di
tempat umum sementara sudah ada perda yang melarang merokok parahnya
lagi bila di sampingnya ada tanda DILARANG MEROKOK.
Orang egois itu adalah orang yang membuang sampah dengan seenaknya,
tanpa memikirkan kebaikan bagi lingkungan bila ia rela sedikit saja bersusah
mencari kotak sampah atau menyimpan bungkus tersebut sampai ia bertemu
kotak sampah.
Orang egois itu adalah orang yang duduk dengan cueknya di angkutan umum
sementara disebelahnya ada wanita hamil, menggendong bayi atau lansia yang
terlihat letih.
Orang egois itu adalah orang yang berharap orang lain memberikan bangkunya
pada orang-orang di atas, sementara dia sendiri keberatan memberikan
bangkunya.
Orang egois itu adalah orang yang selalu ngoceh kurangnya fasilitas sementara
dia sendiri tidak mau bayar pajak.
Orang egois itu bila dia selalu telat bayar kas dan berlagak seakan-akan dia
sudah membayar ontime .
Orang egois itu bila ada orang di aniaya sementara ia hanya melihat tanpa
memberi bantuan.
Orang egois itu adalah orang yang berfoya-foya dengan hartanya sementara di
sekitarnya ada orang miskin yang butuh dikasihani (percaya deh uangmu gak
bakal berkurang kalau sekedar memberi makan atau sesekali mebayarkan spp
anak miskin yang ingin sekolah).
Orang egois itu adalah orang yang membuang makanannya sementara banyak
orang lain kelaparan.
Orang egois itu adalah orang yang dengan mudah mencela kesalahan orang
lain sementara ia tak mau melihat kekurangan sendiri.
Orang egois itu adalah yang merusak fasilitas umum (ex. telepon umum, WC
umum, jalan) termasuk mencoret-coretnya.
Orang egois itu adalah orang yang gak peduli dengan kesulitan temannya
sementara ketika dia bermasalah dia menyalahkan karena tak ada yang
membantunya.
Orang egois itu adalah orang yang dapat kerja lewat jalur nggak beres (nyogok,
nepotisme dll) sementara orang lain bersusah payah untuk mencari kerja.
Orang egois itu adalah orang yang setelah membaca tulisan ini, dia tidak mau
berubah memperbaiki diri malah mencela tulisan tersebut.
Ketentuan :
Bila lebih dari 7 point yang ditulis ada di dalam diri anda berarti anda
termasuk orang yang sangat egois plus gak peka kalau anda egois, kalau
kurang dari 7 berarti anda egois, jadi belajarlah menguranginya.
Sekiranya anda ingin menambahkan daftar tersebut, silakan saja beri
komentar. Sekiranya tidak setuju dengan tulisan ini, tidak ada paksaan bagi
anda untuk menyetujuinya. Ini hanya sekedar tulisan agar kita mau menyadari
bersama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Egois adalah suatu keadaan dimana seseorang yang bersikap mementingkan
dirinya sendiri.
Kesimpulan
Egois merupakan salah satu sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia,
karena salah satu karakter manusia adalah “tidak pernah merasa cukup”;
Egois itu timbul secara naluriah, ketika manusia itu sendiri dihadapkan kepada
keinginan, kepentingan dirinya yang bersinggungan dengan kepentingan
manusia lainnya maka egois itu akan muncul;
Pendidikan moral dan agama dalam lingkungan keluarga sangat berpengaruh
terhadap tingkat keegoisan seseorang;
Sifat egois tidak dapat dihilangkan pada diri manusia, namun dapat diredam
dengan keinginan manusia itu sendiri untuk mau belajar, memaknai dan
melaksanakan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan.
Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani
Jadi orang yang disebut egois orang yang memang mementingkan dirinya.
Ciri orang egois itu,seperti apa?
Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya;
Hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
Penyebab sifat egois itu sangatlah banyak,tapi secara garis besar dibagi
2,yaitu:
Penyebab dari diri pribadi;
Penyebab dari kehidupan (lingkungan).
Penyebab dari diri pribadi
Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas;
Rasa trauma yang menimbulkan ketidak percayaan kepada orang lain;
Pemahaman yang dangkal tentang fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan.
Penyebab dari kehidupan (lingkungan)
Sikap egois ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama
ini;
Sikap egois timbul dari keadaan lingkungan yang kelaparan, kelaparan
emosional, kelaparan finansial atau kelaparan jasmaniah & rohaniah.
Ada ga dampak kalau kita mempunyai sifat egois?
Dalam mengerjakan atau berbuat sesuatu,pasti ada dampak yang akan kita
terima,yaitu:
Dampak bagi kita pribadi
Dampak bagi lingkungan
Dampak bagi kitapribadi
Lingkungan sulit menerimanya karena tidak ada usaha darinya untuk
menyesuaikan diri
Lingkungan pun sulit untuk mempercayainya sebab lingkungan menilai ia tidak
tulus.
Dampak bagi lingkungan
Akan menimbulkan suasana yang tidak harmonis dalam pergaulan
Memicu prilaku negatif pada lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
http:// James Rachel, The Elements of Moral Philosophy, hlm. 60-64.
http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-yang-paling-
menguntungkan-untuk-diri-sendiri/
id.wikipedia.org/wiki/Egoisme
Sumber : http://arie5758.blogspot.com/2012/01/pada-dasarnya-manusia-
adalah-makhluk.html#ixzz1rq5LHagd
Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2113030-sifat-
egois/#ixzz1rq9ygksy
www.danti.blogspot.com |
http://sokhibi-iby.blogspot.com/2008/11/ciri-ciri-gambaran-orang-egois.html
altruisme.
Dan di lain sisi, keluarga kedua ayah dan ibuya seorang dosen dan kuliah lagi untuk
mendapatkan S3. Tetapi anaknya hanya di sekolahkan di sekolah biasa. Orangtuanya tidak
mementingkan pendidikan anak melainkan mementingkan pendidikan mereka sendiri.
Menurut mereka, yang penting anak mereka sekolah. Sehingga anaknya menjadi trouble
maker, karena sering main dan kurang di pedulikan pendidikannya oleh orangtua.
Jadi, sikap orangtua sangat berpengaruh, mana yang peduli pendidikan anaknya dan
mana yang tidak dari sudut pandang kelas sosial. Belum tentu orangtuanya pintar lalu anaknya
pun pintar, dan belum tentu anak yang kurang pintar itu karena orang tuanya tidak tamat
sekolah atau tidak pintar.