Anda di halaman 1dari 32

MANAJEMEN CITRA DIRI DAN EMPATI

Sebuah makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Human Relations dan
Public Relations

ETIKA PURNAMASARI – G2C117020


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK KONSENTRASI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Pascasarjana Universitas Halu Oleo
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang
Maha benar lagi Maha Mengetahui, sebab atas karuniaNya makalah ini dapat terselesaikan.
Sholawat dan salam juga tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Nabi Muhammad Shallahu
‘alaihi wa sallam yang telah berjuang membawa ilmu pengetahuan sebagai jalan menuju
kesuksesan.
Tak lupa ucapan terimakasih untuk Dr. H. La Ode Muh. Umran, M.Si selaku dosen
pengampu mata kuliah Human Relations dan Public Relations, serta teman-teman magister
Administrasi Publik, konsentrasi komunikasi yang telah meberikan dukungan sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini dibuat sebagai bagian dari tugas individu mata kuliah kuliah Human
Relation dan Public Relations yang secara khusus membahas tentang Manajemen Citra dan
Empati. Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang Citra dan Empati.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kepada pembaca, dan sekiranya
terdapat kekurangan, penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun
dari pembaca yang budiman. Terimakasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................................... 1
1.2. RUMUSAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
1.3. TUJUAN................................................................................................................................ 2
1.4. MANFAAT ............................................................................................................................ 3
BAB II ................................................................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................................ 4
2.1. CITRA DIRI............................................................................................................................ 4
2.2. EMPATI ................................................................................................................................ 4
BAB III .................................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
3.1. MANAJEMEN CITRA DIRI .................................................................................................... 6
3.1.1. Menjadi Pribadi yang menarik................................................................................... 8
3.1.2. Strategi mempengaruhi orang lain menurut jalan pikiran mereka .......................... 9
3.1.3. Citra diri di atas kertas mengungkapkan citra diri sesungguhnya .......................... 16
3.2. EMPATI DENGAN KEPRIBADIAN ORANG LAIN ................................................................. 16
3.2.1. Konsep dasar empati .................................................................................................... 16
3.2.2. Mengenali perbedaan kepribadian .............................................................................. 19
3.2.3. Cara menyesuaikan diri dengan orang lain .................................................................. 24
Aspek-aspek Penyesuaian Diri.................................................................................................. 25
Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri .............................................................................................. 25
Karakteristik Penyesuaian Diri ................................................................................................. 26
Aspek-aspek Penyesuaian Diri.................................................................................................. 27
BAB IV ................................................................................................................................................ 28
PENUTUP ........................................................................................................................................... 28
4.1. KESIMPULAN ..................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Citra merupakan tujuan utama dan sekaligus merupakan reputasi dan prestasi
yang hendak dicapai bagi dunia kehumasan atau Public Relations. Pengertian citra itu
sendiri abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis, tetapi wujudnya bisa
dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk seperti penerimaan dan tanggapan positif
maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat
luas pada umumnya.
Penilaian atau tanggapan masyarakat tersebp[iopk,ut dapat berkaitan dengan
timbulnya rasa hormat, kesan yang baik, dan menguntungkan terhadap suatu citra
lembaga atau organisasi yang diwakili oleh pihak Humas/PR, biasanya landasan citra itu
berakar dari nilai-nilai kepercayaan yang kongkretnya diberikan secara individual dan
merupakan pandangan atau persepsi. Proses akumulasi dari amanah kepercayaan yang
telah diberikan oleh individu- individu tersebut akan mengalami suatu proses cepat atau
lambat untuk membentuk suatu opini publik yang lebih luas, yaitu sering dinamakan
citra (image).
Citra dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu citra positif dan citra negatif. Citra
positif merupakan kesan, pandangan atau persepsi baik yang dinilai oleh individu atau
kelompok terhadap organisasi/perusahaan ataupun sebaliknya, citra negatif yaitu
kesan, pandangan atau persepsi buruk yang dinilai oleh individu atau kelompok
terhadap organisasi/perusahaan. citra humas yang ideal adalah kesan yang benar, yakni
sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan
yang sesungguhnya.
Citra sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja, suatu perusahaan/organisasi
harus bisa mempertahankan citra demi kelangsungan perkembangan
organisasi/perusahaan agar selalu bernilai dan bermakna baik dimata khalayak,
mengingat sangat pentingnya citra untuk sebuah organisasi/perusahaan dalam
membentuk, mempertahankan dan meningkatkan reputasinya.
Berbeda dengan citra, Empati merupakan respon afektif yang berasal dari
pemahaman kondisi emosional orang lain, perasaan yang sama dengan apa yang
dirasakan orang lain. Empati adalah alat integral untuk mengetahui dan berhubungan

1
dengan orang lain dan menambah kualitas hidup dan kekayaan interaksi sosial.
Empati memiliki peran penting pada perkembangan pemahaman sosial dan
perilaku social positif dan berfungsi sebagai fondasi hubungan dan menjadi dasar
koping dengan stress dan penyelesaian konflik (Barr dan Higgins, 2009). Kepekaan
sosial atau empati pada setiap orang bisa berbeda-beda. Empati biasanya tumbuh dari
masa anak- anak, mengikuti orang tua. Menurut Arsenio dan Lemerise (dalam
Constantinos, 2011).
Empati merupakan kemampuan untuk menghargai konsekuensi dari perilaku
manusia terhadap perasaan orang lain dan berbagi serta berempati dengan perasaan
orang lain. Orang yang enggan berbagi akan tumbuh menjadi pribadi yang
individualistis dan egosentris. Sementara mereka yang sejak kecil sering dilibatkan
untuk memahami kesulitan orang lain, biasanya akan lebih peka dan mudah tergerak
hatinya untuk menolong sesama.
Pendidikan empati sebagai inti dari pendidikan moral atau budi pekerti akan
mampu menyentuh perkembangan perilaku remaja secara mendasar, apabila
pendidikan empati tersebut ditanamkan pada anak sejak usia dini. Jika pendidikan
empati tersebut diberikan pada anak setelah menginjak dewasa maka tidak akan
begitu berpengaruh secara mendasar terhadap karakter dan pembentukan pribadi
anak. Dasar kemampuan untuk berempati pada orang lain adalah adanya sikap hati
terbuka, terbuka artinya mau mengerti perasaan orang lain dan mau dimengerti oleh
orang lain.
Makalah ini akan membahas tentang citra dan empati. Meskipun dua hal ini
mempunyai pengertian yang berbeda, maka penulis akan mencoba membahas
keduanya sesuai dengan ruang lingkup citra dan empati.

1.2. RUMUSAN PEMBAHASAN


Rumusan dalam pembahasan makalah ini meliputi:
1. Pengertian tentang citra diri dan empati
2. Penjelasan tetang manajemen citra diri
3. Cara agar dapat berempati dengan kepribadian orang lain
1.3. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk

2
1. Menambah pengetahuan tentang citra dan empati
2. Mengetahui tentang manajemen citra diri
3. Mengetahui cara agar dapat berempati dengan kepribadian orang lain
1.4. MANFAAT
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah
1. Pembaca dapat mendefinisikan arti citra dan empati
2. Pembaca dapat memahami tentang citra diri dan bagaimana mengaturnya
3. Pembaca diharapkan dapat mengenali kepribadian orang lain serta dapat
menyesuaikan diri dengan orang lain

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. CITRA DIRI
Citra diri adalah gambaran mengenai diri individu, berdasarkan kamus psikologi
self image atau gambaran diri adalah jati diri seperti yang digambarkan atau yang
dibayangkan (Chaplin, 2006). Citra diri (self image) adalah persepsi tentang diri kita
sendiri, dan seringkali tidak kita sadari, karena memiliki bentuk yang sangat halus atau
abstrak.
Citra diri lebih bersifat global dan bersifat sebagai payung besar yang menaungi
seluruh kecenderungan tindakan kita dalam berpikir atau bertindak. Citra diri juga
sering dianalogikan sebagai kartu identitas diri yang kita perkenalkan kepada semesta
alam. (Salmaini, 2011)
Citra diri merupakan gambaran umum tentang diri kita. Mirip kumpulan foto
dalam berbagai Situasi (saat sendiri, bersama orang lain, dahulu dan sekarang). Citra
Diri juga merupakan kesimpulan dari pandangan kita dalam berbagai peran (sebagai
anak, Mahasiswa, staff, manager) atau merupakan Pandangan kita tentang watak
kepribadian yang kita rasa ada pada kita (setia, jujur, bersahabat, judes, dll).
CITRA DIRI = Pandangan yang kita buat tentang diri kita sendiri di berbagai
situasi, dalam berbagai peran, dan pada rasa diri sendiri.

2.2. EMPATI
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, empati/em·pa·ti/ /émpati/ n
Psi keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya
dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain;
berempati/ber·em·pa·ti/ v melakukan (mempunyai) empati: apabila seseorang mampu
memahami perasaan dan pikiran orang lain, berarti ia sudah mampu ~.
Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan. Istilah ini, pada
awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk pengalaman subjektif orang lain.
Kemudian pada tahun 1920-an seorang ahli psikologi Amerika, E. B. Tichener, untuk
pertama kalinya menggunakan istilah mimikri motor untuk istilah empati. Istilah
Tichener menyatakan bahwa empati berasa dari peniruan secara fisik atas beban orang
lain yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang.

4
Menurut M Umar dan Ahmadi Ali, empati adalah suatu kecenderungan yang
dirasakan seseorang untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikan ia
berada dalam situasi orang lain,27 sedangkan Patton berpendapat bahwa, empati
bermakna memposisikan diri pada posisi orang lain. Meskipun ini tidak mudah, tetapi
sangat perlu jika seseorang ingin memiliki rasa kasih kepada orang lain serta ingin
memahami dan memperhatikan orang lain. Berangkat dari pengeertian ini dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa dibutuhkan waktu untuk mendekatkan diri sebagai hal yang
dapat mempererat persahabatan dan menunjukkan kesediaan untuk membantu orang
lain.

5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. MANAJEMEN CITRA DIRI
“Manajemen” dan “Citra” merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Manajemen adalah aktivitas atau kegiatan mengelola sesuatu secara efisien
dan efektif, guna meraih suatu tujuan yang dikehendaki. Sesuatu yang dimaksud bisa
“personal” atau “organisasi”. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan (baca:
manajemen) perlu menerapkan kaidah-kaidah tertentu, yang lazim disebut dengan
fungsi-fungsi manajemen, yang mencakup planning (perencanaan), organizing
(pengorganisasian), leading (kepemimpinan) dan controlling (pengendalian).
Sedangkan citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu
kenyataan. Pemahaman ini muncul, karena adanya informasi yang ditangkap oleh
seseorang. Citra bisa positif dan bisa pula negatif. Semua orang atau organisasi ingin
dicitrakan positif. Itu pasti. Karena hanya dengan citra yang positif, individu maupun
organisasi, akan mampu bertahan di tengah-tengah kancah persaingan yang sangat
kompetitif seperti dewasa ini.
Oleh karena itulah, mengelola citra diri atau citra organisasi merupakan sesuatu
yang amat sangat penting, bagi individu maupun organisasi. Khususnya di era informasi
dan teknologi yang berkembang sedemikian cepat dan pesat ini. Namun sayang belum
semua individu dan organisasi menyadarinya. Banyak individu maupun organisasi yang
hanya berfikir sesaat dan pragmatis. Mereka menganggap dirinya dan perusahaannya,
semuanya berjalan baik-baik saja, lancar-lancar saja, tidak ada masalah.
Belum tingginya kesadaran dalam mengelola citra diri maupun citra organisasi ini
disebabkan oleh beberapa ha. Pertama, karena tidak tahu. Kedua, karena tidak mau
tahu dan Ketiga karena tahu tetapi tidak tahu caranya. Penyebab yang kedua inilah yang
sering kita temui. Tidak gampang mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat
tentang arti penting citra bagi kehidupan individu dan kehidupan organisasi baik
organisasi bisnis maupun nirlaba.
Masih lagi ditambah dengan minimnya referensi dan pustaka yang membahas dan
mengkaji masalah ini. Apabila ada pembahasan bersifat parsial dan kasus per kasus. Dan
sebagian besar merupakan buku terjemahan. Selama ini pembahasan citra lebih banyak

6
diajarkan dalam pelatihan dengan model pembelajaran yang bersifat personal dan
pragmatis.
Sebab kurangnya referensi, maka penulis mencoba merumuskan suatu formula
yang terkait dengan pengelolaan citra diri dan citra organisasi, yang kami namakan
Manajemen Citra (MANTRA). Formula ini merupakan hasil rumusan dan perenungan
yang cukup lama. Dengan satu tujuan dan maksud yaitu membantu individu dan
organisasi agar mau dan mampu membangun dan mengembangkan citra diri dan
organisasinya menjadi lebih baik. Menjadikan citra sebagai selling point dan keunggulan
kompetitif, yang sulit ditandingi oleh kompetitor.
Mantra adalah serangkaian aktivitas pengelolaan citra individu atau organisasi
yang didasarkan atas penilaian pihak lain. Penilaian baik- buruk dari kacamata pihak lain,
merupakan suatu hal yang bersifat lebih jujur dan obyektif. Untuk itulah kita harus
pandai-pandai merancang dan mengelola citra diri kita, bila kita ingin dicitrakan oleh
orang lain sesuai dengan yang kita inginkan. Begitu pula dengan perusahaan. Citra
perusahaan yang positif sangat berperan dalam mempertahankan dan
mengembangkan keberadaan perusahaan di tengah lingkungan global yang sangat
turbulance.
Pengelolaan citra tanpa dilandasi dengan fungsi manajamen, hanya akan
menghasilkan citra diri dan citra organisasi yang buram, tidak jelas, kabur dan acak-
acakan. Meleset dari yang kita harapkan. Oleh karena itu berbicara masalah citra diri
atau citra organisasi, tidak bisa lepas dari manajemen.
Kita atau organisasi kita ingin dicitrakan oleh orang lain seperti apa ? Sangat
tergantung pada diri kita. Untuk itu kita dituntut harus mampu menyusun perencanaan
terhadap citra yang kita inginkan. Kemudian keinginan tersebut harus kita organisasikan
sebaik mungkin agar dapat terwujud. Dalam mewujudkan citra diri atau citra organisasi
yang kita idamkan, kita harus mampu memimpin dan mengendalikan diri, agar citra
yang kita idamkan tidak melenceng dan ke luar dari koridor yang telah kita tetapkan.
Penerapan Mantra yang paling mendasar, diawali dari sisi personalitas. Ini
merupakan sesuatu yang tidak sederhana, namun sangat kompleks. Sebab manusia
bukanlah mesin, sehingga nilai-nilai kemanusiaan, subyektivitas, nilai sosial budaya
akan sangat mempengaruhi dan melekat pada diri dan penilaian seseorang. Setelah sisi
personalitas tergarap, barulah memasuki level organisasi.

7
3.1.1. Menjadi Pribadi yang menarik
Pada dasarnya komunikasi sangat diperlukan pada saat kita berhubungan dan
berhadapan dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsun. Berhasil
tidaknya suatu hubungan antara kita dengan klien tergantung bagaimana cara kita
berkomunikasi. Dalam hal ini kepribadian memegang peran sangat penting.
Berkomunikasi dengan orang lain dapat dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:
1. Komunikasi pada keluarga
- Hubungan antara Ayah-Ibu
- Hubungan antara Orang tua-Anak
- Hubungan antara kita dengan saudara
2. Komunikasi pada teman sejawat
- Hubungan Pertemanan
- Hubungan Persahabatan
3. Komunikasi pada lingkungan
- Hubungan antara sesama tetangga
- Hubungan antara kerabat
4. Komunikasi pada klien/partner bisnis/ partner kerja

Interpersonal skill atau kemampuan interpersonal merupakan kemampuan,


kesanggupan, kepandaian atau kemahiran seseorang dalam mengerjakan sesuatu .
kemampuan interpersonal dimiliki sesorang untuk menjadi pribadi yang menarik.
Interpersonal skill bukan merupakan bagian dari karakter kepribadian yang bersifat
bawaan, melainkan merupakan ketrampilan yang bisa dipelajari. Interpersonal skill yang
baik dapat dibangun dari kemampuan mengembangkan perilaku dan komunikasi yang
asertif dan efektif. Komunikasi asertif adalah kemampuan untuk mengomunikasikan
pikiran, perasaan dan keinginan secara jujur pada orang lain tanpa merugikan orang lain
Seseroang yang mempunyai Interpersonal skill di bawah ini, cenderung dapat
menjadi pribadi yang menarik:
- Memiliki konsep diri dan berkepribadian yang kuat
- Meningkatkan potensi diri menjadi pribadi yang mempunyai kompetensi
dibidangnya
- Percaya diri dan mengasah kemampuan berkomunikasi

8
- Berpenampilan menarik dan menyenangkan
- Meningkatkan human relations dalam kehidupan bermasyarakat dan organisasi
- Meningkatkan kemampuan menjadi pemimpin dan dapat bekerjasama dalam tim

3.1.2. Strategi mempengaruhi orang lain menurut jalan pikiran mereka


Metode ini paling banyak digunakan untuk membujuk (to persuade) orang
sehingga secara tidak sadar mengikuti keinginan komunikator yang menyampaikan
bujukan. Dengan metode persuasi, seseorang atau sekelompok orang tidak merasa
bahwa perubahan dalam dirinya adalah akibat pengaruh dari luar. Dia yakin bahwa
dorongan merubah sikap, pendapat atau perilakunya memang sudah lama ada dalam
dirinya. Metode ini yang akan dibahas lebih lanjut karena dari pengalaman para ahli
pemasaran dan perubah perilaku, persuasi adalah metode yang terbukti paling ampuh
dalam mendorong perubahan dan mempertahankan perubahan itu dalam jangka yang
sangat lama.

Falsafah Komunikasi Persuasif


Manusia dan komunikasi merupakan satu kesatuan. Komunikasi melekat pada diri
manusia, sehingga we can not live without communicate. Keberadaan komunikasi,
karena begitu melekatnya pada diri manusia sering tidak disadari. Manusia cenderung
beranggapan bahwa dirinya mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi. Akibatnya,
masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan komunikasi, seringkali
diselesaikan sendiri.
Dalam mempelajari komunikasi persuasif, memahami aspek filosofis komunikasi
persuasif, sangat ditekankan. Hal ini mengingat bahwa komunikasi persuasif,
sebagaimana halnya ilmu-ilmu yang lain, memiliki tiga aspek filosofis keilmuan, yaitu
aspek ontologi, aspek epistemologi, dan aspek aksiologi.
Dengan memahami ketiga aspek filosofi ilmu tersebut, kita dapat membedakan
berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam khasanah kehidupan manusia. Hal
yang terpenting adalah kita akan mengenali ciri-ciri dari Ilmu Komunikasi Persuasif,
serta dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk kesejahteraan umat manusia.

9
Aspek ontologi, menyangkut pertanyaan apa yang dikaji oleh suatu ilmu, aspek
epistemologi berkaitan dengan pertanyaan cara-cara memperoleh ilmu tersebut, dan
aspek aksiologi berkenaan dengan pertanyaan penggunaan dari ilmu tersebut.
Dalam melakukan komunikasi persuasif, kita harus memahami kriteria tanggung
jawab persuasi, sebagaimana yang dikemukakan Larson, yaitu adanya kesempatan yang
sama untuk saling mempengaruhi, memberi tahu audiens tentang tujuan persuasi, dan
mempertimbangkan kehadiran audiens“.

Konsep-konsep Dasar Komunikasi Persuasif


Komunikasi ada dalam segala aktivitas hidup kita. Bentuknya bisa berupa tulisan,
lisan, gambar, isyarat, kata-kata yang dicetak, simbol visual, audio visual, rabaan, suara,
kimiawi, komunikasi dengan diri sendiri, kelompok, organisasi, antarpersona, dialogis,
dan lain-lain.
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin ”communicare”, yang berarti
berpartisipasi, memberitahukan, atau menjadi milik bersama.
Dalam definisi komunikasi yang dikemukakan beberapa ahli, walaupun
pengungkapannya beragam, namun terdapat kesamaan telaah atas fenomena
komunikasi. Kesamaan tersebut nampak dalam isi yang tercakup di dalamnya, yaitu
adanya komunikator, komunikan, pesan, media/saluran, umpan balik, efek, dampak
serta adanya tujuan dan terbentuknya pengertian bersama.
Untuk memahami komunikasi, dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif
umum dan perspektif paradigmatik. Perspektif secara umum dapat dilihat dari dua segi,
yaitu pengertian secara etimologis, dan pengertian secara terminologis.
Istilah persuasi bersumber dari bahasa Latin, persuasio, yang berarti membujuk,
mengajak atau merayu.
Persuasi bisa dilakukan secara rasional dan secara emosional. Dengan cara
rasional, komponen kognitif pada diri seseorang dapat dipengaruhi. Aspek yang
dipengaruhi berupa ide ataupun konsep. Persuasi yang dilakukan secara emosional,
biasanya menyentuh aspek afeksi, yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan
emosional seseorang. Melalui cara emosional, aspek simpati dan empati seseorang
dapat digugah.

10
Dari beberapa definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli, tampak
bahwa persuasi merupakan proses komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi
sikap, pendapat dan perilaku seseorang, baik secara verbal maupun nonverbal.
Komponen-komponen dalam persuasi meliputi bentuk dari proses komunikasi
yang dapat menimbulkan perubahan, dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar,
dilakukan secara verbal maupun nonverbal.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam komunikasi persuasi meliputi
kejelasan tujuan, memikirkan secara cermat orang-orang yang dihadapi, serta memilih
strategi yang tepat.
Ruang lingkup kajian ilmu komunikasi persuasif meliputi sumber, pesan,
saluran/media, penerima, efek, umpan balik, dan konteks situasional.
Pendekatan yang digunakan dalam komunikasi persuasif adalah pendekatan
psikologis. Tiga fungsi utama komunikasi persuasif adalah control function, consumer
protection function, dan knowledge function.

Trik dalam Komunikasi Persuasif


Inilah sembilan trik yang dapat Anda terapkan untuk dapat membujuk dan
mempengaruhi orang lain:
1. Bercermin dengan orang lain. Lakukan hal ini dengan menirukan gerakan tangan,
membungkukkan badan ke depan atau belakang, atau berbagai gerakan kepala dan
lengan lainnya. Kadang-kadang kita melakukannya tanpa sadar, namun bila Anda
menyadarinya, pelajari lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu diingat adalah Anda
harus melakukannya dengan halus, dan buat jeda sekitar 2-4 detik antara gerakan
orang tersebut dengan gerakan Anda.
2. Kelangkaan. Inilah yang paling sering dilakukan seorang pembuat iklan. Kesempatan
memiliki sesuatu terlihat sangat menarik ketika persediaan begitu terbatas. Hal ini
akan berguna untuk orang yang memang sedang membutuhkan, namun yang lebih
penting, inilah metode persuasi yang harus diwaspadai. Berhentilah, dan
pertimbangkan seberapa sering Anda dipengaruhi berita bahwa sebuah produk
sedang langka? Jika memang produk itu langka, tentu akan ada banyak permintaan
untuk barang tersebut bukan?

11
3. Membalas budi. Ketika seseorang berbuat baik pada kita, kita sering merasa dituntut
untuk melakukan sesuatu untuknya. Jadi, jika Anda ingin seseorang melakukan
sesuatu untuk Anda, Anda bisa memberikan sesuatu yang baik untuknya lebih dulu.
Di lingkungan rumah, misalnya, Anda bisa menawarkan untuk meminjamkan
peralatan memasak, tangga, atau apa pun, kepada tetangga yang terlihat sedang
membutuhkan. Tidak masalah kapan, atau dimana Anda melakukannya, kuncinya
adalah menghargai hubungan yang ada.
4. Waktu yang tepat. Orang cenderung setuju atau menurut pada Anda ketika mereka
merasakan kelelahan secara mental. Sebelum Anda meminta sesuatu pada
seseorang yang mungkin tidak akan langsung disetujuinya, cobalah untuk menunggu
sampai ada kesempatan dimana mereka baru saja melakukan sesuatu karena
terdesak. Temui dia saat hendak pulang dari kantor, dan katakan apa yang Anda mau.
Seringkali jawabannya adalah, “Besok deh, aku kerjakan.”
5. Keserasian. Teknik ini kerap digunakan para petugas penjualan. Seorang salespeople
akan menjabat tangan Anda saat sedang bernegosiasi. Dalam benak kebanyakan
orang, berjabat tangan artinya bersepakat, sehingga dengan melakukannya sebelum
kesepakatan tercapai, petugas sales seolah sudah mendapatkan transaksi yang ia
inginkan. Cara yang tepat untuk melakukannya pada kegiatan sehari-hari adalah
membuat seseorang bertindak sebelum mereka memutuskan. Misalnya, Anda
mengajak seorang teman jalan-jalan, dan Anda ingin menonton film (padahal sang
teman sedang tidak ingin). Anda bisa langsung mengajaknya ke bioskop sementara
teman Anda sedang membuat keputusan akan menonton atau tidak.
6. Obrolan yang cair. Saat sedang berbicara, seringkali kita menggunakan frasa seperti
“Mm…” atau “Maksud saya…” dan kata-kata lain yang menimbulkan jeda di tengah
pembicaraan. Hal seperti ini sebenarnya menunjukkan rasa kurang percaya diri kita,
yang dengan sendirinya membuat kita kurang persuasif. Jika Anda yakin dengan apa
yang Anda katakan, orang lain pun akan mudah terbujuk dengan apa pun yang Anda
katakan.
7. Menggiring. Kita semua terlahir menjadi pengikut. Kita sering memperhatikan apa
yang dilakukan orang lain sebelum kita bertindak, karena kita membutuhkan
penerimaan dari orang lain. Secara sederhana, cara efektif untuk menggunakan
kebiasaan ini adalah dengan menjadi pemimpin, membuat orang lain mengikuti

12
Anda. Misalnya, Anda sedang menghadiri seminar, dan memilih duduk di tengah-
tengah. Begitu seminar dimulai, sang MC meminta hadirin untuk mengisi bangku-
bangku kosong di depan. Nah, cobalah untuk menjadi orang pertama yang
menggiring orang lain untuk menempati bangku tersebut.
8. Benefit. Tunjukkan pada orang lain apa keuntungan bagi mereka jika melakukan
tindakan yang Anda sarankan ini. Namun perhatikan apa yang Anda sampaikan. Anda
harus mengatakannya dengan optimis, mendorong, dan menyenangkan mereka.
Sikap pesimis dan mengkritik tidak akan membantu. Coba ingat bagaimana Obama
memenangkan pemilu akhir tahun lalu. Kata kuncinya adalah “Yes, we can!”.
Mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain, seperti yang dilakukan John McCain,
tidak akan membuat orang bersimpati.
9. Teman-teman dan penguasa. Kita cenderung akan mengikuti atau terbujuk oleh
seseorang yang berada di posisi yang lebih tinggi. Ini menjadi contoh yang baik untuk
waspada akan “serangan” persuasif yang sedang dilakukan terhadap Anda. Di pihak
lain, menjadi cara yang baik pula bagi Anda untuk melakukannya pada orang lain
karena Anda akan terkejut betapa mudah membuat orang menyukai Anda dan
memperoleh kekuasaan di antara kelompok Anda.

Contoh Penggunaan Persuasif Sebagai Sebuah Strategi Komunikasi untuk


Meningkatkan Minat Baca
Persuasi sebagai sebuah metode yang dipilih sebagai strategi komunikasi karena
tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh pustakawan adalah lahirnya minat baca dan
minat kunjung perpustakaan. Minat (interest) dalam pengertian umum adalah
kecenderungan perilaku yang berasal dari dalam diri individi yang dapat
menggambarkan sikap dan pendapat seseorang terhadap sebuah objek sebagai sebuah
awal sebelum akhirnya menjadi sebuah tindakan. Dengan pengertian lain bahwa minat
selalu muncul dari dalam diri seseorang yang bangkit atau dibangkitkan karena
ketertarikan pada sesuatu di luar dirinya.
Untuk dapat menjalankan metode persuasi diperlukan beberapa komponen
komunikasi yang harus terlibat secara utuh dan berkaitan satu sama lain dengan erat.
Berikut akan diuraikan masing komponennya:
1. Komunikator

13
Komunikator adalah orang yang menyampaikan pesan komunikasi sehingga
dapat sampai dan dimengarti oleh penerimanya. Untuk dapat menggunakan metode
persuasi secara efisien, seorang pustakawan yang bertindak sebagai komunikator
haruslah orang yang memiliki kredibilitas tinggi (diukur dari kecakapan
berkomunikasi lisan dan tulisan, penampilan yang menyenangkan, sikap yang
meyakinkan, percaya diri yang tinggi) sehingga menumbuhkan kepercayaan bagi
mereka yang menerima pesan. Apabila di perpustakaan belum terdapat orang
dengan kriteria itu, bisa juga meminta bantuan (menyewa) orang yang sudah ahli
sebagai konsultan atau pelaku langsung.
Disamping kredibilitas, komunikator juga dituntut untuk menilai positif
(positiveness) dan mendukung (supportiveness) tujuan komunikasi. Komunikator
juga harus terbuka dan jujur. Penerima pesan tidak boleh melihat ada kesan ketidak
jujuran pada diri komunikator. Untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya
diinginkan dan disukai oleh sasaran komunikasi, seorang komunikator harus memiliki
empati atau kepekaan pada apa yang dirasakan oleh sasaran sehingga dia merasa
diperhatikan. Orang sangat suka diperhatikan, dan itulah yang seharusnya diberikan
oleh seorang komunikator.
2. Pesan Komunikasi
Setelah komunikator terpilih, komponen kedua yang juga harus diperlakukan
dengan sangat hati-hati adalah pesan komunikasi. Berbeda dengan pesan informatif
yang sangat kuat dalam memberikan instruksi atau saran tindakan, atau dengan
pesan koersi yang terasa dan jelas sekali kesan ancaman yang disampaikan, pesan
persuasi harus sangat halus dan hampir tidak kentara “paksaannya.” Pesan tidak
boleh terasa diarahkan pada sasaran, tetapi justru berkesan bahwa pesan adalah
untuk orang lain. Tidak ada instruksi di dalamnya melainkan contoh hasil tindakan
orang lain.
Melalui kemasan pesan seperti ini maka yang akan muncul pada individu atau
kelompok sasaran adalah keinginan meniru orang lain yang dicontohkan, bukan
karena merasa disuruh atau dipaksa berbuat. Perhatikan contoh pesan berikut
(konsep ini juga digunakan oleh banyak iklan):
“Bacalah buku dan kunjungi perpustakaan, maka anda akan menjadi orang
yang cerdas dan mendunia”

14
Perhatikan pesan kedua:
“Tantowi Yahya tidak pernah lupa membaca setiap hari. Seminggu dua kali ia
kunjungi perpustakaan. Itu yang membuatnya nampak cerdas dalam
mengantarkan acara Who wants to be a millionaire.”
Pada pesan pertama kesan ‘perintah’ sangat terasa (BACALAH) walaupun
niatnya adalah menghimbau, bukan memaksa. Sedangkan pada pesan kedua,
pembaca tidak pernah diminta berbuat apapun, hanya ditunjukkan
sebuah contoh.Untuk dapat menyusun pesan persuasi yang baik dan kuat, seorang
pustakawan harus rajin membaca dan mengkaji pesan-pesan dalam iklan, kemudian
memilih yang dinilai paling efisien untuk kemudian menjadikannya sebagai dasar
gagasan (bukan menjiplak!) dalam membuat pesan persuasi tentang apa yang akan
terjadi pada seseorang jika membaca dan berkunjung ke perpustakaan.
3. Media Komunikasi
Dalam metode persuasi, media merupakan komponen yang cukup penting
karena jika terpilih dengan tepat akan mampu menyampaikan pesan persuasi dan
menjangkau sasaran dengan tepat. Maka seorang pustakawan harus memiliki
pengetahuan yang cukup tentang karakter umum setiap jenis dn bentuk media
komunikasi (bukan kajian ilmiahnya).
Bentuk media komunikasi secara umum terdiri atas media personal (untuk
sasaran perorangan), media kelompok (menjangkau sasaran kelompok pada sebuah
tempat tertentu), dan media massa (menjangkau sasaran yang besar dan berbeda
tempat). Sedangkan jenis media adalah cetak dan elektronik. Jadi jika digabungkan
terdapat kelompok media personal elektronik (telefon, e-mail), media personal cetak
(surat, kartu ucapan), media kelompok elektronik (millist, facebook, bulletin board),
media kelompok cetak (poster, terbitan internal), dan media massa elektronik
(televisi, radio), media massa cetak (koran, majalah).
Pemilihan media dilakukan setelah pustakawan mengetahui media yang
paling sering diakses oleh sasaran (dengan alasan mudah diperoleh, dimiliki dan
digunakan oleh sasaran). Dengan pengetahuan ini maka tingkat jaminan bahwa
pesan akan ‘terbaca’ (accessed/ reached) oleh sasaran menjadi cukup tinggi.
Pustakawan tidak boleh menggunakan media karena dia suka dan hanya bisa
menggunakan media tertentu saja.

15
Setelah media ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah pengemasan
pesan yang disesuaikan dengan sifat media terpilih. Misalnya media massa elektronik
memiliki sifat ‘selintas dan tak terulang’, maka pesan yang disampaikan harus sangat
pendek dan mudah diingat atau sangat berkesan. Adegan seorang Agnes Monica
sedang membaca buku di meja baca perpustakaan UPH lebih mengesankan dan
mudah diingat dibandingkan sekumpulan teks tentang guna dan manfaat membaca
di perpustakaan. Tetapi dalam sebuah Blog pustakawan, orang lebih ‘berminat’
membaca pengalaman sang pustakawan bertemu presiden RI setelah menang lomba
menulis cerita yang bahannya dia ambil dari Perpustakaan Umum Kota Bangka (atau
peristiwanya dikarang layaknya sebuah iklan!).
Di samping isi, pesan juga harus dikemas dengan daya tarik tinggi. Kembali
lagi, dasar kemasan adalah karakter sasaran komunikasi. Sasaran remaja harus
mendapat pesan persuasif dalam kemasan yang bergaya muda, baik pilihan kata,
jenis huruf, warna dan ilustrasi yang ditempelkannya. Begitu pula bagi sasaran anak-
anak atau orang dewasa.

3.1.3. Citra diri di atas kertas mengungkapkan citra diri sesungguhnya


3.2. EMPATI DENGAN KEPRIBADIAN ORANG LAIN
3.2.1. Konsep dasar empati
Empati adalah kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan
menghayati pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain.
Jadi, empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang
lain.33 Kemampuan mengetahui sudut pandang serta menghayati perasaan orang lain
inilah yang kemudian akan menciptakan sosialisasi atau interaksi positif terhadap orang
lain., serta menumbuhkan rasa asih terhadap beban atau penderitaan orang lain.
Chaplin mendefinisikan bahwa empati adalah kemampuan memproyeksikan
perasaan sendiri pada suatu kejadian; satu objek alamiah atau karya estetis dan realisasi
dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan pibadi lain.
Empati adalah kemampuan merasakan emosi orang lain baik secara fisiologis
maupun mental yang terbangun pada berbagai keadaan batin orang lain. Perubahan
biologis ini akan muncul ketika individu berempati dengan orang lain. Prinsip umumnya,

16
semakin sama keadaan fisiologis dua orang pada momen tertentu, semakin mudah pula
mereka bisa merasakan perasaannya satu sama lain.
Empati sangat penting sebagai sistem pemandu emosi yang menuntun kita ke
tempat kerja tetap baik. Empati lebih dari sekadar untuk bertahan, sebab empati
sangatlah penting untuk menghasilkan kinerja istimewa dalam bidang-bidang pekerjaan
yang menitik-beratkan peran utama manusia.
Al Barry dan Partanto berpendapat bahwa, empati adalah keadaan sikap keaktifan
otot-otot atau perasaan-perasaan yang dialami manusia dalam menghadapi benda-
benda atau manusia dan merasa bersatu dengan mereka dan pada waktu yang sama
ketika mengadakan respon saat menyertai mereka.
Kemampuan mengindra perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan
mengungkapkannya merupakan intisari empati. Meskipun seseorang tidak
mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata, sebaliknya, ia lebih dulu memberitahu
kita pada apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan melalui intonasi, ekspresi
wajah, atau cara- cara non-verbal lainnya. Kemampuan memahami cara komunikasi
yang samar ini dibangun atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya
kesadaran diri (self awarenes) dan kendali diri (self control). Adanya kemampuan
mengindra diri sendiri atau menjaga agar perasaan tidak mengombang-ambingkan diri,
akan membuat diri peka terhadap suasana hati orang lain. Empati adalah suatu
kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikan ia berada
dalam situasi orang lain tersebut. Karena empati, orang menggunakan perasaannya
dengan efektif di dalam situasi orang lain dengan didorong oleh emosinya sendiri yang
seolah-olah ia ikut mengambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain.
Disinilah situasi feeling into a person or thing tumbuh dalam dirinya.
Kesimpulannya, empati adalah memahami perasaan atau masalah orang lain
serta berpikir dengan sundut pandang mereka tentang berbagai hal.
Perkembangan Empati
No Hoffman Shapiro

1 Memahami diri (umur 1 tahun) Empati Emosi (0-1 tahun)


2 Memahami perasaan orang Empati Egosentrik (umur 1-2
lain (umur 2 tahun) tahun)

17
3 Mulai merasakan Empati Kognitif (mulai umur 6
kesengsaraan orang lain (pada tahun)
akhir anak- anak)
4 - Empati Abstrak (pada masa
akhir anak-anak)
Tabel 3. 1 Perekmbangan Empati

Kesimpulan empati menurut Hoffman dan Shapiro, empati dimulai usia bayi
dan meningkat seiring bertambahnya usia. Sedangkan perbedaan menurut kedua
tokoh tersebut terletak pada usia individu untuk peningkatan empati tersebut.

Ciri-ciri atau Karakteristik Empati Menurut Goleman


No Orang yang berempati Empati bagian dari kecerdasan
tinggi emosi
1 Ikut merasakan (Sharing Mendengarkan bicara orang lain
feeling) dengan baik
2 Dibangun berdasarkan Menerima sudut pandang orang lain
kesadaran diri
3 Peka terhadap bahasa isyarat Peka terhadap perasaan orang lain
4 Mengambil peran (role -
taking)
5 Kontrol emosi -
Tabel 3. 2 Karakteristik Empati

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tingkat tinggi


rendahnya pengalaman subjek dan objek respon empati. Secara umum, seseorang
lebih menunjukkan empati kepada orang yang memiliki pengalaman yang sama
dengan dirinya daripada orang yang berbeda. Semakin tinggi kemampuan seseorang
dalam berpikir imajinatif, sadar akan pengaruh seseorang terhadap orang lain, dapat
mengevaluasi motif- motif orang lain, pengetahuan tentang motif dan perilaku orang
lain serta rasa pengertian sosial maka dapat pula dikatakan bahwa seseorang terbut
memiliki kemampuan empati yang tinggi.

18
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati
No Hoffman Siwi

1 Sosialisasi Pola asuh

2 Mood dan feeling Kepribadian

3 Proses belajar dan identifikasi Usia

4 Situasi dan tempat Derajat kematangan

5 Komunikasi dan bahasa Sosialisasi

6 Pengasuhan Jenis kelamin

Tabel 3. 3 Faktor-aktor yang mempengaruhi empati

Menurut Fesbach,51 empati adalah sejenis pemahaman perspektif yang


mengacu pada respon emosi yang dianut bersama dan dialami individu ketika ia
mempersepsikan reaksi emosi orang lain. Empati mempunyai dua aspek komponen
kognitif dan satu komponen afektif. Komponen-komponen tersebut terdiri dari:
a. Kemampuan individu mengidentifikasi dan melabelkan perasaan orang lain.
b. Kemampuan individu mengasumsikan persepektif orang lain.
c. Kemampuan dalam responsif emosi.

3.2.2. Mengenali perbedaan kepribadian


Siapakah Aku? ini merupakan pertanyaan penting bagi tiap-tiap individu. Bila
seseorang menyediakan waktu untuk menyelam dalam ke kedalaman pribadinya, ia
akan menemukan bahwa dirinya unik.
Pemahaman terhadap diri sendiri sebagai pribadi unik membuat kita mengerti
dan dapat menerima kecenderungan pribadi kita, serta mengerti apa yang diperlukan
untuk berkembang optimal. Selain itu, pemahaman terhadap diri dapat menimbulkan
pemahaman terhadap pribadi lain yang juga unik Dengan demikian, kita lebih tenang
menghadapi perbedaan individu: tidak bingung, ragu-ragu, jengkel, marah, dan
sebagainya. Karena pola kepribadian orang lain yang tidak sama dengan pola kita
sendiri.
Meskipun setiap orang unik, secara umum terdapat pola yang cenderung sama
dalam beberapa hal. Itu sebabnya dalam sejarah psikologi, usaha penggambaran

19
kepribadian dilengkapi penggambaran berdasarkan tipe kepribadian, dengan kekuatan
dan keterbatasan masing-masing.
Pengambaran tipe kepribadian yang populer adalah pembagian tipe introver dan
ekstrover oleh Carl Gustaf Jung. Berikut penggambaran tipe kepribadian
menurut Myers-Briggs, yang puluhan tahun menelitinya berdasarkan teori introver-
ekstrover Jung.
Konsep Myers-Briggs ini di Amerika sangat populer untuk mengidentifikasi
kepribadian untuk keperluan kerja (menempatkan individu pada posisi jabatan sesuai
kepribadian), konseling, bahkan perkembangan spiritualitas.
16 Corak Kepribadian

Berpegang teori Jung, Isabel Myers-Briggs menemukan, dalam dua tipe kepribadian
berdasar orientasi terhadap dunia (introver dan ekstrover), dapat dibedakan lagi atas
dasar tiga kecenderungan lain:
1. Dalam menyerap informasi: lewat indra (sensing) ataukah intuisi (intuitive)
2. Dalam mengambil keputusan: lewat pikiran (thinking) ataukah perasaan (feeling)
3. Dalam menanggapi dunia luar: penilai (judging) ataukah pengamat (perceiving).
Secara keseluruhan, kepribadian menurut Myers-Briggs terdiri atas 16 corak,
berdasar variasi dari introvert-sensing-thingking-judging.
1. ISTJ: Introvert – Sensing – Thinking – Judging
2. ISFJ: Introvert – Sensing – Feeling – Judging
3. ISTP: Introvert – Sensing – Thinking – Perceiving
4. ISFP: Introvert – Sensing – Feeling – Perceiving
5. INTJ: Introvert – Intuitive _ Thinking – Judging
6. INFJ: Introvert – Intuitive – Feeling – Judging
7. INFP: Introvert – Intuitive – Feeling – Perceiving
8. INTP: Introvert – Intuitive – Thinking – Perceiving
9. ESTJ: Introvert – Intuitive – Thinking – Judging

20
10. ESFJ: Extrovert -Sensing – Feeling – Judging
11. ESTP: Extrovert – Sensing – Thinking – Perceiving
12. ESFP: Extrovert – Sensing – Feeling – Perceiving
13. ENTJ: Extrovert – Intuitive – Thinking – Judging
14. ENFJ: Extrovert – Intuitive – Feeling – judging
15. ENFP: Extrovert – intuitive – Feeling – Perceiving
16. ENTP: Extrovert – Intuitive – Thinking – Perceiving

Deskripsi orientasi
Sebelum mengenal corak kepribadian masing-masing, pahami lebih lulu deskripsi dari
delapan istilah yang digunakan, seperti dijelaskan Charles J. Keating.

Introvert Vs Ekstrovert
Ekstrover (extrovert): Dalam relasi dengan orang lain menampilkan diri apa
adanya. Sering disebut berkepribadian terbuka. Jika perasa, mereka bertingkah laku
sebagai perasa. Jika pemikir, bertindak sebagai pemikir. Sejak bertemu dan berbicara
dengannya, orang tahu dengan siapa berhadapan. Orang-orang yang extrovert,
biasanya :
1. Bicara dengan berpikir
2. Nikmati bekerja dalam kelompok dan aspek sosial itu
3. Seringkali pandai menyapa orang, berkomunikasi secara bebas
4. Cenderung berbicara dengan bebas, sering tanpa berpikir
Mereka adalah manajer, orang-orang penjualan, pelatih dan presenter, serta
orang yang berada di daerah di mana berinteraksi dengan orang-orang eksternal.
Introver (introvert): Mengungkapkan diri secara bertahap. Awalnya
menyembunyikan kualitas penting pada dirinya, yang dilakukan tanpa sengaja. Ia baru
mengungkapkan kualitasnya setelah berhubungan cukup dalam. Sering disebut
kepribadian tertutup.
Orang- orang introvert, biasanya:
1. Berpikir untuk berbicara
2. Cenderung merasa nyaman bekerja sendiri atau dalam kelompok kecil

21
3. Dapat ditentang mengingat nama dan wajah, mungkin memiliki masalah
berkomunikasi
4. Suka berpikir sebelum berbicara, kadang-kadang tidak pernah berbicara
Mereka adalah seorang peneliti, insinyur, penulis, dan orang yang berada di daerah di
mana kemampuan untuk mencerminkan sebelum bertindak.

Sensing Vs Intuitive

Pengindra (sensing): Memiliki kepekaan indrawi, segera mengenali keadaan


sekitarnya jauh sebelum orang lain dapat merasakannya. Cepat mengenali ruang yang
dimasuki, sangat memperhatikan detail kontrak atau surat-menyurat, menyukai relasi
berdasarkan pertimbangan teliti dan birokrasi. Termasuk corak manusia cermat.
Menurut saya, tipe ini adalah tipe yang spontanitas atau cepat tanggap, sukanya
sama yang konkrit-konkrit. Misalnya, jika kita berada di sebuah ruangan dan ditanya
“Apa saja yang ada di dalam ruangan ini ?” Jawabnya : ada kipas angin, bangku, papan
tulis, dll. Jadi ingat, waktu temen aku ditanya oleh seorang dosen pada saat melamun,
dan langsung menjawab begitu saja.
Intuitif (intuitive): Lebih banyak memperhatikan masa akan datang daripada
masa sekarang. Tidak tenang dengan kehadirannya di masa kini. Terpusat pada

22
kemungkinan dan konsekuensi dari apa yang terjadi kini. Perencana yang memimpikan
segalanya berubah lebih baik, cenderung melihat segala sesuatu secara global.
Nah, kalau yang ini menurutku adalah tipe-tipe orang-orang penemu. Mereka
orang-orang yang sangat kreatif tapi sulit untuk dimengerti orang-orang kebanyakan
dan suka dianggap aneh karena pemikiran mereka yang selangkah di depan. Misalnya,
jika ditanya “Apa saja yang ada di dalam ruangan ini?” Jawabnya: rame, banyak
mahasiswa/i karna saat itu memang dalam perkuliahan.
Feeling Vs Thinking
Perasa (feeling): Mengambil informasi dan keputusan berdasar pertimbangan
perasaan pribadi dan orang lain. Bila berkuasa cenderung tidak adil. Keputusan diambil
berdasar perasaan pribadi dan orang yang hadir. Pendapat orang yang tidak hadir
kurang diperhatikan karena ingin menjaga perasaan yang hadir. Keputusan cenderung
tidak objektif, meski tidak bermaksud demikian. Menilai secara logis dengan sensitivitas
tertentu, tetapi emosi mendominasi proses pengambilan keputusan.
Pemikir (thinking): Memanfaatkan informasi yang diperoleh dengan intuisi atau
pancaindra, untuk mengambil keputusan berdasarkan hukum yang logis (rasional).
Umumnya kurang sensitif terhadap efek keputusan terhadap perasaan orang lain.
Memiliki kemampuan meramalkan persoalan yang akan muncul, khususnya pemikir
yang intuitif. Dapat tampil acuh tak acuh atau dingin karena keterpusatan pada rasio.
Pengamat atau Penilai
Pengamat (perceiving): Sangat menikmati hidup, tak terlalu peduli tata tertib dan
pembagian waktu. Puas dengan apa yang terjadi, senang menyerap informasi melalui
kelima indra jika mereka tipe pengindra, atau melalui implikasi (kemungkinan yang akan
datang) jika intuitif. Salah satu dari proses tersebut jadi favorit mereka. Tidak merasa
terikat untuk membuat keputusan tentang apa yang mereka ketahui, tetapi tak berarti
menyukai ambiguitas. Mereka hanya puas dengan kehidupan ini dan tidak butuh
mengendalikan.
Penilai (judging): Memiliki kebutuhan tinggi akan pengendalian. Mereka ingin
tahu apa yang akan dikerjakan dan kapan. Tidak puas bila tak tahu rencana yang dibuat,
menyukai jadwal dan aturan. Yang terjadi mendadak dapat mengacaukan mereka.
Butuh ketegasan perencanaan, walau tak harus dilaksanakan. Para penilai yang perasa
membuat keputusan yang cocok dengan perasaan orang lain atau mereka sendiri.

23
Penilai pemikir membuat keputusan berdasarkan logika dan akal budi. Suka bila segala
sesuatu ada pada tempatnya.
Kunci sukses dapat digambarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Look at this picture !!!

Menurut Myers-Briggs, kunci untuk memahami orang secara mendasar adalah


apakah seseorang berkepribadian pengamat atau penilai, bukan introver atau
ekstrover. Pengamat pada dasarnya tertarik mendapatkan informasi, baik indrawi atau
secara intuitif. Mereka kurang memiliki kebutuhan untuk berbuat sesuatu sehubungan
dengan apa yang dipelajari. Belajar penting bagi mereka. Di sisi lain, penilai terdorong
membuat ketentuan atau keputusan berdasar informasi yang diperoleh. Mereka
menilai berdasarkan perasaan ataupun pemikiran.
Introversi atau ekstroversi semata merupakan koridor di mana orang bergiat:
apakah seseorang bertindak terbuka dan langsung ataukah terselubung dan lamban,
sebagai perasa indrawi, pemikir indrawi, perasa intuitif, atau pemikir intuitif.
Tidak mudah memahami perbedaan antara orang introver dan ekstrover. Akan
lebih mudah membedakan mana yang pengamat dan mana penilai.

3.2.3. Cara menyesuaikan diri dengan orang lain


Penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri
dan pada lingkungannya. Sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, pransangka,
depresi, kemarahan, dan lain-lain emosi negatif sebagai respon pribadi yang tidak sesuai
dan kurang efisien bisa dikikis habis (Kartini Kartono, 2002:56).
Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah
laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya,

24
sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri
dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal (Schneiders dalam
Desmita, 2009:192).

Aspek-aspek Penyesuaian Diri


Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009:195) ada empat aspek
kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain :
a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek :
1. Kemantapan suasana kehidupan emosional
2. Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain
3. Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan
4. Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri
b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek :
1. Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri
2. Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya
3. Kemampuan mengambil keputusan
4. Keterbukaan dalam mengenal lingkungan
c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek :
1. Keterlibatan dalam partisipasi sosial
2. Kesediaan kerjasama
3. Kemampuan kepemimpinan
4. Sikap toleransi
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek :
1. Sikap produktif dalam mengembangkan diri
2. Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel
3. Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal
4. Kesadaran akan etika dan hidup jujur
Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri
Menurut Gunarsa (dalam Sobur, 2003:529) bentuk-bentuk penyesuaian diri ada dua antara
lain:

25
a. Adaptive
Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi.
Bentuk penyesuaian diri ini bersifat badani, artinya perubahan-perubahan dalam proses
badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Misalnya, berkeringat
adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu panas atau dirasakan terlalu
panas.
b. Adjustive
Bentuk penyesuaian diri yang lain bersifat psikis, artinya penyesuaian diri tingkah
laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau
norma. Misalnya, jika kita harus pergi ke tetangga atau teman yang tengah berduka cita
karena kematian salah seorang anggota keluarganya, mungkin sekali wajah kita dapat
diatur sedemikian rupa, sehingga menampilkan wajah duka, sebagai tanda ikut
menyesuaikan terhadap suasana sedih dalam keluarga tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri


Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri antara lain (Enung dalam
Nofiana, 2010:17):
1. Faktor Fisiologis. Struktur jasmani merupakan kondisi yang primer dari tingkah laku
yang penting bagi proses penyesuaian diri
2. Faktor Psikologis. Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian diri
antara lain pengalaman, aktualisasi diri, frustasi, depresi, dsb.

Karakteristik Penyesuaian Diri


Menurut Enung (dalam Nofiana, 2010:17) karakteristik penyesuaian diri antara
lain:
1. Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan. Mampu
mengontrol emosi dan memiliki kesabaran dalam menghadapi berbagai kejadian
dalam hidup
2. Tidak menunjukkan adanya mekanisme pertahanan diri yang salah. Mempunyai
mekanisme pertahanan diri yang positif sehingga masalah yang dihadapi terasa
ringan.

26
3. Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi. Tidak mengalami frustasi dan gejala-
gejala kelainan jiwa.
4. Memiliki pertimbangan yang rasional. Langkah apapun yang ingin ditempuh, selalu
berdasarkan pemikiran yang rasional
5. Mampu belajar dari pengalaman. Pengalaman hidup dapat menempa mentalnya
menjadi lebih kuat dan tahan banting.
6. Bersikap realistik dan objektif. Melihat berbagai kejadian atau masalah didasarkan
pada realita dan pemikiran objektif
Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Enung (dalam Nofiana, 2010:19) aspek-aspek penyesuaian diri antara
lain:
1. Penyesuaian Pribadi. Kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri
sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan
sekitarnya.
2. Penyesuaian Sosial. Mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat
tinggalnya, keluarga, sekolah, teman, atau masyarakat luas secara umum.

27
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN

Dari pembahasan pada makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa Manajemen citra
diri sangat berperan baik untuk perseorangan maupun organisasi. Citra positif harus dibangun
agar dapat diterima di masayarakat dan mampu berkompetisi di tengah-tengah kancah
persaingan yang sangat kompetitif ini. Pengelolaan citra harus dilandasi dengan fungsi
manajamen, agar menghasilkan citra diri dan citra organisasi yang jelas dan teratur.
Begitu juga dengan empati yang dibangun dengan kesadaran diri (self awarenes) dan
kendali diri (self control) mempunyai peran yang sangat penting sebagai sistem pemandu
emosi yang menuntun ke tempat kerja agar tetap baik. Empati lebih dari sekadar untuk
bertahan, sebab empati sangatlah penting untuk menghasilkan kinerja istimewa dalam
bidang-bidang pekerjaan yang menitik-beratkan peran utama manusia.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alex Sobur, 2003. Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia


Riadi, M. (2013, 1 14). Diambil kembali dari www.kajianpustaka.com:
https://www.kajianpustaka.com/2013/01/teori-penyesuaian-diri.html
Suharno. (2008, 10 18). amaliaconsulting.blogspot.com. Diambil kembali dari
http://amaliaconsulting.blogspot.com/2008/10/manajemen-citra.html

29

Anda mungkin juga menyukai