Anda di halaman 1dari 15

Laporan Kimia Kelautan

BIOTA LAUT ( TIDORE KEPULAUAN)

Dosen Pengampu:

Zulkifli zam zam Ssi,Msc

oleh:
kelompok 2

Abdul Wahid
Asriana M K
Fahria Bahrudi
Farida Umar
Ummahatul Mujahidah
Mesir Lapayama
Rati Buamonabot
Indah Umafagur

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE

2019
KATA PENGANTAR

Assalamulaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini . Adapun maksud dari
penyusunan atau pembuatan makalah ini yaitu selain untuk menyelesaikan tugas yang telah
diberikan oleh dosen pengampuh.
Namun dalam pembuatan makalah ini kami pun menyadari bahwa pembuatan
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika terdapat kesalahan-kesalahan baik
dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini maka kami meminta maaf dan kami sangat
mengharapkan kritikan yang membangun dari teman-teman maupun kelompok yang lain dan
dari dosen pengampuh itu sendiri agar kedepanya menjadih lebih baik lagi.

Wabillahi Taufik Walhidayat Wassalamualaikum Wr.Wb

Ternate, 09 Januari 2019

Penyusun

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................!

DAFTAR ISI........................................................................................................................!!

BAB I PENDAHULUAN. ..................................................................................................1


A. Latar Belakang ..........................................................................................................2
B. Rumusan Masalah. .....................................................................................................2
C. Tujuan ........................................................................................................................2
BAB II KARAKTERISTRIK WILAYAH KERJA .................................................................... 3

A. Pengenalan wilayah praktikum .................................................................................3


BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................................4
I.1 Aspek Kimia Dari Polifera ...................................................................................4
I.2 Aspek Biologi Dari Polifera ................................................................................6
II.1 Aspek Biologi Dari Terumbuk Karang ............................................................... 7
II. 2 spek Kimia Dari Terumbuk Karang ....................................................................8
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................................10
A. Kesimpulan ................................................................................................................10
B. Saran .......................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah
provinsi kepulauan dengan ciri khas sekumpulan gugusan pulau-pulau kecil di bagian
timur wilayah Indonesia. Maluku Utara terpisah secara otonom dari Provinsi Maluku
(Ambon) pada tahun 1999 melalui suatu perjalanan yang panjang (Klinken, 2007:
187). Walaupun Maluku Utara adalah suatu Provinsi baru, namun Maluku Utara
memiliki corak tersendiri yang tidak dimiliki oleh Provinsi maupun daerah lain di
Indonesia. Baik dari keragaman suku yang mendiami daerah tersebut, seperti suku
Kayoa, Makean, Tidore, Ternate, Bacan, Tobaru, Loloda, Moro dll. Hal ini
merupakan suatu kekayaan tersendiri yang dimiliki oleh Porivinsi yang dikenal
dengan sebutan “Jazirah Al Mulk” (kepulauan raja-raja) (Maswin, 2006: 3)
Terumbu karang di perairan Ternate, Tidore dan sekitarnya memiliki
keanekaragaman karang yang relatif tinggi. Setidaknya berhasil dijumpai sebanyak
144 jenis, yang termasuk dalam 44 marga dan 17 suku. Persentase tutupan karang
hidupnya sebesar (40,44+3,68)% dan dapat dikategorikan dalam kondisi “sedang”
Pengamatan ikan karang di 14 stasiun pengamatan (total luasan pengamatan =
4.900m2 dijumpai sebanyak 9.127 ekor ikan karang yang berasal dari 37 suku dan 245
jenis. Perbandingan antara ikan indikator, ikan target dan ikan major di perairan ini
adalah 1:3:13 yang artinya setiap dijumpai 1 individu ikan indikator, akan dijumpai
sebanyak 3 ekor ikan target dan 13 ekor ikan major. Terdapat 9 suku yang paling
dominan dalam penelitian ini yakni Pomacenridae (52 jenis), Labridae (40 Jenis),
Chaetodontidae (24 jenis), Acanthuridae (16 jenis), Scaridae (11 jenis), Serranidae
(11 jenis), Lutjanidae (8 jenis), Pomacanthidae (8 jenis) dan Balistidae (7 jenis).
Kesembilan suku ini kurang lebih menempati 58,42% dari total fauna ikan karang
yang tercatat.
Sponge termasuk Porifera (Barnes, 1980), beberapa jenis sponge diketahui
memiliki senyawa bioaktif, antara lain: Hyatella intestinalis (Karuso et al., 1989),
Algilus flabellifilus (Gunasekara et al., 1989), Hipospongia comunis, Spongia
offisinalis, Ircina virabilis, Spongia oracillis (Madaio et al., 1989), Dysidea avara
(Crispino et al., 1989), Erylus cendeveldi, dan Dyctionella insica (Cimminiello et al.,
1989), sehingga dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi untuk mengobati penyakit
pada manusia dan hewan.

1
Sponge mampu menyaring bakteri yang ada di sekitarnya, sebanyak 77%
bakteri yang tersaring ini dimanfaatkan untuk makanan dan dicerna secara enzimatik.
Senyawa bioaktif yang dimiliki oleh sponge kemungkinan bermanfaat dalam proses
pencernaan, sehingga senyawa bioaktif yang diperoleh diperkirakan bervariasi sesuai
dengan kebiasaan makan masing-masing jenis sponge (Barnes, 1990)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek Kimia Dari Polifera?
2. Bagaimana Aspek Biologi Dari Polifera?
3. Bagaimana Aspek Kimia Dari Terumbuk Karang?
4. Bagaimana Aspek Biologi Dari Terumbuk Karang?
C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui Aspek Kimia Dari Polifera!

2. Untuk Mengetahui Aspek Biologi Dari Polifera!

3. Untuk Mengetahui Aspek Kimia Dari Terumbuk Karang!

4. Untuk Mengetahui Aspek Biologi Dari Terumbuk Karang!

2
BAB II
KARAKTERISTRIK WILAYAH PRAKTIKUM

Daerah Kota Tidore Kepulauan secara fisiografi dapat di bagi manjadi 2 bentukan
utama yaitu pada daerah Pulau Tidore dan Pulau Halmahera. Pulau Tidore memiliki
satuan bentukan asal gunungapi. Satuan ini memiliki kelerengan bervariasi mulai dari 2
% hingga lebih dari 40%, hal ini sesuai dengan jenis bentukan asal Satuan vulkanik.
Sedangkan untuk Bagian ke dua wilayah Kota Tidore yang berada pada dartan Pulau
Halmahera memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pulau Tidore. Satuan
geomorfologi ini antara lain adalah dataran alluvial, perbukitan denudasional, perbukitan
denudasional ultramafik, Plato dan Monoklin.
Dilihat dari topografi tiap pulau, maka hanya pulau Tidore yang memiliki topografi
yang tajam dibandingkan dengan tiga gugusan pulau terdekatnya yaitu berkisar antara 15
– 40 % dan bahkan sebagian > 40 %. Daerah-daerah yang mempunyai topografi datar
sampai landai di pulau Tidore dapat ditemui di Kelurahan Dowora, sebagian Kelurahan
Indonesiana, Rum, Ome,dan beberapa kelurahan yang mempunyai topografi datar.
Kondisi topografi yang demikian juga dapat ditemui di Pulau Maitara dan Pulau Mare,
dimana seluruh kawasan yang mempunyai topografi datar sampai landai sudah
dimanfaatkan untuk permukiman. Sementara kawasankawasan dengan kemiringan lereng
antara 25-40% diperuntukkan untuk lahan perkebunan dan pertanian (kebun, tegalan,
ladang).
Topografi / kemiringan tanah di Kota Tidore bervariasi antara 0- 2%, 2- 15%, 15 -
40%, banyak tersebar di pinggiran pantai pulau Kondisi tekstur tanah di Kota Tidore
Kepulauan sebagian besar memiliki cirri Halus sampai Sedang sedikit berpasir
memberikan kemampuan drainase yang cukup baik dilihat dari sifat porositas tanah yang
menyerap air.

3
BAB III
PEMBAHASAN

I. Porifera

I.1. Aspek kimia

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan mempunyai panjang


pantai 81.000 km yang kaya akan terumbu karang dan biota laut lainnya. Salah satu
biota laut yang saat ini banyak diteliti adalah spon. Wilayah laut Indonesia merupakan
salah satu pusat penyebaran terbesar spon di dunia dan diperkirakan terdapat sekitar
830 jenis yang hidup tersebar di wilayah ini (Van soest : 1989).

Spon laut Axinella carteri merupakan hewan metazoa sederhana, mempunyai


bentuk tidak beraturan (asimetris) dengan massa seperti daging lembek, berwarna
kuning kecoklatan, dan pada tubuhnya terdapat banyak pori. Spon ini tumbuh melekat
pada permukaan karang (Dian Handayani : 2012).

Spon merupakan salah satu komponen biota penyusun terumbu karang yang
mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak dimanfaatkan. Hewan laut ini
mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan
dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih dan
Rachmaniar : 1999).

Spon laut diketahui menjadi tempat hidup beberapa jenis bakteri yang jumlahnya
mencapai 40 % dari biomassa spon. Simbiosis yang terjadi antara bakteri dengan spon
laut menyebabkan organisme ini sebagai invertebrata laut yang memiliki potensi
antibakteri yang lebih besar dibandingkan dengan organisme darat dan laut lainnya
(Kanagasabhapathy : 2005).

4
Berdasarkan pada penelitian yang pernah dilakukan, A. carteri Dendy memiliki
beberapa kandungan kimia yang menarik yang diisolasi dari fraksi n–butanol. Spesies
A. Carteri diperoleh dari perairan jawa dan indopasifik bagian barat. Senyawa yang
berhasil diisolasi adalah beberapa senyawa alkaloid turunan guanidin, seperti
debromohimenialdisin, himenialdisin, 3-bromohimenialdisin, dibromophakellin,
himenidin, dan oroidin. Selain senyawa alkaloid juga ditemukan senyawa golongan
peptida, seperti Axinellin A dan Axinellin B (Supriyono : 1995, Randazzo : 1998).
Axinastatin 2 dan 3 sebagai agen anti kanker (Konat : 1995). Hymenamide C dan
isohymenamide sebagai imunomodulating (Verbist : 1998).

Penelitian yang telah dilakukan dalam bidang agroindustri terhadap insektisida


dari invertebrata laut diantaranya adalah senyawa diterpenoid brianthein dari soft coral
Briareum polyanthes yang dapat menghambat perkembangan belalang Melanopilus
bivittatus (Grode : 1983), kemudian senyawa sesquiterpenoid dari spon laut Dysidea
eritheria yang aktif sebagai antifeedan (Cardellina : 1986). Penelitian kandungan kimia
dari invertebrata laut terhadap insektisida belum banyak dilaporkan, padahal banyak
sekali penyakitpenyakit berbahaya yang disebabkan oleh serangga sebagai vektornya
misalnya penyakit demam kuning, malaria, kaki gajah, ensefalitis, dan lain-lain (Levine
: 1990, Prabowo : 2004).

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Dian Handayani : 2006) tentang potensi
senyawa bioaktiv spon laut Axinella carteri Sumatera Barat, menggunakan ekstrak
metanol, fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat spon laut dengan metode difusi, Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa spon laut Axinella carteri banyak mengandung
kimia seperti senyawa golongan alkaloid dan terpenoid.

Sponge mampu menyaring bakteri yang ada di sekitarnya, sebanyak 77% bakteri
yang tersaring ini dimanfaatkan untuk makanan dan dicerna secara enzimatik. Senyawa
bioaktif yang dimiliki oleh sponge kemungkinan bermanfaat dalam proses pencernaan,
sehingga senyawa bioaktif yang diperoleh diperkirakan bervariasi sesuai dengan
kebiasaan makan masing-masing jenis sponge (Barnes, 1990).

Pembentukan senyawa bioaktif pada spons sangat ditentukan oleh prekursor


berupa enzim, nutrien serta hasil simbiosis dengan biota lain yang mengandung
senyawa bioaktif seperti bakteri, kapang dan beberapa jenis dinoflagellata yang dapat
memacu pembentukan senyawa bioaktif pada hewan tersebut (Scheuer, 1978 dalam
Suryati et al, 2000). Senyawa terpenoid dan turunannya pada berbagai jenis
invertebrata termasuk spons atau beberapa spesies dinoflagellata dan zooxanthelae yang
memiliki senyawa –senyawa yang belum diketahui, yang kemudian diubah melalui
biosintesis serta fotosintesis menghasilkan senyawa bioaktif yang spesifik pada hewan
tersebut (Faulkner dan Fenical, 1977 dalam Suryati et al, 2000).

Keberadaan spons saat ini menjadi perhatian besar bagi para peneliti karena
kandungan senyawa aktif dalam tubuh spons. Ekstrak metabolit dari spons dipercaya
mengandung senyawa bioaktif yang mempunyai sifat sitotoksin, anti tumor, anti virus,

5
anti inflamasi, anti fungi, anti leukemia, dan penghambat aktivitas enzim. Selain
sebagai sumber senyawa bahan alam, spons juga memiliki manfaat yang lain, yakni
digunakan sebagai indikator biologi untuk pemantauan pencemaran laut, indikator
dalam interaksi komunitas, dan sebagai hewan bernilai ekonomis untuk hiasan
akuarium laut (Suparno : 2005).

I.2. Aspek biologi


Sponge atau porifera termasuk hewan hidup menetap pada suatu habitat pasir,
batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam laut (Rizka, 2013). Keragaman
sponge di perairan Sulawesi cukup tinggi, terdapat sejumlah jenis sponge yang umum
terdapat di semua lokasi yaitu Aaptos spp., Clathria vulpina, Callyspongia sp.,
Oceanopias sp., Petrosia sp., dan Xestospongia sp (Rahmat : 2007).
Sponge adalah salah satu hewan dari filum porifera. Sponge merupakan
invertebrata laut yang hidup pada ekosistem terumbu karang (Suryati : 2000). Sponge
merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana
(Amir : 1991). Habitat sponge umumnya adalah menempel pada pasir, batu-batuan dan
karang-karang mati. Biota laut ini dikenal dengan "filter feeders", yaitu mencari
makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan
air keluar melalui oskulum, serta mendapatkan partikel-partikel makanan seperti
bakteri, mikroalga dan detritus yang terbawa oleh aliran air (Amir : 1996).
Adapun karakteristik sponge secara umum adalah memiliki bentuk tubuh yang
tidak simetris, tubuh terdiri atas banyak sel, sedikit jaringan dan tidak ada organ tubuh.
Sel dan jaringan mengelilingi suatu ruang yang berisi air tetapi sebenarnya tidak
memiliki rongga tubuh, dan tidak memiliki sistem saraf. Semua spesies sponge bersifat
sesil sebagai organisme dewasa, sedangkan pada tahap larva bersifat planktonik (Ramli
: 2010).
Habitat sponge yang melekat pada pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini
sulit untuk bergerak. Suatu cara untuk mempertahankan diri dari serangan predator dan
infeksi bakteri pathogen, sponge mengembangkan system "biodefense" yaitu dengan
menghasilkan zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998).
Tubuh sponge terdiri dari jelly seperti mesohyl yang terjepit di antara dua lapisan
tipis sel. Sponge memiliki ciri yaitu tubuhnya berpori seperti busa. Di dalam tubuhnya
terdapat rongga tubuh yang disebut spongosol. Sponge tidak memiliki saraf,
pencernaan atau sistem peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan
aliran air konstan melalui tubuhnya untuk mendapatkan makanan dan oksigen serta
untuk menghilangkan limbah. Sponge hidup di air laut dan air tawar, tetapi kebanyakan
hidup di laut mulai dari daerah perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 1000 m.
Hidupnya selalu melekat pada substrat (sesil) dan tidak dapat berpindah tempat secara
bebas (Darmadi, 2011).
Menurut Duckworth (2003), parameter oseanografi yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan sponge adalah silikat, nutrien, bahan organik terlarut (BOT), suhu dan
salinitas. Pertumbuhan sponge sangat dipengaruhi oleh kedalaman air, struktur dasar,
arus air, suhu, level nutrien dan sedimentasi (Suharyanto, 2003).

6
Aspek lain yang menarik dari sponge adalah mempunyai berbagai metode untuk
memperoleh makanannya. Hal ini bisa dilakukan secara langsung, dengan menyaring
partikel-partikel nutrien secara langsung dari kolom air melalui tubuh sponge, atau
secara tidak langsung dengan memperoleh partikel-partikel makanan dari
endosimbionnya, contohnya dari alga dan bakteri yang menyediakan bahanbahan
organik yang dibutuhkan oleh jaringan sponge. Ketika simbion memperoleh makanan
mereka dengan melakukan translokasi energi cahaya ke dalam material organik
(Suparno, 2005).

Arus air yang lewat melalui sponge membawa serta zat buangan dari tubuh
sponge, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari
badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan
sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut sehingga penting bagi sponge untuk
hidup dalam air bersirkulasi (Storr, 1976). Faktor lingkungan yang mempengaruhi
penyebaran sponge antara lain adalah, suhu, salinitas, kedalam dan sedimentasi dan
bahan-bahan organik.

II. Terumbu Karang

II.1. Aspek sebaran dan biologi


Indonesia berada di daerah tropis, tempat yang memungkinkan bagi
berbagai jenis karang untuk dapat tumbuh dan berkembang. Sekitar dua pertiga
jenis karang dapat dijumpai di Indonesia, sehingga wilayah Indonesia
digambarkan berada dalam area segitiga karang (coral triangle) dunia Kekayaan
jenis karang Indonesia berada dalam 14 ecoregion dari total 141 ecoregion
sebaran karang dunia dengan kisaran 300-500 lebih jenis karang.

7
Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota laut
penghasil kapur, terutama oleh hewan karang, bersamasama dengan biota lain
yang hidup di dasar laut maupun kolom air. Hewan karang, yang merupakan
penyusun utama terumbu karang, terdiri dari polip dan skeleton. Polip merupakan
bagian yang lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian yang keras. Pada
bagian polip terdapat tentakel (tangan-tangan) untuk menangkap plankton sebagai
sumber makanannya. Setiap polip karang mengsekresikan zat kapur CaCO yang
membentuk kerangka skeleton karang.
Pada beberapa jenis karang, polipnya terlihat jelas, sedangkan pada
beberapa jenis lainnya kurang begitu terlihat jelas. Pada umumnya, karang hidup
membentuk koloni, yang dibentuk oleh ribuan polip yang tumbuh dan bergabung
menjadi satu koloni. Namun ada pula sebagian kecil karang yang hidup soliter
dan tidak membentuk koloni, misalnya pada beberapa karang dari famili
Fungiidae.
Sebaran terumbu karang tidak merata oleh karena adanya faktor pembatas
atau faktor yang mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang yaitu: suhu, cahaya
matahari, salinitas, sedimentasi, kualitas perairan, arus dan sirkulasi air laut, dan
subtrat.
Sebagai tempat tinggal, berlindung, mencari makan dan memijah ikan dan
biota laut lain yang merupakan sumber bahan pangan maupun sumber bahan
obat/makanan suplemen dari laut. Sebagai penunjang kegiatan pendidikan dan
penelitian agar biota laut yang ada dalam ekosistem terumbu karang dapat lebih
dikenal dan mudah untuk dipelajari. Perpaduan antara karang dengan biota laut
lainnya menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem yang memiliki panorama
bawah air yang indah dan menarik, yang sangat potensial sebagai tempat rekreasi
bawah air.

II.2. Aspek kimia


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa biota laut memiliki potensi yang
sangat besar dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang dapat digunakan
sebagai bahan baku obat. Beberapa biota laut yang diketahui dapat menghasilkan
senyawa aktif antara lain adalah spons, moluska, bryozoa, tunika dan lain-lain
(Ismet, 2007). Edrada (2000) menyatakan hal yang sama bahwa organisme laut
yang mempunyai kandungan kimia terbanyak dihasilkan oleh invertebrata laut
disusul kemudian oleh tumbuhan laut. Kelompok yang termasuk invertebrata laut
antara lain: Spon laut (Filum Porifera), Hewan lumut (Filum Bryozoa), Karang
lunak (Filum Cnydaria) dan hewan bermantel (Filum Tunicata).
Karang lunak berperan sebagai salah satu hewan penyusun ekosistem
terumbu karang serta pemasok senyawa pertumbuhan terbesar bagi terumbu
karang yaitu senyawa karbonat, hal ini dibuktikan dengan penemuan sejumlah
besar spikula berkapur di dalam jaringan tubuhnya dan ini tidak ditemukan pada
hewanhewan lain yang hidup sekalipun diterumbu karang yang sama (Konishi,
1981). Berdasarkan laporan pada dekade terakhir ini ditemukan bahwa ternyata

8
sebanyak 50% senyawa bioaktif yang terdapat pada invetebrata ini bersifat toksik
termasuk karang lunak (Radhika, 2006).
Penelitian bahan hayati laut yang telah dilakukan antara lain substansi
bioaktif antimikroba, antifungi, antivirus, antihypocholesterolemia, antitumor,
antifouling, antifeedant dan analgesic (Faulkener, 1992: Satari 1998).
Karang lunak merupakan salah satu jenis biota laut dari daerah terumbu
karang dan memiliki nilai farmakologis yang tinggi. Menurut La Barre dkk.
(1996), karang lunak memiliki senyawa kimia untuk antipredasi dan kompetisi
dalam memperoleh ruang. Karang lunak merupakan salah satu sumber protein,
kabohidrat terutama lemak yang potensial dan beberapa diantaranya telah diteliti
mengandung substansi yang bersifat toksik (Coll et all. 1982, Scheuer, 1978).

9
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Spon merupakan salah satu komponen biota penyusun terumbu karang yang
mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak dimanfaatkan. Hewan laut ini
mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan
dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat

2. Keberadaan spons saat ini menjadi perhatian besar bagi para peneliti karena
kandungan senyawa aktif dalam tubuh spons. Ekstrak metabolit dari spons dipercaya
mengandung senyawa bioaktif yang mempunyai sifat sitotoksin, anti tumor, anti
virus, anti inflamasi, anti fungi, anti leukemia, dan penghambat aktivitas enzim.
Selain sebagai sumber senyawa bahan alam, spons juga memiliki manfaat yang lain,
yakni digunakan sebagai indikator biologi untuk pemantauan pencemaran laut,
indikator dalam interaksi komunitas, dan sebagai hewan bernilai ekonomis untuk
hiasan akuarium laut

3. Sebaran terumbu karang tidak merata oleh karena adanya faktor pembatas atau faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang yaitu: suhu, cahaya matahari,
salinitas, sedimentasi, kualitas perairan, arus dan sirkulasi air laut, dan subtrat.

4. Berdasarkan laporan pada dekade terakhir ini ditemukan bahwa ternyata sebanyak
50% senyawa bioaktif yang terdapat pada invetebrata ini bersifat toksik termasuk
karang lunak

B. Saran
saran dari kelompok kami apabilah ada praktikum seperti ini dilakukan kita sebagai
mahasiswa harus memiliki gagasan untuk melestarikan terumbuk karang tempat
penilitian yang kita lakukan, misalnya mengajak warga sekitar untuk ikut
menyaksikan kerusakan karang dan memberikan saran dan masukan kepada
masyarakat yang ada di sekita patai tentang pentingnya menjaga terumbuk karang.

10
DAFTAR PUSTAKA
Giyanto, dkk. 2017. Status Terumbu Karang Indonesia. Coremap-Cti Pusat Penelitian
Oseanografi – Lipi

Maria novilia ningsie kantor, dkk. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Karang Lunak Xenia Sp.
Yang Diperoleh Dari Teluk Manado. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi –
UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN 2302 – 2493

Antonius P. Rumengan. Antibakteri Dari Ekstrak Karang Lunak Nephtea Sp. (Antibacterial
From Soft Coral Nephtea Sp.). Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 3 Nomor 1
Tahun 2013

Kordi, M.G.H. 2010. Marikultur Prinsip dan Praktik Budidaya Laut. Lily Publisher.
Makassar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. www.minerba.esdm.go.id
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: Aset pembangunan berkelajutan
indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 p.
Edward. 2015. Penilaian tingkat pencemaran logam berat dalam sedimen di perairan
Pulau Morotai, Maluku Utara. Depik, 4(2): 95-106.
Astuti, I., S. Karina dan I. Dewiyanti. 2016. Analisis kandungan logam berat Pb pada
tiram Crassostrea cucullata di Pesisir Krueng Raya, Aceh Besar. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 1(1): 104-113
Sasnita., S. Karina dan Nurfadillah. 2017. Analisis logam Pb pada kerang Anadara
granosa dan Air Laut di Kawasan Pelabuhan Nelayan Gampong Deah Glumpang
Kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 2(1): 74-
79.
Siregar Y. I., 2009. Fisiologi Hewan Akuatik. Variasi Morfologi dan Adaptasi. Minamandiri
Press Pekanbaru.
Ahmad, F., 2009, Tingkat Pencemaran Logam Berat Dalam Air Laut Dan Sedimen Di
Perairan Pulau Muna, Kabaea n dan Buton Sulawesi Tenggara, Makara Sains, 13
(2), 3117-124.
Edward, Ahmad, F., Taufik. Pemantauan Kadar Logam Berat Dalam Air Laut dan Sedimen
Di Perairan P. Halmahera, Maluku Utara. Jurnal Kimia Indonesia, 1 (2), 47-53.

11
NIOSH, 2012, Pocket Guide to Chemical Hazards.
http://www.cdc.gov/niosh/npg/npgd0087.html (diakses tanggal 20 Juni 2012).
Marasabessy, M. D. Dan Edward. 2002. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu dan Zn Dalam
Beberapa Jenis Kerang dan Ikan di Perairan Raha, Pulau Muna Sulawesi Tenggara.
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, ISBN 979-971190-8.
Santoso, B., Sabikis, Prayitno, A. 2009. Determination of Mercury (Hg) On Perna Viridis In
Semarang Bay Using Atomic Absorption Spectrophotometry. MIPS.
Fardiaz, S. 2006. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Singh, A., Sharma, R. K., Agrawal, M., & Marshall, F. M. 2010. Risk Assessment of Heavy
Metal Toxicity Through Contaminated Vegetables From Waste Water Irrigated
Area of Varanasi, India, Tropical Ecology, 51, 375-387
Jarup, L. 2002. Cadmium Overload and Toxicity, Nephrol Dial Transplantat, 17(2), 35-39.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta. Rineka Cipta.

12

Anda mungkin juga menyukai