Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENYIMPANGAN AKIDAH PADA MASA NABI YUSUF DAN NABI HUD

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:
Kelompok II
Arafah
Hasriani
Alwiyah assyadiliyah
M. Irfan
M. Taufia
Nur alim

MAN 1 MEJENE
TAHUN AJARANA 2019
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nilai suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin
besar dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu
yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT,
Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir
meskipun dia Profesor Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang
lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?
Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-
lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemudian Allah
bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang
disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya
menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir
5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat
Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh
Ibnu Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139)) agar
mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang
dibawa oleh Sang Rasul. Namun ada yang menerima disebut mu'min ada
pula yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik
yang merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya Aqidah ini
sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing
ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena
aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti
kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus
direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini.
Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat.
Dialah kunci menuju surga.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan hal hal sebagai berikut :
1. Apakah Aqidah itu ?
2. Bagaimana Implementasi Aqidah saat ini ?
3. Bagaimana cara mengantisipasi bahaya penyimpangan aqidah ?
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Aqidah

‘Aqidah (‫ )اديلدعققييييددةة‬menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata


al-‘aqdu (‫ )ايلدعيقييييةد‬yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(‫)التت يوقثييييييةق‬ yang berarti
kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫ )يالقيحدكيياَةم‬yang artinya
‫ )التريب ة‬yang berarti
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫ط قبقةتوةَّة‬
mengikat dengan kuat.

[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh
dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti
kepada Allah ‫ ازوجلل‬dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid [2] dan
taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya,
Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-
apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-
perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari
Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah
maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-
Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"
(QS. An-Nisa':69

B. Pembagian Aqidah

Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di


kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya
yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa rnenempuh
jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha'
dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah
ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut
pembagian ulama:

Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah mengesakan Allah dalam


ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

Kedua: Tauhid Ar-Rububiyyah, ialah rneng esakan Allah dalam


perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang
Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.

Ketiga: Tauhid Al-Asma' was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam


asma dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa
dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. dalam dzat, asma maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena


itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak
lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di
samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada
seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh
dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik
atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya,
kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar
Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada
istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini
adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu
adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam
kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini
adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke
dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata.
Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas]

C. Perkembangan Aqidah

Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu


tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-
perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau.
Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi :
"Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"

Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul
pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang
mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan
masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula
kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula
kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani
(Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh
Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan
dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah
Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang
dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah
wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau
terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang
berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai
generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya :
Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan
ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits,
ahlul sunnah dan salaf.

D. Bahaya Penyimpangan Aqidah

Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal


dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai
kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan
tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang
sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor
diantaranya :

1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya


pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi
bahkan menentang aqidah yang benar.
2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak
aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu
yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam
Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada
mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk."

3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui


seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah.
Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan
orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan
mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan
Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter
antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat
meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya
ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi
Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah
Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."

5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau
terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang
mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang
telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan
mereka.

6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran


Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi
Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap anak
terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang
meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR:
Bukhari).

Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan
dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang,
lingkungannya, dan lain sebagainya.

7. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam


pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh
dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi
yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik
banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara
besar-besaran.

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh


negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan
mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali
dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan
akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya :
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang


mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat
membina setiap individu muslim sehingga memandang alam semesta dan
kehidupan dengan kaca mata tauhid dan melahirkan konotasi-konotasi valid
baginya yang merefleksikan persfektif Islam mengenai berbagai dimensi
kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam dirinya.

Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang


mampu menciptakan mu’jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan
besar di zaman permulaan Islam.

Demi membina setiap individu muslim, perlu kiranya kita


mengingatkannya tentang sumbangsih-sumbangsih akidah yang telah dimiliki
oleh orang-orang sebelumnya dan meyakinkannya akan validitas akidah itu
dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.
Kita bisa menyimpulkan peranan penting akidah dalam membina
manusia di berbagai sisi dan dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut :

1. Dalam Sisi Pemikiran.

Akidah menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat.


Adapun kesalahan yang terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang
biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat. Atas dasar ini, akidah
meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan tidak
membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya

Akidah telah berhasil memerdekakan manusia dari penindasan politik


para penguasa zalim dan membebaskannya dari tradisi menuhankan
manusia lain.

Akidah juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia


membatasi kebebasan itu dengan hukum-hukum syariat, penghambaan
kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan kekacauan.

Begitu juga, akidah telah berhasil membebaskannya dari jeratan hawa


nafsu, menyembah fenomena-fenomena alam di sekitarnya dan dongengan-
dongengan yang tidak benar.

Melalui proses pembebasn pemikiran ini, akidah melakukan proses


pembinaan manusia. Ia memberikan kedudukan yang layak kepada akal,
mengakui peranannya dan membuka cakrawala pemikiran yang luas
baginya. Di samping itu, akidah juga membuka jendela keghaiban baginya,
membebaskannya dari jeratan ruang lingkup indra yang sempit dan
mengarahkan daya ciptanya yang luar biasa untuk merenungkan tanda-tanda
kekuasaan Allah di segenap cakrawala raya dan diri mereka, serta
menjadikan renungan (tafakkur) ini sebagai ibadah yang paling utama.
Tidak sampai di situ saja, akidah juga mengarahkan daya akal untuk
menyingkap rahasia-rahasia sejarah yang pernah terjadi pada umat dan
bangsa-bangsa terdahulu, dan merenungkan hikmah yang tersembunyi di
balik syariat guna mengokohkan keyakinan muslim terhadap syariat dan
validitasnya untuk setiap masa dan tempat.

Dari sisi lain, akidah mendorong manusia untuk menuntut ilmu


pengetahuan dan mengikat ilmu pengetahuan itu dengan iman. Karena
memisahkan ilmu pengetahuan dari iman akan menimbulkan akibat jelek.

Akidah juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan


dengan teliti untuk menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk
bertaklid dalam hal itu.

2. Dalam Sisi Sosial.

Akidah telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di


saat masyarakat Jahiliah hanya mementingkan diri mereka dan
kemaslahatannya, dengan mengenal akidah, mereka relah mengorbankan
segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial.

Akidah telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang


memisahkan antara ketamakan manusia akan kemaslahatan-kemaslahatan
pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan umum dengan cara
menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.

Akidah telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri
setiap individu dengan cara-cara berikut: menumbuhkan rasa ikut
bertanggung jawab terhadap kepentingan orang lain, menanamkan jiwa
berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap individu
muslim untuk hidup bersama.
Dari sisi lain, akidah telah berhasil merubah tolok ukur hubungan sosial
antar anggota masyarakat, dari tolok ukur hubungan sosial yang
berlandaskan fanatisme, suku, warna kulit, harta dan jenis kelamin menjadi
hubungan yang berlandaskan asas-asas spiritual. Yaitu takwa, fadhilah dan
persaudaraan antar manusia.

Akidah telah berhasil merubah kondisi pertentangan dan pergolakan


yang pernah melanda masyarakat insani menjadi kondisi salang mengenal
dan tolong menolong. Dengan ini, mereka menjadi sebuah umat bersatu yang
disegani oleh bangsa lain.

Di samping itu, akidah Islam juga telah berhasil merubah tradisi-tradisi


Jahiliah yang menodai kehormatan manusia dan menimbulkan kesulitan.

3. Dalam Sisi Kejiwaan.

Akidah dapat mewujudkan ketenangan dan ketentraman bagi manusia


meskipun bencana sedang menimpa.

Dalam hal ini akidah telah menggunakan berbagai cara dan metode
untuk meringankan bencana-bencana itu di mata manusia. Di antara cara-
cara tersebut adalah menjelaskan kriteria dunia;bahwa dunia ini adalah
tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana dan derita yang acap
kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk
mencari kesenangan dan ketentraman di dunia ini.

Atas dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih


kesuksesan dalam ujian Allah di dunia.

Dan di antara cara-cara tersebut adalah akidah menegaskan bahwa


setiap musibah pasti membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia
bahwa musibah terbesar yang adalah musibah yang menimpa agama.
Dari sisi lain, akidah juga membebaskan jiwa manusia dari segala
ketakutan yang dapat melumpuhkan aktifitas, membinasakan kemampuan
dan menjadikannya cemas dan bingung.

Begitu juga akidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya.


Karena tanpa tanpa itu, sulit baginya untuk dapat menguasai jiwa dan
mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat mengenal Allah secara
sempurna.

Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa


penyakit-penyakit jiwa yang berbahaya seperti fanatisme, rakus dan egoisme
jika tidak diobati, akan menimbulkan akibat-akibat sosial dan politik yang
berbahaya, seperti fitnah yang pernah menimpa muslimin di Saqifah,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ali a.s.

4. Dalam Sisi Akhlak.

Akidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap


individu muslim sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa
disesuaikan dengannya, dan bukan hanya sekedar wejangan yang tidak
menuntut tanggung-jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran pemikiran hasil
rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh Allah
dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan
demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dari kehidupan manusia.
Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Demi mendorong masyarakat berakhlak terpuji dan meninggalkan


akhlak yang tidak mulia, akidah mengikuti bermacam-macam metode dalam
hal ini: pertama, menjelaskan efek-efek uhkrawi dan duniawi dari akhlak yang
terpuji dan tidak terpuji.
Kedua, memperlihatkan suri teladan yang baik kepada mereka dengan
tujuan agar mereka terpengaruh oleh akhlaknya yang mulia dan mengikuti
langkahnya

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Masuknya Israiliyat ke dalam kerangka penafsiran Al-Quran adalah


dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi pada masa sahabat, baik kultural maupun
struktural. Sedangkan beberapa tokoh terkemuka Israiliyat, jika dilihat dan segi keadilan
dan ke-tsiqah-an mereka, ada di antaranya yang tidak diragukan, ada yang sangat
diragukan di samping ada yang bersifat kontroversial. Berdasarkan konstelasi di atas,
para ahli tafsir tidak sepakat tentang sikap dan penilaian mereka terhadap Israiliyat. Di
antaranya ada yang menolak sama sekali, dan lebih banyak yang menerima secara
selektif.

Keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir Al-Quran, sangat menurunkan derajat


Al-Quran, karena di dalamnya bercampur baur yang hak dengan yang batil, yang benar
dengan yang bohong, yang ilmiah dengan dongeng semata.Bahkan kenyataan itu dapat
membahayakan Islam sendiri, dan merugikan dakwah Islam di abad modem mi, di saat
kemajuan ilmu dan teknologi makin pesat. Dengan demikian, perlu diintensifkan
penelitian ilmiah terhadap segala macam Israiliyat yang ada dalam kitab-kitab tafsir,
dengan mempergunakan kriteria yang disepakati bersama, sehingga AlQuran dengan
tafsirnya dapat dibersihkan dan noda Israiliyat yang ditinggalkannya selama ini.
DAFTAR PUSTAKA

Usman,Ilmu Tafsir(Yogyakarta:Teras,2009)
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits,terjemahan Didin
Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993)
Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an,tabu.
(Jakarta: Rajawali,1986)
Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari danTafsir Ibnu
Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Sayyid Kamal Khalil, Dirasah fil al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Ma'rofah, 1961),
Abu Fida’ Ismail ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1407 H/ 1986 M)
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997)
Zainal Hasan Rifai, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar
Ulumul Qur'an, (Jakarta: Lentera Basitama, 1992)
Ibnu Hajar Al Asqalany, Fath al-Bary (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah, 1325 H.)
Manna’ Al-Qattan, Mabahis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis,
1973)
Syadali Ahmad ,Ulumul Qur’an I(Bandung:cetakan I.1997)

Anda mungkin juga menyukai