Anda di halaman 1dari 12

BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS


TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam menentukan diagnosis dan penatalaksanaan kasus obstetri yang


harus dilakukan terhadap pasien adalah anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan pasien wanita usia 42 tahun datang dengan
keluhan perutnya membesar disertai nyeri sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya perut
hanya nyeri biasa namun lama kelamaan teraba benjolan di perut dan membuat
perut membesar.Benjolan kemudian menyebabkan nyeri yang tembus sampai ke
belakang.Karena nyeri, pasien tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Keluhan
disertai dengan perdarahan dari kemaluan sejak satu bulan terakhir. Pasien
mengaku memiliki haid yang tidak teratur.Apabila haid pasien mengaku merasa
nyeri yang hebat.Tidak ada keluhan perdarahan pervaginam. Keluhan lain seperti
mual, muntah, pusing dan sakit kepala tidak ditemukan. BAB dan BAK baik dan
lancar.Pasien sebelumnya sudah pernah ke praktek dokter swasta dan melakukan
pemeriksaan, dari hasil USG menurut dokter praktek swasta pasien mengalami
kista ovarium dan dianjurkan untuk dilakukan tindakan operasi.
Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran
composmentis. Tanda vital; TD 120/90 mmHg, N 92 x/menit, R 22x/menit, S:
36,5oC. Konjungtiva; anemis -/-.Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi
perut tampak buncit, dan palpasi didapatkan nyeri tekan pada perut bawah serta
teraba massa pada regio suprapubic. Pemeriksaan laboratorium: WBC 10,8
x103/μL, RBC 4,60 x106/μL, Hb 9,4 g/dL, PLT 403 x103/μL, CT7 menit 30 detik,
BT5 menit, GDP 66 mg/dL, SGOT 10 u/L, SGPT 15 u/L, Protein urin (+/-).
Pemeriksaan USG didapatkan adanya kista ovarium bilateral.
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.Pada anamnesis ditemukan Pasien masuk RS
dengan keluhan perut membesar dan terasa nyeri sejak 3 bulan yang lalu.Awalnya
perut hanya nyeri biasa namun lama kelamaan teraba benjolan di perut dan
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

membuat perut membesar.Benjolan kemudian menyebabkan nyeri yang tembus


sampai ke belakang.Karena nyeri, pasien tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.
Berdasarkan teori, kista ovarium ada umumnya tidak bergejala tetapi
gejala seperti nyeri ataupun gangguan siklus menstruasi dapat terjadi akibat
pecahnya dinding kista, penekanan pada organ sekitar, maupun mengarah pada
keganasan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan abdomen tampak cembung, dan teraba
massa kistik, konsistensi kenyal, dan nyeri tekan. Dari hasil pemeriksaan tersebut
dapat disimpulkan bahwa ukuran tumor berukuran besar dan berisi cairan karena
konsistensinya lunak dan timpani pada saat diperkusi. Hal ini juga didukung oleh
hasil pemeriksaan USG yaitu kista ovarium.Pada kasus ini untuk penanganan
gejala awalnya diberikan injeksi ketorolak.Seperti yang diketahui ketorolak atau
ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non steroid, yang
masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara struktur
kimia berhubungan dengan indometasin.Ketorolak dapat dipakai sebagai
analgesia obat tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak
mempotensiasi aksi nosiseptif dari opioid.Mekanisme kerja utama dari ketorolak
adalah menghambat sistesa prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat
kompetitif dari enzim siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek
analgesia.Seperti AINS pada umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX
non selektif.
Berdasarkan klasifikasi kista ovarium, jenis kista dapat berukuran besar
adalah kistadenoma ovari serosum.Namun untuk menegakkan diagnosis jenis
kista ini, perlu pemeriksaan histopatologi. Tumor ovarium ini terbanyak
ditemukan bersama-sama dengan kistadenoma ovari musinosum dan dijumpai
pada golongan umur yang sama. Kista ini sering ditemukan bilateral (10-20%)
daripada kistadenoma musinosum. Tumor serosa dapat membesar sehingga
memenuhi ruang abnomen, tetapi lebih kecil dibanding dengan ukuran
kistadenoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin, tetapi dapat
juga lobulated karena kista serosum pun dapat berbentuk multikolur, meskipun
lazimnya berongga satu. Warna kista putih keabuan.
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

Ciri khas dari kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler ke dalam
rongga kista sebesar 50% dan keluar pada permukaan kista sebesar 5%. Isi kista
cair, kuning dan kadang-kadang coklat karena bercampur darah. Tidak jarang,
kistanya sendiri kecil, tetapi permukaannya penuh dengan pertumbuhan
papiler (solid papiloma).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa sulit membedakan gambaran
makroskopis kistadenoma serosum papileferum yang ganas dari yang jinak,
bahkan pemeriksaan rnikroskopis pun tidak selalu mernberikan kepastian.
Pada pemeriksaan mikroskopis terdapat dinding kista yang dilapisi epitel
kubik atau torak yang rendah, dengan sitoplasma eosinofil dan inti sel yang besar
dan gelap warnanya. Karena tumor ini berasal dari epitel permukaan ovarium
(germinal epithelum), maka bentuk epitel pada papil dapat beraneka ragam, tetapi
sebagian besar terdiri atas epitel bulu getar seperti epitel tuba. Pada jaringan
papiler dapat ditemukan pengendapan kalsium dalam stromanya yang dinamakan
psamoma. Adanya psamoma menunjukkan bahwa kista adalah kistadenoma
ovarium serosum papiliferum, tetapi bukan ganas.
Tidak ada gejala klasik yang menyertai tumor serosa
proliferatif. Kebanyakan ditemukan pada pemeriksaan rutin dari pelvis. Kadang-
kadang pasien mengeluh rasa ketidaknyamanan daerah pelvis dan pada
pemeriksaan ditemukan massa abdomen atau pun ascites. Kelainan ekstra
abdomen jarang ditemukan pada keganasan ovarium kecuali pada stadium
terminal.
Apabila ditemukan pertumbuhan papiler, proliferasi dan stratifikasi epitel,
serta anaplasia dan mitosis pada sel-sel, kistadenoma serosum secara makroskopik
digolongkan ke dalam kelompok tumor ganas. 30-35% dari kistadenoma serosum
mengalami perubahan keganasan. Bila terdapat implantasi pada peritoneum
disertai dengan ascites, prognosis penyakit adalah kurang baik. Meskipun
diagnosis histopatologis pertumbuhan tumor tersebut mungkin jinak
(histopathologically benign), tetapi secara klinis harus dianggap sebagai
neoplasma ovarium ganas (clinicaly malignant).
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

Terapi pada umumnya adalah pengangkatan tumor. Tetapi oleh karena


berhubung dengan besarnya kemungkinan keganasan perlu dilakukan
pemeriksaan yang teliti terhadap tumor yang dikeluarkan. Bahkan kadang-kadang
perlu diperiksa sediaan yang dibekukan (frozen section) pada saat operasi, untuk
menentukan tindakan selanjutnya pada waktu operasi.

Kista Ovarium Serosum


Tumor ini lazimnya berbentuk multilokuler.Pada tumor yang besar tidak
lagi dapat ditemukan jaringan varium yang normal. Tumor biasanya unilateral
akan tetapi dapat juga ditemui yang bilateral.
Pada kasus ini, penanganan kista yaitu dilakukan kistektomi
bilateral.Kantong kista berwarna putih keabu-abuan dan isinya berupa cairan
berwarna kuning kecoklatan.Bila dibandingkan dengan jenis kista yang telah
dijelaskan diatas, maka kista yang ada pada kasus ini mendekati dari jenis
kistadenoma ovari serosum.Namun hal ini perlu dibuktikan secara
histologis.Maka dari itu anjuran pemeriksaan Patologi Anatomi perlu
dilakuan.Tapi pada pasien ini pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan
karena pasien tidak mampu membayar biaya pemeriksaan yang tergolong mahal.
Setelah operasi, pasien ini diberikan obat – obatan :
 Anbacim, berisi kandungan cefuroxime, merupakan golongan obat
sefalosporin generasi kedua. Biasanya diberikan untuk mengobati infeksi atau
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

mencegah infeksi pasca tindakan operatif. Seperti golongan sefalosporin


lainnya, meski sebagai generasi kedua, itu kurang rentan terhadap beta-
laktamase. Oleh karena itu, mungkin memiliki aktivitas yang besar terhadap
Haemophillus influenza, Neisseria gonorrhoeae, dan penyakit Lyme. Tidak
seperti kebanyakan sefalosporin generasi kedua lainnya, cefuroxime dapat
melewati sawar darah otak. Beberapa efek samping dari antibiotik ini adalah
pusing, sakit kepala, mual dan bahkan diare.
 Santagesik: Komposisi Metamizole Na, golongan obat NSAID, yang
diindikasikan untuk terapi nyeri akut atau kronik berat seperti nyeri pasca
operasi atau nyeri berat yang berhubungan dengan spasme otot polos (akut
atau kronik) misalnya spasme otot atau kolik yang mempengaruhi Gastro
Intestinal Tract.
 Metronidazole : diindikasikan untuk mencegah infeksi bakteri anaerob yang
terjadi sebelum dan setelah operasi.
 Rantidine :Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang
menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan
mengurangi sekresi asam lambung. Selain itu, ranitidine juga berfungsi
mencegah efek samping dari ketorolac yaitu peptic ulcer
 Ketorolac : Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi
penggunaan ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu
penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti
inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti
morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang.
 Transamin/asam tranexamat : Asam traneksamat merupakan golongan obat
anti-fibrinolitik. Obat ini dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan
pada sejumlah kondisi, misalnya pendarahan pascaoperasi.
 Ondancentrone :Ondansetron termasuk kelompok obat Antagonis serotonin 5-
HT3, yang bekerja dengan menghambat secara selektif serotonin 5-
hydroxytriptamine (5HT3) berikatan pada reseptornya yang ada di CTZ
(chemoreseceptor trigger zone) dan di saluran cerna.
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

Berdasarkan teori, pada pasien ini harusnya diberikan Hormone


replacement therapy atau yang diterjemahkan sebagai terapi sulih hormon
didefinisikan sebagai pemberian hormon (estrogen, progesteron atau keduanya)
pada wanita pascamenopause atau wanita yang ovariumnya telah diangkat, untuk
menggantikan produksi estrogen oleh ovarium. Terapi menggunakan estrogen
atau estrogen dan progesteron yang diberikan pada wanita pascamenopause atau
wanita yang menjalani ovarektomi, untuk mencegah efek patologis dari
penurunan produksi estrogen.Jenis, dosis hormone serta saat dan lamanya
pemberian merupakan hal yang sangat penting dalam menangani jenis gangguan
pada alat sistem reproduksi seorang wanita. Setiap pemberian hormone akan
memberikan efek perifer maupun efek sentral. Efek perifer baru akan memberi
hasil setelah pemberian jangka panjang dengan dosis yang kecil, sedangkan efek
sentral baru akan dicapai pada pemberian jangka pendek dengan dosis yang
tinggi.
Beberapa kemungkinan penggunaan hormone sebagai terapi adalah :
a) Terapi substitusi
Substitusi ialah penggantian hormone yang tidak dibentuk oleh
penderita, dengan hormone dari luar.Pemberian secara ini bukanlah
penyembuhan, melainkan hanya untuk menghilangkan keluhan yang ada.
Pemberian cara ini lama, malahan dapat berlangsung seumur hidup. Contoh :
pengobatan siklik estrogen saja atau progesterone- estrogen pada wanita
muda yang mengalami menopause buatan atau pada wanita yang mengalami
menopause alamiah.
Cara pemberian terapi substitusi adalah diberikan E (estriol) saja
selama 3 minggu, dengan 1 minggu istirahat.Pada setiap masa istirahat dilihat
apakah keluhan hilang atau masih tetap ada.Bila keluhan hilang pengobatan
dapat dihentikan atau bila dipakai untuk tujuan pencegahan, maka estriol
dapat diberikan terus dengan dosis yang tetap atau diteruskan dengn/tanpa
menaikkan dosis. Tetapi mengingat pemberian estrogen jangka panjang
meskipun yang digunakan estrogen lemah akan timbul bahaya terjadinya
kanker paudara ataupun endometrium, maka terapi substitusi dengan estrogen
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

harus selalu dikombinasikan dengan progesteron. Estrogen diberikan selama


30 hari, sedangkan progesteron diberikan dari hari 20-30 siklus haid. Pada
penggunaan cara pemberian obat diatas umumnya setelah obat dihentikan,
wanita akan mengalami haid. Pada wanita-wanita yang tidak menginginkan
haid atau menganggap haid yang terjadi merupakan gangguan seperti pada
wanita pasca menopause, maka dapat diberi terapi secara terus menerus
dengan menggunakan sediaan kombinasi seperti pil KB.
b) Terapi Stimulasi
Stimulasi adalah memacu alat tubuh untuk meningkatkan produksi
hormonnya. Cara ini tidak hanya dipakai untuk keperluan pengobatan, akan
tetapi juga dipakai untuk diagnosis (tes fungsional). Contoh : pemberian
hormone gonadotropin untuk keperluan diagnosis dan terapi dengan
merangsang ovarium, sehingga alat tersebut membentuk hormone estrogen
dan progesterone.
c) Terapi Inhibisi
Inhibisi ialah pemberian hormone pada hiperfungsi suatu kelenjar
endokrin atau menekan fungsi yang tidak diinginkan.Contoh : inhibisi ovulasi
dengan memberikan kombinasi estrogen-progesteron pada kontrasepsi
dengan pil.
Perlu diperhatikan bahwa terapi hormonal secara substitusi, stimulasi atau
inhibisi dapat berakibat sebaliknya. Inhibisi dapat menyebabkan stimulasi pada
penghentian pemberian hormone, misalnya pada fenomena rebound. Inhibisi
system hipotalamus-hipofisis oleh pemberian estrogen – progesterone dosis tinggi
dapat menyebabkan pengeluaran hormone gonadotropin yang meningkat sebagai
reaksi terhadap penghentian hormone steroid tersebut. Pada fenomena escape
terdapat peningkatan hormone gonadotropin walaupun system hipotalamus-
hipofisis ditekan oleh pemberian hormone steroid terus-menerus. Keadaan ini
disebabkan oleh densibilisasi system hipotalamus.
Hormon estrogen dan atau progesteron dapat diberikan secara oral,
parenteral, topikal berupa krem, pesarium, transdermal berupaplester (koyok),
atau pun berupa penanaman pellet (implants).Hormon Gn-RH dapat diberikan
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

secara sublingual, intranasal (spray), intravena, per infus, per rektal, atau
berdenyut (pulsatif).
Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam.Karena dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tidak ditemukan tanda-tanda
keganasan dari kista, yang menandakan kista ovarium pada kasus ini termasuk
dalam kategori jinak dan pada umumnya kista ovarium yang jinak memiliki
prognosis yang baik.Namun keganasan pada kasus ini juga perlu pembuktian dari
hasil Patologi Anatomi.
Pada saat dilakukan tindakan operasi pada pasien ini ditemukan bahwa
pasien ini mengalami mioma uteri.Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium
uterus dengan konsistensi padat kenyal, batas jelas, mempunyai pseudokapsul,
tidak nyeri, bisa soliter atau multipel. Tumor ini juga dikenal dengan fibromioma
uteri, leiomioma uteri, atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan
dan tidak juga berhubungan dengan keganasan.
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Faktor predisposisi pada pasien tersebut
kemungkinan karena umur paien yang sudah 42 tahun dan sudah memiliki gejala
sejak 3 bulan yang lalu, dimana tumor ini paling sering memberikan gejala klinis
antara 35-45 tahun. Diperkirakan ada korelasi antara hormone esterogen dengan
pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri ini muncul setelah menarke,
berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause. Faktor
predisposisi lain yang kemungkinan ada pada pasien ini adalah karena berat badan
pasien yang mencapai 68 kg dan IMTnya yang menunjukkan obesitas, dimana
resiko terjadinya mioma uteri bertambah besar seiring dengan peningkatan berat
badan dan IMT. Hal ini berhubungan juga dengan hormone estrogen.
Penegakkan diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang sesuai. Pada pasien ini, didapatkan beberapa faktor
resiko, tanda dan gejala terkait kejadian mioma uteri, diantaranya:
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

 Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering
memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.
 Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi
sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri
atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua
keadaan ini saling mempengaruhi.
 Faktor ras dan genetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan
mioma uteri tinggi.Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada
wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
Diagnosa mioma uteri pada kasus ini ditegakkan berdasarkan hasil operasi
yang ada. Gejala yang timbul sangat bergantung pada tempat sarang mioma ini
berada (serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan
komplikasi yang terjadi.Sebagian besar kasus mioma uteri tidak menunjukkan
gejala khas, bahkan kadang-kadang mioma yang besar pada penderita gemuk
tidak terdeteksi.Gejala yang timbul tergantung pada lokasi, ukuran, adanya
komplikasi dan status kehamilan penderita.Adapun gejala klinik yang sering
adalah perdarahan uterus abnormal, nyeri, adanya gejala akibat penekanan,
infertilitas dan abortus spontan. Namun pada pasien ini gejala yang ditimbulkan
yaitu nyeri tanpa adanya gejala yang lain seperti perdarahan uterus abnormal.
Pasien juga mengaku terdapat nyeri perut saat menjelang haid.Kepustakaan
menyebutkan bahwa mioma jarang menimbulkan keluhan nyeri, kecuali bila
terjadi gangguan vaskularisasi seperti penyumbatan pembuluh darah, infeksi dan
torsi mioma bertangkai atau karena tumor masuk kerongga pelvis dan menekan
saraf lumbosakral sehingga menimbulkan nyeri yang menjalar ke punggung atau
ekstremitas bawah.
Namun, pada saat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan USG pada
pasien ini didapatkan gambaran kista ovarium, belum diketahui secara pasti
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

mengapa mioma pada pasien ini tidak dapat ditemukan pada saat dilakukan
pemeriksaan USG.
Secara umum penanganan kasus mioma uteri adalah penanganan
konservatif, operatif, sinar/radiasi dan medikamentosa. Penanganan operatif
dilakukan tergantung usia penderita, paritas, besarnya mioma uteri, beratnya
keluhan yang ditimbulkan serta fungsi reproduksi. Tindakan operatif dapat berupa
miomektomi atau histerektomi yang dapat dilakukan transabdominal,
perlaparaskopi ataupun transvaginal.Miomektomi dilakukan bila fungsi
reproduksi masih diperlukan (masih menginginkan anak) serta keadaan mioma
memungkinkan.Histerektomi dilakukan bila fungsi reproduksi sudah tidak
diperlukan, pertumbuhan tumor cepat dan terdapat perdarahan yang
membahayakan penderita.
Untuk penatalaksanaan pasien ini dilakukan miomektomi, miomektomi
adalah pengambilan jaringan myoma saja tanpa pengangkatan uterus.
Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya.Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi,
histeroskopi maupun dengan laparoskopi.Pada laparotomi, dilakukan insisi pada
dinding abdomen untuk mengangkat myoma dari uterus.Keunggulan melakukan
miomektomi laparotomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas
sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada
pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun, resiko terjadi
perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas pada
pasien, disamping masa penyembuhan paska operasi lebih lama, sekitar 4-6
minggu. Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap myoma
submukosum yang terletak pada kavum uteri.Keunggulan tehnik ini adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari.Komplikasi yang serius jarang terjadi
namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit,
dan perdarahan.Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan
laparoskopi.Myoma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan
mudah secara laparoskopi.Myoma subserosum yang terletak didaerah permukaan
uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini.Keunggulan laparoskopi adalah masa
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada
pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti
usus, ovarium,rektum serta perdarahan. Dimana tindakan lain yang bias dilakukan
untuk tatalaksana mioma uteri adalah histerektomi. Histerektomi total umumnya
dilakukan dengan alas an mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri.
Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad bonam dimana waktu pemeriksaan
dalam ditemukan adanya massa yang membesar ukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm,
permukaan berbenjol, nyeri tekan tidak ada sehingga kemungkinan adalah tumor
jinak. Namun hal ini perlu dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi.Ciri-ciri
dari gambaran histopatologi mioma uteri menunjukkan gambaran jaringan yang
menyusun saling berpotongan memberikan gambaran pusaran air (spindel). Hanya
saja pemeriksaan histopatologi pada pasien ini tidak dilakukan karena pasien tidak
mampu membayar biaya pemeriksaan yang tergolong mahal. Pemeriksaan
histopatologi penting dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan terhadap
beberapa penyebab dengan perdarahan lain seperti contohnya adenomiosis,
keganasan endometrium maupun endoserviks, seharusnya diperlukan
pengambilan dan pemeriksaan pada lebih banyak sampel, misalnya sampel dapat
diambil pada bagian miometrium, endometrium, dan serviks.
BAGIAN OBSTETRI – GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

Anda mungkin juga menyukai