Anda di halaman 1dari 2

Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret.

Dalam pusat kepribadian kita


yang disebut hati, kita sadar apa yang sebenarnya dituntut dari kita. Meskipun banyak pihak
yang mengatakan kepada kita apa yang wajib kita lakukan, tetapi dalam hati kita sadar bahwa
akhirnya hanya kitalah yang mengetahuinya. Jadi bahwa kita berhak dan juga wajib untuk
hidup sesuai dengan apa yang kita sadari sebagai kewajiban dan tanggung jawab itu. Jadi
secara moral kita akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang akan kita lakukan. Kita tidak
dapat melemparkan tanggung jawab itu pada orang lain. Kita tidak boleh begitu saja
mengikuti pendapat para panutan, dan tidak boleh secara buta mentaati tuntutan sebuah
ideologi. Secara mandiri kita harus mencari kejelasan tentang kewajiban kita.

Setiap manusia dalam hatinya memiliki suatu kesadaran tentang apa yang menjadi tanggung
jawab dan kewajibannya. Kesadaran itu tidak selalu kita perhatikan. Kalau hati setuju dengan
pendapat moral lingkungan, maka suara hati tidak menyolok.

Kesadaran bahwa kita sendirilah yang akhirnya harus memutuskan apa yang menjadi
kewajiban kita, dan bahwa kita wajib untuk melaksanakannya bersifat langsung. Kita sadar
bahwa apa pun biayanya, disetujui atau tidak oleh lingkungan, para panutan dan ideologi kita,
kita selalu wajib untuk mengambil sikap yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita.
Sekaligus kita sadar bahwa dari kesetiaan terhadap suara hati kita tergantung nilai kita sendiri
sebagai manusia.

Suara hati adalah pangkal otonomi manusia, pusat kemandiriannya, unsur yang tidak
mengizinkan manusia menjadi pembeo atau kerbau yang mudah digiring menurut pendapat
orang lain. Suara hati adalah piece de resistence, unsur perlawanan yang akan mengganggu
kerukunan dengan pihak yang tidak benar. Suara hati akan membuat kita sadar bahwa kita
selalu berhak untuk mengambil sikap sendiri, dan bahwa kewajiban untuk taat terhadap
pelbagai otoritas dalam masyarakat selalu terbatas: suatu perintah melawan suara hati, dari
mana pun datangnya, wajib kita tolak.

Apabila kita tidak berani mengikuti suara hati dan menyesuaikan diri dengan mereka yang
berpendapat lain, kita merasa bersalah, artinya, kita sadar bahwa nilai kita sendiri berkurang.
Nilai kita sebagai manusia tergantung pada ketaatan kita terhadap suara hati.

Suara Apa itu suara hati? Pada Johan suara hati menyatakan diri sebagai kesadaran tentang apa
hati yang menjadi kewajibannya berhadapan dengan masalah konkret yang dihadapinya.
Berhadapan dengan pendapat masyarakat dengan tuntutan ideologi, ia menjadi sadar, bahwa
ia tidak boleh mengikuti pendapat moral mereka begitu saja, melainkan harus memastikan
sendiri apa yang sebenarnya merupakan kewajibannya dalam situasinya.

Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret. Dalam pusat kepribadian kita
yang disebut hati, kita sadar apa yang sebenarnya dituntut dari kita. Meskipun banyak pihak
yang mengatakan kepada kita apa yang wajib kita lakukan, tetapi dalam hati kita sadar bahwa
akhirnya hanya kitalah yang mengetahuinya. Jadi bahwa kita berhak dan juga wajib untuk
hidup sesuai dengan apa yang kita sadari sebagai kewajiban dan tanggung jawab itu. Jadi
secara moral kita akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang akan kita lakukan. Kita tidak
dapat melemparkan tanggung jawab itu pada orang lain. Kita tidak boleh begitu saja
mengikuti pendapat para panutan, dan tidak boleh secara buta mentaati tuntutan sebuah
ideologi. Secara mandiri kita harus mencari kejelasan tentang kewajiban kita.
Setiap manusia dalam hatinya memiliki suatu kesadaran tentang apa yang menjadi tanggung
jawab dan kewajibannya. Kesadaran itu tidak selalu kita perhatikan. Kalau hati setuju dengan
pendapat moral lingkungan, maka suara hati tidak menyolok. Tetapi selalu saja dapat terjadi
seperti dengan wartawan Johan, bahwa kita tidak dapat menyetujui sikap yang diambil para
panutan. Dalam situasi itu hati menyatakan diri. Kesadaran bahwa kita sendirilah yang
akhirnya harus memutuskan apa yang menjadi kewajiban kita, dan bahwa kita wajib untuk
melaksanakannya bersifat langsung. Kita sadar bahwa apa pun biayanya, disetujui atau tidak
oleh lingkungan, para panutan dan ideologi kita, kita selalu wajib untuk mengambil sikap
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita. Sekaligus kita sadar bahwa dari kesetiaan
terhadap suara hati kita tergantung nilai kita sendiri sebagai manusia. Apabila kita tidak
berani mengikuti suara hati dan menyesuaikan diri dengan mereka yang berpendapat lain,
kita merasa bersalah, artinya, kita sadar bahwa nilai kita sendiri berkurang. Nilai kita sebagai
manusia tergantung pada ketaatan kita terhadap suara hati.

Kita telah melihat bahwa suara hati bukan masalah perasaan, melainkan menuntut
pertanggungjawaban rasional. Bukan dalam arti rasionalisme, seakan-akan setiap penilaian
moral harus dapat dibuktikan, melainkan dalam arti bahwa penilaian moral kita harus kita
buka terhadap tantangan dan sangkala dan harus kita dukung dengan argumen-argumen
objektif. Maka kita boleh mengambil keputusan begitu saja atas dasar pendapat kita pada saat
itu, melainkan harus mencari informasi dan pertimbangan yang relevan, harus terbuka
terhadap pendapat pihak lain dan bersedia untuk menanggapinya, bahkan seperlunya untuk
mengubah pendapat kita sendiri yang semula. Tetapi keputusan sendiri harus selalu kita
ambil sesuai dengan suara hati kita sendiri. Dalam keadaan ragu-ragu pun kita hendak berani
untuk mengambil keputusan dan untuk mempertanggungjawabkan akibat-akibatnya.

Anda mungkin juga menyukai