Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhlak tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual muslim
yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan
teologis akhlak tasawuf tampil mengawali dan memandu perjalanan hidup
umat agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misa utama
kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia, dan sejarah mencatat bahwa factor pendukung keberhasilan dakwah
beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini
dinyataka oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yanag beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya diminta agar akhlak dan keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad
SAW itu dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan diberbagai bidang.
Mereka yang mengetahui permintaan ini dijamin keselamatan hidupnya di
dunia dan di akhirat.
Khazanah pemikiran dibidang akhlak dan tasawuf itu kemudian
menemukan momentum pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain
ditandai dengan munculnya sejumlah besar ulama tasawuf dan ulama dibidang
akhlak. Mereka tampil pada mulanya untuk memberi koreksi pada perjalanan
umat yang saat itu keadaannya mulai miring kearah yang salah. Mereka
mencoba meluruskan dan ternyata upaya mereka disambut positif karena
dirasakan manfaatnya. Untuk melestarikan budayanya itu maka saat ini telah
ada beberapa sumber yang bisa kita pelajari, salah satunya yaitu makalah ini
yang disusun berdasarkan gabungan sumber-sumber yang sudah ada.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun Rumusan masalah yang kami ambil adalah:
1
1. Apa Pengertian Akhlak Tasawuf dan Unsur-Unsur yang Mempengaruhi
Tasawuf?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Akhlak Tasawuf dan Tarikat?
3. Apa itu Syariah, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat?
1.3 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah yang kami ambil adalah tentang:
1. Pengertian Akhlak Tasawuf dan Unsur-Unsur yang Mempengaruhi
Tasawuf.
2. Sejarah Perkembangan Akhlak Tasawuf dan Tarikat.
3. Syariah, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat.
1.4 Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah yang kami ambil adalah:
1. Untuk mengetahui Pengertian Akhlak Tasawuf dan Unsur-Unsur yang
Mempengaruhi Tasawuf.
2. Untuk mengetahui bagaimana Sejarah Perkembangan Akhlak Tasawuf
dan Tarikat.
3. Untuk mengetahui apa itu Syariah, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat.
1.5 Manfaat Penulisan
Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang Akhlak Tasawuf.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akhlak Tasawuf dan Unsur-Unsur yang Mempengaruhi


Tasawuf
Dari sudut kebiasaan akhlah berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar
(bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang memiliki arti ath-
thabi’ah (kekuatan, tabi’at, watak dasar), al-‘adat (kibiasaan, kelaziman), al-
maru’ah (peradaban yang baik, dan al-din (agama). Dengan demikian, kata akhlak
atau khuluk secara Bahasa beararti budi pekerti, adat kebiasan, perangai , maru’ah
atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Untuk pengertian akhlak menurut istilah ini dapat merujuk kepada berbagai
pendapat para pakar dibidang ini, Ibnu Miskawaih yang selanjutnya dikenal
sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat
mengatakan, bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”.
Sementara itu Imam Al-Ghazali yang selanjutnya dikenal sebagai Hijjatul
Islam (pembela islam), karena kepiawannya dalam membela islam dari berbagai
paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa, akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Adapun pengertian tasawuf menurut Harun Nasution terdapat lima istilah
yang berkenaan dengan tasawuf yaitu as-suffah (ahl al-suffah) (orang yang ikut
pindah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci),
Sophos (hikmat) dan suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja
dihubungkan dengan tasawuf. Kata ahl al-suffah (orang-orang yang ikut pindah
dengan nabi dari Makkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang
3
yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk
allah. Mereka ini rela meninggalkan kampong halamannya, rumah, kekayaan, dan
harta bendanya lainnya di mekkah untuk hijrah bersama nabi ke Madinah. Tanpa
ada unsur iman dan kecintaan pada allah, tak mungkin mereka melakukan hal yang
demikian. Selanjutnya dengan kata saf juga menggambarkan orang yang selalu
memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (kain wol)
menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia. Dan
kata Sophos (Bahasa yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa
cenderung kepada kebenaran.
Dari segi lingustik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf
adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup
sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa
yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat
bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing. Selama ini ada
tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai yang harus
berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut
pandang sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk
yang harus berjuang, maka tasawuf dapat di definisikan sebagai upaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika sudut pandang yang digunakan
manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat di definisikan
sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika definisi tasawuf tersebut diatas satu dan lainya dihubungkan, maka
segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
4
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan
dunia, sehingga tercemin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan
kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan
mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat
tasawuf.
Adapun di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang
menyatakan bahwa sumber atau unsur yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu
Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani, Unsur Hindu/Budha
dan Unsur Persia. Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Islam
Secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau
jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat
batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat
perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah
serta praktik kehidupan nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara
tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (Mahabbah)
yang terkandung dalam Q.S Al-Maidah 5:54, perintah agar manusia senantiasa
bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah terkandung dalam
Q.S Tahrim 66:8, petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan
dimanapun mereka berada yang terkandung dalam Q.S Al-Baqarah 2:110, Tuhan
dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya yang terkandung
dalam Q.S Al-Nur 24:35, selanjutnya Al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia
agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda yang
terkandung dalam Q.S Al-Hadid, Al-Fatir 35:5 dan senantiasa bersikap sabar dalam
menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT yang terkandung dalam Q.S Al-
Imran 3.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan Al-Qur’an diatas, Al-sunnah pun
banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat beberapa teks
hadist yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:
5
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan
makhluk agar mereka mengenal-Ku”
Hadist tersebut memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini
adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal
dirinya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian, dalam alam raya ini
terdapat potensi ketuhanan yang dapat didaya gunakan untuk mengenal-Nya. Dan
apa yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
Dengan adanya hadist yang menyatakan: “Senantiasalah seorang hamba itu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya
yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan
tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk
berusaha, maka dengan-Kulah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir,
meninju dan berjalan”.
Hadist tersebut diatas memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan
bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal
dengan istilah al-fanah’, yaitu fanahnya makhluk sebagai yang mencintai kepada
diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat
petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW
telah melakukan pengasingan diri ke gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia
menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang arab terbenam
didalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang menggunakan segala cara
yang menghalalkan.
Selama di gua hira’ yang Ia kerjakan hanyalah tafakur, beribadah dan hidup
sebagai seorang yang jahid. Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan
pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum minuman kecuali yang
halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Sehingga Siti
Aisyah istri Beliau bertanya: “mengapa engkau berbuat begini ya Rasulallah,
6
sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosa-Mu” Nabi menjawab: “apakah
Engkau tidak ingin agar Aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah”.
Dikalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktik
bertasawuf sebagimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar
As Shidiq misalnya berkata: “aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan,
kefanaan, dalam keagungan dan rendah hati. Demikian pula khalifah Umar bin
Khotob pada suatu ketika pernah berkhutbah dihadapan jamaah kaum muslimin
dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjtnya khalifah Usman
bin’Afan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-
Qur’an, baginya Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca
kemanapun Ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Djar Al-
Gifari, Tamin Darmy dan HuzaifahAl-Yamani”.
Selain sumber-sumber tersebut diatas, situasi masyarakat pada massa itupun
ikut serta mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah islam tersebar kesegala penjuru
dan makin kokoh pemerintahan islam serta semakin makmurnya masyarakat, maka
mulai timbul pola hidup yang bermewah-mewahan dan berfoya-foya. Dalam
keadaan demikian timbullah sekelompok masyarakat yang melakukan protes
dengan cara hidup juhud, seperti yang diperlihatkan Hasan Al-Basri. Tokoh ini
dengan gigih dan gayanya yang retorik telah mampu mengembalikan kaum
muslimin kepada garis agama dan muncullah kehidupan sufistik. Sikap protes ini
kemudian mendapat simpatik dari masyarakat dan timbullah pola hidup tasawuf.
Bersamaan dengan itu pada masa ini timbul pula aliran-aliran keagamaan,
seperti lahirnya alirah khawarij, mukhtajilah dan lain-lain. Aliran keagamaan ini
dikenal banyak mempergunakan rasio dalam mendukung ide-idenya. Untuk
membendung aliran ini, maka timbulah kelompok yang tidak mau terlibat dalam
penggunaan akal untuk membahas soal-soal tasawuf. Kelompok yang terakhir ini
berusaha mengasingkan diri dan memusatkan diri untuk beribadah kepada Allah.

7
Dari informasi tersebut terlihat bahwa munculnya taswuf dikalangan umat
islam bersumber pada dorongan ajaran islam dan factor situasi islam dan sejarah
kehidupan masyarakat pada umumnya.
2. Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literature yang ditulis para orientalis barat sering dijumpai
uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf islam dipengaruhi oleh adanya unsur
agama masehi, unsur yunani, unsur hindu/budha dan unsur Persia. Hal ini secara
akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para
orientalis barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar islam masuk ke dalam
tasawuf itu disebabkan karena secara hitoris agama-agama tersebut telah ada
sebelum islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat arab yang kemudia masuk
islam. Akan tetapi, kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang arab terpengaruh
oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi
kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak
menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian, adanya unsur
luar islam yang mempengaruhi tasawuf islam itu merupakan masalah akademik
bukan masalah akidah islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap yang
sangat kritis dan sangat objektif. Kita mengakuia bahwa islam sebagai agama
universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan sosial. Dengan
sangat selektif islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran sufistik yang
terdapat dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam hubungan ini maka islam termasuk
ajaran tasawufnya dapat bersentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran
tasawuf yang berasal dari luar islam itu.
Unsur-unsur luar islam yang diduga mempengaruhi tasawuf islam itu
selnjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur Masehi
Orang arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal
latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika von kromyer
berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat
8
pada zaman jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan
bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.
Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan
pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan
bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang
berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Unsur-Unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf islam adalah
sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang
yang fakir, dan injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata :
“Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah.
Beruntunglah kamu orang orang miskin, karena bagi kamulah kenyang”.
Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat
pada, peranan syaikh yang menyerupai pendeta bedanya pendeta dapat menghapus
dosa; selebasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena dianggap dapat mengalihkan
perhatian diri dari khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat
Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah’’.
b. Unsur Yunani
Kebudayaan yunani yaitu filsafat telah masuk pada dunia dimana
perkembanganya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah
Abbasiyah, metode berfikir sebagian orang islam yang ingin berhubungan dengan
Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam
taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian
tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat di
lihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian-uraian
tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala
sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat aliran Neo
Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang tertinggu hanya dapat dicapai lewat
letakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya
9
dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis: Kenallah dirimu dengan dirimu’’
diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata : Siapa yang mengenal dirinya,
maka dia mengenal Tuhannya’’. Hal ini semua mengarah kepada munculnya teori
Hulul, Wihdah Asy-Syuhud, dan Wihdah al-wujud. Tidak sah lagi bagi kelompok
Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn al-farabi, al-
Hallaj, ditemukan pengaruh nyata filsafat dalam cara berpikir mereka.
c. Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama hindu dapat dilihat
adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy, Al-Birawi mencatat bahwa ada
persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu kemudian
pula paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara
kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.
Salah satu maqomat sufiah al-fana tampaknya ada persamaan dengan
ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada
hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham
tokoh sufi.
Menurut Qomar kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali
karena kalua tidak diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha
berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke
mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
d. Unsur Persia
Sebenarnya hubungan antara Arab dan Persia sudah ada hubungannya
semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan
dan sastra. Akan tetapi sebelum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan
bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah
kehidupan kerohanian arab masuk ke Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di
dunia ini. Namun seringkali ada persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan

10
zuhd menurut agama Manu dan Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai
paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Dari semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu
bersumber dari ajaran islam itu sendiri mengingat yang dipraktikan Nabi dan para
Sahabat. Hal ini dapat dilihat dari asas-asasnya semuanya berlandaskan kepada al-
Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu
berkembang menjadi pemikiran dia mendapat pengaruh dari filsafat yunani, hindu,
Persia, dan lain sebagainya. Dan hali ini tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf
saja melainkan juga dalam bidang lainnya.
Sumber-sumber yang menggambarkan bahwa tasawuf islam seolah-olah
berasal bukan dari ajaran islam, biasanya berasal dari barat. Di dalam berbagai
literature yang ditulis para orientalis Barat kita menjumpai uraian seperti itu. Hal
ini disebabkan karena mereka mengidentikan ajaran islam sebagaimana ajaran non
islam, yaitu ajaran yang dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi
oleh situasi sosial. Namun perlu dicatat, bahwa mengidentikan Islam dengan non
islam tidak sepenuhnya benar. Ajaran islam sebagai diketahui bersumber pada
wahyu Al-Qur’an dan Sunnah al-Rasul. Kedua sumber ini jelas bukan produk
pemikiran manusia. Namun, bersamaan dengan itu, Al-Qur’an dan Al-Sunnah
terkadang tampil dalam format yang “belum siap pakai”, atau belum bisa
digunakan begitu saja dalam aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan
dikembangkan oprasionalisasinya oleh akal pikiran. Dalam hubungan inilah
kedalam ajaran islam masuk unsuk pemikiran yang pada hakikatnya bukan wahyu.
Dengan demikian, bagian dari ajaran islam ada yang bersifat ajaran normative,
yaitu yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan mengalami
perubahan; dan ada yang bersifat non normative, yaitu yang bersumber pada akal
pikiran yang dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
Oleh karena itu perlu juga dicatat bahwa pemikiran yang dihasilkan dari
pemahaman terjadi al-Qur’an dan Al-sunnah itupun sifatnya jauh berbeda dengan
pemikiran bebas yang yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
11
Pemikiran jenis pertama tidak bebas sebebas-bebasnya melainkan masih terikat
pada kedua sumber ajaran islam tersebut. Pemikiran yang sifatnya demikian tidak
bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat bebas, liberal dan tidak
terikat pada ajaran apapun.
Jika dalam pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran taswuf,
maka dapat dikatakan bahwa ajaran tasawuf itu sama kedudukannya dengan ajaran
lainnya dalam Islam, seperti teologi, fikih, dan lain sebagainya. Ajaran tasawuf
bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang menggarapannya memerlukan
bantuan pemikiran yang sehat, lurus dan tidak keluar dari semangat ajaran al-
Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikirang yang tidak sampai mengingkari
adanya Tuhan dan ke-Rasulan Muhammas SAW, tidak sampai menentang rukun
iman dan rukun islam dan seterusnya. Jika dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak
sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu, maka segera diperbaiki, dan hal
ini telah dilakukan oleh para ulama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu
menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan bahwa
tasawuf itulah sebenarnya inti agama islam, dengan berbagai pertimbangan sebagai
berikut. Pertama bahwa kehidupan yang kekal adalah kehidupan diakhirat nanti
yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari
perbuatan dosa dan pelanggaran.
Allah berfirman yang artinya “pada hari (itu) tidak bermanfaat harta dan
anak kecuali mereka yang datang menghadap Allah dengan jiwa yang sehat” (Q.S
Al-Syu’ara [26]:89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam
ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kedua, bahwa
kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada
adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan kepada
Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebaginya sering
membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok kelembah
12
maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak orang yang
kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa saja, tapi
kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya yang
disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia
yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada
batas-batas dimana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah, pakaian
serba lux, kendaraan mengkilat, dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu
pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang
berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya panca indra, dan
kirangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak
ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah, tempat ia harus
mempertanggung jawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai
paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonism (memuja kepuasan
nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia
kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan
lainsebagainya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai
produk budaya yang negative mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan
yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran
dan sebagainya. Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negative terhadap
generasi muda. Untuk mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan
pemikiran, biaya, tenaga, waktu, dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian
tasawuf dapat menjadi salah satu alternative untuk mengatasi masalah tersebut
secara ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh
tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian
integral dari ajaran islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang paling

13
depan dalam menyelamatkan kehidupan manuisa dari bahaya kehancuran dan
kesengsaraan didunia dan akhirat.
2.2 Sejarah Perkembangan Akhlak Tasawuf dan Tarikat
A. Periode I masa rasulullah saw. (13 Sebelum Hijriah – 11 H)
Kalau kita perhatikan pertumbuhan tasawuf pada mulanya, dapatlah kita
pandang bahwa tahannuts Rasul di Goa Hira’, merupakan awal tasawuf pada diri
Nabi saw. tetapi karena tahannuts itu terjadi sebelum Al-Qur’an itu diturunkan, maka
tahannuts itu tidak dapat dijadikan awal tasawuf islam. Hanya kehidupan Rasul
setelah turun Al-Qur’an lah yang kita pandang awal tasawuf islam.
Tahannuts Rasul saw. di Goa Hira’ memang untuk mensucikan rohani, tetapi
karena hal itu bukan dari ajaran Allah yang diturunkan setelah datangnya syari’at
islam, maka tahannuts Rasul di Goa Hira’ itu tidak dapat kita masukkan menjadi
sumber tasawuf islam.
Ciri khas tasawuf pada di masa Rasul saw. ini ialah berpegang teguhnya kaum
muslimin dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabinya.
B. Peride II Masa sahabat (11 H – 40 H)
Demikian pulalah kehidupan para sahabat yang mencontoh langsung cara
hidup Rasul. Mereka adalah manusia-manusia yang berakhlak mulia dan
membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama.
Abu Bakar termasyhur dengan kedermawanannya, ketaatan, tawadlu’, wara’ dan
mempunyai pribadi yang mulia. Sehingga ia mendapat tempat yang utama di hati
Rasulullah.
Umar Bin Khattab adalah seorang sahabat yang berbudi tinggi, dia
menyediakan malamnya untuk beribadat dan siangnya untuk urusan negara.
Meskipun ia seorang pemimpin negara, namun pakaiannya biasa-biasa saja, rendah
hati, wara’, dan berbudi luhur.
Usman Bin Affan adalah seorang hartawan yang dermawan. Beliau telah
memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan agama. Bila dia berada

14
dirumah, tak pernah lepas Al-Qur’an dari tangannya. Beliau kerap kali
mentilawahkan Al-Qur’an dan memahami kandungannya sampai larut malam.
Ali Bin Abi Thalib termasyhur dengan tawadlu’nya, beliau tidak malu
memakai pakaian yang bertambal-tambal, bahkan ia sendiri pulalah yang
menambalnya. Sekali pernah beliau menjinjing daging dari pasar. Lantas orang
bertanya : “Apakah tuan tidak malu membawa daging itu ya Amirul Mukminin?”
beliau menjawab : “Yang kubawa ini adalah barang halal, apa yang kumalukan
terhadapanya!”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sahabat tetap berpegang
teguh terhadapa ajaran Al-Qur’an dan meneladani Rasul yang baru saja menghilang
di tengah-tengah mereka.
Orang yang paling banyak mengajarkan soal kerohanian di periode ini antara
lain Ali Bin Abi Thalib, Huzaifah Bin Al-Yaman, Abu Hurairah, Abu zar dan lain-
lain. Dapatlah kita katakan bahwa ciri-ciri tasawuf dimasa sahabat ini adalah :
1. Memegang teguh ajaran kerohanian yang dipetik dari Al-Qur’an.
2. Meneladani perilaku Rasulullah saw. sepenuhnhya.
C. Periode III Masa Tabi’in (41 H – 100 H)
Setelah masa sahabat berlalu datanglah masa tabi’in. Para tabi’in yang dekat
dengan sahabat-sahabat Nabi, terutama dengan shabat-sahabat besar dan Huzaifah
Bin Al-Yaman, telah mendapatkan ajaran tasawuf secara langsung dari beliau-beliau
itu dan dapat meneladani perilaku sahabat-sahabat Rasul tadi.
Di masa tabi’in ini muncullah Hasan Al-Basri murid terdekat dari Huzaifah dan
dibesarkan dibawah asuhan Ali Bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 21 H
(632 M) di Madinah dan pernah menyusu pada istri Nabi saw. yaitu Ummu Salamah
r.a.
Beliau adalah orang pertama yang merintis ilmu tasawuf dan mengajarkan
ilmu ini di Masjid Basrah. Ajaran-ajaran tasawuf beliau senantiasa berjalan diatas Al-
Qur’an dan Hadis, karena memang beliau seorang ahli

15
Hadis dan ahli Fiqih yang mempunyai madzhab sendiri. Beliau pernah bertemu
dengan 70 orang sahabat yang ikut perang Badar dan 300 orang sahabat lainnya.
Pandangan yang amat teguh dipegangnya ialah zuhud, raja’, dan khauf. Al-
Hasan tidak terpengaruh oleh gangguan mata benda dunia yang telah mulai menulari
sebagian kaum muslimin dewasa itu. Beliau tidak suka menjadi seorang pejabat, takut
terganggu urusan agamanya.
Di samping sufi-sufi pria terdapat juga seorang ahli tasawuf dari kalangan
wanita yaitu Rabi’ah Al-adawiyah. Beliau juga hidup di penghujung masa tabi’in.
Corak tasawuf Rabi’ah ini masih mirip dengan tasawuf di periode awal dari periode
tabi’in, hanya saja perasaanya sudah mulai menguasai pribadinya.
Tasawuf di masa tabi’in ini masih menurut jiwa Al-Qur’an dan menurut
praktek hidup Raulullah saw. yang ditiru dan diteladani oleh sahabat-sahabat beliau.
Dari sahabat inilah tabi’in meneladani cara hidup Rasul. Di masa tabi’in ini pelajaran
tasawuf sudah mulai diajarkan dalam bentuk disiplin ilmu.
D. Periode IV Meluasnya Tasawuf (100 H – 450 H)
Pada periode IV ini ajaran tasawuf mempunyai corak tersendiri. Di dalam
mengabdikan diri kepada Tuhan, orang sudah banyak dipengaruhi oleh perasaanya
sendiri, sehingga mereka kadang-kadang sudah berlebih-lebihan dalam beribadat,
dunia sudah ditinggalkan sama sekali. Kalau di periode-periode sebelumnya orang
bukan benci kepada dunia tetapi tidak mau terpengaruh dengannya. Tetapi pada
periode IV ini orang sudah mulai membenci dunia.
Di masa ini muncul nama-nama sufi seperti Sirri As-Suqty, Ma’ruf Al-Karakhi, Harts
Al-Muhasiby, Sulaiman Ad-Darani dan lain-lain.
Dalam periode IV ini sampailah tasawuf di puncak ketinggiannya dengan
datangnya Husain Bin Mansur Al-Hallaj dengan teori-teorinya yaitu :
1. Al-Hulul yaitu menjelmanya Tuhan dalam manusia tertentu.
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah atau Nur Muhammad yaitu pandangan bahwa alam
semesta ini berasal dari Nur Muhammad.

16
3. Wahdatul Adyan yaitu pandangan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah
satu, perbedaan antara satu dengan yang lainnya hanyalah pada nama.
Selain dari pandangan diatas dia juga memfatwakan :
1. Ibadah shalat dapat diganti dengan mengerjakan shalat mulai dari tenggelam
matahari sampai siang terus-menerus. Dengan ini terhapuslah kewajiban shalat
seumur hidup.

2. Zakat dapat diganti dengan sodaqoh.


3. Puasa Ramadhan boleh diganti dengan mengerjakan puasa tiga hari tiga malam
terus-menerus di luar Ramadhan.
4. Orang yang ingin mengerjakan haji boleh saja ia kerjakan di sembarang tempat di
luar Makkah, dan thawafnya cukup dengan mengelilingi sesuatu yang berbentuk
segi empat di bulan haji, ditambah dengam memberi makan 30 orang anak yatim.
Ajaran di atas sangat menggemparkan para fuqaha yang berpegang teguh
dengan sunah. Karena adanya ajaran ini, Ibnu Daud berfatwa bahwa ajaran Al-Hallaj
menyesatkan. Fatwa ini akhirnya menjadi fatwa resmi, sehinggga mengakibatkan Al-
Hallaj dibawa ketiang gantungan.
Tasawuf di periode IV ini sudah mulai mengembangkan sayapnya ke luar
tanah Arab, seperti ke Iran, India, Afrika, dan lain-lain. Tasawuf dikurun ini ditandai
dengan :
1. Tumbuhnya tarekat-tarekat yaitu menentukan Dzikir-dzikir untuk diamalkan di
dalam zawiyah-zawiyah. Tarekat-tarekat yang timbul pada periode ini antara lain :
Tarekat As-Suqtiyah, Tarekat Khazzariyah, Tarekat Nuriyah, dan Tarekat
Mulamatiyah.
2. Mulai masuknya ajaran filsafat ke dalam tasawuf islam.
3. Masuknya pengaruh Syi’ah atas jiwa tasawuf, sehingga timbullah ajaran-ajaran
tentang wali.
E. Periode V Masa Pencerahan (450 H – 550 H)

17
Kedatangan Al-Ghazaly (450 – 505 H = 1057 – 1111 M) keatas panggung
sejarah tasawuf islam, membawa perhatian umum ummat islam kembali kepada
tasawuf. Tasawuf yang selama ini dipertentangkan dengan fiqh dan ilmu kalam, atas
usaha orang besar ini dapatlah dipertautkan kembali.
Usaha Al-Ghazaly yang terbesar ialah mengadakan pencerahan kembali ilmu
tasawuf dan mengembalikannya ke medan-medan ilmu keislaman, setelah sekian
lama tenggelam akibat kerusakan-kerusakan berat yang ditimbulkan oleh ahli-ahli
tasawuf yang sebelumnya kurang mengerti seluk beluk ajaran islam.
Dalam hal ini, jalan usaha Al-Ghazaly yang pertama ialah menyatukan antara
fiqh tasawuf dan ilmu kalam, sehingga hilang jurang pemisah antara ketiganya, antara
satu dengan yang lain saling membutuhkan seperti tali berpilin tiga. Usaha ini terlihat
dengan jelas di dalam Ihya Ulumuddin. Dalam usaha besar ini Al-Ghazaly tidak
bosan-bosannya menuangkan buah pikirannya dalam buku-buku, baik besar maupun
kecil.
F. Periode VI Masa jayanya Tasawuf Falsafi (550 H – 700 H)
Al-Ghazaly telah memulihkan pandangan umum yang selama ini sinis kepada
tasawuf. Atas usaha Al-Ghazaly ini tumbuhlah kembali tasawuf itu dengan suburnya
bersama-sama dengan fiqh dan ilmu kalam.
Tetpai disamping usaha Al-Ghazaly ini, tasawuf Al-hallaj yang sudah mendarah
daging dalam pribadi pengikut-pengikutnya, secara diam-diam tumbuh juga, bahkan
mengambil bentuk yang lebih ekstrim dari pendahulunya.
Usaha Al-Ghazaly memadukan antara ilmu-ilmu keislaman yang sudah mulai
cerah dan berhasil itu, mulai mundur kembali karena semakin besarnya pengaruh
tasawuf ala Al-Hallaj yakni perpaduan tasawuf dengan filsafat. Atas perpaduan antara
tasawuf dan filsafat ini timbullah filosofi-filosofi sufi yang buah fikirannya tidak jauh
berbeda dengan Al-hallaj, mereka itu antara lain : Syuhrawardi, Ibnu Arabi, Ibnu
Faridh, Ibnu Sabi’in, Abu Sa’id, Al- Anshari, Majdudin Sina’i, Fariduddin Al-Athar,
dan Jalaludin Rumi.
G. Periode VII masa Pemurnian (700 H – .....)
18
Dalam periode VII inilah munculnya para pemurni Tasawuf Islam yang
menghapuskan ajaran-ajaran tasawuf yang berbau syirik, bid’ah, dan khurafat.
Bahkan bukan hanya dibidang tasawuf saja, tetapi dibidang ilmu-ilmu lainpun mereka
mengoreksi dan menghapuskan segala hal yang dipandnag bukan dari ajaran Al-
Qur’an dan As-Sunah.
Semenjak meninggalnya Al-Ghazaly, tasawuf telah bercampur-baur dengan filsafat-
filsafat Yunani, Hindu, Persia dan filsafat-filsafat lain. Dan disamping itu masuk pula
perasaan-perasaan yang mendorong manusia untuk memperkuat ibadat dan
perasaanya sendiri tanpa menurut ajaran yang telah dibentangkan di dalam Al-Qur’an
dan As-Sunah.
Di kala itu muncullah Ulama’ul-ishlah yang membersihkan dan memurnikan
ajaran tasawuf itu kembali dari noda-noda yng mengotorinya. Mereka itu antara lain :
Ibnu Taimiyah Al-Harrani, Ibnu Qoyyim Al-jauziyyah, As-Sanusi, Jamaluddin Al-
Afghani dan lain-lain.
PERKEMBANGAN TASAWUF DI NUSANTARA
Perkembangan ilmu tasawuf di nusantara, dibagi dalam tiga peiode :
1. Periode I Masa Pertumbuhan
2. Periode II Masa Perkembangan
3. Periode III Masa Pemurnian
Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai berikut :
1. Periode I Masa Pertumbuhan Tasawuf
Penyebaran islam di Indonesia tidak terlepas dari dakwah yang dilakukan oleh
Wali Songo khususnya di pulau jawa dan juga syekh Siti Jenar. Agama islam masuk
ke Indonesia sekitar abad keempat dan kelima Hijriah, maka paham-paham sufi dan
tasawuf yang sedang tersiar luas dan mendapat perhatian umum dalam negara-negara
islam ketika itu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari materi dakwah yang
disampaikan di Indonesia. Dari sinilah mulai tumbuhnya tasawuf di Indonesia.
Berarti tasawuf itu tumbuh sejak islam masuk ke Indonesia yang di bawa oleh para

19
pedagang atau orang yang memang khusus datang untuk menyiarkan agama islam
seperti para Wali songo dan orang-orang yang telah mempelajari tasawuf negerinya.
Di antara ulama yang muncul pada waktu ini adalah:
a. Hamzah Al-fansuri
Hamzah Al-Fansuri ini menganut faham wujudiyah, seperti faham Ibnu Arabi,
Ibnu Sabi’in dan lainnya. Selain itu ia juga menganut tarekat Qadariyah yang di
bangsakan kepada Abdul Qadir Al-Jailani. Selain sebagai sufi termasyhur, beliau juga
sebagai sastrawan, seperti buku-bukunya syair Burung Pingai, Syair Dagang dan lain-
lain.
b. Abdur Rauf Al-fanshuri
Beliau adalah pembawa tarekat Syaththariyah di Aceh yang dipelajarinya dari
Syekh Ahmad Al-Qasyasy di Madinah. Selain mempunyai murid yang banyak, beliau
juga giat menulis buku-buku. Di antara buku-bukunya ialah Umdatul Muhtajin,
ta’birul Bayan, Mir’atuth Thulab dan lain-lain.
c. Nuruddin Ar-Raniri
Beliau adalah seorang sufi yang tidak termakan ajaran Ibnu Arabi. Tauhidnya
itu tidak bergeser sedikitpun oleh tipuan khayal falsafi. Dialah yang menjadi
penentang Hamzah Al-fansuri. Beliau juga mempunyai karya yang banyak
diantaranya Tajus Salathin.
d. Syekh Burhanuddin Ulakan
Beliau berasal dari Ulakan Pariman Propinsi Sumatera Barat. Beliau belajar
dengan Syekh Abdur-Rauf Fansuri di Barus selama 13 tahun. Kemudian
menyebarkan ilmunya di Minangkabau.
2. Periode II Masa Perkembangan
Sepeninggal ulama-ulama yang kita sebut di atas berkembanglah tasawuf di
Nusantara ini, terutama dalam bentuk tarekat-tarekat. Sedangkan ajaran-ajaran
tentang wahdatul wujud mulai mengabur dari bumi Nusantara. Dalam periode ini
muncullah ulama-ulama antara lain :
Syekh Abdush-Shamad Al-Falimbani
20
Beliau adalah anak dari Syekh Abdul jalil yang berasal dari Yaman. Beliau
dilahirkan di Palembang dan belajar ilmu di makkah dan Madinah.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Beliau lahir pada tanggal 13 Shafar tahun 1122 H di Banjarmasin. Beliau


adalah seorang sufi yang luas pengetahuannya dalam masalah fiqh syafi’i.
Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Beliau adalah satu-satunya sufi yang menganut faham wujudiyah di periode II
ini, dengan bukunya Ad-Durrun Nafis.
3. Periode III Masa Pemurnian
Di periode ini muncullah ulama’-ulama’ seperti Syekh Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, Syekh Muhammad jamil Jambek, Dr. Syekh Abdullah Ahmad dan
lain-lain yang kritis dalam mempertahankan ajaran murni agama islam. Merka tidak
segan-segan menentang lawannya, membersihkan masyarakat dari syirik, bid’ah, dan
khurafat.
Kita akui meskipun usaha pemurnian tasawuf belum sepenuhnya berhasil,
namun kita telah dapat melihat faktanya dewasa ini, pengaruh faham-faham
wujudiyah, ittihad dan hulul sudah dapt dihilangkan dan tarekat-tarekat sudah mulai
menciut, meskipun ada pembela-pembelanya.
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga
tidak terlepas dari perkembangandan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas
pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya.
Mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam
pengamalan tadawuf yang dapat menuntun mereka. Belajar dari seorang guru dengan
metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dalam suatu ilmu yang
bersifat partikal adalah suatu keharusan bagi mereka. Seorang guru tasawuf biasanya
memang memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan
pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas
bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain.

21
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul
sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namum, Harun Nasution
mengatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya
dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, tetapi perkembangannya melalui
tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar yang bertujuan untuk
melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat
kegiatan yang disebut ribat (disebut juga zawiyah, hangkah, atau pekir). Ini
merupakan tempat para murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran
tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf syaikhnya.
Organisasi serupa mulai timbul pada abad XII M, tetapi belum baru tampak
perkembangannya pada abad-abad berikutnya. Disamping untuk pria, ada juga tarekat
untuk wanita, tetapi tidak berkembang dengan baik seperti tarekat untuk pria.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu
Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa,
diantaranya :
1. Tarekat Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi (wafat 562
H/1169M) dan disusul oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh
Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani (wafat 617 H/1220M). Kedua tarekat ini
menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami (wafat 425 H/1034M) dan
dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi (wafat 477 H/1084 M) dan Yusuf bin
Ayyub Al-Hamadani (wafat 535 H/1140 M). Tarekat Yasaviyah berkembang
ke berbagai daerah, antara lain ke Turki. Disana, tarekat ini berganti nama
dengan Tarekat Bektashiya yang diidentikan kepada pendirinya Muhammad
'Ata' bin Ibrahim Hajji Bektasy (wafat 1335 M). Tarekat ini sangat populer
dan pernah memegang peranan penting di Turki yang dikenal dengan Korp
Jenissari yang diorganisasikan oleh Murad I pada masa Turki Utsmani.
2. Tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-
Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari ( wafat 1389 M) di Turkistan. Dalam
perkembangannya, tarekat ini menyebar ke Anatolia ( Turki ) kemudian

22
meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan
dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti tarekat Khalidiyah, Muradiyah,
Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
3. Tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khalwati ( wafat 1397 M ).
Tarekat Khalwatiyah adalah salah satu tarekat yang terkenal berkembang di
berbagai negeri, seperti Turki, Siria, Mesir, Hijaz, dan Yaman. Di Mesir
tarekat khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Ghulsheini ( wafat 940 H/1534
M ) yang kemudian terbagi pada beberapa cabang, antara lain tarekat
sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad bin Abd Al-Karim As-Samani
(1718-1775). Tarekat ini dikenal jugadengan nama tarekat hafniyah.
Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di Turki dan didirikan oleh Amir
Suktan (wafat1439 M). Dari rumpun Mesopotamia yang berpusat di Irak,
paham tarekatnya bersumber dari Abu Al-Qasim Al-Junaidi (wafat 298 H/910
M) yang melahirkan berbagai tarekat dari berbagai garis silsilah. Akan tetapi,
yang terkenal adalah tarekat suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu Hafs As-
Suhrawardi (632 H/123 M), tarekat kubrawiyah yang didirikan oleh
Najmuddin Kubra (618 H/1221 M), dan tarekat maulawiyah yang didirikan
oleh Jalaluddin Ar-Rumi (1207-1273 M). Tiap-tiap tarekat ini kemudian
menumbuhkan berpuluh-puluh cabang dengan berbagai nama baru sesuai
dengan nama pendirinya yang tumbuh dan tersebar ke seluruh dunia islam.
Akan tetapi, tarekat Kubrawiyah sangat berkembang di India, sedangkan
Mulawiyah tumbuh subur di kawasan Turki.
4. Tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Safiyuddin Al-Ardabili (wafat 1334
M).
5. Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (wafat 1430 M).

Didaerah Mesopotamia masih banyak tarekat yang muncul dalam periode


ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun Al-Junaid. Tarekat-Tarekat
ini antara lain adalah :

23
Tarekat Qadiriyah yang Tarekat yang tergolong dalam kelompok
Qadiriyahini cukup banyak dan tersebar keseluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah
di Mesir yang dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 m) yang mengilhami
tarekat Sanusiyah (Muhammad bin Ali Al-Sanusi, 1787-1859 M) melalui tarekat
Idrisiyah (Ahmad bin Idris) di Afrika Utara, merupakan kelompok Qadiriyah
yang masuk ke Indi melalui Muhammad Al-Ghawth (1517 M) yang kemudian
dikenal dengan tarekat Al-Ghawtiyah atau Al-Mi’rajiyah dan di Turki
dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi (1041 H/1631 M).
1. didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir Al-Jailani (471 H/1078 M).
2. Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-
Syadzili (593-656 H/1196-1258 M).
3. Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmadbin Ali Ar-Rifa’i(1106-1182 M).
Karena banyaknya cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk,
sulitbagi kita untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu secara sistematis
dan konsepsional. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan penjelasan Harun
Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu
tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru
sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat
gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribat
induk kemudian timbul ribat cabang, dari ribat cabang tumbuh ribat ranting, dan
seterusnya sampai tarekat itu berkembang ke berbagai dunia Islam. Namun, ribat-
ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan
yang sama dengan syaikhnya yang pertama.
2.3 Syariah, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat
Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah
perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan
seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’r yang berarti
menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir’ah dan syariah
yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara

24
langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain.
Syariat dalam istilah syar’i hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-
hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari
perkataan, perbuatan dan penetapan. Syariat dalam penjelasan Qardhawi adalah
hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah
serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas. Syariat
Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-
Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan
dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Dari segi Bahasa tarikat berasal dari Bahasa arab thariqat yang artinya
jalan, keadaan, dan aliran dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan, bahwa
secara harfiah tarikat berarti jalan yang tenang, dan lurus yang memungkinkan
pada tujuan dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarikat berbeda menurut
pemikiran masing-masing. Dikalangan muhadisin tarikat digambarkan dalam dua
arti yang asasi. Pertama menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih
dahulu (lancer), kedua didasarkan pada sistem yang jelas yang dibatasi
sebelumnya. Selain itu tarikat juga diartikan sebagai sekumpulan cara-cara yang
bersifat renungan, dan usaha indrawi yang mengantarkan pada hakikat atau sesuatu
yang benar.
Selanjutnya istilah tarikat lebih banyak digunakan oleh para ahli tasawuf.
Mustafa Zahri dalam hubungan ini menyatakan tarikat adalah jalan atau petunjuk
dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat-Nya, tabi’in dan
tabi’at yang turun temurun hingga sampai pada guru-guru secara berantai sampai
pada masa kini.
Lebih khusus lagi tarikat dikalangan sufiyah berarti sistem dalam rangka
mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak dzikir dengan

25
penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara
ruhiyah dengan Allah SWT.
Harun Nasution menyatakan bahwa tarikat adalah jalan yang harus
ditempuh seorang sufi dengan tujuan agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Hamka menyatakan bahwa diantara makhluk dengan Kholiq itu ada perjalanan
hidup yang harus ditempuh. Inilah yang dikatakan tarikat. Dan karena tarikat itu
merupakan jalan yang yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, maka orang yang menjalankan tarikat itu harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak langkah
guru, melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan
yang hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala wirid dan do’a
guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat (statiun) yang
lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai
amal.
Dari sejian banyak aliran tarikat yang ada terdapat sekurang-kurangnya
tujuh aliran tarikat yang berkembang diindonesia, yaitu tarikat Qadariyah,
Rifaiyah, Naqsabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Al-Hadad dan tarikat
Khalidiyah. Adapun tata cara pelaksanaan tarikat antara lain:
a) Zikir, yaitu menngat terus menerus kepada Allah dalam dati dan
menyebutkannya dalam lisan.
b) Ratib, yaitu mengucap lafal laa illaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama
tertentu.
c) Muzik, yaitu membaca wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan
bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rabana.
26
d) Menari, yaitu gerak yang dilakukan untuk mengiringi wirid-wirid dan bacaan-
bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e) Bernafas, yaitu mengatur cara berdafas dalam melakukan berzikir yang
tertentu.
Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan), maka
hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar selain Allah,
atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada hakikatnya adalah kekuasaan
Allah. (Abdurrahman Siddik Al Banjari ,1857 kitab Amal Ma`rifat).
Hakikat; adalah kebenaran, kenyataan (Poerwadarminta,1984) hakekat
menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan
yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian kedalam
aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa (Konsep Dasain
Interior II, Olih Solihat Karso).
Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti
kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang
sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius A, M.
Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya).
Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi
menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya,
tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya. Hakekat ini
akan di akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-benarnya
dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya sinyal
kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang memiliki
indra ke 6.
Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syariat) pada tingkatan
tharikat menjadi batang yang becabang, berdaun jika pada tingkatan ini kita
27
amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar, tawaduk kita akan
memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi dengan Allah tiada hijab atau tabir
atau penghalang lagi.
Kemudian ma’rifat berasal dari Bahasa arab yaitu kat arafa, yu’rifu, Irfan,
ma’rifatan yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula bebarti
pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada
ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umunya. Ma’rifah adalah
pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih
mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan
pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan
hakikat itu satu, dan segala yang maujud dari yang satu.

Selain itu ma’rifat digunakan untuk menunjekkan suatu tingkatan dalam


tasawuf. Dalam arti sufistik ini ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga
jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun
Nasution mengatakan bahwa ma’rifat adalah menggambarkan hubungan rapat
dalam bentuk gnosis, pengetahuan dalam hati sanubari.
Selanjutnya dari literature yang diberikan tentang mar’rifat sebagai
dikatakan Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifat berarti mengetahui Tuhan
dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-
orang sufi mengatakan:
a) Kalua mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya
akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.
b) Ma’rifat adalah cermin kalua seorang arif melihat kecermin itu yang akan
dilihatnya hanyalah Allah.
c) Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah
Allah.

28
d) Sekiranya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya.
Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang
gilang-gemilang.

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Adapun pengertian tasawuf menurut Harun Nasution terdapat lima istilah
yang berkenaan dengan tasawuf yaitu as-suffah (ahl al-suffah) (orang yang
ikut pindah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi
(suci), Sophos (hikmat) dan suf (kain wol).
Nasawuf dapat di definisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang
dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang
menyatakan bahwa sumber atau unsur yang membentuk tasawuf itu ada lima,
yaitu Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani, Unsur
Hindu/Budha dan Unsur Persia.
Sejarah Tasawuf
A. Periode I masa rasulullah saw. (13 Sebelum Hijriah – 11 H)
B. Peride II Masa sahabat (11 H – 40 H)
C. Periode III Masa Tabi’in (41 H – 100 H)
D. Periode IV Meluasnya Tasawuf (100 H – 450 H)
E. Periode V Masa Pencerahan (450 H – 550 H)
F. Periode VI Masa jayanya Tasawuf Falsafi (550 H – 700 H)
G. Periode VII masa Pemurnian (700 H – .....)
Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’r yang berarti
menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan,
bahwa secara harfiah tarikat berarti jalan yang tenang, dan lurus yang
memungkinkan pada tujuan dengan selamat. Hakikat yang berarti
kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi menjadikan Allah
30
sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang
lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya. Kemudian
ma’rifat berasal dari Bahasa arab yaitu kat arafa, yu’rifu, Irfan,
ma’rifatan yang artinya pengetahuan atau pengalaman.
3.2 Saran
Berdasarkan uraian pada bab kajian teoritis,maka kelompok kami
memberikan beberapa saran untuk pembaca. Ada pun saran yang kami
sampaikan adalah bahwa kita sebagai umat islam harus memahami konsep dasar
ajaran islam dengan baik. Salah satunya dengan mempelajari dan mengetahui
ilmu ketuhanan yang nantinya akan lebih mendekatkan diri kita kepada Sang
Pencipta.

31
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Prof. Dr. H. M.A, Akhlak Tasawuf dan karakter mulia (Bandung: Raja
grafindo,2013)
Elkahalkhanin.blogspot.co.id
Anwar Rosihon,dkk. Ilmu Tasawuf. (Bandung: Raja grafindo,2010)

32

Anda mungkin juga menyukai