Anda di halaman 1dari 8

PELECEHAN SEKSUAL PADA PEKERJA WANITA DI

AGROINDUSTRI
Dwisti Rizkia 171000104
Nadia Kusmara 171000114
Nur Rahmi Audini 171000125
Hasri Ainun Bestari ES 171000138
Sri Shinta Widyatari 171000141
Marisa Anggraini 171000143
Annisa Zahara 171000144
Hadella Putri 171000147
Dinda Novianur Aisyah P. 171000148
Delfi Rizky Ariyandi 171000149

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
Potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja didasarkan pada dampak korban terbagi
menjadi empat kategori, yaitu kategori A, kategori B, kategori C, dan Kategori D. Kategori D
berisi tentang potensi bahaya yang menimbulkan risiko pribadi dan psikologis. Salah satu potensi
bahaya yang dapat ditimbulkan adalah pelecehan, termasuk intimidasi dan pelecehan seksual.
Potensi bahaya ini banyak terjadi di sektor kerja, termasuk sektor agroindustri.

Buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi di


tempat kerja agroindustri. Bentuk diskriminasi itu beragam, mulai dari kesenjangan hak kerja
hingga pelecehan seksual. Buruh perempuan rentan mengalami pelecehan seksual yang langgeng
karena setiap hari bertemu dengan pelaku di tempat kerja. Salah satu tempat kerja yang sering
terdapat kasus pelecehan seksual adalah pabrik. Kebanyakan korban pelecehan seksual di tempat
kerja agroindustri adalah pekerja perempuan. Tak hanya dilakukan sesama rekan buruh laki-laki,
pelecehan juga dilakukan mekanik, supervisor, operator, chief, satpam, petugas parkir pabrik,
sampai bos dan orang HRD. Pelecahan tersebut terjadi karena situasi yang tidak setara antara
buruh perempuan dengan pekerja laki-laki.

Perlakuan tak sopan seperti diraba-raba, diintip saat buang air kecil, dipaksa kencan,
siulan, godaan, rayuan seksual secara nakal, diejek tubuhnya, tubuh dihimpit, diintip lewat celah
baju, dipaksa membuka baju, tubuh disentuh, bokong dan payudara diremas, dipeluk dan
digendong paksa, diajak hubungan seksual, dicium paksa, dipaksa berhubungan seksual dan
diperkosa sampai hamil. Tak jarang buruh perempuan ini juga menerima kekerasan fisik dengan
dipukul, dilempar benda keras, dan digebrak meja tempatnya bekerja. Hal tersebut sudah
menjadi hal yang biasa dialami oleh buruh perempuan.

Korban pelecahan seksual tidak hanya menerima perlakuan yang merendahkan,


mengganggu dan mengusik martabat, namun juga harus berhadapan dengan ancaman berlanjut
dan rasa takut. Pada akhirnya, pelecehan dianggap hal biasa. Sulit dihindari. Tapi beresiko juga
saat disuarakan atau dilaporkan. Mereka seolah dibungkam, sehingga hanya bisa diam.

Kalau buruh perempuan menolak, ancamannya diputus kontrak atau beban pekerjaan
ditambah buruh perempuan yang umumnya berlatar belakang ekonomi rendah terpaksa menuruti
niat jahat rekan kerja laki-laki mereka. Para buruh kerap kesulitan mengadukan perlakuan
tersebut. Mereka trauma dan menganggap hal itu sebagai aib sehingga tak berani melaporkan
pada orang lain. Padahal, perlindungan buruh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Para buruh perempuan ketakutan menceritakan pelecehan seksual karena mereka ditekan
dari pihak pabrik dan lingkungan sosial. Namun, ada salah satu buruh perempuan yang
menceritakan kejadian yang dialaminya, ia bernama Nani, 35 tahun. Menurut ceritanya, ia kerap
dilecehkan oleh sesama rekan kerja maupun atasannya. Dikirim chat-chat SMS yang berisi
ajakan berpacaran dengan rekan kerjanya, modus dengan permintaan melihat tangan, namun
ternyata malah memegang tangan, bahkan karena Nani sering berpakaian tomboy, para rekan
kerja bahkan memintanya menunjukkan payudara. Nani juga menceritakan teman buruh pria di
pabrik kerap mencolek pantatnya atau pahanya ketika ia memakai model celana yang bagian
pahanya robek. Iapun pernah ditawari jadi pacar oleh personalia agar kontraknya bisa
diperpanjang. Tawaran itu ia tolak. Karena ia ingin bekerja dengan benar tanpa iming-iming
apapun.

Boy, salah satu buruh perempuan di pabrik Cakung menceritakan pabrik tempatnya
bekerja banyak pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama operator dengan dalih bercanda.
Ada operator obras dan tukang jahit yang suka iseng nyolek dan nyubit pipi menganggap cuma
bercanda. Boy berkata bentuk pelecehan seksual yang kerap ia lihat seperti mencolek bokong
dan pelecehan verbal. Masalahnya, tak semua buruh menganggap hal-hal macam ini pelecehan
seksual. Demi meningkatkan kesadaran di tempat kerja, Boy sering mengajak sesama kawan
buruh untuk berserikat. Tapi, sedikit yang mau karena pabrik sering mendiskriminasi buruh yang
berserikat. Bentuk intimidasinya secara halus. Kalau sudah habis kontrak, rata-rata tidak akan
dipanggil lagi.

Seorang wanita buruh pabrik mebel di Kawasan Industri Terboyo, Kota Semarang,
menjadi korban pelecehan seksual oleh enam orang pria yang tak lain adalah atasan serta rekan
kerjanya. Korban bernama J (33) warga Kecamatan Buntur, Kabupaten Demak mengalami
pelecehan seksual yang dilakukan enam pelaku yang berinisial W, AM, AS, AM, AM dan IS.
Mereka bergantian melecehkan korban mulai dari tahun 2014 hingga tahun 2016. Bahkan korban
pun sudah tak tahu berapa kali para pelaku melecehkannya.
J mengatakan, dia takut melaporkan kejadian tersebut lantaran diancam akan dipindahkan
ke bagian kerja yang lebih berat bahkan kalau melapor akan dipecat. Menurut J, perlakuan tidak
senonoh itu mulai didapat sejak dia dipindah ke bagian paking. Di bagian paking, hanya J sendiri
perempuan, sisanya laki laki. Hal itu berawal dari mencolek bagian bokong, lalu ada yang peluk
dari belakang. Hingga dipaksa melakukan itu.

Aksi itu dilakukan keenam pelaku di tempat dimana J bekerja. Setiap ada pelaku yang
sedang memaksa J melakukan onani, pelaku lain menjaga dan mengawasi situasi. Bahkan sampai
ada kode sesama pelaku, kalau kode merah berarti ada orang yang datang, kalau kode hijau
berarti aman.

J mengaku takut untuk menceritakan kejadian tersebut ke suaminya lantaran diancam


oleh para pelaku. Hingga pada saat J sudah mulai tidak tahan dengan perlakuan para pelaku, J
akhirnya menceritakan kejadian itu ke suaminya. Korban pun mendatangi Polrestabes Semarang
untuk melaporkan kejadian tersebut. Namun penyidik Unit Perlundingan Perempuan dan Anak
(PPA) Sat Reskrim Polrestabes Semarang menolak laporan tersebut. Menurut mereka, alasannya
kurang bukti padahal korban sudah membawa saksi yang melihat kejadian tersebut. Korban pun
berpindah melaporkan kejadian itu ke Polsek Genuk. Terkait penolakan laporan itu, Kasat
Reskrim Polrestabes Semarang, AKBP Djoko Yulianto, belum memberikan keterangan.

Salah satu kasus diatas terjadi di industri garmen. Kekerasan yang terjadi di industri
garmen bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Baik itu kekerasan fiisik, mental ataupun
seksual. Kekerasan yang dialami pekerja perempuan merupakan dampak dari ketidakadilan
gender, diskriminasi, stereotipe, patriarki dan relasi kuasa yang tidak seimbang. Kekerasan itu
seperti sudah sistematis. Di industri garmen, kekerasan merupakan cara yang digunakan
pengusaha untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Tingginya target produksi membuka
peluang besar terjadinya kekerasan verbal, fisik bahkan seksual. Buruh dipaksa untuk mencapai
target produksi yang tidak masuk akal sehingga kondisi kerja penuh tekanan dengan jam kerja
yang panjang, upah yang didapatkan pun tidak cukup buat kebutuhan keluarga sehari-hari.

Selain sejumlah perlakuan yang tak menyenangkan, buruh perempuan juga kerap
kesulitan mendapatkan cuti haid atau hamil dari tempat kerjanya. Padahal dalam pasal 81 UU
Ketenagakerjaan telah diatur tentang ketentuan cuti haid bagi buruh perempuan. Soal cuti hamil,
buruh perempuan semestinya mendapatkan jatah selama enam bulan. Jatah cuti ini dibagi setelah
melahirkan dan satu bulan pertama saat mereka hamil.

Namun kenyataannya, para buruh perempuan rata-rata hanya diberi cuti hamil selama
tiga bulan. Alih-alih memperoleh hak cuti, para buruh justru diminta untuk mengundurkan diri.
Tak sedikit akhirnya buruh perempuan yang meninggal saat hamil karena kelelahan bekerja.
Kondisi ini yang membuat posisi buruh perempuan makin sulit di tempat kerja. Padahal, buruh
perempuan terpaksa bekerja lantaran suaminya tak mendapatkan upah yang cukup.

Proses pemulihan korban pelecehan seksual memiliki tahapan beragam. Waktu yang
dibutuhkan dari seorang penyintas tak bisa disamaratakan dengan korban lain. Jika korban
pelecehan seksual berasal dari lingkungan kerja yang sama, sudah seharusnya perusahaan
memberikan akses kebutuhan korban seperti mengawal ke proses hukum, akses pelayanan
medis, dan psikologis. Kebanyakan pelaku memang adalah orang terdekat, sehingga perlu segera
diusahakan agar menjauh dari pelaku dan memiliki rekan atau teman atau keluarga serta tempat
yang aman bagi penyintas untuk mendukung pemulihannya. Seharusnya perusahaan memiliki
prosedur penanganan pelecehan atau kekerasan seksual, seperti meminta asistensi dari ahli yang
bergerak dalam isu ini. Perusahaan juga tidak seharusnya melindungi pelaku.

Sudah kewajiban perusahaan memberikan sanksi dan konsekuensi tegas kepada pelaku,
apalagi pelecehan dan kekerasan seksual telah diatur dalam hukum negara. Namun, para buruh
perempuan kerap kesulitan mengadukan perlakuan pelecehan seksual tersebut. Untuk
mengetahui terdapat kasus pelecehan seksual saja harus secara persuasif menanyakan langsung
pada buruh perempuan untuk mengetahui kasus ini karena mereka tidak akan mau cerita sendiri.
Padahal, perlindungan buruh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.

Di tingkat nasional organisasi pembela HAM dan hak pekerja lainnya, mendesak ILO
untuk mengesahkan standar perlindungan buruh perempuan. Berharap pemerintah Indonesia dan
pihak industri menyatakan dengan tegas dukungan terhadap Konvensi dan Rekomendasi
Kekerasan Berbasis Gender di dalam sidang ILO dan menjalankannya di Indonesia.
Menurut pendapat salah satu angggota organisasi pembela HAM, untuk menghapuskan
kekerasan atau pelecehan seksual berbasis gender di tempat kerja, para pemilik pabrik harus turut
mengambil tanggung jawab terhadap apa yang terjadi di rantai pasokannya. Mereka harus
menghormati kebebasan berserikat dan perundingan bersama yang memberikan peluang kepada
pekerja perempuan untuk menjadi agen perubahan di dalam ekonomi global.

Sudah ada beberapa cara yang dilakukan para buruh wanita untuk menghindari pelecehan
seksual di pabrik tempatnya bekerja. Salah satunya ialah para buruh perempuan yang tergabung
dalam Kelompok Kerja Buruh Perempuan akan melakukan aksi di kawasan industri Cakung, 25
November 2017.

Aksi tersebut sekaligus sebagai peringatan hari perempuan internasional. Mereka akan
memasang plang dan menyebar brosur bertuliskan 'Area Bebas Kekerasan' sebagai bentuk
pembelaan terhadap buruh perempuan. Jadi tidak hanya penuntutan soal upah saja. Masalah
pelecehan seksual pada buruh perempuan juga harus diangkat.

Cara lain yang dilakukan adalah inisiatif para buruh perempuan untuk memasang plang
bertuliskan “Kawasan bebas pelecehan seksual”. Menurut mereka penting setiap pabrik
memasang plang bertulisan "kawasan bebas pelecehan seksual" karena bisa mendorong para
buruh berani bersuara . Namun Perusahaan-perusahaan ini tak serta merta mau memasang plang
tersebut. Perusahaan-perusahaan ini beralasaan tidak memiliki anggaran untuk pemasangan
plang.

Sampai saat ini belum ada cara yang efektif dan terbukti ampuh untuk menanggulangi
maraknya kasus pelecehan seksual yang dialami para buruh wanita di industri tempat mereka
bekerja. Lagi-lagi hal tersebut disebabkan karena hamper semua pekerja lain menganggap bahwa
itu hanyalah aib dan bukan sebuah pelanggaran ataupun kesalahan yang dapat berakibat fatal.

Padahal, hal tersebut berdampak dalam jangka panjang bagi sang korban. Baik mental
maupun psikisnya dapat terganggu dan menimbulkan trauma yang luar biasa. Untuk itu sebagai
tenaga kesehatan masyarakat haruslah memperjuangkan hak asasi para buruh perempuan di
tempat kerja industro dan menghimbau para pekerja lainnya bahwa itu bukanlah hal yang dapat
dianggap sepele. Seorang tenaga kesehatan juga dapat melakukan advokasi untuk memengaruhi
para pemangku kebijakan agar mereka mempunyai kepercayaan bahwa pelecehan seksual di
tempat kerja industri bukanlah suatu aib dan hal biasa yang ditutup-tutupi oleh korban, tetapi
menganggap hal tersebut dapat berdampak fatal dan harus segera ditangani. Dengan itu, para
pemangku kebijakan akan mengeluarkan peraturan ataupun kebijakan yang dapat menjadi salah
satu cara untuk meminimalisir dan menanggulangi maraknya pelecehan seksual di tempat kerja
industri.
DAFTAR PUSTAKA
Sari, Nilam Meci. (2017). Pelecehan Seksual Tenaga Kerja Wanita Indonesia Dalam Hubungan
Industri. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 14, Nomor 2, 2 Januari 2017 : 101-108.

Addiniaty, Annida. (2015). Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Buruh Wanita. Jurnal Rechts
Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional.

Haq, Yusfia Anggreini. (2015). Upaya Perempuan Aktivis Buruh Dalam Memperjuangkan Hak-
Hak Normatif Buruh Perempuan Di Perusahaan Dalam Negeri Kabupaten Mojokerto. Jurnal
Politik Muda, Vol. 4 No. 1, Januari- Maret 2015, 13-20.

Niko, Nikodemus. (2017). Pekerja Anak Perempuan Di Wilayah Pedesaan Adat; Dilematika
Keadilan Gender. Jurnal Studi Gender dan Anak.

Awaliyah, Siti. (2014). Aspek Hukum Dalam Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja. Jurnal
Hukum Dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang.

Widyawati, Vivi. 2017. Pelecehan Seksual Dan Pengabaian Hak Maternitas Pada Buruh
Garmen. Jakarta:Perempuan Mahardika

Anda mungkin juga menyukai