Anda di halaman 1dari 53

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA

APENDISITIS

Dosen Pembimbing:
dr. Elvita R. Daulay, M. Ked (Rad), Sp. Rad (K)

Oleh:
Luhurul Amri : 140100037
Jennifer Tiosanna : 140100070
Jeihan Alkhair Muthahari : 140100111
Cynthia : 140100168
Sovie Amira Rehgita : 140100205

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA
APENDISITIS

Paper ini diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh kelulusan Program Pendidikan Profesi Dokter
Di Departemen Radiologi

Oleh:

Luhurul Amri : 140100037


Jennifer Tiosanna : 140100070
Jeihan Alkhair Muthahari : 140100111
Cynthia : 140100168
Sovie Amira Rehgita : 140100205

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Pemeriksaan Radiologis pada Apendisitis”. Penulisan makalah ini adalah
salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program
Pendidikan Dokter di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing dr. Elvita R. Daulay, M. Ked (Rad), Sp. Rad (K) yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan
makalah sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik ini maupun susunan bahannya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii
DAFTAR TABEL ................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Manfaat .................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 3
2.1 Anatomi Apendiks ................................................................... 3
2.2 Apendisitis ............................................................................... 8
2.2.1 Definisi .......................................................................... 8
2.2.2 Etiologi .......................................................................... 8
2.2.3 Faktor Risiko ................................................................. 8
2.2.4 Klasifikasi ..................................................................... 11
2.2.5 Diagnosis ....................................................................... 13
2.2.5.1 Anamnesis....................................................... 13
2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik ........................................... 13
2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang .................................. 15
2.2.5.5 Pemeriksaan Radiologi ................................... 16
BAB 3 KESIMPULAN ......................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 45
iii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Anatomi Apendiks 4

2.2 Apendiks dan Histologinya 5

2.3 Usus dan Apendiks 6

2.4 Apendiks dan Caecum 7

2.5 X-Ray pada Foto Polos Abdomen 16

2.6 Foto Polos Abdomen Normal 17

2.7 Foto Polos Abdomen Normal 17

2.8 Foto Polos Abdomen Pada Proyeksi Frontal 19

2.9 Gambar Apendikolit Pada Foto Polos Abdomen 19

2.10 Apendiks Normal Pada Apendikogram 22

2.11 Apendiks Normal Pada Apendikogram 23

2.12 Apendiks Normal Pada Apendikogram 23

2.13 Gambaran Apendisitis Pada Apendikogram 24

2.14 Display Mode Pada USG 26

2.15 Gambaran USG Apendiks Normal 28

2.16 Apendisitis Akut Pada USG 29

2.17 Vaskularisasi Apendisitis Akut Pada USG 29

2.18 Apendisitis Akut dengan Apendikolit Pada USG 30

2.19 Apendikolit Pada USG 30

2.20 Apendisitis Perforasi dengan Apendikolit 31

2.21 Apendisitis Perforasi 31

2.22 Pasien Sedang Melakukan CTscan 32


iv

2.23 Gambar CTscan Sekum-Apendiks Normal 33

2.24 Potongan Koronal CTscan dengan Kontras 36

2.25 Rekonstruksi Koronal CT Abdomen Dengan Kontras 38

2.26 Potongan Axial CT dengan Kontras 39

Gambaran CT dengan Kontras Pada Potongan Axial dan


2.27 39
Koronal

2.28 MRI Potongan Axial 41

2.29 MRI Axial dengan Sekuens T1 dan T2 42


v

DAFTAR TABEL

Nama Judul Halaman

2.1 Skor Alvarado 14

2.2 Nilai Rata-Rata HU pada Beberapa Zat 34


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang merupakan


penyebab tersering dari nyeri abdomen akut dan paling sering membutuhkan
tindakan bedah. Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang. Namun, dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir,
kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.2 Dalam
kehidupan, satu dari 500 manusia akan mengalami serangan usus buntu sehingga
penanganan usus buntu yang meradang perlu dilakukan dengan baik. Hal ini
dikarenakan bila terjadi komplikasi atau usus buntu yang meradang pecah dapat
menyebabkan kematian.
Rata-rata kejadian serangan usus buntu akut terjadi pada usia dewasa muda
yaitu usia antara 10 sampai 30 tahun.3 Insidens tertinggi ditemukan pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun dimana kejadian
pada lelaki lebih tinggi.2 Insidens tahunan dari apendisitis akut adalah 25 per
10.000 (umur 10-17 tahun) dan 1-2 per 10.000 (umur di bawah 4 tahun). Dari
sekitar 293.655.405 penduduk Amerika Serikat, 734.138 orang diantaranya
menderita apendisitis akut. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara
dengan insidens apendisitis akut tertinggi sebanding dengan jumlah penduduknya
yang paling banyak dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari sekitar 238.452.952 penduduk Indonesia, 596.132 orang
diantaranya menderita apendisitis akut.4
Dibutuhkan sebuah strategi diagnosis untuk bisa mendiagnosis appendisitis
sehingga memungkinkan tatalaksana pasien dengan baik. Secara umum diagnosis
appendisitis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang termasuk prosedur radiologis.

1
2

Dari prosedur radiologis, modalitas yang utama untuk menegakkan diagnosis


appendisitis adalah CTscan. Selain CTscan, prosedur radiologis lain yang dapat
digunakan adalah foto polos abdomen, USG, Appendikogram dan MRI. Foto
polos abdomen jarang dapat memberikan diagnosis appendisitis, namun dapat
digunakan untuk mengidentifikasi udara bebas dan apendikolit. Pada pasien
dengan usia muda atau pasien hamil, USG merupakan pilihan pemeriksaan pada
apendisitis dikarenakan radiasi ionisasinya yang rendah dengan MRI adalah
pilihan modalitas kedua.5 Prosedur radiologis apendikogram sudah banyak
ditinggalkan di negara-negara lain, namun masih digunakan untuk penegakan
diagnosis apendisitis di Indonesia karena merupakan pemeriksaan yang sederhana
dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang
tinggi.6

1.2 TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk menjelaskan apendisitis.
2. Untuk mengetahui pemeriksaan radiologis apendisitis dari
pemeriksaan foto polos abdomen, apendikogram, USG, CT-scan, MRI,
dan lain-lain.
3. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
senior program pendidikan profesi kedokteran di Departemen
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT

Manfaat yang didapat dari penulisan makalah ini adalah:


1. Menambah wawasan kepada dokter umum yang bertugas di rumah
sakit dalam menegakkan diagnosis apendisitis.
2. Dapat menambah wawasan pembaca tentang apendisitis khususnya
bagi mahasiswa kedokteran.
3. Dapat melihat dan mengetahui aspek dalam bidang radiologi dalam
menegakkan diagnosis dari apendisitis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI APENDIKS


Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan organ
sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan
limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat
pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus besar yang terletak di
perbatasan ileum dan usus besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks
ditutupi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah
mesenterium yang dinamakan mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri
appendicularis, vena appendicularis dan saraf-saraf.7

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.8

3
4

Gambar 2.1. Anatomi Apendiks.9


5

Gambar 2.2. Apendiks dan Histologinya.9


6

Gambar 2.3. Usus dan Apendiks.9


7

Gambar 2.4. Apendiks dan Caecum. 9


8

2.2 APENDISITIS

2.2.1 Definisi
Peradangan apendiks vermiformis yang bila terjadi pada fase akut dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan
lokal. 10

2.2.2 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen apendiks
sehingga terjadi kongesti vaskular, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
apendisitis. Penyebab lain dari obstruksi apendiks meliputi: hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu 7 : Bakteri aerob fakultatif, Bakteri
anaerob Escherichia coli Viridans, streptococci Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila sp,
Lactobacillus sp.11

2.2.3 Faktor Risiko


a) Peranan Lingkungan → diet dan higiene
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis.
Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara
yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi
feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah
9

penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras.
b) Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam
appendicitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen
apendiks pada 20% anak-anak dengan appendicitis, terjadinya fekalit
berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat
sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
appendicitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendicitis akut dengan
gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendicitis akut dengan gangren
disertai ruptur terdapat 90% .
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan
mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di
sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan
obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan
benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang
lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko
terjadinya perforasi.
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah
adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks
menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan
intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai
kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi
perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan
adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
10

peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding


yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan
intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding
apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa
dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika,
kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema
dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren.
Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan
mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga
peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum
parietale. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung
dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut,
jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada
anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga
kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan
apendiks cepat mengalami komplikasi.
c) Peranan Flora Bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan
ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri
yang terlibat dalam appendicitis sama dengan penyakit kolon lainnya.
Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap
appendicitis sederhana. Pada tahap appendicitis supurativa, bakteri aerobik
terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat
banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan
Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak
dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendicitis gangrenosa
atau appendicitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama
Bacteroides fragilis.12
11

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a) Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen 9
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual,
muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.
b) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada
12

gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c) Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
d) Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon
dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang
melekat erat satu dengan yang lainnya.
e) Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi
nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal.
f) Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding 11
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat
13

menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut
yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.13

2.2.5 Diagnosis
2.2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Gejala
klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar.2 Gejala lain adalah demam yang
tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga
sudah terjadi perforasi.14

2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan
membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi
perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
abses.14
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan,
dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran
kanan bawah:
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam di titik Mc. Burney.
14

 Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence


muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
 Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal
pada sisi yang berlawanan.
 Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
 Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara
pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hypogastrium.14
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu
dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12.14

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado
Tabel 2.1. Skor Alvarado
Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5oC) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
15

Neutrofilia dari ≥ 75% 1

Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.15

2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang 16


a) Leukosit Darah
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit
darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah
merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar
pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada
kasus dengan komplikasi berupa perforasi.
Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks
vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah leukosit
darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit berhubungan
dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang merupakan tanda khas
pada apendisitis secara dini.
Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik
merupakan fitur penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis
ringan, mulai dari 10.000 - 18.000 sel/mm3, biasanya terdapat pada pasien
apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada setiap
pasien apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit darah yang
meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan
apendisitis akut. Apabila jumlah leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3
menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi.
b) Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan
penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi
16

apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak


40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan
pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan pandang
menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.

2.2.5.4 Pemeriksaan Radiologi


2.2.5.4.1. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan radiografi film konvensional
yang menggunakan sistem layar-film dalam kaset film sebagai detektor x-ray.
Ketika sinar x-ray menembus tubuh manusia, sinar tersebut dilemahkan oleh
interaksi dengan jaringan-jaringan tubuh (melalui absorpsi dan penyebaran) dan
menghasilkan pola gambaran pada film yang dapat dikenali sebagai anatomi
manusia. Sinar x-ray yang diteruskan melalui tubuh membentur layar yang
dilapisi partikel fluoresen dalam kaset film yang menyebabkan interaksi fotokimia
yang memancarkan sinar cahaya, yang menampakkan film fotografi dalam kaset.
Film kemudian dipisahkan dari kaset dan dikembangkan oleh prosesor film kimia
otomatis yang memberikan hasil akhir berupa gambaran x-ray anatomi pasien
dalam suatu film.17
17

Gambar 2.5. A. Tabung x-ray menghasilkan sinar x-ray yang menembus pasien
dan menampakkan film radiografik. B. Gambaran radiografi AP supine abdomen
dapat menunjukkan anatomi pasien karena struktur-struktur anatomi mempunyai
kapasitas yang berbeda dalam melemahkan sinar x-ray yang menembus pasien.17

Gambar 2.6. A). Gambaran foto polos abdomen normal. Batas bawah dari bagian
posterior hepar, angulus hepatikus (H), dan bagian bawah dari spleen (S) dilapisi
bayangan lemak. Kedua ginjal (K) and bayangan otot psoas (kepala panah)
dilapisi bayangan lemak. B). Diagram dari foto polos abdomen normal
18

Gambar 2.7. Gambaran foto polos abdomen normal. A). Gambaran batas organ
solid yang normal – hepar dengan batas bawah yang lebih prominen (varian
normal – Riedel’s lobe). Pola gas usus yang normal dan feses pada kolon
asendens dapat terlihat. B). Hepar dan spleen terlihat pada abdomen bagian atas
(warna biru). Hepar berada sampat bagian abdomen yang cukup bawah, namun
dapat menjadi varian yang normal (Riedel’s lobe). Hepar biasanya tidak
membesar melampaui kutub bawah ginjal kanan. Kedua ginjal (kuning)
dipisahkan dari rusuk oleh otot psoas. Kolon asendens dipenuhi feses namun
dapat dilihat melewati garis tengah sampai fleksura splenikus dan menurun ke
sebelah kiri pelvis.18

Berdasarkan mudah tidaknya ditembus oleh sinar X, maka bagian tubuh dapat
dibedakan atas:
a. Radiolusen (hitam), contoh: gas dan udara.
b. Radiolusen sedang (Moderately radioluscent), contoh: jaringan lemak.
c. Keputih-putihan (Intermediate), contoh: jaringan ikat, otot, cairan atau
darah, kartilago, epitel.
d. Radioopak sedang (Moderately radiopaque), contoh: tulang, struktur yang
mengalami kalsifikasi.
e. Radioopak (putih), contoh: logam-logam berat.19

Pemeriksaan foto polos abdomen merupakan pemeriksaan penting untuk


menilai penyakit abdomen akut dan merupakan pendekatan diagnostik awal untuk
penyakit-penyakit yang menyebabkan nyeri abdomen akut seperti urolitiasis,
obstruksi usus, dan lain-lain.17,20
19

Pemeriksaan foto polos abdomen jarang dipakai untuk menentukan


diagnosis apendisitis karena penemuannya bersifat non spesifik dalam 68% kasus,
namun pemeriksaan ini berguna untuk melihat adanya udara bebas dan dapat
menunjukkan apendikolit pada 7-15% kasus. Pada kondisi klinis yang tepat,
penemuan apendikolit menaikkan kemungkinan diagnosis apendisitis akut hingga
90%.18 Selain itu, tujuan utama foto polos abdomen pada nyeri abdomen akut
adalah untuk menyingkirkan perforasi dan obstruksi usus.20
Berikut adalah gambaran klasik foto polos abdomen yang dapat ditemukan
pada apendisitis20 :
a. Refleks ileus (51-81%).
b. Peningkatan opasitas pada kuadran kanan bawah abdomen (12-33%).
c. Penebalan dinding caecum (4-5%).
d. Tidak tegasnya garis lemak otot psoas pada sisi kanan.
e. Gambaran apendikolit berupa gambaran nodular pada 5% kasus, dengan
densitas kalsium yang menonjol pada fossa iliaka dekstra.
f. Petroainu et al. mendeskripsikan tanda baru dari kumpulan feses pada
caecum yang berupa bahan dengan densitas jaringan lunak dan
gelembung-gelembung radiolusen di dalamnya yang memenuhi caecum
pada pasien-pasien yang mengalami nyeri pada fossa iliaka kanan.22
g. Gambaran obstruksi usus halus dengan dilatasi usus and air-fluid levels
ditemukan pada 40% dari kasus perforasi.21
20

Gambar 2.8. Foto abdomen dengan projeksi frontal, a. pada posisi vertikal dan
b. pada posisi supine. Gambaran pola gas yang abnormal dapat terlihat yang
disebabkan oleh dilatasi dari usus halus di hemiabdomen superior, tanpa
gambaran pola obstruktif pada pasien dengan massa apendiks; gambaran ini
menunjukkan ileum, yang sering dijumpai pada pasien-pasien dengan apendisitis
akut. c. Gambaran dekat dari kuadran kanan bawah abdomen, dimana morfologi
lonjong dan densitas kalsium yang menunjukkan apendikolit dapat terlihat.

Gambar 2.9. Gambaran apendikolit pada ala sakrum kanan.


21

2.2.5.4.2. Pemeriksaan dengan Kontras


Pada pemeriksaan dengan kontras, ada dua macam kontras yang
digunakan yaitu kontras positif dan kontras negatif.23
a. Kontras positif.
Kontras positif yang biasanya digunakan dalam pemeriksaan radiologik alat
cerna adalah barium sulfat (BaSO4). Bahan ini adalah suatu garam berwarna
putih, berat (karena barium mempunyai berat atom besar) dan tidak larut dalam
air. Garam tersebut diaduk dengan air dalam perbandingan tertentu sehingga
terjadi suspensi (bukan larutan). Suspensi tersebut harus diminum oleh pasien
pada pemeriksaan esofagus, lambung dan usus halus, atau dimasukkan lewat
klisma pada pemeriksaan kolon (lazim disebut juga enema).
Sinar Roentgen tidak dapat menembus barium sulfat tersebut, sehingga
menimbulkan bayangan dalam foto Roentgen. Misalnya bila pasien minum
suspensi tersebut kemudian di potret esofagusnya, maka tergambarlah esofagus
oleh suspensi itu pada foto Roentgen.

Kontras positif lainnya yang lazim dipakai ialah zat yang mengandung unsur
jodium. Untuk pemeriksaan ginjal, kandung empedu, pembuluh-pembuluh darah,
limfe, dan sumsum tulang belakang, dipergunakan zat-zat
yang mengandung jodium. Perlu ditambahkan bahwa untuk beberapa pemeriksaan
saluran cerna kadang-kadang tidak dipilih barium sulfat sebagai kontras, misalnya
pada penyakit Hirschprung dan atresia esofagus. Dalam hal itu dipakai zat-zat
yang mengandung jodium.

b. Kontras negatif.
Yang pertama kali harus disebut sebagai contoh kontras negatif ialah udara,
karena paling murah dan paling bagus, alamiah dan dapat diperoleh di mana-
mana. Sayang tidak selalu dapat diterapkan. Sebagai kontras negatif pengganti
dalam hal-hal demikian adalah CO2 yang akan disinggung nanti pada uraian
lambung.
22

Sebelum diuraikan pemeriksaan esofagus, lambung, usus-usus halus dan


besar, perlu diutarakan cara pemeriksaan kontras tunggal atau single contrast
(SC), yaitu suatu cara lama, serta cara baru, yang dalam empat dekade ini semakin
populer dan bahkan makin mendesak cara lama, yaitu cara kontras ganda atau
double contrast (DC). Caranya agak berbeda untuk lambung dan untuk usus besar
dan akan diuraikan tersendiri. DC sangat diperlukan untuk mendeteksi lesi-lesi
kecil, misalnya ulkus kecil (kurang dari 2 mm) dan karsinoma yang masih dini
dipermukaan mukosa lambung (early cancer). Oleh karena itu, cara DC makin
banyak diminta dan makin mendesak SC.

Meskipun DC makin populer, terutama di beberapa negara maju seperti


Jepang, namun cara lama SC ini tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya, karena
cara SC mudah dimengerti sehingga bagus untuk pendidikan darn
dalam hal-hal lesi besar, mampu lebih cepat serta langsung, memberikan
informasi.23

Apendikogram adalah pemeriksaan secara radiografi pada bagian apendiks


dengan menggunakan BaSO4 (barium sulfat) yang diencerkan dengan air
(suspensi barium) dan dimasukkan secara oral (melalui mulut). Pemeriksaan ini
dapat membantu melihat anatomi fisiologis dari apendiks ataupun kelainan pada
apendiks berupa adanya sumbatan di dalam lumen apendiks.24

Indikasi dilakukannya pemeriksaan apendikogram adalah apendisitis kronis


atau akut, sedangkan kontraindikasi dilakukan pemeriksaan apendikogram adalah
pasien dengan kehamilan trimester I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.23

Pelaksanaan apendikogram :
a. Persiapan Bahan:
− Larutan Barium Sulfat (± 250 gram) + 120-200 cc air.
b. Persiapan Pasien:
− Sehari sebelum pemeriksaan, pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air
masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB. Setelah itu,
pasien diminta untuk puasa.
23

− Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa.


− Pasien diminta untuk membuka pakaian.
− Pasien diberi baju RS untuk dipakai.
c. Prosedur:
− Pasien naik ke atas meja pemeriksaan
− Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.
− Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer
sehingga pemeriksaan berjalan dengan baik.
− Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta
untuk datang keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3
hari berturut-turut.

Apendikogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena


merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi
dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi.24

Apendiks yang normal akan memberikan gambaran berupa pengisian


penuh barium sulfat pada lumen apendiks dan memiliki mukosa apendiks yang
halus.24

Gambar 2.10. Apendiks Normal. Pengisian penuh dengan kontras.25


24

Gambar 2.11. Apendiks normal.26

Gambar 2.12. Apendiks normal.26


25

Temuan apendikogram pada apendisitis dapat berupa :


a. Non filling apendiks.
b. Iregularitas nodularitas dari apendiks yang memberikan gambaran edema
mukosa yang disebabkan oleh inflamasi akut.
c. Efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan

Dari pemeriksaan menggunakan barium, kriteria diagnosis apendisitis:


1) Non filling apendiks dengan desakan lokal sekum
2) Pengisian dari apendiks dengan penekanan lokal pada sekum
3) Non filling apendiks dengan adanya massa pelvis (kabur pada kuadran
bawah kanan dengan perubahan letak usus halus akibat desakan)
4) Pola mukosa apendiks irregular dengan terhentinya pengisian.25

A B

Gambar 2.13. A. Impresi ujung sekum (tanda panah) dan non-filling appendix.
B. Partial-filling appendix bagian proksimal. Apendiks dilatasi dan pengisian
barium berhenti tiba-tiba (tanda panah besar). Tampak adanya massa pada ileum
distal (tanda panah kecil).26

2.2.5.4.3. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostic


(pencitraan diagnostik) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, dimana kita dapat
mempelajari bentuk, ukuran, anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan
sekitarnya. Pemeriksaan ini bersifat noninvasif, tidak menimbulkan rasa sakit
26

pada penderita, dapat dilakukan dengan cepat, aman, dan data yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Tidak ada kontraindikasinya, karena
pemeriksaan ini sama sekali tidak akan memperburuk penyakit penderita. Dalam
20 tahun terakhir ini, diagnostik ultrasonik berkembang dengan pesatnya,
sehingga saat ini USG mempunyai peranan yang penting untuk menentukan
kelainan berbagai organ tubuh.23

A. Prinsip Kerja Ultrasonografi


Ultrasonografi (USG) merupakan suatu alat diagnostik noninvasif dengan
menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz (20 kilohertz)
untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh, tetapi yang
dimanfaatkan dalam teknik ultrasonografi (kedokteran) hanya gelombang suara
dengan frekuensi 1-10Mhz. Gelombang suara frekuensi tinggi tersebut dihasilkan
dari kristal-kristal yang terdapat dalam suat alat yang disebut transduser. 23

B. Cara Kerja Alat Ultrasonografi


Transduser bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang
suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik
oleh transduser, yang dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh yang
akan dipelajari. Sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat terus
menembus jaringan yang akan menimbulkan bermacam-macam eko sesuai
dengan jaringan yang dilaluinya. 23
Pantulan eko yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan membentur
transduser dan kemudian diubah menjadi pulsa listrik lalu diperkuat dan
selanjutnya diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar osiloskop
(oscilloscops). Dengan demikian bila transduser digerakkan seolah-olah kita
melakukan irisan- irisan pada bagian tubuh yang diinginkan, dan gambaran irisan-
irisan tersebut akan dapat dilihat pada layar monitor. 23
Masing-masing jaringan tubuh mempunyai impendance acustic tertentu.
Dalam jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacam-macam eko, jaringan
tersebut dikatakan echogenic, Sedang pada jaringan yang homogen hanya sedikit
atau sama sekali tidak ada eko, disebut anechoic atau echofree atau bebas eko.
27

Suatu rongga berisi cairan bersifat anechoic, misalnya: kista, asites, pembuluh
darah besar, perikardial atau pleural efusion. Dengan demikian kista dan suatu
massa solid akan dapat dibedakan.23

C. Terminologi pada USG.23


1) Putih (hyperechoic/hyperechoigenic) : tulang, otot padat
2) Abu-abu (hypoechoic) : hepar, otak, uterus, ren
3) Hitam (anechoic/anechoigenic) : cairan dan sejenisnya

D. Display Mode’s
Echo dalam jaringan dapat diperlihatkan dalam bentuk23 :
1) A- mode : Dalam sistem ini, gambar yang diperoleh berupa defleksi
vertikal pada osiloskop. Besar amplitudo setiap defleksi sesuai dengan
enersi eko yang diterima transduser. Biasanya dipakai pada pemeriksaan di
serebral.
2) B- mode : Pada layar monitor (screen) eko nampak sebagai suatu seri titik
dan garis terang dan gelapnya bergantung pada intensitas eko yang
dipantulkan. Dengan sistem ini maka diperoleh gambaran dalam 2 dimensi
berupa penampang irisan tubuh, cara ini disebut B Scan.
3) M- mode : Alat ini biasa dipakai untuk memeriksa jantung. Transduser
tidak digerakkan. Di sini jarak antara transduser dengan organ yang
memantulkan eko selalu berubah, misalnya jantung dan katubnya. Gambar
pada layar monitor berupa garis-garis bergelombang.
28

Gambar 2.14. 1. A-mode,


gambar berupa amplitudo. 2. B-
mode, pada layar monitor
1
tampak sebagai suatu seri titik,
diperoleh gambar topografi
organ dalam dua dimensi. 3. M-
2 mode, didapatkan gambar garis
bergelombang yang
menunjukkan besarnya gerakan
3 suatu organ.

Ultrasound dengan radiasi ionisasi yang rendah, harus dipertimbangkan


sebagai pilihan pada pasien usia muda dan pasien hamil. Dengan operator yang
handal, ultrasonografi dapat dipercaya untuk mengidentifikasi apendiks yang
abnormal, terutama pada pasien kurus. 21

Teknik pemeriksaan USG20 :


Pasien harus berbaring dalam posisi supine di atas permukaan yang
keras. Kuadran kanan bawah diperiksa dengan transduser lineal berfrekuensi
tinggi. Eksplorasi dengan transduser harus dilakukan dengan penekanan yang
tegas dan bertahap.
Visualisasi sekum-apendiks tidak selalu mudah. Karena itu, dilakukan
beberapa manuver yang dapat membantu radiologis pada saat pemeriksaan,
seperti : memosisikan tangan kiri pemeriksa pada daerah lumbal pasien dan
menekan abdomen melawan arah transduser, atau meminta pasien untuk berbaring
pada posisi dekubitus lateral kiri dan melakukan pendekatan ultrasound dari
lateral dan posterior.
Sekum-apendiks normal tampak seperti tabung memanjang dengan
struktur sekum berupa penampilan berlapis yang disebabkan karena lapisan
histologisnya dengan diameter transversal yang biasanya kurang dari 6mm.
29

Apendiks mempunyai bentuk oval atau ovoid dan apendiks normal bersifat dapat
ditekan, mobile dan tidak memberikan perbedaan ekogenisitas dengan lemak-
lemak di sekelilingnya.20

Temuan apendisitis akut pada USG berupa20 :


a. Diameter transversal lebih dari 6mm
Namun, 23% dari laki-laki dewasa yang sehat mempunyai sekum-apendiks
dengan diameter transversal lebih dari 6mm. Oleh karena itu, beberapa ahli
mengatakan bahwa apendiks dengan diameter 6-9mm digolongkan sebagai
“undetermined” dan tanda-tanda lain dari apendisitis harus dicari, seperti:
tidak dapat ditekan, bentuknya, dan perubahan ekogenisitias dari jaringan-
jaringan di sekitarnya.
b. Apendiks yang non-compressible.
Apendiks normal harusnya bersifatbmobile dan dapat ditekan.
c. Perubahan inflamatori pada lemak di sekelilingnya.
Perubahan ini tampak sebagai peningkatan ekogenisitas dari lemak
periapendikular.
d. Peningkatan vaskularisasi, yang divisualisasi dengan Doppler.
Meskipun mempunyai sensitivitas yang bagus (87%), namun parameter ini
tidak valid untuk diagnosis apendisitis akut karena tahap dari proses ini dapat
positif ataupun negatif.
e. Apendikolit
Struktur ini hanya ditemukan pada 30% dari kasus apendisitis. Namun,
penemuan apendikolit meningkatkan risiko perforasi. 3 contoh klasik dari
perforasi appendikular di Amerika Serikat adalah penumpukan cairan
periappendikular, irregularitas dinding dan ditemukannya apendikolit ekstra
luminal.
30

Gambar 2.15. Gambaran USG apendiks normal. A. Gambaran aksial yang


menunjukkan gambaran cincin konsentris dengan ekogenisitas yang berubah
(tanda panah putih) yang menunjukkan mukosa, otot dan serosa dari apendiks.
B. Sekum-apendiks bisa diobservasi pada aksis longitudinal, pada daerah yang
paling umum (tanda panah putih) pada posisi media berlawanan dengan
pembuluh darah iliaka. (Doppler – tanda panah jingga).20

Gambar 2.16. Apendisitis akut. a). Gambaran aksial dari sekum-apendiks non-
compressible dan menebal dengan diameter 13mm. b). Diameter apendiks tidak
berubah dengan manuver kompresi. Selain itu, perubahan ekogenisitas dari lemak
di sekitarnya dapat terlihat. (*).20
31

Gambar 2.17. Peningkatan vaskularisasi yang disebabkan oleh apendisitis


akut. a). Gambaran longitudinal apendiks dengan peningkatan aliran darah pada
dindingnya terlihat pada gambar dengan Doppler (tanda panah). b). Dengan
menggunakan Doppler, peningkatan aliran pada dinding anterior apendiks dapat
terlihat (tanda panah).20

Gambar 2.18. Apendisitis akut dengan apendikolit. a). Gambaran aksial dari
penebalan sekum-apendiks (tanda panah putih), dengan diameter 11mm, yang
tidak dapat dimodifikasi dengan manuver kompresi di b). b). Perubahan
ekogenisitas dari lemak-lemak di sekitarnya dapat terlihat (*) beserta dengan
gambaran fekalit (tanda panah hitam). c). Ultrasound dari potongan longitudinal
apendiks dari pasien yang lain, dimana gambaran ekogenik bulat (tanda panah)
dan posterior accoustic shadow di bagian interior dapat terlihat yang
mempresentasikan apendikolit. 20
32

Gambar 2.19 Apendikolit.21

Gambar 2.20. Apendisitis perforasi dengan apendikolit.21


33

Gambar 2.21. Apendisitis perforasi. Gambaran ultrasound aksial dimana


apendiks yang dilatasi karena proses inflamasi dapat dilihat (kaliper) dengan
projeksi cairan di sekelilingnya yang disebabkan oleh perforasi. (*).20

2.2.5.4.4. CT Scan
Radiografi konvensional melapiskan gambar tiga dimensi ke permukaan
dua dimensi, sehingga membatasi kegunaan klinisnya. Sejak diperkenalkan pada
tahun 1972, CT-tomography X-ray (CT) telah berkembang dengan cepat menjadi
alat pencitraan diagnostik penting yang membentuk citra cross-sectional,
menghindari pengenaan struktur tumpang tindih yang terjadi pada pencitraan dada
konvensional, dengan peningkatan sensitivitas atenuasi 10 kali lipat.27

A. Prinsip Dasar CT
Sinar X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan
gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet (UV) tetapi dengan panjang
gelombang yang sangat pendek. Karena panjang gelombang yang sangat pendek
tersebut maka sinar X dapat menembus benda-benda.28
34

Gambar 2.22. Pasien yang sedang melakukan CT-Scan.

Komponen CT terdiri atas circular scanning gantry yang merupakan


tabung sinar X dan detektor, meja penderita, generator sinar X, dan unit komputer
pengolah data. Pada CT, komputer digunakan untuk menggantikan film kaset dan
kamar gelap difungsikan dengan cairan-cairan pengembang serta fiksirnya seperti
foto sinar X biasa. Tabung rontgen dan kumpulan detektor berada di dalam suatu
wadah yang disebut gantry. Di tengah-tengah gantry terdapat lubang yang
berfungsi untuk memasukkan atau menggeser meja beserta pasien dengan motor-
motornya.28
Mulai pesawat CT generasi ketiga, gantry dapat dimiringkan ke belakang
atau ke depan, masing-masing maksimal sampai kemiringan 20o sehingga tidak
hanya penampang tegak saja yang dapat dibuat melainkan juga scanning miring
dengan sudut yang dikehendaki. Baik tabung rontgen maupun detektor-detektor
bergerak 360o memutari pasien sebagai objek yang ditempatkan di antaranya.
Selama bergerak memutar tersebut, tabung menyinari pasien dan masing-masing
detektor menangkap sisa-sisa sinar X yang telah menembus pasien sebagaimana
tugas film biasa. Semua data secepat kilat dikirim ke komputer yang mengolahnya
(untuk mengerjakan kalkulasi) dengan secepat kilat pula. Hasil pengolahan
muncul dalam layar TV yang bekerja sebagai monitor. Hasilnya merupakan
35

penampang bagian tubuh yang diputar dan disebut scan. Gambar yang dibentuk
dapat merupakan potongan aksial, koronal, dan sagital. Pada pesawat CT dapat
diambil gambar dengan selisih ketebalan mencapai 1 mm sehingga dapat dilihat 2
daerah yang berhimpitan menjadi struktur yang terpisah satu sama lain dengan
jelas. Namun, pengambilan gambar dengan interval ketebalan yang tipis akan
menimbulkan noise level.28
Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah hiperdens,
hipodens, dan isodens. Hiperdens menunjukkan gambaran putih, hipodens
memberikan gambaran hitam dan isodens memberikan gambaran yang sama
dengan organ sekitarnya. Perbedaan densitas tersebut tergantung pada perbedaan
daya serap organ tubuh terhadap sinar X. Oleh karena itu, dibuatlah penomoran
image dengan satuan HU (Hounsfield Unit). Semakin tinggi nilai HU maka
densitas gambar semakin tinggi. Beberapa zat telah ditetapkan nilai HU-nya,
misalnya densitas air adalah 0 HU dan udara adalah -1000 HU.

Berikut ini akan dijelaskan nilai HU pada beberapa zat.

Tabel 2.2. Nilai rata-rata HU pada beberapa zat.28

Nama Zat Nilai HU


Udara −1000
Paru −500
Lemak −100 to −50
Air 0
CSF 15
Ginjal 30
Darah +30 s/d +45
Otot +10 s/d +40
Grey matter +37 s/d +45
White matter +20 s/d +30
Hati +40 s/d +60
J-O Blast +20 s/d +30
Jaringan lunak, Kontras +100 s/d +300
Tulang +700 (tulang tidak kompak) s/d +3000
(tulang kompak)
36

B. Indikasi Pemeriksaan CT
Prosedur ini biasanya digunakan untuk membantu diagnosa dari nyeri
abdomen dan pelvis serta penyakit dari organ dalam seperti usus halus dan kolon,
yaitu :

 Infeksi, antara lain : apendisitis, pielonefritis, atau abses


 Inflammatory bowel disease seperti kolitis ulseratif atau Crohn’s disease,
pankreatitis atau sirosis hati
 Kanker hati, kanker ginjal, kanker pankreas, kanker ovarium, kanker
vesika urinaria dan limfoma
 Batu ginjal dan batu vesika urinaria
 Aneurisma aorta abdomen, trauma organ abdomen seperti limfa, hati,
ginjal dan organ lain.

CT Scan abdomen dan pelvis juga digunakan untuk membantu mengarahkan


biopsi dan prosedur lain seperti drainase abses dan pengangkatan tumor yang
minimal invasif, untuk merencanakan ataupun menilai hasil dari operasi seperti
transplantasi organ, untuk staging, merencanakan dan perencanaan terapi radiasi
untuk tumor dan memonitor hasil dari kemoterapi.29

C. Gambaran CT Scan Normal pada Abdomen


Normalnya caecum apendiks hanya tampak pada 43-82% dari semua CT
abdomen. Seperti yang dijelaskan pada bagian anatomi, caecum terlihat seperti
struktur tubular, dengan panjang 3-20 cm, dengan diameter kurang dari 6 mm.
Ada tidaknya gas dalam apendiks tidak menegakan diagnosis maupun
menyingkirkan diagnosis apendisitis.20
37

Gambar 2.23. Gambar CT scan caecum apendiks normal. Gambaran dekat CT


dengan kontras pada potongan koronal (a dan b), dimana lokasi dari peri-ileal dan
paracaecum dapat terlihat jelas. c) Gambaran dekat CT pada potongan sagital,
dimana lokasi caecum apendiks terlihat dengan morfologi normal dan kaliber di
lokasi retrocaecal.

D. Gambaran CT Scan pada Apendisitis


Pemeriksaan CT Scan sangat sensitif (94-98%) dan spesifik (97%) untuk
diagnosis akut apendisitis dan untuk diagnosa lain dari penyebab nyeri abdomen.
Pemakaian kontras tidak menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas CT
Scan.21
Penemuan primer pada CT Scan20 :
 Peningkatan pada diameter transversa. Adanya peningkatan diameter
transversa dimana diameter lebih besar dari 6 mm. Namun lebih dari 42%
dari orang dewasa sehat memiliki apendiks dengan diameter 6-10 mm
yang dikenal dengan apendiks dengan diameter yang tidak terukur.
 Penebalan dinding dari apendiks yang lebih besar dari 1 mm
 Distensi dinding yang abnormal dan heterogen
 Terdapat apendikolit pada 20-40% kasus yang meningkatkan resiko
perforasi.

Penemuan sekunder pada CT Scan20 :

 Penebalan fokal pada dinding caecum disekitar caecum apendiks


38

 Perubahan kepadatan lemak periapendikular


 Dapat ditemukan adenomegali regional
 Paling sedikit lima tanda perforasi yang dijelaskan : adanya gas
ekstraluminal, terlihat abses, flegmon, adanya apendikolit atau defek fokal
dalam peningkatan dinding.

Gambar 2.24 Potongan koronal CT dengan kontras yang menunjukkan penebalan


caecum apendiks dengan diameter 14 mm, dengan penebalan heterogen dan
distensi dari dindingnya dan inflamasi pada lemak periapendicular.

Gambar 2.25. Rekonstruksi koronal dari CT abdomen dengan kontras media


dimana distensi caecum terlihat (panah putih), dengan distensi dinding dan
kalsifikasi yang disebabkan oleh apendikolit (panah abu-abu)
39

Gambar 2.26. Potongan


axial dari CT dengan
kontras yang
memperlihatkan
peningkatan densitas dan
striae dari lemak (*), yang
berseberangan dengan
proses inflamasi
apendikular

Gambar 2.27 Gambaran


CT dengan kontras
media pada potongan
axial (a) dan koronal (b).
Tampak inflamasi yang
sangat luas dengan
perubahan lemak pada
daerah ileocaecum dan
terdapat gas ekstraluminal
pada retroperitonium
karena terjadinya perforasi
(panah hitam). Sebagai
tambahan, pada gambar ini
juga terlihat adanya
apendikolit (panah putih).
40

2.2.5.4.4. MRI
MRI menghasilkan citra tubuh dengan memanfaatkan sifat-sifat magnetik
inti atom tertentu, terutama inti atom hidrogen pada molekul air. Tubuh manusia
mempunyai konsentrasi atom hidrogen yang tinggi (70%). Pasien diposisikan
pada terowongan pemindai, dikelilingi oleh magnet yang besar, dan dipajankan
pada medan magnet berintensitas tinggi. Hal ini mendorong inti atom hidrogen
untuk bersatu pada medan magnet. Suatu gelombang frekuensi radio diberikan
pada inti atom ini dan kemudian memindahkannya dari posisi sebelumnya; ketika
gelombang ini menghilang, inti atom tersebut kembali ke keadaan sebelumnya,
melepaskan energi (dalam bentuk sinyal frekuensi radio). Analisis komputer
memproses energi ini menjadi sinyal digital, dengan konversi menjadi citra skala
abu-abu. Oleh karena itu prinsip dasar MRI adalah mempelajari respons jaringan
dalam suatu medan magnet terhadap gelombang frekuensi radio, dimana jaringan
patologis memantulkan sinyal yang berbeda dibandingkan jaringan normal.30,31
Pada MRI dikenal dengan istilah waktu relaxasi T1 dan T2 adalah waktu
dimana kembalinya proton yang bergetar dalam medan magnet ke posisi semula.
T1 adalah longitudinal relaxion time. T2 adalah transversal relaxion time. Ada 3
macam intensitas yaitu : hipointens contohnya kalsifikasi, isotens dan hiperintens
contohnya lemak atau darah.23
MRI abdomen dapat dilakukan atas indikasi sebagai altenatif dari CT scan
untuk pemeriksaan apendisitis pada anak-anak atau pada wanita hamil yang
dicurigai menderita apendisitis akut, tetapi MRI tidak bisa menegakkan diagnosa,
hanya dapat menyingkirkan diagnosa.20
Pada MRI, caecum apendiks terlihat sebagai struktur tubular dengan
intensitas lemah T1w dan T2w ketika terdapat gas atau apendikolit. Pada orang
yang normal dapat terlihat apendiks sampai 62%. Dengan T2w dapat terlihat
struktur yang lebih jelas.20
Pada apendisitis, terlihat intensitas lemak periapendikular yang tinggi di
T2w yang berhubungan dengan perubahan dinding dan peningkatan diameter
transversa dari apendiks.20
41

Gambar 2.28. MRI potongan axial dengan sekuens T2 menunjukan a) terlihat


gambaran cairan bebas. Memiliki signal yang yang tinggi pada daerah fossa pada
iliac kanan (panah hitam), berhubungan dengan peningkatan diameter pada
caecum apendiks (panah putih) yang menandakan tanda sekunder dari apendisitis.
Tampak juga gambaran kepala fetus pada uterus (*)
42

Gambar 2.29. MRI axial dengan sekuens T1 (a) dan T2 dengan informasi lemak
yang tersupresi (b). Caecum dapat terlihat seperti tabung tubular, menebal, yang
terletak pada iliac kanan dengan dikelilingi lemak mesentrika (panah hitam) b)
Tampak cairan bebas pada kavitas pada sekuens lemak tersupresi (panah putih),
berseberangan dengan caecum apendiks yang menandakan proses inflamasi
43

BAB 3

KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang


merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen akut dan paling sering
membutuhkan tindakan bedah.2 Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis umumnya penderita akan
mengeluhkan nyeri atau sakit perut di daerah umbilicus yang akan berpindah ke
titik Mc. Burney. Pada pemeriksaan fisik, beberapa tanda yang dapat ditemukan
antara lain nyeri tekan di McBurney, nyeri lepas, defens muskular, rovsing’s sign,
psoas sign dan obturator sign. Selain itu, Skor Alvarado juga digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis.14
Prosedur pemeriksaan radiologi CT-scan sekarang merupakan modalitas
utama untuk menegakkan apendisitis karena dengan menggunakan CT-scan dapat
terlihat kalsifikasi apendikolit yang ditemukan di apendiks. Namun, pemeriksaan
CTscan lebih cenderung digunakan untuk pasien dengan lemak peritoneum yang
banyak dan sulit digunakan untuk pasien dengan lemak yang sedikit seperti anak-
anak.
Pada anak-anak dan orang hamil, USG merupakan modalitas pilihan
karena ionisasi radiasi yang rendah. Dengan operator yang handal, ultrasonografi
dapat dipercaya untuk mengidentifikasi apendiks yang abnormal, terutama pada
pasien kurus. 21
MRI abdomen dapat dilakukan atas indikasi sebagai altenatif dari CT scan
untuk pemeriksaan apendisitis pada anak-anak atau pada wanita hamil yang
dicurigai menderita apendisitis akut, tetapi MRI hanya bisa digunakan untuk
menyingkirkan diagnose.20
Pemeriksaan foto polos abdomen merupakan pemeriksaan penting untuk
menilai penyakit abdomen akut, namun pemeriksaan foto polos abdomen jarang
dipakai untuk menentukan diagnosis apendisitis karena penemuannya bersifat non
spesifik dalam 68% kasus. Meskipun demikian, pemeriksaan ini berguna untuk
44

melihat adanya udara bebas dan dapat menunjukkan apendikolit pada 7-15%
kasus.17,20
Apendikogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena
merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi
dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi. Namun, pemeriksaan ini sudah
banyak ditinggalkan di luar negeri meskipun masih dipakai untuk penegakan
diagnosis di Indonesia.24
45

DAFTAR PUSTAKA

1. Small, V., 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. Second Edition. London:
Elsevier, 477-478.
2. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta:EGC, 639-645.
3. Sanyoto, D., 2007. Masa Remaja dan Dewasa. Dalam: Utama, Hendra, ed.
Bunga Rampai Masalah Kesehatan dari dalam Kandungan sampai Lanjut
Usia. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 297-300.
4. U.S. Census Bureau, Population Estimates and International Data Base. 2004.
Statistics by Country for Acute Appendicitis. Available from:
http://www.wrongdiagnosis.com/a/acute-appendicitis/prevalance.html
[Accessed 2 April 2011].
5. Bell, DJ., Jacob, K. et al. Appendicitis | Radiology Reference Article |
Radiopaedia.org [Internet]. Radiopaedia.org. 2018 [cited 18 December 2018].
Available from: http://radiopaedia.org/articles/appendicitis
6. Sibuea, W.H., 1996. Kegunaan Apendikogram Barium per Oral dalam
Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut. Available from:
http://perpustakaan.litbang.depkes.go.id/otomasi/index.php?p=showdetail&id
=1409 [Accessed 2 April 2011] {abstrak}.
7. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Rongga
abdomen. Edisi 6.. Jakarta: EGC.
8. Sjamsuhidajat, R., dan De Jong, W., 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-De Jong: Usus halus, apendiks, kolon dan anorektum. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
9. Netter, F.H., 2006. Atlas Of Human Anatomy 4th Edition. Edisi 4. Amerika :
Elsevier
10. Dorland, W.A.N., 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta. EGC
11. Grace,P.A & Neil R, Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3,
diterjemahkan oleh Vidha Umami. Jakarta. Erlangga.
12. Naiken, G., 2013, Appendisitis Akut,
http://www.scribd.com/doc/149322791/APENDISITIS-AKUT [Accessed 7
April 2014]
13. Sabiston,D.C, 1992, Buku Ajar Bedah, diterjemahkan oleh Petrus Andrianto
& Timan I.S, 185-196, Jakarta, EGC.
14. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendix. Available from :
http://www.bedahugm.net/tag/appendix (accessed 23 December 2018)
15. Burkitt, H.G et al, Essential Surgery Problems,Diagnosis and Management
Appendicitis. 2007(4):389-398
16. Apendisitis. Available from: https://digilib.unimus.ac.id
17. Brant, William E., Helms, Clyde A. Fundamentals of Diagnostic Radiology.
2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2007
46

18. Jones J. Normal Abdominal X-Ray | Radiology Case | Radiopaedia.org


[Internet]. Radiopaedia.org. 2018 [cited 18 December 2018]. Available from:
https://radiopaedia.org/cases/normal-abdominal-x-ray
19. Sandstorm S. Pembuatan Foto Manual Diagnostik. Jakarta: EGC; 2004.
20. Espejo, OJA., Mejia, MEM., Guerrero, LHU. Acute Appendicitis: Imaging
Findings and Current Approach to Diagnostic Images. Rev Colomb Radiol.
2014; 25(1): 3877-88
21. Bell, DJ., Jacob, K. et al. Appendicitis | Radiology Reference Article |
Radiopaedia.org [Internet]. Radiopaedia.org. 2018 [cited 18 December 2018].
Available from: https://radiopaedia.org/articles/appendicitis.
22. Petroianu A, Alberti LR. Accuracy of the new radiographic sign of fecal
loading in the cecum for differential diagnosis of acute appendicitis in
comparison with other inflammatory diseases of right abdomen: a prospective
study. J Med Life. 2012;5:85-91.
23. Ekayuda I. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit UI.
24. Hasya M.N., 2011. Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam
Penegakan Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-
2011. Medan : Universitas Sumatera Utara.
25. Asep & Monita, Nadia, 2009. Peranan Pencitraan dalam Mendiagnosis
Apendisitis. Semarang:Universitas Tarumanegara.
26. Peilouw L, 2015. Appendicogram. Jakarta: Universitas Pelita Harapan.
27. P Whiting FRCA FFICM, N Singatullina FRCA EDIC, JH Rosser FRCA
FFICM, Computed Tomography of The Chest. Oxford University Press. 2015;
15 (6): 299–304
28. Yuyun Yueniawati, Prosedur Pemeriksaan Radiologi. UB Press. 2014; 14(5):
300-315
29. http://www.Radiologyinfo.org [Accessed 24 December 2018 10.45 pm]
30. Patel P. Radiology. Malden, MA: Blackwell Publishing; 2009.
31. Abdullah AA. Pencitraan Resonansi Magnetik (Magnetic Resonance
Imaging). Dalam: I. Ekayuda, editor. Radiologi Diagnostik. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013. p. 201-217.

Anda mungkin juga menyukai