Pemeriksaan Radiologis Pada Appendisitis RAW 1
Pemeriksaan Radiologis Pada Appendisitis RAW 1
APENDISITIS
Dosen Pembimbing:
dr. Elvita R. Daulay, M. Ked (Rad), Sp. Rad (K)
Oleh:
Luhurul Amri : 140100037
Jennifer Tiosanna : 140100070
Jeihan Alkhair Muthahari : 140100111
Cynthia : 140100168
Sovie Amira Rehgita : 140100205
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA
APENDISITIS
Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Pemeriksaan Radiologis pada Apendisitis”. Penulisan makalah ini adalah
salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program
Pendidikan Dokter di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing dr. Elvita R. Daulay, M. Ked (Rad), Sp. Rad (K) yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan
makalah sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik ini maupun susunan bahannya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
1
2
1.2 TUJUAN
1.3 MANFAAT
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
2.2 APENDISITIS
2.2.1 Definisi
Peradangan apendiks vermiformis yang bila terjadi pada fase akut dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan
lokal. 10
2.2.2 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen apendiks
sehingga terjadi kongesti vaskular, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
apendisitis. Penyebab lain dari obstruksi apendiks meliputi: hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu 7 : Bakteri aerob fakultatif, Bakteri
anaerob Escherichia coli Viridans, streptococci Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila sp,
Lactobacillus sp.11
penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras.
b) Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam
appendicitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen
apendiks pada 20% anak-anak dengan appendicitis, terjadinya fekalit
berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat
sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
appendicitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendicitis akut dengan
gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendicitis akut dengan gangren
disertai ruptur terdapat 90% .
Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan
mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di
sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan
obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada
kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan
benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang
lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko
terjadinya perforasi.
Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah
adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks
menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan
intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai
kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi
perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan
adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa
10
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a) Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen 9
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual,
muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.
b) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada
12
gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c) Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
d) Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon
dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang
melekat erat satu dengan yang lainnya.
e) Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi
nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal.
f) Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding 11
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat
13
menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut
yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.13
2.2.5 Diagnosis
2.2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Gejala
klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar.2 Gejala lain adalah demam yang
tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga
sudah terjadi perforasi.14
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado
Tabel 2.1. Skor Alvarado
Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5oC) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
15
Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.15
Gambar 2.5. A. Tabung x-ray menghasilkan sinar x-ray yang menembus pasien
dan menampakkan film radiografik. B. Gambaran radiografi AP supine abdomen
dapat menunjukkan anatomi pasien karena struktur-struktur anatomi mempunyai
kapasitas yang berbeda dalam melemahkan sinar x-ray yang menembus pasien.17
Gambar 2.6. A). Gambaran foto polos abdomen normal. Batas bawah dari bagian
posterior hepar, angulus hepatikus (H), dan bagian bawah dari spleen (S) dilapisi
bayangan lemak. Kedua ginjal (K) and bayangan otot psoas (kepala panah)
dilapisi bayangan lemak. B). Diagram dari foto polos abdomen normal
18
Gambar 2.7. Gambaran foto polos abdomen normal. A). Gambaran batas organ
solid yang normal – hepar dengan batas bawah yang lebih prominen (varian
normal – Riedel’s lobe). Pola gas usus yang normal dan feses pada kolon
asendens dapat terlihat. B). Hepar dan spleen terlihat pada abdomen bagian atas
(warna biru). Hepar berada sampat bagian abdomen yang cukup bawah, namun
dapat menjadi varian yang normal (Riedel’s lobe). Hepar biasanya tidak
membesar melampaui kutub bawah ginjal kanan. Kedua ginjal (kuning)
dipisahkan dari rusuk oleh otot psoas. Kolon asendens dipenuhi feses namun
dapat dilihat melewati garis tengah sampai fleksura splenikus dan menurun ke
sebelah kiri pelvis.18
Berdasarkan mudah tidaknya ditembus oleh sinar X, maka bagian tubuh dapat
dibedakan atas:
a. Radiolusen (hitam), contoh: gas dan udara.
b. Radiolusen sedang (Moderately radioluscent), contoh: jaringan lemak.
c. Keputih-putihan (Intermediate), contoh: jaringan ikat, otot, cairan atau
darah, kartilago, epitel.
d. Radioopak sedang (Moderately radiopaque), contoh: tulang, struktur yang
mengalami kalsifikasi.
e. Radioopak (putih), contoh: logam-logam berat.19
Gambar 2.8. Foto abdomen dengan projeksi frontal, a. pada posisi vertikal dan
b. pada posisi supine. Gambaran pola gas yang abnormal dapat terlihat yang
disebabkan oleh dilatasi dari usus halus di hemiabdomen superior, tanpa
gambaran pola obstruktif pada pasien dengan massa apendiks; gambaran ini
menunjukkan ileum, yang sering dijumpai pada pasien-pasien dengan apendisitis
akut. c. Gambaran dekat dari kuadran kanan bawah abdomen, dimana morfologi
lonjong dan densitas kalsium yang menunjukkan apendikolit dapat terlihat.
Kontras positif lainnya yang lazim dipakai ialah zat yang mengandung unsur
jodium. Untuk pemeriksaan ginjal, kandung empedu, pembuluh-pembuluh darah,
limfe, dan sumsum tulang belakang, dipergunakan zat-zat
yang mengandung jodium. Perlu ditambahkan bahwa untuk beberapa pemeriksaan
saluran cerna kadang-kadang tidak dipilih barium sulfat sebagai kontras, misalnya
pada penyakit Hirschprung dan atresia esofagus. Dalam hal itu dipakai zat-zat
yang mengandung jodium.
b. Kontras negatif.
Yang pertama kali harus disebut sebagai contoh kontras negatif ialah udara,
karena paling murah dan paling bagus, alamiah dan dapat diperoleh di mana-
mana. Sayang tidak selalu dapat diterapkan. Sebagai kontras negatif pengganti
dalam hal-hal demikian adalah CO2 yang akan disinggung nanti pada uraian
lambung.
22
Pelaksanaan apendikogram :
a. Persiapan Bahan:
− Larutan Barium Sulfat (± 250 gram) + 120-200 cc air.
b. Persiapan Pasien:
− Sehari sebelum pemeriksaan, pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air
masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB. Setelah itu,
pasien diminta untuk puasa.
23
A B
Gambar 2.13. A. Impresi ujung sekum (tanda panah) dan non-filling appendix.
B. Partial-filling appendix bagian proksimal. Apendiks dilatasi dan pengisian
barium berhenti tiba-tiba (tanda panah besar). Tampak adanya massa pada ileum
distal (tanda panah kecil).26
pada penderita, dapat dilakukan dengan cepat, aman, dan data yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Tidak ada kontraindikasinya, karena
pemeriksaan ini sama sekali tidak akan memperburuk penyakit penderita. Dalam
20 tahun terakhir ini, diagnostik ultrasonik berkembang dengan pesatnya,
sehingga saat ini USG mempunyai peranan yang penting untuk menentukan
kelainan berbagai organ tubuh.23
Suatu rongga berisi cairan bersifat anechoic, misalnya: kista, asites, pembuluh
darah besar, perikardial atau pleural efusion. Dengan demikian kista dan suatu
massa solid akan dapat dibedakan.23
D. Display Mode’s
Echo dalam jaringan dapat diperlihatkan dalam bentuk23 :
1) A- mode : Dalam sistem ini, gambar yang diperoleh berupa defleksi
vertikal pada osiloskop. Besar amplitudo setiap defleksi sesuai dengan
enersi eko yang diterima transduser. Biasanya dipakai pada pemeriksaan di
serebral.
2) B- mode : Pada layar monitor (screen) eko nampak sebagai suatu seri titik
dan garis terang dan gelapnya bergantung pada intensitas eko yang
dipantulkan. Dengan sistem ini maka diperoleh gambaran dalam 2 dimensi
berupa penampang irisan tubuh, cara ini disebut B Scan.
3) M- mode : Alat ini biasa dipakai untuk memeriksa jantung. Transduser
tidak digerakkan. Di sini jarak antara transduser dengan organ yang
memantulkan eko selalu berubah, misalnya jantung dan katubnya. Gambar
pada layar monitor berupa garis-garis bergelombang.
28
Apendiks mempunyai bentuk oval atau ovoid dan apendiks normal bersifat dapat
ditekan, mobile dan tidak memberikan perbedaan ekogenisitas dengan lemak-
lemak di sekelilingnya.20
Gambar 2.16. Apendisitis akut. a). Gambaran aksial dari sekum-apendiks non-
compressible dan menebal dengan diameter 13mm. b). Diameter apendiks tidak
berubah dengan manuver kompresi. Selain itu, perubahan ekogenisitas dari lemak
di sekitarnya dapat terlihat. (*).20
31
Gambar 2.18. Apendisitis akut dengan apendikolit. a). Gambaran aksial dari
penebalan sekum-apendiks (tanda panah putih), dengan diameter 11mm, yang
tidak dapat dimodifikasi dengan manuver kompresi di b). b). Perubahan
ekogenisitas dari lemak-lemak di sekitarnya dapat terlihat (*) beserta dengan
gambaran fekalit (tanda panah hitam). c). Ultrasound dari potongan longitudinal
apendiks dari pasien yang lain, dimana gambaran ekogenik bulat (tanda panah)
dan posterior accoustic shadow di bagian interior dapat terlihat yang
mempresentasikan apendikolit. 20
32
2.2.5.4.4. CT Scan
Radiografi konvensional melapiskan gambar tiga dimensi ke permukaan
dua dimensi, sehingga membatasi kegunaan klinisnya. Sejak diperkenalkan pada
tahun 1972, CT-tomography X-ray (CT) telah berkembang dengan cepat menjadi
alat pencitraan diagnostik penting yang membentuk citra cross-sectional,
menghindari pengenaan struktur tumpang tindih yang terjadi pada pencitraan dada
konvensional, dengan peningkatan sensitivitas atenuasi 10 kali lipat.27
A. Prinsip Dasar CT
Sinar X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan
gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet (UV) tetapi dengan panjang
gelombang yang sangat pendek. Karena panjang gelombang yang sangat pendek
tersebut maka sinar X dapat menembus benda-benda.28
34
penampang bagian tubuh yang diputar dan disebut scan. Gambar yang dibentuk
dapat merupakan potongan aksial, koronal, dan sagital. Pada pesawat CT dapat
diambil gambar dengan selisih ketebalan mencapai 1 mm sehingga dapat dilihat 2
daerah yang berhimpitan menjadi struktur yang terpisah satu sama lain dengan
jelas. Namun, pengambilan gambar dengan interval ketebalan yang tipis akan
menimbulkan noise level.28
Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah hiperdens,
hipodens, dan isodens. Hiperdens menunjukkan gambaran putih, hipodens
memberikan gambaran hitam dan isodens memberikan gambaran yang sama
dengan organ sekitarnya. Perbedaan densitas tersebut tergantung pada perbedaan
daya serap organ tubuh terhadap sinar X. Oleh karena itu, dibuatlah penomoran
image dengan satuan HU (Hounsfield Unit). Semakin tinggi nilai HU maka
densitas gambar semakin tinggi. Beberapa zat telah ditetapkan nilai HU-nya,
misalnya densitas air adalah 0 HU dan udara adalah -1000 HU.
B. Indikasi Pemeriksaan CT
Prosedur ini biasanya digunakan untuk membantu diagnosa dari nyeri
abdomen dan pelvis serta penyakit dari organ dalam seperti usus halus dan kolon,
yaitu :
2.2.5.4.4. MRI
MRI menghasilkan citra tubuh dengan memanfaatkan sifat-sifat magnetik
inti atom tertentu, terutama inti atom hidrogen pada molekul air. Tubuh manusia
mempunyai konsentrasi atom hidrogen yang tinggi (70%). Pasien diposisikan
pada terowongan pemindai, dikelilingi oleh magnet yang besar, dan dipajankan
pada medan magnet berintensitas tinggi. Hal ini mendorong inti atom hidrogen
untuk bersatu pada medan magnet. Suatu gelombang frekuensi radio diberikan
pada inti atom ini dan kemudian memindahkannya dari posisi sebelumnya; ketika
gelombang ini menghilang, inti atom tersebut kembali ke keadaan sebelumnya,
melepaskan energi (dalam bentuk sinyal frekuensi radio). Analisis komputer
memproses energi ini menjadi sinyal digital, dengan konversi menjadi citra skala
abu-abu. Oleh karena itu prinsip dasar MRI adalah mempelajari respons jaringan
dalam suatu medan magnet terhadap gelombang frekuensi radio, dimana jaringan
patologis memantulkan sinyal yang berbeda dibandingkan jaringan normal.30,31
Pada MRI dikenal dengan istilah waktu relaxasi T1 dan T2 adalah waktu
dimana kembalinya proton yang bergetar dalam medan magnet ke posisi semula.
T1 adalah longitudinal relaxion time. T2 adalah transversal relaxion time. Ada 3
macam intensitas yaitu : hipointens contohnya kalsifikasi, isotens dan hiperintens
contohnya lemak atau darah.23
MRI abdomen dapat dilakukan atas indikasi sebagai altenatif dari CT scan
untuk pemeriksaan apendisitis pada anak-anak atau pada wanita hamil yang
dicurigai menderita apendisitis akut, tetapi MRI tidak bisa menegakkan diagnosa,
hanya dapat menyingkirkan diagnosa.20
Pada MRI, caecum apendiks terlihat sebagai struktur tubular dengan
intensitas lemah T1w dan T2w ketika terdapat gas atau apendikolit. Pada orang
yang normal dapat terlihat apendiks sampai 62%. Dengan T2w dapat terlihat
struktur yang lebih jelas.20
Pada apendisitis, terlihat intensitas lemak periapendikular yang tinggi di
T2w yang berhubungan dengan perubahan dinding dan peningkatan diameter
transversa dari apendiks.20
41
Gambar 2.29. MRI axial dengan sekuens T1 (a) dan T2 dengan informasi lemak
yang tersupresi (b). Caecum dapat terlihat seperti tabung tubular, menebal, yang
terletak pada iliac kanan dengan dikelilingi lemak mesentrika (panah hitam) b)
Tampak cairan bebas pada kavitas pada sekuens lemak tersupresi (panah putih),
berseberangan dengan caecum apendiks yang menandakan proses inflamasi
43
BAB 3
KESIMPULAN
melihat adanya udara bebas dan dapat menunjukkan apendikolit pada 7-15%
kasus.17,20
Apendikogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena
merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi
dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi. Namun, pemeriksaan ini sudah
banyak ditinggalkan di luar negeri meskipun masih dipakai untuk penegakan
diagnosis di Indonesia.24
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Small, V., 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. Second Edition. London:
Elsevier, 477-478.
2. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta:EGC, 639-645.
3. Sanyoto, D., 2007. Masa Remaja dan Dewasa. Dalam: Utama, Hendra, ed.
Bunga Rampai Masalah Kesehatan dari dalam Kandungan sampai Lanjut
Usia. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 297-300.
4. U.S. Census Bureau, Population Estimates and International Data Base. 2004.
Statistics by Country for Acute Appendicitis. Available from:
http://www.wrongdiagnosis.com/a/acute-appendicitis/prevalance.html
[Accessed 2 April 2011].
5. Bell, DJ., Jacob, K. et al. Appendicitis | Radiology Reference Article |
Radiopaedia.org [Internet]. Radiopaedia.org. 2018 [cited 18 December 2018].
Available from: http://radiopaedia.org/articles/appendicitis
6. Sibuea, W.H., 1996. Kegunaan Apendikogram Barium per Oral dalam
Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut. Available from:
http://perpustakaan.litbang.depkes.go.id/otomasi/index.php?p=showdetail&id
=1409 [Accessed 2 April 2011] {abstrak}.
7. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Rongga
abdomen. Edisi 6.. Jakarta: EGC.
8. Sjamsuhidajat, R., dan De Jong, W., 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-De Jong: Usus halus, apendiks, kolon dan anorektum. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
9. Netter, F.H., 2006. Atlas Of Human Anatomy 4th Edition. Edisi 4. Amerika :
Elsevier
10. Dorland, W.A.N., 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta. EGC
11. Grace,P.A & Neil R, Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3,
diterjemahkan oleh Vidha Umami. Jakarta. Erlangga.
12. Naiken, G., 2013, Appendisitis Akut,
http://www.scribd.com/doc/149322791/APENDISITIS-AKUT [Accessed 7
April 2014]
13. Sabiston,D.C, 1992, Buku Ajar Bedah, diterjemahkan oleh Petrus Andrianto
& Timan I.S, 185-196, Jakarta, EGC.
14. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendix. Available from :
http://www.bedahugm.net/tag/appendix (accessed 23 December 2018)
15. Burkitt, H.G et al, Essential Surgery Problems,Diagnosis and Management
Appendicitis. 2007(4):389-398
16. Apendisitis. Available from: https://digilib.unimus.ac.id
17. Brant, William E., Helms, Clyde A. Fundamentals of Diagnostic Radiology.
2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2007
46