Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau

konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat

disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan

hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke

keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat

beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering

pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk

Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.

Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan

awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan

dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari

makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu

ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan

besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada

remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian

anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada

bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%

dan 48,1%.2

1
Dampak negatif yang diakibatkan oleh ADB pada anak balita berupa gangguan

konsentrasi belajar, tumbuh kembang terganggu, penurunan aktifitas fisik maupun

kreatifitas menurun, serta menurunkan daya tahan tubuh sehingga meningkatkan

risiko infeksi. 2

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita

Nama : Muh.Hijir Usman

Umur : 1 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Alamat : Lemoa

Tanggal lahir : 01 Desember 2016

B. Identitas Keluarga

Nama Ayah : Usman

Umur : 46 tahun

Pekerjaan : Petani

Pendidikan terakhir : SMA

Nama Ibu : Sattumi

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : IRT

Pendidikan terakhir : SMA

C. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Muntah

3
2. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang anak laki-laki datang ke Rumah Sakit dengan keluhan muntah

sejak sore tadi frekuensi 3 kali, isi cairan dan sisa makanan, warna kuning.

Pasien demam sejak 3 hari yang lalu, menurun dengan pemberian

parasetamol, namun lebih tinggi pada malam hari, tidak kejang. Tidak ada

batuk dan sesak, tidak ada mual, riwayat perdarahan tidak ada. Pasien kurang

makan, namun kuat minum. Buang air kecil lancar, kuning, biasa. BAB encer

sejak sore tadi, warna kuning frekuensi lebih dari 3 kali.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak ada

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Ibu pasien mengatakan tidak ada dari keluarganya yang mengeluh keluhan

yang sama dengan pasien.

5. Riwayat Sosioekonomi Keluarga:

Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Pasien lahir secara SC

dengan berat badan lahir 2500 gram, panjang badan lahir 40 cm, kurang

bulan. Selama hamil ibu pasien sehat dan rutin untuk memeriksakan

kehamilan. Pasien diberikan ASI selama 6 bulan kemudian dilanjutkan sampai

umur 1 tahun disertai MP ASI.

Kesan gizi sampai saat ini kurang. Menurut keluarga pasien (ibu pasien)

pola makan pasien sehari – hari dirumah yaitu pasien diberi bubur beras

merah 3 kali sehari dengan kombinasi sayur berupa kentang dan wortel.

4
Keluarga pasien termasuk golongan sosioekonomi lemah, ayah bekerja

sebagai petani dan tingkat pendidikan sampai SMA. Ibu sebagai ibu rumah

tangga dan tingkat pendidikannya sampai SMA.

6. Status Imunisasi:

Belum 5 6 7 8 9 Tidak
Imunisasi 1 2 3 4
Pernah Tahu

BCG √

HEP B √

POLIO √ √

HPV √

CAMPAK √

PCV √ √ √

INFLUENZA √

MMR √

TIFOID √

HEP A √

VARISELLA √

LAIN LAIN √

5
D. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Composmentis / Sakit Sedang / Gizi Kurang

2. Tanda Vital:

 Nadi : 123 x / menit

 RR : 26 x /menit

 Suhu : 37,0 oC

 SpO2 : 99%

3. Status Generalis

 Kepala

- Rambut: hitam, tidak mudah tercabut

- Bentuk : Mesocephal

- Ukuran : Normocephal

- Ubun ubun besar: Menutup (+)

- Muka: Simetris

- Mata : mata cekung, anemis (+) konjungtivitis (-) ikterik (-) bitot spot

(-) udem palpebra (-)

 Telinga : Otorhea (-)

 Hidung : Rinorhea (-)

 Bibir :

- Kering (+) Pucat (-) Sianosis (-)

 Mulut :

6
- Gigi : Caries (-)

- Sel mulut : Stomatitis (-) angular chelitis (-)

- Tenggorok : hiperemis (-)

 Leher : Kaku kuduk : (-)

- Kelenjar limfa : Limfadenopati : (-)

 Thorax :

- Bentuk : Simetris

- Payudara : Tidak ada kelainan

- Tasbeh : (-)

 Jantung :

- PP : Ictus Cordis tidak tampak

- PR : Ictus Cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra.

- PK : Redup, Batas jantung kiri, linea midclavicularis sinistra. Batas

jantung kanan, linea parasternalis dekstra

- PD : Bunyi Jantung I/II murni regular, bising (-)

 Paru :

- PP : Simetris dextra / sinistra

- PR : Nyeri tekan (-), sela iga kiri = sela iga kanan

- PK : sonor / sonor

- PD : Vesikuler, Rh -/- wh -/-

7
 Abdomen :

- PP : Datar, ikut gerakan napas

- PD : Peristaltik (+) kesan meningkat

- PR :

Lien : tidak teraba

Hepar : tidak teraba

Massa : tidak teraba

- PK : timpani

 Kelenjar limfa : limfadenopati (-)

 Alat Kelamin : Tidak ada kelainan

 Ekstremitas : pitting edema (-)

 Kol. Vertebralis : dalam batas normal

 Kulit : kering (+)

 Reflex fisiologis : dalam batas normal

 Kekuatan : 5555

 Tonus : normal

 Reflex patologis : tidak ada

4. Status Gizi

BB : 6,7 kg

PB : 71 cm

8
Lingkar kepala : 45,5 cm

LLA : 12 cm

LD : 47 cm

LP : 45 cm

BB/TB : di SD -3 “Z-Score” (gizi kurang)

TB / U : di antara SD -2 dengan -2 “Z-Score” (gizi pendek)

BB / U : di SD -3 “Z-Score” (gizi kurang)

LLA/U : di SD -3 “Z-Score” (gizi kurang)

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Darah rutin

Darah
04/12/2017 Nilai Rujukan
Rutin

WBC 17,6 x 103 / ul 4,0 - 12,0 x 103 / ul

Lym 6,0 x 103 / ul 1,0 - 5,0 x 103 / ul

Mono 1,5 x 103 / ul 0,1 - 1,0 x 103 / ul

Gra 10 x 103 / ul 2,0 – 8,0 x 103 / ul

RBC 3,6 x 106 / ul 4,0 – 6,2 x 106 / ul

HGB 5,6 g/dl 11,0 - 17,0 g/dl

HCT 20,8% 35,0 - 55,0 %

MCV 53,6 um3 80,0 - 100,0 um3

9
MCH 14,4 pg 26,0 - 34,0 pg

MCHC 26,39 g/dl 31,0 - 35,5 g/dl

RDW 28,7% 10,0 - 16,0 %

PLT 1199 x 103 / ul 150 - 400 x 103

2. GDS 04/12/2017

GDS : 104 mg/dl (normal <140 mg/dl)

3. Fungsi Hati 04/12/2017

SGOT : 39

SGPT : 36

4. Widal Test 04/12/2017

Widal Test : (-)

5. Evaluasi Darah Tepi (06/12/2017)

Eritrosit : Mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis, polikromasi (+),

pencil (+), ovalosit (+)

Leukosit : Jumlah kesan meningkat, PMN > Limfosit, Granulasi

toksik (+) Vakuolisasi (+)

Trombosit : Jumlah kesan meningkat, Giant trombosit (+), Agregasi (+)

Kesan : Anemia dimorfik susp. Anemia defisiensi Fe DD/ penyakit

kronik

Usul : profil Fe, control post terapi.

10
F. Diagnosis Kerja

Diare Akut + Anemia Defisiensi Besi + Leukositosis

FOLLOW UP PASIEN

HASIL PEMERIKSAAN, ANALISIS DAN


TGL INSTRUKSI DOKTER
TINDAK LANJUT

Tgl S Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan  IVFD Asering 500

masuk muntah sejak satu hari yang lalu, frekuensi ml/hari

04/12/ 3 kali, isi cairan dan sisa makanan, warna  Cefotaxim 350

2017. kuning. Bab encer sejak 1 hari yang lalu, mg/12jam/iv

Jam warna kuning, frekuensi lebih dari 5 kali.  Oralit ½ gelas tiap

18.50 Tidak ada mual. BAB encer

wita Demam sejak 5 hari yang lalu, menurun  Zink 1x20mg

dengan parasetamol, demam meningkat  Domperidon drops


pada malam hari. Tidak ada kejang, tidak 3x1,3 cc
ada batuk dan sesak. Riwayat perdarahan  Paracetamol drops
tidak ada. 3x0,8 cc
Selera makan : menurun sejak demam
 Periksa Darah Rutin
Selera minum : biasa

BAK : baik

11
 HR: 123 x/menit, RR: 26 x/menit, T : 37

°C

 BB : 6,7 kg

 Kepala : rambut kuning, tipis, dan rontok,

 Wajah : simetris

 Mata : bitot spot (-) udem palpebra (+)

konjungtivitis (-) anemis (+)

 Mulut : Stomatitis (-) angular chelitis (-)

bibir kering (+)

 Paru: Vesiculer, Wheezing (-), Ronkhi

(-).

 Retraksi dinding dada (-).

 Cardiovascular : Ictus cordis tidak

nampak, ictus cordis teraba di ICS 5 linea


O
midclavicularis sinistra, Bunyi Jantung

I/II, Murni Reguler, Bising (-).

 Abdomen : Bunyi Peristaltik (+) Kesan

meningkat

 Kulit : kering

 Ekstremitas : pitting edema (-),

12
ekstremitas pucat (+)

 Status Dehidrasi : 11 (dehidrasi ringan-

sedang)

A Diare akut + Dehidrasi Ringan-Sedang

05/12/ S Demam (+) kejang (-) sesak (-) batuk (-)  IVFD Asering 500 ml

2017 Mual (-) Muntah (+) frek > 7 kali tadi  Ceftriaxone 550 mg/24

malam jam/iv

Hari BAB: >10 kali encer, lender (+) warna  Oralit ½ gelas tiap

ke-2 kuning BAB encer

BAK : biasa  Zink 1x20mg

Nafsu makan membaik  Domperidon drops


Selera minum kurang 3x1,3 cc

 Paracetamol drops
O  HR: 150 x/menit, RR: 28 x/menit, T : 3x0,8 cc
37,6 °C  Periksa Apusan Darah
 BB : 6,7 kg Tepi

 Kepala : rambut hitam

 Wajah : simetris

 Mata : bitot spot (-) udem palpebra (+)

konjungtivitis (-) anemis (+)

13
 Mulut : Stomatitis (-) angular chelitis (-)

bibir kering (+)

 Paru: Vesiculer, Wheezing (-), Ronkhi

(-).

 Retraksi dinding dada (-).

 Cardiovascular : Ictus cordis tidak

nampak, ictus cordis teraba di ICS 5 linea

midclavicularis sinistra, Bunyi Jantung

I/II, Murni Reguler, Bising (-).

 Abdomen : Bunyi Peristaltik (+) Kesan

meningkat

 Kulit : kering

 Ekstremitas : pitting edema (-),

ekstremitas pucat (+)

A Diare Akut + Observasi Febris + Anemia

06 / 12/ S Demam (-) kejang (-) sesak (-) batuk (-)  IVFD Asering 500

2017 Mual (-) Muntah (-) ml/hari

BAB encer: >10 kali sejak pagi, ampas (+)  Ceftriaxone 550 mg/24

Hari 3 warna kuning jam/iv

BAK : biasa  Oralit ½ gelas tiap

14
Nafsu makan membaik BAB encer

Selera minum kurang  Zink 1x20mg

 Domperidon drops

 HR: 146 x/menit, RR: 32 x/menit, T : 37 3x1,3 cc

°C  Paracetamol drops

 BB : 6,7 kg 3x0,8 cc

 Kepala : rambut hitam  Periksa Apusan Darah

 Wajah : simetris Tepi

O  Mata : bitot spot (-) udem palpebra (+)

konjungtivitis (-) anemis (+)

 Mulut : Stomatitis (-) angular chelitis (-)

bibir kering (-)

 Paru: Vesiculer, Wheezing (-), Ronkhi

(-).

 Retraksi dinding dada (-).

 Cardiovascular : Ictus cordis tidak

nampak, ictus cordis teraba di ICS 5 linea

midclavicularis sinistra, Bunyi Jantung

I/II, Murni Reguler, Bising (-).

 Abdomen : Bunyi Peristaltik (+) Kesan

meningkat

15
 Kulit : kering

 Ekstremitas : pitting edema (-),

ekstremitas pucat (+)

 Hasil Lab ADT : Anemia Mikrositik

Hipokrom Susp.Causa Def.Besi +

Lekositosis tanda-tanda infeksi +

Trombositosis Reaktif DD/Trombositosis

Essensial

A Diare Akut + Anemia Defisiensi Besi +

Leukositosis

07/12/ S Demam (-) kejang (-) sesak (-) batuk (-)  IVFD Asering 500

2017 Mual (-) Muntah (-) ml/hari

BAB encer: >3 kali sejak pagi, ampas (+)  Ceftriaxone 550 mg/24

Hari 4 warna kuning jam/iv

BAK : biasa  Oralit ½ gelas tiap

Nafsu makan membaik BAB encer

Selera minum kurang  Zink 1x20mg

 Probiokid Sachet 2x1


O  HR: 140 x/menit, RR: 30 x/menit, T :  Domperidon stop

36,7 °C  Paracetamol stop

16
 BB : 6,7 kg

 Kepala : rambut hitam,

 Wajah : simetris

 Mata : bitot spot (-) udem palpebra (+)

konjungtivitis (-) anemis (+)

 Mulut : Stomatitis (-) angular chelitis (-)

bibir kering (-)

 Paru: Vesiculer, Wheezing (-), Ronkhi

(-).

 Retraksi dinding dada (-).

 Cardiovascular : Ictus cordis tidak

nampak, ictus cordis teraba di ICS 5 linea

midclavicularis sinistra, Bunyi Jantung

I/II, Murni Reguler, Bising (-).

 Abdomen : Bunyi Peristaltik (+) Kesan

normal

 Kulit : baik

 Ekstremitas : pitting edema (-),

ekstremitas pucat (+)

A
Diare Akut + Anemia Defisiensi Besi +

17
Leukositosis

08/12/ S Demam (-) kejang (-) sesak (-) batuk (-)  Aff infuse

2017 Mual (-) Muntah (-)  Cefadroxil syr 3x1 cth

BAB: baik, warna kuning  Oralit ½ gelas tiap

Hari 5 BAK : biasa BAB encer

Nafsu makan baik  Zink 1x20mg

Selera minum baik  Probiokid Sachet 2x1

 Domperidon stop
O  HR: 120 x/menit, RR: 26 x/menit, T :  Paracetamol stop

36,5 °C

 BB : 6,7 kg

 Kepala : rambut hitam,

 Wajah : simetris

 Mata : bitot spot (-) udem palpebra (+)

konjungtivitis (-) anemis (+)

 Mulut : Stomatitis (-) angular chelitis (-)

bibir kering (-)

 Paru: Vesiculer, Wheezing (-), Ronkhi

(-).

 Retraksi dinding dada (-).

 Cardiovascular : Ictus cordis tidak

18
nampak, ictus cordis teraba di ICS 5 linea

midclavicularis sinistra, Bunyi Jantung

I/II, Murni Reguler, Bising (-).

 Abdomen : Bunyi Peristaltik (+) Kesan

normal

 Kulit : baik

 Ekstremitas : pitting edema (-),

ekstremitas pucat (+)

A Diare Akut + Anemia Defisiensi Besi +

Leukositosis

DISKUSI

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesis, tanda dan gejala klinis

serta pengukuran antropoemetri dan juga pemeriksaan penunjang.

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang dapat

disimpulkan bahwa pasien ini menderita Anemia, yaitu Anemia Defisiensi Besi.

Dapat dilihat dari anamnesis bahwa usia pasien 1 tahun dengan berat 6,7 kg, setelah

dilakukan perhitungan antropometri didapatkan hasil BB/TB tanpa melihat umur

pasien termasuk gizi kurang. Pasien biasanya hanya makan bubur beras merah

19
dengan campuran wortel dan kentang yang dihaluskan, serta masih minum ASI. Hal

ini bisa menjadi penyebab pasien mengalami penurunan asupan zat besi karena tidak

adanya asupan dari protein hewani, sedangkan beras merah merupakan sumber zat

besi non heme, dimana zat besi non heme lebih sulit diabsorbsi oleh tubuh dibanding

zat besi heme yang umumnya berasal dari sumber makanan hewani. Dan akibat

kurangnya gizi yang pasien konsumsi sehingga daya tahan tubuh pasien menurun dan

lebih mudah terkena risiko infeksi (pasien mengalami demam, muntah dan diare).

Kemudian sejak sakit, pasien mulai malas makan dan minum.

Pada masa menyusui sebagian besar kebutuhan zat gizi bayi didapat dari air susu

ibu (ASI), karenanya konsumsi kalori dan zat gizi bayi selama menyusui sangat

dipengaruhi kualitas dan kuantitas ASI yang dikonsumsi bayi. Sehingga harus

diperhatikan bagaimana kualitas ASI ibu, juga berdasar asupannya, apakah memang

kadar zat besi yang terkandung dalam ASInya sedikit atau tidak, karena pasien masih

minum ASI namun terjadi penurunan eritrosit yang disebabkan oleh defisiensi besi.

Pasien yang berumur 1 tahun menunjukkan bahwa pasien sedang mengalami

masa pertumbuhan sehingga kebutuhan akan zat besi meningkat. Namun intake zat

besi dari makanan sangat kurang sehingga produksi eritrosit kurang. Pasien juga

memiliki riwayat lahir kurang bulan (prematur), sehingga total besi tubuh lebih

rendah dibandingkan bayi cukup bulan, meskipun proporsi besi terhadap berat badan

sama. Bayi prematur, pertumbuhan pascakelahirannya lebih cepat dibandingkan bayi

yang lahir cukup bulan, karenanya jika makanannya tidak disuplementasi zat besi,

mereka lebih cepat menderita deplesi besi daripada bayi lahir cukup bulan

20
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien dengan konjungtiva dan ekstremitas

pucat. Tanda-tanda ini disebabkan akibat kurangnya eritrosit pada pasien sehingga

pasien terlihat lemas. Kemudian hal ini dibuktikan dengan adanya pemeriksaan

laboratorium, berupa darah rutin dan apusan darah tepi.

Dari hasil darah rutin tersebut, didapatkan tanda-tanda dari anemia defisiensi besi,

yaitu sebagai berikut :

1. Kadar hemoglobin, MCV, MCH, dan MCHC yang rendah.

2. Didapatkan nilai RDW tinggi >14,5% (28,7%)

3. Ratio MCV /RBC >13 (53,6/3,6 = 14,8) dan RDW index (MCV/RBC

x RDW) > 220 (53,6/3,6 x28,7 = 427)

21
Kemudian hasil laboratorium selanjutnya pada apusan darah tepi, yaitu

didapatkan eritrosit mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis, polikromasi (+), pencil

(+), ovalosit (+). Hasil pemeriksaan ini menunjukkan tanda-tanda anemia defisiensi

besi.

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan

gejala klinis yang sering tidak khas.

Criteria diagnosis ADB menurut WHO, yaitu :

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai

2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N.32-35%)

3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl (N: 80-180 ug/dl)

4. Saturasi transferin (ST) < 15% (N: 20-50%)

Criteria ini harus dipenuhi paling sedikit criteria nomor 1,3 dan 4. Tes yang

paling efisien untuk mengukur cadangan besi yaitu ferritin serum. Namun pada

pasien ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan yang lengkap seperti yang dijelaskan di

atas. Dalam kasus ini bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :

- Anemia tanpa perdarahan

- Tanpa organomegali

- Gambaran darah tepi : mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target

- Respons terhadap pemberian terapi besi.

Criteria di atas dapat dipenuhi 3 dari 4 kriteria, sehinggan pasien ini dapat

didiagnosis dengan Anemia Defisiensi Besi.

22
Selama dalam perawatan, pasien tidak langsung diberi tatalaksana berupa

suplementasi besi, karena dalam kasus ini pasien mengalami diare dan muntah,

sehingga suplementasi diberikan setelah kondisi diare dan muntah telah teratasi

karena konsumsi suplementasi besi dapat menimbulkan efek samping berupa

gangguan pencernan. Suplemen besi juga dapat menimbulkan efek samping berupa

infeksi.

Keluarga pasien perlu untuk diedukasi tentang kebutuhan pasien akan zat besi

yang dapat diperoleh dari makanan sehari-harinya, salah satunya dengan

mengkonsumsi daging merah dan hati sapi. Namun dalam hal ini kondisi pasien tetap

harus dikontrol sehingga dianjurkan untuk melanjutkan terapi di poliklinik anak

selepas masa perawatan. Keluarga juga perlu diedukasi tentang kebutuhan gizi anak

agar dapat diperbaiki.

Untuk penatalaksanaan ADB, dapat diberikan preparat Fe secara peroral atau

parenteral. Pemberian peroral lebih aman,murah dan sama efektifnya dengan

pemberian secara parenteral. Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi

elemental yang dipakai adalah 4-6 mg/kgBB/hari. Garam ferrous mengandung besi

sebanyak 20%, sehingga harus disesuaikan dengan berat badan pasien. Kemudian

selama dalam pengobatan, harus dikoreksi kadar Fe dalam darah untuk menilai

keefektivan terapi. Respon terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu

bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dl atau lebih. Bila respon terapi

ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.

23
Adapun diagnosis pasien ini adalah anemia defisiensi besi disertai status gizi

buruk dan diketahui dapat menyebabkan penurunan sistem imun yang akan

berdampak pasien rentan terkena infeksi, dimana infeksi yang dimaksud pada kasus

ini adalah diare akut dan febris disertai tanda leukositosis.

24
BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh

kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini

merupakan bentuk anemia yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di

Negara yang sedang berkembang. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia

menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.

Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di Negara yang sedang

berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan

protein hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah

endemic. Saat itu di Indonesia anemia defisiensi besi masih merupakan salah satu

masalah gizi utama disamping kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium.

Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam

penyimpanan dan pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa

enzim yang berperan dalam metabolism oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter

dan proses katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan

demikian, kekurangan besi mempunyai dampak yang merugikan bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh,

menurunkan konsentrasi belajar dan mengurangi aktivitas kerja.

Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi

pada bayi dan anak. Hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang

25
mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian

penting dari pengobatan.

Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak

diperlukan 0,8-1,5 mg Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan.

Banyaknya Fe yang diabsorbsi dari makanan sekira 10% setiap hari, sehingga

untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet yang mengandung Fe sebanyak 8-10

mg Fe per hari.

Fe yang berasal dari susu ibu diabsorbsi secara lebih efisien daripada yang

berasal dari susu sapi sehingga bayi yang mendapat ASI lebih sedikit

membutuhkan Fe dari makanan lain. Setidaknya macam makanan yang kaya Fe

yang dicerna selama tahun pertama kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi

jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet bayi harus mengandung makanan

yang diperkaya dengan Fe sejak usia 6 bulan.

B. Epidemiologi

Prevalens ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia

sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8

tahun) di kota sekitar 5,5%, anak praremaja 2,6& dan gadis remaja yang hamil

26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan

besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat

kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar

50% cadangan besinya berkurang saat pubertas.

26
Prevalens ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibading kulit putih.

Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam

yang lebih rendah.

Prevalens anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar

40-45%.7 Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan

prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-

turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.8 Penelitian kohort terhadap 211 bayi

berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insidens ADB sebesar

40,8% dan 47,4%.9 Pada usia balita, prevalens tertinggi DB umumnya terjadi

pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan

pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama.1, 10 Angka kejadian DB lebih

tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi

yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi.2

C. Etiologi

Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang

mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.

Kekurangan besi dapat disebabkan :

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis

 Pertumbuhan

27
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan

masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode

ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya

meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2

kali lipat dibandingkan saat lahir. Bayi premature dengan

pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat

mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3

kali dibanding saat lahir.

 Menstruasi

Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah

kehilangan darah lewat menstruasi.

2. Kurangnya besi yang diserap

 Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat

 Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan

makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan

menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5

mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang

mendapat ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6

bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung di dalam ASI

lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu

formula.

28
Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi bayi, sedangkan

dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsorpsi.

 Malabsorpsi besi

Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa

ususnya mengalami perubaha secara histologist dan fungsional. Pada

orang yang telah mengalami gastroektomi parsial atau total sering

disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi.

Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan

lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan

besi heme dan non heme.

3. Perdarahan

Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya

ADB. Kehilangan darah akan mempegaruhi keseimbangan status besi.

Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan 0,5 mg besi sehingga

kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 besi) dapat mengakibatkan

keseimbangan negative besi.

Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy,

ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid,

indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infestasi cacing

(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus

29
halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa

usus.

4. Transfuse feto-maternal

Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB

pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonates.

5. Hemoglobinuria

Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung

buatan. Pada Paroxismal nocturnal hemogglobinuria (PNH) kehilangan besi

melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari

6. Iatrogenic blood loss

Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium

berisiko untuk menderita ADB.

7. Idiophatic pulmonary hemosiderosis

Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang

hebat dan berulang serta adanya infiltrate paru yang hilang timbul. Keadaan

ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastic hingga 1,5-3 g/dl dalam 24

jam.

8. Latihan yang berlebihan

Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40%

remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10

ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia

yang hilang timbul pada usus selama latihan berta terjadi pada 50% pelari.

30
D. Fisiologi Zat Besi dalam Darah

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia. Perkembangan

metabolisme besi dalam hubungannya dengan homeostasis besi dapat dimengerti

dengan baik pada dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami yang

sama seperti pada orang dewasa. Zat besi bersama dengan protein (globin) dan

protoporfirin mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin.

Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam

metabolism oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses katabolisme.

Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem

saluran pencemaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan

tingkat selular.

Jumlah sat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam

makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.

Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau

sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin,

30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam

bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai

enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung besi sekitar 0,5 gram. Ada 2

cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk

non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu

menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme

31
(sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa

memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan

yang dikonsumsi.

Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin

membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel

mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali

ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin

membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk

ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferin

serum.

Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama

di duodenum sampai pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus

penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan

dalam bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik

(feri/Fe" ) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C, dan asam amino

mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe".). Bcntuk fero ini kemudian

diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus, bentuk fero ini mengalami

oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya bcrikatan dengan apoferitin

menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskart ke dalam peredaran darah

setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan di dalam plasma ion fero

direoksidasi kembali menjadi bentuk feri. Yang kemudian berikatan dengan 1

globulin membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada

32
penderita ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya

didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan

lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.

Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan kc dalam eritrosit

(retikulosit) yang selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan

persenyawaan globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit

berumur + 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan

didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi

biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin,

sedangkan besi akan masuk ke dalam plasnla dan mtengikuti siklus seperti di atas

atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.

Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan.

Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non

heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi),

kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, clan obat-obatan

(antasid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi. Besi

heme didalam lalnbung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim

proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan

masuk ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim

hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini

akan lnengalami siklus seperti di atas.

33
Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama ferritin yang

bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.

Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih

sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer

hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi

untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi

dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan cadangan besi

untuk mempertahankan kadar Hb.

E. Patofisiologi

Zat besi diperlukan untuk hemopoesis(pembentukan darah) dan juga

diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat

dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk

mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak

menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar

untuk dideteksi. Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya

simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan

dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut

berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin,

berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti

dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya

yang khas yaitu rendahnya kadar Rb.

34
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan

konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan

keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum

yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila

kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar

feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal.

Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.

Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur

kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam

sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% acuan.3

F. Diagnosis4

Anak anemia berkaitan dengan gangguan psikomotor, kognitif, prestasi

sekolah buruk, dan dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan. Anak

usia kurang dari 12 bulan dengan anemia terutama defi siensi besi kadar

hemoglobinnya bisa normal, dengan nilai prediktif positif 10-40%.6 Oleh karena

itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti untuk mendeteksi dan

menentukan penyebabnya sehingga pemeriksaan laboratorium dapat seminimal

mungkin. Tubuh bayi baru lahir mengambil dan menyimpan kembali besi

menyebabkan hematokrit menurun selama beberapa bulan pertama kehidupan.

Oleh karena itu, pada bayi cukup bulan kekurangan zat besi dari asupan gizi

jarang menyebabkan anemia sampai setelah enam bulan. Pada bayi prematur,

35
kekurangan zat besi dapat terjadi setelah berat dua kali lipat berat lahir. Penyakit

terkait kromosom X seperti defi siensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD),

harus dipertimbangkan pada anak laki-laki. Defi siensi piruvat kinase bersifat

autosomal resesif dan berhubungan dengan anemia hemolitik kronis. Pemeriksaan

fisik penting dilakukan (Tabel 1), temuan yang menunjukan anemia kronis

termasuk pucat (biasanya tidak terlihat sampai tingkat hemoglobin kurang dari 7

g/dL), glositis, hepatosplenomegali, murmur, dan gagal jantung kongestif. Pada

anemia akut dapat ditemukan jaundice, takipnea, takikardi, dan hematuria.

Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa

eritrosit, MCV menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik,

36
normositik, dan makrositik. Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal

paling berguna sebagai evaluasi awal. Pertama-tama harus diperiksa distribusi dan

pewarnaan sel. Tanda sediaan yang tidak baik adalah hilangnya warna pucat di

tengah eritrosit, bentuk poligonal, dan sferosit artefak. Sferosit artefak,

berlawanan dengan artefak asli, tidak menampakkan variasi kepucatan di tengah

sel dan lebih besar dari eritrosit yang normal. Sediaan yang tidak baik tidak boleh

diinterpretasikan. Setelah sediaan telah dipastikan kelayakannya, diperiksa pada

pembesaran 50x dan kemudian dengan 1000x. Sel-sel digradasikan berdasarkan

ukuran, intensitas pewarnaan, variasi warna, dan abnormalitas bentuk. Gangguan

hemolisis eritrosit dapat diklasifi kasikan menurut morfologi predominannya.

Terdapatnya stippling basofi lik dan sel inklusi juga perlu diperhatikan.

Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs,

jumlah leukosit, dan trombosit Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi dapat

menunjukkan etiologi anemia. Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat

dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan

dengan penyebab anemia : pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan terakhir

seandainya penyebab anemia masih belum diketahui.

Criteria diagnosis ADB menurut WHO:

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N.32-35%)

3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl (N: 80-180 ug/dl)

4. Saturasi transferin (ST) < 15% (N: 20-50%)

37
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian

preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis

dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi.

Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitive dan ekonomis terutama pada

anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila pemberian preparat besi dosis

6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl

maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran

anemia hipokrom mikrositik lain. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis

da laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah thalassemia minor dan

anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah lead poisoning/keracunan

timbale dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh laboratorium.1

H. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui factor penyebab dan

mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar

80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan

dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.

38
Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian

secara parenteral.

Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.

Preparat yang tersedia berupa garam ferrous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang

sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya lebih murah. Ferrous

glukonat, ferrous fumarat dan ferrous suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk

baui tersedia preparat besi berupa tetes (drop).

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai adalah 4-6

mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi

elemental yang ada dalam garam ferrous. Garam ferrous sulfat mengandung besi

elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek

samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang

lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara

dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran

cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberiam besi dapat dilakukan pada saat

makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat

sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Preparat besi ini harus

terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi.

39
BAB IV

PENUTUP

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya

besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk

anemia yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di Negara yang sedang

berkembang.

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering

pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk

Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.

Oleh karena itu, pada penanganan anemia defisiensi besi, pasien maupun keluarga

pasien harus diedukasi tentang kebutuhan zat gizi yang harus diterima oleh penderita

anemia defisiensi besi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Raspati, Harry. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. 2006. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi IDAI Suplemen Zat Besi, 2011.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI.

3. Irawan, Henry. Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak dalam CDK

205/Vol.40 No.6. 2013. Kalbemed.

4. Masrizal. Anemia Defisineis Besi dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2007.

FK Unand.

41

Anda mungkin juga menyukai