Anda di halaman 1dari 25

1|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

Kitab Nikah

Bab

Keutamaan, Adab dan Syarat Pernikahan

Anjuran Untuk Menikah

Hadits ke-1
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara
kalian telah mampu berkeluarga hendaklah ia kawin, karena ia lebih dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu,
hendaklah berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaihi)

Studi Sanad

Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih secara takhrij dan sanad. Secara takhrij,
karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan
secara sanad karena hadits tersebut melewati jalur yang paling valid secara mutlak
(Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman bin Mihran Al A'masy dari Ibrahim An-Nakha'i
dari 'Alqamah bin Qais An-Nakha'i dari Abdullah bin Mas'ud. Silsilah sanad tersebut
dinilai sebagai sanad terbaik, seperti silsilah sanad Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar.

Imam Bukhari dan Nasa'i juga meriwayatkan hadits yang sama dari Al-A'masy
dengan jalur yang berbeda, yaitu dari 'Ammarah bin 'Umair dari Abdurrahman bin
Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi, Al-A'masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits
ini.

Sababul Wurud (Sebab Turunnya Hadits)

Imam Bukhari dan Nasa'i meriwayatkan dari Al-A'masy, dia berkata: 'Ammarah dari
Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama 'Alqamah pernah mendatangi
Abdullah (Ibnu Mas'ud), lalu beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: Dahulu kami adalah para
pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda, "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah
mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, dst".

Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku ('Alqamah) dan
Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin Mas'ud. Beliau (Ibnu Mas'ud) berkata:
"Pada saat itu aku masih seorang pemuda". Lalu beliau menyebutkan hadits itu,
2|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

seolah-olah beliau menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku
menikah.

Gharibul Hadits (Istilah-Istilah Asing)

Ma'syar, artinya sekelompok atau segenap orang yang memiliki sifat tertentu, seperti
segenap pemuda, segenap orang tua, segenap para nabi dan sebagainya.

Syabab: bentuk plural (jamak) dari Syab, artinya para pemuda.

Ba'ah, secara bahasa berarti jima' (bersenggama) kemudian dipakai untuk menyatakan
akad nikah.

Wija', artinya tameng. Orang yang berpuasa seolah-olah memiliki tameng yang dapat
melindungi dirinya.

Musykilul Hadits

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim1 mengatakan bahwa para ulama
berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba'ah dalam hadits tersebut. Sebagian
ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Ba'ah di sini adalah maknanya secara
bahasa, yaitu jima'. Jadi bunyi hadits tersebut menjadi, "Barangsiapa di antara kalian
telah mampu berjima', hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjima',
hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng
yang menahan serangan".

Jika yang dimaksud Ba'ah adalah jima', maka objek dari hadits tersebut adalah para
pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan jenisnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud Ba'ah adalah kemampuan


seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya
menjadi, "Barangsiapa di antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan
keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan
nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia berpuasa untuk menahan
syahwatnya".

Makna dan Uslub

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengarahkan anjuran dan motivasi untuk


menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda. Beliau bersabda,
"Wahai segenap para pemuda". Kata "Ma'syar" yang berarti "segenap" menyiratkan
makna kemanusiaan dan sosial yang menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak
menggunakan kata lain seperti "Ya Ayyuha Syabab" misalnya, karena kata "Ma'syar"
memiliki nuansa cinta dan kasih sayang dalam komunitas muslim. Hal ini merupakan
salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan para pemuda, sehingga Islam
1
Syarah Muslim juz 5 hal. 173
3|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu anjuran untuk segera menikah
bagi yang telah mampu.

"Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa". Beliau menggunakan kata


"Alaihi" yang berarti "hendaklah" untuk menyatakan makna banyak. Artinya,
"hendaklah ia memperbanyak berpuasa". Beliau tidak menggunakan kata "Fal
Yashum" misalnya, yang berarti "berpuasalah", karena kata itu bermakna puasa yang
sehari atau dua hari saja. Adapun kata "Alaihi Bishoum" bermakna memperbanyak
berpuasa.

Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting dalam
pernikahan, yaitu "karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu
memelihara kemaluan". Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat
manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya.

Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata "Aghaddu" dan "Ahshonu"
yang berarti "lebih mampu menundukkan" dan "lebih mampu memelihara" untuk
menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan dan
kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki
kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan
pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat2.

Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum
mampu melaksanakan pernikahan untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa
mampu menahan gejolak syahwat.

Isntinbath (Hukum Fikih)

Hadits di atas mengandung hukum-hukum yang sangat penting berkaitan dengan


masalah sosial, di antaranya yaitu:

1. Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk menikah

Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu.
Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita
bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan
Zhahiriyah3 dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad4.

Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam
Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang telah mampu dalah sunnah,
bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa
(seperti zina, onani, masturbasi, dsb). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib
baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.

2
Ibnu Daqiq Al 'Iid, Ihkam Al Ahkam juz 4 hal. 23
3
Al Muhalla juz 9 hal. 440-441
4
Fathul Bari juz 9 hal. 95
4|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul, "Barangsiapa belum
mampu, hendaklah ia berpuasa". Jika berpuasa disunnahkan, maka menikah pun
demikian, karena puasa adalah sebagai ganti dari menikah5.

2. Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya

Berikut ini rinciannya:

 Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sementara ia


mampu menikah.
 Haram, bagi yang belum mampu berjima' dan membahayakan kondisi
pasangannya jika menikah.
 Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru
menjadikan kewajibannya terbengkalai.
 Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas sedangkan ia masih
mampu menjaga kesucian dirinya.
 Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang apapun
untuk menikah6. Ia menikah bukan karena ingin mengamalkan sunnah
melainkan memenuhi kebutuhan bilogisnya semata, sementara ia tidak
khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.

Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya sunnah
sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang
berisi anjuran untuk menikah secara mutlak.

Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan
keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan untuk berjima', berdasarkan
hadits "Sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)"
dan juga hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.

Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga
semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi yang telah mampu
meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya7.

3. Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya penyakit


masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan lain sebagainya.

4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah sosial
agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda, kerena mereka
merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para pemuda di suatu
komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu A'lamu Bishowab.

5
Fathul Bari juz 9 hal. 95; Syarah Nawawi juz 9 hal 173-174.
6
Ibnu Daqiq Al 'Iid, Al Ihkam 2/181; Ibnu Abidin: 2/358; Minahul Jalil: 2/322; Syarbini: 3/125; Al
Mughni: 6/446
7
Lihat At Targhib wat Tarhib juz 3 hal. 34
5|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

Hadits ke-2
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat dan tidur,
berpuasa dan berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa tidak suka dengan
sunnahku, ia tidak termasuk (ummat)ku." Muttafaq Alaihi.

Studi Sanad dan Riwayat


Hadits di atas merupakan potongan dari hadits yang panjang. Hadits tersebut memiliki
dua jalur periwayatan dari Anas, yaitu Humaid Ath Thawil dari Anas, dan Tsabit Al
Bunani dari Anas.

Adapun jalur pertama yaitu Humaid dari Anas, Imam Bukhari meriwayatkannya
sebagai berikut:

Tiga orang mendatangi kediaman istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.


Mereka ingin menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diberitahu, mereka
menganggap remeh ibadah tersebut. Mereka mengatakan, "Di mana posisi kita
dibandingkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam? Beliau telah diampuni dosa-
dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang?". Salah seorang di antara mereka
mengatakan, "Aku bertekad akan melakukan shalat selamanya". Seorang yang lain
menyahut, "Aku akan berpuasa selamanya tanpa berbuka". Seorang lainnya
menyambung, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya".

Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang, "Apakah kalian yang


mengatakan demikian dan demikian? Adapun aku, demi Allah, aku adalah manusia
yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa. Akan tetapi aku sholat dan tidur,
berpuasa dan berbuka. Aku menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku maka
dia bukan termasuk di antara ummatku".

Dari jalur Tsabit Al Bunani, Imam Muslim meriwayatkan hadits tersebut dengan
redaksi sebagai berikut:

Beberapa orang dari para sahabat datang ke rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam menanyakan kepada istri beliau tentang amalan beliau yang tersembunyi.
Sebagian di antara mereka mengatakan, "Aku takkan menikahi wanita", sebagian lagi
mengatakan, "Aku takkan memakan daging", sebagian lagi mengatakan, "Aku takkan
tidur di atas kasur".

Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertahmid dan memuji Allah, lalu
bersabda, "Ada apa dengan orang-orang yang mengatakan demikian dan demikian?
Padahal aku sholat dan tidur, berpuasa dan berbuka, dan menikahi wanita.
Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk di antara ummatku".

Terdapat sedikit perbedaan dalam kedua riwayat di atas yang seolah-olah tampak
bertentangan. Meninggalkan makan daging tentu saja berbeda dengan berpuasa secara
terus-menerus. Begitu juga menghabiskan seluruh malam untuk shalat berbeda
6|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

dengan meninggalkan tidur di atas kasur. Namun kejadian sebenarnya adalah terjadi
lebih dari sekali, dan orang-orang yang bertanya lebih dari tiga orang sebagaimana
akan kita bahas di depan8.

Sebab Munculnya Hadits


Sebab munculnya hadits tersebut telah disebutkan dalam hadits itu sendiri, yaitu
mengenai datangnya tiga orang sahabat yang menanyakan tentang ibadah Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Akan tetapi, dalam kedua riwayat itu tidak disebutkan
siapa tiga orang tersebut.

Dalam riwayat Abdur Razzaq disebutkan secara mursal oleh Sa'id bin Musayyab
bahwa ketiga orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash dan
Utsman bin Mazh'un. Disebutkan juga dalam riwayat lain nama-nama sahabat yang
mendatangi beliau selain mereka bertiga. Akan tetapi riwayat-riwayat tersebut tidak
dapat dijadikan sandaran.

Perbedaan Riwayat Hadits


Pertama, bagaimana mengkompromikan riwayat-riwayat yang berlainan tersebut?
Jawabnya adalah terdapat kemungkinan bahwa ketiga orang tersebut adalah orang-
orang yang bertanya secara langsung, sehingga hadits tersebut diattibutkan kepada
mereka. Adapun selain mereka, karena mereka menanyakan hadits yang sama maka
mereka juga diikutsertakan dalam penisbatan hadits itu 9.

Kedua, dalam riwayat Muslim disebutkan: "Maka beliau bertahmid dan memuji
Allah, lalu bersabda: Ada apa dengan orang-orang yang berkata demikian dan
demikian?". Dari sini terdapat dugaan bahwa sabda beliau tersebut disampaikan
dalam khutbah Jum'at. Padahal dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan bahwa
perkataan tersebut disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan dalam
pembicaraan khusus.

Jawabnya adalah bahwasannya peristiwa tersebut terjadi di lebih dari satu tempat dan
satu waktu. Beliau menyampaikan hadits itu secara umum dalam khutbah Jum'at dan
di waktu lain secara khusus. Oleh karena itu, dalam riwayat khutbah Jum'at,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menyebutkan nama-nama mereka
secara langsung demi menjaga nama baik mereka dan sebagai bentuk kasih sayang
beliau kepada mereka.

Ketiga, sabda beliau "Barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak
termasuk (ummat)ku". Kalimat ini seolah-olah memberikan pemahaman tentang
hukuman yang sangat berat melebihi akal sehat. Jawabnya, apabila ketidaksukaan itu
muncul disebabkan oleh takwil yang keliru, maka orang tersebut dimaafkan. Jadi
makna kalimat "tidak termasuk (ummat)ku" adalah "tidak mengikuti jalanku". Artinya
ia masih dihukumi sebagai seorang muslim dan tidak keluar dari Islam.

Adapun jika ketidaksukaan itu muncul karena penolakan dan kekukuhan yang
mengakibatkan orang tersebut meyakini bahwa apa yang dilakukannya itu lebih baik
daripada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka dia telah dianggap

8
Fathul Bari juz 9 hal. 82
9
ibid
7|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

telah keluar dari Islam (murtad). Karena keyakinan semacam itu adalah salah satu
bentuk kekufuran10.

Keterangan
Hadits di atas menjelaskan tentang semangat para sahabat dalam melakukan ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sehingga mereka ingin
menanyakan secara langsung perihal ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
kepada istri beliau. Namun ketika diberitahu tentang ibadah beliau, mereka merasa
bahwa amalan tersebut tidaklah berat menurut mereka. Tidak disebutkan secara jelas
bagaimana mereka menyatakan ketidakberatan itu. Namun tampak dari perkatan
mereka "Di mana posisi kita dibandingkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lampau maupun yang akan datang?".
Lalu setiap orang dari mereka bertekad untuk memperkuat ibadah mereka dengan
melakukan amalan-amalan yang berat.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu menjelaskan posisi beliau sebagai


seorang hamba yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepadaNya.
Kemudian beliau meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang diyakini oleh para
sahabatnya. Beliau menerangkan bahwa apa yang disangka oleh para sahabatnya yaitu
berupa menyiksa diri dengan beribadah tidaklah dibenarkan dalam Islam, dan rasa
takut kepada Allah tidak dikhususkan bagi orang-orang yang berdosa saja. Bahkan
orang-orang shaleh justru memiliki rasa takut yang lebih besar kepada Allah karena
mereka memahami kedudukan Allah di mata mereka.

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).
(QS. An-Nazi'at: 40-41)

Ibadah bukan saja mewujudkan ungkapan dari rasa takut seseorang kepada Allah,
namun juga merupakan manifestasi rasa syukur terhadap nikmat-nikmat Allah.

Hukum Fikih
1. Hadits tersebut memberikan motivasi bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam untuk menikah. Hadits itu juga menunjukkan bahwa
menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, yaitu jalan ketaatan dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang
benar sesuai syariat.
2. Menikah lebih utama daripada menyendiri untuk beribadah, karena menikah
sendiri merupakan salah satu bentuk ibadah. Ini merupakan pendapat mazhab
Hanafiyah. Adapun menurut Syafi'iyah, menyendiri untuk beribadah lebih
utama daripada menikah. Namun bagaimana pun, menikah merupakan amalan
yang sangat mulia. Bersusah payah dalam mencari nafkah untuk membiayai
keluarga merupakan amalan yang terpuji dan dapat mendatangkan pahala jika
diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Di samping itu, menikah juga
menjadi upaya dalam rangka menghasilkan keturunan shaleh yang akan
membangun peradaban umat.
3. Menyiksa diri dengan beribadah merupakan bid'ah. Islam mengajarkan
keseimbangan dalam beribadah. Memperbanyak tidak sama dengan menyiksa

10
Fathul Bari 9/83
8|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

diri, karena memperbanyak ibadah justru diperintahkan. Akan tetapi


melakukan ibadah secara berlebihan sehingga mengabaikan ibadah-ibadah
lainnya itu yang dilarang.
4. Perintah mengikuti pola hidup orang-orang shaleh. Dan orang yang paling
shaleh di dunia ini adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kemudian
setelah itu para ulama. Kehidupan orang-orang shaleh mencerminkan ajaran
Islam yang benar sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
5. Tidak dibenarkan berlebih-lebihan dalam perkara yang pada asalnya
diperbolehkan, baik itu berlebih-lebihan dalam menggunakannya maupun
meninggalkannya11. Terlalu berlebihan dalam beribadah akan mengakibatkan
seseorang menjadi bosan dan futur. Begitu juga berlebih-lebihan dalam
meninggalkan amalan kebaikan juga dapat mengakibatkan seseorang menjadi
malas melakukan ibadah. Sebaik-sebaik perkara adalah pertengahannya.
6. Perintah untuk memegang erat sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam dan larangan dari bersikap membangkang. Hadits ini menjadi dalil
batalnya ajaran kerahiban yang menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang
bersifat vertikal dengan mengenyampingkan ibadah horisontal. Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita jalan yang lurus dan
berada pada tengah-tengah. Beliau berbuka demi mempersiapkan kekuatan
untuk berpuasa. Beliau tidur demi memulihkan tenaga agar dapat melakukan
shalat. Beliau juga menikah untuk menjaga kesucian diri dan menyalurkan
dorongan seksual pada jalan yang benar sekaligus memperbanyak keturunan.
Beliau mengajarkan pentingnya memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani
secara bersamaan. Wallahu A'lamu Bish Showab.

11
Fathul Bari: 9/91
9|Penjelasan Kitab Bulughul Maram

Hadits ke-3
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang.
Beliau bersabda:

"Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlah kalian yang
banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat."

Hadits ke-4

Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ini juga memiliki
penguat (syahid) menurut Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma'qil
bin Yasar.

Isnad

Dalam sanad hadits Anas di atas terdapat perawi bernama Khalaf bin Khalifah yang
reputasinya hanya dikenal sebagai seorang Shaduq (terpercaya) yang memiliki banyak
kekeliruan (ikhtilath) di akhir hayatnya, sebagaimana disebutkan dalam Musnad. Dan
hadits tersebut diriwayatkan setelah masa (ikhtilath) itu. Akan tetapi hadits tersebut
memiliki penguat, yaitu hadits dari Ma'qil bin Yasar, yang redaksinya agak berbeda
sedikit, "Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan
umat-umat". Ibnu Hibban dan Al-Hakim menilai hadits tersebut shahih, dan Adz
Dzahabi juga menyepakatinya.

Demikian juga hadits Abdullah bin 'Amru bin Al-Ash dalam Musnad12 menjadi
penguat hadits Anas di atas, sehingga hadits tersebut menjadi kuat dan shahih dalam
hal anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan penyayang.

Istilah-istilah Asing

Tabattul, yaitu terus membujang dan menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala tanpa menikah.

Al-Wadud (penyayang), berasal dari kata al-Wudd yang berarti cinta dan kasih
sayang. Wanita yang Wadud berarti wanita yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang
yang sangat besar terhadap suaminya. Hal itu dapat diketahui dari pergaulannya,
pengakuan orang-orang di sekitarnya, kerabatnya, teman-temannya, pendidikannya
dan lingkungan tempat ia tumbuh dan dibesarkan.

Al-Walud (subur), artinya banyak anak. Hal itu dapat diketahui dari kerabat-
kerabatnya jika ia masih seorang gadis, atau dari pengalamannya bersama suaminya
jika ia seorang janda.

12
Musnad Imam Ahmad 2/171-172, redaksinya: “Nikahilah Ummahat al-Aulaad, sesungguhnya aku
berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari Kiamat”
10 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Istinbath

Hadits di atas berisi anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan penyayang. Subur
dimaksudkan agar dapat melahirkan anak yang banyak. Sedangkan penyayang
merupakan sifat mulia yang melekat pada diri wanita shalihah. Hadits tersebut juga
menunjukkan keutamaan memiliki anak shaleh yang banyak. Pada zaman dahulu,
masyarakat Arab merasa bangga jika memiliki banyak anak. Dalam Islam, kebiasaan
tersebut didukung dengan anjuran memiliki anak yang banyak dan shaleh
sebagaimana dalam hadits lain yang berbunyi, "Jika seseorang mati, maka
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara", di antaranya adalah anak shaleh.

Hadits ke-5
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Tujuh kecuali Tirmidzi.

Istinbath

Hadits tersebut menunjukkan bolehnya menikahi wanita karena orientasi apapun, baik
itu yang bersifat duniawi maupun ukhrowi, karena redaksi hadits tersebut merupakan
bentuk ikhbar (pemberitahuan) sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurtubhi13.
Artinya, keempat faktor itulah yang menjadi motivasi utama dinikahinya wanita. Jadi,
hadits tersebut berbicara realita. Akan tetapi di situ terdapat sebuah himbauan bagi
para pria agar lebih mengutamakan faktor agamanya. Hadits di atas menjadi panduan
bagi para pria dalam memilih calon pendamping hidupnya. Di mana seorang laki-laki
tidak seharusnya menjatuhkan pilihannya dikarenakan faktor duniawi semata,
melainkan perlu dipertimbangkan juga faktor komitmen agamanya. Bahkan itulah
yang harus diprioritaskan sebagaimana ditegaskan dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Janganlah kalian menikahi wanita karena
kecantikannya, karena boleh jadi kecantikannya akan mencelakakannya. Jangan pula
karena hartanya, karena boleh jadi hartanya akan menjadikannya melampaui batas.
Akan tetapi, nikahilah mereka karena agamanya. Sungguh, seorang budak wanita
yang telinganya sobek (maksudnya buruk rupa) yang memiliki (komitmen) agama itu
yang lebih utama”14.

Hadits tersebut juga berisi anjuran agar mencari pasangan yang berasal dari keturunan
yang baik. Namun jika faktor keturunan bertentangan dengan faktor agama, maka
yang harus diutamakan adalah faktor agama. Begitu juga dengan faktor-faktor
lainnya, jika bertentangan satu sama lain, maka yang harus didahulukan adalah faktor
agamanya.

13
Fathul Bari 9/116
14
Tazwij Dzat Ad-Diin (Menikahkan para wanita yang memiliki komitmen agama) 1/597
11 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Hadits ke-6
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau bersabda: Baarakallahu laka wa
baaraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin, "Semoga Allah memberkahimu dan
menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban15.

Isnad

Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini shahih menurut standar Imam Muslim dan belum
diriwayatkan oleh beliau”. Imam Adz-Dzahabi juga menyepakatinya. Akan tetapi
hadits ini melewati jalur Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi dari Suhail bin
Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Status Abdul Aziz dan Suhail masih
diperbincangkan16.

Akan tetapi hadits tersebut memiliki syahid (penguat) berupa hadits dari Uqail bin
Abi Thalib, ia berkata: ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Rasulullah SAW,
“Baarakallahu fikum wa baaraka ‘alaikum” (HR. Ahmad An-Nasa’I dan Ibnu Majah,
para perawinya tsiqot17).

Begitu juga dengan hadits Anas bahwasannya Abdurrahman bin Auf ketika berkata
kepada Nabi SAW, “Saya telah menikah”, beliau menjawab, “Baarakallahu laka,
adakanlah pesta walimah mekipun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan
Muslim18).

Istinbath

Hadits tersebut berisi anjuran untuk memberikan ucapan Tarfiyah bagi orang yang
telah menikah, yaitu doa agar mendapatkan barokah dan kebaikan, sebagaimana
ditetapkan oleh para Fuqoha19.

Pada awalnya, dahulu orang-orang zaman Jahiliyah menggunakan ungkapan ini untuk
mendoakan pasangan suami-istri agar mendapatkan keharmonisan dalam rumah
tangga dan mendapatkan anak laki-laki. Mereka biasa mengucapkan “Bir rifai wal
banin” (semoga mendapatkan keharmonisan dan anak laki-laki). Hingga akhirnya

15
Musnad 2/381; Abu Daud “Maa Yuqool Lil Mutajawwij” 2/241; At-Tirmidzi 3/400 no. 1091; An-
Nasa’I dalam Sunan Kubro 6/73 no. 10089; Ibnu Majah dari jalur Ibnu Khuzaimah “Tahniatun Nikah”
1/614 no. 1905; Sunan Sa’id bin Manshur 1/147; Ibnu Hibban dari jalur Ibnu Khuzaimah 9/359 dengan
urutan Ibnu Balban; Al-Mustadrak 2/183
16
Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi di-tsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan Al-‘Aljli. Menurut Abu
Zur’ah, “Buruk hafalannya”. An-Nasai berkomentar: “Tidak kuat”. (At-Tahdzib 6/353)
17
Musnad 1/201; An-Nasai “Kaifa Yud’a lil Mutazawwij” 6/128 no. 3371; Ibnu Majah pada tempat
yang sama dengan sebelumnya dengan lafadz: Allahumma baarik lahum wa baarik ‘alaihim; lihat
penjelasan selengkapnya mengenai sanad hadits dalam Fathul Bari 9/186-187 Bab Kaifa Yud’a lil
Mutazawwij.
18
Bukhari “Kaifa Yud’a lil Mutazawwij” 7/21; Muslim “Ash-Shadaaq…” 4/144.
19
Ad-Dasuqi ‘Ala Syarhil Kabir 2/216; Minahul Jalil 2/6; Al-Mughni 6/539; Syarh Syir’atil Islam
karangan Sayyid Ali Zaad 448; Al-Muhadzab 2/41.
12 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

ungkapan ini dikenal dengan istilah Tarfiyah, yaitu doa untuk orang yang telah
menikah.

Dalam salah satu riwayat yang terdapat dalam Musnad disebutkan bahwa Aqil bin
Abi Thalib menikah. Ketika ia keluar, kami mengucapkan “Bir Rifai wal banin”. Lalu
ia berkata, “Jangan ucapkan itu karena Rasulullah SAW pernah melarang kami
mengucapkannya. Tapi ucapkanlah: Baarakallahu fiika wa baaraka laka fiiha”.

Semua itu menjadi dalil terhapusnya ucapan-ucapan Tarfiyah pada zaman Jahiliyah
yang mengkhususkan doa hanya untuk anak laki-laki saja dan diganti dengan doa
Tarfiyah Islam.

Hikmah dari doa Tarfiyah dalam Islam adalah sebagai pengingat bagi pasangan
suami-istri bahwasannya pernikahan merupakan pintu gerbang menuju babak
kehidupan baru yang penuh lika-liku dan aral melintang. Oleh karena itu, mereka
membutuhkan doa ini agar bahtera rumah tangga yang akan mereka jalani bisa tetap
bertahan dan tidak karam di tengah samudera kehidupan yang sangat luas.

Pernikahan tidak hanya sekedar penyalur kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu,
pernikahan merupakan salah satu sarana dalam menurunkan keberkahan dari langit
dan bumi. Karena kebahagiaan tidak selalu berwujud harta atau materi, namun
kebahagiaan sejati sebenarnya terletak pada keberkahan pernikahan itu sendiri.
Berapa banyak pasangan suami-istri yang hidup serba pas-pasan secara ekonomi,
namun kehidupan mereka terasa begitu indah dan manis. Sebaliknya, berapa banyak
keluarga yang hancur padahal secara materi kehidupan mereka sangat berlimpah.

Itulah Islam yang mengajarkan umatnya agar saling mendoakan supaya mendapatkan
berkah dan kebaikan dari Allah SWT.
13 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Hukum Khutbah dalam Acara Pernikahan

Hadits ke-7
Abdullah Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
mengajari kami khutbah untuk suatu hajat, “Sesungguhnya segala puji bagi Allah,
kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami
berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah
Allah, tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak
ada yang kuasa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya”, dan beliau
membaca tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut
Tirmidzi dan Hakim.

Isnad
Hadits tersebut datang dari jalur Abu Ishaq As-Sabi’i dari Abu Ubaidah dari Abdullah
bin Mas’ud. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasai dari jalur Al-A’masy dari Abu
Ishaq dar Abu Al-Ahwash dari Abdullah. Di dalamnya terdapat dua musykilah:

Pertama, perbedaan riwayat. Abu Ishaq meriwayatkannya dari Abu Ubaidah dari
Abdullah dan dari Abu Al-Ahwash dari Abdullah. Bagaimana ini?

Kedua, di dalam kedua isnad tersebut terdapat kelemahan. Abu Ubaidah adalah putra
Abdullah Ibnu Mas’ud. Dia tidak pernah mendengar dari ayahnya. Al-A’masy adalah
tsiqoh mudallis dan tidak menyatakan mendengar secara terus terang.

Jawaban dari musykilah pertama adalah bahwa kedua jalur tersebut shahih dari dua
sisi. Imam Tirmidzi berkata, “Kedua hadits tersebut shahih, karena Israil
menggabungkannya lalu berkata: dari Abu Ishaq dari Abu Al-Ahwash dan Abu
Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.”

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Ini yang menjadi sandaran (dalil) para ulama bahwa
riwayat orang yang sendirian dengan sanadnya adalah shahih, jika hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh orang banyak (jamaah).”

Diperkuat lagi bahwa Abu Ishaq adalah orang yang memiliki wawasan luas mengenai
hadits.

Adapun jawaban terhadap kelemahan dalam kedua sanad tersebut adalah bahwa
kelemahan tersebut sangat ringan, dan satu sama lain saling menguatkan. Maka
derajatnya naik menjadi hasan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Tirmidzi.
Ditambah lagi bahwa hadits tersebut juga diriwyatkan oleh Abu Daud dan Thabrani
dalam Al-Kabir dari jalur Abu Iyadh dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Abu Iyadh
adalah majhul, tapi riwayatnya sah sebagai mutaba’at.

Kesimpulannya bahwa hadits tersebut memiliki ‘illah yang tidak parah.


14 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Mufrodat

Tasyahhud, maksudnya khutbah. Disebut demikian karena khutbah mencakup


tasyahhud. Dan tasyahhud termasuk inti khutbah.

Hajat, artinya kebutuhan, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia. Beberapa
literatur menyebutkan bahwa hajat yang dimaksud dalam hadits ini adalah
pernikahan. Sebagian ulama ada yang tetap menganggap bahwa hajat di sini bersifat
umum dan mencakup seluruh hajat manusia, tidak hanya pernikahan saja.

Tiga ayat. Yang dimaksud tiga ayat sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tirmidzi
dan Nasa’i adalah sebagai berikut:

1. An-Nisa 1:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

2. Ali Imran 102:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa


kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.

3. Al-Ahzab 70-71:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Hukum

Hadits tersebut menunjukkan disunnahkannya khutbah dalam acara hajatan. Para


ulama bersepakat mengenai hal ini.

Ibnu Qudamah berkata, “Khutbah tidaklah wajib menurut salah seorang ulama yang
kami ketahui20, kecuali Daud (Azh-Zhahiri), beliau mewajibkannya berdasarkan apa
yang telah kami sebutkan,” maksudnya hadits Ibnu Mas’ud di atas.

Akan tetapi pendapat Daud tertolak berdasarkan hadits lain yang menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengesahkan beberapa akad tanpa

20
Al-Mughni 6/536, Ibn Abidin 2/359, Minahul Jalil 2/5, Ad-Dasuqi 2/216, Mughnil Muhtaj 3/137-
138.
15 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

menyertainya dengan khutbah. Di antaranya adalah hadits wahibah (wanita yang


menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam). Beliau
bersabda kepada lelaki yang hendak menikahinya, “Aku nikahkan kamu dengan dia
dengan (mahar) hafalan Quranmu,” tanpa berkhutbah apapun. Dan kejadian semacam
ini sangatlah banyak, tak perlu disebutkan satu-persatu di sini.

Kemudia kata “hajat” (kebutuhan) dalam hadits di atas secara umum memang
mencakup seluruh hajat. Akan tetapi para ulama menafsirkan kata itu dengan
“pernikahan”.

Hadits-hadits yang menyebutkan tentang khutbah sangatlah beragam redaksinya.


Secara keseluruhan menunjukkan disunnahkannya membaca hamdalah, dua syahadat,
dan beberapa ayat Al-Quran21.

Sebagian orang mengira bahwa khutbah Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas bersifat
wajib dalam setiap pembukaan kitab atau surat. Dalam hal ini, mereka terkecoh
dengan kata “hajat”.

Pendapat ini tentu saja tidak benar, dengan bukti sebagai berikut:

Pertama, surat-surat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang beliau kirim


kepada para raja (Kaisar, Kisra, dll) tidak tercantum di dalamnya khutbah semacam
ini. Beliau hanya menulis basmalah saja.

Kedua, surat-surat yang dikirm oleh Khulafaurrasyidin juga tidak tercantum di


dalamnya khutbah.

Ketiga, kitab-kitab karangan para ulama, baik dari kalangan ahli hadits maupun ahli
fikih, juga tidak menyebutkan khutbah ini dalam pembukaannya. Mereka hanya
menyebutkan basmalah, hamdalah dan shalawat, tanpa tasyahhud (dua kalimat
syahadat) dan tanpa ayat-ayat. Sebagian ulama memang menyebutkan tasyahhud,
akan tetapi tidak ada khutbah Ibnu Mas’ud, kecuali hanya dalam kitab Musykilul
Aastsaar milik Ath-Thohawi dan beberapa kitab milik Ibnu Taymiyah. Wallahu a’lam
bis showab.

21
Keterangan lebih lanjut silahkan baca artikel berjudul “Khutbah Hajat Bukan Sunnah dalam
Pembukaan Kitab dan Karangan” karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (majalah As-Sunnah was
Siroh vol. 11, diterbitkan secara khusus oleh Dar Al-Basyair).
16 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Melihat Calon Pasangan

Hadits ke-8
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila salah
seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya
yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." Riwayat Ahmad dan Abu
Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-9
Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa'i dari al-Mughirah.

Hadits ke-10
Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu
Maslamah.

Hadits ke-11
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah
engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi dan lihatlah
dia."

Isnad
Hadits Jabir di atas dishahihkan oleh Hakim sesuai standar Imam Muslim, dan
diamini oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi dikritik dari sisi perowi bernama Waqid bin
Abdirrahman, dengan alasan bahwa perowi tersebut tidak diketahui (laa yu’rafu).

Jawabnya: Waqid bin Amr, sebagaimana disebutkan dari dua jalur lain pada riwayat
Ahmad dan Hakim, adalah seorang tsiqoh. Al-Hafizh berkomentar, “Demikianah dia
menurut Imam Syafii dan Abdur Razzak.”

Kedua, terdapat perowi bernama Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Imam Al-
Maghazi), dia seorang shaduuq (jujur) tapi mudallis. Sedangkan dalam riwayat
tersebut dia mengunakan kata ‘an (dari), dan tidak menerangkan bahwa ia
‘mendengar’.

Jawabnya: hadits tersebut dikuatkan oleh syawahid lainnya. Bahkan sebagiannya


diriwayatkan oleh Imam Muslim. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath pun
menyatakan bahwa hadits tersebut hasan.
17 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Adapun hadits Mughirah bin Syu’bah, Imam Tirmidzi meng-hasankannya.


Redaksinya seperti ini: Ia (Mughirah) mengkhitbah seorang wanita, lalu Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Lihatah ia, karena yang demikian itu lebih
dapat melanggengkan hubungan kalian berdua.”

Adapun hadits Muhammad bin Maslamah, di dalamnya terdapat Al-Hajjaj bin


Arthaah, seorang dhaif mudallis. Seluruh jalurnya tak ada yang selamat dari kritik.
Al-Baihaqi berkomentar, “Isnadnya diperselisihkan. Sumbernya adalah Al-Hajjaj bin
Arthaah.”

Akan tetapi hadits itu memiliki penguat dari syawahid. Bahkan perowi dari kalangan
Sahabat mencapai enam orang.

Hukum

Sejumlah hadits di atas secara jelas menunjukkan perintah kepada orang yang
mengkhitbah, atau yang hendak mengkhitbah, untuk melihat calon pasangan yang
hendak dikhitbah.

Para ulama bersepakat mengenai disunnahkannya nazhor (melihat calon pasangan)


sebelum akad. Alasannya adalah, bahwa perintah tersebut terjadi pada hal-hal yang
secara asal dilarang (yaitu melihat bukan mahrom), maka hukum tersebut kembali
pada asalnya, yaitu boleh. Akan tetapi berdasarkan hadits Mughirah di atas, yaitu
sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Lihatlah ia, karena hal yang
demikian itu lebih dapat melanggengkan hubungan kalian berdua,” maksudnya lebih
dapat menjadikan kalian berdua bersepakat, maka hadits tersebut menunjukkan
istihbab (sunnah).

Hadits tersebut tidak menyebutkan batasan-batasan dalam nazhor. Mayoritas ulama


berpendapat bahwa diperbolehkannya nazhor hanya sebatas pada wajah dan dua
telapak tangan saja. Bahkan Ulama Hanabilah membatasi hanya pada wajah saja.
Wajah adalah tempat berkumpulnya kecantikan. Sedangkan dua telapak tangan
menunjukkan gemuk atau kurusnya badan. Karena pada dasarnya melihat bukan
mahrom adalah dilarang kecuali hanya sesuai kebutuhan (hajat), maka kebolehan ini
dibatasi oleh hajat tersebut. Maka selain itu hukumnya tetap haram. Wallahu a’lam
bis shawab.
18 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Larangan Melamar Lamaran Orang Lain

Hadits ke-12
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang
dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya."
Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hukum
Hadits di atas menunjukkan keharaman meminang (khitbah) pinangan orang lain,
yaitu seorang lelaki meminang seorang wanita dan diterima oleh wanita itu, atau
diterima wali yang telah diizinkan oleh wanita itu untuk menikahkannya, kemudian
datang lelaki lain meminang wanita tersebut. Seperti ini hukumnya haram. Begitu
juga jika di antara kedua belah pihak telah terjadi kerukunan (saling suka), atau yang
dalam adat kita sering disebut ‘kesepakatan awal’. Adapun jika masih berupa
permintaan, dan belum ada persetujuan maka tidaklah mengapa.

Hukum ini disepakati oleh para ulama. Bahkan Imam Nawawi menyatakan bahwa
hukum ini mencapai derajat ijma’.

Hikmah diharamkannya khitbah di atas khitbah orang lain adalah demi menjaga
ukhuwah dan rasa saling mencintai antar sesama muslim dalam sebuah masyarakat.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah halal
seorang muslim membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaranya. Dan tidak halal
pula seorang muslim mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya,
kecuali jika ia membiarkannya (mengizinkannya).” (HR. Muslim)

Kemudian, kata “saudaranya” dalam hadits di atas menunjukkan kebolehan seorang


muslim meminang wanita Ahli Kitab yang telah dipinang oleh seorang laki-laki
dzimmi, karena orang kafir tidak termasuk kategori “saudaranya”. Maka tidak ada
ukhuwah di antara seorang muslim dan kafir.

Akan tetapi mayoritas ulama, di antaranya Malikiyah dan Syafiiyah, tetap


mengharamkan hal semacam itu, karena dapat menyakiti pihak pertama (yaitu
dzimmi). Mereka menjawab pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa kata
“saudaranya” di sini tidak menunjukkan syarat, tapi kebiasaan, yaitu biasanya seorang
muslim mengkhitbah seorang muslimah juga, jadi tidak ada pensyaratan dalam hadits
ini.

Sabda beliau, “hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya”


menunjukkan dilepaskannya hak pihak pertama yang telah melamar wanita tersebut
sehingga pihak kedua boleh melamarnya. Wallahu a’lamu bis shawab.
19 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Hadits Wahibah (Seorang Wanita yang Menyerahkan Diri)

Hadits ke-13
Sahal Ibnu Sa'ad al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang wanita menemui
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang
untuk menghibahkan diriku pada baginda.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam memandangnya dengan penuh perhatian dari atas hingga bawah, kemudian
beliau menundukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak
menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata:
"Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku
dengannya.” Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab:
“Demi Allah tidak, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu
lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu?"

Ia pergi, kemudian kembali dan berkata: “Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai
sesuatu.” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Carilah, walaupun
hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: “Demi
Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini
kainku.”

Sahal berkata: “Ia mempunyai selendang yang setengah untuknya (perempuan itu).”
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan
dengan kainmu? Jika engkau memakainya, ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan
jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk.

Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam


melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang,
beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: “Aku
hafal surat ini dan itu.” Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar
kepala?" Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu
padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki."

Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam riwayat lain: Beliau bersabda
padanya: "Berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur'an."
Menurut riwayat Bukhari: "Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur'an
yang telah engkau hafal."

Hadits ke-14
Menurut riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu beliau bersabda:
"Surat apa yang engkau hafal?". Ia menjawab: “Surat al-Baqarah dan sesudahnya.”
Beliau bersabda: "Berdirilah dan ajarkanlah ia dua puluh ayat."22

22
Bukhari bab “Menikahkan Orang yang Kesulitan” 7/6-7, Muslim bab “Mahar dan Bolehnya Berupa
Mengajarkan Al-Quran” 4/143-144, Bukhari bab “Seorang Wanita Menawarkan Dirinya Sendiri
Kepada Lelaki Shalih” 7/13, Abu Daud bab “Menikahkan Dengan Amal Diamalkan” 2/236 dari hadits
Sahl dan Abu Hurairah, Tirmidzi bab “Mahar Wanita” 3/421, Nasai 6/113, Musnad 5/330, 336.
20 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Studi Matan

“Ada seorang wanita menemui…” dalam kebanyakan riwayat begitulah redaksinya.


Dalam riwayat lain, “Berdirilah seorang wanita”, maksudnya ia datang lalu berdiri di
antara para jamaah, bukan pada asalnya duduk lalu berdiri.

“Rasulullah memandangnya dengan penuh perhatian dari atas hingga bawah,”.


Maksudnya memperhatikan wanita tersebut dengan seksama dari bagian atas hingga
bagian bawah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi. Dalam kitab Al-Mufhim,
Imam Qurthubi mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
memandang wanita tersebut berulang-ulang.

“…kemudian beliau menundukkan kepalanya…”, dalam riwayat lain, “beliau tidak


menjawabnya dengan sesuatu apapun”.

Hukum
Dalam hadits Wahibah di atas terdapat hukum-hukum dan faedah-faedah yang sangat
banyak. Imam Bukhari dalam Shahihnya membagi hadits tersebut dalam sub judul
(tarjamah) yang bermacam-macam. Berikut ini di antaranya:

1. Kitab Wakalah (perwakilan), bab Seorang Wanita Mewakilkan Imam Dalam


Pernikahan.
2. Kitab Keutamaan Al-Quran, bab “Sebaik-baik kalian adalah orang yang
mempelajari dan mengajarkan Al-Quran.” Imam Bukhari memasukkan hadits
ini dalam bab tersebut dikarenakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
menikahkan wanita tersebut dengan kemuliaan Al-Quran. Sisi lain, keutamaan
Al-Quran tampak pada diri seseorang di dunia, sehingga dapat menggantikan
posisi harta saat diperlukan. Sedangkan keutamaannya di akhirat tidak perlu
diragukan lagi.
3. Bab Menghafal di Luar Kepala. Ibnu Hajar berkata, “Hal itu tampak pada
sabda beliau: “Apakah kau akan mengajarinya dari hafalanmu?”. Ia
menjawab: ya. Hal itu menunjukkan keutamaan membaca Al-Quran dari
hafalan di luar kepala, karena hal itu lebih memungkinkannya dalam
mengajar.
4. Kitab Nikah, bab Menikahkan Orang yang Kesulitan Sedangkan Ia Memiliki
Al-Quran dan Islam. Ibnu Hajar berkata, “Judul tersebut diambil dari sabda
beliau: “Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi”. Kemudian lelaki
itu mencari namun tidak mendapatkannya. Kendatipun demikian, beliau tetap
menikahkannya.”
5. Bab Seorang Wanita Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Ibnu Hajar
berkata, “Di antara keunikan Imam Bukhari adalah ketika mengetahui
kekhususan hadits wahibah ini, beliau mengambil hukum dari sesuatu yang
tidak ada kekhususannya, yaitu bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya
sendiri kepada seorang lelaki shalih karena mencintai kesalihannya. Hal itu
diperbolehkan.
6. Bab Melihat Wanita Sebelum Menikah.
7. Bab Jika Wali Nikah Adalah Pelamar Itu Sendiri. Maksudnya apakah ia boleh
menikahkan dirinya sendiri ataukah membutuhkan wali lain.
21 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

8. Bab Penguasa Adalah Wali.


9. Bab Jika seorang pelamar berkata kepada walinya: “Nikahkan saya dengan si
dia”, kemudian wali menjawab: “Saya nikahkan kamu dengan dia dengan
mahar sekian dan sekian”, maka pernikahan sah, meskipun si pelamar belum
menjawab, “Saya terima atau saya rela.” Imam Bukhari mengambil
kesimpulan demikian berdasarkan hadits wahibah di atas. Tidak ada riwayat
yang menunjukkan bahwa lelaki tersebut menjawab, “Saya terima.”
Bangkitnya lelaki tersebut untuk mencari cincin dari besi adalah bukti
penerimaannya.
10. Bab Menikahkan Dengan Al-Quran dan Tanpa Mahar.
11. Kitab Pakaian, bab Cincin dari Besi. Beliau (Imam Bukhari) mengambil
kesimpulan bahwa memakai cincin dari besi adalah diperbolehkan. Meskipun
kesimpulan demikian kurang tepat, karena mencari tidak sama dengan
memakai. Boleh mencari belum tentu boleh memakainya.
12. Kitab Tauhid, Bab “Katakanlah siapakah yang lebih besar kesaksiannya?”

Penjelasan

1. Hukum Menikah Tanpa Mahar

Kata wanita tersebut, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku
pada baginda,” menunjukkan bolehnya menyerahkan urusan pernikahan kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Seolah-olah wanita tersebut mengatakan,
“Saya menikahi anda tanpa imbalan.”

Hukum ini khusus bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja. Dalilnya firman
Allah, “…dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau
Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50). Hal ini menjadi ijma’ para ulama.

Adapun menghibahkan nikah kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,


maka ada dua macam:

Pertama, bermaksud menghibahkan secara hakiki, yaitu menikah tanpa mahar. Maka
nikah semacam ini dianggap bathil (tidak sah), karena hal itu menjadi kekhususan
bagi Nabi saja.

Kedua, bermaksud memberikan (hak menikmati) tubuhnya dengan tetap membayar


mahar. Di sini terdapat perbedaan pendapat:

Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan nikah semacam ini, karena


kekhususan hanya terletak pada pernikahan tanpa mahar, sedangkan di sini masih ada
mahar.

Syafiiyah menganggap pernikahan semacam ini juga bathil karena kata hibah berarti
tanpa mahar meskipun diucapkan dengan mahar.

Kesimpulannya, perbedaan pendapat ini kembali pada akar permasalahan di kalangan


para fuqoha, yaitu mengenai lafal (redaksi) akad pernikahan.
22 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

2. Jenis Mahar

Sabda beliau, “Apakah engkau mempunyai sesuatu?” dan “Carilah, walaupun hanya
sebuah cincin dari besi.” Secara zhahir menunjukkan bahwa benda apapun boleh
dijadikan mahar, meskipun nilainya sangat rendah.

Ibnu Hazm berkata, “Mahar boleh berupa apapun selama bisa dinamakan ‘sesuatu’,
walaupun hanya sebutir gandum, berdasarkan sabda beliau: Apakah engkau memiliki
sesuatu?”

Pendapat ini ditentang oleh para ulama karena dinilai terlalu berlebihan dalam
mengecilkan nilai mahar. Mereka berhujjah dengan firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, “(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini,” (QS. An-Nisa:
24), dan hadits, “Dan barangsiapa belum mampu (menikah), hendaklah ia berpuasa.”

Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa benda yang boleh dijadikan mahar adalah setiap
sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau disewakan, selainnya tidak boleh.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, benda yang boleh dijadikan
mahar tidak boleh kurang dari nishab potong tangan dalam masalah pencurian23, yaitu
sepuluh Dirham menurut Hanafiyah atau seperempat Dinar menurut Malikiyah.
Alasannya adalah Al-Quran menegaskan bahwa farj (kemaluan wanita) tidak
dihalalkan kecuali dengan imbalan harta yang diperhitungkan, sesuai firman Allah,
“(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini.” (QS. An-Nisa: 24),
sedangkan jumlah nominal terendah yang diperhitungkan adalah nishab potong
tangan dalam masalah pencurian. Itulah pendapat yang diambil oleh kedua mazhab
tersebut.

Adapun mengenai hadits di atas, mereka mengatakan bahwa apa yang diminta oleh
Rasulullah tersebut bukanlah mahar, melainkan ‘uang muka’, sehingga kewajiban
membayar mahar semisal masih tetap dibebankan kepada si suami setelah itu.

Masalah ini adalah masalah khilafiyah yang bisa dirujuk kembali dalam kitab-kitab
turats24.

3. Shighat Akad Nikah

Sabda beliau di akhir hadits, “Aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan
Qur'an yang engkau miliki,” menunjukkan sahnya akad nikah dengan shighat tamlik
(lafal pemberian), baik itu berupa kata menikah, kawin atau sejenisnya. Ini adalah
pendapat yang diambil oleh ulama Hanafiyah. Mereka membolehkan shighat akad
nikah dengan lafal hibah, sedekah atau lafal-lafal lainnya yang menunjukkan
berpindahnya kepemilikan suatu benda secara utuh dari satu orang ke orang lain25.

Sedangkan ulama Syafiiyah, Hanabilah dan Malikiyah menganggap tidak sah


pernikahan yang diucapkan dengan selain lafal nikah, kawin atau turunan katanya

23
Nishab potong tangan adalah nilai minimal yang diberlakukan dalam masalah pencurian sehingga
setiap pencuri yang mencapai nilai tersebut wajib dipotong tangannya.
24
Lihat Al-Mufhim 4/129-130, An-Nawawi 9/213, Fathul Bari 9/165, Nailul Authar 6/171-172.
25
Fathul Qadir dan Al-Hidayah 2/221, Az-Zaila’i ‘alal kanz 2/96-97, Ibn ‘Abidin 2/368.
23 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

saja. Jika diucapkan dengan kedua lafal tersebut maka pernikahan dianggap sah,
meskipun tanpa menyebutkan mahar, karena mahar adalah kewajiban yang harus
dibayar meskipun tidak disebutkan26.

Pendapat tersebut disandarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam


pada khutbah wada’, “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita,
karena kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah, dan kalian
menghalalkan kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” Yang dimaksud
kalimat Allah adalah pernikahan (an-nikah) atau perkawinan (az-zawaj), karena hanya
kedua kata itu yang disebutkan dalam Al-Quran, selain itu tidak ada, maka wajib
dibatasi sebagai langkah kehati-hatian dalam ibadah.

Adapun berkenaan dengan lafal hadits yang berbunyi, “Aku serahkan wanita itu
untukmu,” mereka mengatakan bahwa hadits itu diriwayatkan secara makna saja,
tidak letterlik, karena mayoritas riwayat yang lain berbunyi, “Aku nikahkan kamu
dengan wanita itu,” atau “Aku kawinkan kamu dengan wanita itu,” padahal
kejadiannya hanya sekali saja 27.

4. Hukum Memakai Cincin

Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Carilah walaupun


hanya sepotong cincin dari besi,” Imam Nawawi berkesimpulan bahwa memakai
cincin dari besi adalah diperbolehkan bagi laki-laki. Inilah pendapat ulama Syafiiyah
yang dianggap rajih oleh Imam Nawawi.

Pendapat lain dalam mazhab Syafiiyah sebagaimana pendapat Malikiyah dan


Hanabilah menyatakan makruhnya memakai cincin dari besi, tembaga atau
kuningan28.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, cincin yang boleh dipakai hanya berasal dari
perak saja. Selainnya tetap haram, seperti emas, batu, besi, kaca dan lain-lain29.

Seluruh ulama mazhab mengambil hukum tersebut berdasarkan hadits dari Abdullah
bin Buraidah dari ayahnya, bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda kepada seseorang yang memakai cincin dari logam kuningan, “Mengapa aku
mencium darimu bau berhala?”. Beliau juga pernah bersabda kepada seseorang yang
memakai cincin dari besi, “Mengapa aku melihat perhiasan penduduk neraka
menempel padamu?”30 (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai)

Akan tetapi terdapat hadits lain yang lebih kuat dari Al-Mu’aiqib, “Dahulu cincin
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berasal dari besi yang dibengkokkan, di
atasnya terdapat perak.”31 (HR. Abu Daud dan Nasai)

26
Ad-Dasuki ala Syarh Al-Kabir 2/221, Minahul Jalil 2/11-12, Mughnil Muhtaj 3/140-141, Al-Mughni
6/533.
27
Syarah Shahih Muslim milik An-Nawawi 9/214, Ihkamul Ahkam 2/198-199.
28
Al-Majmu’ 4/344, Al-Adawi 2/412-413, Al-Mughni 8/323.
29
Ad-Durr 5/314-315.
30
Abu Daud bab “Cincin dari Besi” 4/90, Tirmidzi akhir bab Pakaian 3/248, Nasai bab Perhiasan
8/175.
31
Tahdzib Sunan Abi Daud 6/115, At-Taqrib, Al-Majmu’ 3/344, Syarah Muslim 9/213.
24 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Para ulama lain berkomentar terhadap sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
“Walaupun hanya sepotong cincin dari besi,” bahwa yang dimaksud hadits itu adalah
upaya mengecilkan nilai mahar dan memudahkan orang-orang yang kesulitan secara
ekonomi sehingga si istri tetap bisa memanfaatkan harga cincin tersebut meskipun
sangat rendah, bukan diperbolehkannya memakai cincin32.

Wallahu a’lamu bis showab.

32
Lihat jawaban dan diskusi dalam kitab Ma’alimus Sunan karangan Imam Khattabi 6/115, Hasyiyatul
Adawi 2/413, dan lain-lain.
25 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m

Mengumumkan Pernikahan

Hadits ke-15
Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair meriwayatkan dari ayahnya radhiyallahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Umumkanlah (berita)
pernikahan." (HR Ahmad. Disahihkan oleh Hakim)

Studi Sanad

Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi bernama Abdullah bin Al-Aswad Al-
Qurasyi. Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Ibnu Wahb. Dia ditsiqahkan
oleh Ibnu Hibban.

Akan tetapi, hadits tersebut memiliki penguat dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Umumkanlah pernikahan ini.
Jadikanlah pengumuman itu di masjid-masjid dan pukullah rebana-rebana." (HR
Tirmidzi dihasankan dan Ibnu Majah)

Dan masih ada lagi hadits-hadits lainnya yang menguatkan makna hadits ini.

Kesimpulan Hukum

1. "Umumkanlah pernikahan" secara literal menunjukkan kewajiban


mengumumkan pernikahan. Akan tetapi, jumhur ulama bersepakat bahwa
mengumumkan pernikahan hukumnya sunnah. Namun jika kita tafsirkan
pengumuman di sini dengan kehadiran dua orang saksi, maka hukumnya
wajib.
2. "Jadikanlah pengumuman itu di masjid-masjid", demikianlah jumhur ulama
menyatakan sebagaimana ditegaskan oleh ulama Hanafiyah. Adapun ulama
Malikiyah menganggapnya mubah. Yang terpenting dari semua itu adalah
disyaratkan acara itu terbebas dari kemungkaran, apapun bentuknya.
3. "Dan pukullah rebana-rebana", hal itu menunjukkan mubahnya memukul
rebana dalam acara pernikahan.
4. Hadits di atas menunjukkan bahwa syariat Islam sangat memperhatikan
masalah pesta pernikahan dan pengumumannya, memukul rebana dan
menyanyikan nasyid-nasyid yang tidak mengandung kemaksiatan,
memuliakan kedua pengantin serta memberikan hadiah kepada mereka.

Anda mungkin juga menyukai