Penjelasan Bulughul Maram Kitab Nikah PDF
Penjelasan Bulughul Maram Kitab Nikah PDF
Kitab Nikah
Bab
Hadits ke-1
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara
kalian telah mampu berkeluarga hendaklah ia kawin, karena ia lebih dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu,
hendaklah berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaihi)
Studi Sanad
Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih secara takhrij dan sanad. Secara takhrij,
karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan
secara sanad karena hadits tersebut melewati jalur yang paling valid secara mutlak
(Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman bin Mihran Al A'masy dari Ibrahim An-Nakha'i
dari 'Alqamah bin Qais An-Nakha'i dari Abdullah bin Mas'ud. Silsilah sanad tersebut
dinilai sebagai sanad terbaik, seperti silsilah sanad Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar.
Imam Bukhari dan Nasa'i juga meriwayatkan hadits yang sama dari Al-A'masy
dengan jalur yang berbeda, yaitu dari 'Ammarah bin 'Umair dari Abdurrahman bin
Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi, Al-A'masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits
ini.
Imam Bukhari dan Nasa'i meriwayatkan dari Al-A'masy, dia berkata: 'Ammarah dari
Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama 'Alqamah pernah mendatangi
Abdullah (Ibnu Mas'ud), lalu beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: Dahulu kami adalah para
pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda, "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah
mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, dst".
Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku ('Alqamah) dan
Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin Mas'ud. Beliau (Ibnu Mas'ud) berkata:
"Pada saat itu aku masih seorang pemuda". Lalu beliau menyebutkan hadits itu,
2|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
seolah-olah beliau menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku
menikah.
Ma'syar, artinya sekelompok atau segenap orang yang memiliki sifat tertentu, seperti
segenap pemuda, segenap orang tua, segenap para nabi dan sebagainya.
Ba'ah, secara bahasa berarti jima' (bersenggama) kemudian dipakai untuk menyatakan
akad nikah.
Wija', artinya tameng. Orang yang berpuasa seolah-olah memiliki tameng yang dapat
melindungi dirinya.
Musykilul Hadits
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim1 mengatakan bahwa para ulama
berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba'ah dalam hadits tersebut. Sebagian
ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Ba'ah di sini adalah maknanya secara
bahasa, yaitu jima'. Jadi bunyi hadits tersebut menjadi, "Barangsiapa di antara kalian
telah mampu berjima', hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjima',
hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng
yang menahan serangan".
Jika yang dimaksud Ba'ah adalah jima', maka objek dari hadits tersebut adalah para
pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan jenisnya.
memberikan perhatian yang khusus bagi mereka, yaitu anjuran untuk segera menikah
bagi yang telah mampu.
Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting dalam
pernikahan, yaitu "karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu
memelihara kemaluan". Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat
manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya.
Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata "Aghaddu" dan "Ahshonu"
yang berarti "lebih mampu menundukkan" dan "lebih mampu memelihara" untuk
menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan dan
kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki
kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan
pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat2.
Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum
mampu melaksanakan pernikahan untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa
mampu menahan gejolak syahwat.
Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu.
Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita
bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan
Zhahiriyah3 dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad4.
Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam
Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang telah mampu dalah sunnah,
bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa
(seperti zina, onani, masturbasi, dsb). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib
baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.
2
Ibnu Daqiq Al 'Iid, Ihkam Al Ahkam juz 4 hal. 23
3
Al Muhalla juz 9 hal. 440-441
4
Fathul Bari juz 9 hal. 95
4|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul, "Barangsiapa belum
mampu, hendaklah ia berpuasa". Jika berpuasa disunnahkan, maka menikah pun
demikian, karena puasa adalah sebagai ganti dari menikah5.
Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya sunnah
sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang
berisi anjuran untuk menikah secara mutlak.
Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan
keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan untuk berjima', berdasarkan
hadits "Sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)"
dan juga hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga
semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi yang telah mampu
meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya7.
4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah sosial
agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda, kerena mereka
merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para pemuda di suatu
komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu A'lamu Bishowab.
5
Fathul Bari juz 9 hal. 95; Syarah Nawawi juz 9 hal 173-174.
6
Ibnu Daqiq Al 'Iid, Al Ihkam 2/181; Ibnu Abidin: 2/358; Minahul Jalil: 2/322; Syarbini: 3/125; Al
Mughni: 6/446
7
Lihat At Targhib wat Tarhib juz 3 hal. 34
5|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
Hadits ke-2
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat dan tidur,
berpuasa dan berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa tidak suka dengan
sunnahku, ia tidak termasuk (ummat)ku." Muttafaq Alaihi.
Adapun jalur pertama yaitu Humaid dari Anas, Imam Bukhari meriwayatkannya
sebagai berikut:
Dari jalur Tsabit Al Bunani, Imam Muslim meriwayatkan hadits tersebut dengan
redaksi sebagai berikut:
Beberapa orang dari para sahabat datang ke rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam menanyakan kepada istri beliau tentang amalan beliau yang tersembunyi.
Sebagian di antara mereka mengatakan, "Aku takkan menikahi wanita", sebagian lagi
mengatakan, "Aku takkan memakan daging", sebagian lagi mengatakan, "Aku takkan
tidur di atas kasur".
Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertahmid dan memuji Allah, lalu
bersabda, "Ada apa dengan orang-orang yang mengatakan demikian dan demikian?
Padahal aku sholat dan tidur, berpuasa dan berbuka, dan menikahi wanita.
Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk di antara ummatku".
Terdapat sedikit perbedaan dalam kedua riwayat di atas yang seolah-olah tampak
bertentangan. Meninggalkan makan daging tentu saja berbeda dengan berpuasa secara
terus-menerus. Begitu juga menghabiskan seluruh malam untuk shalat berbeda
6|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
dengan meninggalkan tidur di atas kasur. Namun kejadian sebenarnya adalah terjadi
lebih dari sekali, dan orang-orang yang bertanya lebih dari tiga orang sebagaimana
akan kita bahas di depan8.
Dalam riwayat Abdur Razzaq disebutkan secara mursal oleh Sa'id bin Musayyab
bahwa ketiga orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash dan
Utsman bin Mazh'un. Disebutkan juga dalam riwayat lain nama-nama sahabat yang
mendatangi beliau selain mereka bertiga. Akan tetapi riwayat-riwayat tersebut tidak
dapat dijadikan sandaran.
Kedua, dalam riwayat Muslim disebutkan: "Maka beliau bertahmid dan memuji
Allah, lalu bersabda: Ada apa dengan orang-orang yang berkata demikian dan
demikian?". Dari sini terdapat dugaan bahwa sabda beliau tersebut disampaikan
dalam khutbah Jum'at. Padahal dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan bahwa
perkataan tersebut disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan dalam
pembicaraan khusus.
Jawabnya adalah bahwasannya peristiwa tersebut terjadi di lebih dari satu tempat dan
satu waktu. Beliau menyampaikan hadits itu secara umum dalam khutbah Jum'at dan
di waktu lain secara khusus. Oleh karena itu, dalam riwayat khutbah Jum'at,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak menyebutkan nama-nama mereka
secara langsung demi menjaga nama baik mereka dan sebagai bentuk kasih sayang
beliau kepada mereka.
Ketiga, sabda beliau "Barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak
termasuk (ummat)ku". Kalimat ini seolah-olah memberikan pemahaman tentang
hukuman yang sangat berat melebihi akal sehat. Jawabnya, apabila ketidaksukaan itu
muncul disebabkan oleh takwil yang keliru, maka orang tersebut dimaafkan. Jadi
makna kalimat "tidak termasuk (ummat)ku" adalah "tidak mengikuti jalanku". Artinya
ia masih dihukumi sebagai seorang muslim dan tidak keluar dari Islam.
Adapun jika ketidaksukaan itu muncul karena penolakan dan kekukuhan yang
mengakibatkan orang tersebut meyakini bahwa apa yang dilakukannya itu lebih baik
daripada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka dia telah dianggap
8
Fathul Bari juz 9 hal. 82
9
ibid
7|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
telah keluar dari Islam (murtad). Karena keyakinan semacam itu adalah salah satu
bentuk kekufuran10.
Keterangan
Hadits di atas menjelaskan tentang semangat para sahabat dalam melakukan ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sehingga mereka ingin
menanyakan secara langsung perihal ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
kepada istri beliau. Namun ketika diberitahu tentang ibadah beliau, mereka merasa
bahwa amalan tersebut tidaklah berat menurut mereka. Tidak disebutkan secara jelas
bagaimana mereka menyatakan ketidakberatan itu. Namun tampak dari perkatan
mereka "Di mana posisi kita dibandingkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lampau maupun yang akan datang?".
Lalu setiap orang dari mereka bertekad untuk memperkuat ibadah mereka dengan
melakukan amalan-amalan yang berat.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).
(QS. An-Nazi'at: 40-41)
Ibadah bukan saja mewujudkan ungkapan dari rasa takut seseorang kepada Allah,
namun juga merupakan manifestasi rasa syukur terhadap nikmat-nikmat Allah.
Hukum Fikih
1. Hadits tersebut memberikan motivasi bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam untuk menikah. Hadits itu juga menunjukkan bahwa
menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, yaitu jalan ketaatan dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang
benar sesuai syariat.
2. Menikah lebih utama daripada menyendiri untuk beribadah, karena menikah
sendiri merupakan salah satu bentuk ibadah. Ini merupakan pendapat mazhab
Hanafiyah. Adapun menurut Syafi'iyah, menyendiri untuk beribadah lebih
utama daripada menikah. Namun bagaimana pun, menikah merupakan amalan
yang sangat mulia. Bersusah payah dalam mencari nafkah untuk membiayai
keluarga merupakan amalan yang terpuji dan dapat mendatangkan pahala jika
diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Di samping itu, menikah juga
menjadi upaya dalam rangka menghasilkan keturunan shaleh yang akan
membangun peradaban umat.
3. Menyiksa diri dengan beribadah merupakan bid'ah. Islam mengajarkan
keseimbangan dalam beribadah. Memperbanyak tidak sama dengan menyiksa
10
Fathul Bari 9/83
8|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
11
Fathul Bari: 9/91
9|Penjelasan Kitab Bulughul Maram
Hadits ke-3
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang.
Beliau bersabda:
"Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlah kalian yang
banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat."
Hadits ke-4
Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ini juga memiliki
penguat (syahid) menurut Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma'qil
bin Yasar.
Isnad
Dalam sanad hadits Anas di atas terdapat perawi bernama Khalaf bin Khalifah yang
reputasinya hanya dikenal sebagai seorang Shaduq (terpercaya) yang memiliki banyak
kekeliruan (ikhtilath) di akhir hayatnya, sebagaimana disebutkan dalam Musnad. Dan
hadits tersebut diriwayatkan setelah masa (ikhtilath) itu. Akan tetapi hadits tersebut
memiliki penguat, yaitu hadits dari Ma'qil bin Yasar, yang redaksinya agak berbeda
sedikit, "Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan
umat-umat". Ibnu Hibban dan Al-Hakim menilai hadits tersebut shahih, dan Adz
Dzahabi juga menyepakatinya.
Demikian juga hadits Abdullah bin 'Amru bin Al-Ash dalam Musnad12 menjadi
penguat hadits Anas di atas, sehingga hadits tersebut menjadi kuat dan shahih dalam
hal anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan penyayang.
Istilah-istilah Asing
Tabattul, yaitu terus membujang dan menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala tanpa menikah.
Al-Wadud (penyayang), berasal dari kata al-Wudd yang berarti cinta dan kasih
sayang. Wanita yang Wadud berarti wanita yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang
yang sangat besar terhadap suaminya. Hal itu dapat diketahui dari pergaulannya,
pengakuan orang-orang di sekitarnya, kerabatnya, teman-temannya, pendidikannya
dan lingkungan tempat ia tumbuh dan dibesarkan.
Al-Walud (subur), artinya banyak anak. Hal itu dapat diketahui dari kerabat-
kerabatnya jika ia masih seorang gadis, atau dari pengalamannya bersama suaminya
jika ia seorang janda.
12
Musnad Imam Ahmad 2/171-172, redaksinya: “Nikahilah Ummahat al-Aulaad, sesungguhnya aku
berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari Kiamat”
10 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Istinbath
Hadits di atas berisi anjuran untuk menikahi wanita yang subur dan penyayang. Subur
dimaksudkan agar dapat melahirkan anak yang banyak. Sedangkan penyayang
merupakan sifat mulia yang melekat pada diri wanita shalihah. Hadits tersebut juga
menunjukkan keutamaan memiliki anak shaleh yang banyak. Pada zaman dahulu,
masyarakat Arab merasa bangga jika memiliki banyak anak. Dalam Islam, kebiasaan
tersebut didukung dengan anjuran memiliki anak yang banyak dan shaleh
sebagaimana dalam hadits lain yang berbunyi, "Jika seseorang mati, maka
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara", di antaranya adalah anak shaleh.
Hadits ke-5
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Tujuh kecuali Tirmidzi.
Istinbath
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya menikahi wanita karena orientasi apapun, baik
itu yang bersifat duniawi maupun ukhrowi, karena redaksi hadits tersebut merupakan
bentuk ikhbar (pemberitahuan) sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurtubhi13.
Artinya, keempat faktor itulah yang menjadi motivasi utama dinikahinya wanita. Jadi,
hadits tersebut berbicara realita. Akan tetapi di situ terdapat sebuah himbauan bagi
para pria agar lebih mengutamakan faktor agamanya. Hadits di atas menjadi panduan
bagi para pria dalam memilih calon pendamping hidupnya. Di mana seorang laki-laki
tidak seharusnya menjatuhkan pilihannya dikarenakan faktor duniawi semata,
melainkan perlu dipertimbangkan juga faktor komitmen agamanya. Bahkan itulah
yang harus diprioritaskan sebagaimana ditegaskan dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Janganlah kalian menikahi wanita karena
kecantikannya, karena boleh jadi kecantikannya akan mencelakakannya. Jangan pula
karena hartanya, karena boleh jadi hartanya akan menjadikannya melampaui batas.
Akan tetapi, nikahilah mereka karena agamanya. Sungguh, seorang budak wanita
yang telinganya sobek (maksudnya buruk rupa) yang memiliki (komitmen) agama itu
yang lebih utama”14.
Hadits tersebut juga berisi anjuran agar mencari pasangan yang berasal dari keturunan
yang baik. Namun jika faktor keturunan bertentangan dengan faktor agama, maka
yang harus diutamakan adalah faktor agama. Begitu juga dengan faktor-faktor
lainnya, jika bertentangan satu sama lain, maka yang harus didahulukan adalah faktor
agamanya.
13
Fathul Bari 9/116
14
Tazwij Dzat Ad-Diin (Menikahkan para wanita yang memiliki komitmen agama) 1/597
11 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Hadits ke-6
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau bersabda: Baarakallahu laka wa
baaraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khoirin, "Semoga Allah memberkahimu dan
menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban15.
Isnad
Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini shahih menurut standar Imam Muslim dan belum
diriwayatkan oleh beliau”. Imam Adz-Dzahabi juga menyepakatinya. Akan tetapi
hadits ini melewati jalur Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi dari Suhail bin
Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Status Abdul Aziz dan Suhail masih
diperbincangkan16.
Akan tetapi hadits tersebut memiliki syahid (penguat) berupa hadits dari Uqail bin
Abi Thalib, ia berkata: ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh Rasulullah SAW,
“Baarakallahu fikum wa baaraka ‘alaikum” (HR. Ahmad An-Nasa’I dan Ibnu Majah,
para perawinya tsiqot17).
Begitu juga dengan hadits Anas bahwasannya Abdurrahman bin Auf ketika berkata
kepada Nabi SAW, “Saya telah menikah”, beliau menjawab, “Baarakallahu laka,
adakanlah pesta walimah mekipun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan
Muslim18).
Istinbath
Hadits tersebut berisi anjuran untuk memberikan ucapan Tarfiyah bagi orang yang
telah menikah, yaitu doa agar mendapatkan barokah dan kebaikan, sebagaimana
ditetapkan oleh para Fuqoha19.
Pada awalnya, dahulu orang-orang zaman Jahiliyah menggunakan ungkapan ini untuk
mendoakan pasangan suami-istri agar mendapatkan keharmonisan dalam rumah
tangga dan mendapatkan anak laki-laki. Mereka biasa mengucapkan “Bir rifai wal
banin” (semoga mendapatkan keharmonisan dan anak laki-laki). Hingga akhirnya
15
Musnad 2/381; Abu Daud “Maa Yuqool Lil Mutajawwij” 2/241; At-Tirmidzi 3/400 no. 1091; An-
Nasa’I dalam Sunan Kubro 6/73 no. 10089; Ibnu Majah dari jalur Ibnu Khuzaimah “Tahniatun Nikah”
1/614 no. 1905; Sunan Sa’id bin Manshur 1/147; Ibnu Hibban dari jalur Ibnu Khuzaimah 9/359 dengan
urutan Ibnu Balban; Al-Mustadrak 2/183
16
Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi di-tsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan Al-‘Aljli. Menurut Abu
Zur’ah, “Buruk hafalannya”. An-Nasai berkomentar: “Tidak kuat”. (At-Tahdzib 6/353)
17
Musnad 1/201; An-Nasai “Kaifa Yud’a lil Mutazawwij” 6/128 no. 3371; Ibnu Majah pada tempat
yang sama dengan sebelumnya dengan lafadz: Allahumma baarik lahum wa baarik ‘alaihim; lihat
penjelasan selengkapnya mengenai sanad hadits dalam Fathul Bari 9/186-187 Bab Kaifa Yud’a lil
Mutazawwij.
18
Bukhari “Kaifa Yud’a lil Mutazawwij” 7/21; Muslim “Ash-Shadaaq…” 4/144.
19
Ad-Dasuqi ‘Ala Syarhil Kabir 2/216; Minahul Jalil 2/6; Al-Mughni 6/539; Syarh Syir’atil Islam
karangan Sayyid Ali Zaad 448; Al-Muhadzab 2/41.
12 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
ungkapan ini dikenal dengan istilah Tarfiyah, yaitu doa untuk orang yang telah
menikah.
Dalam salah satu riwayat yang terdapat dalam Musnad disebutkan bahwa Aqil bin
Abi Thalib menikah. Ketika ia keluar, kami mengucapkan “Bir Rifai wal banin”. Lalu
ia berkata, “Jangan ucapkan itu karena Rasulullah SAW pernah melarang kami
mengucapkannya. Tapi ucapkanlah: Baarakallahu fiika wa baaraka laka fiiha”.
Semua itu menjadi dalil terhapusnya ucapan-ucapan Tarfiyah pada zaman Jahiliyah
yang mengkhususkan doa hanya untuk anak laki-laki saja dan diganti dengan doa
Tarfiyah Islam.
Hikmah dari doa Tarfiyah dalam Islam adalah sebagai pengingat bagi pasangan
suami-istri bahwasannya pernikahan merupakan pintu gerbang menuju babak
kehidupan baru yang penuh lika-liku dan aral melintang. Oleh karena itu, mereka
membutuhkan doa ini agar bahtera rumah tangga yang akan mereka jalani bisa tetap
bertahan dan tidak karam di tengah samudera kehidupan yang sangat luas.
Pernikahan tidak hanya sekedar penyalur kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu,
pernikahan merupakan salah satu sarana dalam menurunkan keberkahan dari langit
dan bumi. Karena kebahagiaan tidak selalu berwujud harta atau materi, namun
kebahagiaan sejati sebenarnya terletak pada keberkahan pernikahan itu sendiri.
Berapa banyak pasangan suami-istri yang hidup serba pas-pasan secara ekonomi,
namun kehidupan mereka terasa begitu indah dan manis. Sebaliknya, berapa banyak
keluarga yang hancur padahal secara materi kehidupan mereka sangat berlimpah.
Itulah Islam yang mengajarkan umatnya agar saling mendoakan supaya mendapatkan
berkah dan kebaikan dari Allah SWT.
13 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Hadits ke-7
Abdullah Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
mengajari kami khutbah untuk suatu hajat, “Sesungguhnya segala puji bagi Allah,
kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami
berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah
Allah, tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak
ada yang kuasa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya”, dan beliau
membaca tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut
Tirmidzi dan Hakim.
Isnad
Hadits tersebut datang dari jalur Abu Ishaq As-Sabi’i dari Abu Ubaidah dari Abdullah
bin Mas’ud. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasai dari jalur Al-A’masy dari Abu
Ishaq dar Abu Al-Ahwash dari Abdullah. Di dalamnya terdapat dua musykilah:
Pertama, perbedaan riwayat. Abu Ishaq meriwayatkannya dari Abu Ubaidah dari
Abdullah dan dari Abu Al-Ahwash dari Abdullah. Bagaimana ini?
Kedua, di dalam kedua isnad tersebut terdapat kelemahan. Abu Ubaidah adalah putra
Abdullah Ibnu Mas’ud. Dia tidak pernah mendengar dari ayahnya. Al-A’masy adalah
tsiqoh mudallis dan tidak menyatakan mendengar secara terus terang.
Jawaban dari musykilah pertama adalah bahwa kedua jalur tersebut shahih dari dua
sisi. Imam Tirmidzi berkata, “Kedua hadits tersebut shahih, karena Israil
menggabungkannya lalu berkata: dari Abu Ishaq dari Abu Al-Ahwash dan Abu
Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Ini yang menjadi sandaran (dalil) para ulama bahwa
riwayat orang yang sendirian dengan sanadnya adalah shahih, jika hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh orang banyak (jamaah).”
Diperkuat lagi bahwa Abu Ishaq adalah orang yang memiliki wawasan luas mengenai
hadits.
Adapun jawaban terhadap kelemahan dalam kedua sanad tersebut adalah bahwa
kelemahan tersebut sangat ringan, dan satu sama lain saling menguatkan. Maka
derajatnya naik menjadi hasan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Tirmidzi.
Ditambah lagi bahwa hadits tersebut juga diriwyatkan oleh Abu Daud dan Thabrani
dalam Al-Kabir dari jalur Abu Iyadh dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Abu Iyadh
adalah majhul, tapi riwayatnya sah sebagai mutaba’at.
Mufrodat
Hajat, artinya kebutuhan, yaitu sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia. Beberapa
literatur menyebutkan bahwa hajat yang dimaksud dalam hadits ini adalah
pernikahan. Sebagian ulama ada yang tetap menganggap bahwa hajat di sini bersifat
umum dan mencakup seluruh hajat manusia, tidak hanya pernikahan saja.
Tiga ayat. Yang dimaksud tiga ayat sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tirmidzi
dan Nasa’i adalah sebagai berikut:
1. An-Nisa 1:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
3. Al-Ahzab 70-71:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Hukum
Ibnu Qudamah berkata, “Khutbah tidaklah wajib menurut salah seorang ulama yang
kami ketahui20, kecuali Daud (Azh-Zhahiri), beliau mewajibkannya berdasarkan apa
yang telah kami sebutkan,” maksudnya hadits Ibnu Mas’ud di atas.
Akan tetapi pendapat Daud tertolak berdasarkan hadits lain yang menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengesahkan beberapa akad tanpa
20
Al-Mughni 6/536, Ibn Abidin 2/359, Minahul Jalil 2/5, Ad-Dasuqi 2/216, Mughnil Muhtaj 3/137-
138.
15 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Kemudia kata “hajat” (kebutuhan) dalam hadits di atas secara umum memang
mencakup seluruh hajat. Akan tetapi para ulama menafsirkan kata itu dengan
“pernikahan”.
Sebagian orang mengira bahwa khutbah Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas bersifat
wajib dalam setiap pembukaan kitab atau surat. Dalam hal ini, mereka terkecoh
dengan kata “hajat”.
Pendapat ini tentu saja tidak benar, dengan bukti sebagai berikut:
Ketiga, kitab-kitab karangan para ulama, baik dari kalangan ahli hadits maupun ahli
fikih, juga tidak menyebutkan khutbah ini dalam pembukaannya. Mereka hanya
menyebutkan basmalah, hamdalah dan shalawat, tanpa tasyahhud (dua kalimat
syahadat) dan tanpa ayat-ayat. Sebagian ulama memang menyebutkan tasyahhud,
akan tetapi tidak ada khutbah Ibnu Mas’ud, kecuali hanya dalam kitab Musykilul
Aastsaar milik Ath-Thohawi dan beberapa kitab milik Ibnu Taymiyah. Wallahu a’lam
bis showab.
21
Keterangan lebih lanjut silahkan baca artikel berjudul “Khutbah Hajat Bukan Sunnah dalam
Pembukaan Kitab dan Karangan” karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (majalah As-Sunnah was
Siroh vol. 11, diterbitkan secara khusus oleh Dar Al-Basyair).
16 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Hadits ke-8
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila salah
seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya
yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan." Riwayat Ahmad dan Abu
Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits ke-9
Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa'i dari al-Mughirah.
Hadits ke-10
Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu
Maslamah.
Hadits ke-11
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: "Apakah
engkau telah melihatnya?" Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: "Pergi dan lihatlah
dia."
Isnad
Hadits Jabir di atas dishahihkan oleh Hakim sesuai standar Imam Muslim, dan
diamini oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi dikritik dari sisi perowi bernama Waqid bin
Abdirrahman, dengan alasan bahwa perowi tersebut tidak diketahui (laa yu’rafu).
Jawabnya: Waqid bin Amr, sebagaimana disebutkan dari dua jalur lain pada riwayat
Ahmad dan Hakim, adalah seorang tsiqoh. Al-Hafizh berkomentar, “Demikianah dia
menurut Imam Syafii dan Abdur Razzak.”
Kedua, terdapat perowi bernama Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Imam Al-
Maghazi), dia seorang shaduuq (jujur) tapi mudallis. Sedangkan dalam riwayat
tersebut dia mengunakan kata ‘an (dari), dan tidak menerangkan bahwa ia
‘mendengar’.
Akan tetapi hadits itu memiliki penguat dari syawahid. Bahkan perowi dari kalangan
Sahabat mencapai enam orang.
Hukum
Sejumlah hadits di atas secara jelas menunjukkan perintah kepada orang yang
mengkhitbah, atau yang hendak mengkhitbah, untuk melihat calon pasangan yang
hendak dikhitbah.
Hadits ke-12
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang
dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya."
Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Hukum
Hadits di atas menunjukkan keharaman meminang (khitbah) pinangan orang lain,
yaitu seorang lelaki meminang seorang wanita dan diterima oleh wanita itu, atau
diterima wali yang telah diizinkan oleh wanita itu untuk menikahkannya, kemudian
datang lelaki lain meminang wanita tersebut. Seperti ini hukumnya haram. Begitu
juga jika di antara kedua belah pihak telah terjadi kerukunan (saling suka), atau yang
dalam adat kita sering disebut ‘kesepakatan awal’. Adapun jika masih berupa
permintaan, dan belum ada persetujuan maka tidaklah mengapa.
Hukum ini disepakati oleh para ulama. Bahkan Imam Nawawi menyatakan bahwa
hukum ini mencapai derajat ijma’.
Hikmah diharamkannya khitbah di atas khitbah orang lain adalah demi menjaga
ukhuwah dan rasa saling mencintai antar sesama muslim dalam sebuah masyarakat.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah halal
seorang muslim membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaranya. Dan tidak halal
pula seorang muslim mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya,
kecuali jika ia membiarkannya (mengizinkannya).” (HR. Muslim)
Hadits ke-13
Sahal Ibnu Sa'ad al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang wanita menemui
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang
untuk menghibahkan diriku pada baginda.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam memandangnya dengan penuh perhatian dari atas hingga bawah, kemudian
beliau menundukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak
menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata:
"Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku
dengannya.” Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab:
“Demi Allah tidak, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu
lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu?"
Ia pergi, kemudian kembali dan berkata: “Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai
sesuatu.” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Carilah, walaupun
hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: “Demi
Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini
kainku.”
Sahal berkata: “Ia mempunyai selendang yang setengah untuknya (perempuan itu).”
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan
dengan kainmu? Jika engkau memakainya, ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan
jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk.
Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam riwayat lain: Beliau bersabda
padanya: "Berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur'an."
Menurut riwayat Bukhari: "Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur'an
yang telah engkau hafal."
Hadits ke-14
Menurut riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu beliau bersabda:
"Surat apa yang engkau hafal?". Ia menjawab: “Surat al-Baqarah dan sesudahnya.”
Beliau bersabda: "Berdirilah dan ajarkanlah ia dua puluh ayat."22
22
Bukhari bab “Menikahkan Orang yang Kesulitan” 7/6-7, Muslim bab “Mahar dan Bolehnya Berupa
Mengajarkan Al-Quran” 4/143-144, Bukhari bab “Seorang Wanita Menawarkan Dirinya Sendiri
Kepada Lelaki Shalih” 7/13, Abu Daud bab “Menikahkan Dengan Amal Diamalkan” 2/236 dari hadits
Sahl dan Abu Hurairah, Tirmidzi bab “Mahar Wanita” 3/421, Nasai 6/113, Musnad 5/330, 336.
20 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Studi Matan
Hukum
Dalam hadits Wahibah di atas terdapat hukum-hukum dan faedah-faedah yang sangat
banyak. Imam Bukhari dalam Shahihnya membagi hadits tersebut dalam sub judul
(tarjamah) yang bermacam-macam. Berikut ini di antaranya:
Penjelasan
Kata wanita tersebut, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku
pada baginda,” menunjukkan bolehnya menyerahkan urusan pernikahan kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Seolah-olah wanita tersebut mengatakan,
“Saya menikahi anda tanpa imbalan.”
Hukum ini khusus bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja. Dalilnya firman
Allah, “…dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau
Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50). Hal ini menjadi ijma’ para ulama.
Pertama, bermaksud menghibahkan secara hakiki, yaitu menikah tanpa mahar. Maka
nikah semacam ini dianggap bathil (tidak sah), karena hal itu menjadi kekhususan
bagi Nabi saja.
Syafiiyah menganggap pernikahan semacam ini juga bathil karena kata hibah berarti
tanpa mahar meskipun diucapkan dengan mahar.
2. Jenis Mahar
Sabda beliau, “Apakah engkau mempunyai sesuatu?” dan “Carilah, walaupun hanya
sebuah cincin dari besi.” Secara zhahir menunjukkan bahwa benda apapun boleh
dijadikan mahar, meskipun nilainya sangat rendah.
Ibnu Hazm berkata, “Mahar boleh berupa apapun selama bisa dinamakan ‘sesuatu’,
walaupun hanya sebutir gandum, berdasarkan sabda beliau: Apakah engkau memiliki
sesuatu?”
Pendapat ini ditentang oleh para ulama karena dinilai terlalu berlebihan dalam
mengecilkan nilai mahar. Mereka berhujjah dengan firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, “(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini,” (QS. An-Nisa:
24), dan hadits, “Dan barangsiapa belum mampu (menikah), hendaklah ia berpuasa.”
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa benda yang boleh dijadikan mahar adalah setiap
sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau disewakan, selainnya tidak boleh.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, benda yang boleh dijadikan
mahar tidak boleh kurang dari nishab potong tangan dalam masalah pencurian23, yaitu
sepuluh Dirham menurut Hanafiyah atau seperempat Dinar menurut Malikiyah.
Alasannya adalah Al-Quran menegaskan bahwa farj (kemaluan wanita) tidak
dihalalkan kecuali dengan imbalan harta yang diperhitungkan, sesuai firman Allah,
“(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini.” (QS. An-Nisa: 24),
sedangkan jumlah nominal terendah yang diperhitungkan adalah nishab potong
tangan dalam masalah pencurian. Itulah pendapat yang diambil oleh kedua mazhab
tersebut.
Adapun mengenai hadits di atas, mereka mengatakan bahwa apa yang diminta oleh
Rasulullah tersebut bukanlah mahar, melainkan ‘uang muka’, sehingga kewajiban
membayar mahar semisal masih tetap dibebankan kepada si suami setelah itu.
Masalah ini adalah masalah khilafiyah yang bisa dirujuk kembali dalam kitab-kitab
turats24.
Sabda beliau di akhir hadits, “Aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan
Qur'an yang engkau miliki,” menunjukkan sahnya akad nikah dengan shighat tamlik
(lafal pemberian), baik itu berupa kata menikah, kawin atau sejenisnya. Ini adalah
pendapat yang diambil oleh ulama Hanafiyah. Mereka membolehkan shighat akad
nikah dengan lafal hibah, sedekah atau lafal-lafal lainnya yang menunjukkan
berpindahnya kepemilikan suatu benda secara utuh dari satu orang ke orang lain25.
23
Nishab potong tangan adalah nilai minimal yang diberlakukan dalam masalah pencurian sehingga
setiap pencuri yang mencapai nilai tersebut wajib dipotong tangannya.
24
Lihat Al-Mufhim 4/129-130, An-Nawawi 9/213, Fathul Bari 9/165, Nailul Authar 6/171-172.
25
Fathul Qadir dan Al-Hidayah 2/221, Az-Zaila’i ‘alal kanz 2/96-97, Ibn ‘Abidin 2/368.
23 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
saja. Jika diucapkan dengan kedua lafal tersebut maka pernikahan dianggap sah,
meskipun tanpa menyebutkan mahar, karena mahar adalah kewajiban yang harus
dibayar meskipun tidak disebutkan26.
Adapun berkenaan dengan lafal hadits yang berbunyi, “Aku serahkan wanita itu
untukmu,” mereka mengatakan bahwa hadits itu diriwayatkan secara makna saja,
tidak letterlik, karena mayoritas riwayat yang lain berbunyi, “Aku nikahkan kamu
dengan wanita itu,” atau “Aku kawinkan kamu dengan wanita itu,” padahal
kejadiannya hanya sekali saja 27.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, cincin yang boleh dipakai hanya berasal dari
perak saja. Selainnya tetap haram, seperti emas, batu, besi, kaca dan lain-lain29.
Seluruh ulama mazhab mengambil hukum tersebut berdasarkan hadits dari Abdullah
bin Buraidah dari ayahnya, bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda kepada seseorang yang memakai cincin dari logam kuningan, “Mengapa aku
mencium darimu bau berhala?”. Beliau juga pernah bersabda kepada seseorang yang
memakai cincin dari besi, “Mengapa aku melihat perhiasan penduduk neraka
menempel padamu?”30 (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai)
Akan tetapi terdapat hadits lain yang lebih kuat dari Al-Mu’aiqib, “Dahulu cincin
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berasal dari besi yang dibengkokkan, di
atasnya terdapat perak.”31 (HR. Abu Daud dan Nasai)
26
Ad-Dasuki ala Syarh Al-Kabir 2/221, Minahul Jalil 2/11-12, Mughnil Muhtaj 3/140-141, Al-Mughni
6/533.
27
Syarah Shahih Muslim milik An-Nawawi 9/214, Ihkamul Ahkam 2/198-199.
28
Al-Majmu’ 4/344, Al-Adawi 2/412-413, Al-Mughni 8/323.
29
Ad-Durr 5/314-315.
30
Abu Daud bab “Cincin dari Besi” 4/90, Tirmidzi akhir bab Pakaian 3/248, Nasai bab Perhiasan
8/175.
31
Tahdzib Sunan Abi Daud 6/115, At-Taqrib, Al-Majmu’ 3/344, Syarah Muslim 9/213.
24 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Para ulama lain berkomentar terhadap sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
“Walaupun hanya sepotong cincin dari besi,” bahwa yang dimaksud hadits itu adalah
upaya mengecilkan nilai mahar dan memudahkan orang-orang yang kesulitan secara
ekonomi sehingga si istri tetap bisa memanfaatkan harga cincin tersebut meskipun
sangat rendah, bukan diperbolehkannya memakai cincin32.
32
Lihat jawaban dan diskusi dalam kitab Ma’alimus Sunan karangan Imam Khattabi 6/115, Hasyiyatul
Adawi 2/413, dan lain-lain.
25 | P e n j e l a s a n K i t a b B u l u g h u l M a r a m
Mengumumkan Pernikahan
Hadits ke-15
Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair meriwayatkan dari ayahnya radhiyallahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Umumkanlah (berita)
pernikahan." (HR Ahmad. Disahihkan oleh Hakim)
Studi Sanad
Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi bernama Abdullah bin Al-Aswad Al-
Qurasyi. Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Ibnu Wahb. Dia ditsiqahkan
oleh Ibnu Hibban.
Akan tetapi, hadits tersebut memiliki penguat dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Umumkanlah pernikahan ini.
Jadikanlah pengumuman itu di masjid-masjid dan pukullah rebana-rebana." (HR
Tirmidzi dihasankan dan Ibnu Majah)
Dan masih ada lagi hadits-hadits lainnya yang menguatkan makna hadits ini.
Kesimpulan Hukum