Anda di halaman 1dari 4

4.1.

Rangkuman Karakteristik Penelitian Kelainan neurologis adalah penyebab


disabilitas tertinggi di dunia, dengan menyumbangkan lebih dari 26% kasus
gangguan aktivitas (GBD 2015 Neurological Disorders Collaborator Group,
2017). Salah satu penyakit yang menjadi penyebab disabilitas tertinggi dalam
kategori tersebut adalah Penyakit Alzheimer dan demensia lainnya yang mengenai
sekitar 46 juta penderita di seluruh dunia (Alzheimer’s Disease International,
2016). Di Indonesia, prevalensi penyakit ini mencapai sekitar 1.033.000 jiwa pada
tahun 2015 dengan prediksi peningkatan lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030
(Alzheimer’s Disease International, 2016). Penyakit Alzheimer cenderung
mengalami peningkatan prevalensi dan insidensi di seluruh dunia yang dikaitkan
dengan peningkatan angka harapan hidup dan layanan kesehatan, termasuk di
Indonesia yang angka harapan hidupnya mencapai 71,06 tahun (Badan Pusat
Statistik, 2018; Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015). Selain itu,
telah terjadi pergeseran paradigma demensia Alzheimer yang awalnya dikaitkan
sebagai penyakit “orang tua”, kini mulai menyasar kelompok usia produktif, yaitu
sekitar 30 tahun dan menjadi penyakit Alzheimer berat pada usia 50-an tahun
(Duthey, 2013). Di sisi lain, penyakit ini menimbulkan kerugian yang sangat besar
bila dikaitkan dengan biaya perawatan yang mencapai 818 milyar US$ di seluruh
dunia maupun aspek produktivitas tenaga kerja yang beralih menjadi tenaga sosial
(total tenaga sebesar 16 juta orang dan total waktu 18 milyar jam, hanya di
Amerika Serikat) (Alzheimer’s Association, 2018a; Alzheimer’s Disease
International, 2016). Penyakit Alzheimer terus menjadi perhatian dalam
pengembangan penelitian karena terapinya hanya bersifat mengobati gejala
(simptomatik), sementara pengobatan penyebab maupun drug modifying
treatment belum tersedia hingga saat ini (Cummings, dkk., 2016). Hal tersebut
berbanding lurus dengan
52

masalah yang dihadapi peneliti, yaitu rendahnya angka keberhasilan percobaan


yang angkanya hanya 0,4% (hanya satu dari 244 percobaan yang berhasil). Angka
tersebut sangat miris karena penyakit kanker pun memiliki tingkat keberhasilan
lebih tinggi, yaitu 19% (Cummings, dkk., 2014). Riset terkait demensia Alzheimer
terus berkembang dan mulai mengarah pada senyawa herbal. Bahan herbal dipilih
karena memiliki berbagai senyawa antioksidan untuk mencegah proses
neuroinflamasi dan aktivitas oksidatif yang terkait proses neurodegeneratif
sebagai jalur patogenesis penyakit Alzheimer. Salah satu bahan alam yang
memiliki potensi untuk mencegah Alzheimer adalah tanaman katuk (Sauropus
androgynus). Daun katuk adalah tanaman yang mudah dijumpai di Indonesia,
umumnya digunakan sebagai sayuran, peningkat dan pelancar produksi Air Susu
Ibu (ASI) adalah sebagai peningkat dan pelancar produksi ASI (Air Susu Ibu),
meredakan batuk (antitusif), pereda demam (antipiretik) serta penyembuh suara
serak (Petrus, 2013). Potensi daun katuk sebagai pencegah demensia Alzheimer
didasari data bahwa tanaman ini memiliki kandungan antioksidan berupa
flavonoid tertinggi dibandingkan 11 tanaman sayur asal Indonesia, yaitu senilai
143 mg/100 g berat segar (Andarwulan, dkk., 2010). Flavonoid utamanya yang
berupa kaempferol dan quercetin memiliki aktivitas neuroprotektif yang dapat
mencegah terjadinya penyakit Alzheimer dengan berbagai mekanisme yang dapat
menghambat terjadinya stres oksidatif. Kaempferol dan quercetin dapat menjadi
scavenger radikal bebas menghambat aktivitas enzim yang meregenerasi Reactive
Oxygen Species (ROS), meningkatkan aktivitas enzim antioksidan serta
melindungi efek neurotoksik dari Aβ-42 sehingga mencegah terjadinya apoptosis
neuron (Costa, dkk., 2016; Darbandi, dkk., 2016; Yang, dkk., 2018). Penelitian ini
akan menguji pengaruh pemberian ekstrak daun katuk terhadap fungsi kognitif
tikus putih wistar model demensia Alzheimer.

4.2. Analisis kelayakan Etik Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pemberian ekstrak daun katuk terhadap fungsi kognitif dan ekspresi β-
amiloid di otak tikus
53

putih wistar model demensia Alzheimer. Manfaat praktis dari penelitian ini untuk
memberikan dasar acuan bagi uji klinis mengenai efektivitas pemberian ekstrak
daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap pencegahan demensia Alzheimer dan
dapat menjadi agen untuk pencegahan kasus demensia Alzheimer bila terbukti
efektivitasnya melalui uji klinis. Hewan tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
digunakan sebagai objek penelitian disebabkan oleh kekerabatan genetik yang
cukup dekat dengan manusia serta memiliki sifat tenang dan mudah untuk
dipegang. Jumlah objek penelitian sebanyak 30 ekor. Tikus jantan diambil secara
homogen yaitu umur 3-4 bulan dengan berat badan 300-400 gram. Hewan ini
diperoleh dari Laboratorium Eureka, Palembang. Tikus jantan yang digunakan
merupakan tikus sehat dan belum belum pernah digunakan pada penelitian
sebelumnya. Makanan diberikan secara teratur, sementara minum diberikan secara
ad libitum, dikondisikan pada lingkungan dan perlakuan yang sama di Animal
House Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tikus ditempatkan pada
kandang beralaskan serbuk kayu berukuran 45x35x20 cm yang ditutup dengan
kawat kasa. Tikus dijauhkan dari kontak langsung dengan sinar matahari, dengan
pengaturan siklus terang-gelap secara bergantian dalam 24 jam dan dikontrol
setiap hari. Suhu ruangan diatur berkisar 22-27°C, sementara kelembaban diatur
pada 50-60%. Semua tikus diambil secara acak dan dibagi menjadi 6 kelompok.
Masingmasing kelompok terdiri dari 5 tikus. Selanjutnya, masing-masing
kelompok diberi perlakuan sebagai berikut: a. Kelompok I (K1) : sebagai
kelompok normal, hanya diberikan CMC 0,5% (w/v) per oral setiap hari b.
Kelompok II (K2) : sebagai kontrol negatif, diberikan CMC 0,5% (w/v) dan
AlCl3 per oral per hari c. Kelompok III (K3) : sebagai kontrol positif, diberikan
vitamin B12 8,5 μg/kgBB dan AlCl3 per oral per hari d. Kelompok IV (K4) :
sebagai kelompok uji dosis I, diberikan ekstrak daun katuk dosis 75 mg/kgBB dan
AlCl3 per oral per hari
54

e. Kelompok V (K5) : sebagai kelompok uji dosis II, diberikan ekstrak daun katuk
dosis 150 mg/kgBB dan AlCl3 per oral per hari f. Kelompok VI (K6) : sebagai
kelompok uji dosis III, diberikan ekstrak daun katuk dosis 300 mg/kgBB dan
AlCl3 per oral per hari

Semua kelompok diberi perlakuan selama 28 hari berturut-turut. Pada hari ke-30,
tikus di-euthanasia dengan pemberian anestesi per inhalasi menggunakan
klorofom hingga tikus kehilangan kesadaran dengan cepat dan dilanjutkan proses
dekapitasi. Setelah tikus mati, tikus ditempatkan pada papan otopsi dengan perut
menghadap ke bawah, dilakukan pembedahan pada kepala tikus yang diawali
pembersihan rambut tikus, pelepasan kulit secara halus dari jaringan pelapis
dibawahnya sebelum akhirnya menemui tulang tengkorak yang kemudian dibuka.
Selanjutnya, dari rongga yang telah dibuat, otak tikus diambil untuk dilanjutkan
dengan pembuatan blok parafin yang akan diproses menjadi sediaan untuk uji
imunohistokimia guna menilai ekspresi β-amiloid. Setelah dilakukan
pembedahan, bagian tikus yang tidak digunakan dikubur di area animal house.

4.3. Prosedur Informed consent Penelitian ini bersifat eksperimental dengan


subjek adalah hewan, yaitu tikus putih maka peneliti tidak perlu melakukan
informed consent kepada subjek yang akan dilakukan uji. Walaupun demikian,
peneliti tetap akan melakukan sesuai dengan uji kelayakan etika penelitian pada
subjek. Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus
diterapkan prinsip 3 R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction
dan refinement. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan,
mengganti bila ada yang sakit dan sebagainya. Reduction diartikan sebagai
pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan
hasil yang optimal. Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara
manusiawi, mengurangi ketidaknyamanan yang diderita oleh hewan percobaan
sebelum, selama, dan setelah penelitian. Selain prinsip 3R, juga terdapat prinsip
lain yang dilaksanakan, yaitu 5F meliputi freedom from hunger or thirst (bebas
55

dari kelaparan dan kehausan), freedom from discomfort (bebas dari


ketidaknyamanan), freedom from pain, injury and disease (bebas dari rasa nyeri,
trauma dan penyakit), freedom to express (most) natural behaviour (bebas
mengekspresikan perilaku alamiah) dan freedom from fear and distress (bebas
dari ketakutan dan stres).

4.4. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa


penelitian ini memiliki landasan ilmiah yang kuat, bermanfaat untuk dilaksanakan
dengan cara baik, tidak membahayakan serta menempatkan subjek penelitian pada
tempat yang terhormat. Peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini layak etik
untuk dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai