Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SENI DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh:

M.Mifthahul Amien (422418012)


Rosdyanita N. Arsyad (422418008)

Jurusan Fisika
Program studi Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Gorontalo
Tahun ajaran 2018/2019
`
KATA PENGANTAR
Bismillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam yang
melindungi, menjaga dan memberi rizki kepada makhluk-Nya, Saya bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah Subhanahu
wa ta’ala dan saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah rasul dan hamba-Nya.
Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
atas selesainya makalah berjudul “Seni Dalam Pandangan Islam” yang disusun dalam
rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama yang diampu oleh Bapak Dr.
Munkizul Umam Kau, S.Fil.I
Makalah ini berisi tentang pandangan islam terhadap bidang seni berlandaskan Al
Quran dan Hadist beserta pendapat pendapat ulama dan ijma atau kesepakatan yang
paling kuat antara ulama. Dalam penyusunan makalah ini melibatkan beberapa pihak.
Oleh sebab itu kami mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusinya
dalam pembuatan makalah ini.
Meski disusun secara maksimal, namun kami sebagai penyusun adalah manusia yang
juga bisa salah dan menyadari bahwa masih jauh dari sempurna dalam pembuatan
makalah ini. Karenanya kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun
dari pembaca sekalian.
Besar harapan kami makalah ini dapat menjadi sarana dalam membantu masyarakat
dalam memahami ilmu agama yang berlandaskan Al Quran dan Sunnah. Dan
sebelum membaca ini saya ingin mengajak saudara sekalian untuk senantiasa
bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya. tentunya kita mengimani bahwasanya
Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Tuhan kita dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah Nabi dan panutan kita. Maka konsekuensi dari itu, kita harus
meyakini kebenaran yang datang dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya.
Demikian apa yang bisa kami sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat
dari karya kami ini, sekian Brakallahu fiikum, semoga Allah selalu menjagamu.

Gorontalo, 11 November 2018


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah agama yang paling banyak dianut di negeri ini seorang yang
memeluk agama islam disebut muslim, seorang muslim wajib mempelajari dan
memahami agamanya sesuai dengan Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman para
kaum terdahulu yang mana mereka disebut para Salafush shaleh atau 3 generasi awal
dari umat islam yaitu zaman para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu
zaman kedua yaitu zaman murid para sahabat yang disebut Tabi’in serta zaman ke
tiga yaitu zaman murid dari tabi’in yaitu Tabi’ut Tabi’in. Dari ke tiga zaman inilah
kita mengambil pemahaman dimana pemahaman yang lebih dekat jaraknya dengan
zaman nabi dan sahabat dianggap paling murni dan belum tercemar yang berdasar
dari hadist nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Sebaik-baik umat manusia adalah
generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq
‘alaih)
Masyarakat dewasa ini terlihat sudah terlalu sibuk dalam mengejar dunia hingga
lupa dalam mempelajari agama, terutama pembahasan dalam bidang seni menjadi
salah satu topik yang cukup ramai dibahas oleh masyarakat. Dalam kehidupan
sehari haripun terlibat dalam masalah seni. Bahkan ada yang menjadikan sebagai
salah satu mata pencaharian mereka tanpa tau hukum yang ditetapkan oleh islam.

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan di atas kita dapat menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian seni dan macam-macam seni?
2. Apa saja hukum hukum seni?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari seni
2. Untuk mengetahui hukum hukum dalam seni
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Seni dan Macam Macam Seni


Seni dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan adalah jelmaan rasa indah
yang terkandung dalam jiwa manusia yang dilahirkan dengan perantara alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni
suara), indera penglihat (seni lukis dan pahat), atau dilahrikan dalam perantara
gerak (seni tari atau drama). Dalam ruh ajaran islam dan kaidahnya islam tidak
melarang sesuatu yang baik, indah dan kenikmatan yang diterima akal sehat.
Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 4 “mereka bertanya kepadamu tentang
apa yang dihalalan Allah, katakanlah kepadamu segala yang baik-baik”. Seni
merupakan fitrah yang Allah ciptkan dalam diri manusia.
Dari segi makna istilah seni adalah segala sesuatu yang halus dan indah lagi
menyenangkan hati serta perasaan manusia. Selain itu keindahan adalah sesuatu
yang wujud di luar diri manusia yang menikmati keindahan itu. Oleh karena
imaginasi dan keupayaan manusia adalah percikan dari daya kreatif Allah oleh nya
seni bisa dibagi 2:
a. Seni ciptaan Allah
b. Seni ciptaan manusia
2.2 Hukum Seni Dalam Islam
1. Sejarah Singkat Seni Dalam Islam
Seni sudah ada di zaman nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, entah itu seni rupa, seni
musik, bahkan jika bisa di bilang taktik perang juga bisa di katakan seni, art of war.
Pada dasarnya seni sudah berkembang pesat saat itu mulai dari syair, nyanyian, alat
musik, patung, gambar-gambar bahkan arsitektur bangunan juga merupakan seni.
Seni terus setelah wafatnya baginda nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
hingga hari ini, terus berkembang dalam bentuk dan falsafahnya yang
berorientasikan sumber islam yang menitikberatkan kesejajaran dengan tuntutan
tauhid dan syara’.
2. Hukum Seni Dalam Islam
Asal muasal hukum dalam hal duniawi adalah boleh (mubah) maksudnya
hukum asal segala sesuatu yang menyangkut keduniaan atau bersifat duniawi adalah
boleh sampai ada dalil yang mengharamkan, inilah hukum asal segala sesuatu.
Berbeda dengan ibadah yang hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
membolehkan dengan berlandaskan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa: 21). Dan
didukung oleh hadist yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha;
bahwasanya Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membuat
suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara
tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Maka dari dalil dalil
di atas maka imam Syafi’i rahimahullah berkpendapat “Hukum asal ibadah adalah
tawaqquf (diam sampai datang dalil).” Perkataan tersebut disebutkan oleh Ibnu hajar
Al-Ashqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah diantara
ulama besar dari syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan di atas menunjukan bahwa tidak
ada dalil maka suatu amalan tidak bisa dilakukan.
Berbeda dengan hal duniawi kaidah fiqih yang terkandung adalah segala
sesuatu hukumnya adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Mengapa ada beberapa kaum yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat
dalam Kitabullâh. Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam
Kitabullâh maka tidak ada hak baginya untuk melaksanakannya meskipun sejumlah
seratus syarat. (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Buyû’, no.2155. Muslim dalam Kitab
al-‘Ithqi, no.1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma).
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari
persyaratan mereka, namun yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingkari adalah
syarat itu menyelisihi Kitabullâh. Ini menunjukkan bahwa hukum asal menentukan
syarat tertentu dalam mu’âmalah adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi
Kitabullâh. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, al-Imam Muhyiddin an-
Nawawi, Cet. XIV, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ma’rifah, Beirut, IX/379-381.).
Maka dari penjelasan di atas jelaslah bahwa hukum asal seni juga boleh
sampai ada dalil yang mengharamkan atau seni itu bertentangan dengan isi Al Quran
dan Hadist itu sendiri.
3. Apresiasi Islam Terhadap Seni
Tentunya dalam islam seni adalah suatu hal yang tidak dipermasalahkan kalau
itu tidak menyelisihi dalil dalil yang ada. Contohnya Islam juga sangat
mengapresiasikan seni adalah adanya seni dalam membaca dan mentartil Al Quran.
Hal ini diambil dari dalil berikut “Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika
membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469,
Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Makna ‘yataghanna bil Quran’ dalam hadist di atas di jelaskan oleh para
ulama diantaranya adalah memperindah bacaan, oleh karena itu hadist di atas
menunjukan memperindah dalam membaca Al Quran.
Imam An-Nawawi berkata dalam kitab at-Tibyan “Mayoritas ulama
mengatakan, makna ‘Siapa yang tidak yataghanna bil quran’ adalah siapa yang tidak
memperindah suaranya dalam membaca al-Quran. Para ulama juga mengatakan,
dianjurkan memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut, selama
tidak sampai keluar dari batasan cara baca yang benar. Jika berlebihan sampai
nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf, hukumnya haram.” (at-Tibyan,
hlm. 110)
Jadi dalam maksud penjelasan di atas maksudnya tidak menambah nambah seperti
halnya orang yang sedang melagukan ayat, ada perbedaan antara memperindah bacaan dan
melagukan bacaan karena dalam melagukan ada huruf yang ditambahkan dan ada
yang dihilangkan atau membuat samar karena ada tempo atau nada jika dilagukan
harus menghilangkan atau mengubah huruf yang ada. Makna yang benar menurut
Imam Syafi’i adalah melantunkan dengan suara indah, dan membuat orang lebih
khusyu yang diistilahkan imam Syafi’i dengan kata at-Tahazun (membuat sedih hati).
Sebagaimana dinyatakan al-Hafidz dalam Fathul Bari, Syarh Shahih Bukhari (9/70).
4. Jenis Jenis Seni dan Hukumnya
Sebelum semuanya dasar pertama yang ditetapkan dalam ajaran islam adalah
bahwa asal dari segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah, baik itu berupa suatu
benda atau berupa manfaat manfaat yang dapat diambil oleh manusia, adalah
halal dan boleh. Sesuatu tidak dapat dikatakan haram kecuali ada nash syar’i yang
shahih yang menjelaskan keharamannya. Apabila nash tersebut bukan nash yang
shahih (seperti hadist hadist dhaif) atau apabila nash tersebut tidak menerangkan
sesuatu dengan jelas, maka ia akan tetap pada asalnya yaitu boleh. Berdasarkan
dalil
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Al-
Baqarah : 29)
“Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (Al-Jaatsiyah : 13)
“Yang halal adalah apa saja yang telah Allah halalkan didalam kitab-Nya.
Dan yang haram adalah apa saja yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya.
Dan apa yang Allah diamkan, maka ia adalah kemaafan dari Allah untukmu.”
(HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). (lihat Halal Haram dalam Islam karya Dr.
Yusuf Al-Qaradhawi. 2004 halaman 20-21. Akbar media eka sarana.)

Islam memandang bahwa orang orang yang menghalalkan sesuatu yang haram
dan mengharamkan sesuatu yang halal menjadi suatu pengekangan dan
penyempitan bagi manusia setelah Allah melapangkannya. Juga memandang
bahwa perbuatan ini banyak dilakukan oleh orang orang yang ahli agama yang
berlebih-lebihan dam merasa hebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri pernah memerangi orang orang ini dengan gencar dan mengerahkan
seluruh senjata yang ada berupa celaan dan mengabarkan akan kehancuran
mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Binasalah orang-orang yang berlebihan itu (beliau mengatakannya tiga
kali).” (HR Muslim, Ahmad, dan Abu Daud) (lihat Halal Haram dalam Islam
karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. 2004 halaman 29. Akbar media eka sarana.)

A. Seni Rupa
Dalam seni sebenarnya boleh namun ternyata ada beberapa senu rupa yang
dilarang dalam pandangan islam. Pada hakikatnya seni rupa seperti kebanyakan hal
duniawi lainnya hukumnya adalah mubah (boleh) asal tidak bertentangan dengan
dalil yang ada. Maka pada hakikatnya semua seni rupa adalah boleh namun ternyata
ada beberapa hal yang diceritakan dalam nash shahih yang dilarang dalam agama,
yaitu patung dan menggambar makhluk bernyawa dalam jumhur ulama patung dan
gambar telah dilarang dan diharamkan dalam islam secara umum berdasarkan dalil
dalil berikut
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari suatu safar dan aku
ketika itu menutupi diri dengan kain tipis milikku di atas lubang angin pada tembok
lalu di kain tersebut terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihat hal itu, beliau merobeknya dan bersabda, “Sesungguhnya orang
yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang membuat sesuatu
yang menandingi ciptaan Allah.” ‘Aisyah mengatakan, “Akhirnya kami menjadikan
kain tersebut menjadi satu atau dua bantal.” (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim
no. 2107).
Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan pada
mereka, “Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan (buat).” (HR. Bukhari no.
2105 dan Muslim no. 2107).
Dan dalam riwayat lainnya,
“Sesungguhnya orang yang peling berat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat
adalah al mushowwirun (pembuat gambar).” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim
no. 2109).
Maka dari dalil dalil di atas dapat disimpulkan bahwa hukum membuat patung dan
gambar makhluk bernyawa adalah haram dan tidak bisa karena seperti menyaingi
ciptaan Allah dan akan mendapat siksa yang sangat berat, namun dalam Al
Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan, “Ketika gambar atau patung dibentuk dari
badan tanpa kepala atau kepala tanpa badan atau dijadikan kepala tetapi bagian
lainnya adalah berbentuk lainnnya selain hewan, ini semua tidak termasuk dalam
larangan.”
Namun menurut ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika bagian tubuh lain tidak
ada, lalu masih tersisa kepala, maka pendapat yang rojih (kuat), gambar atau patung
tersebut masih tetap haram.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut
gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7: 270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)

Maka telah jelaslah hukum seni rupa dalam pandangan islam jika suatu seni rupa
tidak menyerupai makhluk bernyawa maka tidak ada masalah adapun untuk boneka
untuk mainan anak anak maka tidak ada masalah insyaa Allah dan untuk gambar
makhluk bernyawa hanya dibolehkan pada pengajaran kepada anak anak misal untuk
mengenalkan bentuk suatu hewan seperti apa. Demikian pendapat yang disepakati.
B. Seni Tari

Joget atau menari dalam fikih disebut ar-raqshu. Disebutkan dalam


kamus Mu’jam Al-Wasith:

“(ar-raqshu adalah) seseorang berpindah-pindah posisi dan menggerak-gerakkan


badannya sesuai irama musik atau nyanyian.”

Secara umum hukum menari adalah makruh.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan cara al-marah, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung” (QS. Al-Isra: 37).

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya menjelaskan,

“Para ulama berdalil dengan ayat ini untuk mencela joget dan pelakunya. Al-Imam
Abul Wafa bin Aqil mengatakan, ‘Al-Qur’an menyatakan dilarangnya joget dalam
firman-Nya janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan cara al marah
(penuh kesenangan). Dan ayat ini juga mencela kesombongan. Sedangkan joget itu
adalah bentuk jalan dengan ekspresi sangat-sangat senang dan penuh kesombongan”
(Tafsir Al-Qurthubi, 10/263).

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum ar-raqshu. Sebagian ulama


Syafi’iyyah membolehkan ar-raqshu (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah
Kuwaitiyah, 23/10) berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu’anha,

“Datang orang-orang Habasyah menari-nari di masjid pada hari Id. Maka


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilku. Aku letakkan kepalaku di
atas bahu beliau. Dan akupun menonton orang-orang Habasyah tersebut sampai
aku sendiri yang memutuskan untuk tidak ingin melihat lagi” (HR. Muslim no.
892).

Namun jika kita gabungkan dengan riwayat yang lain, maka kita akan
ketahui bahwa (menari-nari) di sini maksudnya bermain alat-alat perang.
Sebagaimana dalam riwayat Bukhari,

“Orang-orang Habasyah bermain-main dengan alat-alat perang mereka.


Rasulullah pun membentangkan sutrah agar mereka tidak melihat aku (‘Aisyah)
sedangkan aku menonton mereka. Terus demikian sampai akhirnya aku (‘Aisyah)
enggan melihat lagi” (HR. Bukhari no. 5190).

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah (23/10),

“Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Al-Qafal dari Syafi’iyyah


memakruhkan joget dengan alasan karena ia adalah perbuatan dana’ah (rendah)
dan safah (kebodohan). Dan ia merupakan perbuatan yang menjatuhkan wibawa.
Dan ia juga merupakan lahwun (kesia-siaan). Al-Abbi mengatakan, ‘Para ulama
memaknai hadits jogetnya orang Habasyah bahwa maksudnya (bukan joget
sebagaimana yang kita ketahui) namun sekedar lompat-lompat ketika bermain
pedang, dan alat-alat perang mereka.’ Sehingga sesuai dengan riwayat yang lain
yang menyatakan bahwa mereka (orang Habasyah) bermain-main di dekat
Rasulullah dengan alat-alat perang mereka.’ Demikian pemaparan ini semua dengan
asumsi joget tersebut tidak dibarengi dengan hal yang diharamkan syariat seperti
minum khamr, membuka aurat, atau yang lainnya. Jika dibarengi hal yang
diharamkan maka hukumnya haram menurut sepakat ulama.”

Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,


“Berjoget/menari hukum asalnya makruh. Namun jika dilakukan dengan cara yang
nyeleneh atau meniru orang kafir maka menjadi haram” (Liqaa Baabil Maftuh,
41/18).

C. Seni Teater

Seperti pada dasarnya dalam teater atau seni cerita asal tidak melanggar hukum
syariat maka boleh namun dalam hal ini banyak hukum yang harus dipatuhi seperti
tidak bolehnya berbohong walaupun hanya bercanda, namun dalam pentas pentas
sekarang kebohongan dalam candaan tidak bisa terlepas dari unsurnya, islam tidak
melarang dalam bercanda namun tidak bolehnya melanggar batasan maka hal ini
berdasarkan dalil

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat; tidak
diucapkan kecuali untuk membuat orang lain tertawa, maka ia terhempas ke dalam
jurang jahannam sedalam antara langit dan bumi. Dan sungguh terpelesetnya lisan,
lebih berat daripada seseorang terpeleset kakinya” (Shahîh, diriwayatkan Imam
Muhammad at-Tibrizi dalam Miskâtul- Mashâbih, Bab: Mizah (4835), (3/1360))

Dan,

Dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya berkata, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Celakalah bagi seseorang yang bercerita
dengan suatu cerita, agar orang lain tertawa maka ia berdusta, maka kecelakaan
baginya, kecelakaan baginya.” (Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmdzi dalam
Sunan-nya (2315) dan Imam at-Tibrizi dalam Miskâtul- Mashâbih, Bab: Hifzul-
Lisan (4834), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni..
Lihat Jami’ul Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab (1/336))
Dan,

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang menjaminku mampu menjaga apa yang ada diantara dua
bibirnya dan di antara kakinya, maka aku akan jamin surga.”(Shahîh, diriwayatkan
Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (6474) dan Imam Muham

mad at-Tibrizi dalam Miskatul-Masabih, Bab: Mizah (4889), (3/1370)).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang sesuatu yang
diridhai Allah, yang tidak ia sadari, maka Allah mengangkat dengannya beberapa
derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang
sesuatu yang dimurkai Allah, yang tidak ia sadari, ternyata menghempaskan dirinya
dengannya ke dalam jahannam.”(Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam
Shahîh-nya (6478) dan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (3970)).

Maka dari penjelasan di atas sudah jelaslah bahwa bercanda boleh asal tidak
melampaui batas.

D. Seni Musik

Banyak yang mengupas tentang musik, namun dalam Al Quran belum ditemukan
dalil tegas untuk musik namun dalam hadist sendiri terdapat hadist yang
menjelaskannya. Dalam berbagai pandangan ada yang mengatakan bahwa musik
boleh dan musik juga haram hukumnya masing masing mempunyai hujjah namun
dalam pendapat yang paling kuat diikuti oleh 4 imam mahzab yaitu imam hanafi,
imam malik, imam syafi’i, dan imam ahmad semuanya mencela musik.

Ulama yang membolehkan musik ada beberapa dengan dalil

“...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi


keledai.” (QS: Luqman 19)

Imam al Ghazali mengambil pengertian ayat ini adalah Allah subahanahu wa ta’ala
memuji suara yang baik. Dengan demikian diboloehkan mendengarkan nyanyian
yang baik.

Meski demikian Dr. Abdurrahman membagi nyanyian ke dalam dua jenis. Nyanyian
yang halal dan nyanyian yang haram. Nyanyian yang haram yaitu nyanyian yang
disertai perbuatan munkar atau haram. Selain itu nyanyian halal tidak boleh diikuti
hal hal haram. Tidak diisi dengan kata kata memuji kecantikan wanita, kata kata yang
mengajak pacaran, main asmara/cinta atau disertai mabuk mabukan, didadakan
ditempat maksiat atau tempat ikhtilath, klub malam dan diskotik. (Musik dalam
islam, Hidayatullah.com)

Dalam pembicaraannya Dr. Zakir naik menjelaskan tentang musik yang dalam Al
Quran di isyaratkan berdasar dalil

Allah Subhanau Wa Ta’la berfirman dalam Surat Lukman [31] ayat 6:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan.”

Berdasarkan ayat ini, banyak ahli tafsir, termasuk penafsiran sahabat Ibnu
Mas’ud, mengatakan perkataan yang tidak berguna (Lahwal hadits) ini maksudnya
adalah nyanyian dan alat musik.

Terkait larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang musik, bisa


kita dapatkan dalam beberapa hadits. Jika telah jelas ada larangan dari Rasulullah,
maka tidak ada keraguan akan keharamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang


menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik.” (Sahih Al Bukhari volume 7
Book of Drinks Hadith 5590)

Hadits ini menyebutkan bahwa kelak akan ada yang menghalalkan beberapa
hal. Dan kita telah tahu bahwa khamr hukumnya haram, kita sudah tahu zina itu
haram. Karena alat musik disebutkan bersama-sama dengan hal-hal yang diharamkan
tersebut, itu artinya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengharamkannya.

Tetapi ada sebagian orang yang tetap menghalalkannya, kita tahu ada
beberapa ulama kontemporer yang membolehkan. Dari hadits ini secara jelas
mengatakan bahwa alat musik itu haram.

Tetapi ada hadits shahih lainnya yang membolehkan alat musik tertentu, yaitu
duff (rebana).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara pernikahan, beliau


datang dan berkumpul bersama para sahabatnya. Kemudian datang dua orang anak
kecil perempuan yang memainkan rebana. Mereka menyebutkan kebaikan para
sahabat yang telah wafat di medan jihad (dalam perang Badar), ketika salah satunya
menjanjung Nabi (mengatakan bahwa Rasulullah mengetahui tentang hari esok)
Rasulullah berkata: “Tinggalkanlah ucapan tersebut, ucapkan saja yang tadi kau
katakan.” (Sahih Al Bukhari volume 5 Book of Maghaazi Hadith 4001)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang


mereka memainkan rebana.

Dalam hadits lain (Sahih Al Bukhari volume 2 Book of ‘Eidain Hadits


987), yang diberitakan oleh ‘Aisyah radhiallaahu anha, Aisyah berkata:

“Ada dua orang anak perempuan yang bermain rebana sambil bernyanyi. Ketika Abu
Bakar radhiallaahu anhu melihatnya, beliau menyuruh mereka berhenti. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar: “Biarkanlah mereka
melakukannya, karena sesungguhnya ini adalah hari raya.”

Pada hadits yang lain (Sahih Al Tirmidhi Book of Manaaqib Hadith 3690):

Ada seseorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku
telah bernadzar kepada Allah, jika anda (Rasulullah) kembali dalam keadaan
selamat, aku berjanji akan memainkan rebana.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Jika engkau bernadzar maka lakukanlah, jika belum maka jangan
engkau lakukan.”

Dari semua hadits tersebut mengindikasikan bahwa alat musik secara umum
haram, kecuali rebana, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membolehkannya dalam situasi tertentu.

Syaikh Utsaimin berkata: Menabuh duff pada hari-hari resepsi pernikahan itu
boleh atau sunnah, jika hal itu dilakukan dalam rangka I’lanunnikah (menyiarkan
pernikahan).

Dalam pandangan empat imam mahzab yang paling besar yaitu imam hanafi,
imam malik, imam syafi’i, dan imam ahmad semua mencela musik. Syaikhul islam
ibnu taimiyyah rahimahullah berkata”empat imam madzhab berpendapat bahwa
semua alat musik adalah haram. Telah ada hadist nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan ulama lainnya bahwasanya nabi mengabarkan akan
adanya orang orang dari ummatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr,
dan alat alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi. Al-ma’azif
adalah alat alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh pakar bahasa arab. Dan
tidak ada perselisihan sedikitpun dari pengikut para imam (tentang haramnya alat
musik). (Majmu’ Fatawa (XI\/576).

Imam Abu Hanifa. Beliau membenci nyanyian dan menganggap


mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. (talbis iblis, 282).

Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu
ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia
kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” (talbis iblis, 284).

Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia sia
yang tidak kusukai karena nyanyian itu seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah
kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” (talbis iblis, 283).

Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “nyanyian itu menumbuhkan


kemunafikan dalam hati dan akupun tidak menyukainya.” (talbis iblis, 280).

Dari pendapat pendapat imam di atas maka jelaslah bahwa mereka


tidak menyukai dan membenci musik serta ada yang mengatakan dosa. Namun dalam
pendapat yang membolehkan ada yang membolehkan nyanyian tanpa lantunan alat
musik (nasyid), seperti nuntuk membahagiakan istri, menjaga keromantisan keluarga
maka diperbolehkan syair syair tanpa diiringi musik adapan pendapat bahwa nasyid
asal tanpa adanya alat musik yang mengiringinya yang hanya suara saja seperti
berupa syair maka hal ini diperbolehkan dalam syarat mengajak kepada kebaikan dan
ketaatan dan tanpa adanya iringan alat musik apapun atau yang bersifat alat musik.

Anda mungkin juga menyukai