Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan saat ini dihadapkan pada dua masalah, yaitu

penyakit menular yang belum tertangani dengan baik, dilain pihak penyakit

tidak menular (PTM) terus meningkat yang disebabkan oleh gaya hidup

karena urbanisasi, modernisasi, dan globalisasi. salah satunya adalah penyakit

Gastritis yang terjadi karena inflamasi yang terjadi pada lapisan lambung

sehingga merasakan nyeri pada bagian perut (Milasari & Ruhyana, 2016).

Bahaya penyakit gastritis jika dibiarkan terlalu lama akan

mengakibatkan sekresi asam lambung yang terus meningkat dan akhiknya

membuat luka (ulkus) dan dapat meningkatkan resiko kanker lambung hingga

dapat menyebabkan kematian. Gastritis yang dikenal dengan penyakit maag

ini merupakan suatu peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang

disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan,

misalnya telat makan, makan terlalu banyak, makan cepat, makan makanan

yang terlalu banyak bumbu dan pedas (Huzaifah, 2017).

Penyakit gastritis ini jika dibiarkan akan semakin parah, terlebih jika

tidak ada pengaturan pola makan yang baik dan benar, maka akan

menimbulkan kekambuhan yang akan mengganggu aktivitas penderita

(Sulastri, 2012). Pola makan merupakan perilaku yang ditempuh seseorang

dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap

hari yang meliputi frekuensi makan dalam sehari, jenis makanan yang

1
dikonsumsi dan porsi makan. Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat

lambung sulit untuk beradaptasi, jika hal itu berlangsung lama, produksi asam

lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada

lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat

menyebabkan rasa perih dan mual (Uwa, Milwati, & Sulasmini, 2019).

Hasil presentasi kejadian gastritis di dunia, AS 35,6%, Australia

24.6%, Afrika 70.1%, Amerika Selatan 69,4%, Asia Barat 66,6%, Oceana

24,4%, Eropa Barat 34,3%, Amerika Utara 37,1%, negiria 87,7%, Portugal

86,4%, Estonia 82,5%, Swiss 18,9%, Demmark 22,1%, Selandia Baru 24,0%.

Pada tahun 2015 diperkirakan sekitar 4,4 miliar orang yang mengalami

gastritis (Hooy et al, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Zamani et al (2018) bahwa angka

kejadian gastritis di dunia mencapai 44,3%, diantaranya 50,8% di negara

berkembang dan 34,7% di negara maju. Tingkat infeksi H.pylori 42,7% pada

wanita dan 46,3% pada laki-laki dan lebih banyak terjadi pada orang dewasa

(>18 tahun) 48,6% di bandingkan dengan anak-anak 32,6%. Angka kejadian

gastritis di Indonesia besarnya bervariasi. Prevalensi di Makassar 55%, Solo

51,8%, Yogyakarta 30,6%, Surabaya 23,5% dan yang terendah di Jakarta

sebesar 8% (Uwan, Syam, Lesmana, & Rumende, 2016).

Pada tahun 2015 penderita gastritis pada urutan ke lima penyakit

terbanyak di kota makassar dengan jumlah 35.159 orang (Profil Dinkes Kota

Makassar, 2015). Berdasarkan data yang diperoleh dari perawat di ruang

rekam medik UPT puskesmas Kahu Kab.Bone, jumlah penderita gastritis pada

2
tahun 2016 yang di rawat jalan 1135 orang, tahun 2017 sekitar 1292 orang,

dan tahun 2018 terdapat 1277 orang. Sedangkan yang di rawat inap pada tahun

2016 sekitar 66 orang, tahun 2017 terdapat 164 orang, dan tahun 2018 yaitu

181 orang. Jumlah penderita gastritis yang di rawat jalan maupun rawat inap

di UPT Puskesmas Kahu terus meningkat setiap tahunnya.

Masalah utama yang perlu ditangani pada penderita gastritis adalah

pemenuhan kebutuhan nutrisi, karena pada penderita gastritis akan mengalami

nyeri epigastrium, mual, muntah dan anoreksia yang berakibat pada tidak

terpenuhinya nutrisi sehingga menyebabkan peningkatan sekresi asam

lambung dan memicu timbulnya perdarahan pada lambung, maka dari itu

dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada penderita gastritis, produksi asam

lambung akan terkontrol dan dapat mencegah timbulnya perdarahan saluran

cerna (Black & Hawks, 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden,

66,7% memiliki pola makan tidak baik, 57,6% memiliki jenis makanan yang

tidak baik, 63,6% sering menggunakan obat-obatan anti nyeri dan anti

inflamasi, 81,8% mengaku memiliki stres pekerjaan, 63,6% bukan perokok,

dan 78,7% bukan peminum alcohol (Agustina, Azizah, & Agianto. 2017).

Menurut hasil penelitian Prasetyo (2015), didapatkan dari 70

responden sebanyak 28 (40%) responden mengalami stress sedang, sebanyak

25 (36%) responden mengalami stress ringan dan 17 (24%) responden tidak

mengalami stres. Sedangkan kejadian gastritis sebanyak 39 (55,7%) responden

mengalami gastritis dan sebanyak 31 (44,3%) responden tidak mengalami

3
gastritis. Adapun menurut penelitian Zenab (2013), membuktikan dari 60

responden sebanyak 31 (52%) responden mengalami pola makan buruk dan

sebanyak 29 (48%) responden mengalami pola makan baik, sedangkan untuk

kejadian gastritis sebanyak 35 (58%) responden mengalami gastritis akut dan

sebanyak 25 (42%) responden mengalami gastritis kronis. Dari hal tersebut

maka perbedaan dari penelitian terdahulu yaitu penelitian ini meneliti kejadian

stress dan pola makan yang menyebabkan gastritis. Gastritis akut maupun

kronis mengakibatkan terjadinya mual dan muntah jangka panjang serta

kehilangan nafsu makan (Mahmoud et al. 2016).

Menurut Setyowati dan Arifah (2017) kebutuhan nutrisi pada pasien

gastritis dianjurkan memberikan makanan hangat dengan porsi sedikit tapi

sering dan mengedukasi keluarga tentang kebutuhan nutrisi pada pasien

sehingga nutrisi terpenuhi. Penelitian ini di dukung oleh Sari (2012) untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi yaitu pantau status nutrisi, kaji pengetahuan klien

tentang intake nutrisi, jelaskan pentingnya konsumsi nutrisi dan kolaborasi

dengan ahli gizi.

Berdasarkan analisa tersebut penulis tertarik melakukan penelitian

tentang “Asuhan Keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien

Gastritis di UPT puskesmas Kahu Kabupaten Bone”

B. Rumusan Masalah

“Bagaimanakah asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi

pada pasien gastritis”?

4
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menggambarkan asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada

pasien gastritis di UPT Puskesmas Kahu

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran pada pengkajian asuhan keperawatan

pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis di UPT Puskesmas

Kahu

b. Untuk mengetahui gambaran pada diagnosis asuhan keperawatan

pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis di UPT Puskesmas

Kahu

c. Untuk mengetahui gambaran pada intervensi asuhan keperawatan

pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis di UPT Puskesmas

Kahu

d. Untuk mengetahui gambaran pada implementasi asuhan keperawatan

pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis di UPT Puskesmas

Kahu

e. Untuk mengetahui gambaran pada evaluasi asuhan keperawatan

pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis di UPT Puskesmas

Kahu

5
D. Manfaat Penelitian

Studi kasus ini diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Masyarakat

Mengetahui asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada

pasien gastritis.

2. Pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis.

3. Penulis

Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan hasil riset

keperawatan khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan

kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan dalam Kebutuhan Nutrisi

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengunpulan data dari

berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status

kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam

memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu

(Saputra, 2013).

a. Pengkajian terhadap riwayat makanan ini meliputi informasi atau

keterangan tentang pola makanan, tipe-tipe makanan yang di hindari

ataupun diabaikan, makanan yang lebih di sukai, dan lain-lain.

b. Pengkajian terhadap kemampuan untuk makan, seperti tingkat

kekuatan otot, dan kondisi tangan untuk mencapai mulut/untuk makan,

atau kemampuan untuk makanan.

c. Pengkajian fisik terhadap aspek pemenuhan kebutuhan nutrisi sebagai

berikut : bentuk rambut, kulit, mata, bibir, kuku jari, lidah, gusi, gigi

dan lain sebagainya.

d. Pengukuran Antropometrik meliputi pengukuran tinggi badan, berat

badan, lingkar lengan.

e. Pemeriksaan laboratorium: Nilai haemoglobin dan hematokrit untuk

menentukan adanya anemia akibat perdarahan, kadar serum gastrin

7
rendah atau normal, atau meninggi pada gastritis ktonik yang berat,

pemeriksaan asam lambung untuk mengetahui ada atau tidak

peningkatan asam lambung, lab fases untuk tes akan H. Pylori.

Pada pengkajian keperawatan, perawat berkolaborasi dengan ahli

diet dalam memimpin pengkajian nutrisi yang komprehensif. Karena

makanan dan cairan adalah kebutuhan dasar biologis semua makhluk

hidup, maka pengkajian nutrisi penting. Pengkajian nutrisi penting

khususnya bagi klien yang berisiko masalah nutrisi yang berhubungan

dengan stress, penyakit, hospitalisasi, kebiasaan gaya hidup, dan faktor-

faktor lain. Pusat pengkajian nutrisi sekitar empat area pokok:

a. Pengukuran fisik (tinggi dan berat) dan antropometri

Pengukuran tinggi dan berat badan klien harus diperoleh ketika masuk

rumah sakit atau lingkungan pelayanan kesehatan apapun. Apabila

memungkinkan, klien harus ditimbang pada waktu yang sama setiap

hari, pada skala yang sama, dan dengan pakaian atau linen yang sama.

Tinggi dan berat badan klien dapat dibandingkan dengan standar

hubungan tinggi-berat badan. Perubahan berat badan yang terakhir

harus didokumentasi.

Jika tinggi badan tidak dapat diukur dengan klien berdiri, rentang

lengan, atau jarak dari ujung jari ke ujung jari dengan lengan diulurkan

penuh pada tingkat bahu, kurang lebih ketinggian untuk orang dewasa.

8
b. Tes laboratorium dan biokimia

Pengkajian diagnostik terhadap saluran gastrointestinal mencakup

penggunaan sinar-x dan USG. Dilanjutkan analisis lambung untuk

mengetahui aktivitas sekretorius mukosa lambung dan menentukan

adanya atau derajat retensi lambung pada pasien yang dianggap

mengalami obstruksi pilorik atau duodenal. Serta tes simulasi asam

lambung.

c. Riwayat kesehatan

1) Mengkaji kesehatan tentang nyeri uluhati, tidak dapat makan,

mual/muntah.

2) Kapan terjadi (apakah sebelum makan atau setelah makan), apakah

setelah makan-makanan pedas dan pengiritasi atau setelah

mencerna obat tertentu/alkohol.

3) Gejala yang berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan

atau minum terlalu banyak.

4) Riwayat penyakit lambung sebelumnya

5) Riwayat diet, jenis diet yang baru dimakan selama 72 jam

6) Riwayat kelebihan diet atau diet semrono

7) Apakah meemuntahkan darah (Smelzer, & Bare. 2013).

d. Pemeriksaan fisik

Temuan fisik kemudian di kaji untuk memastikan data subjektif dari

pasien. Abdomen dilakukan insfeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi

dengan posisi supinasi. Ditemukan tanda-tanda nyeri tekan abdomen,

9
dehidrasi, dan bukti adanya gangguan sistemik dapat menyebabkan

gejala gastritis (Smelzer, & Bare. 2013).

e. Observasi klien

Observasi klinis dapat menjadi aspek terpenting di antara pengkajian

nutrisi. Seperti pada bentuk pengkajian keperawatan lain, perawat

mengobservasi klien tanda-tanda perubahan nutrisi. Karena nutrisi

yang tidak tepat mempengaruhi semua sistem tubuh, petunjuk

malnutrisi dapat diobservasi selama pengkajian fisik. Ketika

pengkajian fisik sistem tubuh yang umum selesai, perawat dapat

memeriksa kembali area yang berhubungan untuk mengevaluasi status

nutrisi klien.

Pendapat lain menyatakan bahwa Status gizi seseorang (pasien)

dengan gangguan status nutrisi dapat dikaji dengan menggunakan

pedoman sebagai berikut :

1) Clinical Signs (Tanda-Tanda Klinis Status Nutrisi)

Tanda-tanda klinis status gizi dapat dilihat antara lain dari

pemeriksaan fisik. Ciri fisik penderita defisiensi nutrisi antara lain

berat badan menurun, lemah, lesu, dehidrasi, dan pertumbuhan

terhambat. Ciri fisik orang dengan status gizi normal antara lain

adalah sebagai berikut:

a) Berat badan ideal

b) Rambut bercahaya, kuat, tidak kering, dan tidak mengalami

kebotakan karena usia

10
c) Daerah di bawah mata tidak berwarna gelap

d) Kulit lembut dan sedikit lembab

e) Mata cerah, tidak terasa perih, dan tidak terlihat adanya

penonjolan pembuluh darah

f) Konjungtiva mata berwarna merah muda

g) Bibir lembab, berwarna merah muda,dan tidak mengalami

pembengkakan

h) Lidah lembab dan berwarna merah gelap

i) Gusi lembab, berwarna merah muda, dan tidak mengalami

pembengkakan

j) Gigi tidak berlubang

2) Dietary (Diet)

Untuk mengetahui riwayat diet seseorang, perawat dapat

melakukan wawancara atau kuisioner untuk mengetahui status gizi,

kesehatan, social-ekonomi, dan budaya atau kebiasaan orang

tersebut yang berpengaruh terhadap status nutrisinya. Bagian yang

perlu diketahui dari wawancara atau kuisioner ini antara lain

riwayat makanan, kemampuan makan, pengetahuan tentang nutrisi,

dan tingkat aktivitas.

a) Data Subjektif

(1) Keadaan Sebelum Sakit

Yang harus dikaji pada pasien mengenai riwayat ataupun

kebiasaan makan sebelum pasien tersebut sakit mengenai:

11
(a) Jenis (nasi/penggantinya, sayur, lauk-pauk, buah,

ataupun ada tambahan susu), frekuensi (dalam sehari

pasien makan beberapa kali), jumlah (banyaknyan porsi

dari setiap jenis makanan yang dikonsumsinya)

(b) Suplemen

(c) Makanan yang disukai

(d) Selera makan (menurun atau meningkat)

(e) Diet

(f) Proses penyembuhan jaringan

(2) Keadaan Sejak Sakit

(a) Jenis (nasi/penggantinya, sayur, lauk-pauk, buah,

ataupun ada tambahan susu), frekuensi (dalam sehari

pasien makan beberapa kali), jumlah (banyaknyan porsi

dari setiap jenis makanan yang dikonsumsinya)

(b) Suplemen

(c) Makanan yang disukai

(d) Selera makan (menurun atau meningkat)

(e) Kesulitan untuk makan

(f) Demam

(g) Berkeringat banyak

(h) Masalah kulit

(i) Rambut

12
b) Data Objektif

(a) Observasi : Asupan dan Keluaran

(b) Pemeriksaan Fisik :

(i) Rambut: kebersihan kulit kepala dan rambut,

kekuatan rambut (mudah rontok/patah), warna rambut

(ii) Hidrasi kulit: kering/lembab/basah

(iii) Palpebral : apakah ada edema

(iv) Sklera: apakah ikterik (kekunig;kuningan)

(v) Konjungtiva: apakah anemis (pucat)

(vi) Mulut dan gigi: kebersihan mulut dan gigi, jumlah

gigi, karang gigi, apakah ada gigi palsu

(vii) Lidah: kebersihan lidah

(viii) Faring: apakah ada peradangan?

(ix) Abdomen (inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi)

(c) Pengukuran

(i) TB (Tinggi Badan)

(ii) BB (Berat Badan)

(iii) IMT (Indeks Massa Tubuh)

BB (kg)
IMT = = ⋯ kg/m2
TB (m)2

(d) Pemeriksaan Penunjang

(i) Pemeriksaan elektrolit

(ii) Darah lengkap

(iii) Berat jenis urine

13
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan menurut Nanda (2015) dengan masalah kebutuhan

nutrisi adalah: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

Adapun Batasan karakteristik sebagai berikut:

a. Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal

b. Dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA

(Recomended Daily Allowance)

c. Membran mukosa dan konjungtiva pucat

d. Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah

e. Luka, inflamasi pada rongga mulut

f. Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan

g. Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan

h. Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa

i. Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan

j. Kehilangan BB dengan makanan cukup

k. Keengganan untuk makan

l. Kram pada abdomen

m. Tonus otot jelek

n. Nyeri abdomen

o. Kurang berminat terhadap makanan

p. Pembuluh darah kapiler rapuh, kehilangan rambut yang cukup banyak

(rontok)

q. Diare

14
r. Suara usus hiperaktif

3. Analisa data

Meliputi nomor, data, dan masalah keperawatan

4. Perencanaan Keperawatan

a. Kaji pola makan pasien

Rasional : mengidentifikasi kebutuhan nutrisi khusus

b. Kaji adanya anoreksia, mual, muntah

Rasional : dapat mempengaruhi pilihan diet

c. Timbang BB setiap hari

Rasional : berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi

d. Anjurkan pasien untuk beristirahat

Rasional : membantu menghemat energy khususnya bila kebutuhan

metabolik meningkat

e. Anjurkan pasien makan porsi kecil tetapi sering

Rasional : memaksimalkan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan

menurunkan iritasi gaster.

f. Observasi TTV

Rasional : Mengetahui perkembangan klien

5. Tindakan Keperawatan

a. Mengkaji pola makan pasien

b. Mengkaji adanya anoreksia, mual, muntah

c. Menimbang BB setiap hari

d. Menganjurkan pasien untuk beristirahat

15
e. Menganjurkan pasien makan porsi kecil tetapi sering

f. Mengobservasi Tanda-tanda Vital

6. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan

untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai

atau tidak. Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil

akhir yang diamati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan.

B. Nutrisi pada Gastritis

1. Pengertian Nutrisi

Nutrisi adalah proses pengambilan zat-zat makanan penting (Nancy

Nuwer Konstantinides) atau jumlah dari seluruh interaksi antara organisme

dan makanan yang dikomsumsinya. Dengan kata lain nutrisi adalah apa

yang manusia makan dan bagaimana tubuh menggunakannya. Masyarakat

memperoleh makanan atau nutrien esensial untuk pertumbuhan dan

pertahanan dari seluruh jaringan tubuh dan menormalkan fungsi dari

semua proses tubuh (Haryono, 2012).

2. Gangguan Nutrisi pada Gastritis

Perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) merupakan keadaan suatu

keadaan yang dialami seseorang dalam keadaan tidak puasa atau beresiko

penurunan berat badan yang berkaitan dengan ketidakcukupan masukan

atau nutrisi untuk kebutuhan metabolism (Hidayat & Uliyah, 2012).

16
3. Pengaturan diet pada Nutrisi gastritis

Menurut Almatsier (2012) prinsip dietnya dianjurkan untuk makan secara

teratur, tidak terlalu kenyang dan tidak boleh berpuasa. Makanan yang

dikonsumsi harus mengandung cukup kalori dan Protein (TKTP) namun

kandungan lemak/minyak khususnya yang jenuh dikurangi. Makanan pada

diet harus yang mudah untuk di cerna dan mengandung serat makanan

yang halus.

4. Edukasi nutrisi gastritis

Menurut Persagi (2018) edukasi pada pasien gastritis yaitu

mengkonsumsi jenis makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh

secukupnya merupakan pilihan tepat, sebab lemak jenis ini lebih mudah di

cerna. Porsi makanan yang diberikan dalam porsi kecil tapi sering.

Kebutuhan zat gizi jenis energi yang dikonsumsi harus. Sedangkan

menurut Almatsier (2010) terdapat jenis makanan yang dapat dikonsumsi

guna mencegah peningkatan asam lambung dan makanan yang tidak boleh

di konsumsi karena dikhawatirkan dapat memicu timbulnya gastritis. Jenis

makanan tersebut antara lain menurut kementerian Kesehatan RI,

Direktorat Bina Gizi Subdik Binas Gizi Klinik:

Tabel 2.1 Makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan sebagai pecegah

peningkatan asam lambung

Jenis Bahan Dibatasi/tidak Boleh


No Boleh Diberikan
Makanan Diberikan
1 Sumber hidrat Beras, kentang, mie, Beras ketan,
arang (nasi atau macaroni, roti, biscuit jangungcantel,
penggantinya) dan tepung-tepungan singkong, kentang
goreng, dodol, dan cake

17
2 Sumber protein Ikan, hatim daging Daging, ikan, ayam
hewani sapi, telur ayam, susu yang
diawetkan/kalengan
digoreng, dikeringkan
3 Sumber protein Tahu, tempe, kacang Tahu, tempe, kacang
nabati hijau yang direbus atau tanah yang digoreng
dihaluskan atau di panggang
4 Lemak Margarine, minyak, Lemak hewan, santan
kental
5 Sayuran Sayuran yang tidak Sayuran yang banyak
banyak serat dan tidak mengandung serat dan
menimbulkan gas menimbulkan gas,
sayuran mentah
6 Buah-buahan Papaya, pisang rebus, Buah yang banyak
sawo, sari buah mengandung serat dan
menimbulkan gas
(jambu, nenas, durian,
nangka, dan buah yang
dikeringkan)
7 Bumbu-bumbu Gula, garam, vitsin, Cabai, merica, cuka,
kunyit, salam, dan bumbu-bumbu
lengkuas, jahem dan yang merangsang
bawang

C. Konsep Gastritis

1. Definisi

Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis

yang berarti inflamasi atau peradangan sehingga gastritis adalah

peradangan pada mukosa lambung. Gastritis adalah proses inflamasi pada

mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan yang

disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi. Secara histopatologi dapat

dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut.

Terdapat dua jenis gastritis yaitu gastritis akut dan kronik. Inflamasi ini

18
mengakibatkan sel darah putih menuju ke dinding lambung sebagai respon

terjadinya kelainan pada bagian tersebut (Kasron & Susilawati, 2018).

Gastritis akut adalah inflamasi mukosa lambung, sering

diakibatkan dari pola diet yang tidak teratur. Sedangkan gastritis kronik

adalah inflamasi mukosa lambung yang berkepanjangan yang disebabkan

baik oleh ulkus benigna atau maligna dari lambung, atau oleh bakteri

helicobacter pylori (Kasron & Susilawati, 2018). Menurut Ardiansyah

(2012) gastritis adalah suatu peradangan pada mukosa lambung yang

bersifat akut, kronik, difus atau loka, dengan karakteristik anoreksia,

perasaan penuh di perut, tidak nyaman pada epigastrium, mual dan

muntah.

2. Etiologi

Menurut Nauri (2015) ada beberapa yang dapat menyebabkan

penyakit gastritis yaitu sebagai berikut:

a. Infeksi bakteri

Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi bakteri Helicobakter

Pylory yang hidup dibagian dalam lapisan mukosa dinding lambung.

Helicobakter Pylory ini diketahui sebagai penyebab tersering

terjadinya gastritis. Infeksi dalam jangka waktu yang lama akan

menyebabkan peradangan menyebar yang kemudian mengakibatkan

perubahan pada lapisan kulit pelindung dinding lambung.

19
b. Stress fisik

Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau

infeksi berat yang menyebabkan gastritis dan juga borok serta

perdarahan pada lambung.

Sedangkan Puri dan Suyanto (2012) bahwa penyebab terjadinya

gastritis adalah faktor stress. Hal yang sama diungkapkan oleh

Kurniyawan dan Kosasih (2015) hasil penelitian ini di temukan penyebab

terjadinya gastritis adalah faktor stres 78,57%, faktor makanan 63,39%,

faktor obat 53,57%. Sehingga disimpulkan faktor paling banyak penyebab

kekambuahan gastritis adalah faktor stress dikarenakan. Stres psikologi

akan meningkatkan akitifitas saraf simpatik yang dapat merangsang

peningkatan produksi asam lambung. Peningakatan HCL ini dirangsang

oleh mediator kimia yang dikeluarkan oleh neuron simpatik seperti

epinefin sehingga gastritis bisa kambuh.

3. Klasifikasi gastritis

Secara garis besar gastritis menurut Kasron & Susilawati (2018) dapat di

bagi menjadi dua yaitu:

a. Gastritis akut

Gastritis akut dapat disebabkan oleh stres, zat kimia misalnya

obat-obatan dan alkohol, makanan yang pedas, panas maupun asam.

Gastritis akut merupakan peradangan pada mukosa lambung yang

menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung akibat terpapar

pada zat iritan. Erosi tidak mengenai lapisan otot lambung. Inflamasi

20
akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit

yang ringan. Penyebab terberat dari gastritis akut adalah makanan yang

bersifat asam atau alkali kuat, yang menyebabkan mukosa menjadi

ganggren atau perforasi.

b. Gastritis kronik

Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa

lambung yang bersifat menahun sering bersifat multifaktor dengan

perjalanan klinik bervariasi. Gastritis kronik ditandai dengan atropi

progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan chief cell di

lambung, dinding lambung menjadi tipis dan permukaan mukosa

menjadi rata.

Gastritis kronik dihubungkan dengan ulkus peptik dan

karsinoma lambung tetapi hubungan sebab akibat antara keduanya

belum diketahui. Penyakit gastritis kronik menimpa kepada orang yang

mempunyai penyakit gastritis yang tidak disembuhkan. Awalnya sudah

mempunyai penyakit gastritis dan tidak disembuhkan, maka penyakit

gastritis menjadi kronikdan susah untuk disembuhkan. Gastritis kronik

terjadi infiltrasi sel-sel radang pada lamina propria dan daerah intra

epitel terutama terdiri dari sel-sel radang kronik, yaitu linfosit dan sel

plasma.

Penyebab pasti dari penyakit gastritis kronik belum diketahui,

tetapi ada dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan kejadian

gastritis kronik, yaitu infeksi dan non infeksi.

21
1) Gastritis infeksi

Beberapa peniliti menyebutkan bakteri Helicobacter pylori

merupakan penyebab utama dari gastritis kronik. Infeksi

Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan

dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Saat

ini infeksi Helicobacter pylori diketahui sebagai penyebab

tersering heilmanni, Mycobacteriosis, Syphilis, infeksi parasit dan

infeksi virus.

2) Gastritis non-infeksi

a) Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika sistem kekebalan

tubuh menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding

lambung. Hal ini mengakibatkan peradangan dan secara

bertahap menipiskan dinding lambung, menghancurkan

kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan mengganggu

produksi faktor intrinsic\k yaitu sebuah zat yang membantu

tubuh mengabsorbsi vitamin B-12. Kekurangan viamin B-12

akhirnya dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah

kondisi serius yang jika dirawat dapat mempengaruhi seluruh

sistem dalam tubuh. Autoimmue atrophic gastritis terjadi

terutama pada orang tua.

b) Gastropati akibat kimia, dihubungkan dengan kondisi refluk

garam empedu kronis dan kontak dengan OAINS atau Aspirin.

22
c) Gastropati uremik, terjadi pada gagal ginjal kronis yang

menyebabkan ureum terlalu banyak beredar pada mukosa

lambung dan gastritis sekunder dari terapi obat-obatan.

d) Gastritis granuloma non-infeksi kronis yang berhubungan

dengan berbagai penyakit, meliputi penyakit Crohn,

Sarkoidosis, Wegener granulomatus, penggunaan kokain,

Isolated granulomatous gastritis, penyakit granulomatus kronik

pada masa anak-anak, Eosinophilic granuloma, Allergic

granulomatosis dan vasculitis, Plasma cell granulomas,

Rheumatoid nodules, Tumor amyloidosis, dan granulomas yang

berhubungan dengan kanker lambung.

e) Gastritis limfositik, sering disebut dengan collagenous gastritis

dan injuri radiasi pada lambung.

Berikut secara singkat penyebab gastritis keseluruhan secara

umum:

a) Obat-obatan seperti anti-inflamasi nonsteroid (OAINS)

(indometasin, ibuprofen, dan asam sakisilat), sulfonamide,

steroid, kokain, agen kemoterapi (mitomisin. 5-fluora 2-

deoxyurline), salisilat, dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa

lambung. Hal tersebut menyebabkan peradangan pada ambung

dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas

melindungi dinding lambung. Hal tersebut terjadi jika

pemakaiannya dilakuakan secara terus menerus atau pemakaian

23
yang berlebihan sehingga mengakibatkan gastritis dan peptic

ulcer.

b) Rokok dan minuman beralkohol seperti whisky, vodka, dan gin.

Gastritis lebih banyak dijumpai pada mereka yang merokok,

dibandingkan dengan yang bukan merokok. Merokok dapat

mrngakibatkan penurunan tekanan pada ujung bawah atas

lambung sehingga mempercepat terjadinya sakit maag.

Merokok dapat meningkatkanasam lambung sehingga menunda

penyembuhan lambung dan merupakan penyebab terjadinya

kanker lambung. Merokok juga mengurangi rasa lapar dan

nafsu makan. Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan

mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding

lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada

kondisi normal sehimgga, dapat menyebabkan perdarahan.

c) Infeksi bakteri seperti H. Pylor, H. Heilmanii, streptococci,

staphylococci, proteus spesies, clostridium spesies, E. Coli,

tubercolosis dan secondary syphilis.

d) Infeksi virus oleh Sitomegalovirus.

e) Infeksi jamur candidiasis, histoplasmosis dan phycomycosis.

f) Stres psikologis maupun stres fisik yang disebabkan oleh luka

bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal nafas, gagal ginjal,

kerusakan susunan saraf pusat, dan refluks usus lambung.

24
g) Makanan dan minuman yang bersifat iritan, makanan

berbumbu dan minuman dengan kandungan kafein dan alkohol

merupakan agen-agen iritasi mukosa lambung.

h) Garam empedu, terjadi pada kondisi refluks garam empedu

(komponen penting alkali untuk aktivitas enzim-enzim

gastrointestinal) dari usus kecil ke mukosa lambung sehingga

menimbulkan respon peradangan mukosa.

i) Iskemia, hal ini berhubungan dengan akibat penurunan aliran

darah kelambung, trauma langsung lambung, berhubungan

dengan keseimbangan antara agresi dan mekanisme pertahanan

untuk menjaga intergritas mukosa, yang dapat menimbulkan

respons peradangan pada mukosa lambung.

j) Trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan

antara agresi dan mekanisme pertahanan untuk menjaga

integritas mukosa, yang dapat menimbulkan respon peradangan

pada mukosa lambung.

4. Patofisiologi

Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan,

biasanya bersifat jinak dan merupakan respon mukosa lambung terhadap

berbagai iritan lokal. Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik

ialah bila terdapat ketidakseimbangan faktor penyeramg (ofensif) dan

faktor pertahanan (defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni

peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan kapasitas defensif mukosa.

25
Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu,

enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-negatif,

OAINS, alkohol dan radikal bebas. Sedangkat sistem oertahanan atau

faktor defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen

preepitelial, epitelial, dan subepitelial (Kasron & Susilawati, 2018).

Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah

berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang

fisikokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen. Lapis

pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktivitas oertahanannya

meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk

mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel. Lapisan pertahanan

ketiga adalah aliran darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis

pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat (Kasron &

Susilawati, 2018).

Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi,

kafein, alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi

H. Pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut.

Organisme tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan

lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat

lain juga terlibat, misalnya OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen),

sulfanomid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan

etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila

alkohol diminum brsama aspirin, efeknya akan lebuh merusak masing-

26
masing agen tersebut bila diminum secara terpisah (Kasron & Susilawati,

2018).

Gastritis terjadi akibat peradangan pada mukosa lambung yang

menimbulkan rasa nyeri yang ke epigastrium bagian atas. Reflek-reflek

pada mukosa lambung menyebabkan kelenjar saliva mengeluarkan saliva

dalam jumlah besar. Dan sering menelan saliva menyebabkan banyak

udara yang berkumpul di lambung. Penggunaan aspirin, alkohol, memakan

makanan yang berbumbu secara berlebihan atau dalam jumlah yang besar

dapat mengurangi daya tahan mukosa, ditambah dengan keadaan stres

yang dapat menyeabkan sekresi asam lambung berlebihan dan ini akan

menimbulkan komplikasi berlebihan dan ini akan menimbulkan

koomplikasi yaitu tukak lambung (Kasron & Susilawati, 2018).

5. Manifestasi Klinis

Menurut Nuari (2015) gastritis menurut jenisnya terbagi menjadi dua

yaitu:

a. Gastritis Akut

Paling sering disebabkan oleh pola diet, seprti makan porsi besar atau

banyak, terlalu cepat, makan-makanan yang terlalu banyak bumbu,

atau makanan terinfeksi. Penyebab lain termasuk alcohol, aspirin, dan

terapi radiasi.

b. Gastritis Kronis

Inflamasi yang berkepanjangan yang disebabkan oleh ulkus lambung

jinak maupun ganas oleh bakteri Helicobacter pylori.

27
Rasa perih pada lambung merupakan hal yang sering menyertai

gastritis. Hal ini dapat disebabkan karena adanya suatu proses peradangan

yang terjadi akibat dari adanya iritasi pada mukosa lambung. Namun,

gejala sakit gastritis tersebut tidak harus terasa perih, akan tetapi rasa yang

tidak nyaman pada lambung yang dibarengi dengan mual atau kembung

dan sering sendawa atau cepat merasa kenyang juga merupakan gejala skit

gastritis. Serta gejala lainnya adalah rasa pahit yang dirasakandi mulut.

Rasa pahit ini timbul karena asam lambung yang berlebihan mendorong

naik ke kerongkongan sehingga kadang kala timbul rasa asam ataupun

pahit pada kerongkongan dan mulut. Pada gastritis akut, biasanya disertai

dengan adanya sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, mntah,

kembung, sering flatus, cepat kenyang, rasa penuh didalam perut, rasa

panas seperti terbakar dan sering sendwa merupakan salah satu keluhan

yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa

hematemesis dan melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia

pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam,

terdapat riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu

(Kasron & Susilawati, 2018).

Pada gastritis kronik, biasanya tidak menyebabkan gejala apapin.

Hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia, nausea, berat

badan menurun, keluhan yang berhubungan dengan anemia dan pada

pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan. Gastritis yang berkembang

secara bertahap biasanya menimbulkan gejala seperti sakit yan tumpul atau

28
ringan (dull pain) pada perut bagia atas dan terasa penuh atau kehilangan

selera makan setelah makan beberapa gigitan (Kasron & Susilawati, 2018).

a. Sendawa

Sendawa (burping/belching) adalah keluarnya gas dari saluran cerna

(esofagus dan lambung) ke mulut yang disertai dengan adanya suara

dan kadang-kadang bau.

b. Kembung

Untuk memahami kembung ada 2 hal yang harus diketahui: Bloating

(gejala): Merupakan perasaan (subyektif) perut seperti lebih besar dari

normal, jadi merupakan suatu tanda atau gejala ketidaknyamanan,

merupakan hal yang lebih ringan dari distention.

Distention (tanda): Merupakan hasil pemeriksaan fisik (obyektif)

dimana didapatkan bahwa perut lebih besar dari normal, bisa

didapatkan dari observasi saat menggunakan baju jadi kesempitan dan

lambung jelas lebih besar dari biasanya.

c. Flatus atau kentut

Flatus merupakan keluarnya gas dalam saluran cerna melalui anus

yang bersumber dari udara yang tertelan atau hasil produksi dari

bakteri. Namun terjdinya flatus lebih sering diakibatkan oleh produksi

dari bakteri di saluran cerna atau usus besar beruba hidrogen atau

methan pada keadaan banyak mengomsumsi kandungan gula dan

polisakarida. Contoh gula adalah seperti laktosa, sorbitol sebagai

29
pemanis rendah kalori, dan fuktosa pemanis yang biasanya digunakan

pada permen.

6. Pemeriksaan penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang gastritis menurut Nuari (2015) meliputi:

a. Laboratorium: Nilai haemoglobindan hematokrit untuk menentukan

adanya anemia akibat perdarahan, kadar serum gastrin rendah atau

normal, atau meninggi pada gastritis kronik yang berat, pemeriksaan

asam lambung untuk mengetahui ada atau tidak peningkatan asam

lambung, lab feses untuk tes akan H. Pylory, elektronik natrium: dapat

meningkat sebagai kompensasi hormonal terhadap simpanan cairan

tubuh, kalium: dapat menurun pada awal karena pengosongan gaster

berat atau muntah atau diare berdarah. Penngkatan kadar kalium dapat

terjadi setelah transfusi darah, amitase serum: meningkat dengan ulkus

duodenal. Kadar rendah diduga gastritis.

b. Radiologi rontgen dengan sinar X barium untuk melihat kelainan

gastrointestinal atas maupun mukosa lambung.

c. Endoskopi dengan menggunakan gastrocopy untuk melihat kelainan

mukosa lambung.

7. Komplikasi

Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan

gastritis kronik. Gastritis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran

cerna bagian atas berupa hematemesis dan melena. Sedangkan gastritis

kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas lkus,

30
perforasi dan anemia karena gangguan absorbsi vitamin B12, kanker

lambung (Kasron & Susilawati, 2018).

Adapun komplikasi gastritis yang berat yaitu struktur esofagus

komplikasi gastritis ini merupakan gangguan pencernaan yang sering

disebabkan oleh adanya mekanisme refluk (dimana pada saat lambung

mengalami refluks, asam pada lambung dapat kembali ke dalam

kerongkongan) dan mengiritasi lapisan di kerongkongan. Jika iritasi ini

terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerongkongan

menjadi sempit dan terbatas yang dikenal sebagai struktur esofagus.

Seperti struktur esofagus, komplikasi gastritis seperti stenosis pilori

disebabkan oleh iritasi jangka panjang oleh asam lambung. Stenosis pilori

disebabkan oleh iritasi jangka panjang oleh asam lambung. Stenosis pilori

terjadi ketika bagian antara perut dan usus kecil (yang disebt pilori)

menjadi luka dan menyempit. Hal ini dapat menyebabkan muntahdan juga

mencegah makanan dapat dicerna baik oleh usus. Pengobatan stenosis

pilori adalah dengan jalan operasi. Barret’s esophagus episode berulang

dari penyakit gastro esofagus refluks dapat menyebabkan komplikasi

gastritis berupa perubahan pada sel yang melapisi bagian bawah esofagus.

Kondisi ini dikenal sebagai Barret esofagus. Barret esofagus adalah suatu

kondisi pra kanker sehingga dikemudian hari akan memicu timbulnya

kanker esofagus (Kasron & Susilawati, 2018).

31
8. Penatalaksanaan medis

Tujuan utama dalam pengobatan gastritis ialah menghilangkan

nyeri, menghilangkan inflamasi dan mencegah terjadinya ulkus peptikum

dan komplikasi. Berdasarkan fatofisiologinya terapi farmakologi gastritis

ditujukan untuk menekan faktor agresif (asam lambung) dan memperkuat

faktor defensif (ketahanan mukosa). Sampai saat ini pengobatan ditujukan

untuk mengurangi asam lambung yakni dengan cara menetralkan asam

lambung dan mengurangi sekresi asam lambung. Swlain itu, pengobatan

gastritis juga dilakukan dengan memperkuat mekanisme defensif mukosa

lambung dengan obat-obat sitoproteksi (Kasron & Susilawati, 2018).

Pengobatan gastritis meliputi terapi konservatif dan medika

mentosa. Terapi konservatif meliputi perubahan pola hidup yang dapat

menyebabkan risiko terjadinya gastritis, konsumsi makan secara teratur,

mengatasi sres, tidak merokok, berhenti minum alkohol atau kopi. Terapi

mandiri juga dapat dilakukan seperti menggunakan air teh, air kaldu, air

jahe dan soda kemudian diberikan peroral pada interval yang sering.

Makanan yang sudah dihaluskan seperti pudding, agar-agar dan sup,

biasanya dapat ditoleransi setelah 12-24 jam dan kemudian makanan-

makanan berikutnya ditambahkan secara bertahap. Pasien dengan gastritis

superficial yang kronis biasanya berespon terhadap diet sehingga harus

menghindari makanan yang berbumbu banayak atau berminyak (Kasron &

Susilawati, 2018).

32
Terapi medikamentosa atau terapi farmakologis adalah terap yang

menggunakan obat-obatan yang menetralisir keasaman lambung seperti

antasida, obat yang dapat mengurangi produksi asam lambung yaitu

Antagonis Histamin-2 (AH2), Proton Pump Inhibator (PPI), obat yang

meningkatkan faktor defensif lambung yaitu Agonis Prostaglandin atau

Sukralfat dan Antibiotik untuk eradikasi H.pylori (Kasron & Susilawati,

2018).

Pasien gastritis mengalami peningkatan sekresi asam lambung.

Ranitidin dan antarasida merupakan obat antiulcer yang paling banyak

digunakan dalam terapi gastritis, ranitidin diberikan sebelum makan

dengan tujuan memaksimalkan penghambatan sekresi asam lambung dari

makanan sedangkan antasida bertujuan untuk menetralkan aam lambung

(Kasron & Susilawati, 2018).

Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam

hidroklorik, membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman

lambung. Enzim pepsin tidak aktif pada pH lebih tinggi dari empat, maka

penggunaan antasida juga mengurangkan aktivitas pepsin, Obat ini juga

memiliki efek pengurangan kolonisasi H. pylori dan merangsang sintensis

prostaglandin. Ada tiga cara antasida mengurangi keasaman cairan

lambung, yaitu cara langsung menetralkan cairan lambung, kedua dengan

berlaku sebagai buffer terhadap hydrochloric acid lambung yang pada

keadaan normal mempunyai pH 1-2 dan ketiga dengan kombinasi kedua

cara tersebut di atas. Antasida akan mengurangi ransangan asam lambung

33
terhadap ransangan asam lambung terhadap saraf sensoris dan melindungi

mukosa lambung terhadap perusakan oleh pepsin. Zat antasida sangat

bervariasi dalam komposisi kimia, kemampuan menetralkan asam,

kandungan natrium, rasa dan harganya. Kemampuan untuk menetralkan

asam suatu antasida tergantung pada kapasitanya untuk menetralkan HCI

lambung dan apakah lambung dalam keadaan penuh atau kosong

(makanan memperlambat pengosongan lambung, memungkinkan antasida

bekerja untuk waktu yang lebih lama). Oleh karena itu hal tersebut efek

antasida lebih baik jika dikomsumsi setelah makan (Kasron & Susilawati,

2018).

Antasida yang biasa digunakan adalah garam aluminium dan

magnesium. Contoh seperti aluminium hidroksida (biasanya campuran

AI(OH)3 dan aluminium oksidahidrat) atau megnesium hidroksida

(MgOH2) baik tunggal ataupun kombinasi. Garam kalsium yang dapat

merangsang pelepasan gastrin maka penggunaan antasida yang

mengandung kalsium seperti pada kalsium bikarbonat (CaCO3) dapat

menyebabkan produksi tambahan. Absorbsi natrium bikarbonat

(NaHCO3) secara sistemik dapat menyebabkan alkalosis metabolik

sementara. Oleh karena itu hal tersebut, antasida tidak dianjurkan untuk

penggunaan jangka panjang. Golongan obat ini pengomsumsiannya

memang harus dikunyah terlebih dahulu, hal ini untuk meningkatkan kerja

obat dalam menurunkan asam lambung. Efek samping dari obat antasida

bervariasi tergantung zat komposisinya. Aluminium hidroksida dapat

34
menyebabkan konstipasi, sedangkan magnesium hidroksida dapat

menyebabkan diare. Kombinasi keduanya dapat membantu menormalkan

fungsi usus. Selain menyebabkan alakalosis sistemik, natrium bikarbonat

melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung (Kasron

& Susilawati, 2018).

H2 Bloker merupakan antagonis histamin reseptor H2 menghambat

histamin pada semua reseptor H2 namun penggunaan klinis utamanya

ialah sebagai penghambat sekresi asam lambung. Penggunaan obat

antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi asam

lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam nokturnal.

Strukturnya homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya secara

kompetitif memblokir perletakan histamin pada reseptornya sehingga sel

parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.

Inhibasi bersifat reversibel. Empat macam obat yang digunakan yaitu

simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Simetidin dan antagonis H2

lainnya diberikan secara per-oral, didistribusikan secara luas ke seluruh

tubuh dan diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat.

Ranitidin memiliki masa kerja yang panjang dan lima sampai sepuluh kali

lebih kuat. Efek farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20-

50 kali lebih kuat dibandingkan dengan simetidin dan 3-20 kali lebih kuat

dibandingkan ranitidin. Efek farma-kologi nizatidin sama seperti ranitidin,

nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi metabolisme.

Komsumsi obat antagonis reseptor H2 pada malam hari dikarenakan

35
lambung relatif kosong dan peningkatan pH akan mempercepat

penyembuhan penyakit tukak lambung (Kasron & Susilawati, 2018).

Efek samping simetidin biasanya ringan dan hanya terjadi pada

sebagian kecil pasien saja sehingga tidak memerlukan penghentian

pengobatan. Efek samping yang sering terjadi adalah sakit kepala, pusing,

diare dan nyeri otot. Efek samping saraf pusat seperti bingung dan

halusinasi terjadi pada lanjut usia. Simetidin memiliki efek endokrin

karena karena obat ini bekerja sebagai antiandrogen nonsteroid. Efek ini

berupa ginekomastia, galaktorea dan penurunan jumlah sperma (Kasron &

Susilawati, 2018).

Pada dosis standar baik lansoprazol atau omeprazol menghambat

sekresi asam lambung berasal dari sekresi karena rangsangan lebih dari

90%. Omeprazol merupakan basa lemah (pKa 4-5) yang bersifat lipofilik

(mudah larut dalam lemak) dan setelah diabsorbsi di usus halus dapat

segera melewati membran lemak ke kompartemen yang asam (contohnya

pada sel parietal kanalukili). Setelah itu prodrug terprontonasi dan menjadi

molekul aktif, kation thiofilik sulfonamid akan bereaksi dengan H+/K+

ATPase membentuk ikatan kovalen disulfida dan menonaktifkan enzim

tersebut secara irreversibel. Farmakodinamik dari omeprazole yaitu

mampu menghambat baik sekresi asam lambung pada saat makan ataupun

puasa. Obat ini memblok tahap akhir dari sekresi asam lambung yaitu

memblok respto H+/K+ ATPase berbeda dengan H2 reseptor antagonis.

Menurut penelitian, Omeprazolee juga menghambat enzim karbonik

36
anhidrase yang dapat menyebabkan vasokontriksi. Penekanan asam

dimulai 1-2 jam setelah dosis pertama lansoprazol dan lebih cepat dengan

omeprazol. Penelitian klinis samoai saat ini menunjukkan bahwa

lansoprazole dan omeprazol lebih efektif untuk jangak pendek

dibandingkan dengan antagonis H2. Omeprazol digunakan dengan berhasil

bersama obat-obat anti mikroba untuk mengeradikasi kuman H. pylori.

Omeprazol dan lansoprazol berupa tablet salut enterik untuk

melindunginya dari aktivitas prematur oleh asam lambung. Setelah

diabsorbsi dalam duodenum, obat ini akan dibawa ke kalanikulus dari sel

perital asam dan akan diubah menjadi dalam bentuk aktif. Metabolit obat

ini diekresikan dalam urine dan fases. Sediaan omeprazol adalah kapsul.

Saat mengomsumsi omeprazol,kapsul harus ditelan utuh dengan air

(kapsul tidak dibuka, dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum

sebelum makan. Minum obat 30-60 menit sebelum makan, sebaiknya pagi

hari. Efek samping omeprazol dan lansoprazol biasanya dapat diterimah

baik oleh tubuh. Namun oenggunaan jangka panjang, obat tersebut dapat

meningkatkan insidensi tumor karsinoid lambung yang kemungkinan

berhubungan dengan efek hiperklorhidria yang berkepanjangan dan

hipergastrinemia sekunder (Kasron & Susilawati, 2018).

Untuk melindungi mukosa lambung dari serangan asam lambung

juga diberikan agen sitoproteksi (sukralfat) yang dapat melindungi mukosa

lambung. Sulcralfate dapat diberikan untuk melindungi mukosa lambung

dengan cara menyeliputinya, untuk mencegah difusi kembali asam dan

37
pepsin yang menyebabkan iritasi, antikoagulan juga bisa ditambahkan bila

ada pendarahan pada lambung (Kasron & Susilawati, 2018).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

antibiotik tidak diberikan pada referensi yang disebabkan oleh virus atau

penyakit yang dapat sembuh sendiri (self limited), sedangkan apabila anti

biotik diberikan pada pasien yang tidak mengalami infeksi bakteri hal ini

dapat menyebabkan terjadinya resitensi. H. Pylori dapat diatasi dengan

antibiotic (seperti tetrasiklin atau amoksilin) dan garam bismut pepto

bismo).

Ada juga terapi tambahan yang digunakan yaitu larutan elektrolit,

antiemetik, analgesik dan antipiretik, dan antidiare. Pemberian larutan

elektrolit pada pasien gastritis bertujuan untuk mengembalikan kekurangan

dan kehilangan cairan akibat muntah yang terjadi. Larutan elektrolit yang

banyak digunakan yaitu infusRinger Laktat dan oralit. Infus Ringer Laktat

hampir sama dengan ion-ion utama didalam plasma normal sehingga

cairan ini cocok sebagai cairan pengganti parenteral terhadap kehilangan

cairan dan elektrolit dari kompartemen ekstraseluler, sedangkan oralit

dimaksudkan diberikan tiap kali pasien muntah agar keseimbangan cairan

tubuh tetap terjaga. Untuk mengatasi keluhan mual dan muntah yang

dialami oleh pasien gastritis diberikan obat antiemetik, yang banyak

digunakan ialah domperidon. Untuk mengatasi demam yang terjadi maka

diberi parasetamol yang memiliki dua fungsi yakni sebagai analgesik dan

antipiretik.

38
9. Penatalaksanaan keperawatan

Menurut Smeltzer dan Bare (2014) penatalaksanaan atau tindakan

keperawatan pada pasien gastritis untuk meningkatkan nutrisi yang

optimal adalah sebagai berikut:

a. Berikan dukungan fisik dan emosional untuk pasien gastritis akut

b. Bantu pasien menangani gejala (misalnya mual, muntah, nyeri ulu hati,

dan keletihan)

c. Anjurkan pasien untuk melaporkan setiap gejala yang menunjukkan

episode gastritis berulang ketika makanan dimasukkan

d. Cegah konsumsi minuman kafein, alcohol, dan merokok (nikotin

menghambat netralisasi asam lambung didalam duodenum)

e. Rujuk pasien untuk menjalani konseling alcohol dan berhenti merokok

jika tepat.

39
BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan desain yang

digunakan adalah studi kasus. Dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus

pada satu kasus tertentu untuk diamati dan di analisis secara cermat sampai

tuntas. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa batasan studi kasus

meliputi sasaran penelitian yang dapat berupa manusia/pasien dan keluarga,

peristiwa dan tempat kejadian. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan,

mempelajari, dan menjelaskan fenomena tersebut.

B. Subjek Studi Kasus

Subjek studi kasus terdiri satu klien Gastriris, dengan kriteria :

1. Inklusi :

a. Pasien yang bersedia menjadi responden

b. Pasien dengan usia >18 tahun

c. Pasien yang mengalami Gastritis

d. Pasien yang mengalami gangguan nutrisi

e. Pasien yang mual muntah

f. Pasien yang tidak ada atau nafsu makannya menurun

g. Pasien yang asupan makan tidak dihabiskan

h. Pasien yang mengalami penurunan berat badan

40
i. Pasien yang dirawat inap

2. Eksklusi :

a. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran

C. Fokus Studi Kasus

Penelitian ini berfokus pada asuhan keperawatan untuk mengatasi

masalah kebutuhan nutrisi pada pasien gastritis.

D. Definisi Operasional

Studi kasus asuhan keperawatan :

1. Kebutuhan nutrisi merupakan zat-zat gizi yang berhubungan dengan

kesehatan dan penyakit, termasuk proses pemasukan dan pengolahan

makanan oleh tubuh yang bertujuan menghasilkan energy yang dapat

digunakan dalam aktivitas tubuh sehari-hari.

2. Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang disebabkan

karena pola makan yang kurang baik dan tidak teratur. Biasanya ditandai

dengan anorexia, mual dan muntah, nyeri pada epigastrium, pendarahan,

anemia, dan sebagainya.

E. Instrumen Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dan instrument pengumpulan data yang

digunakan dalam studi kasus di tuliskan karakteristik responden. Jenis

instrument yang digunakan antara lain :

41
1. Intrumen

Instrumen yang akan dilakukan adalah format pengkajian keperawatan

medikal bedah dan catatan perkembangan pasien.

2. Metode pengumpulan data

a. Metode Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara berinteraksi, bertanya dan mendengarkan apa yang disampaikan

secara lisan oleh responden atau partisipan.

b. Metode Observasi

Observasi adalah kegiatan pengumpulan data melalui pengamatan

langsung terhadap aktivitas responden atau partisipan yang terencana,

dilakukan secara aktif dan sistematis.

F. lokasi dan waktu penelitian

1. Lokasi penelitian : Penelitian akan di laksanakan Di UPT Puskesmas Kahu

Kabupaten Bone

2. Waktu penelitian : Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni 2019

G. Analisa data dan Penyajian Data

Analisa data dilakukan setelah selesai pengumpulan data asuhan keperawatan

dan hasil yang diperoleh, maka selanjutnya data di analisa untuk mengetahui

gambaran asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien

gastritis.

42
H. Etika Studi Kasus

Dalam melakukan penelitian, perlunya ada rekomendasi dari institusi dengan

mengajukan surat permohonan izin kepada institusi atau lembaga yang

ditempati untuk penelitian. Selain itu, dalam melakukan penelitian tetap

memperhatikan masalah etika penelitian yang meliputi :

1. Informed consent (persetujuan menjadi klien)

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan dengan

memberikan lembar persetujuan yang diberikan sebelum penelitian

dilaksanakan. Jika partisipan bersedia, maka harus menandatangani lembar

persetujuan. Tetapi, jika partisipan menolak maka penelitian tidak boleh

dilaksanakan dan menghormati hak partisipan. Tujuan informed consent

adalah agar partisipan mengerti, maksud dan tujuan penelitian, serta

mengetahui dampaknya.

2. Anonymity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan partisipan peneliti tidak mencantumkan nama

responden/partisipan dan hanya manuliskan kode pada lembar

pengumpulan data.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun

masalah-masalah lainnya. Peneliti menjamin kerahasiaan partisipaan,

hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.

43

Anda mungkin juga menyukai