Anda di halaman 1dari 54

MINI RISET

DEPARTEMEN GERONTIK

PENGARUH MUSIC BRAINWAVE (NEW AGE) TERHADAP KUALITAS


TIDUR LANSIA DI UPT PSTW BLITAR DI TULUNGAGUNG

RISKI HIDAYAT 1812B2013


TITO ADI NUGROHO 1812B2015
MOHAMAD IRFAN HELMI RAMADHAN 1812B2010
ELDA HARTINI BOIMAU 1812B2035
ERNA AHMAD 1812B1005
FATMA NAVIATUS SHOLIKHAH 1812B2037
FATMA LITA`` 1812B2038
MARYATI 1812B2044
YOLANDA DWI WIRAWANTI 1812B2052

PROFESI NERS
STIKES SURYA MITRA HUSADA
KEDIRI
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

1. Judul Kegiatan :Pengaruh Music Brainwave (New Age) Terhadap


Kualitas Tidur Lansia di Wisma Mawar UPT
PSTW Blitar Di Tulungagung.
2. Bidang Kegiatan : Studi Kasus
3. Bidang Ilmu : Profesi Ners
4. Ketua Pelaksana
a. Nama Lengkap : Dedi Saifullah, S.Kep Ns
b. NIK : 13.07.14.005
c. NIDN/NUPN :
d. Alamat :Jl. Manila No 37 Sumberece Kota Kediri
5. Anggota Pelaksana Kegiatan:
a. Risky Hidayat d. Elda H. Boimau g. Fatma Naviatus S.
b. Tito Adi Nugroho e. Erna Ahmad h. Maryati
c. Mohamad Irfan Helmi R f. Fatma Lita i. Yolanda Dwi W.
6. Tempat Pelaksanaan : Wisma Mawar UPT PSTW Blitar DiTulungagung
7. Waktu Pelaksanaan : 11 Maret 2019- 16 Maret 2019
8. Anggaran biaya : Rp. 5.000.000
Menyetujui
Ketua Pelaksana Ketua Program Studi Pendidikan Ners
STIKes Surya Mitra Husada Kediri

Dedi Saifullah, S.Kep.,Ns.M.Kes Atik Setiawan W. S.Kep.Ns.M.Kep


NIK. 13.07.14.005 NIK. 13.07.16.003

Kepala Ketua LPPM


UPT PSTW Blitar Di Tulungagung STIKes Surya Mitra Husada Kediri

Sunu Pantjadharmo Prima Dewi Kusumawati,S.Kep.Ns.,M.Kes


Pembina NIK. 13.07.03.011
NIP. 19661104 199201 1 001

Ketua
STIKes Surya Mitra Husada Kediri

Dr. Sandu Siyoto,S.Sos.,SKM.,M.Kes


NIP. 197002161992031007
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kualitas tidur yang baik merupakan sebuah keinginan bagi setiap

orang. Sayangnya, dalam kondisi kehidupan yang serba sibuk dan cepat

seperti sekarang ini, kualitas tidur yang baik jarang dimiliki oleh banyak

orang sehingga Kualitas dan kuantitas tidur menjadi kurang dan dapat

mengakibatkan terjadinya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan

penurunan tingkat atensi di siang hari serta dapat menimbulkan konsekuensi

serius lainnya seperti peningkatan angka kejadian kecelakaan mobil dan

motor (Steven, 2015).

Tidur berfungsi sebagai restorative (mengembalikan ke keadaan

sebelumnya) dan homeostatic (kecenderungan untuk tetap stabil dalam

keadaan tubuh organisme normal) dan penting untuk termoregulasi dan

cadangan energi normal (Kaplan & Sadock, 2007). Kualitas tidur seseorang

tidak tergantung pada jumlah atau lama tidur, tetapi bagaimana pemenuhan

kebutuhan tidur orang tersebut. Indikator tercukupinya pemenuhan kebutuhan

tidur seseorang adalah kondisi tubuh waktu bangun tidur, jika setelah bangun

tidur merasa segar berarti pemenuhan kebutuhan tidur telah tercukupi (Potter

& Perry, 2009).

Kualitas tidur yang baik dan teratur menyebabkan aktifitas tubuh dan

aktifitas keseharian akan berjalan normal. Orang yang memiliki kualitas tidur

yang baik dan sehat membantu menjaga kesehatan fisik kesehatan mental
serta kualitas hidup secara umum. Sebaliknya, orang yang mengalami

gangguan tidur seperti insomnia akan berpengaruh buruk terhadap aktifitas

kesehariannya (Kaplan & Sadock, 2007).

Menurut WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun

berjumlah 142 juta (WHO, 2012). Jumlah penduduk Jawa Timur mencapai

36,058,107 jiwa dengan jumlah lansia mencapai 2,971,004 jiwa (BPS, 2011).

Hasil data epidemiologi (2008), didapatkan bahwa prevalensi gangguan

kualitas tidur pada lansia di Indonesia sekitar 49% atau 9,3 juta lansia. Di

pulau Jawa dan Bali prevalensi gangguan tersebut juga cukup tinggi sekitar

44% dari jumlah total lansia. Di Jatim 45% dari jumlah lansia juga dilaporkan

mengalami gangguan tidur di malam hari (Dinkes Jatim, 2008). Petugas panti

telah melakukan beberapa cara untuk mengurangi gangguan tidur untuk lansia

agar kualitas tidurnya meningkat. Beberapa cara tersebut yaitu tarik nafas

sebelum tidur, melakukan pemijatan tubuh di pagi hari. Namun, cara tersebut

hanya dapat mengurangi jumlah lansia yang gangguan tidur.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada

tanggal 23 Juli 2017 di UPT PSTW Blitar Kabupaten Tulungagung,

didapatkan data terdapat 80 lansia yang tinggal disana. Dari hasil wawancara

dan observasi pada 10 orang lansia terdapat 7 lansia yang mengeluh sulit

untuk tertidur pada malam hari, sering terbangun malam hari dan merasa tidur

tidak nyenyak. Menurut petugas yang bertugas disana, telah melakukan

beberapa cara untuk mengurangi gangguan tidur untuk lansia agar kualitas
tidurnya meningkat. Beberapa cara tersebut yaitu tarik nafas sebelum tidur,

melakukan pemijatan tubuh di pagi hari.

Akibat gangguan tidur, deprivasi tidur, dan rasa mengantuk yaitu

penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan

kemungkinan kecelakaan, resiko morbiditas, dan mortalitas yang lebih tinggi,

dan penurunan kualitas hidup. Selain itu muncul juga ketidakbahagiaan,

dicekam kesepian dan yang terpenting, mengakibatkan penyakit-penyakit

degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut, perbirukan, dan

menjadi tidak terkontrol.

Ada beberapa cara untuk mengatasi kualitas tidur baik secara

farmakologis maupun non farmakologis. Salah satu langkah non farmakologi

yang dapat mengurangi keluhan gangguan tidur adalah dengan relaxation

therapy(Adesla, 2014).Intervensi relaksasi yang digunakan adalahmusik

brainwavedengan jenis musik yang diberikan pada intervensi ini adalah

musik new age. Music New Ages adalah sebuah aliran musik yang mampu

memberikan sebuah salah satu

pengalamanpositif,relaks,insipirasi,nyaman,semangat, dan ada unsur

kebudayaan. Musik New Age sebenarnya merupakan musik yang mengambil

berbagai macam bentuk dan arah dengan mengacu pada beberapa aliran

musik temasuk musik Electronic, Instrumental, Ambient, Drum and

Percussion, Minimalism, World Music (Native American, Celtic, Indian,

Ethnic). Dari hasil penelitian Smith dan Joyce (2004) menunjukkan bahwa

yang mendengarkan musik New Age merasa lebih relaks dan stresnya
berkurang. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan

meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik diterapkan

menjadi sebuah intervensi, musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan

memelihara kesehatan fisik mental, emosional, sosial dan spiritual. Hal ini,

disebabkan musik memiliki beberapa kelebihan yaitu, karena musik bersifat

nyaman, menenangkan, membuat rileks, bersruktur dan universal (Pusat Riset

Intervensi Musik, 2012).

Pemberian musik dengan tempo lambat dapat membantu dalam

memenuhi kebutuhan tidur pada lansia baik secara kualitas maupun kuantitas.

Musik ini dapat mengembalikan tubuh dengan kondisi yang tenang dalam

menurunkan rangsangan stressor yang ditangkap oleh panca indera (American

Music Therapy Association, 2010). Intervensi ini dapat menonaktifkan panca

indera dari rangsangan stressor walau hanya sementara sehingga tubuh

mendapat sinyal baru untuk tenang dan dapat segera tertidur/beristirahat.

Ketika gelombang pada otak tidak selaras dengan aktivitas kita, maka

terjadi suatu masalah. Otak memiliki sel-sel saraf yang di aliri muatan listrik

dan berosilasi dalam pola khusus yang disebut pola gelombang otak. Pola ini

sangat terkait dengan pikiran, emosi, suasana hati, kondisi biologis, dan semua

yang anda lakukan. Para ilmuwan dalam bidang ini mengelompokkan pola

gelombang pada otak yaitu : 1-4 Hz – Delta – tidur nyenyak, 4-7 Hz – Theta –

tidur ringan, 7-13 Hz – Alpha – kondisi yang damai, 13-21 Hz – Beta –

kondisi fokus, 20-32 Hz – Gamma – kecemasan. Ketika menggunakan musik

terapi gelombang otak, maka otak pada frekwensi sesuai audio yang
didengarkan (proses sinkronisasi), kondisi ini disebut sebagai ‘keadaan

meditasi’. Ketika kita dalam keadaan meditasi ini, kita dapat mendapatkan

manfaat di antaranya: peningkatan rasa bahagia, percaya diri, dan merasa baik,

meningkatkan kualitas tidur (Christine Charyton, 2011).

Berdasarkan studi kepustakaan diatas peneliti tertarik untuk

mengangkat judul penelitian “Pengaruh Musik Brainwave (New Age)

Terhadap Kualitas Tidur Lansia Di UPT PSTW Blitar Kabupaten

Tulungagung”.

A. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, maka

diajukan perumusan masalah peneliti ini, yaitu: “Apakah Ada Pengaruh

Musik Brainwave (New Age) Terhadap Kualitas Tidur Lansia Di UPT PSTW

Blitar Kabupaten Tulungagung”.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh

Musik Brainwave (New Age) terhadap kualitas tidur lansia di UPT PSTW

Blitar kabupaten tulungagung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kualitas tidur lansia sebelum diberikan terapi musik

gelombang otak Brainwave (New Age)pada lansia di UPT PSTW

Blitar Kabupaten Tulungagung.


b. Mengidentifikasi kualitas tidur setelah diberikan terapi musik

gelombang otak Brainwave (New Age) pada lansia di UPT PSTW

Blitar Kabupaten Tulungagung.

c. Menganalisa pengaruh Musik Brainwave (New Age) terhadap kualitas

tidur lansia di UPT PSTW Blitar Kabupaten Tulungagung.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Terapi Musik

a. Pengertian MusikNew Age

Music New Ages adalah sebuah aliran music yang mampu

memberikan sebuah salah satu

pengalamanpositif,relaks,insipirasi,nyaman,semangat, dan ada

unsur kebudayaan. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau kita bisa

menyukai sebuah musik new ages dengan bahasa yang sama sekali

kita tidak mengerti, atau sebuah lagu yang sudah diciptakan

beratus-ratus tahun yang lalu yang mungkin hanya dicipakan

dengan alat musik dan suara vokal seadanya. Mungkin anda yang

pernah mendengar lagu new ages pasti sangat mengerti kenapa

anda bisa mencintai musik ini. Contoh Orang yang menggunakan

Genre New Age : Paul Schwartz.

Musik New Age sebenarnya merupakan musik yang

mengambil berbagai macam bentuk dan arah dengan mengacu

pada beberapa aliran musik temasuk musik Electronic,

Instrumental, Ambient, Drum and Percussion , Minimalism, World

Music (Native American, Celtic, Indian, Ethnic). Tidak seperti

musik-musik jazz yang memiliki ciri khas tertentu yang mudah


diketahui seperti tempo dan improvisasi, musik new age amat

sangat fleksible. Bahkan beberapa musisi new age tertentu juga

menggabungkan nuansa jazz ke dalam musik new age yang mereka

mainkan. Irama yang dilantunkan di dalam musik ini bervariasi

dari yang melankolis hingga yang berirama nge-beat, dari yang

mengalun dengan merdu, hingga dilantunkan dengan lirik-lirik

yang bernuansa ritual ataupun pemujaan. Meskipun ada yang

dilantunkan dengan menggunakan lirik terutama dalam bentuk

choir, tetapi sebagian besar musik new age dimainkan tanpa lirik

dari vokalis. Alat musik yang digunakan di dalam musik new age

begitu beragam mulai dari piano, gitar akustik, flute, harpa,

instrument elektronik, hingga pada alat-alat musik tradisional

seperti sitar, tabla, dan tamborin. Musik ini ada yang dimainkan

secara solo maupun dengan menggunakan orchestra yang besar.

Beberapa jenis musik ini juga menggunakan metode entrainment,

binaural beats, dan gelombang otak, seperti betha, alpha, theta dan

delta. Oleh karena itu musik new age seringkali digunakan oleh

praktisi-praktisi meditasi, terapi musik, yoga ataupun sebagai cara

untuk meredakan ketegangan. Beberapa jenis musik new age akan

sangat terasa nyaman dan menenangkan jika di dengar dalam

suasana alam yang indah. Alunan nadanya terasa amat menyentuh.

Salah satu musisi yang melantunkan musik New Age adalah

kitaro. Musisi ini memiliki nama asli Masanori Takahashi. Nama


“Kitaro” diilhami dari tokoh kartun Kitaro yang cukup popular di

akhir tahun 1950an. Alat musik yang digunakannya adalah Piano,

Synthesizer, Keyboards, Drums, Perkusi, dan Gitar. Musiknya

banyak diilhami oleh alam. Efek-efek suara seperti deburan ombak,

gemericik air desir angin, dan suara kosmik yang dipadukan

dengan nuansa musik Asia mendominasi musik-musik yang

diciptakannya. Mendengarkan musik-musik Kitaro akan terasa

sangat nyaman ketika dibarengi dengan visualisasi pemandangan

alam yang indah seperti alam pegunungan, air terjun, deburan

ombak di pantai, dsb.

b. Pengertian Terapi Musik

Terapi musik terdiri dari 2 kata yaitu terapin dan musik.

Terapi kata berkaitan dengan serangkaian upaya yang di rancang

untuk membantu atau menolong orang. Biasanya kata tersebut

digunakan dalam konteks masalah fisik dan mental (Djohan, 2006).

Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan

musik dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau

memperbaiki kondisi fisik, emosional, kognitif dan sosial bagi

individu dari berbagai kalangan usia. Bagi orang sehat, terapi

musik bisa dilakukan untuk mengurangi stres dengan cara

mendengarkan musik (javasugar, 2009).

c. Jenis Terapi Musik


Dalam kongres terapi musik ke-9 di woshington 2007 di

presentasikan lima terapi musik, terapi musik tersebut adalah guide

imagery and music dan Helen Boni, creatif music therapy dari Poul

Nordoff dan Clive Robbins, behavioral music therapy darin

Clifford K. Madsen dan improvisasi music therapi dari Juliette

Alvin.

Guide imagery and music merupakanterapi yang disusun secara

berurutan guna mendukung, membangkitkan, dan memperdalam

pengalaman yang terkait dengan kebutuhan psikologis dan

fisiologis. Sepanjang perjalanan musik yang didengar, klien diberi

kesempatan untuk menghayati berbagai aspek kehidupannya

melalui perjalanan imajinatif. Creatif music therapy adalah terapi

yang memposisikan klien dan terapis sebagai pusat pelayanan.

Bermain musik adalah fokus dalam sesi terapi dan mulai dari awal

terapi individu dan pengelaman musikal dan diserap melalui sesi-

sesi yang berlangsung (Djohan, 2008).

Behavioral music therapy merupakan terapi yang

menggunakan musik sebagai kekuatan atau isyaratan stimulus

untuk meningkatkan atau memodifikasi prilaku adaptif dan

menghilangkan prilaku mal-adaptif. Musik disini digunakan untuk

membantu program memodifikasi prilaku. Improvisasi music

therapy yaitu terapi musik yang berdasarkan atas pemahaman suatu

terapi musik akan berhasil jika klien dibebaskan untuk


mengembangkan kreasinya, meminkan, atau memperlakukan alat

musik sekehendak hati. Terapis sama sekali tidak memberikan

intervensi, mencampuri ataupun memberikan peraturan, struktur,

tema, ritme, maupun bentuk musik. Dalam arti, tanpa seorang

terapis profesional pun terapi ini bisa dilaksanakan (Djohan, 2008).

d. Manfaat Terapi Musik

Penggunaan terapi musik ditentukan oleh intervensi musikal

dengan maksud memulihkan, menjaga, memperbaiki emosi, fisik,

psikologis, dan kesehatan serta kesejahteraan spritual (Djohan,

2008). Terapi musik dapat berupa menciptakan musik, bernyanyi,

bergerak mengikuti musik, atau mendengarkan musik. Terapi

musik bermanfaat bagi pasien yang menderita ketidakmampuan

perkembangan, gangguan kesehatan jiwa, demensia dan nyeri

(Stockslager dan schaeffer, 2008).

e. Prosedur Terapi Musik

Terapi musik tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli

terapi, terapi musik dapat dilakukan dengan prosedur terapi musik

yang terstandar. Prosedur yang digunakan yaitu peneliti dapat

mendengarkan berbagai musik sebelumnya untuk mempermudah

peneliti. Ini berguna untuk mengetahui respon dari tubuh

responden. Lalu anjurkan responden untuk duduk di lantai, dengan

posisi tegak dan kaki bersilangan, ambil nafas dalam-dalam, tarik

dan keluarkan perlahan-lahan melalui hidung. Saat musik


dimainkan, dengarkan dengan seksama instrumen, seolah-olah

permainannya sedang ada di ruangan memainkan musik khusus

untuk responden.

Peneliti bisa memilih tempat duduk lurusan di depan

speaker, atau bisa juga menggunakan handphone. Tetapi yang

terpenting biarkan suara musik mengalir keseluruh tubuh

responden, bukan hanya bergaung di kepala. Bayangkan

gelombang suara itu datang dari speaker atau headphone dan

mengalir ke seluruh tubuh responden. Bukan hanya dirasakan

secara fisik tapi jiga fokuskan pada jiwa. Fokuskan di tempat mana

yang ingin peneliti sembuhkan, dan suara itu mengalir kesana.

Dengarkan, sembari responden membayangkan alunan musik

imengalir melewati seluruh tubuh dan melengkapi kembali sel-sel,

melapisi tipis tubuh dan organ dalam responden.

Idealnya, peneliti dapat melakukan terapi musik selama

kurang lebih 30 menit hingga 1 jam tiap hari, namun jika tidak

memiliki cukup waktu maka terapi ini dapat dilakukan 10 menit,

karena selama waktu 10 menit telah membantu pikiran responden

beristirahat (Wijayanti, 2012).

f. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam terapi musik

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam terapi musik yaitu

hindari interupsi yang diakibatkan cahaya yang remang-remang

dan hindari menutup gorden atau pintu, usahakan klien untuk tidak
menganalisa musik dengan prinsip nikmati musik kemanapun

musik membawa dan gunakan jenis musik sesuai dengan kesukaan

klien terutama yang berirama lembut dan teratur. Upayakan untuk

tidak menggunakan jenis musik rock and roll, disco, metal dan

sejenisnya. Karena jenis musik tersebut mempunyai karakter

berlawanan dengan irama jantung manusia (Wijayanti, 2012).

g. Pemberian Terapi Musik

Musik memiliki efek membantu untuk menenangkan otot dan

mengatur sirkulasi darah. Musik bisa meredahkan rasa sakit,

mengurangi stres, menurunkan tekanan darah, memperbaiki mood,

serta menyembuhkan insomnia. Musik juga dapat mengaktifkan

syaraf menjadi rileks (Taringan, 2010).

Musik yang didengar melalui telinga akan distimulasi ke

otak, kemudian musik tersebut akan diterjemahkan menurut jenis

musik dan target yang akan distimulasi. Gelombang suara musik

yang dihantarkan ke otak berupa energi listrik melalui jaringan

syaraf akan mengakibatkan gelombang otak yang dibedakan atas

frekuensi alfa, beta, theta dan delta. Gelombang alfa

mengakibatkan relaksasi, gelombang beta terkait dengan aktifitas

mental, gelombang theta dikaitkan dengan situasi stres dan upaya

kreatifitas sedangkan delta dihubungkan dengan situasi mengantuk

(Wijayanti, 2012).
Musik sebagai stimulus memasuki sistem limbik, yang

mengatur emosi, dari bagian tersebut, otak memerintahkan tubuh

untuk merespon musik sebagai tafsirannya. Jika musik ditafsirkan

sebagai pemenang, sirkulasi tubuh, degup jantung, sirkulasi nafas,

dan peredaran nafas pun menjadi tenang (Stefanus, 2011).

h. Pengertian Musik Brainwave

MusikBrainwave (Gelombang otak), Otak manusia menghasilkan

gelombang listrik yang beraneka dan

berfluktuasi. Gelombang listrik ini disebut gelombang otak atau

brainwave. Gelombang otak tidak hanya menunjukkan kondisi

pikiran dan tubuh seseorang,tetapi dapat juga distimulasi atau

mereduksi jenis frekwensi gelombang otaktertentu, maka

dimungkinkan untuk menghasilkan beragam kondisi mental dan

emosional.

Otak manusia secara umum menghasilkan 4 gelombang secara

bersamaanyaitu betha, alpha, tetha dan delta. Tetapi selalu ada

jenis gelombang otak yangdominan, yang menandakan aktifitas

otak saat itu. Pada gelombang otak akanberubah sesuai dengan apa

yang dilakukan oleh orang tersebut.

a) Jenis – jenis gelombang otak :

a. Gamma (16 hz – 100 hz)

Gelombang yang terjadi pada saat seseorang mengalami

aktifitas mental yang sangat tinggi, misalnya sedang dalam


pertandingan,tampil di muka umum,perebutan kejuaraan,

ketakutan, panik, kondisi ini dalam kesadaran penuh.

b. Beta (12 hz – 19 hz)

Merupakan gelombang otak yang terjadi pada saat

seseorang mengalami aktifitas mental yang terjaga penuh.

Gelombang ini dapat ditemukan padaseseorang beraktifitas

sehari – hari, berinteraksi dengan lingkungan kita.

c. Sensory Motor Rhytm (12 hz – 16 hz)

SMR (Sensory Motor Rhytm) sebenarnya masih masuk

dalam kategori Lowbeta, namun hal ini mendapatkan perhatian

khusus karena penderita epilepsy, ADHD, ADD,autism tidak

menghasilkan gelombang ini. Para penderita di atas tidak

mampu berkonsentrasi atau fokus pada suatu hal yang dianggap

penting. Sehinggapengobatan yang tepat adalah cara agar

otaknya mampu menghasilkan getaranSMR (Sensory Motor

Rhytm) tersebut.

d. Alpha (8 hz – 12 hz)

Adalah gelombang otak yang terjadi pada saat seseorang

yang mengalami relaksasi atau mulai istirahat dengan tanda –

tanda mata mulai menutup ataumulai mengantuk. Seseorang

menghasilkan alpha setiap akan tidur, tepatnyamasa peralihan

antara sadar dan tidak sadar.


e. Tetha (4 hz – 8 hz)

Adalah gelombang otak yang terjadi saat seseorang tertidur

ringan, atau sangat mengantuk. Tanda – tandanya nafas mulai

melambat dan dalam. Selainseseorang diambang tidur, beberapa

orang juga menghasilkan gelombang otakini saat trance,

hypnosis, meditasi alam, berdoa, menjalani ritual agama dengan

khusyuk. Orang yang mampu mengalirkan tenaga dalam juga

menghasilkan gelombang otak tetha pada saat mereka latihan

ataumenyalurkan energinya kepada orang lain. Gelombang

alpha dan tetha adalahgelombang pikiran bawah sadar. Anak –

anak lebih cepat sekali dalam belajar dan mudah menerima

perkataan dari orang lain apa adanya. Gelombang inijuga

menyebabkan daya imajinasi anak – anak luar biasa.

f. Deltha (0,5 hz – 4 hz)

Adalah gelombang otak yang memiliki amplitude yang besar dan

frekuensi yang rendah, yaitu dibawah 3 hz. Otak menghasilkan

gelombang delta ketikaseseorang tertidur lelap, tanpa mimpi. Fase

delta adalah fase istirahat bagitubuh dan fikiran. Tubuh akan

melakukan proses penyembuhan diri, memperbaiki kerusakan

jaringan, dan aktif memproduksi sel – sel baru saat seseorang

tertidur lelap.
Gambar 2.1 Gelombang otak manusia (Joaquim Filipe, 2014)

2. Konsep Kualitas Tidur

a. Pengertian Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah karakter tidur yang penting yang diperlihatkan

oleh individu. Kualitas tidur merupakan penilaian individu

mengenai kenyenyakan tidur, persepsi tentang pergerakan selama

tidur dan pengkajian umum dari kualitas tidur (Ouellet, 1995).

Kualitas tidur yang baik diperlihatkan dengan mudahnya seseorang

memulai tidur saat jam tidur, mempertahankan tidur, menginisiasi

untuk tidur kembali setelah terbangun di malam hari, dan peralihan

dari tidur ke bangun di pagi hari dengan mudah (LeBourgeois et

al., 2005 cit. Saputri, 2009).


b. Komponen kualitas tidur

Kualitas tidur dapat diukur dengan menggunakan PSQI yang terdiri dari tujuh

komponen, yaitu:

1. Kualitas tidur

Evaluasi kualitas tidur secara subjektif merupakan evaluasi singkat

terhadap tidur seseorang tentang apakah tidurnya sangat baik

atau sangat buruk (Saputri, 2009).

2. Latensi tidur

Latensi tidur adalah durasi mulai dari berangkat tidur hingga

tertidur. Seseorang dengan kualitas tidur baik menghabiskan

waktu kurang dari 15 menit untuk dapat memasuki tahap tidur

selanjutnya secara lengkap. Sebaliknya, lebih dari 20 menit

menandakan level insomnia yaitu seseorang yang mengalami

kesulitan dalam memasuki tahap tidur selanjutnya (Buysse et

al., 1989 cit. Modjod, 2007).

3. Durasi tidur

Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai terbangun

di pagi hari tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam.

Orang dewasa yang dapat tidur selama lebih dari 7 jam setiap

malam dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang baik

(Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).


4. Efisiensi kebiasaan tidur

Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara jumlah total

jam tidur dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat

tidur. Seseorang dikatakan mempunyai kualitas tidur yang baik

apabila efisiensi kebiasaan tidurnya lebih dari 85% (Buysse et

al., 1989 cit. Modjod, 2007).

5. Gangguan tidur

Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur yang mana

pola tidur-bangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya,

hal ini menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun

kualitas tidur seseorang (Buysse et al., 1989 cit. Modjod,

2007).

6. Penggunaan obat

Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif

mengindikasikan adanya masalah tidur. Obat-obatan

mempunyai efek terhadap terganggunya tidur pada tahap

REM(RapidEyeMovement).Oleh karena itu, setelah

mengkonsumsi obat yang mengandung sedatif, seseorang akan

dihadapkan pada kesulitan untuk tidur yang disertai dengan

frekuensi terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk

kembali tertidur, semuanya akan berdampak langsung terhadap

kualitas tidurnya (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).


7. Disfungsi di siang hari

Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk menunjukkan keadaan mengantuk

ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau

perhatian, tidur sepanjang siang, kelelahan, depresi, mudah

mengalami distres, dan penurunan kemampuan beraktivitas

(Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

Kualitas tidur merujuk pada kemampuan seseorang untuk dapat tidur dan

mendapatkan tidur REM (RapidEyeMovement) dan NREM (Non

RapidEyeMovement) yang tepat. Kualitas tidur adalah jumlah total

waktu tidur seseorang. Faktor yang mempengaruhi kualitas dan

kuantitas tidur, yaitu (Ibrahim, 2013) :

a. Penyakit

Sakit yang menyebabkan nyeri dapat menimbulkan masalah

tidur. Seseorang yang sedang sakit membutuhkan waktu tidur

lebih lama dari pada keadaan normal. Sering sekali pada orang

sakit pola tidurnya juga akan terganggu karena penyakitnya

seperti rasa nyeri yang ditimbulkan oleh luka, tumor atau kanker

pada stadium.

b. Lingkungan

Lingkungan dapat mendukung atau menghambat tidur,

temperatur, ventilasi penerangan ruangan, dan kondisi

kebisingan sangat berpengaruh terhadap tidur seseorang.


c. Kelelahan

Kelelahan akan berpengaruh terhadap pola tidur seseorang.

Semakin lelah seseorang akan semakin pendek tidur REM

(RapidEyeMovement).

d. Gaya hidup

Orang yang bekerja shift dan sering berubah shift nya harus

mengatur kegiatannya agar dapat tidur pada waktu yang tepat.

Keadaan rileks sebelum istirahat merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk dapat bisa

tidur.

e. Stres emosi

Depresi dan kecemasan seringkali mengganggu tidur. Seseorang

yang dipenuhi dengan masalah mungkin tidak bisa rileks untuk

bisa tidur. Kecemasan akan meningkatkan kadar norepinephrin

dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatetik.

Perubahan ini menyebabkan berkurangnya tahap IV NREM

(Non RapidEyeMovement) dan tidur REM

(RapidEyeMovement).

f. Obat-obatan dan alkohol

Beberapa obat-obatan berpengaruh terhadap kualitas tidur.

Obat-obatan yang mengandung diuretic menyebabkan

insomnia, anti depresan akan memsupresi REM


(RapidEyeMovement). Orang yang minum alkohol terlalu

banyak seringkali mengalami gangguan tidur.

d. Definisi Tidur

Tidur menurut Maas (2002) dalam Nashari (2002) adalah

suatu keadaan saat kesadaran seseorang menjadi turun, tapi

aktivitas otak tetap memainkan perannya. Tidur merupakan suatu

keadaan yang ditandai dengan penurunan kesadaran, berkurangnya

aktivitas pada otot rangka dan penurunan metabolisme (Harkreader

dkk 2005 dalam Agustin 2012). Menurut Kozier dkk (2004) dalam

Diana (2002) mengatakan tidur adalah kebutuhan dasar manusia

yang merupakan proses biologi universal yang minimal, tingkat

kesadaran bervariasi, perubahan proses fisiologi tubuh, dan

penurunan respon terhadap stimulus eksternal.

Menurut Lilis dkk (2001) dalam Komalasari (2012)

mendefinisikan tidur adalah keadaan relatif tanpa sadar yang penuh

ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus berulang-

ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan

badaniah yang berbeda.

Jadi bisa disimpulkan bahwa tidur merupakan kebutuhan

dasar manusia yang ditandai berkurangnya aktivitas organ pada

tubuh manusia akan tetapi aktivitas otak tetap berjalan.


e. Tahap-tahap Tidur

Ibrahim (2013) mengatakan bahwa tidur terbagi dalam dua kondisi yang

dikenal sebagai tidur tanpa gerak cepat mata (non-rapid-eye-

movement—NREM) dan tidur dengan gerak cepat mata (rapid-eye-

movement—REM). Kedua kondisi ini berlangsung dalam siklus

sembilan puluh menit yang berulang lima hingga enam kali

semalam dan mencangkup sekurang-kurangnya empat tahap

NREM(Non RapidEyeMovement) dan REM (RapidEyeMovement).

Tidur NREM(Non RapidEyeMovement) adalah sumber munculnya tidur

REM(RapidEyeMovement). Secara keseluruhan berikut merupakan

tahap-tahapan tidur (Guyton and Hall, 1997):

a. Tahap 1 : NREM(Non RapidEyeMovement)

Tahap transisi antara mengantuk dan tertidur ditandai dengan penurunan aktivitas

fisiologis yang dimulai dengan menutupnya mata, pergerakan

lambat, otot berelaksasi serta penurunan secara bertahap

anda-tanda vital dan metabolisme menurunnya denyut nadi,

tahap ini berakhir selama 5-10 menit.

b. Tahap 2 : NREM (Non RapidEyeMovement)

Tahap tidur ringan, denyut jantung mulai melambat, menurunnya suhu tubuh, dan

berhentinya pergerakan mata, masih relatif mudah untuk

terbangun, tahap ini akan berakhir 10-20 menit.

c. Tahap 3 : NREM (Non RapidEyeMovement)


Tahap awal dari tidur yang dalam, laju pernapasan dan denyut jantung terus

melambat karena sistem saraf parasimpatik semakin

mendominasi, otot skeletal semakin berelaksasi, terbatasnya

pergerakan dan mendengkur mungkin saja terjadi. Pada tahap

ini seseorang yang tidur sulit dibangunkan, tahap ini berakhir

15-30 menit.

d. Tahap 4 : NREM (Non RapidEyeMovement)

Tahap tidur terdalam, tidak ada pergerakan mata dan aktivitas otot, tahap ini

ditandai dengan tanda-tanda vital menurun secara bermakna

dibandingkan selama terjaga dan laju pernapasan dan denyut

jantung menurun sampai 20-30%. Seseorang yang terbangun

pada saat tahap ini tidak secara langsung menyesuaikan diri,

sering merasa pusing dan disorientasi untuk beberapa menit

setelah bangun dari tidur.

e. Tahap REM (RapidEyeMovement)

Ditandai dengan pergerakan mata secara cepat ke berbagai arah, pernapasan

cepat, tidak teratur, dan dangkal, otot tungkai, mulai lumpuh

sementara, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah.

Pada pria terjadi ereksi penil sedangkan pada wanita terjadi

sekresi vagina, durasi dari tidur REM meningkat pada siklus

dan rata-rata 20 menit.

f. Siklus Tidur
Pada orang dewasa terjadi 4-5 siklus setiap waktu tidur.

Setiap siklus tidur berakhir selama 80-120 menit. Tahap NREM

(Non RapidEyeMovement)1-3 berlangsung selama 30 menit

kemudian diteruskan ke tahap 4 kembali ke tahap 3 dan 2 selama

kurang lebih 20 menit. Tahap REM(RapidEyeMovement) muncul

sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit, melengkapi siklus

tidur yang pertama (Potter & Perry, 2005 dalam Agustin 2012).

g.Pola Tidur

Menurut Harkreder dkk (2007) dalam Prayitno (2012)

mengatakan bahwa pola tidur yang dimiliki setiap orang seperti

halnya jam, tubuh individu dapat mamahami kapan waktunya

untuk tertidur dan kapan waktunya untuk bangun. Seseorang yang

memiliki pola tidur bangun yang teratur menunjukan tidur yang

berkualitas dan performa yang lebih baik daripada orang yang

memiliki pola tidur-bangun yang berubah-ubah.

h. Fungsi Tidur

Menurut Dewit (2001) dalam Komalasari (2012), istirahat

dan tidur yang cukup adalah sangat penting bagi kesehatan dan

pemulihan dari kondisi sakit. Menurut Kozier (2004) dalam

Agustin (2012), tidur menggunakan kedua efek psikologis pada

jaringan otak dan organ-organ tubuh manusia. Potter (2005) dalam

Komalasari (2012) berpendapat bahwa, selama tidur NREM(Non

RapidEyeMovement) bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung


dan selama tidur gelombang rendah yang dalam (NREM tahap IV)

tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk

memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel

otak.

Menurut Aman (2005) dalam Prayitno (2012), tidur

memang sangat penting bagi tubuh manusia untuk jaringan otak

dan fungsi organ-organ tubuh manusia karena dapat memulihkan

tenaga dan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh. Istirahat

tidak hanya mencangkup tidur, tetapi juga bersantai, perubahan

dalam aktivitas, menghilangkan segala tekanan-tekanan kerja atau

masalah-masalah lainnya (Ibrahim, 2013).

Sehingga bisa disimpulkan bahwa tidur berfungsi untuk

mengembalikan tenaga untuk beraktifitas sehari-hari, memperbaiki

kondisi yang sedang sakit, tubuh menyimpan energi selama tidur

dan penurunan laju metabolik serta menyimpan persediaan energi

tubuh.

i Gangguan Tidur

1. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi

kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis

insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat

memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa

mempertahankan tidur atau sering tejaga dan insomnia


terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur

kembali, untuk menyembuhkan insomnia maka terlebih

dahulu harus dikenali penyebabnya, artinya, kalau disebabkan

penyakit tertentu, maka untuk mengobatinya maka

penyakitnya yang harus disembuhkan terlebih dahulu

(Choppra, 2003).

2. Hipersomnia

Merupakan kebalikan dari insomnia. Hipersomnia

merupakan kelebihan tidur lebih dari 9 jam di malam hari dan

biasanya berkaitan dengan gangguan psikologis seperti

depresi atau kegelisahan. Kerusakan sistem saraf pusat dan

gangguan pada ginjal atau hati atau gangguan metabolisme

(Alimul, 2006).

3. Parasomnia

Merupakan suatu rangkaian gangguan yang

mempengaruhi tidur anak-anak seperti somnabulisme (tidur

berjalan), ketakutan dan enuresis (mengompol). Gangguan ini

sering dialami anak secara bersama, diturunkan dalam

keluarga atau genetis dan cenderung terjadi pada tahap III dan

IV tidur NREM (Non RapidEyeMovement) (Alimul, 2006).

4. Narkolepsi
Narkolepsi adalah serangan mengantuk yang mendadak

pada siang hari, sering disebut sebagai serangan tidur.

Penyebabnya tidak diketahui tetapi tidak diperkirakan akibat

kerusakan genetik sistem saraf pusat (Aman, 2005 dalam

Prayitno 2012).

j. Penatalaksanaan Gangguan Tidur

Langkah pertama untuk mengatasi insomnia sekunder

terhadap gangguan medik atau psikiatrik adalah

mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang

mendasarinya. Cara farmakologik dan nonfarmakologik

diperlukan untuk terapi gangguan tidur baik primer maupun

sekunder.

a. Farmakologik

Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan

pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun

sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung

tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti

l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga

dapat digunakan.

b. Non farmakologik

a. Hygene tidur

Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur

merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadwal tidur-


bangun dan latihan fisik sehari-hari yang teratur perlu

dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari suasana tidak

nyaman. Penderita diminta menghindari latihan fisik berat

sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan tempat untuk

menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan

lingkungan ini efektif untuk memperbaiki tidur. Edukasi

tentang higene tidur merupakan intervensi efektif yang tidak

memerlukan biaya.

b. Sleep Restriction Therapy

Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu

mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat untuk

pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur.

Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur

lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di

tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur

di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak

di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien

mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat

tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi pembatasan tidur,

secara berangsur-angsur, dapat mengurangi frekuensi dan

durasi terbangun di malam hari.


c. Terapi relaksasi dan biofeedback

Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik.

Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan

nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif

untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang

cukup dan serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-

balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi.

Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri tentang

perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan

higene tidur dan terapi pengontrolon tidur.

3. Konsep Lansia

a. Pengertian Lansia

Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Menurut

undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia,

yang dimaksud lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60

tahun ke atas (Azizah, 2011). Menurut Surini dan Utomo (2003,

dalam Azizah, 2011), lansia bukanlah suatu penyakit, namun

merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan

dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan

tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.

b. Batasan Lansia

WHO (1999, dalam Azizah, 2011) menggolongkan lansia

berdasarkan usia kronologis atau biologis menjadi empat


kelompok, yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45

sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 sampai 74

tahun, lanjut usia tua (old) berusia antara 75 sampai 90 tahun, dan

usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Nugroho (2000) juga

menyatakan bahwa lansia adalah orang atau individu yang telah

berumur 65 tahun ke atas.

Undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan

lansia juga menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun ke atas (Azizah, 2011). Depkes RI (2003,

dalam pangastuti, 2008) menggolongkan lansia dalam tiga

kategori, yaitu: lansia dini (55-64 tahun), lansia (65-70 tahun), dan

lansia resiko tinggi (lebih dari 70 tahun).

c. Tugas Perkembangan Lansia

Duvall (1977, dalam Azizah, 2011) menyatakan bahwa lansia

memiliki tugas perkembangan khusus yang terdiri dari tujuh

kategori, yaitu:

a. Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan

kesehatan;

b. Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penrunan pendapat;

c. Menyesuaikan terhadap kematian pasangan;

d. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia;

e. Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup;

f. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa;


g. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup;

Dengan mengetahui tugas perkembangannya, lansia

diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan menurunnya

kekuatan dan kesehatan secara bertahap (Azizah, 2011).

d. Proses Menua

Menua (aging) adalah proses alamiah yang biasanya

disertai perubahan kemunduran fungsi dan kemampuan sistem

yang ada didalam tubuh sehingga terjadi penyakit degeneratif.

Proses menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri (Nugroho, 2000).

Penuaan adalah proses normal dengan perubahan fisik dan

tingkah laku yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Penuaan

merupakan fenomena yang kompleks dan multidimensional yang

dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada

keseluruhan sistem (Stanley & Beare, 2006). Proses penuaan

merupakan akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan

fisiologi organ tubuh yang berlangsung seiring berlalunya waktu.

Proses penuaan akan meningkatkan kemungkinan terserang

penyakit bahkan kematian (Azizah, 2011).

e. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia

1. Perubahan Fisik
Perubahan fisik pada lansia mencakup perubahan pada

sel, sistem indra, sistem muskuloskeletal, sistem kardiovaskuler

dan respirasi, pencernaan dan metabolisme, perkemihan, sistem

saraf, dan sistem reproduksi (Azizah, 2011).

a) Sel

Sel-sel pada tubuh lansia akan mengalami

perubahan dari keadaan awal. Ukuran sel pada lansia

menjadi lebih besar namun jumlahnya semakin sedikit.

Jumlah sel otak juga akan mengalami penurunan.

Mekanisme perbaikan sel juga akan terganggu (Nugroho,

2000).

b) Sistem Indra

Perubahan penglihatan yang terjadi pada kelompok

lanjut usia erat kaitannya dengan adanya kehilangan

kemampuan akomodatif mata. Kerusakan kemampuan

akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih

lemah dan lensa kristalin mengalami sklerosis (Stanley &

Beare, 2006). Kondisi ini dapat diatasi dengan penggunaan

kacamata dan sistem penerangan yang baik (Azizah, 2011).

Ukuran pupil menurun (miosis pupil) dengan

penuaan karena sfinkter pupil mengalami sklerosis. Miosis

pupil ini dapat mempersempit lapang pandang dan

mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.


Peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan warna

menjadi menguning juga terjadi pada sistem penglihatan

lansia. Hal ini berdampak pada penglihatan yang kabur,

sensitivitas terhadap cahaya, penurunan penglihatan pada

malam hari, dan kesukaran dengan persepsi kedalaman

(Stanley & Beare, 2006).

Perubahan pendengaran pada lansia erat kaitannya

dengan presbiakusis (gangguan pendengaran). Hal ini

berkaitan dengan hilangnya kemampuan pendengaran pada

telinga dalam, terutama terhadap nada-nada tinggi, suara

yang tidak jelas, dan kata-kata yang sulit dimengerti

(Azizah, 2011). Otoskop dengan pemeriksaan histologi,

mikrobiologi, biokimia, serta radiologi dapat dilakukan

untuk memeriksa adanya gangguan pendengaran pada

lansia (Stanley & Beare, 2006).

Perubahan pada sistem integumen juga terjadi pada

lansia. Kulit lansia mengalami atrofi, kendur, tidak elastis,

kerung dan berkerut. Perubahan yang terjadi pada kulit

lansia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

yaitu: angin dan sinar ultraviolet (Azizah, 2011).

c) Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia

terjadi pada jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot,


maupun sendi. Kolagen sebagai pendukung utama pada

kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat

mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak

teratur. Perubahan pada kolagen tersebut manimbulkan

dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk

meningkatkan kekuatan otot, dan hambatan dalam

melakukan kegiatan sehari-hari. Perubahan yang terjadi

pada jaringan kartilago mengakibatkan sendi mengalami

peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan

terganggunya aktivitas sehari-hari (Azizah, 2011).

Kepadatan tulang pada lansia mengalami

pengurangan. Tulang akan kehilangan cairan dan makin

rapuh (Nugroho, 2000). Hal ini mengakibatkan

osteoporosis pada lansia. Nyeri, deformitas, dan fraktur

merupakan komplikasi lanjut dari osteoporosis. Latihan

fisik dapat diberikan sebagai cara untuk mencegah adanya

osteoporosis pada lansia (Azizah, 2011).

Perubahan juga terjadi pada otot dan sendi lansia.

Persendian membesar dan menjadi pendek (Nugroho,

2000). Sendi kehilangan fleksibilitas sehingga terjadi

penurunan luas dan gerak sendi (Azizah, 2011). Aliran

darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua

(Nugroho, 2000). Perubahan morfologis pada otot seperti


adanya jaringan lemak pada otot, perubahan struktur,

penurunan jumlah, dan ukuran serabut otot akan

mengakibatkan penurunan kemampuan fungsional otot

(Azizah, 2011).

d) Sistem Kardiovaskuler dan Respirasi

Sistem kardiovaskuler mengalami perubahan

dimana arteri menjadi kehilangan elastisitasnya (Azizah,

2011). Efektifitas pembuluh darah perifer dalam oksigenasi

juga mengalami penurunan (Nugroho, 2000). Pada sistem

respirasi, terjadi perubahan pada otot, kartiloga, dan sendi

thoraks yang mengakibatkan gerakan pernapasan menjadi

terganggu dan mengurangi kemampuan peregangan

thoraks (Azizah, 2011). Kekuatan otot pernapasan akan

menurun seiring dengan bertambahnya usia. Otot

pernapasan mengalami kelemahan akibat atrofi (Nugroho,

2000).

e) Sistem Pencernaan dan Metabolisme

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan,

yaitu sesitivitas lapar menurun, asam lambung menurun,

peristaltik melemah, serta ukuran hati yang mengecil.

Kehilangan gigi juga seringkali terjadi pada lansia (Azizah,

2011). Hal ini disebabkan karena periodontal desease


ataupun kesehatan gigi maupun gizi yang buruk pada lansia

(Nugroho, 2000).

f) Sistem Perkemihan

Dalam sistem perkemihan, terjadi perubahan yang

signifikan meliputi: kemunduran dalam laju filtrasi,

ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal. Hal ini akan

memberikan efek dalam pemberian obat pada lansia.

Inkontinensia urin juga meningkat pada lansia (Ebersole

and Hess, 2001, dalam Azizah, 2011). Aliran darah ke

ginjal menurun sampai 50%. Fungsi tubulus berkurang dan

berat jenis urin menurun (Nugroho, 2000).

g) Sistem Saraf

Surini & Utomo (2003, dalam Azizah, 2011)

mengemukakan bahwa lansia mengalami penurunan

kemampuan dalam beraktivitas. Penuaan menyebabkan

penurunan persepsi sensori dan respon motorik pada

susunan saraf pusat serta penurunan reseptor proprioseptif.

Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia

mengalami perubahan morfologis dan biokimia.

h) Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia di tandai

dengan mengecilnya ovarium dan uterus. Payudara pada

lansia wanita juga mengalami atrofi. Selaput lendir vagina


menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi

berkurang, dan sifat reaksinya menjadi alkali. Testis pada

lansia pria masih dapat memproduksi spermatozoa,

meskipun terjadi penurunan secara berangsung-angsur

(Watson, 2003, dalam Azizah, 2011). Dorongan seksual

menetap sampai usia di atas 70 tahun apabila kondisi

kesehatan masih baik (Nugroho, 2000).

2. Perubahan Kognitif

Lansia mengalami penurunan daya ingat, yang

merupakan salah satu fungsi kognitif. Ingatan jangka panjang

kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka

pendek memburuk. Lansia akan kesulitan mengungkapkan

kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik

perhatiannya (Azizah, 2011). Nugroho, (2000)

mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan

kognitif pada lansia, yaitu: perubahan fisik, kesehatan umum,

tingkat pendidikan, keturunan, dan lingkungan.

3. Perubahan Spiritual

Agama atau kepercayaan makin berintegrasi dalam

kehidupan lansia (Maslow, 1976, dalam Azizah, 2011).

Nugroho (2000) menyatakan bahwa lansia makin teratur

dalam menjalankan rutinitas kegiatan keagamaannya sehari-


hari. Lansia juga cenderung tidak terlalu takut terhadap

konsep dan realitas kematian (Azizah, 2011)

4. Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial yang dialami oleh lansia, yaitu

masa pensiun, perubahan aspek kepribadian, dan perubahan

dalam peran sosial di masyarakat. Pensiun adalah tahap

kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan

peran yang menyebabkan stres psikososial. Hilangnya kontak

sosial dari area pekerjaan membuat lansia pensiunan

merasakan kekosongan. Menurut Budi Darmojo dan Martono

(2004, dalam Azizah, 2011), lansia yang memasuki masa

pensiun akan mengalami berbagai kehilangan, yaitu:

kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman, dan

kehilangan kegiatan.

Lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan

psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,

pemahaman, pengertian, perhatian yang menyebabkan reaksi

dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Fungsi

psikomotor meliputi hal-hal yang berhubungan dengan

dorongan kehendak, yang mengakibatkan lansia menjadi

kurang cekatan. Adanya penurunan kedua fungsi tersebut

membuat lansia mengalami perubahan kepribadian (Azizah,

2011).
Perubahan dalam peran sosial di masyarakat dapat

terjadi akibat adanya gangguan fungsional maupun kecacatan

pada lansia. Hal ini dapat menimbulkan perasaan keterasingan

pada lansia. Respon yang ditujukan oleh lansia, yaitu: perilaku

regresi (Stanley & Beare, 2006).

5. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia

seringkali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik.

Menurut Kuntjoro (2013), faktor psikologis yang menyertai

lansia berkaitan dengan seksualitas, yaitu: rasa tabu atau malu

bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Sikap

keluarga dan masyarakat juga kurang menunjang serta

diperkuat oleh tradisi dan budaya (Azizah, 2011).

6. Perubahan Pola Tidur dan Istirahat

Perubahan otak akibat proses penuaan menghasilkan

eksitasi dan inhibisi dalam sistem saraf. Bagian korteks otak

dapat berperan sebagai inhibitor pada sistem terjaga dan

fungsi inhibisi ini menurun seiring dengan pertambahan usia.

Korteks frontal juga mempengaruhi alat regulasi tidur

(Bliwise, 2010, dalam Maas, 2011). Penurunan aliran darah

dan perubahan dalam mekanisme neurotransmiter dan sinapsis


memainkan peran penting dalam perubahan tidur dan terjaga

yang dikaitkan dengan faktor pertambahan usia.

Faktor ekstrinsik, seperti pensiun, juga dapat

menyebabkan perubahan yang tiba-tiba pada kebutuhan untuk

beraktivitas dan kebutuhan energi sehari-hari serta mengarah

pada perubahan kebutuhan tidur. Keadaan sosial dan

psikologis yang terkait dengan faktor kehilangan dapat

menjadi faktor predisposisi terjadinya depresi pada lansia,

yang kemudian dapat mempengaruhi pola tidur terjaga lansia.

Pola tidur dapat dipengaruhi oleh lingkungan, bukan

seluruhnya akibat proses penuaan (Garcia-Garcia & Drucker-

Colin, 2009, dalam Maas, 2011).

4. Konsep pengaruh musik brainwave (new age) terhadap kualitas

tidur lansia

Kualitas tidur yang buruk pada lansia dapat mengakibatkan

gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi

meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, proses

penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan

tanda vital (Briones etal, 2013), sedangkan dampak psikologi meliputi

pada perubahan suasana kejiawaan, cemas, tidak konsentrasi, koping

tidak efektif, dan lesu (lanywati, 2012). Akibat gangguan tidur,

deprivasi tidur, dan rasa mengantuk yaitu penurunan produktivitas,

penurunan performa kognitif, peningkatan kemungkinan kecelakaan,


resiko morbiditas, dan mortalitas yang lebih tinggi, dan penurunan

kualitas hidup. Selain itu muncul juga ketidakbahagiaan, dicekam

kesepian dan yang terpenting, mengakibatkan penyakit-penyakit

degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut,

perbirukan, dan menjadi tidak terkontrol.

Ada beberapa cara untuk mengatasi kualitas tidur baik secara

farmakologis maupun non farmakologis. Salah satu langkah non

farmakologi yang dapat mengurangi keluhan gangguan tidur adalah

dengan relaxation therapy. Teknik ini melatih otot dan fikiran menjadi

rileks dengan cara yang cukup sederhana yakni meditasi, relaksasi

otot, mengurangi cahaya penerangan ataupun dengan memutar musik

yang menyejukan sebelum pergi tidur atau intervensi musik (Adesla,

2014).

Adapun jenis musik yang diberikan pada intervensi ini adalah

musik new age. Music New Ages adalah sebuah aliran music yang

mampu memberikan sebuah salah satu

pengalamanpositif,relaks,insipirasi,nyaman,semangat, dan ada unsur

kebudayaan. Pemberian musik dengan tempo lambat dapat membantu

dalam memenuhi kebutuhan tidur pada lansia baik secara kualitas

maupun kuantitas. Musik ini dapat mengembalikan tubuh dengan

kondisi yang tenang dalam menurunkan rangsangan stressor yang

ditangkap oleh panca indera (American Music Therapy Association,

2010). Musik termasuk dalam musik terapi untuk gelombang otak.


Dengan musik gelombang otak (brainwave)telah berhasil digunakan

untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan metode pembelajaran,

untuk mengurangi kecemasan, masalah perilaku, dan untuk

meningkatkan kualitas tidur. Otak mempunyai frekwensi gelombang,

ketika ada rangsangan gelombang berupa audio yang didengarkan,

maka secara perlahan otak akan menirukan pola frekwensi dari audio

yang didengarkan (Tina L. Huang dan Christine Charyton, 2011).

Ketika gelombang pada otak tidak selaras dengan aktivitas kita,

maka terjadi suatu masalah. Otak memiliki sel-sel saraf yang di aliri

muatan listrik dan berosilasi dalam pola khusus yang disebut pola

gelombang otak. Pola ini sangat terkait dengan pikiran, emosi, suasana

hati, kondisi biologis, dan semua yang anda lakukan. Para ilmuwan

dalam bidang ini mengelompokkan pola gelombang pada otak yaitu :

1-4 Hz – Delta – tidur nyenyak, 4-7 Hz – Theta – tidur ringan, 7-13 Hz

– Alpha – kondisi yang damai, 13-21 Hz – Beta – kondisi fokus, 20-32

Hz – Gamma – kecemasan. Ketika menggunakan musik terapi

gelombang otak seperti jenis new age, maka otak pada frekwensi

sesuai audio yang didengarkan (proses sinkronisasi), kondisi ini

disebut sebagai ‘keadaan meditasi’. Ketika kita dalam keadaan

meditasi ini, kita dapat mendapatkan manfaat di antaranyapeningkatan

rasa bahagia, percaya diri, dan merasa baik, meningkatkan kualitas

tidur (Christine Charyton, 2011).


Musik ini dapat menonaktifkan panca indera dari rangsangan

stressor walau hanya sementara sehingga tubuh mendapat sinyal baru

untuk tenang dan dapat segera tertidur/beristirahat.


BAB III

PEMBAHASAN

` Pada bab ini disajikan pembahasan mengenai hasil penelitian “Pengaruh Musik

Brainwave (New Age) Terhadap Kualitas Tidur Lansia di UPT PSTW Blitar Kabupaten

Tulungagung” tahun 2019.

A. Kualitas Tidur Lansia sebelum diberikan Musik Brainwave (New Age) di UPT
PSTW Blitar Kabupaten Tulungagung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebelum diberikan

terapi musik brainwave (new age) memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 42 responden

(100%).

Dari hasil penelitian didapatkan seluruh responden mengalami kualitas tidur

dalam rentang buruk. Tingkat kualitas tidur dilakukan dengan observasi yang

berpedoman pada kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Indexs (PSQI) yang terdiri dari 7

komponen. Sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas tidurnya kurang,

kesulitan memulai tidur lebih dari 30 menit, lama tidur kurang dari 6 jam, efisiensi tidur

yang kurang, gangguan tidur pada malam hari yang meningkat, tidak ada penggunaan

obat tidur, dan aktifitas siang hari yang terganggu lebih dari 3 hari dalam seminggu.

Usia lansia merupakan usia yang berisiko tinggi mengalami gangguan kualitas

tidur. Seiring bertambahnya usia, terdapat penurunan periode tidur. Seorang usia lanjut

membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur dan mempunyai lebih sedikit waktu

tidur nyenyaknya. Sebagian besar responden sebelum diberikan musik brainwave (new

age) dengan usia 59-70 tahun memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 28 responden

(66,7%). Kecenderungan tidur siang meningkat secara tinggi dengan bertambahnya usia.

Ada juga 5 lansia berusia >70 tahun, lansia pada usia ini justru lebih sering tidur dalam

beberapa waktu selain malam hari. Lansia pada usia ini cenderung lebih sering tidur
daripada lansia yang dibawah usia ini. Peningkatan tidur siang dapat dikarenakan

seringnya lansia terbangun pada malam hari.

Sebagian besar responden sebelum diberikan musik brainwave (new age) berjenis

kelamin perempuan memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 25 responden (59,5%).

Wanita lansia beresiko tinggi terjadi gangguan kualitas tidur karena tingkat stress dan

peran hormonal wanita yang cukup tinggi dalam proses penuaan. Lansia wanita lebih

mudah stress karena wanita memiliki hormone estrogen yang mempengaruhi tingkat

stress dan lebih menonjolkan perasaannya. Wanita lansia dapat mengalami inkontinensia

stress yaitu terjadi pelepasan urine involunter saat batuk, bersin, atau pun saat tidur tanpa

disadari mereka akan mengompol sehingga menyebabkan terbangun. Pada penelitian ini

seluruh lansia tidak diperbolehkan menggunakan obat tidur saat dilakukan intervensi.

Tetapi ada beberapa lansia yang meminum obat untuk penyakitnya yang menggandung

obat tidur. Oleh sebab itu banyak lansia yang sering mengalami gangguan dalam kualitas

tidur. Lansia memiliki banyak masalah yang harus dihadapinya saat masa tua. Hal ini lah

yang menyebabkan banyaknya gangguan kualitas tidur pada lansia.

B. Kualitas Tidur Lansia sesudah diberikan Musik Brainwave (New Age) di UPT
PSTW Blitar Kabupaten Tulungagung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sesudah diberikan

terapi musik brainwave (new age) memiliki kualitas tidur baik sebanyak 39 responden

(92,1%). Dan lansia yang mengalami kualitas tidur buruk sebanyak 3 responden (7,1%).

Intervensi yang digunakan dala penelitian ini adalah terapi musik brainwave (new

age). Musik ini diberikan dalam bentuk rekaman dalam sebuah CD yang dimainkan

setiap pukul 18.00 – 20.00 WIB selama satu minggu. Rekaman ini berdurasi 60-90 menit

selama satu minggu. Pada menit ke 10-20 sejak awal lansia mulai tidur, terjadi proses
NREM (Non Rapid Eye Movement). Tidur tahap kedua ditandai dengan gelombang otak

theta dengan disertai munculnya gelombang tunggal dengan amplitudo tinggi. Pada tahap

ini gerakan dan ketegangan otot menurun dan menandai permulaan tidur yang

sebenarnya. Tahap selanjutnya setelah 20-30 menit adalah memasuki tahap ketiga yaitu

kombinasi theta dan delta. Segera setelah tahap ke tiga ini dilanjutkan dengan tahap ke

empat yaitu hilangnya sama sekali gelombang theta dan hanya tinggal gelombang delta

dengan 0,5-2 putaran perdetik, amplitude 100-200 mikrovolt. Dalam tidur delta ini

relaksasi otot terjadi sepenuhnya, tekanan darah menurun, denyut nadi dan pernafasan

melambat. Pasokan darah ke otak berada pada batas minimal.

Meskipun masih ada 3 responden yang mempunyai kriteria kualitas tidur buruk,

tetapi responden mendapatkan penurunan skor dan merasa puas dengan tidurnya.

Sebagian besar responden mengalami perbaikan tidur dari segi kualitas tidur subjektif

yang menjadi lebih baik, kesulitan untuk memulai tidur berkurang selama kurang dari 30

menit, lama tidur meningkat menjadi lebih dari 6 jam, efisiensi tidur juga meningkat,

gangguan tidur malam berkurang, dan terganggunya aktifitas siang hari menurun. Peneliti

menganggap bahwa kualitas tidur seseorang dipengaruhi oleh keadaan fisik dan

psikologis pada seseorang berbeda satu sama lain sehingga apabila terjadi perubahan fisik

dan psikologis berupa adanya penyakit dan gangguan perasaan dapat mempengaruhi

kualitas tidur seseorang. Oleh sebab itu ada beberapa lansia yang memiliki kualitas tidur

buruk, meskipun sudah ada penurunan dari sebelum diberikan musik braiwave (new age).

C. Pengaruh Musik Brainwave (New Age) Terhadap Kualitas Tidur Lansia di UPT
PSTW Blitar Kabupaten Tulungagung
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Mc Nemar dengan tingkat kesalahan

α < 0,05 didapatkan hasil signifikan nilai ρ value = 0,000 < 0,05 yang berarti ada

Pengaruh Musik Brainwave (New Age) Terhadap Kualitas Tidur Lansia di UPT PSTW

Blitar Kabupaten Tulungagung.


Menurut potter dan perry (2010) kualitas tidur dipengaruhi oleh penyakit yang

menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau masalah suasana hati seperti

kecemasan atau depresi, stress, dan lingkungan. Menurut seorang ahli dari pusat

gangguan tidur di Amerika menyatakan bahwa terapi musik yang diberikan 30 menit

sampai 1 jam setiap hari menjelang waktu tidur, secara teratur selama 1 minggu cukup

efektif untuk mengurangi gangguan tidur (Djohan, 2012). Musik dengan tempo lamban

memberikan rangsangan pada korteks serebri (korteks auditorius primer dan sekunder)

sehingga dapat menyeimbangkan gelombang otak menuju gelombang otal alpha yang

menandakan ketenangan (Wijayanti, 2012).

Musik New Age sebenarnya merupakan musik yang mengambil berbagai macam

bentuk dan arah dengan mengacu pada beberapa aliran musik temasuk musik

Electronic, Instrumental, Ambient, Drum and Percussion , Minimalism, World Music

(Native American, Celtic, Indian, Ethnic). Tidak seperti musik-musik jazz yang

memiliki ciri khas tertentu yang mudah diketahui seperti tempo dan improvisasi, musik

new age amat sangat fleksible.

Dasar utama penggunaan musik Brainwave (New Age) dalam penelitian ini

adalah gelombang otak dapat dimodifikasi oleh musik dan suara-suara yang

ditimbulkannya. Semakin lamban gelombang otak, responden semakin merasa rileks,

puas dan tenang. Seperti halnya meditasi, yoga, sugesti dan latihan lain untuk

menyatukan fisik dan pikiran. Musik brainwave (new age) berfungsi mengatur

hormone-hormon yang berhubungan dengan stress antara lain ACTH, prolaktin dan

hormone pertumbuhan serta dapat meningkatkan kadar endorphin sehingga dapat

mengurangi nyeri juga kecemasan. Musik yang memiliki karakteristik lembut dan

santai yang dipadukan dengan kalimat sugesti positif, dapat menstimulir otak sehingga

membantu menjaga keseimbangan homeostasis tubuh melalui jalur HPA axis, yang
dapat merangsang produksi β endorphin dan enkephalin yang merupakan

neurotransmitter tidur. β endorphin dan encephalin mampu membuat tubuh menjadi

rileks, rasa nyeri berkurang, dan menimbulkan rasa sehingga lansia dapat lebih mudah

tertidur. Responden yang sebelumnya belum diberikan musik brainwave (new age)

merasa kualitas tidurnya buruk, tetapi setelah diberikan musik brainwave (new age)

responden merasa lebih rileks dan nyaman. Responden merasakan dampak dari

intervensi secara bertahap. Responden mengalami perbaikan tidur seperti kualitas tidur

lebih baik, kesulitan memulai tidur lebih dari 30 menit berkurang, lama tidur bertambah

menjadi lebih dari 6 jam, efisiensi tidur lebih baik, gangguan tidur malam berkurang,

tidak ada penggunaan obat tidur, dan aktifitas siang hari yang terganggu berkurang.

Musik brainwave (new age) memberikan ketenangan dan kenyamanan yang dapat

menginduksi rasa kantuk, sehingga responden dapat memulai tidur lebih awal dan

tubuh menjadi bugar dan bersemangat setelah bangun tidur.


BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang diuraikan diatas dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Sebagian besarresponden responden sebelum diberikan terapi musik brainwave (new

age) memiliki kualitas tidur buruk sebanyak 42 responden (100%).

2. Sebagian besarresponden sesudah diberikan terapi musik brainwave (new age)

memiliki kualitas tidur baik sebanyak 39 responden (92,1%). Dan lansia yang

mengalami kualitas tidur buruk sebanyak 3 responden (7,1%).

3. AdaPengaruh Musik Brainwave (New Age) Terhadap Kualitas Tidur Lansia di UPT

PSTW Blitar Kabupaten Tulungagung dengan nilai ρ value = 0,000 < α = 0,05
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S.2009. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka


Cipta

Azizah, Lilik Ma’ rifatul, (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta :
Graha Ilmu

Choppra, D.2003. Tidur nyenyak, mengapa tidak? Ucapkan selamat tinggal pada
insomnia. Yogyakarta: Ikon Teralitera

Djohan 2008, Terapi Musik, Teori dan Aplikasi, Galang Press,Yogyakarta

Guyton A. C., Hall J. E. 1997 . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC. P. 208-212, 219-223, 277-282, 285-287.

Hidayat, A 2007, Metode Penelitian dan Tekhnik Analisa Data, Selemba Medika,
Jakarta

Ibrahim, M., dan Nur, M. (2013). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:


UNESA University Press

Komalasari, Kokom. 2012. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. Konsep dan


Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama. Hal: 63

Modjod, D. 2007. Insomnia Experience, Management Strategies, and Outcomes in


ESRD Patients Undergoing Hemodialysis (Tesis). Mahidol University.

Mubarak, I.W . (2007). Promosi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam. 2015. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika

Potter, Perry. 2010. Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice. Edisi 7.
Vol 3. Jakarta: EGC

Prayitno. 2012. Jenis Layanan dan Kegiatan Pendukung Konseling. Padang: Fakultas
Ilmu Pendidikan UNP.
Quellet, M.T.N. 1995. Sleep Satisfaction of Older Adult Living in the Community and
Related Factors (Tesis). Case Western Reserve University, Frances.

Saputry, D. 2009. Hubungan antara Sleep Hygiene dengan Kualitas Tidur pada Lanjut
Usia di Dusun Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
(Skripsi). University Gadjah Mada, Yogyakarta.

Schachter, L. (2008). Sample Diagnostic Report. Sleep Service Australia.


http://www.tmjtreatment.com Diunduh 24 juni 2015

Wahyuningsih .AS. (2014), Cognitive behaviour therapy (CBT-1) terhadap Insomnia


dan Kadar gula darah pada pasien DM, Naspub. Umy. Yogyakarta.

Taringan, I 2010, Terapi Kesehatan dengan Musik, diakses 4 Maret 2017,


(http:www.esqmagazine.com/kesehatan)

Anda mungkin juga menyukai