Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah
Keperawatan Medikal Bedah (Peradangan pada Jantung dan Hipertensi), makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen tugas pada mata kuliah KMB.
Kami selaku penyusun makalah sangat berterimakasih kepada dosen
pembimbing yang senantiasa membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dari semua pihak demi perbaikan dan penambahan wawasan kami di masa yang
akan datang
Demikian akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca pada umumnya terima kasih
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.2 ETIOLOGI
Virus:
Bakteri:
Obat-obatan:
Lingkungan
Riketsia:
Protozoa:
Helmintik:
Penyakit autoimun:
Penyakit sistemik:
Celiac disease, Churg-Strauss syndrome, collagen-vascular disease,
hypereosinophilic syndrome dengan eosinophilic endomyocardial disease,
Kawasaki, sarkoidosis (Idiopathic granulomatous myocarditis), skleroderma
Lainnya: Hart stroke, hipotermia, rejeksi post transplantasi jantung, terapi radiasi
2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Berbeda dengan sel NK, sel T berperan pada kerusakan miosit yang
terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Aktivasi sel T disebabkan oleh akumulasi
makrofag dalam miosit dan produksi efek sitotoksik cell-mediated. Walaupun sel T
dapat menyebabkan lisis miosit yang terinfeksi virus, tetapi akumulasi makrofag
dan efek sitotoksik secara bersama-sama menentukan keseimbangan antara
pembersihan virus (viral clearance) dan kerusakan miosit. Karena lisis yang
ditimbulkan oleh sel T mengenai miosit yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi,
maka juga terjadi nekrosis pada sel miosit sehat. Jadi sebagian kerusakan
miokardium disebabkan oleh respons imun tubuh sendiri. Akibat miokarditis ini
dapat terjadi kerusakan miokardium permanen
Aktivasi Sistem Imun dan Virus yang menetap Masuknya virus akan
memicu aktivasi sistem imun yang mempunyai dua peranan penting. Peranan
pertama adalah untuk menghancurkan sel yang sudah terinfeksi oleh virus
sebagnyak mungkin untuk mengontrol proses infeksi. Di sisi lain maka proses ini
akan merusak banyak sel dan menyebabkan gangguan fungsi organ. Virus
mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap sistem pertahanan pejamu yaitu
dengan meniru bentuk molekul, melakukan proliferasi di dalam sel imun, dan
melakukan peningkatan regulasi reseptornya sendiri sehingga dapat bertahan di
dalam miosit sampai beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Gambaran Klinis
Miokraditis mempunyai gambaran klinis yang sangat luas sehinga sulit untuk
menegakkan diagnosis dan melakukan klasifikasi. Gambaran klinis dapat berupa
kelainan elektrokradiografi atau ekokardiografi tanpa gejala klinis yang jelas,
sampai dengan keluhan gagal jantung, aritmia dan gangguan hemodinamik yang
berat. Kelainan elektrokardiografi atau ekokradiografi yang bersifat sementara
banyak didapatkan pada saat wabah infeksi virus atau influenza dan pasien tetap
asimptomatik dan hanya sebagian kecil saja yang mempunyai gejala sisa jangka
panjang. Miokarditis dengan gambaran yang akut lebih banyak ditemukan pada
anak-anak usia muda dan remaja dan pada orang dewasa biasanya gejalanya lebih
ringan, dengan gambaran kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung. Perbedaan
presentasi klinis ini diduga berkaitan dengan kematangan sistem imun, pada usia
muda biasanya mempunyai respon yang berlebihan pada paparan pertama dengan
antigen. Pada usia tua biasanya mempunyai daya toleransi yang sangat tinggi dan
gambaran klinisnya berupa respon inflamasi kronis terhadap antigen asing atau
gangguan sistem imun yang akan berdampak terhadap otoimun.
1. Miokarditis Akut
Gambaran klinis pada penderita miokarditis biasanya tidak khas. Pada
penelitian terhadap 245 pasien dengan kecurigaan suatu miokarditis, maka
gejala yang paling banyak ditemukan adalah lemah badan/fatigue (82%);
dyspnea on exertion (81%); aritmia (55 %, untuk aritmia supraventrikular
dan ventrikular); berdebar (49 %); dan nyeri dada saat istirahat (26 %).7
Nyeri dada pada miokarditis sulit dibedakan dengan sindroma iskemik akut
karena keduanya mengakibatkan pelepasan troponin, elevasi segmen ST
pada EKG, dan gangguan gerakan segmental dinding jantung pada
ekokradiografi. Gejala pordormal akibat infeksi virus berupa demam,
menggigil, mialgia, dan gejala konstitusional lainnya dapat terjadi pada 20-
80% kasus dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien dan tidak dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosis.
Banyak kasus miokarditis datang dengan gambaran klinis berupa gagal
jantung akut yang timbul mendadak tanpa sebab yang jelas, terutama pada
pasien usia pertengahan atau lebih tua. Sehingga jika tidak ditemukan
etiologi gaga jantung, maka diagnosa miokarditis viral dan kardiomiopati
dilatasi idiopatik merupakan suatu diagnosis ekslusional. Untuk dapat
membedakan kardiomiopati dilatasi idiopatik dengan miokarditis viral
adalah pada sepertiga kasus miokarditis karena viral, gejala klinis dan hasil
pemeriksaan fungsi ventrikel kembali menjadi normal dengan terapi
suprotif yang sesuai, sedangkan hal ini jarang terjadi pada kasus
kardiomiopati dilatasi idiopatik.
2. Miokarditis Fulminan
Pada beberapa kasus, pasien akan datang dengan gagal jantung akut yang berat
dengan syok kardiogenik dengan penyebab yang tidak jelas. Tampilan umum
pasien ini sangat toksik dengan tekanan darah dan curah jantung yang rendah
dan biasanya membutuhkan vasopresor dosis tinggi atau suatu ventricular assist
device (VAD). Pada sebuah penelitian didapatkan adanya 14 dari 147 (10.2%)
penderita dengan gambaran klinis miokarditis datang dengan gambaran yang
fulminan dengan gambaran trias berupa gangguan hemodinamik, onset gejala
yang singkat (dalam 2 minggu), dan demam.10 Pemeriksaan ekokardiografi
akan ditemukan disfungsi global ventrikel yang berat dengan gambaran
ventrikel kiri yang berdilatasi minimal. Gambaran patologi dari biopsi akan
didapatkan adanya fokus inflamasi dan nekrosis yang banyak dan tidak sesuai
dengan beratnya gambaran klinis. Gambaran klinis ini lebih disebabkan oleh
produksi sitokin oleh pejamu dan mengakibatkan depresi jantung reversibel.
Pada follow-up penelitian secara kohort didapatkan adanya 93% pasien yang
hidup dan tidak dilakukan transplantasi selama 11 tahun setelah dilakukan
biopsi awal dibandingkan dengan 45% pada penderita dengan miokarditis akut
yang klasik. Penelitian ini menegaskan perlunya dilakukan terapi yang agresif
pada penderita dengan miokarditis untuk dapat memaksimalkan kemungkinan
penyembuhan.
3. Miokarditis Giant cell
Miokarditis Giant cell adalah subklas miokarditis dimana pada penderita ini
akan terjadi gagal jantung diikuti dengan gambaran yang semakin memburuk.
Pada pemeriksaan biopsi ditemukan adanya giant cell dan inflamasi akut.
Penelitian pada Miokarditis Giant cell didapatkan 75% pasien datang dengan
gagal jantung yang berat. Gejala yang lain berupa aritmia atau blok jantung.
Penderita miokarditis giant cell biasanya akan mengalami perburukan yang
agresif dengan prognosis yang sangat buruk dan kesintasan rata-rata kurang dari
6 bulan. Beberapa penderita akan berespon sementara dengan terapi
imunosupresif yang agresif. Sebagian besar pasien akan dilakukan transplantasi
jantung
4. Miokarditis Kronis Aktif
Miokarditis kronis aktif sering terjadi pada usia tua. Ditemukan gejala akibat
dengan disfungsi ventrikel misalnya cepat lelah dan sesak nafas. Biopsi patologi
pada miokardium akan didapatkan adanya miokarditis aktif, tetapi lebih sering
pada bentuk perbatasan atau perubahan miopati kronis secara umum dengan
fibrosis. Beberapa pasien akan mengalami disfungsi diastolik dengan fibrosis
dan mempunyai gambaran seperti kardiomiopati restriktif
Pendekatan Diagnostik
Dahulu untuk menegakkan diagnosis miokarditis dibutuhkan kriteria
secara histologist berdasarkan kriteria klasik dari Dallas.10 Kriteria ini
mempunyai sensitivitas yang rendah karena gambaran bercak alami dari
infiltrate inflamasi di miokard, keengganan klinisi untuk melakukan prosedur
diagnostik invasif, maka miokarditis menjadi tidak terdiagnosis. Karena
insidensi miokarditis tampaknya lebih tinggi dari yang ada, maka kecurigaan
tinggi secara klinis disertai dengan kriteria gabungan antara klinis dan
laboratorium, dan modalitas pencitraan yang baru dapat membantu menentukan
diagnosi tanpa perlu dilakukan biopsi pada semua kasus.
2.2 HIPERTENSI
Faktor-faktor resiko hipertensi ada yang dapat di kontrol dan tidak dapat dikontrol
menurut (Sutanto, 2010) antara lain :
1. Kegemukan (obesitas)
Dari hasil penelitian, diungkapkan bahwa orang yang kegemukan mudah
terkena hipertensi. Wanita yang sangat gemuk pada usia 30 tahun
mempunyai resiko terserang hipertensi 7 kali lipat dibandingkan dengan
wanita langsing pada usia yang sama. Curah jantung dan sirkulasi volume
darah penderita hipertensi yang obesitas. Meskipun belum diketahui secara
pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun terbukti bahwa daya
pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan
hipertensi lebih tinggi dibanding penderita hipertensi dengan berat badan
normal.
2. Kurang olahraga
Orang yang kurang aktif melakkukan olahraga pada umumnya cenderung
mengalami kegemukan dan akan menaikan tekanan darah. Dengan olahraga
kita dapat meningkatkan kerja jantung. Sehingga darah bisa dipompadengan
baik keseluruh tubuh.
3. Konsumsi garam berlebihan Sebagian masyarakat kita sering
menghubungkan antara konsumsi garam berlebihan dengan kemungkinan
mengidap hipertensi. Garam merupakan hal yang penting dalam mekanisme
timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi adalah
melalui peningkatan volume plasma atau cairan tubuh dan tekanan darah.
Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekresi (pengeluaran) kelebihan
garam sehingga kembali pada kondisi keadaan system hemodinamik
(pendarahan) yang normal. Pada hipertensi primer (esensial) mekanisme
tersebut terganggu, disamping kemungkinan ada faktor lain yang
berpengaruh.
1. Keturunan (Genetika)
Faktor keturunan memang memiliki peran yang sangat besar terhadap munculnya
hipertensi. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi
lebih banyak terjadi pada kembar monozigot (berasal dari satu sel telur)
dibandigkan heterozigot (berasal dari sel telur yang berbeda). Jika seseorang
termasuk orang yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) dan
tidak melakukan penanganan atau pengobata maka ada kemungkinan
lingkungannya akan menyebabkan hipertensi berkembang dan dalam waktu
sekitar tiga puluhan tahun akan mulai muncul tanda-tanda dan gejala hipertensi
dengan berbagai komplikasinya.
2. Jenis kelamin
Pada umumnya pria lebih terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal
ini disebabkan pria banyak mempunyai faktor yang mendorong terjadinya
hipertensi seperti kelelahan, perasaan kurang nyaman, terhadap pekerjaan,
pengangguran dan makan tidak terkontrol. Biasanya wanita akan mengalami
peningkatan resiko hipertensi setelah masa menopause.
3. Umur
Dengan semakin bertambahannya usia, kemungkinan seseorang menderita
hipertensi juga semakin besar. Penyakit hipertensi merupakan penyakit yang
timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor risiko terhadap timbulnya
hipertensi. Hanya elastisitas jaringan yang erterosklerosis serta pelebaran
pembulu darah adalah faktor penyebab hipertensi pada usia tua. Pada umumnya
hipertensi pada pria terjadi di atas usia 31 tahun sedangkan pada wanita terjadi
setelah berumur 45 tahun.
2.2.4 Patofisiologi
Menurut (Triyanto,2014) Meningkatnya tekanan darah didalam arteri bias rerjadi melalui
beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak
cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturanya dan menjadi kaku
sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui
arteri tersebut. Darah di setiap denyutan jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. inilah yang terjadi pada
usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arterioskalierosis.
Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi,
yaitu jika arter kecil (arteriola) untuk sementara waktu untuk mengarut karena
perangsangan saraf atau hormon didalam darah. Bertambahnya darah dalam sirkulasi bisa
menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terhadap kelainan fungsi
ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh
meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya, jika aktivitas memompa
jantung berkurang arteri mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka
tekanan darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan
oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf
yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal
mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara: jika tekanan darah meningkat,
ginjal akan mengeluarkan garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya volume
darah dan mengembalikan tekanan darah normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal
akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan
tekanan darah kembali normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan
menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi,
yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ
peting dalam mengembalikan tekanan darah; karena itu berbagai penyakit dan kelainan
pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan
arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan
hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bias
menyebabkan naiknya tekanan darah (Triyanto 2014). pertimbangan gerontology.
Perubahan struktural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggung pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Konsekwensinya , aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume secukupnya), mengakibatkan penurunan curah jantunng dan meningkatkan
tahanan perifer (Prima,2015).
Menurut (Ahmad, 2011) sebagian besar penderita tekanan darah tinggi umumnya
tidak menyadari kehadirannya. Bila ada gejala, penderita darah tinggi mungkin
merasakan keluhan-keluhan berupa : kelelahan, bingung, perut mual, masalah
pengelihatan, keringat berlebihan, kulit pucat atau merah, mimisan, cemas atau gelisah,
detak jantung keras atau tidak beraturan (palpasi), suara berdenging di telinga, disfungsi
ereksi, sakit kepala, pusing. Sedangkan menurut (Pudiastuti,2011) gejala klinis yang
dialami oleh para penderita hipertensi biasanya berupa : pengelihatan kabur karena
kerusakan retina, nyeri pada kepala, mual dan muntah akibatnya tekanan kranial, edema
dependen dan adanya pembengkakan karena meningkatnya tekanan kapiler.
a. General check up
jika seseorang di duga menderita hipertensi, dilakukan beberapa
pemeriksaan, yakni wawancara untuk mengetahui ada tidaknya riwayat
keluarga penderita. Pemeriksaan fisik, pemeriksan laboratorium, pemeriksaan
ECG, jika perlu pemeriksaan khusus, seperti USG, Echocaediography (USG
jantung), CT Scan, dan lain-lain. Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Langkah pengobata adalah yang
mengendalikan tensi atau tekanan darah agar tetap normal.
b. Tujuan pemeriksaan laboratolriun untuk hipertensi ada dua macam yaitu:
1. Panel Evaluasi Awal Hipertensi : pemeriksaan ini dilakukan segera setelah
didiagnosis hipertensi, dan sebelum memulai pengobatan.
2. Panel hidup sehat dengan hipertensi : untuk memantau keberhasilan terapi.
2.2.8 Penatalaksanaan
Menurut (junaedi,Sufrida,&Gusti,2013) dalam penatalaksanaan hipertensi berdasarkan
sifat terapi terbagi menjadi 3 bagian, sebagai berikut:
a. Terapi non-farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi merupakan pengobatan tanpa obatobatan yang
diterapkan pada hipertensi. Dengan cara ini, perubahan tekanan darah diupayakan
melalui pencegahan dengan menjalani perilaku hidup sehat seperti :
1. Pembatasan asupan garam dan natrium
2. Menurunkan berat badan sampai batas ideal
3. Olahraga secara teratur
4. Mengurangi / tidak minum-minuman beralkohol
5. Mengurangi/ tidak merokok
6. menghindari stress
7. menghindari obesitas
b. Terapi farmakologi (terapi dengan obat)
selain cara terapi non-farmakologi, terapi dalam obat menjadi hal yang utama.
Obat-obatan anti hipertensi yang sering digunakan dalam pegobatan,antara lain
obat-obatan golongan diuretik, beta bloker, antagonis kalsium, dan penghambat
konfersi enzim angiotensi.
1. Diuretik merupakan anti hipertensi yang merangsang pengeluaran garam dan
air. Dengan mengonsumsi diuretik akan terjadi pengurangan jumlah cairan
dalam pembuluh darah dan menurunkan tekanan pada dinding pembuluh
darah.
2. Beta bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa darah dan
mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung.
3. ACE-inhibitor dapat mencegah penyempitan dinding pembuluh darah
sehingga bisa mengurangi tekanan pada pembuluh darah dan menurunkan
tekanan darah.
4. Ca bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dan merelaksasikan
pembuluh darah.
c. Terapi herbal
banyak tanaman obat atau herbal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai obat
hipertensi sebai berikut :
1. Daun seledri
Seledri (Apium graveolens, Linn.) merupakan tanaman terna tegak dengan
ketinggian dari 50 cm. Semua bagian tanaman seledri memiliki bau yang
khas, identik dengan sayur sub. Bentung batangnya bersegi, bercabang,
memiliki ruas, dan tidak berambut.bunganya berwarna putih, kecil,
menyerupai payung, dan majemuk. Buahnya berwarna hijau kekuningan
berbentuk kerucut. Daunnya memiliki pertulangan yang menyirip, berwarna
hijau, dan bertangkai. Tangkai daun yang berair dapat dimakan mentah
sebagai lalapan dan daunnya digunakan sebagai penyedap masakan, seperti
sayur sop. Contoh ramuan seledri secara sederhana sebagai berikut:
- Bahan : 15 batang seledri utuh, cuci bersih dan 3 gelas air
- Cara membuat dan aturan pemakai : potong seledri secara kasar,
rebus seledri hingga mendidih dan tinggal setengahnya, minum air
rebusannya sehari dua kali setelah makan. Hubungan dengan
hipertensi, seledri berkasiat menurunkan tekanan darah (hipotensis
atau anti hipertensi). Sebuah cobaan perfus pembuluh darah
menunjukan bahwa apigenin mempunyai efek sebagai vasodilator
perifer yang berhubungan dengan efek hipotensifnya. Percobaan lain
menunjukkan efek hipotensif herbal seledri berhubungan dengan
integritas sistem saraf simpatik (Mun’im dan hanani, 2011).
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS 2
Seorang laki-laki 56 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dengan keluhan
sesak saat beraktifitas. 3 bulan SMRS os mengeluh sesak nafas, sesak
dipengaruhi aktivitas sehari-hari yaitu bila berjalan ke toilet tidak dipengaruhi
cuaca dan emosi dan tidak diikuti suara mengi, sesak berkurang bila duduk atau
istirahat. Os sering terbangun di malam hari karena sesak, os lebih nyaman tidur
menggunakan 3 bantal. Nyeri dada (-), palpitasi (+), batuk (-), dahak (-), demam
(-), mual (-), bengkak pada tungkai (+), nyeri sendi (-). BAB dan BAK tidak
ada keluhan dan OS lalu berobat ke RS A, tetapi tidak ada perubahan. Lalu Os
berobat ke RS X ini (rawat jalan).
Satu hari SMRS Os mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak saat beraktivitas
ringan seperti berjalan ke toilet, sesak hilang saat instirahat, sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan emosi. Os sering terbangun pada malam hari karena
sesak. Os lebih nyaman dengan posisi setengah duduk. Batuk (+), dahak (+),
Palpitasi (+), nyeri sendi (-), demam (+) hilang timbul, mual (+), muntah (-),
sembab pada mata (-), bengkak pada kedua tungkai (+), BAB dan BAK tidak
ada keluhan.
Os baru mengetahui kondisi darah tinggi sejak tahun 2013, tetapi os tidak teratur
minum obat dan os menyangkal adanya riwayat kencing manis dan penyakit
dengan gejala yang sama dalam keluarganya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa: keadaan umum tampak sakit sedang,
tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 92 x/m reguler, isi dan tegangan cukup,
frekuensi pernafasan 40x/m, suhu 36,7°C, pada pemeriksaan paru terdapat
ronkhi basah halus pada kedua basal paru, dan pada pemeriksaan jantung
didapatkan batas jantung membesar, yaitu batas jantung atas ICS 2 linea
sternalis sinistra, Batas jantung kanan ICS 5 linea parasternalis dekstra, batas
jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra dan pada auskultasi didapat
HR= 92x/m, pada inspeksi abdomen tampak datar, pada palpasi didapatkan
adanya nyeri tekan epigastrium. Hepar teraba 2 jbac, dan pada ekstremitas
ditemukan edema pretibia.
Tanda penting
Sesak napas
Takipnea
Kardiomegali
Pengkajian pola
Aktifitas/istirahat :
Pernapasan :
Gejala : pola napas pendek (memburuk kronis pada malam hari dan harus
diganjal 3 bantal apabila tidur)
Pemeriksaan khusus
1. Pemeriksaan EKG :
2. Foto Thoraks :
-Pemeriksaan EKG :
HR = 106x/m
Gel P normal
PR interval 0,06 detik
R/S di V1 <1
S di V1 + R
V5/V6 lebih >35
ST change (-)
pada pemeriksaan
Rontgen Thorak terdapat
Cardiomegali.
DIAGNOSA
1. intoleransi aktifitas b.d inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard,
INTERVENSI
No Hari No Tujuan dan Intervensi Rasional TTD
/tgl/ . kriteria hasil
jam Dx
1 Tujuan : pasien 1. bantu oasien Saat
memiliki cukup dalam program inflamasi/kondisi
energi untuk latihan progresif dasar teratasi,
beraktifitas bertahap pasien mungkin
Kriteria hasil : sesegera mampu melakukan
perilaku mungkin untuk aktifitas yang
menampakan turun dari tempat diinginkan, kecuali
kemmapuan untuk tidur, mencatat kerusakan miokard
memenuho respons TTV permanen/ terjadi
kebutuhan diri, dan toleransi komplikasi
pasien mampu pasien pada
untuk melakukan peningkatan
beberapa aktifitas aktifitas.
tanpa dibantu,
koordinasi otot, 2. mengkaji Miokarditis
tulang dan respons pasien menyebabkan
anggota gerak terhadap inflamasi dan
lainnya baik aktifitas. kemungkinan
kerusakan fungsi
sek-sel miokard.
3. Meningkatkan
mempertahanka resolusi inflamasi
n tirah barung selama fase akut.
selama periode
demam dan
sesuai indikasi.
4. kolaborasi Memaksimalkan
pemberian ketersediaan
oksigen oksigen untuk
suplemen sesuai mengimbangi
indikasi konsumsi oksigen
yang terjadi dengan
aktifitas.
5. memantau Membantu
frekuensi/irama menentukan derajat
jantung, TD, dan dekompensasi
frekuensi jantung dan
pernapasan pulmonal,
sebelum dan penurunan TD,
sesudah takikardia,
aktifitas. Serta distritmia, dan
selama takipnea adalah
diperlukan idikatif dari
kerusakan toleransi
jantung terhadap
aktifitas.
IMPLEMENTASI
Hari/tgl/jam No. Dx Implementasi Evaluasi Paraf
proses
EVALUASI
No. Hari/tgl/jam No. Dx evaluasi Paraf
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Freedman SB, Haladyn JK, Floh A, Kirsh JA, Taylor G, Freedman JT. Pediatric
myocarditis: Emergency Department clinical findings and diagnostic.
Pediatrics. 2007;120:1278-85.
Marx G.R. Myocarditis. Dalam: Keane J.F, Lock J.E, Fyler D.C. Nadas:
Pediatric cardiology. Edisi kedua. Pennsylvania. 2006; hlm: 467-475
1.