Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah
Keperawatan Medikal Bedah (Peradangan pada Jantung dan Hipertensi), makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen tugas pada mata kuliah KMB.
Kami selaku penyusun makalah sangat berterimakasih kepada dosen
pembimbing yang senantiasa membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dari semua pihak demi perbaikan dan penambahan wawasan kami di masa yang
akan datang
Demikian akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca pada umumnya terima kasih

Sukabumi, September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


Apa yang dimaksud dengan miokarditis itu ?

bagaimana etiologi dari miokarditis itu ?

bagaimana epidemologi miokarditis itu ?

apa pengertian hipertensi itu ?

faktor- faktor apa saja yang dapat menyebabkan hipertensi itu ?

bagaimana komplikasi dari hipertensi itu ?

bagaimana pemeriksaan penunjang dari hipertensi itu ?

1.3 Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENYAKIT MIOKARDITIS (RADANG PADA JANTUNG)

2.1.1 DEFINISI MIOKARDITIS

Miokarditis adalah peradangan, nekrosis, atau miositolisis yang mengenai


miokardium oleh sebab apapun, baik oleh invasi langsung kuman, toksinnya atau
kompleks reaksi antigen antibodi dengan atau tanpa disertai gejala sistemik dari
suatu proses penyakit atau keterlibatan endokardium atau perikardium.

2.1.2 ETIOLOGI

Miokarditis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, jamur, protozoa,


penyakit yang didasari oleh imun termasuk demam rematik dan penyakit Kawasaki,
dan penyakit vaskuler kolagen serta obat-obatan tertentu

Di Amerika Serikat, virus adalah penyebab terbanyak dari miokarditis, yaitu


yang tersering adalah adenovirus, coxsackie B, dan enterovirus. Virus lain yang
dapat menyebabkan miokarditis adalah poliomyelitis, mumps, campak, rubela,
CMV, HIV, arbovirus, herpes, mononukleosis infeksiosa, dengue, dan influenza.
Bakteri dapat disebabkan oleh Streptokokus, Corynebacterium diphtheriae, dan
Salmonella typhi. Miokarditis bakteri biasa sebagai komplikasi dari endokarditis
bakteri oleh stafilokokus aureus dan enterokokus. Miokarditis difteri timbul pada
lebih dari1/4 kasus penderita difteri, dan hal ini merupakan komplikasi paling serius
dan penyebab kematian yang paling umum pada difteri. Parasit toksoplasmosis dan
trikinosis dapat menyebabkan miokarditis. Penyebab paling banyak pada anak
adalah adenovirus, coxsackievirus B, dan enterovirus lain.

 Virus:

Adenovirus,arbovirus,Chikunguya, Sitomegalovirus,Echovirus, Enterovirus


(Coxsackie B), virus Epstein-Barr, Flavivirus (dengue fever dan yellow fever),
virus Hepatitis B, virus Hepatitis C, virus Herpes (human herpes-6), HIV/ AIDS,
virusi Influenza A dan B, Parvovirus (parvovirus B-19), mumps, poliovirus, rabies,
respiratory synctial virus, rubeola, rubella, varicella, variola (smallpox)

 Bakteri:

Burkoholderia pseudomallei (melioidosis), Brucella, Chlamydia (khususnya


Chlamydia pneumonia dan Chlamydia psittacosis), Corynebaacterium diphteriae
(difteria), Francisella tularensis (tularemia), Haemophilus influenza, gonococcus,
Clostridium, Legionella pneumophila (Legionnaire disease), Mycobacterium
(tuberkulosis), Neisseria meningitidis, Salmonella, Staphylococcu

 Obat-obatan:

Aminofilin, amfetamin, anthracyclines, katekolamin, kloramfenikol, kokain,


siklofosfamis, doksorubicin, etanol, 5-fluouracil, imatimib mesylate, interleukin2,
methysergide, fenitoin, trastuzumab, zidovudin

 Lingkungan

Arsen, karbon monoksida, tembaga, Fe, timbal Reaksi hipersensitivitas: Obat:


azitromisin, benzodiazepin, clozapin, sefalosporin, dapson, dobutamin, gefitinib,
litium, loop diuretics, metildopa, mexiletine, obat anti inflamasi non-steroid,
penisilin, fenobarbital, vaksin smallpox, streptomisin, sulfonamid, tetanus toksoid,
tetrasiklin, diuretik tiazid, trisiklik antidepresan
Lainnya: bisa lebah, wasp venom, bisa labalaba black widow, bisa kalajengking,
bisa 3 Streptococcus A (rheumatic fever), Streptococcus pneumoniae, sifilis,
tetanus, tularemia, Vibrio cholera

 Riketsia:

Coxiella burnetii (Q fever), Orientia tsutsugamushi(scrub typhus), Rickettsia


prowazekii (typhus), Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain spotted fever)

Fungi: Actinomyces, Aspergillus, Blastomyces, Candida, Coccidiides,


Cryptococcus, Histoplasma, Mucor species, Nocardia, Sporothrix schenckii,
Strongyloides strecoralis

 Protozoa:

Balantidium, Entamoeba histolytica (amebiasis), Leishmania, Plasmodium


falciparum (malaria), Sarcocystis, Trypanosoma cruzi ( penyakit Chagas),
Trypanosoma brucei (African sleeping sickness), Toxoplasma gondii
(toxoplasmosis)

 Helmintik:

Ascaris, Echinococcus granulosus, heterophyes, Paragonimus westermani,


Schistosoma, Strongloides stercoralis, Taenia solium (cysticercosis), Toxocara
canis (visceral larva migrans), Trichinella spiralis, Wuchereria bancrofti (fiariasis)
ular

 Penyakit autoimun:

Dermatomiositis, GCM, inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, Sjogren


syndrome, sistemik lupus eritematosus, Takayasu’s arteritis, Wegener’s
granulomatosis

 Penyakit sistemik:
Celiac disease, Churg-Strauss syndrome, collagen-vascular disease,
hypereosinophilic syndrome dengan eosinophilic endomyocardial disease,
Kawasaki, sarkoidosis (Idiopathic granulomatous myocarditis), skleroderma

Lainnya: Hart stroke, hipotermia, rejeksi post transplantasi jantung, terapi radiasi

2.1.3 EPIDEMIOLOGI

Insidensi sebenarnya miokarditis tidak diketahui, karena banyaknya kasus


subklinis dibandingkan kasus berat. Banyak kasus tidak diketahui karena kisaran
variasi tanda dan gejala yang luas. Suatu penelitian postmortem pada anak yang
meninggal dengan riwayat suspek miokarditis menunjukkan adanya bukti
miokarditis aktif atau telah sembuh pada 17 dari 138 kasus (12,3%). Dari 17 kasus
tersebut, sebanyak 15 kasus ditemukan pada anak yang meninggal mendadak.

Miokarditis karena virus biasanya bersifat sporadik, dan biasanya


manifestasinya tergantung dari usia. Pada bayi biasanya muncul sebagai penyakit
fulminan yang akut, pada anak yang lebih muda muncul sebagai penyakit yang akut
tapi kurang fulminan, dan pada anak yang lebih tua dan remaja biasanya
asimptomatis. Angka kematian miokarditis pada bayi dilaporkan sebesar 75% dan
pada anak sebesar 25%.

PATOFISIOLOGI MIOKARDITIS SEBAGAI PENYEBAB


KARDIOMIOPATI DILATASI

Pada miokarditis yang disebabkan oleh virus, didasari oleh cell-mediated


reaksi imunologis. Ditandai oleh adanya infiltrat seluler, degenerasi sel dan
nekrosis, dan fibrosis. Miokarditis oleh virus juga dapat menjadi kronik. Inflamasi
kronik ini berpengaruh terhadap respon imun, termasuk aktivasi limfosit T. Adanya
limfosit sitotoksik, sel NK, dan replikasi virus menyebabkan kerusakan dari fungsi
miosit tanpa sitolisis yang jelas. Protein virus juga dapat membagi epitop antigenik
dengan sel host sehingga menyebabkan reaksi autoimun. Sitokin seperti TNFα dan
IL1 menyebabkan perubahan terhadap respon imun. Inflamasi yang
berkepanjangan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kardiomiopati
dilatasi
Gambar 1 Patofisiologi miokarditis

Walaupun infeksi virus merupakan inisiator awal miokarditis akut, respons


otoimun selanjutnya memegang peran penting pada kerusakan miosit. Mekanisme
pokok kerusakan miokardium tidak hanya replikasi virus, tetapi melibatkan reaksi
imunologis yang cellmediated. Penelitian pada hewan menunjukkan setelah infeksi
sistemik, virus memasuki miosit, lalu bereplikasi dalam sitoplasma sel. Beberapa
virus lalu memasuki interstisium dan difagosit oleh makrofag. Aktivasi makrofag
ini dirangsang oleh adanya partikel virus dalam interstisium dan pelepasan
interferon gamma oleh sel natural killer (NK). Pelepasan interferon gamma diikuti
pelepasan sitokin proinflamasi (interleukin 1β dan 2 dan tumor necrosis factor. Bila
diaktivasi oleh interleukin 2, sel NK akan mengeliminasi miosit yang terinfeksi
virus dan menghambat replikasi virus.

Berbeda dengan sel NK, sel T berperan pada kerusakan miosit yang
terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Aktivasi sel T disebabkan oleh akumulasi
makrofag dalam miosit dan produksi efek sitotoksik cell-mediated. Walaupun sel T
dapat menyebabkan lisis miosit yang terinfeksi virus, tetapi akumulasi makrofag
dan efek sitotoksik secara bersama-sama menentukan keseimbangan antara
pembersihan virus (viral clearance) dan kerusakan miosit. Karena lisis yang
ditimbulkan oleh sel T mengenai miosit yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi,
maka juga terjadi nekrosis pada sel miosit sehat. Jadi sebagian kerusakan
miokardium disebabkan oleh respons imun tubuh sendiri. Akibat miokarditis ini
dapat terjadi kerusakan miokardium permanen

Pemahaman patogenesis miokarditis yang disebabkan oleh virus terutama


berasal dari penelitian yang dilakukan pada model miokarditis oleh enterovirus
pada tikus dan prinsip ini kemudian digeneralisasikan pada miokarditis tipe lain10
Penyakit ini menggambarkan hubungan yang kompleks antara virus dengan pejamu
(host). Patofisiologi miokarditis terdiri atas tiga fase. Fase pertama adalah fase viral,
diikuti dengan fase respon imunologis (respon imun bawaan maupun didapat), dan
diikuti fase remodeling jantung. (gambar 1)
Gambar 2. Konsep tiga tahap patofisiologi yang menyebabkan miokarditis kronis
yaitu fase viral, fase respon imun dan remodeling, dan fase penyembuhan. Fase
respon imun dapat dibagi lagi menjadi imun bawaan (innate) dan imun didapat
(acquired) dengan gabungan kedua proses tersebut. Fase viral dan imun akan
menyebabkan kematian sel, remodeling jantung dan respon inflamasi pejamu. Pada
penelitian ini efek terapi tidak mempunyai peran yang jelas karena heterogenitas
populasi, adanya recovery spontan yang tinggi, dan jumlah sampel penelitian
sample yang kecil. ACEi = angiotensin-converting enzyme inhibitors; Aldo =
aldosterone; ARB = angiotensin receptor blocker; CMR = cardiac magnetic
resonance; Mech = mechanical; MMP = matrix metalloproteinases; Nat = natural;
PCR = polymerase chain reaction; TLR = toll-like receptors

Miokarditis virus diawali dengan paparan kelompok virus patogen (contoh:


enterovirus seperti coxsackie virus CVB3) yang melakukan invasi pada pejamu
melalui jalur masuk berupa internalisasi reseptor virus pada permukaan sel. Pada
akhirnya virus akan mencapai miokardium melalui penyebaran secara hematogen
atau limfogen. Virus coxsackie dan beberapa virus lainnya akan melalui jaringan
limfoid seperti di limpa dan akan membelah diri di dalam sel imun termasuk
makrofag dan sel limfosit T dan sel B. Melalui aktivasi sistem imun pejamu maka
virus akan dapat mencapai organ target (jantung dan pankreas pada CVB3). Segera
setelah virus mencapai miosit maka virus akan menggunakan reseptor spesifik atau
kompleks reseptor pada tempat masuk sel target. Reseptor ini pada virus Coxsackie
dikenal sebagai CAR 13 dan koreseptror yang berperan dalam menentukan
perlekatan dan virulensi berupa decay accelerating factor (DAF) atau CD55 (
Gambar 2 )

Gambar 3: Patogenesis miokarditis viral yang disebabkan oleh virus Coxsakie.


Virus masuk ke dalam membrane sel melalui proses internalisasi reseptor
coxsackie-adenovirus receptor (CAR). Proses ini selanjutnya akan memacu protein
kinase seperti p56lck, Fyn, dan Abl, yang akan merubah sitoskeleton pejamu untuk
memfasilitasi masuknya virus. Virus Coxsackie dapat secara langsung
menghasilkan enzim seperti protease 2A yang akan menyebabkan remodeling dan
merusak miosit. Aktivasi reseptor juga akan mengaktivasi tyrosine kinase, yang
berperan penting dalan pembelahan sel T. CVB = Coxsackie B virus; DAF = decay
accelerating factor; IRAK = interleukin receptor associated kinase; IRF = interferon
regulatory factor.
Enteroviruses akan menggunakan kompleks CAR sehingga meningkatkan
insidensi miokarditis yang disebabkan oleh coxsackie and adenovirus. Dengan
teraktivasinya kompleks reseptor ini maka untaian negatif RNA dari virus akan
memasuki sel dan akan melakukan transkripsi unuk membentuk untaian positif
yang akan bekerja sebagai cetakan duplikasi virus selanjutnya. RNA ini akan
membentuk poliprotein yang mengandung enzim pemecahnya sendiri dan
membentuk kapsul subunit VP1-VP4. Replikasi virus yang sangat tinggi pada
pejamu yang sesuai dengan gangguan sistem imun akan menyebabkan kerusakan
miokard akut dan kematian dini.

Masuknya virus ke dalam reseptor juga akan mengaktivasi sistem sinyal


termasuk tirosin kinase p56, Fyn, dan Abl. Aktivasi sinyal-sinyal ini akan merubah
sitoskleton sel pejamu menjadi bentuk yang mudah untuk dimasuki oleh virus. Pada
waat yang ebrsamaan maka sinyal ini juga akan memperantarai aktivasi sel T yang
sangat tergantung kepada p56 dan Fyn. Adanya kerusakan jaringan jantung dan
inflamasi akan meningkatkan reseptor CAR dan meningkatkan kemungkinan
pejamu untuk lebih terinveksi oleh virus Coxsackie

Aktivasi Sistem Imun dan Virus yang menetap Masuknya virus akan
memicu aktivasi sistem imun yang mempunyai dua peranan penting. Peranan
pertama adalah untuk menghancurkan sel yang sudah terinfeksi oleh virus
sebagnyak mungkin untuk mengontrol proses infeksi. Di sisi lain maka proses ini
akan merusak banyak sel dan menyebabkan gangguan fungsi organ. Virus
mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap sistem pertahanan pejamu yaitu
dengan meniru bentuk molekul, melakukan proliferasi di dalam sel imun, dan
melakukan peningkatan regulasi reseptornya sendiri sehingga dapat bertahan di
dalam miosit sampai beberapa bulan sampai beberapa tahun.

Dengan menetapnya virus akan memaparkan pejamu dengan antigen yang


persisten dan aktivasi sitem imun yang kronis yang akan berpotensi menyebabkan
miokarditis kronis. Menetapnya genom virus di dalam miosit seperti oleh virus
Coxsackie virus in the myocyte, berkaitan erat dengan perkembangan menjadi
kardiomiopati dilatasi melalui perubahan sitoskeleton.
Perubahan Struktur Jantung (Cardiac Remodeling) Remodeling jantung
setelah kerusakan jantung dapat berpengaruh terhadap struktur dan fungsi jantung
dan dapat terjadi gangguan penyembuhan atau perkembangan menjadi
kardiomiopati dilatasi. Virus dapat masuk ke dalam sel endotel dan miosit secara
langsung. Interaksi interselular dengan protein pejamu dapat menyebabkan
kematian atau hipertrofi dari sel. Virus dapat melakukan modifikasi sitoskeleton
miosit dan mengakibatkan terjadinya kardiomiopati dilatasi.

Proses inflamasi dapat mengakibatkan pelepasan sitokin, aktivasi matrix


metalloproteinase yang akan mengguanakan kolagen dan elastin interstitial yang
akan menyebabkan remodeling dan disfungsi jantung yang akan memperberat
proses inflamasi

Saat ini matrix metalloproteinase seperti urokinase-type plasminogen activator


ditemukan berperan di dalam proses dilatasi dan inflamasi jantung.10 Aktivasi
sitokin seperti transforming growth factor-beta (TGF-b) dan mengakibatkan
aktivasi kaskade sinyal SMAD dan meningkatkan produksi kelainan fibrosis. Hasil
akhir adalah terbentuknya kardiomiopati dilatasi atai hipertrofik yang dapat disertai
disfungsi sistolik dan sistolik dan gagal jantung yang progresif. Penelitian terbaru
pada pasien yang mendapat terapi dengan interferon tipe I dapat memodulasi virus
dan juga dampak fibrosis pada matriks jantung yang terkena

Gambaran Klinis

Miokraditis mempunyai gambaran klinis yang sangat luas sehinga sulit untuk
menegakkan diagnosis dan melakukan klasifikasi. Gambaran klinis dapat berupa
kelainan elektrokradiografi atau ekokardiografi tanpa gejala klinis yang jelas,
sampai dengan keluhan gagal jantung, aritmia dan gangguan hemodinamik yang
berat. Kelainan elektrokardiografi atau ekokradiografi yang bersifat sementara
banyak didapatkan pada saat wabah infeksi virus atau influenza dan pasien tetap
asimptomatik dan hanya sebagian kecil saja yang mempunyai gejala sisa jangka
panjang. Miokarditis dengan gambaran yang akut lebih banyak ditemukan pada
anak-anak usia muda dan remaja dan pada orang dewasa biasanya gejalanya lebih
ringan, dengan gambaran kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung. Perbedaan
presentasi klinis ini diduga berkaitan dengan kematangan sistem imun, pada usia
muda biasanya mempunyai respon yang berlebihan pada paparan pertama dengan
antigen. Pada usia tua biasanya mempunyai daya toleransi yang sangat tinggi dan
gambaran klinisnya berupa respon inflamasi kronis terhadap antigen asing atau
gangguan sistem imun yang akan berdampak terhadap otoimun.

Gambaran klinis miokarditis diklasifikasi menjadi

1. Miokarditis Akut
Gambaran klinis pada penderita miokarditis biasanya tidak khas. Pada
penelitian terhadap 245 pasien dengan kecurigaan suatu miokarditis, maka
gejala yang paling banyak ditemukan adalah lemah badan/fatigue (82%);
dyspnea on exertion (81%); aritmia (55 %, untuk aritmia supraventrikular
dan ventrikular); berdebar (49 %); dan nyeri dada saat istirahat (26 %).7
Nyeri dada pada miokarditis sulit dibedakan dengan sindroma iskemik akut
karena keduanya mengakibatkan pelepasan troponin, elevasi segmen ST
pada EKG, dan gangguan gerakan segmental dinding jantung pada
ekokradiografi. Gejala pordormal akibat infeksi virus berupa demam,
menggigil, mialgia, dan gejala konstitusional lainnya dapat terjadi pada 20-
80% kasus dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien dan tidak dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosis.
Banyak kasus miokarditis datang dengan gambaran klinis berupa gagal
jantung akut yang timbul mendadak tanpa sebab yang jelas, terutama pada
pasien usia pertengahan atau lebih tua. Sehingga jika tidak ditemukan
etiologi gaga jantung, maka diagnosa miokarditis viral dan kardiomiopati
dilatasi idiopatik merupakan suatu diagnosis ekslusional. Untuk dapat
membedakan kardiomiopati dilatasi idiopatik dengan miokarditis viral
adalah pada sepertiga kasus miokarditis karena viral, gejala klinis dan hasil
pemeriksaan fungsi ventrikel kembali menjadi normal dengan terapi
suprotif yang sesuai, sedangkan hal ini jarang terjadi pada kasus
kardiomiopati dilatasi idiopatik.
2. Miokarditis Fulminan
Pada beberapa kasus, pasien akan datang dengan gagal jantung akut yang berat
dengan syok kardiogenik dengan penyebab yang tidak jelas. Tampilan umum
pasien ini sangat toksik dengan tekanan darah dan curah jantung yang rendah
dan biasanya membutuhkan vasopresor dosis tinggi atau suatu ventricular assist
device (VAD). Pada sebuah penelitian didapatkan adanya 14 dari 147 (10.2%)
penderita dengan gambaran klinis miokarditis datang dengan gambaran yang
fulminan dengan gambaran trias berupa gangguan hemodinamik, onset gejala
yang singkat (dalam 2 minggu), dan demam.10 Pemeriksaan ekokardiografi
akan ditemukan disfungsi global ventrikel yang berat dengan gambaran
ventrikel kiri yang berdilatasi minimal. Gambaran patologi dari biopsi akan
didapatkan adanya fokus inflamasi dan nekrosis yang banyak dan tidak sesuai
dengan beratnya gambaran klinis. Gambaran klinis ini lebih disebabkan oleh
produksi sitokin oleh pejamu dan mengakibatkan depresi jantung reversibel.
Pada follow-up penelitian secara kohort didapatkan adanya 93% pasien yang
hidup dan tidak dilakukan transplantasi selama 11 tahun setelah dilakukan
biopsi awal dibandingkan dengan 45% pada penderita dengan miokarditis akut
yang klasik. Penelitian ini menegaskan perlunya dilakukan terapi yang agresif
pada penderita dengan miokarditis untuk dapat memaksimalkan kemungkinan
penyembuhan.
3. Miokarditis Giant cell
Miokarditis Giant cell adalah subklas miokarditis dimana pada penderita ini
akan terjadi gagal jantung diikuti dengan gambaran yang semakin memburuk.
Pada pemeriksaan biopsi ditemukan adanya giant cell dan inflamasi akut.
Penelitian pada Miokarditis Giant cell didapatkan 75% pasien datang dengan
gagal jantung yang berat. Gejala yang lain berupa aritmia atau blok jantung.
Penderita miokarditis giant cell biasanya akan mengalami perburukan yang
agresif dengan prognosis yang sangat buruk dan kesintasan rata-rata kurang dari
6 bulan. Beberapa penderita akan berespon sementara dengan terapi
imunosupresif yang agresif. Sebagian besar pasien akan dilakukan transplantasi
jantung
4. Miokarditis Kronis Aktif
Miokarditis kronis aktif sering terjadi pada usia tua. Ditemukan gejala akibat
dengan disfungsi ventrikel misalnya cepat lelah dan sesak nafas. Biopsi patologi
pada miokardium akan didapatkan adanya miokarditis aktif, tetapi lebih sering
pada bentuk perbatasan atau perubahan miopati kronis secara umum dengan
fibrosis. Beberapa pasien akan mengalami disfungsi diastolik dengan fibrosis
dan mempunyai gambaran seperti kardiomiopati restriktif

Pendekatan Diagnostik
Dahulu untuk menegakkan diagnosis miokarditis dibutuhkan kriteria
secara histologist berdasarkan kriteria klasik dari Dallas.10 Kriteria ini
mempunyai sensitivitas yang rendah karena gambaran bercak alami dari
infiltrate inflamasi di miokard, keengganan klinisi untuk melakukan prosedur
diagnostik invasif, maka miokarditis menjadi tidak terdiagnosis. Karena
insidensi miokarditis tampaknya lebih tinggi dari yang ada, maka kecurigaan
tinggi secara klinis disertai dengan kriteria gabungan antara klinis dan
laboratorium, dan modalitas pencitraan yang baru dapat membantu menentukan
diagnosi tanpa perlu dilakukan biopsi pada semua kasus.

Dengan ditemukannya beberapa strategi diagnostik miokraditis, maka akan


dikatakan strongly suspect myocarditis apabila dua dari kriteria terpenuhi, dan
highly probable myocarditis apabila terdapat tiga atau lebih kriteria terpenuhi,
yaitu berupa (1) gambaran klinis yang sesuai; (2) bukti adanya defek structural
atau fungsional jantung atau kerusakan miokard yang tidak disertai adanya
iskemia koroner aktif; (3) perlambatan peningkatan kontras secara regional atau
perningakatn sinyal T2 pada pencitraan CMR; dan (4) adanya sel infiltrative
atau sinyal genom virus yang positif pada pemeriksaan biopsi miokard atau
patologi. (Tabel 1). Akan tetapi biopsi miokardium tetap merupakan alat
diagnosis yang paling spesifik untuk miokarditis
TABEL 1 -- Kriteria Tambahan untuk Diagnosis Miokarditis
Suspicious miokarditis = 2 kategori positif
Compatible miokarditis = 3 kategori positif
High probability miokarditis = semua 4 kategori positif
(Adanya kesesuaian kategori = kategori positif)
Kategori I: Gejala Klinis
Gagal Jantung secara Klinis
Demam
Prodromal dari virus
Lemah
Dyspnea on exertion
Nyeri dada
Berdebar
Presinkop atau sinkop
Kategori II: Bukti Gangguan Struktural/Fungsi Jantung tanpa adanya iskemik
Koroner Regional
Bukti Ekokardiografi
Abnormalitas gerakan dinding regional
Dilatasi jantung
Hipertrofi jantung regional
Pelepasan Troponin
High sensitivity (>0.1 ng/ml)
Indium-111 antimyosin scintigraphy yang positif
Dan Angiografi koroner normal atau
Tidak ditemuakn iskemia reversible secara distribusi koroner pada sidik perfusi jantung
Kategori III: Cardiac Magnetic Resonance Imaging
Peningkatan sinyal T2 miokardium pada saat fase recovery Terlambatnya peningkatan
kontras setelah infuse gadolinium-DTPA
Kategori IV: Biopsi Miokardium—Analisis Patologis atau Molekular
Temuan Patologis sesuai kriteria Dallas Adanya genom virus secara PCR atau hibridisasi
in situ

Diagnosis miokarditis harus dipertimbangkan pada pasien usia muda


yang datang dengan keluhan gagal jantung atau nyeri dada yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya dengan gambaran angiografi koroner yang normal.
Pada penderita dengan faktor risiko penyakit jantung koroner yang rendah
datang dengan nyeri dada akut atau adanya gambaran iskemia pada EKG, maka
sebanyak 32% akan didapatkan hasil biopsi adanya miokarditis akut
berdasarkan kriteria Dallas. Persentasi yang lebih besar ditemukan secara
analisis molekular hasil genom virus yang positif. Keterbatasan diagnosis yang
tepat pada miokarditis adalah kurangnya alat non invasif yang mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

2.2 HIPERTENSI

2.2.1 pengertian hipertensi

Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di


dalam Arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana
tekanan yang abnormal tinggi didalam arteri menyebabkan peningkatannya resiko
terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakann ginjal.
Sedangkan menurut (Triyanto,2014) Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan
angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian / mortalitas. Tekanan darah 140/90
mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140
menunjukan fase darah yang sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90
menunjukan fase darah yang kembali ke jantung (Anies, 2006).

Tabel Klasifikasi Hipertensi

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Diastolik


Sistolik
Normal Dibawah 130 mmHg Dibawah 85 mmH
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1 ( ringan ) 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2( sedang ) 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3 (berat ) 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Tadium 4 ( tinggi ) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih
Sumber: (Triyanto,2014)

2.2.2 Etiologi Hipertensi

Menurut (Widjadja,2009) penyebab hipertensi dapat dikelompookan menjadi dua yaitu:

a. Hipertensi primer atau esensial Hipertensi primer artinya hipertensi yang


belum diketahui penyebab dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut
berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya usia,
sters psikologis, pola konsumsi yang tidak sehat, dan hereditas (keturunan).
Sekitar 90% pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini.
b. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder yang penyebabnya sudah di ketahui,
umumnya berupa penyakit atau kerusakan organ yang berhubungan dengan
cairan tubuh, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakaiyan kontrasepsi
oral, dan terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan faktor
pengatur tekanan darah. Dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit
endokrin, dan penyakit jantung.

2.2.3 Faktor-faktor resiko hipertensi

Faktor-faktor resiko hipertensi ada yang dapat di kontrol dan tidak dapat dikontrol
menurut (Sutanto, 2010) antara lain :

a. Faktor yang dapat dikontrol :


Faktor penyebab hipertensi yang dapat dikontrol pada umumnya berkaitan
dengan gaya hidup dan pola makan. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Kegemukan (obesitas)
Dari hasil penelitian, diungkapkan bahwa orang yang kegemukan mudah
terkena hipertensi. Wanita yang sangat gemuk pada usia 30 tahun
mempunyai resiko terserang hipertensi 7 kali lipat dibandingkan dengan
wanita langsing pada usia yang sama. Curah jantung dan sirkulasi volume
darah penderita hipertensi yang obesitas. Meskipun belum diketahui secara
pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun terbukti bahwa daya
pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan
hipertensi lebih tinggi dibanding penderita hipertensi dengan berat badan
normal.
2. Kurang olahraga
Orang yang kurang aktif melakkukan olahraga pada umumnya cenderung
mengalami kegemukan dan akan menaikan tekanan darah. Dengan olahraga
kita dapat meningkatkan kerja jantung. Sehingga darah bisa dipompadengan
baik keseluruh tubuh.
3. Konsumsi garam berlebihan Sebagian masyarakat kita sering
menghubungkan antara konsumsi garam berlebihan dengan kemungkinan
mengidap hipertensi. Garam merupakan hal yang penting dalam mekanisme
timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi adalah
melalui peningkatan volume plasma atau cairan tubuh dan tekanan darah.
Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekresi (pengeluaran) kelebihan
garam sehingga kembali pada kondisi keadaan system hemodinamik
(pendarahan) yang normal. Pada hipertensi primer (esensial) mekanisme
tersebut terganggu, disamping kemungkinan ada faktor lain yang
berpengaruh.

- Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tidak


mengonsumsi garam, tetapi masih menderita hipertensi. Ternyata setelah
ditelusuri, banyak orang yang mengartikan konsumsi garam adalah
garam meja atau garam yang ditambahkan dalam makanan saja. Pendapat
ini sebenarnya kurang tepat karena hampir disemuamakanan
mengandung garam natrium termasuk didalam bahanbahan pengawet
makanan yang digunakan.
- Natrium dan klorida adalah ion utama cairan ekstraseluler. Konsumsi
natrium yang berlebih menyebabkan konsetrasi natrium didalam cairan
ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya kembali, cairan
intreseluler harus ditarik keluar sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak pada
timbulnya hipertensi.
4. Merokok dan mengonsumsi alcohol
Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan selain
dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah, nikotin
dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh
darah.Mengonsumsi alkohol juga dapat membahayakan kesehatan karena
dapat meningkatkan sistem katekholamin, adanya katekholamin memicu naik
tekanan darah.
5. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara. Jika ketakutan,
tegang atau dikejar masalah maka tekanan darah kita dapat meningkat. Tetapi
pada umumnya, begitu kita sudah kembali rileks maka tekanan darah akan
turun kembali. Dalam keadaan stres maka terjadi respon sel-sel saraf yang
mengakibatkan kelainan pengeluaran atau pengangkutan natrium. Hubungan
antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis (saraf
yang bekerja ketika beraktivitas) yang dapat meningkatkan tekanan darah
secara bertahap. Stres berkepanjanngan dapat mengakibatkan tekanan darah
menjadi tinggi. Hal tersebut belum terbukti secara pasti, namun pada
binatang percobaan yang diberikan stres memicu binatang tersebut menjadi
hipertensi.
b. Faktor yang tidak dapat dikontrol

1. Keturunan (Genetika)
Faktor keturunan memang memiliki peran yang sangat besar terhadap munculnya
hipertensi. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi
lebih banyak terjadi pada kembar monozigot (berasal dari satu sel telur)
dibandigkan heterozigot (berasal dari sel telur yang berbeda). Jika seseorang
termasuk orang yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) dan
tidak melakukan penanganan atau pengobata maka ada kemungkinan
lingkungannya akan menyebabkan hipertensi berkembang dan dalam waktu
sekitar tiga puluhan tahun akan mulai muncul tanda-tanda dan gejala hipertensi
dengan berbagai komplikasinya.
2. Jenis kelamin
Pada umumnya pria lebih terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal
ini disebabkan pria banyak mempunyai faktor yang mendorong terjadinya
hipertensi seperti kelelahan, perasaan kurang nyaman, terhadap pekerjaan,
pengangguran dan makan tidak terkontrol. Biasanya wanita akan mengalami
peningkatan resiko hipertensi setelah masa menopause.
3. Umur
Dengan semakin bertambahannya usia, kemungkinan seseorang menderita
hipertensi juga semakin besar. Penyakit hipertensi merupakan penyakit yang
timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor risiko terhadap timbulnya
hipertensi. Hanya elastisitas jaringan yang erterosklerosis serta pelebaran
pembulu darah adalah faktor penyebab hipertensi pada usia tua. Pada umumnya
hipertensi pada pria terjadi di atas usia 31 tahun sedangkan pada wanita terjadi
setelah berumur 45 tahun.

2.2.4 Patofisiologi

Menurut (Triyanto,2014) Meningkatnya tekanan darah didalam arteri bias rerjadi melalui
beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak
cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturanya dan menjadi kaku
sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui
arteri tersebut. Darah di setiap denyutan jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. inilah yang terjadi pada
usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arterioskalierosis.
Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi,
yaitu jika arter kecil (arteriola) untuk sementara waktu untuk mengarut karena
perangsangan saraf atau hormon didalam darah. Bertambahnya darah dalam sirkulasi bisa
menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terhadap kelainan fungsi
ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh
meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat. Sebaliknya, jika aktivitas memompa
jantung berkurang arteri mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka
tekanan darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan
oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf
yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal
mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara: jika tekanan darah meningkat,
ginjal akan mengeluarkan garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya volume
darah dan mengembalikan tekanan darah normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal
akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan
tekanan darah kembali normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan
menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi,
yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ
peting dalam mengembalikan tekanan darah; karena itu berbagai penyakit dan kelainan
pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan
arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan
hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bias
menyebabkan naiknya tekanan darah (Triyanto 2014). pertimbangan gerontology.
Perubahan struktural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggung pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Konsekwensinya , aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume secukupnya), mengakibatkan penurunan curah jantunng dan meningkatkan
tahanan perifer (Prima,2015).

2.2.5 Manifestasi klinis

Menurut (Ahmad, 2011) sebagian besar penderita tekanan darah tinggi umumnya
tidak menyadari kehadirannya. Bila ada gejala, penderita darah tinggi mungkin
merasakan keluhan-keluhan berupa : kelelahan, bingung, perut mual, masalah
pengelihatan, keringat berlebihan, kulit pucat atau merah, mimisan, cemas atau gelisah,
detak jantung keras atau tidak beraturan (palpasi), suara berdenging di telinga, disfungsi
ereksi, sakit kepala, pusing. Sedangkan menurut (Pudiastuti,2011) gejala klinis yang
dialami oleh para penderita hipertensi biasanya berupa : pengelihatan kabur karena
kerusakan retina, nyeri pada kepala, mual dan muntah akibatnya tekanan kranial, edema
dependen dan adanya pembengkakan karena meningkatnya tekanan kapiler.

2.2.6 Komplikasi hipertensi

Menurut (Triyanto,2014) komplikasi hipertensi dapat menyebabkan sebaga berikut :


A. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekananan tinggi diotak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah
ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak
mengalami arterosklerosis dapat menjadi lemah, sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentukya aneurisma. Gejala tekena struke adalah sakit
kepala secara tiba-tiba, seperti orang binggung atau bertingkah laku seperti
orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan
(misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara
jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak.
B. Infrak miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak
dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk
trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.
Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung
yang menyebabkan infrak. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat
menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel
sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko
pembentukan bekuan.
C. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggal
pada kapiler-kapiler ginjal. Glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah
akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran
glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering di jumpai pada
hipertensi kronik.
D. Ketidak mampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya
kejantung dengan cepat dengan mengakibatkan caitan terkumpul diparu, kaki
dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru-paru
menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki
bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefolopati dapat terjadi terutama
pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada
kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong
cairan kedalam ruangan intertisium diseluruh susunan saraf pusat.
Neuronneuron disekitarnya kolap dan terjadi koma. Sedangkan menurut
Menurut (Ahmad,2011) Hipertensi dapat diketahui dengan mengukur tekanan
darah secara teratur. Penderita hipeertensi, apabila tidak ditangani dengan
baik, akan mempunyai resiko besar untuk meninggal karena komplikasi
kardovaskular seperti stoke, serangan jantung, gagal jantung, dan gagal
ginjal, target kerusakan akibat hipertensi antara lain :
- Otak : Menyebabkan stroke
- Mata : Menyebabkan retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan
kebutaan
- Jantung : Menyebabkan penyakit jantung koroner (termasuk infark
jantung)
- Ginjal : Menyebabkan penyakit ginjal kronik, gagal ginjal terminal

2.2.7 Pemeriksaan penunjang

Menurut (Widjadja,2009) pemeriksaan penunjang pada penderita hipertensi


antara lain:

a. General check up
jika seseorang di duga menderita hipertensi, dilakukan beberapa
pemeriksaan, yakni wawancara untuk mengetahui ada tidaknya riwayat
keluarga penderita. Pemeriksaan fisik, pemeriksan laboratorium, pemeriksaan
ECG, jika perlu pemeriksaan khusus, seperti USG, Echocaediography (USG
jantung), CT Scan, dan lain-lain. Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Langkah pengobata adalah yang
mengendalikan tensi atau tekanan darah agar tetap normal.
b. Tujuan pemeriksaan laboratolriun untuk hipertensi ada dua macam yaitu:
1. Panel Evaluasi Awal Hipertensi : pemeriksaan ini dilakukan segera setelah
didiagnosis hipertensi, dan sebelum memulai pengobatan.
2. Panel hidup sehat dengan hipertensi : untuk memantau keberhasilan terapi.

2.2.8 Penatalaksanaan
Menurut (junaedi,Sufrida,&Gusti,2013) dalam penatalaksanaan hipertensi berdasarkan
sifat terapi terbagi menjadi 3 bagian, sebagai berikut:

a. Terapi non-farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi merupakan pengobatan tanpa obatobatan yang
diterapkan pada hipertensi. Dengan cara ini, perubahan tekanan darah diupayakan
melalui pencegahan dengan menjalani perilaku hidup sehat seperti :
1. Pembatasan asupan garam dan natrium
2. Menurunkan berat badan sampai batas ideal
3. Olahraga secara teratur
4. Mengurangi / tidak minum-minuman beralkohol
5. Mengurangi/ tidak merokok
6. menghindari stress
7. menghindari obesitas
b. Terapi farmakologi (terapi dengan obat)
selain cara terapi non-farmakologi, terapi dalam obat menjadi hal yang utama.
Obat-obatan anti hipertensi yang sering digunakan dalam pegobatan,antara lain
obat-obatan golongan diuretik, beta bloker, antagonis kalsium, dan penghambat
konfersi enzim angiotensi.
1. Diuretik merupakan anti hipertensi yang merangsang pengeluaran garam dan
air. Dengan mengonsumsi diuretik akan terjadi pengurangan jumlah cairan
dalam pembuluh darah dan menurunkan tekanan pada dinding pembuluh
darah.
2. Beta bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa darah dan
mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung.
3. ACE-inhibitor dapat mencegah penyempitan dinding pembuluh darah
sehingga bisa mengurangi tekanan pada pembuluh darah dan menurunkan
tekanan darah.
4. Ca bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dan merelaksasikan
pembuluh darah.
c. Terapi herbal
banyak tanaman obat atau herbal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai obat
hipertensi sebai berikut :
1. Daun seledri
Seledri (Apium graveolens, Linn.) merupakan tanaman terna tegak dengan
ketinggian dari 50 cm. Semua bagian tanaman seledri memiliki bau yang
khas, identik dengan sayur sub. Bentung batangnya bersegi, bercabang,
memiliki ruas, dan tidak berambut.bunganya berwarna putih, kecil,
menyerupai payung, dan majemuk. Buahnya berwarna hijau kekuningan
berbentuk kerucut. Daunnya memiliki pertulangan yang menyirip, berwarna
hijau, dan bertangkai. Tangkai daun yang berair dapat dimakan mentah
sebagai lalapan dan daunnya digunakan sebagai penyedap masakan, seperti
sayur sop. Contoh ramuan seledri secara sederhana sebagai berikut:
- Bahan : 15 batang seledri utuh, cuci bersih dan 3 gelas air
- Cara membuat dan aturan pemakai : potong seledri secara kasar,
rebus seledri hingga mendidih dan tinggal setengahnya, minum air
rebusannya sehari dua kali setelah makan. Hubungan dengan
hipertensi, seledri berkasiat menurunkan tekanan darah (hipotensis
atau anti hipertensi). Sebuah cobaan perfus pembuluh darah
menunjukan bahwa apigenin mempunyai efek sebagai vasodilator
perifer yang berhubungan dengan efek hipotensifnya. Percobaan lain
menunjukkan efek hipotensif herbal seledri berhubungan dengan
integritas sistem saraf simpatik (Mun’im dan hanani, 2011).

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS 2
Seorang laki-laki 56 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dengan keluhan
sesak saat beraktifitas. 3 bulan SMRS os mengeluh sesak nafas, sesak
dipengaruhi aktivitas sehari-hari yaitu bila berjalan ke toilet tidak dipengaruhi
cuaca dan emosi dan tidak diikuti suara mengi, sesak berkurang bila duduk atau
istirahat. Os sering terbangun di malam hari karena sesak, os lebih nyaman tidur
menggunakan 3 bantal. Nyeri dada (-), palpitasi (+), batuk (-), dahak (-), demam
(-), mual (-), bengkak pada tungkai (+), nyeri sendi (-). BAB dan BAK tidak
ada keluhan dan OS lalu berobat ke RS A, tetapi tidak ada perubahan. Lalu Os
berobat ke RS X ini (rawat jalan).

Satu hari SMRS Os mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak saat beraktivitas
ringan seperti berjalan ke toilet, sesak hilang saat instirahat, sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan emosi. Os sering terbangun pada malam hari karena
sesak. Os lebih nyaman dengan posisi setengah duduk. Batuk (+), dahak (+),
Palpitasi (+), nyeri sendi (-), demam (+) hilang timbul, mual (+), muntah (-),
sembab pada mata (-), bengkak pada kedua tungkai (+), BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

Os baru mengetahui kondisi darah tinggi sejak tahun 2013, tetapi os tidak teratur
minum obat dan os menyangkal adanya riwayat kencing manis dan penyakit
dengan gejala yang sama dalam keluarganya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa: keadaan umum tampak sakit sedang,
tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 92 x/m reguler, isi dan tegangan cukup,
frekuensi pernafasan 40x/m, suhu 36,7°C, pada pemeriksaan paru terdapat
ronkhi basah halus pada kedua basal paru, dan pada pemeriksaan jantung
didapatkan batas jantung membesar, yaitu batas jantung atas ICS 2 linea
sternalis sinistra, Batas jantung kanan ICS 5 linea parasternalis dekstra, batas
jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra dan pada auskultasi didapat
HR= 92x/m, pada inspeksi abdomen tampak datar, pada palpasi didapatkan
adanya nyeri tekan epigastrium. Hepar teraba 2 jbac, dan pada ekstremitas
ditemukan edema pretibia.

Pada pemeriksaan EKG didapatkan sinus rhytme, axis normal, HR=106x/m,


gelombang P normal, PR interval 0,06 detik, R/S di V1 < 1, S di V1 + R di
V5/V6 lebih >35, ST change (-), dan pada pemeriksaan Rontgen Thorak
terdapat Cardiomegali.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS 2
Pengkajian
IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. D
Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 24 juli 1963
Golongan darah :O
Usia : 56 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat :x

Keluhan utama : klien mengatakan sesak napas saat beraktifitas


Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing) => sesak, batuk, dahak
B2 (Blood) => demam, takikardi, bengkak pada kedua tungkai, palpitasi
B3 (Brain) => kesadaran compos mentis
B4 (Bladder) =>
B5 (Bowel) => mual
B6 (Bone) =>

Tanda penting

 Sesak napas
 Takipnea
 Kardiomegali

Pengkajian pola

Aktifitas/istirahat :

 Gejala : kelelahan, kelemahan


 Tanda : takipnea, dyspnea dengan aktifitas

Pernapasan :
Gejala : pola napas pendek (memburuk kronis pada malam hari dan harus
diganjal 3 bantal apabila tidur)

Tanda : takipnea (40x/m), ronkhi basah halus pada kedua paru

Pemeriksaan khusus

1. Pemeriksaan EKG :

 Didapatkan sinus rhytme


 axis normal
 HR=106x/m
 gelombang P normal
 PR interval 0,06 detik
 R/S di V1 < 1, S di V1 + R di V5/V6 lebih >35
 ST change (-)

2. Foto Thoraks :

 Terjadi perbesaran jantung yaitu ; batas jantung atas ICS 2 linea


sternalis sinistra, Batas jantung kanan ICS 5 linea parasternalis
dekstra, batas jantung kiri ICS VI linea aksilaris anterior sinistra
 Pemeriksaan Rontgen Thorak terdapat Cardiomegali.
Analisis data
No. Data Etiologi Masalah kep
1. DS : klien mengatakan sesak Invasi respiratory
napas saat beraktifitas institial, adeno
sehari-hari. virus,
parainfluenza,
DO : TD :140/90mmHg rhinovirus,
N : 92x/m alergen,
RR : 40x/m emosi/stress,
T : 36,7 °C obat-obatan,
Adanya palpitasi, batuk, infeksi, asap
dahak, rokok
-Pada pemeriksaan paru
terdapat ronkhi basah halus Saluran napas
pada kedua basal paru dalam

-Pada pemeriksaan jantung Gangguan


didapatkan batas jantung pembersihan di
membesar, yaitu batas paru-paru
jantung atas ICS 2 linea
sternalis sinistra, Batas Radang bronkial
jantung kanan ICS 5 linea
parasternalis dekstra, batas Radang/inflamasi
jantung kiri ICS VI linea pada bronkus
aksilaris anterior sinistra dan
pada auskultasi didapat Akumulasi
HR= 92x/m, pada inspeksi mukus
abdomen tampak datar, pada
palpasi didapatkan adanya Timbul reaksi
nyeri tekan epigastrium. balik
Hepar teraba 2 jbac, dan
pada ekstremitas ditemukan
edema pretibia.

-Pemeriksaan EKG :
HR = 106x/m
Gel P normal
PR interval 0,06 detik
R/S di V1 <1
S di V1 + R
V5/V6 lebih >35
ST change (-)
pada pemeriksaan
Rontgen Thorak terdapat
Cardiomegali.

DIAGNOSA
1. intoleransi aktifitas b.d inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard,
INTERVENSI
No Hari No Tujuan dan Intervensi Rasional TTD
/tgl/ . kriteria hasil
jam Dx
1 Tujuan : pasien 1. bantu oasien Saat
memiliki cukup dalam program inflamasi/kondisi
energi untuk latihan progresif dasar teratasi,
beraktifitas bertahap pasien mungkin
Kriteria hasil : sesegera mampu melakukan
perilaku mungkin untuk aktifitas yang
menampakan turun dari tempat diinginkan, kecuali
kemmapuan untuk tidur, mencatat kerusakan miokard
memenuho respons TTV permanen/ terjadi
kebutuhan diri, dan toleransi komplikasi
pasien mampu pasien pada
untuk melakukan peningkatan
beberapa aktifitas aktifitas.
tanpa dibantu,
koordinasi otot, 2. mengkaji Miokarditis
tulang dan respons pasien menyebabkan
anggota gerak terhadap inflamasi dan
lainnya baik aktifitas. kemungkinan
kerusakan fungsi
sek-sel miokard.
3. Meningkatkan
mempertahanka resolusi inflamasi
n tirah barung selama fase akut.
selama periode
demam dan
sesuai indikasi.

4. kolaborasi Memaksimalkan
pemberian ketersediaan
oksigen oksigen untuk
suplemen sesuai mengimbangi
indikasi konsumsi oksigen
yang terjadi dengan
aktifitas.
5. memantau Membantu
frekuensi/irama menentukan derajat
jantung, TD, dan dekompensasi
frekuensi jantung dan
pernapasan pulmonal,
sebelum dan penurunan TD,
sesudah takikardia,
aktifitas. Serta distritmia, dan
selama takipnea adalah
diperlukan idikatif dari
kerusakan toleransi
jantung terhadap
aktifitas.
IMPLEMENTASI
Hari/tgl/jam No. Dx Implementasi Evaluasi Paraf
proses

EVALUASI
No. Hari/tgl/jam No. Dx evaluasi Paraf

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Bowles NE, and Towbin JA. Childhood Myocarditis and Dilated


Cardiomyopathy. Dalam: Cooper LE, penyunting. Myocarditis: from bench to
bedside.New Jersey: Humana Press, 2003: 559-87

Freedman SB, Haladyn JK, Floh A, Kirsh JA, Taylor G, Freedman JT. Pediatric
myocarditis: Emergency Department clinical findings and diagnostic.
Pediatrics. 2007;120:1278-85.

Cooper LT. Myocarditis. N Engl J Med. 2009;360:1526-38

. Park M.K, Troxler R.G. Myocarditis. Dalam: Pediatric cardiology for


practitioners. Edisi kelima. Missouri. Mosby. 2008; hlm. 351-66

Marx G.R. Myocarditis. Dalam: Keane J.F, Lock J.E, Fyler D.C. Nadas:
Pediatric cardiology. Edisi kedua. Pennsylvania. 2006; hlm: 467-475

Bernstein D. Diseases of the myocardium and pericardium.Dalam: Behrman


RE, Kliegman RM, Nelson WE, Voughan III VC, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics; edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1970-75

Blauwet LA, Cooper LT. Myocarditis. Progress in Cardiovascular Diseases.


2010;52: 274– 88.

Caforio ALP, Calabrese F, Angelini A, Tona F, Vinci A, Bottaro S, et al. A


prospective study of biopsy-proven myocarditis: prognostic relevance of
clinical and aetiopathogenetic features at diagnosis. eurheartj. 2007;76:1-8.

Caforio ALP, Calabrese F, Angelini A, Tona F, Vinci A, Bottaro S, et al. A


prospective study of biopsy-proven myocarditis: prognostic relevance of
clinical and aetiopathogenetic features at diagnosis. eurheartj. 2007;76:1-8.
Uhl TL. Viral myocarditis in children. Crit Care Nurse 2008;28:42-63.

Kaski JP, Aelliott P.Cardiomyopathies. Dalam Anderson RH, Baker EJ,Penny


D, Redington AN, Rigby ML, Wernovsky G (penyunting).Pediatric cardiology.
Edisi ke-3.2010. Churchill Livingstone. h. 1020-1025.

1.

Anda mungkin juga menyukai