Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Latar Belakang Teori


Medeline Leininger adalah pendiri dan pelopor keperawatan transkultural dan teori
perawatan manusia. Dia lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir perawat profesional
setelah lulus pendidikan dasar keperawatan dari St. Anthony School of Nursing di Denver,
Colorado tahun 1948. Bsc dari Benedectine Collage Atchison tahun 1950. Setelah lulus, dia
bekerja sebagai instruktur, staf keperawatan, dan kepala perawat di unit medikal bedah, serta
sebagai Direktur unit psikiatri di Rumah Sakit St. Joseph, Omaha, Nebraska. Pada saat
bersamaan, dia mendalami ilmu keperawatan, administrasi keperawatan, mengajar dan
kurikulum keperawatan, test dan pengukuran di Universitas Creighton, Omaha.
Tahun 1954, memperoleh gelar Master keperawatan psikiatri dari Universitas Catholic,
Woshington DC. Dia dipekerjakan di sekolah kesehatan Universitas Cincinnati, Ohio,
disinilah dia menjadi master klinik, spesialis keperawatan psikiatri anak yang pertama di dunia.
Dia juga mengajukan dan memimpin program keperawatan psikiatri di Universitas Cincinnati
dan Pusat Keperawatan Psikiatri Terapeutik di Universitas Hospital. Pada saat bersamaan, dia
menulis salah satu dasar keperawatan Psikiatri, yang berjudul Basic Psychiatri Concepts in
Nursing, yang dipublikasikan tahun 1960 dalam 11 bahasa dan digunakan diseluruh dunia.
Pertengahan tahun 1950-an, saat di child guidance home, Cincinnati, Leininger
menemukan kekurangfahaman akan faktor budaya yang mempengaruhi perilaku anak – anak.
Mereka berasal dari bermacam – macam latar belakang budaya, dia mengamati dan
merisaukan perbedaan perawatan dan penanganan. Leininger mengalami cultural shock pada
saat itu. Hal ini membuatnya membuat keputusan untuk mengambil doktoral berfokus pada
budaya, sosial, psikologi antropologi di Universitas Woshington, Seattle. Disana dia
mempelajari berbagai budaya, dia menemukan sisi menarik dari antropologi dan keyakinan dan
dia berpendapat semua perawat seharusnya tertarik akan hal ini. Dia berfokus pada orang –
orang Gadsup di timur Highlands, New Guinea, dimana dia tinggal bersama orang pribumi
selama 2 tahun dan mempelajari etnografikal dan etnonursing di dua desa. Selain menemukan
ciri – ciri unik dari budaya, dia juga mengobservasi perbedaan antara budaya barat dan non-
barat berkaitan dengan perawatan kesehatan. Berdasarkan studi dan penelitian yang dia
lakukan bersama orang Gadsup, dia mengembangkan teori perawatan budaya dan metode
etnonursing. Teorinya membantu para mahasiswa perawat untuk memahami perbedaan
budaya manusia, sehat dan sakit.
Selama tahun 1950 – 1960, Leininger mengidentifikasi beberapa ilmu pengetahuan dan
penelitian teoritikal terkait dengan perawat dan antropologi, formulasi konsep transkultural
nursing, teori, prinsip, dan praktis. Tahun 1970 Leininger menerbitkan buku Nursing and
Anthropology: Two World to Blend, buku kedua dan tahun 1978 dengan judul Transcultural
Nursing: Concepts, Theory, and Practice. Kursus pertama mengenai transcultural nursing
diadakan tahun 1966 di Universitas Colorado, dimana Leininger sebagai Profesor Nursing dan
Antropologi, serta sebagai Diektur program sarjana keperawatan (Ph.D) di USA. Pada tahun
1969, dia ditetapkan sebagai Dekan dan Profesor Keperawatan dan Dosen Antropologi di
Universitas Woshington, Seattle. Disana Dia mendirikan Akademi Keperawatan untuk
pertama kalinya dalam perbandingan sistem keperawatan dan untuk menunjang program
master dan doktoral dalam trancultural nursing. Dibawah kepemimpinannya, kantor pusat
penelitian didirikan tahun 1968 dan 1969. Dia mengadakan beberapa kursus keperawatan
transkultural dan panduan perawat dalam program doktoral keperawatan transkultural. Di
tahun yang sama, Dia juga mendirikan Komite Keperawatan dan Antropologi.
Leininger mendirikan National Transcultural Nursing Society (1974), dan di tahun 1978
dia mendirikan National Research Care Conference untuk membantu para perawat fokus
mempelajari fenomena perawatan manusia. Jurnal Transcultural Nursing (1989) dan sebagai
editor sampai 1995. Oleh karena itu Leininger menerima banyak penghargaan untuk
transcultural nursing.
Teori Leininger berasal dari bidang antropologi dan keperawatan. Dia mendefinisikan
transcultural nursing sebagai area mayor dari keperawatan yang berfokus pada studi
perbandingan dan analisis bermacam – macam budaya dan subkultur di seluruh dunia dengan
mempertimbangkan nilai , ucapan, dan keyakinan sehat – sakit, dan pola kebiasaan. Tujuan
teori ini adalah menemukan bermacam – macam cara dalam merawat klien dan universal dalam
hubungan worldview (sudut pandang dunia), struktur sosial, dimensi lain, kemudian
menemukan jalan yang sesuai untuk orang yang berbeda dengan tujuan memelihara kesehatan,
atau menghadapi kematian dengan pendekatan budaya.
Leininger mengembangkan teorinya (care culture diversity and universality), yang
berbasis keyakinan seseorang terhadap budaya yang berbeda, sebagai informasi dan panduan
perawat profesional dalam memberikan asuhan. Budaya adalah pola dan nilai kehidupan
seseorang yang mempengaruhi keputusan dan tindakan, oleh karena itu teori ini mengarahkan
perawat untuk menemukan dan mendokumentasikan klien di seluruh dunia dan menggunakan
sudut pandang pribumi, pengetahuan, dan praktik dengan pendekatan etik, sebagai dasar
profesional untuk mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan kebutuhan.
Paradigma Transkultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagaicara pandang,
keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai
dengan latar belakang budaya terhadap empat konsepsentral keperawatan yaitu: manusia,
sehat, lingkungan dan keperawatan.
a.Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memilikinilai – nilai dan norma –
norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut
Leininger manusia memiliki kecenderugan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat
dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995)
b.Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi kehidupannya,
terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan
dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan
seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari.Klien dan perawat
mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-
sakit yang adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
c.Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yangmempengaruhi perkembangan,
kepercayaan dan perilaku klien.Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan
dimanaklien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu :
fisik, sosial dan simbolik.
-Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan olehmanusia seperti daerah
katulistiwa, pegunungan, pemukimanpadat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang
hampirtertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjangtahun.
- Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi
individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan
sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut.
-Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau
kelompok merasa bersatuseperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yangdigunakan.
d.Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan
yang diberikan kepada klien sesuaidengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan
ditujukan memnadirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam
asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya,
mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991)
Definisi dan Konsep Mayor
Keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisis
dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya (Leninger, 1978 dalam Sudiharto, 2007).
Keperawatan transkultural adalah ilmu dan kiat yang humanis, yang difokuskan pada perilaku
individu atau kelompok, serta proses untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat
atau perilaku sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang budaya (Leninger, 1984
dalam Sudiharto, 2007).
Teori ini bertujuan untuk menjelaskan faktor budaya dan asuhan yang mempengaruhi
kesehatan, kesakitan dan kematian manusia sebagai upaya untuk meningkatkan dan
memajukan praktek keperawatan. Tujuan paling utama dari teori ini adalah memberikan
asuhan yang sesuai dengan budaya, gaya hidup maupun nilai-nilai yang dipercaya oleh klien
(Parker, 2001).
Leininger telah mengembangkan beberapa istilah terkait dengan teorinya, yaitu:
1. Perawatan manusia dan keperawatan
Manusia adalah induvidu atau kelompok yang memiliki nilai – nilai dan norma – norma yang
diyakini berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan tindakan. Menurut Leininger,
manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya setiap saat dan
dimanapun dia berada.
Keperawatan adalah ilmu dan kiat yang diberikan kepada klien dengan landasan budaya
(Andrew, 1995). Keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan,
didasarkan pada kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual secara
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sehat maupun sakit
yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Konsep perawatan manusia dan keperawatan adalah ringkasan dan penjelasan dari
pendampingan, dukungan, kemungkinan, dan cara yang memudahkan untuk membantu diri
sendiri atau orang lain yang kekurangan atau sebagai upaya pencegahan untuk meningkatkan
kesehatan, memperbaiki cara hidup, atau untuk menghadapi ketidakmampuan atau kematian
2. Budaya
Budaya menggambarkan pola kehidupan, nilai, keyakinan, norma, simbol dan kebiasaan
individu, kelompok atau institusi yang dipelajari, dibagikan, dan biasanya diturunkan dari satu
generasi ke generasi lainnya.
Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada budaya yang sama
persis; budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada
generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan; dan budaya diisi dan ditentukan oleh
kehidupan manusianya sendiri tanpa disadari.
3. Perawatan budaya
Cultural care didefinisikan sebagai nilai, kepercayaan, pengungkapan yang terpola yang
membantu, mendukung dan memungkinkan individu lain atau kelompok untuk memelihara
kesehatannya, meningkatkan kondisi manusia/kehidupan atau menghadapi kematian dan
kecatatan. Berdasarkan asumsi bahwa cultural care adalah pengertian yang luas untuk
mengetahui, menjelaskan, menjumlahkan, dan memprediksi fenomena asuhan keperawatan
dan untuk mengarahkan praktik asuhan keperawatan.
4. Culture care diversity
Cultural care diversity adalah variasi makna, pola, nilai atau simbol asuhan yang secara
budaya dibawa oleh masyarakat untuk kesejahteraannya atau untuk meningkatkan kondisi
manusia dan kehidupan menghadapi kematian
5. Culture care universality
Culture care universality serupa atau seragam makna, pola, nilai atau simbol asuhan yang
secara budaya dibawa oleh masyarakat untuk kesejahteraan atau meningkatkan kondisi
manusia dan kehidupan atau menghadapi kematian. Perawatan dapat diperlihatkan dengan
bermacam – macam ekspresi, tindakan, pola, gaya hidup dan arti.
6. Worldview
Worldview adalah cara seseorang atau kelompok untuk mencari tahu dan memahami dunia
mereka sebagai nilai, pendirian, dan gambaran tentang kehidupan dan dunia.

7. Dimensi struktur kebudayaan dan sosial


Menggambarkan dinamis, holistik, dan keterkaitan pola dari struktur budaya (subculture),
meliputi aspek spiritual, sosial, politik (legal), ekonomi, pendidikan, tehnologi, nilai budaya,
filosofi, sejarah, dan bahasa.
8. Konteks lingkungan
Lingkungan adalah keseluruhan fenomena yang mempengaruhi perkembangan,
keyakinan, dan prilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan klien
dengan budayanya. Lingkungan meliputi lingkungan itu sendiri (fisik, geografis, sosial
budaya), situasi, atau peristiwa/pengalaman yang memberikan intepretasi terhadap arti sebagai
petunjuk untuk berekspresi dan mengambil keputusan.
9. Ethnohistori
Ethnohistori adalah rangkaian fakta, peristiwa, atau perkembangan yang terjadi, atau
catatan tentang budaya yang dipilih.
10. Emic
Emic berarti lokal, pribumi.
11. Etnic
Etnic berarti orang luar.
12. Kesehatan
Suatu keadaan sehat yang secara budaya didefinisikan, dinilai, dan dipraktekkan, yang
merefleksikan kemampuan individu/kelompok untuk melakukan peran aktivitas sehari – hari
secara mandiri. Kesehatan adalah keseluruhan aktivitas yang dimiliki klien dengan mengisi
kehidupannya, yang terletak pada rentang sehat-sakit
13. Keperawatan transkultural
Keperawatan transkultural adalah formal area dari humanistik dan ilmu pengetahuan dan
praktik yang berfokus pada perawatan budaya secara holistik dan kompetensi atau kemampuan
individu atau kelompok untuk mempertahankan/menjaga kesehatannya dan untuk menerima
kekurangan atau kecacatan, dan menghadapi kematian.
Keperawatan transkultural adalah cabang dari keperawatan yang memfokuskan pada
studi komparatif dan analisis. Budaya yang berkenaan dengan keperawatan, praktik asuhan
sehat sakit, keyakinan dan nilai – nilai dengan tujuan profesionalisme pelayanan asuhan
keperawatan untuk individu sesuai dengan budaya pasien.
Keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisis
dan studi pebandingan tentang perbedaan budaya (Leninger, 1978 dalam Sudiharto, 2007).
Keperawatan transkultural adalah ilmu dan kiat yang humanis, yang difokuskan pada perilaku
individu atau kelompok, serta proses untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat
atau perilaku sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang budaya (Leninger, 1984
dalam Sudiharto, 2007).
14. Pemeliharaan perawatan budaya
Merupakan proses pendampingan, dukungan fasilitas, kemampuan profesional untuk
bertindak dan mengambil keputusan yang dapat membantu klien sebagai bagian dari budaya
untuk memelihara/menjaga makna nilai dan kehidupan, untuk kesembuhan, atau menghadapi
kematian.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan dan mempertahankan status
kesehatannya, misalnya budaya olahraga setiap pagi.
15. Akomodasi/negosiasi perawatan budaya
Merupakan proses pendampingan, dukungan fasilitas, kemampuan profesional untuk
bertindak dan mengambil keputusan yang dapat membantu bagian budaya tertentu (subculture)
untuk beradaptasi atau bernegosiasi dengan orang lain untuk menghasilkan kesehatan yang
bermakna.
Negosiasi budaya adalah intervensi dan implementasi keperawatan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan status kesehatan.
16. Perbaikan perawatan budaya
Merupakan proses pendampingan, dukungan fasilitas, kemampuan profesional untuk
bertindak dan mengambil keputusan yang dapat membantu klien menangkap, merubah, atau
memodifikasi cara hidup mereka untuk memperoleh hasil kesehatan yang lebih baik.
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status
kesehatannnya. Perawat berupaya merekonstruksi gaya hidup klien yang biasanya tidak baik
menjadi baik.
17. Kemampuan perawatan secara budaya
Merupakan sebuah penegasan perawatan berbasis budaya dan ilmu pengetahuan yang
menggunakan perasaan, kreativitas, kehati-hatian untuk memenuhi kebutuhan individu atau
kelompok dengan tujuan mencapai kesehatan yang bermakna, atau untuk menghadapi
kesakitan, kecacatan dan kematian.
Penjelasan Bagan

Teori Leininger dikembangkan dari antropologi dan keperawatan, namun diformulasikan


menjadi keperawatan transkultural dengan perspektif asuhan pada manusia. Leinenger
mengembangkan metode penelitian enthnonursing dan menegaskan pentingnya mempelajari
seseorang dari pengetahuan dan pengalaman lokal mereka, kemudian menghadapkan mereka
dengan perilaku dan kepercayaan yang ada di luar diri mereka (Alligood, 2006). Sunrise model
dikembangkan untuk memberikan gambar konseptual yang holistik dan komprehensif dari
faktor-faktor utama yang berperan penting dalam teori keragaman asuhan budaya &
kebersamaan asuhan budaya (Parker, 2001).

Dalam model sunrisenya menampilkan visualisasi hubungan antara berbagai konsep yang
signifikan ide pelayanan dan keperawatan. Memberikan asuhan merupakan jantung dari
keperawatan dan merupakan karakteristik dasar dari keperawatan. Terdapat 7 komponen yang
ada pada "Sunrise Model" dan dapat menjadikan inspirasi dalam penelitian khususnya yang
berkaitan dengan asuhan transkultural yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji lebih dalam
tentang persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan
mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien
tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat
ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang
sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di
atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat
adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien
terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama
lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan
oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma
budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas
pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :
posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya. Yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
F. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan
klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor
atau patungan antar anggota keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti
ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi
terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis
pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Empat prinsip atau ajaran utama dari teori keperawatan transkultural adalah sebagai berikut
(Alligood, 2006):
1. Ekspresi, arti, pola dan perilaku asuhan budaya bermacam-macam namun masih ada nilai-
nilai yang bersifat umum dan universal.
2. Pandangan dunia terdiri dari berbagai faktor struktur sosial seperti agama, ekonomi, nilai
budaya, sejarah bangsa, konteks lingkungan, bahasa, asuhan umum dan professional yang
mempunyai pengaruh sangat besar terhadap pola asuhan budaya untuk memprediksi kesehatan,
kesejahteraan manusia, penyakit, penyembuhan dan cara orang dalam menghadapi kecacatan
maupun kematian.
3. Nilai generik dan nilai professional dalam konteks lingkungan yang berbeda akan
berpengaruh besar terhadap pencapaian derajad kesehatan dan kesakitan
4. Dari penjelasan ketiga prinsip diatas, maka diperlukan cara untuk memberikan asuhan
yang sesuai dengan budaya, aman dan bermanfaat. Ada 3 model keputusan dan intervensi yang
didasarkan pada budaya yaitu: (1) preservasi asuhan budaya atau mempertahankan, (2)
akomodasi asuhan budaya atau negosiasi, dan (3) Restrukturisasi asuhan budaya atau merubah
pola. Model keputusan dan intervensi yang didasarkan pada budaya dianggap sebagai kunci
keberhasilan dari asuhan yang aman, bermanfaat dan sesuai dengan budaya.
Asumsi Mayor
Asumsi Mayor (Parker, 2001 dan Alligood, 2006)
1. Asuhan (Care) sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia untuk
bertahan hidup, bahkan sampai manusia menjelang ajalnya.
2. Asuhan (Care) penting dalam pengobatan dan penyembuhan. Tidak akan ada curing tanpa
caring.
3. Bentuk, ekspresi, pola dan proses dari cara perawatan manusia bervariasi diantara seluruh
budaya yang ada di dunia.
4. Setiap budaya pasti mempunyai nilai asuhan generik (tradisional) dan kadang-kadang
mempunyai nilai professional
5. Nilai dan kepercayaan asuhan budaya ditanamkan dalam agama, keluarga, sosial, politik,
budaya, ekonomi, bahasa, konteks lingkungan dan dimensi sejarah dari sebuah struktur sosial.
6. Asuhan keperawatan terapeutik hanya dapat terjadi ketika nilai asuhan budaya, ekspresi
dan perilaku klien diketahui dan digunakan secara eksplisit dalam perawatan.
7. Perbedaan antara harapan pemberi perawatan dan penerima perawatan harus dipahami
untuk menyediakan pelayanan yang bermanfaat, memuaskan dan sesuai dengan yang
diharapkan.
8. Konflik budaya, praktik budaya yang tidak sesuai, stress budaya dan budaya yang tidak
sehat merefleksikan kekurangan tentang pengetahuan asuhan budaya untuk mnyediakan
perawatan yang bertanggungjawab, aman dan sesuai dengan budaya.
9. Model perawatan yang sesuai dengan budaya, spesifik dan universal penting untuk
kesehatan dan kesejahteraan manusia yang harus disediakan oleh perawat.
10. Keperawatan merupakan profesi dan disiplin yang memberikan perawatan transkultural.
Penerimaan oleh Keperawatan
1. Praktik
Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi
yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/mempertahankan budaya,
mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien.
a. Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
b. Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau
amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.
c. Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai
dengankeyakinan yang dianut.
2. Pendidikan
Dalam teori keperawatan memandang manusia sebagai manusia holistik Bio-Psiko-Sosial-
Spiritual, namun dengan adanya perbedaan nilai – nilai kultural yang melekat dalam
masyarakat sehingga kultural merupakan bagian dari manusia holistik. Asumsi mendasar dari
teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan,
mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai
tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku
Caring semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan
pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara
umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada
manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi,
struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
3. Penelitian
Sampai saat ini fokus pelayanan keperawatan masih diperdebatkan, masih rancu antara
asuhan keperawatan dengan asuhan medis dan asuhan keperawatan dengan pengobatan
tradisional. Perkembangan ilmu kedokteran modern juga turut mempengaruhi fokus pelayanan
keperawatan. Hal ini disebabkan karena keperawatan bersifat multiparadigmatik. Teori
asuhan keperawatan diversitas dan universalitas hendaknya digunakan sebagai panduan dalam
mengembangkan penelitian keperawatan terkait dengan budaya pasien, karena budaya
seseorang mempengaruhi perspektif terhadap keadaan sehat sakit sehingga mempengaruhi
proses penyembuhan.
Kelemahan Teori
1. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya
dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien tetapi keanekaragaman
budaya yang dimiliki oleh klien sering kali belum dapat dimengerti oleh perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Idealnya perawat perlu memahami norma-norma, dan cara
hidup budaya dari klien sehingga klien dapat mempertahankan kesejahteraannya, memperbaiki
cara hidupnya atau kondisinya.
2. Sulitnya dalam memahami norma-norma, dan cara hidup budaya dari klien oleh perawat
akan menyebabkan Cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi
dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan.
Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa
mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang
mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk
mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat
memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau
menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau
berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau memintanya
berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya.
Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas
pelayanan keperawatan yang diberikan.
Pengkajian Transkultural Nursing
Pengkajian merupakan langkah penting bagi seorang perawat kesehatan sebelum melakukan
tindakan / intervensi. Langkah awal yang harus dilakukan seorang perawat dalam pengkajian
adalah anamnese, teknik pelaksanaannyadengan interview, observasi, studi dokument,
pemeriksaan fisik.Pada saat seorang perawat melakukan anemnese terjadi antara perawat
dengan pasien / klien saat itu terjadi transcultural nursing process. Prosesadatasi nilai
kehidupan yang dimiliki oleh seorang perawat dengan pasien /klien terjadi. Nilai – nilai
kehidupan antara mereka bisa berbeda, mungkin juga tidak jauh berbeda, walaupun demikian
perbedaan tetap ada. Karena persepsi dan pengalaman setiap individu akan berbeda.Pengkajian
adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai
dengan latar belakang budaya klien (Giger danDavidhizar, 1995).
1. Menggunakan Model Non-nursing
Dalam masyarakat majemuk praktisi perawat perlu disiapkan untuk memberikan pelayanan
keperawatan sesuai dengan budaya untuk setiap klien, terlepas dari latar belakang budaya klien.
Untuk memberikan perawatan budaya yang tepat, perawat harus memahami faktor-faktor
spesifik yang mempengaruhi kesehatan individu dan perilaku penyakit. Menurut Affonso
(1979), penilaian budaya dapat memberi makna pada perilaku yang dinyatakan mungkin akan
dinilai negatif. Jika perilaku budaya tidak tepat diidentifikasi secara signifikansi mereka akan
membingungkan perawat. Salah satu alat yang paling komprehensif yang digunakan untuk
keperawatan penilaian budaya adalah secara garis besar bahan budaya oleh Murdock et al.
(1971), namun alat ini dikembangkan dan berisi 88 kategori utama, tidak desain untuk praktisi
perawat dan dengan demikian tidak memberikan penggunaan secara sistematis dari proses
keperawatan. Alat lain adalah penilaian dalam (1978) Brownlee's; Community, Culture, and
Care; a cross-cultural guide for heath workers. Brownlee yang mengkhususkan untuk proses
penilaian praktis dari suatu komunitas, dengan tiga aspek penilaian: apa yang harus dicari tahu,
mengapa hal ini penting, dan bagaimana untuk melakukannya. Alat penilaian Brownlee telah
dikritik terlalu spesifik, terlalu sulit, dan terlalu rinci untuk digunakan oleh praktisi kesehatan,
dan tidak eksklusif sebagai alat penilaian.
2. Menggunakan Model Keperawatan Spesifik
Menurut Leininger (1991), tujuan akhir dari keperawatan transkultural adalah penggunaan
pengetahuan yang relevan untuk memberikan perawatan budaya kongruen dengan individu.
Dari perspektif teoritis, Leininger menyediakan sebuah teori transkultural komprehensif dan
model penilaian. Selama lebih dari 30 tahun, model ini telah membantu perawat menemukan
dan memahami apa perawatan kesehatan berarti berbagai budaya. Model Sunrise Leininger's
melambangkan terbitnya matahari (perawatan). Model menggambarkan matahari penuh
dengan empat tingkat fokus. Dengan lingkaran di atas dari model komponen struktur sosial dan
faktor-faktor pandangan dunia yang mempengaruhi perawatan dan kesehatan melalui bahasa
dan lingkungan. Faktor-faktor ini mempengaruhi rakyat, profesional, dan sistem perawatan
atau subsistem yang terletak di bagian bawah model. Juga termasuk dalam model adalah
tingkat abstraksi dan analisis dari yang peduli bisa dipelajari pada setiap tingkat. berbagai
fenomena budaya yang dipelajari dari prespectives mikro, sedang, dan makro. Model Leininger
telah menjabat sebagai prototipe untuk pengembangan model lain keperawatan budaya spesifik
dan sebagai alat bantu.
3. Menggunakan Diagnosis Keperawatan
Relatif signifikansi dari perawatan kesehatan sesuai dengan budaya tidak dapat dipahami jika
perawat tidak memahami nilai dari diagnosis keperawatan budaya yang relevan. Geissler
(1991) menyajikan studi untuk menentukan penerapan taksonomi North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA) sebagai alat penilaian budaya yang sesuai untuk digunakan
dengan beragam populasi. Dalam penelitian ini, tiga diagnosa keperawatan yang dianalisis
untuk memvalidasi kesesuaian budaya antara lain: (1) gangguan komunikasi verbal, (2) isolasi
sosial, (3) ketidakpatuhan dalam situasi budaya yang beragam.
Teknik Pengkajian Transcultural Nursing
1.Penilaian Pengkajian Transkultural Nursing
Langkah penilaian proses keperawatan sangat penting dalam hubungan antar etnis antara
pasien dan perawat. Untuk mengumpulkan data tentang pasien dari budaya yang berbeda dari
perawat, perawat perlu melihat pasien dalam konteks di mana ia berada. Giger dan Davidhizer
(1991) mengusulkan enam fenomena budaya yang perawat harus pahami untuk memberikan
perawatan yang efektif untuk semua pasien: (1) komunikasi, (2) ruang, (3) organisasi sosial,
(4) waktu, (5) pengendalian lingkungan dan (6) variasi biologi.
a.Komunikasi
Komunikasi-Miskomunikasi merupakan masalah yang sering terjadi di rumah sakit.
Perselisihan dapat timbul dari berbagai situasi. Contoh yang paling jelas adalah ketika pasien
dan staf rumah sakit tidak berbicara bahasa yang sama, makna perilaku non verbal dan lain-
lain. Mengetahui norma dalam budaya akan memfasilitasi pemahaman dan mengurangi
miskomunikasi.
b. Jarak
-Tingkat kenyamanan yang berkaitan dengan ruang
pribadi.
-Kenyamanan dalam percakapan, kedekatan dengan
orang lain, gerakan tubuh, persepsi ruang.
-Kontak mata, ruang, dan praktek sentuhan mungkin
sangat berbeda dengan lingkungan Anda referensi.
c. Organisasi Sosial
Pola perilaku budaya belajar melalui enkulturasi, proses sosial melalui mana manusia sebagai
makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan
mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Mengakui
dan menerima bahwa individu-individu dari latar belakang budaya yang berbeda-beda
mungkin menginginkan berbagai tingkat akulturasi ke dalam budaya yang dominan. Faktor-
faktor siklus hidup harus diperhatikan dalam interaksi dengan individu dan keluarga (misalnya
nilai tinggi ditempatkan pada keputusan orang tertua, peran orang tua - ayah atau ibu dalam
keluarga, atau peran dan harapan anak-anak dalam keluarga). Budaya tidak hanya ditentukan
oleh etnisitas tetapi oleh faktor seperti geografi, usia, agama, jenis kelamin, orientasi seksual,
dan status sosial ekonomi. Memahami faktor usia dan siklus hidup harus diperhatikan dalam
interaksi dengan semua individu dan keluarga.
d. Waktu
Konsep berlalunya waktu, durasi waktu, dan definisi dalam waktu. Negara-negara seperti
Inggris dan Cina tampaknya berorientasi masa lalu. Mereka menghargai tradisi, melakukan
hal-hal yang selalu dilakukan. Individu dari negara-negara ini mungkin enggan untuk mencoba
prosedur baru. Orang-orang dari budaya yang berorientasi saat ini, cenderung berfokus pada di
sini dan sekarang. Mereka mungkin relatif tidak peduli dengan masa depan, mereka akan
menghadapinya ketika datang. Amerika Latin, penduduk asli Amerika, dan Timur Tengah yang
berorientasi budaya masa depan dan dapat mengabaikan langkah-langkah preventif perawatan
kesehatan
e.nPengendalian Lingkungan
Kemampuan seseorang untuk mengendalikan alam lingkungan. Praktek kesehatan, nilai-nilai,
definisi kesehatan dan penyakit.
f. Variasi Biologi
Variasi biologis – Ras. Struktur tubuh yang terkait adalah warna kulit, tekstur rambut, dan
karakteristik fisik lainnya; variasi enzimatik dan genetik, pola elektrokardiografi, kerentanan
terhadap penyakit; preferensi gizi dan kekurangan, dan karakteristik psikologis.
(www.culturediversity.org).
CONTOH KASUS
Kajian atau Deskripsi Budaya Masyarakat Suku Bajo di Pulau Saponda
Suku Bajo adalah salah satu suku yang mendiami pulau Sulawesi. Konon Suku Bajo berasal
dari Laut Cina Selatan. Ada yang menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor,
Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di
semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang kabur dari
istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi.
Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian
menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan orang-orang
yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor.
Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16
dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu
(seanomedic).
Suku ini dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memiliki usaha penangkapan ikan
sebagai mata pencaharian. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi. Budaya dan cara
hidup mereka masih lekat dengan aroma laut. Selain itu, suku Bajo terkenal akrab dengan suku-
suku yang lain. Contohnya saja dengan suku Bugis. Dengan keakrabannya tersebut, mereka
memiliki mobilitas yang tinggi. Jumlah manusia Bajo hidup tersebar diberbagai pulau di
Indonesia, namun belum dapat diketahui dengan baik karena sejak lama mereka berpindah-
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Keluarga manusia Bajo dahulu lebih banyak
hidup di atas perahu yang mereka sebut bido. Mereka melakukan berbagai kegiatan hidup
seperti tidur, memasak, melahirkan, dan kegiatan yang lainnya di atas perahu. Meskipun
manusia Bajo terpisah di tempat-tempat yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer,
hubungan kekeluargaan mereka masih tetap terjaga dalam tingkat keakraban tertentu. Suku
Bajo menyukai perdamaian dan menghindari perkelahian. Oleh sebab itu, mereka bersikap
pasif terhadap tekanan atau pemerasan dari pihak luar.
Manusia Bajo memang dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan
dan pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Keadaan tersebut
berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu. Kemudian mereka mengenal
kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai mengenal dan memiliki tanah
sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan sederhana yang membangun di atas air.
Sebagian dari mereka membuat tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati
membuat rumah.
Suku Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu Same dan
Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo, sedangkan Bagai adalah sebutan semua orang
di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Dari sisi kehidupan
sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bagai bahkan manusia
Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat
mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas mereka dan hal inilah
yang menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan
masyarakat Bagai.
Suku Bajo yang mendiami pulau Saponda memiliki kebudayaan dan tradisi yang memperkaya
khazanah kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah budaya khitanan yang oleh masyarakat
setempat disebut sunna’ sama. Khitanan ini tidak ada perbedaan dengan khitanan yang ada
pada suku Bajo lainnya di daerah lain. Kecuali satu hal yang membuat tradisi khitanan
masyarakat Saponda ini kelihatan unik. Jika anak laki-laki Bajo lainnya yang ada di Kecamatan
Soropia dikhitan menggunakan jasa bidan atau perawat, anak-anak Pulau Saponda justru harus
khitanan tanpa tenaga ataupun peralatan medis. Hal ini merupakan budaya dan tradisi yang
terus dilestarikan oleh masyarakat Bajo di pulau yang sudah mulai mengalami abrasi ini.
Peralatan yang digunakan dalam sunna’ sama ini jelas sangat berbeda dengan peralatan yang
digunakan oleh para bidan atau perawat. Di pulau Saponda ini tidak akan menemukan
peralatan-peralatan kesehatan, apalagi obat untuk mengurangi rasa sakit. Mereka
menggunakan pahat yang berfungsi untuk menggantikan gunting, dua buah hansaplast sebagai
pengganti plester, palu-palu yang terbuat dari kayu, dan balok yang digunakan sebagai alas
ketika proses khitanan berlangsung. Peralatan ini memang sangat sederhana, tapi terlihat sangat
menakutkan bagi anak-anak yang akan dikhitan.
Sebelum proses khitanan berlangsung, seorang pemuka adat yang akan melakukan khitanan
terlebih dulu berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua peralatan yang
akan digunakan dikumpulkan dan diletakkan menjadi satu di hadapan pemuka adat untuk
dibacakan doa.
Memukul gendang ketika proses khitanan berlangsung merupakan ritual yang wajib untuk
dilaksanakan. Dan pukulan gendang ini tidak boleh berhenti sebelum anak-anak tersebut
selesai dikhitan. Hal ini dipercayai masyarakat setempat untuk mengurangi rasa sakit.
Selain itu, ada satu hal yang membuat sunna’ sama ini memiliki nilai lebih. Walaupun tidak
ada obat untuk mengurangi rasa sakit, tetapi proses penyembuhan luka lebih cepat daripada
yang menggunakan tenaga medis.
Pengkajian Transcultural Nursing
Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7 komponen yang terdapat pada “Sunrise
Model”, yaitu:
a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Kelengkapan sangat berpengaruh dalam memberikan pelayanan kesehatan. Fasilitas juga
menentukan beban kerja seorang petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong
atau memotivasi masyarakat untuk melakukan upaya pengobatan. namun lain halnya dengan
masyarakat suku Bajo, meskipun mereka sudah mengenal dan mempunyai alat-alat medis dan
tenaga medis yang cukup lengkap, mereka tetap memegang teguh budaya khitanan untuk anak-
anak mereka.
b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Pada awalnya, suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun, seiring
ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak
masyarakat Bajo yang berpindah agama. Karena agama mereka Islam, bagi yang berjenis
kelamin laki-laki maka harus dilakukan khitan. Namun, khitanan ini dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat medis.
Suku Bajo beranggapan bahwa dukun mampu menyelesaikan masalah sehat-sakit karena
mereka mengetahui dukun telah banyak menyembuhkan masyarakat yang sakit.
c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (kinship and Social Factors)
Masyarakat suku Bajo merupakan homogenitas etnik yang penuh didasari hubungan
kekeluargaan, kekerabatan, gotong royong, dan menghindari konflik. Selain itu, suku Bajo
yang sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan mereka sangat menggantungkan
hidupnya pada laut memiliki relasi sosial dengan pemilik modal (punggawa) tidak hanya
berdimensi patron klien, tetapi juga simbiosis mutualisme (hubungan saling menguntungkan).
Contohnya saja pada upacara khitanan di pulau Saponda, ketika upacara khitanan dilaksanakan
banyak masyarakat yang ikut memeriahkan upacara tersebut dari pemuka adat untuk
membacakan doa sampai masyarakat yang ikut memeriahkan dengan memukul gendang.
d. Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat suku Bajo di pulau Saponda ini memiliki nilai budaya yang sangat unik dan beda
dari suku Bajo di daerah lain. Mereka memiliki sebuah budaya dalam proses khitanan yang
dikenal dengan sunna’ sama. Khitanan ini diketahui tidak menggunakan alat-alat medis. Oleh
karena itu, risiko infeksi yang terjadi cukup tinggi.
e. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)
Masyarakat suku Bajo di Pulau Saponda mempunyai sebuah peraturan adat yang tidak boleh
untuk tidak dilakukan, yaitu meng-khitan anak laki-laki mereka sebelum memasuki akil baligh.
Peraturan inipun sebenarnya dilakukan berdasarkan agama yang mereka anut, yakni islam,
namun cara yang mereka lakukan masih dianggap menyimpang jika dilihat dari segi kesehatan.
f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan konstribusi terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan Barlin Adam, Darmawansyah, dan
Masni, sebagian besar pendapatan masyarakat suku Bajo per bulan < 650 ribu sebanyak 158
responden (41,7%), dan yang terkecil yakni 650 ribu yaitu sebanyak 77 responden (20,3%).
Artinya pendapatan masyarakat suku Bajo per bulan dibawah UMR Rp 650.000. Hal ini
disebabkan karena rendahnya tengkulat atau penada hasil tangkapan dan juga disebabkan oleh
faktor alat penangkap ikan dan teripang yang digunakan, seperti perahu dan alat pancing yang
digunakan.
Jarak antara tempat tinggal suku Bajo dengan tempat pelayanan kesehatan sangat jauh yaitu
lebih dari 60 menit sehingga pada umumnya masyarakat suku Bajo tidak mampu pergi ke
tempat pelayanan kesehatan tersebut. selain itu, transportasi untuk mencapai tempat tersebut
sangat sulit dan jalannya rusak. Biaya transportasinya pun cukup mahal yaitu sekitar Rp
20.000, menurut masyarakat suku Bajo ini sangat mahal sehubungan dengan pendapatan
mereka.
Masyarakat sebenarnya sudah tahu manfaat dari pelayanan kesehatan, hanya saja karena faktor
jarak dan faktor ekonomi mereka sehingga pengguanaan sarana pelayanan kesehatan tersebut
jarang didayagunakan oleh masyarakat.
Selain karena faktor ekonomi dan geografis, masyarakat suku Bajo melakukan khitanan dengan
alat nonmedis dengan alasan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat
tersebut.
g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Tingkat pendidikan masyarakat suku Bajo sangat rendah. Banyak masyarakat suku
pengembara laut ini yang masih buta huruf. Budaya fasalitik juga masih melekat kuat dalam
kepribadian mereka seperti kurang kreatif dan produktif, cepat puas dengan apa yang diperoleh,
pasrah pada nasib, sikap konsumtif dan boros. Faktor pendidikan suku ini masih sangat rendah
karena kehidupan mereka hanya diabdikan pada laut, mereka tidak mempunyai kesempatan
untuk belajar sehingga suku Bajo dekat dengan kemiskinan.
Akibat pendidikan mereka yang rendah, pengetahuan merekapun tidak bisa berkembang.
Mereka tidak mengerti apa yang telah dilakukan mereka itu kurang benar. Anggapan mereka
tentang infeksi adalah hanya sebatas infeksi itu terjadi akibat kurangnya menjaga kebesihan
alat kelamin setelah dilakukan proses khitanan, mereka tidak berfikir bahwa alat-alat yang
mereka gunakan bisa saja menjadi faktor terjadinya infeksi tersebut.
Diagnosis Keperawatan Lintas Budaya
a. Kecemasan dalam menghadapi khitanan berhubungan dengan proses khitan yang
menggunakan alat tradisional, yakni pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok
sebagai alas untuk khitan.
b. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan penggunaan alat khitan yang tidak
sesuai dengan standar kesehatan.
c. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan akses informasi dan
rendahnya pendidikan.
d. Nyeri akut berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional dengan
tanpa adanya obat penghilang rasa sakit yang digunakan.
e. Risiko terjadinya trauma berhubungan dengan ketakutan anak dalam menjalani proses
khitan yang menggunakan alat tradisional.
f. Risiko kerusakan integritas kulit berubungan dengan proses khitanan yang menggunakan
alat taradisional berupa pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai alas.
Perencanaan Keperawatan Lintas Budaya
Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)

a. Kecemasan dalam Klien menyatakan 1. Buat hubungan saling


menghadapi khitanan peningkatan kenyamanan percaya
berhubungan dengan psikologis dan fisiologis.
2. Kaji tingkat ansietas:
proses khitan yang
ringan, sedang, berat, panik
menggunakan alat
tradisional, yakni pahat Setelah dilakukan 3. Berikan kenyamanan pada
dan palu sebagai tindakan keperawatan, klien: dampingi klien,
pengganti gunting dan perlihatkan rasa empati.
balok sebagai alas untuk diharapkan klien akan 4. Ajarkan teknik
khitan. dapat: penghentian ansietas: nafas
dalam, pengalihan perhatian
1. Menggambarkan
ansietas dan pola 5. Libatkan orangtua dalam
kopingnya mengurangi kecemasan anak
2. Menggunakan
mekanisema koping yang
efektif

b. Risiko tinggi Klien dapat menjelaskan 1. Kaji adanya tanda


terjadinya infeksi faktor resiko yang infeksi
berhubungan dengan berkaitan dengan infeksi
2. Lakukan perawatan
penggunaan alat khitan dan mencegah terjadinya
luka dengan baik dan tepat
yang tidak sesuai dengan infeksi.
standar kesehatan. 3. ajarkan tekhnik
perawatan luka dengan benar
Setelah dilakukan
4. anjurkan kepada
tindakan keperawatan,
keluarga dan pasien untuk
klien diharapkan mampu:
melapor pada tenaga
1. Menggambarkan kesehatan jika terjadi tanda
proses terjadinya infeksi infeksi
2. Menjelaskan 5. berikan diet tinggi
penyebab terjadinya protein untuk mempercepat
infeksi proses penyembuhan
3. Mengetahui tanda-
tanda terjadinya infeksi

c. Kurangnya Klien dapat melakukan 1. Kaji tingkat pengetahuan


pengetahuan tentang metode khitan dengan klien tentang metode khitan
metode khitan tepat dan baik.
2. Kaji lingkungan sekitar
berhubungan dengan
klien
keterbatasan akses
informasi dan rendahnya Setelah dilakukan 3. Fasilitasi segala
pendidikan. tindakan keperawatan, pertanyaan dan akses untuk
klien diharapkan mampu: mendapatkan informasi
1. Menyebutkan alat- 4. Kaji efektifitas
alat yang sesuai penyediaan akses informasi
standar kesehatan yang
5. Pantau minat klien
digunakan dalam proses
dalam mengakses informasi
khitan
2. Menjelaskan dan
mempraktekkan
metode khitan yang
benar

Pendekatan atau Teknik Transcultural Nursing


Komunikasi
Dalam pengkajian keperawatan lintas budaya, tentunya kita akan menemukan berbagai macam
bahasa yang berbeda di tiap budaya. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu
masuk ke dalam sebuah kebudayaan, kita sebagai perawat lintas budaya tentunya harus bisa
mempelajari teknik-teknik komunikasi di dalam suatu budaya tersebut. Dalam hal ini, suku
Bajo diketahui menggunakan bahasa melayu, namun bahasa melayu yang digunakan tidak
seperti bahasa melayu yang digunakan oleh warga negara Malaysia. Selain itu, masyarakat
suku Bajo mayoritas masih buta huruf karena rendahnya tingkat pendidikan mereka. Jadi
ketika kita masuk ke wilayah mereka, tentunya kita tidak bisa menggunakan komunikasi
dengan tulisan.
Strata Sosial
Suku Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu Same dan
Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo, sedangkan Bagai adalah sebutan semua orang
di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Dari sisi kehidupan
sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bagai bahkan manusia
Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat
mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas mereka dan hal inilah
yang menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan
masyarakat Bagai.
Ruang
Manusia Bajo dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan dan
pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Keadaan tersebut
berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu. Kemudian mereka mengenal
kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai mengenal dan memiliki tanah
sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan sederhana yang membangun di atas air.
Sebagian dari mereka membuat tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati
membuat rumah.

Anda mungkin juga menyukai