Disusun oleh :
1. Elvana Sakinah 16030204041
2. Irkham Mahmudi 16030204046
3. Angkin Ikalindhari 16030204066
4. Novia Putri Diana 16030204071
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh berbagai media terhadap perkembangan kokon pada budidaya
cacing tanah?
2. Bagaimana pengaruh berbagai media terhadap biomassa dan panjang klitellum hasil
budidaya cacing tanah?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengaruh berbagai media terhadap kokon pada budidaya
cacing tanah.
2. Untuk mendeskripsikan pengaruh berbagai media terhadap biomassa dan panjang
klitellum hasil budidaya cacing tanah.
D. Manfaat
1. Dapat mengetahui media tanam terbaik berdasarkan jumlah kokon selama masa
budidaya cacing tanah.
2. Dapat mengetahui media budidaya terbaik berdasarkan biomassa dan panjang
klitellum cacing tanah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Cacing tanah
Cacing tanah merupakan salah satu jenis fauna yang ikut melengkapi khasanah
hayati fauna Indonesia dan termasuk ke dalam kelompok hewan tingkat rendah, tidak
bertulang belakang (invertebrata) dan merupakan kelompok annelida atau cacing
bersegmen. Hewan ini ditemukan pada lingkungan terestrial basah di Indonesia (Brata,
2006). Menurut Catalan (1981), di dunia terdapat kira-kira 1.800 spesies cacing tanah
yang telah diidentifikasikan. Dari 1.800 spesies cacing tanah ini, sembilan spesies telah
dibudidayakan, dan empat dari sembilan spesies tersebut telah dikembangkan sebagai
ternak komersial. Spesies tersebut antara lain Eisenia foetida, Lumbricus rubellus, dan
Eisenia eugeniae yang merupakan 80-90% dari total jumlah cacing tanah komersial di
Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Sedangkan Pheretima asiatica hanya dikembangkan
di Asia.
Menurut Brata (2006), terdapat tiga kriteria dalam memilih spesies cacing tanah
untuk dikembangkan secara komersial, yaitu (1) spesies tersebut mampu bertahan hidup
dan beradaptasi melalui kondisi lingkungan yang terkontrol, (2) cepat bereproduksi, dan
(3) pertumbuhannya cepat. Minnich (1977), menambahkan bahwa cacing tanah
mengandung air sebanyak 70 sampai 95% dari bobot hidupnya, sehingga kehilangan air
merupakan masalah utama cacing tanah untuk dapat mempertahankan fungsi-fungsi
tubuhnya untuk bekerja secara normal. Menurut Febrita dkk (2015), cacing tanah jenis
Lumbricus memiliki keunggulan dan potensi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
dua jenis cacing tanah yang lainnya, seperti memiliki kemampuan untuk mempercepat
dekomposisi sampah-sampah organik, tingkat produktivitasnya yang tinggi, penambahan
berat badan lebih cepat, produksi kokoon dan juvenil (anakan), serta pemeliharannya
sangat mudah.
Menurut Barret (1959), cacing tanah melakukan aktivitasnya di daerah permukaan
yaitu di bawah vegetasi yang membusuk, kotoran hewan dan bahan-bahan yang
membusuk lainnya. Cacing tanah menyukai makanan yang ada di permukaan tanah. Oleh
sebab itu, pada malam hari jumlahnya meningkat di permukaan untuk mencari makanan.
Penyebaran cacing tanah pada tempat hidupnya dapat dilakukan secara horizontal dan
vertikal. Menurut Edward dan Lofty (1972), untuk penyebaran horizontal atau searah
permukaan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor fisik dan kimia tanah
(pH, temperatur, kelembapan), (2) ketersediaan pakan (seresah daun, sisa-sisa tumbuhan
dan hewan, kotoran hewan, (3) potensi reproduksi dan kemampuan penyebaran masing-
masing jenis cacing tanah.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Kontrol : Jenis cacing tanah, jumlah awal cacing tanah, suhu dan pH.
2. Variabel Manipulasi : Media pertumbuhan cacing
3. Variabel Respon : Perkembangan kokon, rata-rata biomassa, dan rata-rata panjang
klitellum cacing tanah
F. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan yaitu dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan yang
digunakan selama penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Tahap Pembuatan Media
1) Media Tanah + Pupuk
- Media dengan menggunakan pupuk sapi fermentasi,
- Kemudian dicampur tanah aerosol dengan perbandingan 2:1: (Tanah (2) :
Pupuk (1))
- Kemudian dibasahi dengan air sampai kelembaban mencapai 5 dan Ph 7,
- Lalu media dimasukkan ke dalam pot A dan B dan ditutup menggunakan
plastik yang sudah dilubangi, lalu pot diberi label.
- Kemudian didiamkan selama 1 minggu
2) Media Tanah + Pupuk + Sayur kering
- Media dengan menggunakan sayuran yang sudah dikeringkan,
- Kemudian dicampur dengan tanah aerosol dan pupuk sapi fermentasi
perbandingan 2:1:1 (Tanah (2) : Pupuk (1) : Sayuran kering (1)),
- Kemudian dibasahi dengan air sampai kelembaban mencapai 5 dan pH 7,
- Lalu media dimasukkan ke dalam pot A dan B dan ditutup menggunakan
plastik yang sudah dilubangi,lalu pot diberi label.
- Kemudian didiamkan selama 1 minggu.
3) Media Tanah + Pupuk + Ampas kelapa
- Media dengan menggunakan ampas kelapa dicuci bersih menggunakan
air,
- Kemudian dikeringkan dibawah matahari langsung dan dicuci kembali,
kemudian dikeringkan sampai 3 kali hingga bau kecut kelapanya hilang,
- Kemudian dicampur dengan tanah aerosol dan pupuk sapi fermentasi
perbandingan 2:1:1 (Tanah (2) : Pupuk (1) : Ampas (1)),
- Kemudian dibasahi dengan air sampai kelembaban mencapai 5 dan Ph 7,
- Lalu media dimasukkan ke dalam pot A dan B dan ditutup menggunakan
plastik yang sudah dilubangi, lalu pot diberi label.
- Kemudian didiamkan selama 1 minggu.
b. Tahap Meletakkan Cacing Tanah pada Media
- Setelah proses fermentasi pada media yaitu dengan cara didiamkan selama 1
minggu, tahap selanjutnya adalah meletakkan cacing pada media.
- Menimbang massa awal cacing tanah dan mengukur panjang klitellum,
- Kemudian meletakkan cacing tanah di atas permukaan media,
- Kemudian cacing tanah tersebut akan menggali liangnya sendiri dan masuk ke
dalam media. Media selanjutnya ditutup dengan plastik yang sudah dilubangi.
- Pada pot A menggunakan cacing yang sudah besar dan sudah ada
klitellumnya, dan pot B menggunakan cacing tanah yang masih kecil dan
belum memiliki klitellum.
3. Tahap Menjaga Kelembaban dan pH Media
- Menjaga kelembaban dan pH tanah media dengan menyiram media setiap hari 2
kali agar kelembaban tanah tetap konstan yaitu 5 dan pH tanah yaitu 7.
- Penelitian ini dilakukan selama 4 minggu
G. Indikator Pencapaian
Indikator pencapaian dalam penelitian ini pada kelompok A adalah perkembangan
kokon cacing tanah, dan pada kelompok B adalah perkembangan biomassa dan
pertambahan panjang klitelum cacing tanah dengan menggunakan media yang sesuai atau
media yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing
1. Jumlah cacing 10 0 10 0 10 10
Rata-rata
2. 0.8 0 1 0 1 1,2
Biomassa (gr)
Rata-rata Panjang
3. 0,3 0 0,3 0 0,3 0,6
Klitellum (cm)
Keterangan :
Media B1 : Tanah + Pupuk
Media B2 : Tanah + Pupuk + Sayur kering
Media B3 : Tanah + Pupuk + Ampas kelapa
B. Analisis Data
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dengan mengontrol tingkat
kelembapan, keasaman, suhu, dan mengamati selama 1 bulan, dapat diketahui pada media
B1 yaitu media dengan tanah dan pupuk pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor
dengan rata-rata massa 0,8 gr dan panjang klitellum 0,3 cm, kemudian setelah 1 bulan
pengamatan, tidak ditemukan cacing (0 ekor cacing). Pada media B2 yaitu media dengan
tanah, pupuk, dan sayur kering pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan
rata-rata massa 1 gr dan panjang klitellum 0,3 cm, kemudian setelah 1 bulan pengamatan,
tidak ditemukan cacing (0 ekor cacing). Pada media B3 yaitu media dengan tanah, pupuk,
dan ampas kelapa pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata massa
1 gr dan panjang klitellum 0,3 cm, kemudian setelah 1 bulan ditemukan 10 ekor cacing
dengan rata-rata massa 1,2 gram dan panjang klitellum 0,6 cm. Pada tabel 4.2.dapat
diketahui bahwa produksi kokon hanya terjadi pada media dengan kombinasi tanah,
pupuk kotoran sapi, dan ampas kelapa. Pada media ini ditemukan sebanyak 19 kokon.
C. Pembahasan
Cacing tanah adalah hewan hermafrodit atau biseksual (organ kelamin jantan dan
betina di dalam satu individu). Meskipun hermafrodit, cacing tanah tidak bisa melakukan
reproduksi sendirian karena tidak bisa menyatukan organ kelamin jantan dan organ
kelamin betina mereka sendiri, sehingga harus dilakukan oleh sepasang hewan. Proses
perkawinan cacing tanah dapat berlangsung beberapa jam dan akan memisahkan diri
apabila keduannya telah menerima sperma kemudian klitelium akan membentuk kokon
dan bergerak kearah mulut. Kokon yang berisi sel telur bergerak ke arah mulut dan keluar
dari tubuh cacing tanah. Menurut Minnich (1977), Kokon yang dihasilkan dari cacing
tanah akan menetas setelah berumur 7-21 hari, Cacing tanah dapat menghasilkan satu
kokon dengan rata-rata setiap kokon dapat menghasilkan empat anak cacing tanah.
Pada praktikum kokon cacing tanah hanya didapatkan pada media A3, yakni
media dengan kombinasi tanah, pupuk kotoran sapi, dan ampas kelapa. Pada media
tersebut ditemukan 19 kokon. Sedangkan pada media lainnya tidak ditemukan kokon. Hal
ini menunjukkan bahwa kombinasi media A3 merupakan media yang sesuai. Hal ini
dikarenakan ampas kelapa 100% bahannya berserat dan bersifat porous sehingga
memberi kemudahan bagi cacing untuk berkopulasi dan meletakkan telurnya. Selain itu
menurut hasil analisis diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan
minyak kelapa murni yang memiliki kadar protein kasar sebesar 11,35% dengan kadar
lemak kasar 23,36% (Miskiyah, 2006). Selain kandungan ampas kelapa, kondisi
lingkungan yang meliputi kelembapan, keasaman, dan suhu media A3 juga mendukung
reproduksi cacing tanah. Kelembapan media adalah 7/10 pada skala alat ukur atai dapat
dikonversi 70%. Kelembapan ini masih dalam kisaran antara yang disarankan yakni 50-
80% (Kevin, 1979). Tingkat keasaman media juga masih dalam kisaran yang optimum
untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing, yakni 7, dengan kisaran yang disarankan
Kale dan Karmegam (2010) antara 6,55-7,98, meskipun suhu media 29⸰C, sedangkan
suhu maksimal untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah adalah 27⸰C
(Waluyo, 1982).
Kondisi pada media A3 berbeda dengan media A2 (tanah+pupuk+sayur kering)
dan A1 (tanah+pupuk). Tidakadanya kokon pada media A2 dikarenakan kandungan gizi
dan manfaat kangkung sama seperti sayuran pada umumnya, kangkung memiliki
kandungan serat yang tinggi. Selain itu kandungan gizi pada 100 gr kangkung terdiri dari
protein 3 gr (lebih rendah dari ampas kelapa), lemak 0,3 gr (lebih rendah dari ampas
kelapa), karbohidrat 5,4 gr, kalsium 73 gr, fosfor 50 gr, dll (Edi dan Yusri, 2009), serta
suhu yang terlalu tinggi, yakni 30⸰C. Pada media A1, dengan media hanya tanah dan
pupuk sapi. Hal ini dikarenakn pupuk kandang padat (makro) hanya banyak kandungan
unsur fosfor (P), nitrogen (N), dan kalium (K) sedangkan untuk kandungan unsur hara
mikro yang ada dalam pupuk kandang diantaranya kalsium, magnesium, belerang,
natrium, besi dan tembaga (Parnata dan Ayub 2004). Pupuk kendang minim kandungan
organik seperti protein dan lemak.
Menurut Barret (1959), cacing tanah melakukan aktivitasnya di daerah permukaan
yaitu di bawah vegetasi yang membusuk, kotoran hewan dan bahan-bahan yang
membusuk lainnya. Cacing tanah menyukai makanan yang ada di permukaan tanah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pada media B1 yaitu media dengan tanah dan
pupuk pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata massa 0,8 gr dan
panjang klitellum 0,3 cm. Kemudian diamati 1 bulan dengan mengontrol suhu, pH, dan
kelembaban menghasilkan 0 ekor cacing. Dan pada media B2 yaitu media dengan tanah,
pupuk, dan sayur kering pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata
massa 1 gr dan panjang klitellum 0,5 cm, kemudian diamati 1 bulan dengan mengontrol
suhu, pH, dan kelembaban menghasilkan 0 ekor cacing. Dalam hal ini ketiadaan cacing di
media B1 dan B2 disebabkan oleh beberapa factor. Menurut Palungkun (2010) Cacing
tanah sangat menyukai bahan organik yang sedang membusuk, baik yang berasal dari
hewan maupun dari tumbuhan. Sejalan dengan pendapat Sihombing (2002) menyatakan
bahwa kotoran binatang adalah habitat utama cacing tanah dan hampir sempurna sebagai
makanan maupun sarang. Penggunaan kotoran binatang 100% merupakan media
reproduksi untuk merangsang produksi kokon agar populasi cacing menjadi lebih banyak
(Palungkun 1999). Kotoran hewan merupakan sumber kompos yang sangat penting
karena kandungan unsur haranya sangat tinggi.
Pakan yang tidak ditambahkan dapat mengakibatkan cacing hanya memanfaatkan
ketersediaan bahan organik yang ada di tanah sebagai media hidup sekaligus sumber
makanannya. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dari cacing
tidak maksimal. Menurut Yuliprianto (2010), berkurangnya bahan organik tanah
menandakan sedikitnya persediaan pakan cacing tanah sehingga untuk jangka panjang
akan menyebabkan cacing tanah meninggalkan media atau bahkan dapat mengalami
kematian. Selain itu, penurunan tinggi permukaan media yang lebih besar dapat
disebabkan oleh perbedaan kepadatan media di dalam pot. Perbedaan kepadatan media
diduga dapat mempengaruhi aktivitas dari cacing tanah. Struktur media yang lebih padat
dapat mengakibatkan cacing tanah bergerak lambat (Ilyas, 2009).
Selain itu kadungan sayuran kering pada media B2 juga kurang mendukung
pertumbuhan cacing. Menurut Edi dan Yusri (2009) kandungan gizi dan manfaat sayur
kering kangkung sama seperti sayuran pada umumnya, kangkung memiliki kandungan
serat yang tinggi. Selain itu kandungan gizi pada 100 gr kangkung terdiri dari protein 3
gr, lemak 0,3 gr, karbohidrat 5,4 gr, kalsium 73 gr, fosfor 50 gr, dll. Dalam hal ini
kandungan nutrisi pada media dan makanan sangat berpengaruh pada peningkatan
pertumbuhan cacing tanah. Kandungan protein yang rendah akan dapat menghambat
pertumbuhan cacing. Menurut Palungkun (1999) kandungan protein yang baik untuk
cacing tanah berkisar 9-15%. Menurut Rukmana (1999) dalam Resnawati (2002)
mengatakan bahwa limbah organik yang kaya protein akan direspon lebih cepat oleh
cacing tanah. Diketahui bahwa protein yang tekandung dalam pakan digunakan sebagai
sumber energi dalam tubuh yang dibutuhkan untuk proses pembentukan protein-protein
dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menjadi cadangan energi bagi hewan tersebut,
sehingga protein merupakan zat makanan yang lebih penting untuk pertumbuhan
termasuk pertambahan bobot serta panjang klitellum (Masrurotun, 2014). Susetyarini
(2007) mengungkapkan bahan pakan untuk reproduksi harus banyak mengandung protein
dikarenakan kandungan asam amino dalam protein sangat dibutuhkan dalam
pembentukan gamet jantan dan gamet betina pada cacing. Menurut Subandiyas dan
Hastuti (2010) peran utama protein adalah menyediakan nutrisi bagi tubuh, menyediakan
asam amino dan memenuhi kebutuhan protein fungsional (hormone dan enzim) serta
protein yang tinggi akan mempercepat pematangan sel-sel reproduksi cacing tanah.
Pada media B3 yaitu media dengan tanah, pupuk, dan ampas kelapa pada awalnya
ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata massa 1 gr dan panjang klitellum 0,3
cm, kemudian diamati 1 bulan dengan mengontrol suhu, pH, dan kelembaban tetap
menghasilkan 10 ekor cacing dengan rata-rata massa 1,2 gram dan panjang klitellum 0,6
cm. Dalam hal ini media B3 merupakan media yang efektif dalam pertumbuhan cacing
tanah.
Komposisi ampas kelapa 100% sangat mendukung proses reproduksi dikarenakan
ampas kelapa bahannya berserat dan bersifat porous sehingga memberi kemudahan bagi
cacing untuk berkopulasi dan meletakkan telurnya. Selain itu menurut hasi analisis
diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan minyak kelapa murni
yang memiliki kadar protein kasar sebesar 11,35% dengan kadar lemak kasar 23,36%
(Miskiyah, 2006). Kandungan protein pada ampas kelapa dapat meningkatkan
pertumbuhan cacing tanah, hal ini sejalan dengan pendapat Palungkun (1999) kandungan
protein yang baik untuk cacing tanah berkisar 9-15%. Serta menurut Rukmana (1999)
menyatakan bahwa limbah organic yang kaya protein akan direspon lebih cepat oleh
cacing, bahan ampas kelapa juga tidak mengandung zat bau yang kurang disukai oleh
cacing.
Keberhasilan budidaya cacing juga ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan
yaitu pH, kelembaban, suhu, intensitas cahaya dan sirkulasi udara. Menurut Edwards dan
Lofty (1977), cacing tanah sangat sensitif terhadap konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH
tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah dan spesies cacing tanah. Media yang
terlalu asam (pH rendah) akan mengakibatkan kerusakan pada tembolok, dormansi,
diapause, keracunan, konvulsi, paralisis dan akhirnya mengalami kematian. sedangkan,
keadaan makanan atau lingkungan terlalu basa akan mengakibatkan suatu proses yang
mirip dehidrasi pada tubuh cacing tanah, dimana cacing tanah akan berubah warna
menjadi lebih gelap dan kemudian mati (Simandjuntak dan Waluyo, 1982). Cacing tanah
umumnya hidup pada media dengan pH optimum berkisar antara 6,55-7,98 (Kale dan
Karmegam, 2010).
Menurut Simandjuntak dan Waluyo (1982), kelembapan sangat diperlukan untuk
menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Dan bila udara terlalu kering akan
merusak keadaan kulit. Bila kelembapan terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing
tanah segera berpindah untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasi) baik,
karena cacing tanah memperoleh oksigen dari air. Kelembapan yang baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah adalah antara 15-30%. Brata (2009),
menambahkan bahwa kondisi media yang kering dapat menurunkan populasi dan
kemampuan reproduksi cacing tanah. Cacing tanah akan mati pada temperatur yang
ekstrim.
Menurut Simandjuntak dan Waluyo (1982), suhu hangat atau sedang
menyebabkan pertumbuhan cacing tanah Lumbricus sp. berjalan dengan baik yaitu suhu
antara 15-25oC. Suhu 27,5oC menyebabkan cacing tanah akan berpindah ke areal yang
memiliki temperatur lebih rendah. Pada kondisi media yang kering terutama pada daerah
Surabaya, maka penyiraman harus dilakukan sesering mungkin dalam sehari untuk
mempertahankan kondisi suhu dan kelembapan media supaya dalam kondisi normal dan
sesuai untuk kelangsungan hidup cacing. Suhu media sebaiknya tetap dijaga pada kisaran
18-27oC (Razon dan Razon, 1981). Sedangkan kelembapan yang dibutuhkan berkisar
antara 50-80% (Kevin, 1979).
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa berbagai
kombinasi media pertumbuhan cacing seperti media tanah + pupuk, tanah + pupuk +
sayur kering, dan tanah + pupuk + ampas kelapa berpengaruh terhadap pertumbuhan
cacing tanah dengan indikator pertambahan biomassa dan pertambahan panjang klitellum,
dan berpengaruh pada aktivitas reproduksi, yang ditandai dengan jumlah kokon yang
dihasilkan. Media yang paling bagus berdasarkan hasil penelitian ialah media
pertumbuhan tanah + pupuk + ampas kelapa, yang ditunjukkan oleh adanya kokon dan
penambahan panjang klitellum dan bimassa cacing tanah.
B. Saran
Sebaiknya selama melakukan observasi tetap melakukan pengukuran suhu,
kelemapan dan Ph, agar hasil yang didapatkan dapat ditunjang data tiap hari. Selain itu,
juga diperlukan pencatatan pada jurnal pada setiap pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti DN. 2001. Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
dalam Media Kotoran Sapi yang Mengandung Tepung Darah. Skripsi. ITB: Fakultas
Kedokteran Hewan.
Aziz A. 2015. Budidaya Cacing Tanah Unggul Ala Adam Cacing. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Barnes RD. 1984. Invertebrata Zoology. London: W. B. Sounder Company Toppan Company.
Barret TJ. 1959. Harnessing the Earthworm. California: Wegwood Press.
Brata B. 2006. “Petumbuhan Tiga Spesies Cacing Tanah Akibat Penyiraman Air dan
Pengapuran yang Berbeda”. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 8 (1): hal.
69-75.
Brata B. 2009. Cacing Tanah: Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan
Perkembangbiakan. Bogor: IPB Press.
Budiyanto, Krisno. 2011. “Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya Mendukung
Pertanian Organik di Desa Sumbersari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
Jurnal GAMMA 7 (1) 42-49.
Catalan GI. 1981. Earthworms a New-Resource of Protein. Philippine Earthworm Center,
Philippines.
Edwards CA dan Lofty JR. 1972. Biology of Earthworm. New York.
Febrita E, Darmadi, dan Siswanto E. 2015. “Pertumbuhan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
dengan Pemberian Pakan Buatan untuk Mendukung Proses Pembelajaran pada
Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Invertebrata”. Jurnal Biogenesis. Vol. 11
(2): hal. 169-176.
Hanafiah KA, Napoleon A, dan Ghoffar N. 2010. Biologi Tanah: Ekologi dan Makrobiologi
Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hardiwinoto S, Rahayu N, Agus C, Nurjanto HH, Widiyatno, dan Supriyo H. 2005. “Peranan
Bahan Organik Ber-nisbah C/N Rendah dan Cacing Tanah untuk Mendekomposisi
Limbah Kulit Kayu Gmelina arborea”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol. 12 (3):
hal. 159-171.
Haryono. 2003. Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa dan Ampas Tahu sebagai Media Pakan
Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Prosiding Temu Teknis Fungsional Non
Peneliti. Balai Penelitian Ternak: Bogor.
Hayati. 2011. Peningkatan kadar N, P, K tersedia serta kenaikan pH akibat keberadaan cacing
tanah (P.heretima sp) pada tanah utilisol. Jurnal Pengembang Wilayah Lahan Kering.
Hal 14: 1-10.
Huda, Sholihul dan Wikanta, Wiwik. 2017. “Pemanfaatan Limbah Kotoran Sapi Menjadi
Pupuk Organik Sebagai Upaya Mendukung Usaha Peternakan Sapi Potong di
Kelompok Tani Ternak Mandiri Jaya Desa Moropelang Kec. Babat Kab. Lamongan”.
Axiologiya. Vol.1, no. 1. (online). http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/Axiologiya/article/view/303, diakses pada 13 November
2019.
Husamah. 2014. Ekologi Hewan: Pengayaan Ekologi Collembola Tanah di DAS Brantas
Hulu Kota Batu. Malang: Pascasarjana Pendidikan Biologi UM dan Pendidikan
Biologi FKIP UMM.
Ilyas M. 2009. Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling (Dalbergia latifolia)
Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretima sp, Eisenia foetida, dan
Lumbricus rubellus). Thesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Indriani. 1999. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kale RD dan Karmegam N. 2010. The Role of Earth-worms in Tropics with Emphasis on
Indian Ecosystem. Applied and Environmental Soil Science (Article ID 414356) 16
pages. Doi: 10.1155/2010/414356.
Kevin H. 1979. Earthworm for Gardenes and Fisherman. Discovery Soil No. 5. CSIRO
Division of Soil.
Lee KE. 1985. Earthworm Their Ecology and Relationship with Soila and Land Use. CSIRO
Division of Soil Adelaide. Sydney: Academic Press (Harcourt Brace Jovanovich
Publishers).
Masrurotun, Suminto, J. Hutabarat. 2014. Pengaruh penambahan kotoran ayam, silase ikan
rucah dan tepung tapioka dalam media kultur terhadap biomassa, populasi dan
kandungan nutrisi cacing sutera (Tubifex sp.).Jurnal of Aquaculture Management and
Technology, 3(4): 151-157.
Minnich J. 1977. The Earthworms Book. USA: Rodale Press Emmaus, P. A.
Palungkun R. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Razon CA dan Razon BE. 1981. How to Raise Red Earthworm Profitably. Bereu of Animal
Industry, Philippines.
Roslim DI, Nastiti DS, dan Herman. 2013. “Karakter Morfologi dan Pertumbuhan Tiga Jenis
Cacing Tanah Lokal Pekanbaru pada Dua Macam Media Pertumbuhan”.
Biosaintifika. Vol. 5 (1): hal. 1-9.
S, Wibowo. 2015. Hubungan Ccaing Tanah dengan Kondisi Fisik, Kimia, dan Mikrobiologis
Tanah Masam Ultisol di Daerah Lampung Utara. Jurnal AGRI PEAT. Volume 16 (1).
Hlm 45-55.
Simandjuntak AK dan Waluyo. 1982. Cacing Tanah, Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta:
Swadaya.
Subowo G. 2008. “Prospek Cacing Tanah untuk Pengembangan Teknologi Resapan Biologi di
Lahan Kering”. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 27 (4): hal. 146-150.
Sutedjo, M. M. (2002). Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta
Tang UM. 2002. Pengetahuan Pakan dan Gizi Pakan. Pekanbaru: Unri Press.
Wulandari M dan Handarsari E. 2010. “Pengaruh Penambahan Bekatul terhadap Kadar
Protein dan Sifat Organoleptik Biskuit”. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 1 (2): hal. 55-
62.
Wirosoedarmo, et.al. 2019. “Pengaruh Pemberian Media Berbahan Limbah Kotoran Sapi dan
Blotong Tebu Terhadap Bobot dan Kadar Protein Cacing African Night Crawler
(Eudrilus eugenia)”. Jurnal Sumber daya Alam dan Lingkungan. Vol. 6, no.1.
(online) https://jsal.ub.ac.id/index.php/jsal/article/view/300/294, diakses pada 13
November 2019.
Yuliprianto H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yunitasari, et.al, 2015. “Pengaruh Pemberian Limbah Organik Kantin terhadap Pertumbuhan
Cacing Tanah (Lumbricusrubellus) dengan Media Sampah Daun Sekitar Kampus
Universitas Brawijaya”. Jurnal Sumber daya Alam dan Lingkungan. Vol. 2 no. 3.
(online) https://jsal.ub.ac.id/index.php/jsal/article/view/241, diakses pada 13
november 2019. .
LAMPIRAN
2 Menimbang Setiap
Bahan
3 Proses Pencampuran
Bahan Media,
meliputi : Sayur
kering, pupuk
kandang dan tanah
4 Penambahan Air
5 Pengukuran Suhu,
Kelembaban dan pH
pada Media
6 Pencampuran Bahan
Media, meliputi :
ampas parutan kelapa,
pupuk kandang dan
tanah
7 Penambahan Air
8 Pengukuran Suhu,
Kelembaban, pH dan
pada Media
9 Penimbangan Media
dan Peletakan Media
pada Pot