Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN

BUDIDAYA CACING TANAH

Disusun oleh :
1. Elvana Sakinah 16030204041
2. Irkham Mahmudi 16030204046
3. Angkin Ikalindhari 16030204066
4. Novia Putri Diana 16030204071

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Limbah banyak dihasilkan di sekitar kita dan dapat bersumber dari berbagai
tempat. Limbah yang dapat kita temui diantaranya adalah limbah industri, limbah rumah
tangga, maupun tempat lain, yang bila dibiarkan akan meningkatkan pencemaran
lingkungan hidup manusia (Wirosoedarmo, et.al, 2019). Selain itu limbah yang kita
jumpai juga dapat bersumber dari usaha masayarakat, misalnya peternakan.
Sektor peternakan masih menjadi salah satu sumber ketahanan pangan yang sangat
strategis di Indonesia. Sebagian besar peternakan merupakan usaha rakyat berskala kecil
yang berada di perdesaan dan masih menggunakan teknologi secara sederhana atau
tradisional, sehingga memiliki pengelolaan yang belum profesional (Huda dan Wikanta,
2017). Salah satu peternakan yang ada di Indonesia adalah peternakan sapi. Dari
peternakan sapi ini, dapat dihasilkan limbah berupa kotoran sapi.
Kotoran sapi merupakan salah satu bahan yang potensial untuk bahan pembuatan
pupuk organik. Satu ekor sapi setiap harinya menghasilkan kotoran berkisar 8 – 10 kg per
hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau setara dengan 1,5-2 ton pupuk organik sehingga
akan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mempercepat proses perbaikan lahan.
Potensi jumlah kotoran sapi dapat dilihat dari populasi sapi. Populasi sapi potong di
Indonesia diperkirakan 10,8 juta ekor dan sapi perah 350.000 - 400.000 ekor dan apabila
satu ekor sapi rata-rata setiap hari menghasilkan 7 kilogram kotoran kering maka kotoran
kotoran sapi kering yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4 juta kilogram kering per
hari (Budiyanto, 2011). Dengan potensi ini, maka perlu dilakukan pengelolaan dan
pemanfaat limbah, sehingga dapat mengurangi beban usaha peternakan dan menambah
profit.
Penggunaan pupuk organik ini dikenal dapat membantu pemulihan tanah. Tanah
merupakan tempat hidup bagi cacing tanah. Cacing tanah (Lumbricus rubellus)
merupakan hewan invertebrata yang bermanfaat untuk menyuburkan lahan pertanian,
sebagai bahan industri obat dan kosmetik. Cacing tanah yang mengandung protein tinggi
dan asam amino lengkap menjadi salah satu alternatif yang potensial untuk dijadikan
imbuhan pakan. Tepung cacing tanah memiliki kadar protein kasar 65,63% dan asam
amino prolin sekitar 15% dari total 62 asam amino (Hayati, 2011). Dengan adanya
manfaat dari cacing tanah, kini hewan invertebrata ini telah dibudidayakan.
Budidaya cacing tanah memanfaatkan media dan pakan dapat berasal dari limbah
sekitar, salah satunya adalah pupuk kotoran sapi dan pupuk organik olahan limbah rumah
tangga. Cacing tanah memakan bahan organik dari kompos tumbuh-tumbuhan, di dalam
usus halus makanan dipecah menjadi bahan yang berguna untuk tubuhnya dan sisanya
dikeluarkan dalam bentuk kotoran (casting). Casting kaya akan hara yang sangat
dibutuhkan oleh tanaman, selain itu dampak positif cacing tanah adalah menyuburkan
lahan pertanian, meningkatkan daya serap air permukaan, memperbaiki dan
mempertahankan struktur tanah, meningkatkan manfaat limbah bahan organik, dapat
dimanfaatkan untuk obat dan kosmetik (Simanjuntak, 1995 dalam Yunitasari, et.al, 2015).
Hasil optimal dalam budidaya cacing tanah banyak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah media pemeliharaan. Media hidup atau media
pemeliharaan yang juga sekaligus sarang cacing tanah sebenarnya adalah sekumpulan
bahan-bahan organik yang sudah terfermentasi sempurna sehingga bisa memberikan
tempat bagi cacing tanah untuk hidup dan bereproduksi secara optimal. Media hidup
tersebut nantinya sekaligus menjadi sumber makanan bagi cacing tanah yang
dibudidayakan. Menurut Saptono (2011), cacing tanah membutuhkan bahan organik
sebagai makanan atau sumber nutrisi. Ketersediaan bahan organik sangat diperlukan
untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah. Bahan organik
yang mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin dibutuhkan oleh cacing tanah
untuk mendukung pertumbuhan.
Berdasarkan uraian potensi limbah kotoran sapi dan limbah rumah tangga yang
dapat menunjang kebutuhan bahan organik pada media budidaya cacing tanah, maka
dalam percobaan ini digunakan kombinasi pupuk kotoran sapi dengan ampas kelapa dan
pupuk kotoran sapi dengan sayuran kering. Perlakuan ini diberikan dengan
mencampurkannya pada tanah yang merupakan media hidup cacing tanah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh berbagai media terhadap perkembangan kokon pada budidaya
cacing tanah?
2. Bagaimana pengaruh berbagai media terhadap biomassa dan panjang klitellum hasil
budidaya cacing tanah?

C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengaruh berbagai media terhadap kokon pada budidaya
cacing tanah.
2. Untuk mendeskripsikan pengaruh berbagai media terhadap biomassa dan panjang
klitellum hasil budidaya cacing tanah.

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui media tanam terbaik berdasarkan jumlah kokon selama masa
budidaya cacing tanah.
2. Dapat mengetahui media budidaya terbaik berdasarkan biomassa dan panjang
klitellum cacing tanah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Cacing tanah
Cacing tanah merupakan salah satu jenis fauna yang ikut melengkapi khasanah
hayati fauna Indonesia dan termasuk ke dalam kelompok hewan tingkat rendah, tidak
bertulang belakang (invertebrata) dan merupakan kelompok annelida atau cacing
bersegmen. Hewan ini ditemukan pada lingkungan terestrial basah di Indonesia (Brata,
2006). Menurut Catalan (1981), di dunia terdapat kira-kira 1.800 spesies cacing tanah
yang telah diidentifikasikan. Dari 1.800 spesies cacing tanah ini, sembilan spesies telah
dibudidayakan, dan empat dari sembilan spesies tersebut telah dikembangkan sebagai
ternak komersial. Spesies tersebut antara lain Eisenia foetida, Lumbricus rubellus, dan
Eisenia eugeniae yang merupakan 80-90% dari total jumlah cacing tanah komersial di
Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Sedangkan Pheretima asiatica hanya dikembangkan
di Asia.
Menurut Brata (2006), terdapat tiga kriteria dalam memilih spesies cacing tanah
untuk dikembangkan secara komersial, yaitu (1) spesies tersebut mampu bertahan hidup
dan beradaptasi melalui kondisi lingkungan yang terkontrol, (2) cepat bereproduksi, dan
(3) pertumbuhannya cepat. Minnich (1977), menambahkan bahwa cacing tanah
mengandung air sebanyak 70 sampai 95% dari bobot hidupnya, sehingga kehilangan air
merupakan masalah utama cacing tanah untuk dapat mempertahankan fungsi-fungsi
tubuhnya untuk bekerja secara normal. Menurut Febrita dkk (2015), cacing tanah jenis
Lumbricus memiliki keunggulan dan potensi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
dua jenis cacing tanah yang lainnya, seperti memiliki kemampuan untuk mempercepat
dekomposisi sampah-sampah organik, tingkat produktivitasnya yang tinggi, penambahan
berat badan lebih cepat, produksi kokoon dan juvenil (anakan), serta pemeliharannya
sangat mudah.
Menurut Barret (1959), cacing tanah melakukan aktivitasnya di daerah permukaan
yaitu di bawah vegetasi yang membusuk, kotoran hewan dan bahan-bahan yang
membusuk lainnya. Cacing tanah menyukai makanan yang ada di permukaan tanah. Oleh
sebab itu, pada malam hari jumlahnya meningkat di permukaan untuk mencari makanan.
Penyebaran cacing tanah pada tempat hidupnya dapat dilakukan secara horizontal dan
vertikal. Menurut Edward dan Lofty (1972), untuk penyebaran horizontal atau searah
permukaan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor fisik dan kimia tanah
(pH, temperatur, kelembapan), (2) ketersediaan pakan (seresah daun, sisa-sisa tumbuhan
dan hewan, kotoran hewan, (3) potensi reproduksi dan kemampuan penyebaran masing-
masing jenis cacing tanah.

B. Siklus Hidup dan Reproduksi Cacing Tanah


Sepasang cacing tanah dewasa dapat berkembang biak hingga menghasilkan
1500 ekor cacing dalam satu tahun. Populasi cacing tanah mengalami peningkatan hingga
100% setiap 4-6 bulan. Cacing tanah akan membatasi perkembangbiakan mereka agar
sesuai dengan makanan yang tersedia dan ukuran tempat hidup mereka.

Gambar 2.1 Siklus hidup cacing tanah


Cacing tanah adalah hewan hermafrodit (organ kelamin jantan & betina di dalam
satu individu). Meskipun hermafrodit, cacing tanah tidak bisa melakukan reproduksi
sendirian karena tidak bisa menyatukan organ kelamin jantan dan organ kelamin betina
mereka sendiri. Cacing tanah akan aktif untuk bereproduksi pada keadaan hangat dan
lembab. Cacing tanah dewasa dapat kawin kira-kira sekali setiap 10 hari, dan dari
perkawinan itu, dapat menghasilkan satu atau dua kokon. Satu kokon dapat menampung
hingga 10 telur, namun biasanya hanya 4 cacing muda yang akan menetas.
Telur cacing tanah dapat menetas setelah 3 minggu jika cuaca hangat, namun
bisa mencapai 3 bulan jika cuaca dingin. Saat anak cacing tanah siap keluar, kokon
berubah warna menjadi kemerahan dan berukuran sebesar biji anggur. Anak cacing tanah
yang baru menetas berukuran sekitar 1.2 cm, tanpa organ reproduksi, berwarna keputihan
dengan semburat merah muda yang menunjukkan pembuluh darah mereka. Cacing tanah
akan mulai matang secara seksual saat clitellum terbentuk dengan sempurna (usia 10-55
minggu, tergantung spesies). Pertumbuhan berat tubuh cacing tanah akan melambat
setelah melewati tahap ini.
Sebagian cacing tanah akan mati pada tahun yang sama saat mereka dilahirkan.
Sementara yang lain dapat hidup hingga usia 5 tahun atau lebih. Cacing tua ditandai
dengan bagian ekor agak pipih dan warna kuning pada ekor sudah mencapai punggung.
Bila cacing tanah masih produktif, warna kuning masih ada di ujung ekor.
Reproduksi menentukan kelangsungan hidup cacing. Organisme seperti cacing
menyediakan makanan bagi banyak hewan lain, jadi mereka harus memperbanyak untuk
mengimbangi predasi. Saat proses kawin, dua cacing bersama-sama berpegangan satu
sama lain. Saat bergabung tersebut mereka bertukar sperma. Pada saat yang sama,
lekukan pada bagian bawah dari cacing membantu mengangkut cairan tadi ke vesikula
seminalis untuk digunakan nanti. Setelah bergabung sampai tiga jam, cacing mulai
memisahkan diri satu sama lainnya. Setelah proses ini berlangsung dan selesai maka
kedua cacing tersebut akan hamil dan bertelur. Dari telur tersebut akan keluar anak – anak
cacing. Pada akhirnya cacing tersebut akan menjadi dewasa. Di bawah kondisi yang
menguntungkan populasi cacing akan berkembang biak dengan cepat.

C. Keberhasilan Budidaya Cacing


Keberhasilan budidaya cacing tanah juga sangat ditentukan oleh pH media
(Brata, 2006). Menurut Edwards dan Lofty (1977), cacing tanah sangat sensitif terhadap
konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi,
jumlah dan spesies cacing tanah. Media yang terlalu asam (pH rendah) akan
mengakibatkan kerusakan pada tembolok, dormansi, diapause, keracunan, konvulsi,
paralisis dan akhirnya mengalami kematian. Untuk meningkatkan pH perlu ditambah
kapur atau kalsium karbonat (CaCO3).
Menurut Subowo (2008), cacing tanah dengan kemampuannya membuat lubang
dapat menurunkan kepadatan tanah, mengurangi aliran pemukaan dan erosi, serta melalui
kotoran yang dihasilkan dapat menambah unsur hara bagi tanaman, sehingga apabila
populasinya terganggu maka kualitas tanah juga akan terganggu. Oleh karena itu butuh
upaya untuk meningkatkan jumlah panen cacing tanah (Lumbricus rubellus) dengan cara
meningkatkan pertumbuhan dan produksi kokoonnya. Peningkatan pertumbuhan dan
produksi kokoon cacing tanah (Lumbricus rubellus) ditunjang dengan ketersediaan
kebutuhan gizi dalam media dan pakannya (Pangestika dkk, 2016). Menurut Aziz (2015),
cacing tanah merupakan hewan yang mengkonsumsi zat organik terlarut serta mudah
membusuk di dalam tanah. Zat makanan yang dibutuhkan cacing tanah adalah protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan juga air (Febrita, 2015). Menurut Haryono
(2003), bahan-bahan organik yang layak digunakan sebagai media pemeliharaan dan
pakan adalah kotoran ternak, serbuk gergaji kayu, jerami padi, daun-daunan, tanah
lumpur, kompos sampah, ampas singkong, dan berbagai macam limbah organik. Menurut
Aziz (2015), penyesuaian suhu media, pH media, dan kelembapan media juga faktor yang
mempengaruhi kehidupan cacing tanah. Pemilihan jenis pakan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan produksi kokoon cacing tanah (Lumbricus rubellus). Menurut Astuti
(2001), pemberian pakan yang memiliki kandungan protein yang terlalu tinggi (>15%)
tidak akan memberikan hasil yang baik dan membuat cacing tanah keracunan. Aziz
(2015), menambahkan bahwa jenis pakan yang biasa digunakan dalam budidaya cacing
tanah adalah bekatul yang banyak mengandung nutrisi untuk menunjang pertumbuhan
dan produksi kokoon cacing tanah.
Apabila media yang digunakan sesuai, maka petumbuhan cacing tanah akan
bagus dan berimplikasi pada kualitas dan kuantitas kasting yang dihasilkan. Produksi
kasting oleh cacing tanah ditandai dengan terombaknya media menyerupai batangan-
batangan jarum, lepas-lepas, tidak lengket, tidak berbau, dan berwarna cokelat kehitaman
(Roslim, 1994). Tingkat kematangan kasting secara fisik dapat ditentukan dari bau,
warna, ukuran partikel, dan kelembaban kasting (Brata, 2009). Bentuk kasting cacing
tanah bervariasi tergantung jenis cacing tanah, yaitu ada yang berbentuk butiran-butiran
kecil, massa beraneka bentuk yang berukuran kecil, dan ada juga yang berbentuk benang-
benang pendek (Hanafiah dkk, 2010).
D. Media untuk Budidaya Cacing
Menurut Febrita dkk (2015), terdapat perbedaan yang nyata antara biomassa tubuh
cacing tanah Lumbricus rubellus tanpa adanya pemberian pakan tambahan dibandingkan
dengan pemberian pakan tambahan lainnya. Hal ini disebabkan karena pada media tanah
hanyalah tanah biasa tanpa adanya pemberian pakan tambahan. Sedangkan pakan
tambahan sangat penting untuk makanan cacing tanah. Palungkun (2010), menambahkan
bahwa cacing tanah sangat menyukai bahan organik yang sedang membusuk, baik yang
berasal dari hewan maupun dari tumbuhan. Oleh karena itu pakan yang tidak
ditambahkan pada media dapat mengakibatkan cacing hanya memanfaatkan ketersediaan
bahan organik yang ada di tanah sebagai media hidup sekaligus sumber makanannya. Hal
ini dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dari cacing tidak maksimal.
Menurut Yuliprianto (2010), berkurangnya bahan organik tanah menandakan sedikitnya
persediaan pakan cacing tanah sehingga untuk jangka panjang akan menyebabkan cacing
tanah meninggalkan media atau bahkan dapat mengalami kematian. Selain itu, penurunan
tinggi permukaan media yang lebih besar dapat disebabkan oleh perbedaan kepadatan
media di dalam pot. Perbedaan kepadatan media diduga dapat mempengaruhi aktivitas
dari cacing tanah. Struktur media yang lebih padat dapat mengakibatkan cacing tanah
bergerak lambat (Ilyas, 2009).
Menurut Barnes (1984), hewan-hewan memanfaatkan bahan organik sebagai
sumber pakan untuk kelangsungan hidupnya. Pakan tersebut dapat berupa ampas kelapa
sayuran kering, serasah daun, dan serasah kayu atau hasil tumbuhan yang tidak hidup
seperti selulosa dan senyawa organik lain. Zat makanan yang dibutuhkan itu antara lain
protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan juga air. Berikut merupakan pakan yang
ditambahkan pada tanah untuk budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus):
1. Kandungan tanah
Tanah yang subur adalah tanah yang mempunyai profil yang dalam
(kedalaman yang sangat dalam melebihi 150 cm); strukturnya gembur; pH 6,0-6,5;
kandungan unsur haranya yang tersedia bagi tanaman adalah cukup; dan tidak terdapat
faktor pembatas dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman (Sutedjo, 2002).
2. Kandungan pupuk organik
Pupuk organik memiliki kandungan unsur organik yang lebih banyak
dibandingkan dengan kadar haranya. Hal tersebut disebabkan karena sumber bahan
organik yang berasal dari pupuk kandang, kompos, pupuk hijau, limbah ternak, dan
berbagai sampah (Sunardikarta, 2006). Pupuk kandang padat (makro) akan memiliki
banyak kandungan unsur fosfor (P), nitrogen (N), dan kalium (K) sedangkan untuk
kandungan unsur hara mikro yang ada dalam pupuk kandang diantaranya kalsium,
magnesium, belerang, natrium, besi dan tembaga (Parnata dan Ayub 2004).
Unsur Makro Nutrisi merupakan unsur yang diperlukan tumbuhan dalam jumlah yang
relatif besar (Campbell, 2003). Ada empat makro nutrisi yang terkandung didalam
pupuk organik dengan berbagai jenis inokulum (tabel 4.1). Makro nutrisi tersebut
memiliki fungsi dan peran masing-masing. Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi
pertumbuhan tanaman, yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan
atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar.
Menurut Triwahyudi (2012), kalium mempunyai peranan sebagai katalisator yaitu
sebagai penyusun dan pembongkar karbohidrat, terutama di dalam pengubahan protein
dan asam-asam amino. Berdasarkan hal tersebut pupuk organik dengan penambahan
inokulum kotoran sapi memiliki kandungan unsur hara yang relatif lengkap. Dengan
hasil kandungan unsur makro nutrisi yang ada masing-masing N (0,38), P(2,32),
K(0,61), C-organik(6,45) dan C/N ratio (16,97).
3. Kandungan sayur kering kangkung
Menurut Edi dan Yusri (2009) kandungan gizi dan manfaat kangkung sama
seperti sayuran pada umumnya, kangkung memiliki kandungan serat yang tinggi.
Selain itu kandungan gizi pada 100 gr kangkung terdiri dari protein 3 gr, lemak 0,3 gr,
karbohidrat 5,4 gr, kalsium 73 gr, fosfor 50 gr, dll.
4. Kandungan ampas kelapa
Komposisi ampas kelapa 100% sangat mendukung proses reproduksi
dikarenakan ampas kelapa bahannya berserat dan bersifat porous sehingga memberi
kemudahan bagi cacing untuk berkopulasi dan meletakkan telurnya. Selain itu menurut
hasi analisis diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan
minyak kelapa murni yang memiliki kadar protein kasar sebesar 11,35% dengan kadar
lemak kasar 23,36% (Miskiyah, 2006).

E. Faktor yang mempengaruhi Budidaya Cacing


Menurut Lee (1985), cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai dan
berkecukupan pakan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral dan sirkulasi udara dan air
yang baik. Untuk mencapai suhu dan kelembapan media yang optimum perlu dikontrol
dengan penyiraman air. Brata (2006), menambahkan bahwa pada kondisi media yang
lembab, penyiraman tidak begitu penting dilakukan sesering mungkin. Pada kondisi
media yang kering maka penyiraman harus dilakukan sesering mungkin dalam sehari
untuk mempertahankan kondisi suhu dan kelembapan media supaya dalam kondisi
normal dan sesuai untuk kelangsungan hidup cacing. Suhu media sebaiknya tetap dijaga
o
pada kisaran 18-27 C (Razon dan Razon, 1981). Sedangkan kelembapan yang
dibutuhkan berkisar antara 50-80% (Kevin, 1979). Namun, kebutuhan suhu maupun
kelembapan media cacing tanah bervariasi diantara spesies dan daya adaptasi masing-
masing spesies cacing tanah.
1. Temperatur
Cacing tanah akan mati pada temperatur yang ekstrim. Menurut Simandjuntak
dan Waluyo (1982), suhu hangat atau sedang menyebabkan pertumbuhan cacing tanah
Lumbricus sp. berjalan dengan baik yaitu suhu antara 15-25 oC. Suhu 27,5 oC
menyebabkan cacing tanah akan berpindah ke areal yang memiliki temperatur lebih
rendah.
2. Kelembaban
Menurut Simandjuntak dan Waluyo (1982), kelembapan sangat diperlukan
untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Dan bila udara terlalu kering
akan merusak keadaan kulit. Bila kelembapan terlalu tinggi atau terlalu banyak air,
cacing tanah segera berpindah untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasi)
baik, karena cacing tanah memperoleh oksigen dari air. Kelembapan yang baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah adalah antara 15-30%. Brata (2009),
menambahkan bahwa kondisi media yang kering dapat menurunkan populasi dan
kemampuan reproduksi cacing tanah.
3. pH
Cacing tanah memiliki sistem pencernaan yang kurang sempurna, karena
sedikitnya enzim pencernaan. Karenanya cacing tanah memerlukan bantuan bakteri
untuk merubah atau memecahkan bahan makanan. Dengan adanya aktivitas bakteri
dalam makanannya, akan membantu cacing tanah untuk memecahkan protein dan
karbohidrat. Bila makanan terlalu banyak zat asam dan banyak aktivitas bakteri akan
mengakibatkan pembengkakan pada tembolok cacing tanah dan berakhir dengan
kematian. Keadaan makanan atau lingkungan terlalu basa akan mengakibatkan suatu
proses yang mirip dehidrasi pada tubuh cacing tanah, dimana cacing tanah akan
berubah warna menjadi lebih gelap dan kemudian mati (Simandjuntak dan Waluyo,
1982). Cacing tanah umumnya hidup pada media dengan pH optimum berkisar antara
6,55-7,98 (Kale dan Karmegam, 2010).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah experimental menggunakan dua tahapan penelitian.
Pada tahap 1 merupakan Pembuatan media dan peletakkan cacing tanah; 2 merupakan
tahap observasi hasil budidaya cacing tanah.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 September – 22 Oktober 2019 di
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Surabaya dan Bank sampah Universitas Negeri Surabaya.

C. Variabel Penelitian
1. Variabel Kontrol : Jenis cacing tanah, jumlah awal cacing tanah, suhu dan pH.
2. Variabel Manipulasi : Media pertumbuhan cacing
3. Variabel Respon : Perkembangan kokon, rata-rata biomassa, dan rata-rata panjang
klitellum cacing tanah

D. Definisi Operasional Variabel


1. Variabel Kontrol
Variabel kontrol merupakan variabel yang dibuat sama. Dalam hal ini ialah
jenis cacing yaitu cacing tanah (Lumbricus terrestris), dengan pada setiap media
diberikan cacing sebanyak 10 ekor, suhu menggunakan suhu ruang, dengan
kelembaban dijaga agar tetap konstan yaitu 5 dan pH tanah 7.
2. Variabel Manipulasi
Variabel manipulasi ialah variabel yang perlakuanya dibuat berbeda yaitu
media pertumbuhan atau budidaya cacing dengan variasi media 1 tanah + pupuk,
media 2 tanah + pupuk + sayur kering, dan media 3 tanah + pupuk + ampas kelapa.
3. Variabel Respon
Variabel respon ialah variabel yang diamati yaitu perkembangan kokon,
biomassa, dan panjang klitellum cacing tanah berdasarkan 3 media yang diberikan.
E. Alat dan Bahan
1. Alat
- Pot anggrek/pot tanaman ukuran kecil 6 buah
- Semprotan plastik 1 buah
- Plastik 1 kg yang dilubangi 3 buah
- Karet 3 buah
- Tali rafia 2 meter
- pH meter 1 pack
- Soil tester 1 buah
2. Bahan
- Cacing tanah besar (Sudah memiliki klitellum) 30 ekor
- Cacing kecil 30 ekor
- Tanah aerosol Secukupnya
- Pupuk sapi fermentasi Secukupnya
- Ampas kelapa Secukupnya
(ampas kelapa yang digunakan adalah ampas yang kering dan sudah tidak ada bau
kelapa atau bau basi)
- Sayuran cacah (Kering) Secukupnya
- Air Secukupnya

F. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan yaitu dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan yang
digunakan selama penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Tahap Pembuatan Media
1) Media Tanah + Pupuk
- Media dengan menggunakan pupuk sapi fermentasi,
- Kemudian dicampur tanah aerosol dengan perbandingan 2:1: (Tanah (2) :
Pupuk (1))
- Kemudian dibasahi dengan air sampai kelembaban mencapai 5 dan Ph 7,
- Lalu media dimasukkan ke dalam pot A dan B dan ditutup menggunakan
plastik yang sudah dilubangi, lalu pot diberi label.
- Kemudian didiamkan selama 1 minggu
2) Media Tanah + Pupuk + Sayur kering
- Media dengan menggunakan sayuran yang sudah dikeringkan,
- Kemudian dicampur dengan tanah aerosol dan pupuk sapi fermentasi
perbandingan 2:1:1 (Tanah (2) : Pupuk (1) : Sayuran kering (1)),
- Kemudian dibasahi dengan air sampai kelembaban mencapai 5 dan pH 7,
- Lalu media dimasukkan ke dalam pot A dan B dan ditutup menggunakan
plastik yang sudah dilubangi,lalu pot diberi label.
- Kemudian didiamkan selama 1 minggu.
3) Media Tanah + Pupuk + Ampas kelapa
- Media dengan menggunakan ampas kelapa dicuci bersih menggunakan
air,
- Kemudian dikeringkan dibawah matahari langsung dan dicuci kembali,
kemudian dikeringkan sampai 3 kali hingga bau kecut kelapanya hilang,
- Kemudian dicampur dengan tanah aerosol dan pupuk sapi fermentasi
perbandingan 2:1:1 (Tanah (2) : Pupuk (1) : Ampas (1)),
- Kemudian dibasahi dengan air sampai kelembaban mencapai 5 dan Ph 7,
- Lalu media dimasukkan ke dalam pot A dan B dan ditutup menggunakan
plastik yang sudah dilubangi, lalu pot diberi label.
- Kemudian didiamkan selama 1 minggu.
b. Tahap Meletakkan Cacing Tanah pada Media
- Setelah proses fermentasi pada media yaitu dengan cara didiamkan selama 1
minggu, tahap selanjutnya adalah meletakkan cacing pada media.
- Menimbang massa awal cacing tanah dan mengukur panjang klitellum,
- Kemudian meletakkan cacing tanah di atas permukaan media,
- Kemudian cacing tanah tersebut akan menggali liangnya sendiri dan masuk ke
dalam media. Media selanjutnya ditutup dengan plastik yang sudah dilubangi.
- Pada pot A menggunakan cacing yang sudah besar dan sudah ada
klitellumnya, dan pot B menggunakan cacing tanah yang masih kecil dan
belum memiliki klitellum.
3. Tahap Menjaga Kelembaban dan pH Media
- Menjaga kelembaban dan pH tanah media dengan menyiram media setiap hari 2
kali agar kelembaban tanah tetap konstan yaitu 5 dan pH tanah yaitu 7.
- Penelitian ini dilakukan selama 4 minggu

G. Indikator Pencapaian
Indikator pencapaian dalam penelitian ini pada kelompok A adalah perkembangan
kokon cacing tanah, dan pada kelompok B adalah perkembangan biomassa dan
pertambahan panjang klitelum cacing tanah dengan menggunakan media yang sesuai atau
media yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing

H. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ialah mengamati perkembangan kokon
pada pot A, dan pada kelompok B dilakukan proses pengukuran biomassa menggunakan
timbangan dan panjang klitellum menggunakan penggaris.

I. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data pada penelitian ini yaitu menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 4.1 Kelembapan, keasaman, dan suhu media budidaya
No Parameter lingkungan Media 1 Media 2 Media 3
1. Kelembapan 8 7 7
2. Keasaman 8 8 8
3. Suhu (⸰C) 29 30 29
Keterangan :
Media 1 : Tanah + Pupuk
Media 2 : Tanah + Pupuk + Sayur kering
Media 3 : Tanah + Pupuk + Ampas kelapa

Tabel 4.2 Hasil Perkembangan Kokon Cacing Tanah


Perkembangan Kokon
No. Waktu Pengamatan
Media A1 Media A2 Media A3
1. Awal 0 0 0
2. Akhir 0 0 19
Keterangan :
Media A1 : Tanah + Pupuk
Media A2 : Tanah + Pupuk + Sayur kering
Media A3 : Tanah + Pupuk + Ampas kelapa

Tabel 4.3 Hasil Biomassa Dan Panjang Klitellum Cacing Tanah


Media B1 Media B2 Media B3
No. Parameter
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

1. Jumlah cacing 10 0 10 0 10 10

Rata-rata
2. 0.8 0 1 0 1 1,2
Biomassa (gr)
Rata-rata Panjang
3. 0,3 0 0,3 0 0,3 0,6
Klitellum (cm)

Keterangan :
Media B1 : Tanah + Pupuk
Media B2 : Tanah + Pupuk + Sayur kering
Media B3 : Tanah + Pupuk + Ampas kelapa

B. Analisis Data
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dengan mengontrol tingkat
kelembapan, keasaman, suhu, dan mengamati selama 1 bulan, dapat diketahui pada media
B1 yaitu media dengan tanah dan pupuk pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor
dengan rata-rata massa 0,8 gr dan panjang klitellum 0,3 cm, kemudian setelah 1 bulan
pengamatan, tidak ditemukan cacing (0 ekor cacing). Pada media B2 yaitu media dengan
tanah, pupuk, dan sayur kering pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan
rata-rata massa 1 gr dan panjang klitellum 0,3 cm, kemudian setelah 1 bulan pengamatan,
tidak ditemukan cacing (0 ekor cacing). Pada media B3 yaitu media dengan tanah, pupuk,
dan ampas kelapa pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata massa
1 gr dan panjang klitellum 0,3 cm, kemudian setelah 1 bulan ditemukan 10 ekor cacing
dengan rata-rata massa 1,2 gram dan panjang klitellum 0,6 cm. Pada tabel 4.2.dapat
diketahui bahwa produksi kokon hanya terjadi pada media dengan kombinasi tanah,
pupuk kotoran sapi, dan ampas kelapa. Pada media ini ditemukan sebanyak 19 kokon.

C. Pembahasan
Cacing tanah adalah hewan hermafrodit atau biseksual (organ kelamin jantan dan
betina di dalam satu individu). Meskipun hermafrodit, cacing tanah tidak bisa melakukan
reproduksi sendirian karena tidak bisa menyatukan organ kelamin jantan dan organ
kelamin betina mereka sendiri, sehingga harus dilakukan oleh sepasang hewan. Proses
perkawinan cacing tanah dapat berlangsung beberapa jam dan akan memisahkan diri
apabila keduannya telah menerima sperma kemudian klitelium akan membentuk kokon
dan bergerak kearah mulut. Kokon yang berisi sel telur bergerak ke arah mulut dan keluar
dari tubuh cacing tanah. Menurut Minnich (1977), Kokon yang dihasilkan dari cacing
tanah akan menetas setelah berumur 7-21 hari, Cacing tanah dapat menghasilkan satu
kokon dengan rata-rata setiap kokon dapat menghasilkan empat anak cacing tanah.
Pada praktikum kokon cacing tanah hanya didapatkan pada media A3, yakni
media dengan kombinasi tanah, pupuk kotoran sapi, dan ampas kelapa. Pada media
tersebut ditemukan 19 kokon. Sedangkan pada media lainnya tidak ditemukan kokon. Hal
ini menunjukkan bahwa kombinasi media A3 merupakan media yang sesuai. Hal ini
dikarenakan ampas kelapa 100% bahannya berserat dan bersifat porous sehingga
memberi kemudahan bagi cacing untuk berkopulasi dan meletakkan telurnya. Selain itu
menurut hasil analisis diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan
minyak kelapa murni yang memiliki kadar protein kasar sebesar 11,35% dengan kadar
lemak kasar 23,36% (Miskiyah, 2006). Selain kandungan ampas kelapa, kondisi
lingkungan yang meliputi kelembapan, keasaman, dan suhu media A3 juga mendukung
reproduksi cacing tanah. Kelembapan media adalah 7/10 pada skala alat ukur atai dapat
dikonversi 70%. Kelembapan ini masih dalam kisaran antara yang disarankan yakni 50-
80% (Kevin, 1979). Tingkat keasaman media juga masih dalam kisaran yang optimum
untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing, yakni 7, dengan kisaran yang disarankan
Kale dan Karmegam (2010) antara 6,55-7,98, meskipun suhu media 29⸰C, sedangkan
suhu maksimal untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah adalah 27⸰C
(Waluyo, 1982).
Kondisi pada media A3 berbeda dengan media A2 (tanah+pupuk+sayur kering)
dan A1 (tanah+pupuk). Tidakadanya kokon pada media A2 dikarenakan kandungan gizi
dan manfaat kangkung sama seperti sayuran pada umumnya, kangkung memiliki
kandungan serat yang tinggi. Selain itu kandungan gizi pada 100 gr kangkung terdiri dari
protein 3 gr (lebih rendah dari ampas kelapa), lemak 0,3 gr (lebih rendah dari ampas
kelapa), karbohidrat 5,4 gr, kalsium 73 gr, fosfor 50 gr, dll (Edi dan Yusri, 2009), serta
suhu yang terlalu tinggi, yakni 30⸰C. Pada media A1, dengan media hanya tanah dan
pupuk sapi. Hal ini dikarenakn pupuk kandang padat (makro) hanya banyak kandungan
unsur fosfor (P), nitrogen (N), dan kalium (K) sedangkan untuk kandungan unsur hara
mikro yang ada dalam pupuk kandang diantaranya kalsium, magnesium, belerang,
natrium, besi dan tembaga (Parnata dan Ayub 2004). Pupuk kendang minim kandungan
organik seperti protein dan lemak.
Menurut Barret (1959), cacing tanah melakukan aktivitasnya di daerah permukaan
yaitu di bawah vegetasi yang membusuk, kotoran hewan dan bahan-bahan yang
membusuk lainnya. Cacing tanah menyukai makanan yang ada di permukaan tanah.
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pada media B1 yaitu media dengan tanah dan
pupuk pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata massa 0,8 gr dan
panjang klitellum 0,3 cm. Kemudian diamati 1 bulan dengan mengontrol suhu, pH, dan
kelembaban menghasilkan 0 ekor cacing. Dan pada media B2 yaitu media dengan tanah,
pupuk, dan sayur kering pada awalnya ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata
massa 1 gr dan panjang klitellum 0,5 cm, kemudian diamati 1 bulan dengan mengontrol
suhu, pH, dan kelembaban menghasilkan 0 ekor cacing. Dalam hal ini ketiadaan cacing di
media B1 dan B2 disebabkan oleh beberapa factor. Menurut Palungkun (2010) Cacing
tanah sangat menyukai bahan organik yang sedang membusuk, baik yang berasal dari
hewan maupun dari tumbuhan. Sejalan dengan pendapat Sihombing (2002) menyatakan
bahwa kotoran binatang adalah habitat utama cacing tanah dan hampir sempurna sebagai
makanan maupun sarang. Penggunaan kotoran binatang 100% merupakan media
reproduksi untuk merangsang produksi kokon agar populasi cacing menjadi lebih banyak
(Palungkun 1999). Kotoran hewan merupakan sumber kompos yang sangat penting
karena kandungan unsur haranya sangat tinggi.
Pakan yang tidak ditambahkan dapat mengakibatkan cacing hanya memanfaatkan
ketersediaan bahan organik yang ada di tanah sebagai media hidup sekaligus sumber
makanannya. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dari cacing
tidak maksimal. Menurut Yuliprianto (2010), berkurangnya bahan organik tanah
menandakan sedikitnya persediaan pakan cacing tanah sehingga untuk jangka panjang
akan menyebabkan cacing tanah meninggalkan media atau bahkan dapat mengalami
kematian. Selain itu, penurunan tinggi permukaan media yang lebih besar dapat
disebabkan oleh perbedaan kepadatan media di dalam pot. Perbedaan kepadatan media
diduga dapat mempengaruhi aktivitas dari cacing tanah. Struktur media yang lebih padat
dapat mengakibatkan cacing tanah bergerak lambat (Ilyas, 2009).
Selain itu kadungan sayuran kering pada media B2 juga kurang mendukung
pertumbuhan cacing. Menurut Edi dan Yusri (2009) kandungan gizi dan manfaat sayur
kering kangkung sama seperti sayuran pada umumnya, kangkung memiliki kandungan
serat yang tinggi. Selain itu kandungan gizi pada 100 gr kangkung terdiri dari protein 3
gr, lemak 0,3 gr, karbohidrat 5,4 gr, kalsium 73 gr, fosfor 50 gr, dll. Dalam hal ini
kandungan nutrisi pada media dan makanan sangat berpengaruh pada peningkatan
pertumbuhan cacing tanah. Kandungan protein yang rendah akan dapat menghambat
pertumbuhan cacing. Menurut Palungkun (1999) kandungan protein yang baik untuk
cacing tanah berkisar 9-15%. Menurut Rukmana (1999) dalam Resnawati (2002)
mengatakan bahwa limbah organik yang kaya protein akan direspon lebih cepat oleh
cacing tanah. Diketahui bahwa protein yang tekandung dalam pakan digunakan sebagai
sumber energi dalam tubuh yang dibutuhkan untuk proses pembentukan protein-protein
dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menjadi cadangan energi bagi hewan tersebut,
sehingga protein merupakan zat makanan yang lebih penting untuk pertumbuhan
termasuk pertambahan bobot serta panjang klitellum (Masrurotun, 2014). Susetyarini
(2007) mengungkapkan bahan pakan untuk reproduksi harus banyak mengandung protein
dikarenakan kandungan asam amino dalam protein sangat dibutuhkan dalam
pembentukan gamet jantan dan gamet betina pada cacing. Menurut Subandiyas dan
Hastuti (2010) peran utama protein adalah menyediakan nutrisi bagi tubuh, menyediakan
asam amino dan memenuhi kebutuhan protein fungsional (hormone dan enzim) serta
protein yang tinggi akan mempercepat pematangan sel-sel reproduksi cacing tanah.
Pada media B3 yaitu media dengan tanah, pupuk, dan ampas kelapa pada awalnya
ditanami cacing sebanyak 10 ekor dengan rata-rata massa 1 gr dan panjang klitellum 0,3
cm, kemudian diamati 1 bulan dengan mengontrol suhu, pH, dan kelembaban tetap
menghasilkan 10 ekor cacing dengan rata-rata massa 1,2 gram dan panjang klitellum 0,6
cm. Dalam hal ini media B3 merupakan media yang efektif dalam pertumbuhan cacing
tanah.
Komposisi ampas kelapa 100% sangat mendukung proses reproduksi dikarenakan
ampas kelapa bahannya berserat dan bersifat porous sehingga memberi kemudahan bagi
cacing untuk berkopulasi dan meletakkan telurnya. Selain itu menurut hasi analisis
diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan minyak kelapa murni
yang memiliki kadar protein kasar sebesar 11,35% dengan kadar lemak kasar 23,36%
(Miskiyah, 2006). Kandungan protein pada ampas kelapa dapat meningkatkan
pertumbuhan cacing tanah, hal ini sejalan dengan pendapat Palungkun (1999) kandungan
protein yang baik untuk cacing tanah berkisar 9-15%. Serta menurut Rukmana (1999)
menyatakan bahwa limbah organic yang kaya protein akan direspon lebih cepat oleh
cacing, bahan ampas kelapa juga tidak mengandung zat bau yang kurang disukai oleh
cacing.
Keberhasilan budidaya cacing juga ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan
yaitu pH, kelembaban, suhu, intensitas cahaya dan sirkulasi udara. Menurut Edwards dan
Lofty (1977), cacing tanah sangat sensitif terhadap konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH
tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah dan spesies cacing tanah. Media yang
terlalu asam (pH rendah) akan mengakibatkan kerusakan pada tembolok, dormansi,
diapause, keracunan, konvulsi, paralisis dan akhirnya mengalami kematian. sedangkan,
keadaan makanan atau lingkungan terlalu basa akan mengakibatkan suatu proses yang
mirip dehidrasi pada tubuh cacing tanah, dimana cacing tanah akan berubah warna
menjadi lebih gelap dan kemudian mati (Simandjuntak dan Waluyo, 1982). Cacing tanah
umumnya hidup pada media dengan pH optimum berkisar antara 6,55-7,98 (Kale dan
Karmegam, 2010).
Menurut Simandjuntak dan Waluyo (1982), kelembapan sangat diperlukan untuk
menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Dan bila udara terlalu kering akan
merusak keadaan kulit. Bila kelembapan terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing
tanah segera berpindah untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasi) baik,
karena cacing tanah memperoleh oksigen dari air. Kelembapan yang baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah adalah antara 15-30%. Brata (2009),
menambahkan bahwa kondisi media yang kering dapat menurunkan populasi dan
kemampuan reproduksi cacing tanah. Cacing tanah akan mati pada temperatur yang
ekstrim.
Menurut Simandjuntak dan Waluyo (1982), suhu hangat atau sedang
menyebabkan pertumbuhan cacing tanah Lumbricus sp. berjalan dengan baik yaitu suhu
antara 15-25oC. Suhu 27,5oC menyebabkan cacing tanah akan berpindah ke areal yang
memiliki temperatur lebih rendah. Pada kondisi media yang kering terutama pada daerah
Surabaya, maka penyiraman harus dilakukan sesering mungkin dalam sehari untuk
mempertahankan kondisi suhu dan kelembapan media supaya dalam kondisi normal dan
sesuai untuk kelangsungan hidup cacing. Suhu media sebaiknya tetap dijaga pada kisaran
18-27oC (Razon dan Razon, 1981). Sedangkan kelembapan yang dibutuhkan berkisar
antara 50-80% (Kevin, 1979).
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa berbagai
kombinasi media pertumbuhan cacing seperti media tanah + pupuk, tanah + pupuk +
sayur kering, dan tanah + pupuk + ampas kelapa berpengaruh terhadap pertumbuhan
cacing tanah dengan indikator pertambahan biomassa dan pertambahan panjang klitellum,
dan berpengaruh pada aktivitas reproduksi, yang ditandai dengan jumlah kokon yang
dihasilkan. Media yang paling bagus berdasarkan hasil penelitian ialah media
pertumbuhan tanah + pupuk + ampas kelapa, yang ditunjukkan oleh adanya kokon dan
penambahan panjang klitellum dan bimassa cacing tanah.

B. Saran
Sebaiknya selama melakukan observasi tetap melakukan pengukuran suhu,
kelemapan dan Ph, agar hasil yang didapatkan dapat ditunjang data tiap hari. Selain itu,
juga diperlukan pencatatan pada jurnal pada setiap pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti DN. 2001. Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
dalam Media Kotoran Sapi yang Mengandung Tepung Darah. Skripsi. ITB: Fakultas
Kedokteran Hewan.
Aziz A. 2015. Budidaya Cacing Tanah Unggul Ala Adam Cacing. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Barnes RD. 1984. Invertebrata Zoology. London: W. B. Sounder Company Toppan Company.
Barret TJ. 1959. Harnessing the Earthworm. California: Wegwood Press.
Brata B. 2006. “Petumbuhan Tiga Spesies Cacing Tanah Akibat Penyiraman Air dan
Pengapuran yang Berbeda”. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 8 (1): hal.
69-75.
Brata B. 2009. Cacing Tanah: Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan
Perkembangbiakan. Bogor: IPB Press.
Budiyanto, Krisno. 2011. “Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya Mendukung
Pertanian Organik di Desa Sumbersari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
Jurnal GAMMA 7 (1) 42-49.
Catalan GI. 1981. Earthworms a New-Resource of Protein. Philippine Earthworm Center,
Philippines.
Edwards CA dan Lofty JR. 1972. Biology of Earthworm. New York.
Febrita E, Darmadi, dan Siswanto E. 2015. “Pertumbuhan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
dengan Pemberian Pakan Buatan untuk Mendukung Proses Pembelajaran pada
Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Invertebrata”. Jurnal Biogenesis. Vol. 11
(2): hal. 169-176.
Hanafiah KA, Napoleon A, dan Ghoffar N. 2010. Biologi Tanah: Ekologi dan Makrobiologi
Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hardiwinoto S, Rahayu N, Agus C, Nurjanto HH, Widiyatno, dan Supriyo H. 2005. “Peranan
Bahan Organik Ber-nisbah C/N Rendah dan Cacing Tanah untuk Mendekomposisi
Limbah Kulit Kayu Gmelina arborea”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol. 12 (3):
hal. 159-171.
Haryono. 2003. Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa dan Ampas Tahu sebagai Media Pakan
Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Prosiding Temu Teknis Fungsional Non
Peneliti. Balai Penelitian Ternak: Bogor.
Hayati. 2011. Peningkatan kadar N, P, K tersedia serta kenaikan pH akibat keberadaan cacing
tanah (P.heretima sp) pada tanah utilisol. Jurnal Pengembang Wilayah Lahan Kering.
Hal 14: 1-10.
Huda, Sholihul dan Wikanta, Wiwik. 2017. “Pemanfaatan Limbah Kotoran Sapi Menjadi
Pupuk Organik Sebagai Upaya Mendukung Usaha Peternakan Sapi Potong di
Kelompok Tani Ternak Mandiri Jaya Desa Moropelang Kec. Babat Kab. Lamongan”.
Axiologiya. Vol.1, no. 1. (online). http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/Axiologiya/article/view/303, diakses pada 13 November
2019.
Husamah. 2014. Ekologi Hewan: Pengayaan Ekologi Collembola Tanah di DAS Brantas
Hulu Kota Batu. Malang: Pascasarjana Pendidikan Biologi UM dan Pendidikan
Biologi FKIP UMM.
Ilyas M. 2009. Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling (Dalbergia latifolia)
Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretima sp, Eisenia foetida, dan
Lumbricus rubellus). Thesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Indriani. 1999. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kale RD dan Karmegam N. 2010. The Role of Earth-worms in Tropics with Emphasis on
Indian Ecosystem. Applied and Environmental Soil Science (Article ID 414356) 16
pages. Doi: 10.1155/2010/414356.
Kevin H. 1979. Earthworm for Gardenes and Fisherman. Discovery Soil No. 5. CSIRO
Division of Soil.
Lee KE. 1985. Earthworm Their Ecology and Relationship with Soila and Land Use. CSIRO
Division of Soil Adelaide. Sydney: Academic Press (Harcourt Brace Jovanovich
Publishers).
Masrurotun, Suminto, J. Hutabarat. 2014. Pengaruh penambahan kotoran ayam, silase ikan
rucah dan tepung tapioka dalam media kultur terhadap biomassa, populasi dan
kandungan nutrisi cacing sutera (Tubifex sp.).Jurnal of Aquaculture Management and
Technology, 3(4): 151-157.
Minnich J. 1977. The Earthworms Book. USA: Rodale Press Emmaus, P. A.
Palungkun R. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Razon CA dan Razon BE. 1981. How to Raise Red Earthworm Profitably. Bereu of Animal
Industry, Philippines.
Roslim DI, Nastiti DS, dan Herman. 2013. “Karakter Morfologi dan Pertumbuhan Tiga Jenis
Cacing Tanah Lokal Pekanbaru pada Dua Macam Media Pertumbuhan”.
Biosaintifika. Vol. 5 (1): hal. 1-9.
S, Wibowo. 2015. Hubungan Ccaing Tanah dengan Kondisi Fisik, Kimia, dan Mikrobiologis
Tanah Masam Ultisol di Daerah Lampung Utara. Jurnal AGRI PEAT. Volume 16 (1).
Hlm 45-55.
Simandjuntak AK dan Waluyo. 1982. Cacing Tanah, Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta:
Swadaya.
Subowo G. 2008. “Prospek Cacing Tanah untuk Pengembangan Teknologi Resapan Biologi di
Lahan Kering”. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 27 (4): hal. 146-150.
Sutedjo, M. M. (2002). Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta
Tang UM. 2002. Pengetahuan Pakan dan Gizi Pakan. Pekanbaru: Unri Press.
Wulandari M dan Handarsari E. 2010. “Pengaruh Penambahan Bekatul terhadap Kadar
Protein dan Sifat Organoleptik Biskuit”. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 1 (2): hal. 55-
62.
Wirosoedarmo, et.al. 2019. “Pengaruh Pemberian Media Berbahan Limbah Kotoran Sapi dan
Blotong Tebu Terhadap Bobot dan Kadar Protein Cacing African Night Crawler
(Eudrilus eugenia)”. Jurnal Sumber daya Alam dan Lingkungan. Vol. 6, no.1.
(online) https://jsal.ub.ac.id/index.php/jsal/article/view/300/294, diakses pada 13
November 2019.
Yuliprianto H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yunitasari, et.al, 2015. “Pengaruh Pemberian Limbah Organik Kantin terhadap Pertumbuhan
Cacing Tanah (Lumbricusrubellus) dengan Media Sampah Daun Sekitar Kampus
Universitas Brawijaya”. Jurnal Sumber daya Alam dan Lingkungan. Vol. 2 no. 3.
(online) https://jsal.ub.ac.id/index.php/jsal/article/view/241, diakses pada 13
november 2019. .
LAMPIRAN

No. Gambar Keterangan

1 Persiapan Alat dan


Bahan

2 Menimbang Setiap
Bahan
3 Proses Pencampuran
Bahan Media,
meliputi : Sayur
kering, pupuk
kandang dan tanah

4 Penambahan Air

5 Pengukuran Suhu,
Kelembaban dan pH
pada Media
6 Pencampuran Bahan
Media, meliputi :
ampas parutan kelapa,
pupuk kandang dan
tanah

7 Penambahan Air

8 Pengukuran Suhu,
Kelembaban, pH dan
pada Media
9 Penimbangan Media
dan Peletakan Media
pada Pot

10. Hasil akhir budidaya


cacing pada media A1
 0 ekor dan tidak
terdapat kokon

11. Hasil akhir budidaya


cacing pada media A2
 0 ekor dan tidak
terdapat kokon
12. Hasil akhir budidaya
cacing pada media A3
 3 ekor dan tidak
terdapat kokon

13. Hasil akhir budidaya


cacing pada media B1
 0 ekor cacing

14. Hasil akhir budidaya


cacing pada media B2
 0 ekor

15. Hasil akhir budidaya


cacing pada media B3
 10 ekor

Serta hasil ditinjau


dari segi biomassa dan
panjang klitelum

Anda mungkin juga menyukai