Anda di halaman 1dari 52

PENERAPAN EKOLOGI INDUSTRI

POTENSI INDUSTRI KARET ALAM DALAM MENCIPTAKAN


PROSES TERPADU BERKONSEP EKOLOGI INDUSTRI

OLEH:

RIVALDI SIDABUTAR / 177022014

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Halimatuddahliana, S.T, M.Sc

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Makalah Tugas Ekologi Industri dengan Judul ”Potensi Industri
Karet Alam dalam Menciptakan Proses Terpadu Berkonsep Ekologi Industri“ dengan sebaik-
baiknya dan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai upaya untuk mengetahui,
mengerti dan mampu menerapkan sistem ekologi industri yang saling terintegrasi dalam upaya
mencapai integrasi industri dan penerapan zero waste serta untuk memenuhi tugas yang telah
ada pada pelaksanaan perkuliahan.
Penulisan makalah ini didasarkan pada instruksi dari dosen pembimbing yang telah
dilakukan selama perkuliahan serta literatur-literatur yang ada baik dari buku maupun sumber
lainnya.
1. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik materil maupun spiritual.
2. Dosen Pembimbing mata Kuliah Ekologi Industri, Ibu Prof. Dr. Halimatuddahliana,
S.T, M.Sc.
6. Rekan-rekan mahasiswa seangkatan yang sudah berkontribusi dalam penulisan makalah
ini.
Demikian makalah ini dibuat oleh penulis. Namun demikian penulis menyadari bahwa
makalah ini belum sempurna dan masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca khususnya dosen pembimbing untuk
peningkatan mutu makalah selanjutnya di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhirnya, penulis mengucapkan
terima kasih.

Medan, Juni 2019


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Manfaat 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Pengenalan Tanaman karet 3
2.2 Sejarah Tanaman Karet 4
2.3 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Karet 4
2.4 Pola Penyebaran Tanaman karet 5
2.5 Pemanfaatan Tanaman Karet 8
2.6 Peluang Industri Karet Menjadi Industri Terpadu 10
BAB III METODE PENGOLAHAN 12
3.1 Kayu 12
3.2 Daun 13
3.3 Biji dan Bungkil 13
3.4 Lateks 15
BAB IV PROSES DAN NERACA MASSA 16
4.1 Pengolahan Biji Karet menjadi Biodiesel 16
4.2 Pengolahan Crumb Rubber 19
4.3 Pengolahan Batang Karet menjadi Plywood 25
4.4 Pengolahan Daun Tanaman Karet menjadi Kompos 28
4.5 Pengolahan Bungkil Biji Karet menjadi Tanaman Karet 32
4.6 Pemanfaatan Limbah Lumpur Aktif pada WWTP menjadi 33
Adsorben
4.7 Pengolahan Crumb Rubber menjadi Produk Ban 34
4.8 Pengolahan Lateks Alam menjadi Sarung Tangan 37
4.9 Utilitas/Energi Pabrik (Boiler) 41
4.10 Perhitungan Neraca Ekonomi 43
BAB V KESIMPULAN 47
5.1 Kesimpulan 47
DAFTAR PUSTAKA 48
ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara produsen karet alam terbesar ke dua di dunia setelah
Thailand, padahal luas areal kebun karet Indonesia terluas di dunia (+ 3,4 juta hektar
pada tahun 2010). Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting
peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja bagi sekitar 1,4 juta
kepala keluarga (KK), komoditas ini juga memberikan kontribusi yang signifikan
sebagai salah satu sumber devisa non-migas, pemasok bahan baku karet dan berperan
penting dalam mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah
pengembangan karet.

(http://regionalinvestment.com)

Gambar 1.1 Peta Sebaran Karet Di Indonesia

Tanaman karet banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pulau


Sumatera, dan juga di pulau lain yang diusahakan baik oleh perkebunan negara, swasta
maupun rakyat. Sejumlah areal di Indonesia memiliki keadaan yang cocok
dimanfaatkan untuk perkebunan karet yang kebanyakan terdapat di Sumatera dan
beberapa ada di Jawa. Perkebunan karet di pulau Sumatera meliputi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala yang lebih kecil
perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.

1
Melihat perkembangan serta prospek usaha karet yang cukup menjanjikan
diperlukan juga proses yang berbasis dengan ekologi agar tercipta proses terpadu dari
tanaman karet sampai kepada produk hasilnya. Maka dari itu makalah ini membahas
mengenai potensi dari Industri karet alam untuk dijadikan unit industri yang terpadu
dengan dasar konsep ekologi industri agar tercipta proses yang zero emission dan zero
waste.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mendapatkan rancangan


proses dari industri karet alam yang berkonsep ekologi industri dengan manfaat
memberi informasi bahwa industri karet alam sangat berpotensi untuk dijadikan proses
terpadu yang diharapkan dapat diterapkan pada real industri.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan Tanaman Karet


Tanaman karet (Havea brasiliensis) berasal dari negara Brazil. Tanaman karet
merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon
dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki
percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah
tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah
yang dikenal dengan nama lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Tanaman ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Jauh sebelum
tanaman karet ini dibudidayakan, penduduk asli diberbagai tempat seperti: Amerika
Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan
getah. Getah yang mirip lateks juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelastica
(family moraceae). Sekarang tanaman tersebut kurang dimanfaatkan lagi getahnya
karena tanaman karet telah dikenal secara luas dan banyak dibudidayakan. Sebagai
penghasil lateks tanaman karet dapat dikatakan satu-satunya tanaman yang dikebunkan
secara besar-besaran (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Gambar 2.1 Bentuk pohon, daun, buah, biji dan kulit batang dari Hevea brasiliensis

3
2.2 Sejarah Tanaman Karet

Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia


yang pada waktu itu masih jajahan belanda. Mula-mula karet ditanam di kebun raya
bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi, karet selanjutnya dikembangkan
ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil. Daerah yang pertama kali
digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem,
Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah
species Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Havea brasiliensis baru ditanam
di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. (Tim Penebar
Swadaya, 2008).
Akibat peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, maka
pemerintahan Nedherland Indies menawarkan peluang penanaman modal bagi investor
luar. Perusahaan Belanda–Amerika, Holland Amerikaance Plantage Matschappij
(HAPM) pada tahun 1910-1911 ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan
karet di Sumatera. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat
tersedianya transportasi yang memadai. Para investor asing dalam mengelola
perkebunan mengerahkan biaya, teknik budidaya yang ilmiah dan modern, serta teknik
pemasaran yang modern. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring dengan naiknya
permintaan karet dunia dan kenaikkan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang
dibukanya perkebunan karet antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif
mudah. Pada masa itu, penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam
padi. Jika tanah yang diolah kurang subur, mereka pindah mencari lahan baru. Namun,
mereka tetap memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga
dapat dipanen. (Setiawan dan Handoko, 2005).

2.3 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Karet


Dalam genus Havea, hanya species Havea brasiliensis Muell Arg. Yang dapat
menghasilkan lateks unggul, dimana sebanyak 90 % karet alam dihasilkan oleh spesies
tersebut. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh
lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada beberapa
kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara.

4
Struktur botani tanaman karet ialah tersusun sebagai berikut (APP,2008) :
 Divisi : Spermatophyta
 Subdivisi : Angiospermae
 Kelas : Dicotyledonae
 Ordo : Euphorbiales
 Famili : Euphorbiaceae
 Genus : Hevea
 Spesies : Havea brasiliensis
Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun
karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun
utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat
kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak
daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing, tepinya rata dan gundul.
Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang
enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnaya
coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat
dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang
batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Karet merupakan tanaman berbuah polong (diselaputi kulit yang keras) yang
sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh
kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap
kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah
menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan jatuh,
bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas dua sampai empat kotak
biji. Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji.
Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur lima tahun dan akan semakin
banyak setiap pertambahan umur tanaman (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

2.4 Pola Penyebaran Tanaman Karet di Indonesia


Tanaman karet banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pulau
Sumatera, dan juga di pulau lain yang diusahakan baik oleh perkebunan negara, swasta
maupun rakyat. Sejumlah areal di Indonesia memiliki keadaan yang cocok
dimanfaatkan untuk perkebunan karet yang kebanyakan terdapat di Sumatera dan

5
beberapa ada di Jawa. Perkebunan karet di pulau Sumatera meliputi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala yang lebih kecil
perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
Terdapat 3 jenis perkebunan karet yang ada di Indonesia, yaitu Perkebunan
Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) da Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Dari ketiga jenis perkebunan tersebut, PR mendominasi dari luas lahan yang mencapai
2,84 juta hektar atau sekitar 85% dari lahan perkebunan karet. Dengan sedemikian
luasnya perkebunan karet yang dikelola rakyat, keterkaitan penyerapan tenaga kerja
dan sebagai sumber pendapatan rakyat diharapkan dapat ditingkatkan dengan
pengelolaan yang terpadu. Perkebunan besar diharapkan dapat menjalin program
kemitraan dengan petani agar nilai tambah dari pengelolaan perkebunan rakyat dapat
optimal diantaranya dengan kemitraan di bidang pemasaran, pembinaan produksi
hingga pembiayaan yang berkesinambungan (Parhusip, 2008).
Tabel 2.1 Luas Perkebunan Karet Indonesia (ribu Ha)

Salah satu langkah yang dapat mendorong peningkatan produksi perkebunan


karet adalah peremajaan lahan karet yang sebagian besar telah memasuki tahapan tidak
produktif (tanaman berusia di atas 20 tahun) di samping tetap melakukan perluasan
lahan. Strategi peremajaan lahan karet dinilai cukup baik dengan luas lahan karet saat
ini mencapai 3,4 juta hektar sehingga apabila lahan tersebut dioptimalkan melalui
peremajaan diharapkan tingkat produksi akan meningkat sekitar 20-30 % (Parhusip,
2008).

Menurut Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) saat ini pusat
perkebunan karet terletak di propinsi Sumatera Utara (456.983 ha), propinsi Riau
(369.911 ha), propinsi Kalimantan Barat (379.038 ha) dan propinsi Sumatera Selatan
(648.754 ha)

6
Tabel 2.2 Luas Lahan dan Produktivitas Karet (Data Tahun 2006)
No Provinsi Luas (Ha) Produktivitas (Ton)
1 Bali 95 180
2 Bangka Belitung 28.845 19.151
3 Banten 23.507 11.005
4 Bengkulu 71.334 49.980
5 Irian Barat 34 25
6 Jambi 636.907 292.653
7 Jawa Barat 52.336 57.572
8 Jawa Tengah 30.315 29.419
9 Jawa Timur 25.180 23.965
10 Kalimantan Barat 379.038 256.751
11 Kalimantan Selatan 129.946 104.216
12 Kalimantan Tengah 255.657 189.372
13 Kalimantan Timur 58.105 24.465
14 Kepulauan Riau 30.929 21.296
15 Lampung 81.466 68.366
16 NAD 117.711 83.368
17 Papua 4.619 1.573
18 Riau 369.911 350.808
19 Sulawesi Barat 1.209 1.263
20 Sulawesi Selatan 19.475 7.979
21 Sulawesi Tengah 3.160 3.567
22 Sumatera Barat 124.256 90.468
23 Sumatera Selatan 648.754 517.799
24 Sumatera Utara 456.983 427.872

(http://regionalinvestment.com)
Menurut data statistik perkebunan Indonesia yang diterbitkan oleh Ditjen
perkebunan tahun 2007, hanya ada 9 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia yang tidak
ditemui tanaman karet yaitu DKI-Jakarta, NTB, NTT, SULUT, Gorontalo, SULTRA,
Maluku dan Maluku Utara.

7
2.5 Pemanfaatan Tanaman Karet

Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual/diperdagangkan
oleh masyarakat berupa latek segar, slab/koagulasi ataupun sit asap/sit angin.
Selajutnya produk tersebut sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah
yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir. Karet digunakan untuk
mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet
seperti aneka ban kendaraan, conveyor belt, penggerak mesin, sepatu karet, sabuk,
penggerak mesin, pipa karet dan sebagai isolator kabel. Bahan baku karet juga banyak
digunakan untuk membuat perlengkapan seperti sekat atau tahanan alat-alat
penghubung dan penahan getaran misalnya shock absorbers. Karet juga bisa digunakan
untuk tahanan dudukan mesin, dipakai sebagai lapisan karet pada pintu, kaca, dan pada
alat-alat lain sehingga terpasang kuat dan tahan getar serta tidak tembus air.

Gambar 2.2 Lateks dari Pohon Karet


Untuk mengantisipasi kekurangan karet alam yang akan terjadi, diperlukan
suatu inovasi baru dari hasil industri karet dengan mengembangkan nilai tambah yang
bisa di peroleh dari produk karet itu sendiri. Nilai tambah produk karet dapat diperoleh
melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku
industri kayu. Menunjuk dari pohon industri berbasis karet. Terlihat bahwa cukup
banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari karet, namun sampai saat ini potensi
kayu karet tua belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan kayu karet
merupakan peluang baru untuk meningkatkan margin keuntungan dalam industri karet.
Kayu karet yang dapat berasal dari kegiatan rehabilitasi kebun ataupun
peremajaan kebun karet tua/tidak menghasilkan lateks lagi. Umumnya kayu karet yang
diperjual belikan adalah dari peremajaan kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan
penanaman karet baru lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan
rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture).

8
Kayu karet sebenarnya juga banyak diminati oleh konsumen baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, karena warnanya yang cerah dan coraknya seperti kayu ramin. Di
samping itu, kayu karet juga merupakan salah satu kayu tropis yang memenuhi
persyaratan ekolabeling karena komoditi ini dibudidayakan (renewable) dengan
kegunaan yang cukup luas, yaitu sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, particle
board, parquet, MDF (Medium Density Fibreboard) dan lain sebagainya.
(www.depperin.go.id)
Pemanfaatan kayu karet dari kegiatan peremajaan kebun karet tua dapat
dilaksanakan bersamaan atau terkait dengan program penanaman tanaman hutan seperti
sengon atau akasia sebagai bahan pulp/pembuat kertas. Areal tanam menggunakan
lahan kebun yang diremajakan dan atau lahan‐lahan milik petani serta lahan‐lahan kritis
sekitar pemukiman.
Maka adapun Pohon Industri Karet yang ada saat ini adalah seperti pada gambar
berikut ini :

Gambar 2.3 Pohon Industri Karet Alam saat ini

Hasil samping lain dari perkebunan karet yang selama ini kurang dimanfaatkan
dan nyaris terbuang adalah biji karet. Dilihat dari komposisi kimianya ternyata
kandungan protein biji karet 27 % dari setiap 100 gram bahan. Selain kandungan
proteinnya cukup tinggi, pola asam amino biji karet juga sangat baik. Semua asam

9
amino essensial yang dibutuhkan tubuh terkandung didalammya. Agar biji karet dapat
dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat.

Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada teknologi
dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk industri
karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah. Status
industri karet Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah menjadi pemasok
barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah lebih tinggi dengan melakukan
pengeolahan lebih lanjut dari hasil karet. Kesemuanya ini memerlukan dukungan
teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal ini telah memiliki
lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di
bidang perkaretan (www.depperin.go.id)

2.6 Peluang Industri Karet menjadi Industri Terpadu

Berdasarakan pohon industri karet pada Gambar 2.3 sistem dari industri karet
yang ada saat ini masih dalam sistem tertutup yang artinya tidak ada penggunaan dari
hasil tanaman karet yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pengolahan
karet tersebut.
Hasil samping lain dari perkebunan karet yang selama ini kurang dimanfaatkan
dan nyaris terbuang adalah biji karet. Dilihat dari komposisi kimianya ternyata
kandungan protein biji karet 27 % dari setiap 100 gram bahan. Selain kandungan
proteinnya cukup tinggi, pola asam amino biji karet juga sangat baik. Semua asam
amino essensial yang dibutuhkan tubuh terkandung didalammya. Agar biji karet dapat
dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat.
Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada
teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya.
Produk industri karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa
berubah. Status industri karet Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah
menjadi pemasok barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah lebih tinggi
dengan melakukan pengeolahan lebih lanjut dari hasil karet. Kesemuanya ini
memerlukan dukungan teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal

10
ini telah memiliki lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan inovasi di bidang perkaretan (www.depperin.go.id)
Pemilihan tanaman karet (biji karet) sebagai bahan baku biodiesel juga
dikarenakan ketersediaan bahan bakunya yang melimpah di Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara yang mempunyai areal perkebunan karet yang luas,
dimana selain dari perkebunan karet inilah selain menghasilkan getah (lateks), juga
menghasilkan biji karet yang merupakan hasil samping yang belum termanfaaatkan
secara optimal. Selama ini biji karet tidak dimanfaatkan dan hanya dibuang. Padahal
satu pohon karet bisa menghasilkan seribu biji atau sekitar 3,5 Kg. Dari jumlah itu,
yang digunakan untuk pembenihan hanya 10 persen saja, selebihnya tidak
dimanfaatkan. Di Indonesia sendiri, perkebunan karet tersebar dimana-mana. Bisa
dibayangkan kalau luasnya berhektar-hektar, berapa bahan baku biji karet yang
tersedia. Harganya, tentu saja murah karena biji karet selama ini hanya dianggap
sebagai limbah. Rendemen minyak biji karet (kering) yaitu 40-50% (Biodiesel.
Encyclopedia. Columbia University Press. 2004) dan mempunyai prospek sangat bagus
karena tidak akan mengurangi komsumsi pangan.

11
BAB III
METODE PENGOLAHAN

Beberapa hasil dari tanaman karet yang dapat diolah antara lain yaitu daun dan
ranting pohon biji karet, kayu pohon karet, biji karet, serta komoditas utamanya yaitu
biji karet. Untuk merancang sistem industri menjadi tertutup maka perlu diketahui
masing-masing pengolahan dari hasil tanaman karet.

3.1 Kayu

Kayu karet yang berwarna cerah keputihan mempunyai prospek untuk


pengganti kayu dari hutan alam. Produk kayu yang berwarna khas putih kekuningan
seperti kayu ramin ini banyak dikonsumsi negara-negara seperti Singapura, Jepang,
China, Taiwan, dan Amerika Latin dalam bentuk furniture, papan partikel, parquet
flooring, moulding, laminating, dan pulp.

Gambar 3.1 Kayu Karet

Perkembangan teknologi pengolahan kayu saat ini menjadikan pemanfaatan


kayu karet sebagai bahan baku industri tidak lagi hanya terbatas untuk kayu
pertukangan, tetapi kayu-kayu yang berukuran lebih kecilpun dapat diproses di pabrik
Medium Density Fiber (MDF) menjadi bubur kayu untuk kemudian menghasilkan
produk akhir dalam bentuk particle board, fibre board, pulp, dan kertas. Seluruh bagian
kayu termasuk cabang dan ranting sudah dapat dimanfaatkan.Sebagian besar kebun
karet dimiliki oleh masyarakat.

12
3.2 Daun
Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning
atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal“ kerontokan daun pada setiap
musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah karena daun – daun
karet berubah warna dan jatuh berguguran dalam kuantitas yang banyak. Adapun
dedaunan dari pohon karet ini dapat diolah menjadi kompos yang secara langsung dapat
digunakan untuk menyuburkan lahan tanaman karet (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Gambar 3.2 Musim rontok tanaman karet

3.3 Biji Karet dan Bungkil


Pemanfaatan biji karet yang ada pada saat ini sudah cukup memiliki banyak
ragam, namun pengolahannya masih jauh dari skala yang diharapkan. Bungkil dan Biji
karet dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, dan khusus untuk biji karet dapat
dijadikan bahan konsumsi manusia dengan terlebih dahulu menghilangkan kandungan
Sianidanya.

Komposisi Nutrisi biji Karet


Protein % 27,0

Lemak % 32,3
Karbohidrat % 15,9
Air % 9,1
(Balai Informasi Penelitian Ciawi, 1985 dalam warta, 2013)

13
Sebagai Pangan
Sebagai makanan biji karet mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi
serta asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Namun demikian biji karet tidak
dapat dikonsumsi mentah tanpa diolah terlebih dahulu, karena akan sangat berbahaya
sebab biji karet mengandung Asam Sianida (HCN). Zat ini dapat dihilangkan dengan
perendaman 24 jam atau pengukusan pada suhu 100oC selama 6 jam , penjemuran
selama 12 jam atau kombinasi pengukusan + penjemuran selama 12 jam (Warta, 2013).

Gambar 3.3 Biji Karet


Bobot biji karet sekitar 3-5 gram, tergantung dari varietas, umur biji dan kadar
air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya. Biji karet terdiri
atas 45 – 50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji berwarna
putih (Nadarajah,1969).
Sebagai Sumber Energi
Pemanfaatan lain dari biji karet adalah sebagai bahan baku pembuatan metyl
ester, atau biodiesel, sehingga ini akan menjadi sumber energi terbarukan untuk industri
karet tersebut. Minyak biji karet adalah minyak yang diekstrak dari biji pohon
karet.Kandungan minyak biji karet atau inti biji karet yaitu sebesar 45 – 50 % , dengan
komposisi 18,9% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat dan stearat serta
asam lemak tidak jenuh sebesar 80,9 % yang terdiri atas asam oleat, linoleat dan
linolenat. Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil),
yaitu minyak yang mempunyai sifat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah
menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis (Ketaren, 1986).

14
Tabel 3.1 Komposisi Asam-asam Lemak didalam Minyak Biji Karet
Jenis Asam Lemak Persentase
Asam Palmitat 10,2
Asam Stearat 8,7
Asam Oleat 24,6
Asam Linoleat 39,6
Asam Linolenat 16,3
(Aigbodion dan Pillai, 2000)
Mengingat kandungan asam lemak bebas (FAA) di dalam minyak biji karet
yang tinggi, yaitu sekitar 12,19 % maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji
karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estran, yaitu proses dua tahap
esterifikasi dan transesterifikasi dengan menggunakan katalis yang sesuai. (Geo, V. E,
et. al., 2008)

3.4 Lateks
Setiap bagian pohon karet jika dilukai akan mengluarkan getah yang disebut
”lateks”. Banyak tanaman jika dilukai atau disadap mengeluarkan cairan putih, tetapi
hanya beberapa jenis pohon saja yang menghasilkan karet. Diantaranya Havea
bracileansis. Lateks karet alam yang berasal dari lateks Hevea Brasiliensis ini adalah
cairan seperti susu yang diperoleh dari proses penorehan batang pohon karet. Cairan ini
terdiri dari 30-40% partikel hidrokarbon yang terkandung di dalam serum juga
mengandung protein, karbohidrat dan komposisi-komposisi organik serta bukan
organik (Nazzaruddin dan Paimin, 2006).

Gambar 3.4 Bokar dari Getah karet

15
Lateks yang berasal dari perkebunan rakyat biasanya dalam bentuk gumpalan
yang telah dikoagulasi biasanya disebut Bokar/Slap. Bokar ini nantinya akan diolah
menjadi Crumb Rubber. Crumb Rubber ini lah yang nantinya akan menjadi bahan dasar
peralatan dengan material karet alam yang sering kita gunakan sehari-hari.

Gambar 3.5 Pengolahan Crumb Rubber

16
BAB IV
INTEGRASI INDUSTRI KARET ALAM

Beberapa metode yang dijelaskan pada bab sebelumnya seperti proses


pengolahan terhadap daun dan ranting untuk pengomposan adalah proses pengomposan
secara umum dengan membusukkan dedaunan. Untuk Proses pengolahan Kayu
menjadi papan juga dilakukan secara mekanik yang sering dijumpai secara umum. Dan
untuk pengolahan bungkil dan biji karet sebagai paka ternak dengan cara penghancuran
dan fermentasi yang dicampur dengan ransum. Pengolahan biji karet sebagai bahan
pangan terlebih dahulu diolah, karena akan sangat berbahaya sebab biji karet
mengandung Asam Sianida (HCN). Zat ini dapat dihilangkan dengan perendaman 24
jam atau pengukusan pada suhu 100oC selama 6 jam , penjemuran selama 12 jam atau
kombinasi pengukusan + penjemuran selama 12 jam. Sebelum biji karet diolah menjadi
tempe maupun keripik. Sedangkan Untuk pengolahan Biji karet menjadi biodiesel dan
lateks menjadi crumb rubber akan dijelaskan sebagai berikut :

4.1 Pengolahan Biji Karet menjadi Biodiesel

Flowchart pembuatan biodiesel dari biji karet ditampilkan pada bagan biru pada
gambar dibawah ini :

Gambar 4.1 Diagram Alir Pembuatan Biodisesl dari biji karet

17
Proses pembuatan biodiesel pada gambar 4.1 dimulai dari pengolahan biji karet tersebut
yang diarahkan pada pengepresan :
a. Pengepresan
Pengepresan disini adalah untuk mendapatkan minyak dari biji karet sehingga dari
tahap ini akan didapat RSO (Rubber Seed Oil). RSO selanjutnya masuk ke tahap
degumming.
b. Degumming
Proses degumming dilakukan untuk mengikat lender atau getah atau kotoran
minyak mentah. Proses ini dilakukan dengan cara memanaskan minyak pada suhu
±80oC, kemudian ditambah asam fosfat 20% sebanyak 0,3% (v/b) dan diaduk
merata selama 15 menit. Selanjutnya minyak dipisahkan dari getah (gum) dengan
menggunakan corong pisah. Setelah itu minyak dicuci dengan air panas. Pencucian
dan pemisahan minyak dengan air dilakukan berulang kali sehingga air cucian
terlihat jernih (pH 6,5 – 7). Minyak hasil tahap ini dianalisis untuk mengetahui
densitas, viskositas, bilangan asam, kadar lemak bebas, FFA dan Bilangan
penyabunan.
c. Esterifikasi
Proses ini bertujuan untuk memurnikan FFA sampai dibawah 2,5%. pada tahap ini
minyak dipanaskan didalam labu leher empat, menggunakan hot plate yang
dilengkapi magnetic stirrer. Kedalam minyak kemudian ditambahkan campuran
methanol 225% FFA dan asam sulfat 5% FFA. Proses ini dilakukan sekitar suhu
55-65oC dengan kecepatan pengadukan 300-500rpm. minyak hasil seterifikasi
dipisahkan dengan corong pemisah, sehingga pada lapisan atas terbentuk sisa
methanol dan gum. sedangkan pada lapisan bawah terbentuk campuran trigliserida
dan fatty acid metyl ester (FAME). campuran trigliserida dan FAME merupakan
bahan untuk proses Transesterifikasi.
d. Transesterifikasi
Pada tahap ini campuran dipanaskan didalam labu leher empat menggunakan hot
plate sambil diaduk. kedalam Labu kemudian ditambahkan larutan metoksida
(campuran methanol 15% v/b minyak dan NaOH 1% b/b minyak). Proses ini
berlangsung 1 jam pada suhu 55-65oC dan kecepatan pengaduk 300-500rpm. Dari
proses ini dihasilkan Biodiesel dan gliserol, kemudian keduanya dipisahkan
menggunakan corong pemisah, sehingga pada lapisan atas terbentuk biodiesel dan
gliserol lapisan bawah. Biodiesel ini kemudian dimurnikan dengan proses

18
pencucian menggunakan metode water whasing. prosesnya yaitu air hangat
ditambahkan kedalam biodiesel lalu dilakukan pengadukan dan pemisahan.
Pencucian dilakukan secara berulang kali sehingga air cucian terlihat jernih.
Selanjutnya dilakukan pengeringan untuk membuang sisa methanol dan air (warta,
2012)

Apabila dilakukan pengolahan secara besar-besaran maka akan didapat


gambaran sebagai berikut : Rendemen RSO dari pengepresan berkisar 22,28-30,00%
dan setelah degumming kana dihasilkan RSO murni 83,44% dan setelah Esterifikasi
dan Transesterifikasi dengan Rendemen 74,5-74,6%
Secara nasional 2,74 ton biji karet akan menghasilkan 685ribu ton (asumsi
rendenmen 25%) dan setelah proses degumming didapat RSO murni 571,66ribu ton.
Dan setelah melalui esterifikasi dan transesterifikasi dihasilkan Biodiesel sebanyak
424,46ribu ton.

4.2 Pengolahan Crumb Rubber

Flowchart pengolahan crumb rubber dari bahan baku bokar adalah sebagai
berikut :

Gambar 4.2 Proses pengoahan Crumb Rubber

19
Garis besar pengolahan crumb rubber dari getah bokar pada gambar 4.2 akan dijelaskan
sebagai berikut :

a. Sortasi
Sortasi dimaksudkan untuk menyeleksi dan mengelompokkan bahan olah
berdasarkan jenis bahan olah, kebersihan (kandungan kontaminan), ketebalan dan
jenis koagulan serta asal bahan olah sesuai standar.
Biasanya sortasi dilakukan saat penerimaan bahan olah, dengan cara memotong
bahan olah menjadi 2 atau 4 bagian menggunakan pisau pemotong berputar. Cara ini
ditempuh mengingat ketebalan dan kebersihan bahan olah karet rakyat masih
beragam. Bahan yang tidak memenuhi ketentuan SNI 06 -2047 – 2002, dipisahkan
dan tidak diproses sebagai bahan baku SIR. Dalam keadaan tertentu, mutu teknis
bahan olah seperti Po, PRI, kadar kotoran dan kadar abu dianalisis.
Bahan olah hasil sortasi kemudian ditempatkan berkelompok sesuai golongan
yang telah ditetapkan dan diberi label. Komposisi campuran bahan olah perlu diatur
dan dijaga agar produk SIR memenuhi spesifikasi dan konsisten.
b. Pencacahan dan Pencampuran
Sebelum dicacah, bahan olah yang ukurannya masih tebal (slab, ojol) dibelah
dengan slab cutter. Bahan olah yang relatif kotor, sebelum dicacah, dilewatkan
melalui alat pembersih berupa drum berputar yang dilengkapi penyemprot air
(Rotary Screen Washer) untuk membersihkan kotoran permukaan yang menempel
pada bahan olah.

Gambar 4.3 Prebreaker / Cutter Mill


Bahan olah dipecah dengan prebreaker hingga ukurannya menjadi 3 – 5 cm. Bila
dianggap perlu, bahan olah yang keluar dari prebreaker dilewatkan melalui drum
berputar yang mempunyai ukuran saringan lebih kecil. Kemudian bahan olah
ditampung dalam bak makroblending. Dalam bak makroblending, terjadi proses
pencucian dan pencampuran bahan olah.

20
Bahan olah dipecah dengan prebreaker hingga ukurannya menjadi 3–5 cm. Bila
dianggap perlu, bahan olah yang keluar dari prebreaker dilewatkan melalui drum
berputar yang mempunyai ukuran saringan lebih kecil. Kemudian bahan olah
ditampung dalam bak makroblending. Dalam bak makroblending, terjadi proses
pencucian dan pencampuran bahan olah. Cacahan dipecah lagi menjadi ukuran lebih
kecil (1–4 cm) menggunakan salah satu mesin atau lebih, turbo-mill, prebreaker II,
hammermill I, ekstruder II, granulator 18 inchi. Cacahan yang diperoleh dicampur
lagi dalam bak makroblending II. Cacahan dipecah lagi menggunakan macera-tor
hammermill atau Hammermill II hingga ukuran karet menjadi 0,5–2 cm. Kemudian
cacahan yang dihasilkan dicampur dalam bak makroblending III. Dalam setiap
langkah, diupayakan pemisahan kontaminan.
c. Pembuatan Blangket (crep)
Cacahan dijadikan lembaran karet (krep, blanket) dengan menggunakan
macerator 1–2 kali giling dan dilanjutkan dengan kreper 2–3 kali giling untuk setiap
kreper dan biasanya terdapat 3–4 kreper pada setiap jalur. Hingga membentuk
lembaran, cacahan bahan olah digiling 6–12 kali dengan kreper. Sebelum diumpan
ke kreper, dilakukan pelipatan lembaran blanket untuk penyera-gaman. Selama
penggilingan, dialirkan air pencuci. Lembaran blanket yang dihasilkan mempunyai
ketebalan 5–10 mm.

Gambar 4.4 Pembuatan Blanket


d. Pengeringan Awal
Pada pengolahan SIR 20, terutama yang menggunakan bahan olah dari
perkebunan rakyat, pabrik umumnya melakukan pe-ngeringan awal. Krep hasil
gilingan ditimbang kemudian digulung (dilipat) atau digantung di kamar gantung
tanpa dinding agar sirkulasi udara leluasa dan dibiarkan selama 3–12 hari, bila bahan
olah berupa bahan olah tunggal seperti lump yang dicampur dengan sebagian kecil

21
slab. Bila bahan bokar berupa campuran berbagai jenis bahan olah karet,
pengeringan awal sekitar 2–3 minggu tergantung pada nilai Po/PRI yang diinginkan.
Selama pengeringan awal, terjadi penguapan air secara alami sehingga beban
pengeringan dalam alat pengering mekanis dapat dikurangi.

Gambar 4.5 Pengeringan Awal

e. Peremahan
Lembaran krep langsung diremah tanpa melalui tahap pengeringan awal,
dengan menggunakan shreder atau creperham-mermill, granulator atau ekstruder.
Pe-remahan secara basah biasanya dilakukan pada produksi SIR 20 dengan bahan
olah bermutu baik. Lembaran krep yang telah mengalami pre-drying, dibasahi,
digiling untuk penyeragaman mutu lalu diremahkan dengan menggunakan alat yang
sama seperti peremahan sistem kering.
f. Pengeringan
Hasil remahan dipindahkan ke dalam kotak pengering trolly secara merata dan
tidak terlampau padat. Selanjutnya trolly dimasukkan ke dalam ruang pengering
(dryer) yang bersuhu 115 °C – 120°C selama 2 – 3.5 jam untuk remahan yang telah
mengalami pre-drying dan 3 – 4 jam untuk remahan dengan sistem langsung.

Gambar 4.6 Pengeringan dengan menggunakan trolly

22
Remahan karet setelah keluar dari dryer didinginkan. Kipas pendingin harus selalu
dijalankan selama dryer beroperasi agar karet pada akhir pengeringan tidak
mengalami pemanasan berlebih. Pendinginan biasanya dilakukan unuk
menghasilkan suhu karet maksimum 40 oC. Kipas pendingin bisa dipasang pada
ujung pengering, atau di luar pengering dengan terlebih dulu mengeluarkan bandela
dari kotak dryer.
g. Pengemasan
Remahan karet yang telah dingin ditimbang seberat 33,3 atau 35 kg, diamati dan
dihilangkan jika terdapat white spot/virgin rubber dan kontaminan lainnya,
kemudian dikempa menjadi bandela dengan mesin kempa hidrolik. Lamanya
pengempaan (dwelling time) diatur, paling lama 60 detik untuk setiap bandela.
Selanjutnya bandela dilewatkan pada alat metal detector untuk mengetahui
adanya kontaminan logam. Bandela yang bebas kontaminan dan virgin rubber/white
spot diberi pita mutu yang sesuai dan dikemas dengan plastik kemas. Pengemasan
SIR dapat dilakukan dengan palet kayu atau shrink wrapped atau kotak alumunium
dengan rangka baja.
Pallet yang telah diberi label disimpan berdasarkan jenis mutu. Setiap tumpukan
palet maksimum tiga – empat tingkat. Kemasan SIR dengan cara shrink wrapped
tidak dapat ditumpuk, kecuali menggunakan rak besi dan setinggi-tingginya tiga
tingkat. Kemasan dari palet kayu mulai banyak ditinggalkan, karena para konsumen
terutama dari luar negeri merasa keberatan dengan penaganan bekas-bekas kayunya,
sehingga dianggap sebagai limbah. Sebagai gantinya kini banyak digunakan peti
kemas yang terbuat dari logam ringan dengan rangka besi.

Gambar 4.7 Pengemasan dengan kotak besi


(Pengolahan Crumb : Investment opportunity on crumb rubber industry budget year
2007)

23
Pengolahan crumb rubber dari bahan baku bokar pada umumnya hanya
menghasil kan 40-50% rubber crumb kualitas ekspor. Persentase ini juga ditentukan
oleh kadar air dari pada bokar yang dipasok. Sedangkan sisanya adalah pengotor yang
melekat pada bokar. pada umumnya bokar yang dipasok dari masyarakat memiliki
banyak bahan pengotor, karena diolah secara konvensional (Virgania Company, 2014).
Perhitungan Neraca massa dapat dilihat pada diagram balok berikut :

Gambar 4.8 Distribusi Massa Crumb Rubber dan Pengotornya

Dari perhitungan diatas didapat air buangan hasil pencucian dengan campuran pengotor
yang disebut limbah hasil pencucian yang jumlahnya sekitar 60% dari bahan baku yaitu
30,44 ton dimana 30 ton adalah air pencuci sedangkan sisanya adalah pengotor yang
merupakan campuran Kayu, Pasir, Plastik serta Zat Pengeras Getah.

Adapun penanganan limbah dari pengolahan crumb rubber ini adalah dengan
cara sistem lumpur aktif yang mana nantinya dapat digunakan sebagai kompos.
Berdasarkan study literatur padatan mengambang dari limbah ini dapat digunakan
sebagai adsorben (Salmariza, 2012)

24
4.3 Pengolahan Batang Karet (Limbah Regenerasi) menjadi Plywood
Kayu lapis merupakan salah satu produk hasil pengembangan industri hilir pengolahan
kayu yang menggunakan bahan kayu bulat/kayu gelondongan (log). Produk ini merupakan
salah satu komoditi ekspor non migas yang cukup besar nilainya bagi Indonesia setelah tekstil.
Proses pengolahan kayu lapis terdiri dari pemotongan log, pengupasan log atau pembuatan
venir, penyiapan venir, penyusunan venir, pemotongan tepi kayu lapis dan pengampelasan
kayu lapis. Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan plywood adalah limbah cair dan
limbah padat. Limbah padat yang berupa serbuk dari kulit kayu tersebut selama ini digunakan
untuk bahan bakar di rumah tangga ataupun hanya dibuat sebagai abu gosok saja. Dengan
pemanfaatn kembali limbah tersebut untuk bahan bakar proses pembakaran di boiler, maka
akan dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan serta dapat meminimalkan biaya bahan
bakar boiler. Sedangkan limbah serbuk dan kayu yang belum dimanfaatkan dapat digunakan
untuk pembuatan furniture alat-alat rumah tangga. Sehingga akan bernilai ekonomis serta
ramah lingkungan. Adapun tahapan produksi dan opsi produksi bersih yang dilakukan disetiap
tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Log (kayu gelondongan)
Log yang akan dipergunakan sebagai kayu lapis diseleksi mulai dari ukuran, bentuk, dan
kondisi terhadap cacat-cacat yang masih diperbolehkan. Kegiatan diminimisasi dengan
menyortir log dan lebih memperhatikan jumlah dan kondisi log. Limbah padat yang dihasilkan
berupa log afkir dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel (block
board) bila industri tersebut memiliki atau merupakan industri pengolahan kayu terpadu.

Gambar 4.9. Penerimaan Log

25
2. Pemotongan Log
Kayu log setelah diseleksi melalui pengukuran volume dan ditentukan gradenya, kemudian
dipotong-potong menggunakan gergaji rantai sesuai dengan ukuran panjang yang dikehendaki.
Limbah padat yang dihasilkan berupa potongan log sebesar 3,69% dan serbuk gergaji 0,61%
dengan kehalusan 5 mesh dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler atau bahan baku
pembuatan papan partikel (block board). Selain limbah padat, dihasilkan juga limbah
kebisingan yang bersumber dari mesin gergaji, dimana kebisingan dapat diminimisasi dengan
merawat mesin dan pemakaian peredam.

Gambar 4.10 Pemotongan Log

3. Pembersihan Kulit Log


Perlakuan awal ini ditujukan untuk memudahkan dalam proses pengupasan log, terutama
untuk kayu yang memiliki kerapan tinggi. Tujuan pembersihan adalah untuk memperhalus
permukaan, mengurangi keretakan akibat pengupasan, pengurangan pemakaian jumlah perekat
dan ketebalan lebih seragam. Limbah yang dihasilkan antara lain debu kayu, kebisingan dan
gas buang. Adapun tambahan limbah pada tahapan ini adalah gas buang dimana dapat
diminimisasi dengan alat penyaring gas buang seperti blower dan dust collector.

4. Pengupasan
Terdapat tiga metode pengupasan vinir, yaitu (1) Rotary cutting/peeling, (2) Slicing/sayat,
(3) Sawing. Proses pelling memproduksi lembaran vinir yang kontinu, sedangkan slicing
memproduksi lembaran vinir yang terputus. Pelling kebanyakan dipergunakan dalam
pembuatan kayu lapis tipe ordinary sedangkan slicing untuk fancy plywood.
Vinir yang diproduksi dengan proses rotary cutting menghasilkan dua sisi yaitu sisi luar
(tight side) dan sisi dalam (loose side). Bagian loose side ini merupakan bagian yang terdapat
retak akibat pengupasan yang dikenal dengan leathe check. Limbah yang dihasilkan berupa

26
limbah padat seperti inti kayu, potongan tepi log, sisa kupasan dan potongan log. Inti kayu
dapat digunakan sebagai bahan baku alas pengemasan dan bahan baku block board, dan
potongan tepi log, sisa kupasan dan potongan log digunakan sebagai bahan bakar boiler.

Gambar 4.11 Pengupasan Kulit Log

5. Pengeringan
Dilakukan untuk mengurangi kadar air vinir sehingga dapat menghindarkan terjadinya blister
pada kayu lapis setelah dilakukan pengempaan panas. Temperature pengeringan vinir sekitar
60-180oC, tergantung pada jenis kayu, kadar air awal, dan ketebalan vinir. Dalam
pengeringan, terjadi penyusutan ukuran venir sebesar 3,69%.

6. Penyusunan Venir dan Core


Venir yang telah dipotong sesuai ukuran kemudian disiapkan dan disusun untuk pembuatan
kayu lapis. Dalam penyiapan dan penyusunan dilakukan seleksi sesuai dengan ukuran
lebar/tebal yang dikehendaki. Limbah yang diperoleh antara lain sisa potongan venir tidak
standar, sisa potongan core dan core reject, dimana dari proses penyiapan adalah sebesar
1,20% dan untuk proses penyusunan sebesar 0,70%. Limbah ini digunakan untuk venir
belakang sebagai sambungan, bahan bakar boiler, bahan baku black board dan bahan baku alas
packing.

27
\
Gambar 4.12 Penyusunan Venir

4.4 Pengolahan Daun Tanaman Karet menjadi Kompos (composting)


Pada PT.Socfin Indonesia Kebun Bangun Bandar limbah padatan yang dihasilkan oleh
proses pengolahan minyak kelapa sawit seperti ampas tandan kosong, lumpur dan abu boiler
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos.
Bahan baku pembuatan kompos (1 batch) untuk 50 ton total bahan baku :
- 80-85 % daun karet dan kayu pohon yang sudah busuk
- 15-18 % kotoran ternak, dimana kotoran ternak berasal dari peternakan yang dimiliki
oleh perusahaan, dimana pakan ternak diproduksi sendiri, dengan bahan baku bungkil
biji karet.
- 2 % Ashes
- 2,5 ton Starter
Bahan baku dicampur dengan menggunakan whell loader. Dapat dilihat bahan baku yang
telah dicampur dengan whell loader pada bunker 1 (B1) pada Gambar 4.13 berikut.

Gambar 4.13 Bahan Baku yang Telah di Campur Pada Bunker 1 (B1)

28
Pada pembuatan kompos terdiri dari 3 bunker dimana terjadi 3 kali pemindahan. Pada
setiap bunker memiliki waktu tinggal 5-7 hari maka waktu total pembuatan kompos (1 batch)
adalah ± 4-5 hari. Pemindahan dilakukan dengan menggunakan Tray Master. Pemindahan 1
(satu) bunker memerlukan waktu ± 5 jam. Dapat dilihat pada Gambar 4.14 merupakan bunker
yang digunakan pada pembuatan kompos dan pada Gambar 4.15 merupakan tray master.

Gambar 4.14 Bunker Pada Pembuatan Kompos

Gambar 4.15 Tray Master tampak belakang

Pada pembuatan kompos di PT. Sidabutar Inti Karet Sejahtera, jenis bakteri yang
digunakan adalah bakteri mesofilik (60-70oC) dan bakteri termofilik (70-80oC). Dengan suhu
operasi pada setiap bunker adalah 60-80oC. Nutrisi untuk bakteri yaitu effluent bekas lumpur
aktif dari WWTP Pengolahan Crumb Rubber yang disiram dari pipa roof. Adapun gambar pipa
roof dapat dilihat pada gambar 4.16 Berikut.

29
Gambar 4.16 Pipa Roof

Adapun penyiraman maksimal sebanyak 100 kg/4 jam.


Effluent return diperoleh dari sisa-sisa siraman effluent (dari fat pit) yang tidak terserap
oleh kompos, dimana POME akan mengalir melalui spigot yang berada di dasar bunker
(selama 10 menit ketika blower mati) lalu akan dialirkan ke collector yang selanjutnya akan
dialirkan ke tempat penampungan effluent return. Collector (berbentuk kotak) terletak diantara
bunker 1 dan 2; 2 dan 3 dimana berfungsi sebagai tempat sementara untuk menampung sisa
pome yang mengalir melalui spigot sebelum dialirkan ke penampungan effluent return. Pada
Gambar 4.17 merupakan spigot yang berada di dasar bunker dan pada Gambar 4.18 merupakan
collector effluent yang tidak terserap.

Gambar 4.17 Spigot

30
Gambar 4.18 Collector

Pada tiap bunker juga dialirkan O2 dengan blower melalui spigot yang berada di dasar
bunker. Dalam 1 jam (60 menit) blower akan dihidupkan selama 50 menit dan mati selama 10
menit. Tekanan udara pada setiap spigot adalah 1,4 – 1,8 kPa. Kadar oksigen yang masuk
dapat diketahui dari sensor oksigen. Pada pembuatan kompos terdapat 2 (dua) buah sensor
temperatur dan 2 (dua) buah sensor oksigen untuk setiap bunker. 2 buah sensor temperatur
terletak disebelah atas bunker dan sensor oksigen terletak di bagian atas dan bawah bunker.

Gambar 4.19 Blower

Gambar 4.20 Sensor Kadar Oksigen


31
Siklus penyiraman effluent, pengaliran oksigen dilakukan setiap hari dengan
pemindahan ke bunker lainnya dilakukan sebanyak 4 (empat) kali hingga kompos dapat
diaplikasikan ke lapangan.

4.5 Pengolahan Bungkil Biji menjadi Pakan Ternak


Biji karet dapat digunakan untuk bahan campuran pakan ternak yaitu meningkatkan
pertumbuhan bobot badan ternak dengan penggunaan sampai kadar tertentu. Penggunaan
bungkil biji karet sebagai ransum konsentrat sampai level 30% diberikan pada sapi persilangan
Jersey dan Sindhi, menghasilkan pertambahan bobot badan, daya cerna efesiensi penggunaan
ransum yang lebih baik dibandingkan dengan ransum kontrol. Sedangkan penggunaan bungkil
biji karet dalam ransum ayam petelur maksimum 20%, sebab kalau lebih dari 20% akan
menurunkan bobot telur dan kerabang telur menjadi tipis. Hal ini dikarenakan ada faktor yang
mengganggu metabolisme kalsium, posfor dan Vitamin D, sehingga telur infertil meningkat,
daya tetas turun dan anak ayam menetas lebih ringan serta anak ayam lemah dan mudah
diserang penyakit. Penggunaan biji karet sebagai komposisi pakan ternak unggas harus
disangrai terlebih dahulu, karena biji karet mengandung asam prusid tinggi.
Asam sianida merupakan racun bagi ternak yang dapat menimbulkan kematian pada ternak.
Dengan adanya kandungan asam sianida dalam biji karet yang dapat menyebabkan kematian
bagi ternak maka perlu adanya pengolahan untuk menghilangkan kandungan asam sianida
tersebut yaitu dengan cara fisik seperti melalui pengukusan, perebusan ataupun dengan
perendaman dalam air mengalir. Asam sianida yang terkandung dalam biji karet dapat
dihilangkan dengan proses perendaman selama 24 jam dengan pergantian air yang sering dan
atau melalui perebusan terbuka. Asam sianida dalam biji karet dapat dihilangkan atau
dikurangi kandungannya melalui beberapa cara yaitu perendaman selama 24 jam, pengukusan
selama 6 jam pada suhu 100°C, penjemuran selama 12 jam dibawah sinar matahari atau
kombinasi antara pengukusan dan penjemuran selama 12 jam.
Adapun selain cara fisik tersebut pengolahan biji karet dapat juga melalui perlakuan
kimiawi dengan cara fermentasi, cara yang dapat dilakukan adalah biji dikupas dari kulit
buahnya, dicuci dalam air yang mengalir, setelah itu biji direndam dalam air selama 12 jam,
biji lalu dikukus selama 30-40 menit terhitung dari air mendidih, kemudian didinginkan lalu
dicampur jamur yang ada dalam oncom dan tempe diperam selama 36 ja dalam suhu ruangan
sebanyak 2 g/ kg bahan, biji diiris lalu dijemur, setelah itu biji kering lalu digiling halus, dan
siap untuk dicampur dengan ransum lain. Pengolahan biji karet diubah. dalam bentuk tepung
yang siap digunakan sebagai pakan ternak .
32
Cara solvent (kimia) yaitu : biji karet dikupas terlebih dahulu kulit/tempurungnya,
kemudian daging biji karet dipotong-potong lebih kecil agar permukaannya lebih luas, lalu
dilakukan ekstraksi menggunakan hexan pada suhu 80 °C, lalu diuapkan secara vakum dalam
rotari evaporator selama satu jam, dan diperoleh MBK, sedangkan hasil sampingannya berupa
BBK terlebih dahulu dilakukan pengukusan pada suhu 90-100 °C selama setengah jam, lalu
dikeringkan, dan siap digunakan sebagai pakan ternak Kelemahan dari pengolahan biji karet
adalah karena pemansan dengan waktu yang cukup lama dan menyebabkan warna coklat pada
biji karet dan menyebabkan palatabilitas ternak menurun.

4.6 Pemanfaatan Limbah Lumpur Aktif Pada Pengolahan Crumb Rubber menjadi
Adsorben
Pemanfaatan limbah padat sisa lumpur aktif industri karet remah (crumb rubber) sebagai
adsorben pengolahan limbah cair yang mengandung logam seperti air limbah sisa analisa COD
dari laboratorium. Tersedianya adsorben dari limbah lumpur aktif industri karet remah
diharapkan akan menjadi salah satu alternative low cost adsorben yang ramah lingkungan yang
berorientasi pada peningkatan nilai tambah limbah dan dapat membantu industri karet remah
dalam mengurangi biaya pengelolaan limbah lumpurnya.
Adapun metodenya adalah :
Limbah padat proses activated sludge (WAS) diambil dari pabrik karet remah yang ada di
Kabupaten Simalungun. Sampel dikeringkan dengan sinar matahari.Kemudian yang telah
kering dipanaskan dalam muffle Furnace Thermolyne 6000 pada suhu 600oC) selama ± 2 jam
sampai terbentuk char/arang. Char kemudian diaktivasi dengan agen aktifasi (NaOH) dengan
cara direndam dalam larutan aktivasi dengan konsentrasi 5% dan 10%, selama 1 hari. Char
disaring dengan kertas saring. Whatman 40 dan dibilas sampai bersih (ditandai dengan larutan
hasil cucian netral). Kemudian dikeringkan kembali dan diayak menggunakan test siever
merek Retsch 5657 Haan W. Germany (No 40 dan 80 mesh). Semua adsorben disimpan pada
temperatur ruang.Untuk perlakuan tanpa pirolisis dan tidak diaktivasi, langsung diayak dengan
ayakan bertingkat menggunakan test siever merek Retsch 5657 Haan W. Germany no 40, 60,
80, dan 100 mesh dan digunakan sebagai adsorben. Metoda adsorsi dilakukan dengan cara
memasukkan adsorben dengan dosis 1,2,3,4,5 dan 10 gr kedalam erlenmeyer 250 yang berisi
50 ml air limbah (limbah sisa analisa COD konsentrasi low dan high dan larutan stok Cr
dengan konsentrasi 10 dan 30 ppm), kemudian di digoyang dengan Adjustable Reciprocating
Orbital Shaker (AROS) 160 dengan kecepatan 100-110 rpm selama 15 dan 30 menit).
Kemudian sampel disaring kertas saring whatman 40.Logam Cr dalam adsorben dari limbah

33
padat sisa lumpur aktif substrat dibaca dengan menggunakan AAS.Untuk mencari perlakuan
pH optimum digunakan NAOH dan HCl untuk mengatur pH. Model kesetimbangan adsorbsi
adsorben dari limbah lumpur sistem activated sludge ditentukan dari data yang diperoleh.

4.7 Pengolahan Crumb Rubber menjadi Produk Ban


1. Mixing / Banbury
Dalam pembuatan produk ban unggulan, baik untuk kendaraan mobil maupun motor, Tire
Manufacturing menggunakan beberapa material sebagai bahan baku utama dan beberapa
bahan kimia sebagai bahan pelengkap produksi. Material yang digunakan antara lain Natural
dan Synthetic Rubber, Carbon Black, Silica, Zinc Oxide, Sulfur, Oli, dan beberapa material
kimia lain. Pada tahap awal, proses yang dilakukan adalah pencampuran Natural & Synthetic
Rubber dengan Ingredient yang sebelumnya sudah ditimbang sesuai dengan berat yang
ditentukan pada spesikasi produk yang ingin dibentuk. Kemudian diberikan tambahan Carbon
dan Oli pada saat material tersebut masuk kedalam mesin Banburry. Dalam mesin tersebut
terdapat alat yang berfungsi untuk menggiling campuran menjadi lapisan yang disebut
compound. Sebelum compound tersebut disusun pada rak, terlebih dahulu melewati proses
pendinginan dan diberi cairan adhesive agar compound tersebut tidak lengket setelah tersusun.

2. Extruding
Adonan hasil mixing tadi dibuat menjadi tread dan sidewall. Prosesnya adalah injeksi dan
extruding hingga terbentuk profil. Hasil akhir dari tahapan ini adalah side wall, tread dan filler.
Side wall merupakan salah satu bagian ban yang berfungsi sebagai pelindung terhadap
benturan dari arah samping atau serempetan, bahan untuk menambah fleksibilitas ban, lapisan
karet pembungkus carcass dari shoulder area ke rim cushion dan bead area, berfungsi untuk
fashion jika dihias dengan white ribbon atau white letter, penahan tekukan untuk beban berat,
daya tahan lama dan tahan retakan dan juga berfungsi untuk kekerasan dan keempukan radial.

3. Calender
Proses aplikasi lain adalah untuk pembuatan material ply & steel belt, JLB & cap ply.
Aplikasi tersebut dibentuk oleh mesin Calender dengan bahan dasar benang (polyester dan
nylon) juga steel cord. Polyester maupun nylon yang akan diproses, sebelumnya harus melalui
proses pelebaran terlebih dahulu agar material tersebut terbuka untuk kemudian di masukan ke
dalam oven dengan suhu 160°C agar pada saat diberikan compound dan bahan-bahan seperti

34
polyester, nylon, dan steel cord dapat merekat dengan sempurna.

4. Bead
Sementara proses calender berjalan, di bagian lain ada pembuatan bead wire yaitu
melapisi kawat baja dengan karet. Proses ini berjalan otomatis dan begitu keluar dari mesin,
bead wire sudah berbentuk lingkaran sesuai dengan ukuran rim.

5. Cutting
Proses cutting ini merupakan proses lanjutan dari mesin Callender, hasill akhir dari proses
ini biasa disebut dengan Ply dan Cap Ply. Ply merupakan lembaran material yang terdiri dari
Polyester, Nylon, dan compound yang telah diproses sebelumnya dalam bentuk gulungan
panjang di mesin Calender yang kemudian di potong – potong untuk merubah arah atau sudut
benang dari 0° menjadi 90°. Ply berfungsi sebagai carcass atau kerangka untuk menahan,
membentuk sistem suspensi dan beban ban.Sedangkan Cap Ply merupakan lembaran material
yang terdiri dari nylon dan compound yang dipotong – potong menjadi beberapa bagian di
mesin TTO. Cap Ply berfungsi sebagai bahan untuk mempertahankan bundar ban waktu
berjalan, meredam suara bising dari steel belt, membuat nyaman, dan untuk memperkecil
rolling resistance.

6. Building
Kemudian sampailah pada tahap perakitan semua komponen-komponen aplikasi yang
telah dibuat pada proses semi manufaktur. Semua komponen seperti rakitan bead, lembaran ply
yang telah di potong dengan sudut 90°, steel belts, innerliner, tread dan side wall semua di
rakit menjadi satu kesatuan utuh sebagai bagian dari ban setengah jadi atau biasa disebut
dengan Green Tire (GT). Proses perakitan (Tire Building) terdiri dari 2 tahap, tahap pertama
sering disebut dengan istilah 1st stage yang kemudian menghasil produk berupa carcass,
kemudian carcass diproses kembali di tahap kedua atau 2nd stage dengan menambahkan steel
belt, cap ply dan tread menjadi GT. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan mesin yang
dioperasikan oleh satu operator di masing – masing tahap.

7. Curing
Proses selanjutnya adalah tahap akhir dari proses pembentukan ban. GT yang dihasilkan
dari proses perakitan kemudian di kirim ke area Curing untuk dimasak. Proses Curing sendiri
terdiri dari beberapa tahap. Pertama GT datang dari bagian Perakitan, sebelum masuk ke

35
proses curing, GT harus diperiksa terlebih dahulu untuk menghindari adanya cacat pada GT.
Setelah GT selesai diperiksa diambil 4 ban setiap 1 rak GT untuk dilakukan proses painting
Chem Trend yaitu pengolesan cairan tire-lubricant pada bagian dalam GT yang bertujuan agar
GT tidak menempel di bagian karet bladder pada saat proses curing berlangsung. Kemudian
GT dikirim ke masing-masing operator untuk di proses di mesin press curing. Proses curing
sendiri merupakan pemasakan atau vulkanisasi yaitu penyatuan polimer (rubber) dengan
carbon black dan sulphur dengan dibantu oleh persenyawaan bahan kimia untuk mendapatkan
beberapa karakteristik compound yang diperlukan dari bagian-bagian ban. Proses curing
(pemasakan) ini membutuhkan suhu panas dan sejumlah tekanan steam yang sangat tinggi, GT
akan ditempatkan pada cetakan (mold) dengan temperatur sesuai dengan yang diinginkan
untuk produksi. Setelah cetakan tertutup, GT akan melebur ke dalam cetakan tread dan side
wall. Cetakan tersebut tidak dapat dibuka sampai proses curing selesai secara keseluruhan.
Setelah proses pemasakan selesai, mold akan terbuka secara otomatis. Ban yang sudah jadi
akan jatuh dan masuk ke dalam conveyor untuk kemudian sampai di bagian Pemeriksaan
(Finishing).

8. Finishing / quality control


Setelah selesai, ban diperiksa secara visual apakah ada cacat atau tidak. Proses ini tentu
saja tidak menggunakan mesin, jadi ketelitian pekerja sangat dibutuhkan. Selain visual, kontrol
juga dilakukan dengan pemeriksaan balance dan menggunakan sinar X.
Ban tidak mungkin bisa 100% balance seperti pelek, namun ada batasannya. Jika melebihi
batas, berarti ada kesalahan pada proses produksi. Selain itu, kami juga memiliki laboratorium
untuk memeriksa sampel ban yang diambil secara acak demi menjaga kualitas.

9. Wrapping/Packaging
Proses Wrapping / Packaging Merupakan proses terakhir. Setelah dinyatakan OK, setiap
ban dibungkus seluruh permukaannya dengan lilitan plastik secara mekanis.

36
4.8 Pengolahan Lateks Alam Menjadi Produk Alat Kesehatan (Sarung Tangan Karet)
Pembutan sarung tangan PT.Sidabutar Inti Karet Sejahtera
terdiri atas beberapa tahapan, antara lain :
1. Proses Pencampuran (compounding)
2. Proses Pencetakan sarung tangan
3. Proses Finishing

1. Proses Pencampuran (Compounding)


Pada proses pencampuran ini, lateks yang diterima perusahaan dan telah melewati
pengujian mutu yang telah dilakukan oleh Departemen Quality Assurance, akan dicampurkan
kedalam tangki pencampuran dengan bahan – bahan kimia pengurai (dispersion chemical)
antara lain sulfur, pigmen, senyawa zinc, dan antioksidan serta air yang sebelumnya telah
dimasukkan kedalam ball mill dan diputar selama 48 -72 jam dengan kecepatan putaran 44
rpm. Setelah dimasukkan kedalam tangki compound, campuran akan diaduk selama 24 jam.
Selanjutnya lateks pekat 60 % dialirkan dari tangki penyimpanan lateks ke tangki
pencampuran (tangki compound) sampai tangki berisi empat ton lateks, Bahan kimia
penguraian ini lalu dicampur kedalam lateks pekat dan diaduk selama 24 jam. Hasil campuran
ini dialirkan ke bak bagian produksi dengan selang untuk digunakan pembentukan sarung
tangan.

Gambar 4.21 Proses Pencampuran

2. Proses Pencetakan Sarung Tangan


Pada proses pencetakan sarung tangan PT. Sidabutar Inti Karet Sejahtera terdiri atas beberapa
tahap dimana pada setiap tahap atau proses cetakan dipindahkan dengan mengunakan conveyor

37
mengikuti aliran yang telah ditentukan. Tahapan – tahapan pencetakan sarung tangan antara
lain :
a. Acid washing
Pada tahapan ini cetakan (former atau mold) sarung tangan yang dicelupkan ke bak yang
berisi larutan HNO3 untuk mencuci cetakan dari kotoran – kotoran atau kerak – kerak
kotoran yang berupa sisa tepung dan zat kima lainnya. Suhu pada tangki sekitar 50-70 o C.
b. Alkali cleaning
Cetakan selanjutnya dibersihkan dengan cara mencelupkan pada bak yang berisi alkali
untuk menetralisir keasaman asam nitrat.
c. Rinsing
Pada tahapan ini cetakan dibersihkan dengan mencelupkannya kedalam air bersih untuk
membersihkan cetakan dari larutan kimia pada proses sebelumnya. pH air pada rinsing
tank harus tetap terjaga pada skala 7, dan dijaga kebersihannya.
d. Coagulant Dipping
Cetakan dicelupkan kedalam bak yang berisi larutan koagulan yaitu kalsium karbonat
CaCO3 dan kalsium nitrat Ca(NO3)2. Tujuannya untuk membuat lapisan pertama pada
pembuatan sarung tangan supaya hasilnya mudah dicabut dan juga sebagai pengikat lateks.
Ketinggian dari permukaan koagulan ini diatur secara otomatis dengan
hidrolik.
e. Drying 1
Proses ini dilakukan dengan menggunakan coagulant oven. Fungsi coagulant oven adalah
sebagai pengering bahan kimia yang terdapat pada cetakan setelah dicelupkan kedalam
coagulant tank. Suhu standar pada coagulant oven adalah 100-140 oC. Setelah cetakan
sarung tangan dikeringkan pada coagulant oven, suhu cetakan harusditurunkan hingga 60
– 140oC menggunakan kipas angin. Penurunan suhu ini dimakasudkan agar ketika cetakan
dicelupkan kedalam lateks tank, tidak terlalu panas. Suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan sarung tangan yang dicetak bocor.

38
39
Gambar 4.22 Skema Pembuatan Sarung Tangan

3. Proses Finishing
Pada proses finishing dilakukan setelah sarung tangan dicabut secara manual dari cetakan dan
dimasukkan kedalam keranjang – keranjang. Proses ini meliputi:
3.1 Proses tumbler drying
Proses tumbler drying adalah proses pembersihan sarung tangan dari tepung dan juga
untuk mengeringkan sarung tangan hingga benar – benar kering atau tidak mengandung air
lagi. Tumbler drying dilakukan dengan menggunakan mesin tumbler dryer selama 45
menit pada temperatur 75oC dengan kapasitas 36 kg.
3.2 Inspection
Pemeriksaan kualitas sarung tangan dibagian inpeksi diatur oleh bagian QC (Quality
Control) untuk memisahkan sarung tangan berdasarkan mutunya. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menggunakan tes angin, yaitu dengan menghembuskan angin pada
sarung tangan dengan menggunakan kompresor.
3.3 Proses packing
Sarung tangan yang telah dinyatakan oleh bagian QC dengan mutu yang baik
selanjutna dikemas kedalam kotak kecil (etiket) sebanyak 100 buah per etiket selanjutnya
dikemas lagi kedalam karton berisi 10 etiket. Sarung tangan yang telah dikemas disimpan
ke gudang bahan jadi untuk menunggu proses pengiriman.

40
Skematik proses finishing sarung tangan pada PT. SISS dapat dilihat pada gambar 5.4.

Gambar 4.23 Blok Diagram Pembuatan Sarung Tangan Karet

4.9 Utilitas/Energi Pabrik (Boiler)

Analisis yang digunakan berdasarkan steam production using disel (comparative study) yaitu
analisis dengan membandingkan antara penggunaan biodisel (bahan bakar minyak) dengan
penggunaan steam yang diproduksi dari ketel uap (boiler) menggunakan bahan bakar limbah
padat pabrik.
Asumsi yang digunakan:
a. Nilai kalor kayu rata-rata (ACV) : 15.050 KJ/kg
b. Total kebutuhan energi panas (QS) : 5.244.730.916,55 KJ

Persamaan untuk mencari total kebutuhan energi panas (QS)

Bahan bakar boiler


QS = jumlah kayu basah dari shredder x T

Dimana,
T = total potensi limbah kalori kayu

41
Maka,

122.731,91
QS = x 1.823.074.367,37
42.661,75

QS = 5.244.730.916,55 KJ

Persamaan untuk mencari kebutuhan biodiesel (SS):


QS
Kebutuhan biodiesel (SS) = AVC

SS = 348.487,10 kg x 1000
SS = 348.487.100 Liter (LT)

Thermal efficiency (TE) : 0,95 %


LT
Rumus LT1 = TE : 366.828.526,32 Liter

Dari persamaan diatas, diperoleh bahwa dalam proses produksi steam % menggunakan
biodiesel dengan efisiensi 95, maka akan membutuhkan sebnayak 3.66.828.526,32 liter
biodiesel.

3.4.2 Perbandingan Biaya Biodiesel dan Bahan Bakar Kayu


a. Biaya Penggunaan Biodiesel
Perbandingan biaya bahan bakar umumnya seperti solar jika dibandingkan dengan bahan bakar
kayu serta keuntungan penggunaan bahan bakar kayu dapat dilihat melalui persamaan berikut:
Penentuan biaya biodiesel dengan asumsi harga Rp. 8300/liter
Biaya = LT1 x harga biodiesel
= 366.828.526,32 liter x Rp. 8.300
= Rp. 1.577.362.663.170/ tahun
= Rp. 131.446.888.597/ bulan

Selain itu, diperlukan investasi untuk modifikasi ignition chamber, yaitu ruang pembangkit
steam melalui penggunaan bahan bakar, dimana untuk modifikasi ignition chamber seharga
Rp. 120.000.000/unit.

42
b. Penggunaan Kayu
Asumsi harga limbah adalah 40% dari harga kayu
Harga limbah = 0,4 x Rp. 160.000 = Rp. 40.000

Biaya bahan bakar kayu jika dihargai Rp. 40.000


Harga = Bahan bakar boiler x Rp. 40.000
= 122.731,91 x Rp. 40.000
= Rp. 4.909.276.000/tahun
= Rp. 409.120.000/ bulan

Maka, nilai tambah yang diperoleh dengan penggantian solar menjadi limbah kayu sebagai
bahan bakar adalah :
Nilai tambah
= Rp. 131.446.888.587 – Rp. 409.120.000
= Rp. 131.037.768.597/ bulan

Sehingga melalui pertimbangan ini, diperoleh bahwa meskipun bahan bakar biodiesel
diproduksi sendiri, biodiesel tidak akan digunakan sebagai bahan bakar, melainkan
menggunakan kayu dari perkebunan karet dikarenakan dari segi ekonomi akan menghasilkan
nilai tambah yang signifikan. Biodiesel sendiri akan dipasarkan (diekspor) ke Malaysia,
Thailand, dan Vietnam.

4.10 Perhitungan Neraca Ekonomi


Perhitungan Neraca Ekonomi dilakukan pada suatu pabrik yang menerapkan konsep taman
ekologi industri (ecology industrial park), dimana setiap pabrik pengolahan terintegrasi dalam
mewujudkan sistem ekologi industri yang ramah lingkungan dan bebas limbah. Adapun pabrik
yang kami akan dirikan adalah:
Nama Pabrik : PT. SIDABUTAR INTI KARET SEJAHTERA
Lokasi Pabrik : Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei, Simalungun
Luas Perkebunan Karet : terdiri dari 5 afdeling, dengan total luas lahan 2920 hektar
Jumlah pohon karet : +/- 1.343.200 batang pohon karet

43
A. ANALISA PRODUK
a. Kayu :
 Jumlah pohon karet per hektar : 460 batang
 Untuk pertukangan (furniture, ukuran batang >15 cm), rata-rata 35 m3/ha,
asumsi 5% peremajaan tanaman pertahun selama 25 tahun, sehingga
diremajakan 146 hektar/tahun, dengan potensi kayu pertukangan 5110 m3.
 Harga per m3 = Rp. 2.150.000, total = Rp. 10 milyar/tahun
 Untuk plywood (ukuran batang minimal 30 cm)
 Dimana kerapatan tanaman 80-130 m3/ha.
 Dimana 2,25 m3 kayu menghasilkan 1 m3 plywood. (rendemen 44%).
 Potensi kayu plywood : 18.980 m3, dimana mampu menghasilkan plywood
8.351 m3.
 Harga per m3 = 50.000.000, total = Rp. 417 milyar/tahun

b. Daun :
 Dimanfaatkan menjadi pupuk
 1 batang pohon karet menghasilkan 50 kg daun karet
 Daun karet pada 1 hektar lahan = 23 ton
 Daun karet kebun yang gugur pada musim gugur hanya 80% dari total daun =
80% x 67.160 ton = 53.728 ton/tahun
 Sehingga diperoleh = 147 ton/hari dari seluruh afdeling kebun

c. Pupuk :
 Harga : 1000/kg
 Dihasilkan pupuk sebanyak : 50 ton/hari = Rp. 50 juta/hari
= Rp16,5 milyar/tahun

d. Biji Karet
 1 hektar menghasilkan 1,75 ton biji
 Menghasilkan 5110 ton biji karet, dimana akan menghasilkan:
 Rubber seed oil = 1277 ton (asumsi rendemen 25%)
 RSO murni (setelah degumming) = 1110 ton RSO murni
 Biodiesel (trans dan ester) = 880 ton biodiesel
 Atau 0,3 kg/hektar biodiesel, dimana 1 liter biodiesel Rp. 8261/liter

44
 Sehingga pendapatan : Rp. 7,2 milyar/ 6 bulan (panen biji karet 2 kali setahun),
sehingga dapat diperoleh pendapatan 14,4 milyar/tahun

e. Crumb rubber (rendemen : 39%)


 1 hektar menghasilkan maks 30 kg getah/hari ( I tahun = 200 hari)
 Seluruh perkebunan menghasilkan 87,6 ton getah karet
 Diperoleh crumb rubber sebanyak 34,2 ton crumb rubber
 Diperoleh crumb rubber 32 ton crumb rubber kualitas ekspor
 Dimana harga 1 kg crumb rubber = Rp. 25.000
 Sehingga pada seluruh perkebunan, diperoleh pendapatan = Rp. 160
milyar/tahun

f. Produk Ban
 Bahan baku berupa crumb rubber yang digunakan adalah crumb rubber yang
 diperoleh dari pabrik crumb rubber ini sendiri, dimana:
 Total crumb rubber/hari = 34 ton
 Dihasilkan produk ban = 2500 buah ban (roda 4)
 Harga ban roda 4 (baru) = Rp. 600.000/unit
 Sehingga total pendapatan = Rp. 1,5 milyar /hari = Rp. 300 milyar /tahun.

g. Produk Sarung tangan


Bahan baku berupa lateks, dimana lateks yang diperoleh dari perkebunan adalah
sebanyak 20 ton lateks Dimana, dihasilkan sebanyak 2,5 juta sarung tangan (1,25 juta
pasang)
 Harga perpasang = Rp. 2000
 Sehingga total pendapatan = Rp. 2,5 milyar/ hari = Rp. 500 milyar/tahun

h. Limbah pada produksi crumb rubber yang dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan adsorben
 Setiap 1100 kg getah yg diolah, menggunakan air 30,44 ton.
 Dimana 30 ton adalah air, dan 0,44 ton adalah pengotor (limbah padat)
 Limbah padat dimanfaatkan sebagai adsorben = 400 kg/1100 kg bahan baku
(rendemen 40%)
 Sehingga, dari 87,6 ton getah karet yang diolah, menghasilkan limbah padat

45
tersuspensi : 35 ton
 Limbah dimanfaatkan sebagai adsorben (30%) = 10,5 ton
 Sehingga menghasilkan adsorben (50%) = 5,2 ton
 Total pendapatan = Rp. 62,4 juta ( 1kg adsorben = Rp. 12.000) = 12
milyar/tahun.

Total pendapatan = a + c + d + f + g + h
= Rp. 1,25 triliun/tahun

B. ANALISA BIAYA PRODUKSI


Biaya produksi adalah keseluruhan dari biaya yang dibutuhkan dalam proses produksi,
terdiri dari biaya tetap dan biaya variable.
- Biaya tetap terdiri dari depresiasi, bunga, modal, pemeliharaan dan gaji
- Biaya variable terdiri dari biaya bahan baku, bahan penolong, bahan pembantu,
upah, dan biaya listrik.

Estimasi biaya produksi (50-60% dari total pendapatan)


Biaya produksi = 60% x (Rp. 1,25 triliun) = 755 milyar

KEUNTUNGAN
Keuntungan = total pendapatan – biaya produksi
= Rp 1,25 triliun – Rp. 0,755 triliun
= Rp. 495 milyar/tahun

Sehingga jika perusahaan menerapkan integrasi taman ekologi industri ini, maka
perusahaan akan mendapatkan keuntungan Rp. 495 miliar/tahun.

46
BAB V
KESIMPULAN

Pohon Karet Limited Energi


Limited Energi

Kayu Daun Getah Karet Buah Karet

Bahan Furniture Pabrik Lateks Bungkil Biji Biji Karet


bangunan Pengolahan CR

Pabrik Pakan Ternak Makanan


Pengolahan Alat
Limbah Cair Crumb Rubber Kesehatan

sarung tangan,
Kompos Adsorben ban, karpet, dll kondom, dll Kotoran Ternak Biodiesel

Gambar 5.1 Pohon Industri Karet dengan konsep Ekologi Industri

Kesimpulan : Industri Karet dapat dijadikan contoh industri terpadu yang berkonsep ekologi industri dimana penggunaan

47
DAFTAR PUSTAKA

Aigbodion, A.I dan C.K.S. Pillai. Preparation, Analysis and Aplication of Rubber Seed
Oil and Its Derivatives as Surface Coating Material. 2000. Progress in Organic
Coatings 38 : 187-192

Deptan. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http://regionalinvestment.com. Tanggal


Akses: 22 April 2014

Depperin. 2009. Gambaran Sekilas Industri Karet. www.depperin.go.id. Tanggal


Akses : 22 April 2014.

Development of national natural rubber production Investment opportunity on crumb


rubber industry budget year, , source: Ditgen o Estate (2007)

Direktorat jendral Perkebunan , 2012. Data Luas Perkebunan Karet Indonesia.


www.dirjenperkebunan.go.id Tanggal Akses. 22 April 2014

Edwin Geo V, Chithirailingam P, Nagarajan G. Studies on dual fuel operation of


rubber seed oil and its bio-diesel with hydrogen as the inducted fuel. Int J
Hydrogen Energy Volume 33, Issue 21 November 2008. Pages 6357-6367

Ketaren, S. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. 1986.

Nadarajah, M. The Collection and Utilization of Rubber Seed in Ceylon. RRIC


Bulletin, 4 : 23. 1969.

Nazaruddin dan F.B. Paimin. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 1998.

Parhusip, Adhy Basar. Potret Karet Alam Indonesia. Economic Review No. 213.
September 2008.

Pusat Penelitian Karet Indonesia, 2013, Majalah Hevea, Edisi 4,


http://kayukuina.blogspot.com Tanggal Akses 25 April 2014

Setiawan, H. D dan Andoko, A. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Agromedia


Pustaka. Jakarta. 2005

Salmariza, Pemanfaatab Limbah Lumpur Proses Activated Sludge Industri Karet


Sebagai Adsorben, Jurnal Riset Industri Vol. VI No.2 Tahun 2012 p.175-182

48
Tim Penebar Swadaya. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 2008.

Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 2012 Vol 18, No 2 p.17 Badan
Penelelitian dan Pengembangan Pertanian

Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 2012 Vol 18, No 3 p.13 Badan
Penelelitian dan Pengembangan Pertanian

49

Anda mungkin juga menyukai