Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KEBIDANAN DALAM ISLAM

Persiapan Pernikahan dalam Islam

Disusun oleh:

Annah Fitri Yanah


Nurul Alfisyahrin Nur
Fitri Kalimatussadiyah
Tri Asih Handayani
Ami Fatmawati Samosir

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
Definisi Persiapan Nikah
Pernikahan atau yang dalam syariat Islam disebut dengan istilah nikah adalah salah satu azas dan
kebutuhan dalam hidup bermasyarakat (baca fiqih pernikahan ). Islam memandang sebagai perkawinan
bukan hanya merupakan jalan yang mulia untuk rumah tangga dan memiliki kebebasan, tetapi juga
merupakan pintu perkenalan antar suku bangsa atau masyarakat yang satu dengan suku atau bangsa
masyarakat yang lain, yang diciptakan Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini (baca hukum pernikahan
dalam islam )
‫خبير عليم هللا إن أتقاكم هللا عند أكرمكم إن لتعارفوا وقبائل شعوبا وجعلناكم وأنثى ذكر من خلقناكم إنا الناس أيها يا‬
“Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan membuat kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku memerlukan kamu saling kenal-kenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa antar kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ” . (QS Al Hujurat: 13)
Dengan demikian, pernikahan merupakan sunnatullah yang umum yang diperuntukkan bagi
manusia dan pernikahan adalah cara yang diberikan Allah SWT untuk melestarikan hidup umat
manusia. Persiapan nikah adalah salah satu hal yang penting untuk melanjutkan hubungan ke jenjang
pernikahan dan melengkapi beberapa aspek yang mendukung calon mempelai, persiapan hukum dan
syariah serta persiapan anggaran yang dibutuhkan. Berikut adalah persiapan pernikahan dalam islam:
A. Masa pengenalan (Adab dalam Bertaaruf)
Ta'aruf bisa diartikan dengan mengenalkan diri, mengenal baik, juga berkenalan dengan orang lain.
Intinya adalah ta'aruf merupakan interaksi yang dilakukan antara dua orang atau lebih dengan maksud
dan tujuan tertentu. Jadi, bahasa resmi ta'aruf sebenarnya luas karena bisa dibantah persaudaraan,
pertemanan, pernikahan, dan lain sebagainya.
1. Proses ta'aruf dalam islam
Sebenarnya proses ta'aruf dalam islam memang tidak ada buku pedomannya, namun tetap
harus sesuai dengan adab antara umat lawan jenis . Ada yang membahas proses ta'aruf terbagi
menjadi dua yaitu dengan bertukar biodata terlebih dahulu, barulah dilakukan pertemuan yang
didampingi dengan mahramnya.
Ada pula yang melalui orang tua, saudara, atau tema-peserta dengan meminta tolong diminta
untuk meminta dengan si calon ta'aruf atau tidak, kemudian barulah menentukan tanggal
pertemuannya jika memang perlu.
2. Persyaratan ta'aruf agar sesuai syariat
Syarat-syarat agar ta'aruf tidak dapat disetujui syariat adalah dengan meluruskan niat untuk
memperoleh agama dengan menikah karena Allah ta'ala bukan karena keterpaksaan, mengatur
kesucian saat menjalankan ta'aruf, disetujui dan tidak ada yag ditutup-tutupi, dapat diterima atau
menolak dengan cara yang baik, dan terakhir harus ada mahram yang mendampingi.
Mengapa ta'aruf dalam islam harus diperbaiki pendamping? Karena islam bebas laki-laki dan
perempuan berdua-duaan tanpa ada pihak ketiga. Selain itu, dengan adanya pendamping juga akan
meminimalkan fitnah di masyarakat sekitar.

B. Walimahan Syar'i
Walimah artinya berkumpul, sambil makan-makan tentunya. ‘Urs artinya pernikahan. Dengan
demikian, walimatul ‘urs – atau biasa disingkat menjadi walimah saja – adalah acara kumpul-kumpul
alias kendurenan, selametan, resepsi, atau pesta yang dilakukan sebagai tanda syukur atas pernikahan
yang telah terjadi, berbagi kegembiraan dengan orang lain. Disamping itu juga untuk mengumumkan
kepada khalayak mengenai telah terjadinya pernikahan tersebut, agar tidak timbul fitnah. Rasulullah
saw bersabda, ”Umumkan pernikahan!” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1537 dan Shahih Ibnu Hibban
hal.313 no:1285).
Adapun salah satu hikmah diumumkannya pernikahan adalah untuk membedakannya dengan zina,
disamping untuk menghindari munculnya fitnah.
Hukum walimah menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah yang sangat dianjurkan.
Sementara sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib, dengan berdasar pada
hadits Rasulullah saw, dimana beliau saw pernah bersabda kepada Abdurrahman bin ’Auf r.a.,
”Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (Muttafaqun ’alaih). Dan
dari Buraidah bin Hushaib, ia bertutur, ”Tatkala Ali melamar Fathimah ra, Rasulullah saw bersabda,
”Sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah.” (Shahih Jami’us Shaghir no:2419 dan al-
Fathur Rabbani XVI:205 no:175).
Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan pelaksanaan walimah. Pada saat pernikahan beliau
dengan Zainab ra, beliau menyembelih seekor kambing. Dari Anas ra, beliau berkata, “Tidaklah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu
yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara
walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Namun pernah pula Rasulullah saw mengadakan walimah dengan hidangan yang sangat sederhana,
tanpa daging, yakni pada saat pernikahan beliau dengan Shafiyah ra. Anas ra berkata, “Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan
Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu aku mengundang kaum muslimin
menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau menyuruh
membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering,
dan samin.” (Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari).
Walimah bisa dilaksanakan kapan saja, bisa sebelum jima’ ataupun sesudah jima’, bisa bersamaan
dengan akad nikah dan bisa pula sesudahnya. Apabila bukan karena tidak mungkin mengundang tamu-
tamu yang diharapkan hadir dalam satu waktu, walimah hendaknya diadakan satu kali saja pada hari
pertama; terpaksanya supaya dicukupkan dua kali saja, yaitu tambahan pada hari kedua. Jangan sampai
walimah berlangsung lebih dari dua hari. Rasulullah saw bersabda, “Makanan walimah pada hari
pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunnah; makanan hari ketiga adalah riya;
barangsiapa suka memperdengarkan kebaikannya kepada orang lain, Allah akan memperdengarkan
kepada orang lain itu keburukan-keburukannya.” Dalam lafazh menurut Ath-Thabrani, Rasulullah saw
bersabda, “Walimah itu adalah hak (benar). Menyelenggarakan walimah untuk yang kedua adalah
kebaikan dan menyelenggarakannya untuk yang ketiga adalah suatu kesombongan.”
Karena walimah adalah ibadah, maka sangat penting untuk menjaga adab-adabnya. Diantara adab-
adab tersebut adalah sebagai berikut.
1. Meluruskan niat. Lakukanlah walimah dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti
sunnah Rasulullah saw. Hindari penyelenggaraan walimah dengan niat memamerkan harta yang
dimiliki, atau saling bersaing dengan keluarga lain. Hindari pula pelaksanaan walimah karena niat
mencari sensasi, mencari popularitas. Bahkan ada yang berniat menyakiti hati orang lain dengan
cara mengadakan walimah besar-besaran. Jangan pula menyelenggarakan walimah dengan motif
komersial, mengharap sumbangan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Memang kita
diperkenankan untuk menerima sumbangan yang datang dengan senang hati dan rasa terima kasih
serta dipandang sebagai pernyataan kasih sayang dari para tamu undangan, tetapi bukan sebagai
“karcis masuk” memenuhi undangan walimah.
2. Tidak membeda-bedakan undangan dengan meninggalkan orang-orang yang miskin. Rasulullah
saw bersabda, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah dimana yang diundang dalam
walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-
Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
3. Hendaknya yang diundang adalah orang-orang yang shalih. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah
engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan
orang-orang yang bertaqwa” (Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi
(no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri ra.)
4. Tidak berlebih-lebihan, bermewah-mewahan, dan berlaku mubadzir. Sesuaikanlah walimah
dengan kemampuan, dan jangan memaksakan diri. Tidak jarang ada orang yang memaksakan diri
berhutang kesana kemari guna menggelar acara resepsi yang wah agar meninggalkan kesan meriah.
Dalam membayar hutangnya nanti, biasanya dia berharap dari sumbangan yang diterima. Ini tentu
tidak benar. Walimahan hendaknya tidak dilakukan dengan cara memaksakan diri diluar
kemampuan dan juga tidak merepotkan orang banyak lantaran harus menyumbang, meskipun
menyumbang atau memberikan hadiah itu boleh.
5. Menghindari hal-hal yang maksiat dan bertentangan dengan syariat Islam, seperti melakukan ritual-
ritual kesyirikan/khurafat, tasyabbuh dengan orang-orang kafir, terjadinya campur baur (ikhtilath)
antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, jabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram,
mengumbar aurat dihadapan orang-orang asing, dan sebagian.
6. Dilarang memperdengarkan musik-musik jahiliyah ataupun tontonan-tontonan jahiliyah. Akan
tetapi diperbolehkan menabuh rebana (duff) dan melantunkan nyanyian-nyanyian yang tidak
bertentangan dengan syariat, dan hal ini pernah dilakukan di masa Rasulullah saw. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw bersabda, “Pemisah antara apa yang halal (yakni pernikahan) dan yang
haram (yakni perzinaan) adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no.
3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no.
1994) Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan
penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Hikmah dari diperbolehkannya menabuh rebana dan memperdengarkan nyanyian adalah untuk
mengumumkan (memeriahkan) pernikahan dan untuk menghibur kedua mempelai. Adapun
bagaimana jika memperdengarkan alat musik, kembali pada hukum alat musik itu sendiri, yang
masih menjadi khilaf diantara para ulama. Wallahu a’lam.
Bagi yang Diundang
Hukum menghadiri undangan walimah adalah wajib kecuali jika ada udzur. Rasulullah saw bersabda,
”Jika salah seorang diantara kalian diundang menghadiri walimah maka hendaklah ia menghadirinya.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:230 no:5173, Mulim II:1052 no:1429 dan ’Aununl Ma’bud X:202
no:3718). Rasulullah saw juga bersabda, “Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh
ia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim II:1055 no:110/1432, dan
diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim juga dari Abu Hurairah secara mauquf padanya bisa dilihat
dalam Fathul Bari IX:244 no:5177).
Adapun diantara dalil yang menunjukkan bolehnya tidak menghadiri walimah jika ada udzur adalah
riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia
sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan
saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk.”
(Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.”
(Fat-hul Baari IX/247).)
Demikian pula boleh tidak menghadiri walimah jika dalam walimah tersebut ada kemunkaran.
Bahkan sebagian mengatakan, haram hukumnya menghadiri walimah yang mengandung kemunkaran,
kecuali jika datang dengan niat untuk mengubahnya. Adapun jika seseorang sudah terlanjur hadir dan
kemudian baru tahu kalau dalam walimah ada kemunkaran, maka hendaknya ia berusaha mengubahnya.
Jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia tidak berlama-lama dalam walimah tersebut. Wallahu a’lam.

Kemudian bagi orang yang diundang dalam walimah, ada beberapa adab yang harus diperhatikan.
1. Disunnahkan mendoakan pihak yang telah menyediakan hidangan walimah (yakni shahibul hajat).
Redaksi doanya banyak:”ALLAAHUMMAGHFIR LAHUM WARHAMHUM, WABAARIK
LAHUM FIIMAA RAZAKTAHUM (Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) mereka dan rahmatilah
mereka, serta limpahkanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada
mereka.” (Shahih Mukhtashar Muslim no:1316, Muslim III:1615 no:2042, ’Aunul Ma’bud X:195
no:3711).
“ALLAHUMMA ATH’IMMAN ATH’MAN ATH’AMANII, WASQIMAN SAQAANII (Ya Allah,
berilah makan orang yang telah memberikan makan dan berilah minum bagi orang yang memberiku
minum).” (Shahih Musmil III:1630 no:2055
“AKALA THA’AAMAKUMUL ABRAARU WA SHALLAT’ALAIKUMUL MALAA-IKATU, WA
AFTHARA ‘INDAKUMUSH SHAA-IMUUNA (Orang-orang yang berbakti dengan tulus telah
menyantap makananmu, para malaikat telah berdo’a untuk kamu, dan mereka yang berpuasa (sunnah)
telah berbuka di (rumah)mu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:1226 dan ‘Aunul Ma’bud X:333
no:3836).
2. Disunnahkan mendoakan pengantin. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan:
‘BAARAKALLAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIR
(Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua
dalam kebaikan)’.”HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani (rahimahullahu dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi)
3. Boleh memberikan hadiah kepada pengantin. Hal ini pernah dilakukan di masa Rasulullah saw. Hanya
saja perlu diingat, yang namanya hadiah itu pemberian yang bersifat sukarela, bukan sesuatu yang
diberikan dengan harapan akan mendapatkan balasan (apalagi dianggap sebagai hutang yang harus
dibayar). Dengan demikian, hadiah – apapun bentuknya, baik berupa uang atau kado pernikahan –
bukanlah sebuah keharusan. Karena itu tidaklah benar jika seseorang mengharuskan orang-orang yang
diundang dalam walimah untuk memberikan hadiah, apalagi jika ditentukan bentuknya (misalnya harus
berupa uang dan sebagainya).
4. Hendaknya tidak membawa serta orang lain yang tidak diundang, kecuali atas perkenan yang
menyelenggarakan walimah. Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja
menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada
anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak
diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat
orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak
maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’ (Hadits shahih:
Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121)
dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).)
5. Hendaknya tidak mencela makanan yang dihidangkan dan mengatakan kurang ini kurang itu, itu tidak
enak, dan sebagainya. Rasulullah saw tidak pernah mencela makanan yang dihidangkan. Apabila sesuai
dengan selera dimakan, dan apabila tidak sesuai selera dibiarkan.
Antara Konsep, Realitas, dan Dakwah
Bagaimanapun juga, praktek walimah yang ada dalam realitas saat ini di negeri kita ini masih
banyak yang jauh atau tidak sesuai dengan konsep atau tuntunan Islam, sebagaimana dijelaskan diatas.
Ini terjadi karena banyak faktor: budaya dan adat istiadat setempat yang sudah mengakar selama
puluhan bahkan ratusan tahun, tingkat pemahaman masyarakat terhadap tuntunan Islam, dan
sebagainya.
Sebagai dai, kita harus melihat realitas ini dengan bijaksana. Tentu tidak bijaksana jika kita hanya
bisa memvonis tanpa mau melakukan usaha untuk melakukan perbaikan. Dalam hal ini, kita perlu seni
dan kepiawaian berdakwah. Jika realitas yang tidak islami hanya kita cemooh dan kita vonis dengan
cara yang kasar, tentu saja yang akan terjadi justru resistensi, dan perubahan tidak akan terwujud. Tetapi
jika kita biarkan saja tentu juga tidak akan ada perubahan. Yang harus kita lakukan adalah berusaha
mengubahnya dengan telaten, dan dengan cara-cara yang bijaksana. Wa tawaashaw bil haqq wa
tawaashaw bish shabr wa tawaashaw bil marhamah ’Saling menasihati dengan kebenaran, dengan
kesabaran, dan dengan kasih sayang’. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga Allah memberikan taufiq-
Nya kepada kita semua untuk bisa mengikuti syariat-Nya. Amin.

C. Keluarga Islami (Malam pertama, kewajiban suami istri, mendidik anak)


a. Malam pertama
Seusai acara akad nikah dan walimah, pengantin laki-laki dan perempuan masuk ke dalam
kamar pengantin berdua saja. Inilah yang disebut dengan khalwah, yang sering disebut dengan
istilah 'malam pertama'. Padahal kejadiannya tidak selalu malam hari. Khalwah bisa dilakukan pagi
hari, siang, atau sore hari. Yang jelas, setelah selesai akad nikah. Disebut 'pertama', karena itulah
pertemuan pertama setelah mereka berdua resmi menjadi suami dan istri.
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuahili dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, khlawah adalah
'berkumpulnya istri dan suami setelah akad nikah yang sah, di suatu tempat yang memungkinkan
bagi keduanya untuk bermesraan secara leluasa, dan keduanya merasa aman atau terjamin dari
datangnya seseorang kepada mereka berdua. Pada mereka berdua tidak ada sesuatu penghalang
yang bersifat alami, atau jasmani, atau syar'i, yang dapat mengganggu mereka berdua dalam
bermesraan atau bercumbu.
Ternyata malam pertama bukanlah tindakan bebas semau pengantin sendiri. Ada sejumlah
tuntunan yang disunnahkan untuk dilakukan pada malam pertama tersebut. Jika pengantin
perempuan sudah mendahului berada di kamar, pihak laki-laki mengetuk pintu perlahan-lahan
sembari mengucapkan salam yang lembut bagi istrinya yang telah menunggu di dalam. Segera
suami masuk ke dalam kamar dan melakukan hal-hal berikut ini.
1. Memegang ubun-ubun pengantin perempuan
Pada malam pertama, dituntunkan kepada pengantin lelaki agar meletakkan tangannya pada
ubun-ubun pengantin perempuan untuk mendoakan. Rasulullah Saw bersabda: "Apabila salah
seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-
ubunnya lalu bacalah 'basmalah' serta doakanlah dengan doa berkah...". Hadits Riwayat Abu
Dawud no. 2160, Ibnu Majah no. 1918, al-Hakim II/185 al-Baihaqi VII/148.
2. Mendoakan pengantin perempuan
Sembari meletakkan tangan di ubun-ubun istri, suami dianjurkan membaca doa untuk
keberkahan istri. Adapun doa yang dibaca adalah: "Allahumma inni as-aluka min khairiha wa
khairi ma jabaltaha alaih, wa a'udzu bika min syarriha wa syarri ma jabaltaha alaih. Ya Allah,
aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari
kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa." Hadits Riwayat Abu Daud, no. 2160; Ibnu
Majah, no. 1918. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.
3. Shalat sunnah pengantin
Dianjurkan bagi kedua mempelai untuk mengerjakan shalat sunnah dua raka'at. Ingat, ini
dilakukan hanya berdua saja, oleh suami dan istri. Jangan mengajak orang tua, mertua, apalagi
tetangga. Suami menjadi imam, dan istri menjadi makmum. Syaikh Al-Albani menyatakan,
"Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf -yakni Sahabat dan Tabi'in".
Di antara sandarannya adalah hadits dari Abu Sa'id, ia berkata: "Aku menikah ketika aku masih
seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya
'Abdullah bin Mas'ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu 'anhum. Lalu tibalah waktu
shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: 'Kamulah (Abu
Sa'id) yang berhak!' Ia (Abu Dzarr) berkata: 'Apakah benar demikian?' 'Benar,' jawab mereka.
Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak.
Selanjutnya mereka mengajariku, 'Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka'at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah
perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua." Hadits
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan 'Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf (VI/191-192).
4. Membaca doa setelah shalat sunnah pengantin
Berdasarkan hadits dari Abu Waail, ia berkata, "Seseorang datang kepada 'Abdullah bin Mas'ud
radhiyallaahu 'anhu, lalu ia berkata, 'Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia
membenciku.' 'Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Sesungguhnya cinta berasal dari Allah,
sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika
isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka'at di
belakangmu. Lalu berdo'alah: "Allahumma baarikli fi ahli, wa baarik lahum fi,
Allahummarzuqni minhum, warzuqhum minni, Allahummajma' bainana maa jama'ta ila khair,
wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan
isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku
lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara
kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan." Hadits
Riwayat 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf VI/191, no. 10460, 10461.
5. Bersenang-senang dan bercumbu rayu di malam pertama
Di antara sunnah kenabian pada malam pertama adalah bercumbu rayu dengan penuh
kelembutan dan kehangatan. Hal ini berdasarkan hadits Asma' binti Yazid binti as-Sakan ra, ia
berkata: "Saya merias 'Aisyah untuk Rasulullah Saw. Setelah itu saya datangi dan saya panggil
beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada 'Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping 'Aisyah. Ketika itu Rasulullah Saw disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas
itu beliau sodorkan kepada 'Aisyah. Tetapi 'Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.
'Asma binti Yazid berkata: "Aku menegur 'Aisyah dan berkata kepadanya, 'Ambillah gelas itu
dari tangan Rasulullah Saw". Akhirnya 'Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya
sedikit. Hadits Riwayat Ahmad VI/438, 452, 453, 458.
6. Melakukan hubungan seksual
Hubungan seksual antara suami dan istri tidak mesti dilakukan pada saat pertemuan pertama
tersebut, bisa dilakukan pada waktu-waktu setelahnya kapan saja yang memungkinkan. Pada
prinsipnya, hubungan suami istri dilakukan ketika sudah ada kesiapan penuh dari kedua belah
pihak. Apabila istri masih ada perasaan takut, cemas, dan khawatir, karena belum terbangun
suasana yang enak di antara keduanya, sebaiknya hubungan suami istri ditunda sampai ada
suasana yang kondusif.
Apabila suasana mental kedua belah telah siap, keduanya bisa meningkatkan kedekatan secara
lebih intim, disertai dengan cumbu rayu sebagai sebuah pengantar untuk melakukan hubungan
suami istri. Itulah fasilitas yang Allah berikan kepada suami dan istri bahwa mereka berdua
bisa saling menikmati keindahan-keindahan ciptaan Allah dari diri pasangannya. Allah Swt.
telah berfirman, "Istri-istri kalian itu seperti sawah ladang kalian maka datangilah ladang kalian
itu dari arah mana pun yang kalian suka" (Al-Baqarah: 223).
Ayat ini menunjukkan kebebasan dalam bersenang-senang antara suami dan istri sehingga
mereka berdua bisa mengekspresikan kegembiraan secara optimal. Islam menghendaki
hubungan suami istri adalah bagian yang utuh dari ibadah, sehingga diperlukan sejumlah etika
di dalam menunaikannya. Di antaranya adalah dengan doa yang dibaca oleh suami dan istri
sebelum mereka melakukan hubungan.
Apabila hendak melakukan hubungan suami istri, hendaklah membaca doa berikut. Dari Ibnu
'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,
"Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia
membaca do'a: Bismillah. Allahumma jannibnasy syaithana wa jannibisy syaithana ma
razaqtana. Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan
dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami", kemudian jika Allah
menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa
mencelakakan anak tersebut selamanya". Hadits Riwayat Bukhari no. 141, 3271, 3283, 5165,
Muslim no. 1434, Abu Dawud no. 2161, at-Tirmidzi no. 1092, ad-Darimi II/145, Ibnu Majah
no. 1919, an-Nasa-i dalam 'Isyratun Nisaa' no. 144, 145, Ahmad I/216, 217, 220, 243, 283, 286.
b. Kewajiban suami istri
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah mengandung berbagai manfaat,
sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :
1. Dapat menundukkan pandangan,
2. Akan terjaga kehormatan.
3. Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.
4. Akan ditolong dan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Dapat menjaga syahwat, yang merupakan salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam
surga.
6. Mendatangkan ketenangan dalam hidup.
7. Akan terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
‫يَتَفَ َّك ُرونَ ِلقَوم آليَات ذَلِكَ فِي إِ َّن َو َرح َمةً َم َودَّة ً بَينَ ُكم َو َجعَ َل إِلَي َها ِلت َس ُكنُوا أَز َوا ًجا أَنفُ ِس ُكم مِ ن لَ ُكم َخلَقَ أَن آيَاتِ ِه َومِ ن‬
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikanNya
diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. [Ar Ruum:21].
8. Akan mendapatkan keturunan yang shalih. Menikah dapat menjadi sebab semakin banyaknya
jumlah ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

c. Mendidik anak
Sang suami sebagai kepala rumah tangga haruslah memberikan teladan yang baik dalam
mengemban tanggung-jawabnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempertanyakannya di
hari kelak Akhir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِ ‫ َوال َمرأَة ُ َرا ِعيَةٌ َعلَى بَي‬،‫الر ُج ُل َراع َعلَى أَه ِل َبيتِ ِه‬
‫ت زَ و ِج َها‬ َّ ‫ َو‬،‫ َواأل َ ِمي ُر َراع‬،‫ َو ُكلُّ ُكم َمسؤُ و ٌل َعن َر ِعيَّتِ ِه‬،‫ُكلُّ ُكم َراع‬
َ ‫ أَالَ فَ ُكلُّ ُكم َراع َو ُكلُّ ُكم َمسؤُو ٌل‬،ِ‫َو َولَ ِده‬
‫عن َر ِعيَّتِه‬

“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung-jawab atas orang yang
dipimpinnya. Seorang Amir (Raja) adalah pemimpin, laki-laki pun pemimpin atas keluarganya,
dan perempuan juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, ingatlah bahwa kamu
sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung-jawabannya atas
kepemimpinannya”.
Seorang suami harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih,
dengan mengkaji ilmu-ilmu agama, memahaminya serta melaksanakan dan mengamalkan apa-apa
yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta menjauhkan diri dari setiap yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia mengajak dan membimbing sang isteri untuk berbuat
demikian juga, sehingga anak-anaknya akan meneladani kedua orang tuanya, karena tabiat anak
memang cenderung untuk meniru apa-apa yang ada di sekitarnya.
1. Mendidik anak dengan cara-cara yang baik dan sabar, agar mereka mengenal dan mencintai
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang menciptakannya dan seluruh alam semesta, mengenal dan
mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pada diri Beliau terdapat suri tauladan
yang mulia, serta agar mereka mengenal dan memahami Islam untuk diamalkan.
2. Pada usia dini (sekitar 2-3 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik serta
bacaan Al Qur’an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dan generasi tabi’in dan
tabi’ut tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah hafal Al Qur’an pada usia sangat belia.
3. Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua kepada anaknya.
4. Perhatian orang tua kepada anaknya juga dalam hal akhlaqnya, dan yang harus menjadi
penekanan utama adalah akhlaq (berbakti) kepada orang tua.
5. Juga perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh jelek
temannya akan berimbas pada perilaku dan akhlaq anaknya.
6. Disamping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya menjadi isteri yang shalihah,
hendaknya sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu-
waktu yang mustajab (waktu terkabulkannya do’a), seperti sepertiga malam yang terakhir, agar
keluarganya dijadikan keluarga yang shalih, dan rumah tangganya diberikan sakinah,
mawaddah wa rahmah, seperti do’a yang tercantum di dalam Al Qur’an :
‫اجنَا َوذُ ِريَّاتِنَا قُ َّرة َ أ َعيُن َواجعَلنَا لِل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما‬
ِ ‫َوالَّذِينَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَب لَنَا مِ ن أَز َو‬
“Dan orang-orang yang berdo’a : ”Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami,
keturunan-keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertaqwa”. [Al Furqan:74].
Paling tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya, dihormati
oleh sang isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi hamba-hamba Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang shalih dan shalihah, bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Anda mungkin juga menyukai