Disusun oleh:
B. Walimahan Syar'i
Walimah artinya berkumpul, sambil makan-makan tentunya. ‘Urs artinya pernikahan. Dengan
demikian, walimatul ‘urs – atau biasa disingkat menjadi walimah saja – adalah acara kumpul-kumpul
alias kendurenan, selametan, resepsi, atau pesta yang dilakukan sebagai tanda syukur atas pernikahan
yang telah terjadi, berbagi kegembiraan dengan orang lain. Disamping itu juga untuk mengumumkan
kepada khalayak mengenai telah terjadinya pernikahan tersebut, agar tidak timbul fitnah. Rasulullah
saw bersabda, ”Umumkan pernikahan!” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:1537 dan Shahih Ibnu Hibban
hal.313 no:1285).
Adapun salah satu hikmah diumumkannya pernikahan adalah untuk membedakannya dengan zina,
disamping untuk menghindari munculnya fitnah.
Hukum walimah menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah yang sangat dianjurkan.
Sementara sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib, dengan berdasar pada
hadits Rasulullah saw, dimana beliau saw pernah bersabda kepada Abdurrahman bin ’Auf r.a.,
”Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (Muttafaqun ’alaih). Dan
dari Buraidah bin Hushaib, ia bertutur, ”Tatkala Ali melamar Fathimah ra, Rasulullah saw bersabda,
”Sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah.” (Shahih Jami’us Shaghir no:2419 dan al-
Fathur Rabbani XVI:205 no:175).
Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan pelaksanaan walimah. Pada saat pernikahan beliau
dengan Zainab ra, beliau menyembelih seekor kambing. Dari Anas ra, beliau berkata, “Tidaklah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu
yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara
walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Namun pernah pula Rasulullah saw mengadakan walimah dengan hidangan yang sangat sederhana,
tanpa daging, yakni pada saat pernikahan beliau dengan Shafiyah ra. Anas ra berkata, “Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan
Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu aku mengundang kaum muslimin
menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau menyuruh
membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering,
dan samin.” (Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari).
Walimah bisa dilaksanakan kapan saja, bisa sebelum jima’ ataupun sesudah jima’, bisa bersamaan
dengan akad nikah dan bisa pula sesudahnya. Apabila bukan karena tidak mungkin mengundang tamu-
tamu yang diharapkan hadir dalam satu waktu, walimah hendaknya diadakan satu kali saja pada hari
pertama; terpaksanya supaya dicukupkan dua kali saja, yaitu tambahan pada hari kedua. Jangan sampai
walimah berlangsung lebih dari dua hari. Rasulullah saw bersabda, “Makanan walimah pada hari
pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunnah; makanan hari ketiga adalah riya;
barangsiapa suka memperdengarkan kebaikannya kepada orang lain, Allah akan memperdengarkan
kepada orang lain itu keburukan-keburukannya.” Dalam lafazh menurut Ath-Thabrani, Rasulullah saw
bersabda, “Walimah itu adalah hak (benar). Menyelenggarakan walimah untuk yang kedua adalah
kebaikan dan menyelenggarakannya untuk yang ketiga adalah suatu kesombongan.”
Karena walimah adalah ibadah, maka sangat penting untuk menjaga adab-adabnya. Diantara adab-
adab tersebut adalah sebagai berikut.
1. Meluruskan niat. Lakukanlah walimah dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti
sunnah Rasulullah saw. Hindari penyelenggaraan walimah dengan niat memamerkan harta yang
dimiliki, atau saling bersaing dengan keluarga lain. Hindari pula pelaksanaan walimah karena niat
mencari sensasi, mencari popularitas. Bahkan ada yang berniat menyakiti hati orang lain dengan
cara mengadakan walimah besar-besaran. Jangan pula menyelenggarakan walimah dengan motif
komersial, mengharap sumbangan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Memang kita
diperkenankan untuk menerima sumbangan yang datang dengan senang hati dan rasa terima kasih
serta dipandang sebagai pernyataan kasih sayang dari para tamu undangan, tetapi bukan sebagai
“karcis masuk” memenuhi undangan walimah.
2. Tidak membeda-bedakan undangan dengan meninggalkan orang-orang yang miskin. Rasulullah
saw bersabda, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah dimana yang diundang dalam
walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-
Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
3. Hendaknya yang diundang adalah orang-orang yang shalih. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah
engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan
orang-orang yang bertaqwa” (Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi
(no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri ra.)
4. Tidak berlebih-lebihan, bermewah-mewahan, dan berlaku mubadzir. Sesuaikanlah walimah
dengan kemampuan, dan jangan memaksakan diri. Tidak jarang ada orang yang memaksakan diri
berhutang kesana kemari guna menggelar acara resepsi yang wah agar meninggalkan kesan meriah.
Dalam membayar hutangnya nanti, biasanya dia berharap dari sumbangan yang diterima. Ini tentu
tidak benar. Walimahan hendaknya tidak dilakukan dengan cara memaksakan diri diluar
kemampuan dan juga tidak merepotkan orang banyak lantaran harus menyumbang, meskipun
menyumbang atau memberikan hadiah itu boleh.
5. Menghindari hal-hal yang maksiat dan bertentangan dengan syariat Islam, seperti melakukan ritual-
ritual kesyirikan/khurafat, tasyabbuh dengan orang-orang kafir, terjadinya campur baur (ikhtilath)
antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, jabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram,
mengumbar aurat dihadapan orang-orang asing, dan sebagian.
6. Dilarang memperdengarkan musik-musik jahiliyah ataupun tontonan-tontonan jahiliyah. Akan
tetapi diperbolehkan menabuh rebana (duff) dan melantunkan nyanyian-nyanyian yang tidak
bertentangan dengan syariat, dan hal ini pernah dilakukan di masa Rasulullah saw. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw bersabda, “Pemisah antara apa yang halal (yakni pernikahan) dan yang
haram (yakni perzinaan) adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no.
3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no.
1994) Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan
penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Hikmah dari diperbolehkannya menabuh rebana dan memperdengarkan nyanyian adalah untuk
mengumumkan (memeriahkan) pernikahan dan untuk menghibur kedua mempelai. Adapun
bagaimana jika memperdengarkan alat musik, kembali pada hukum alat musik itu sendiri, yang
masih menjadi khilaf diantara para ulama. Wallahu a’lam.
Bagi yang Diundang
Hukum menghadiri undangan walimah adalah wajib kecuali jika ada udzur. Rasulullah saw bersabda,
”Jika salah seorang diantara kalian diundang menghadiri walimah maka hendaklah ia menghadirinya.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:230 no:5173, Mulim II:1052 no:1429 dan ’Aununl Ma’bud X:202
no:3718). Rasulullah saw juga bersabda, “Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh
ia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim II:1055 no:110/1432, dan
diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim juga dari Abu Hurairah secara mauquf padanya bisa dilihat
dalam Fathul Bari IX:244 no:5177).
Adapun diantara dalil yang menunjukkan bolehnya tidak menghadiri walimah jika ada udzur adalah
riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia
sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan
saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk.”
(Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.”
(Fat-hul Baari IX/247).)
Demikian pula boleh tidak menghadiri walimah jika dalam walimah tersebut ada kemunkaran.
Bahkan sebagian mengatakan, haram hukumnya menghadiri walimah yang mengandung kemunkaran,
kecuali jika datang dengan niat untuk mengubahnya. Adapun jika seseorang sudah terlanjur hadir dan
kemudian baru tahu kalau dalam walimah ada kemunkaran, maka hendaknya ia berusaha mengubahnya.
Jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia tidak berlama-lama dalam walimah tersebut. Wallahu a’lam.
Kemudian bagi orang yang diundang dalam walimah, ada beberapa adab yang harus diperhatikan.
1. Disunnahkan mendoakan pihak yang telah menyediakan hidangan walimah (yakni shahibul hajat).
Redaksi doanya banyak:”ALLAAHUMMAGHFIR LAHUM WARHAMHUM, WABAARIK
LAHUM FIIMAA RAZAKTAHUM (Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) mereka dan rahmatilah
mereka, serta limpahkanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada
mereka.” (Shahih Mukhtashar Muslim no:1316, Muslim III:1615 no:2042, ’Aunul Ma’bud X:195
no:3711).
“ALLAHUMMA ATH’IMMAN ATH’MAN ATH’AMANII, WASQIMAN SAQAANII (Ya Allah,
berilah makan orang yang telah memberikan makan dan berilah minum bagi orang yang memberiku
minum).” (Shahih Musmil III:1630 no:2055
“AKALA THA’AAMAKUMUL ABRAARU WA SHALLAT’ALAIKUMUL MALAA-IKATU, WA
AFTHARA ‘INDAKUMUSH SHAA-IMUUNA (Orang-orang yang berbakti dengan tulus telah
menyantap makananmu, para malaikat telah berdo’a untuk kamu, dan mereka yang berpuasa (sunnah)
telah berbuka di (rumah)mu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:1226 dan ‘Aunul Ma’bud X:333
no:3836).
2. Disunnahkan mendoakan pengantin. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan:
‘BAARAKALLAHU LAKA WA BAARAKA ‘ALAIKA WA JAMA’A BAINAKUMAA FII KHAIR
(Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua
dalam kebaikan)’.”HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani (rahimahullahu dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi)
3. Boleh memberikan hadiah kepada pengantin. Hal ini pernah dilakukan di masa Rasulullah saw. Hanya
saja perlu diingat, yang namanya hadiah itu pemberian yang bersifat sukarela, bukan sesuatu yang
diberikan dengan harapan akan mendapatkan balasan (apalagi dianggap sebagai hutang yang harus
dibayar). Dengan demikian, hadiah – apapun bentuknya, baik berupa uang atau kado pernikahan –
bukanlah sebuah keharusan. Karena itu tidaklah benar jika seseorang mengharuskan orang-orang yang
diundang dalam walimah untuk memberikan hadiah, apalagi jika ditentukan bentuknya (misalnya harus
berupa uang dan sebagainya).
4. Hendaknya tidak membawa serta orang lain yang tidak diundang, kecuali atas perkenan yang
menyelenggarakan walimah. Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja
menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada
anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak
diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat
orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak
maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’ (Hadits shahih:
Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121)
dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).)
5. Hendaknya tidak mencela makanan yang dihidangkan dan mengatakan kurang ini kurang itu, itu tidak
enak, dan sebagainya. Rasulullah saw tidak pernah mencela makanan yang dihidangkan. Apabila sesuai
dengan selera dimakan, dan apabila tidak sesuai selera dibiarkan.
Antara Konsep, Realitas, dan Dakwah
Bagaimanapun juga, praktek walimah yang ada dalam realitas saat ini di negeri kita ini masih
banyak yang jauh atau tidak sesuai dengan konsep atau tuntunan Islam, sebagaimana dijelaskan diatas.
Ini terjadi karena banyak faktor: budaya dan adat istiadat setempat yang sudah mengakar selama
puluhan bahkan ratusan tahun, tingkat pemahaman masyarakat terhadap tuntunan Islam, dan
sebagainya.
Sebagai dai, kita harus melihat realitas ini dengan bijaksana. Tentu tidak bijaksana jika kita hanya
bisa memvonis tanpa mau melakukan usaha untuk melakukan perbaikan. Dalam hal ini, kita perlu seni
dan kepiawaian berdakwah. Jika realitas yang tidak islami hanya kita cemooh dan kita vonis dengan
cara yang kasar, tentu saja yang akan terjadi justru resistensi, dan perubahan tidak akan terwujud. Tetapi
jika kita biarkan saja tentu juga tidak akan ada perubahan. Yang harus kita lakukan adalah berusaha
mengubahnya dengan telaten, dan dengan cara-cara yang bijaksana. Wa tawaashaw bil haqq wa
tawaashaw bish shabr wa tawaashaw bil marhamah ’Saling menasihati dengan kebenaran, dengan
kesabaran, dan dengan kasih sayang’. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga Allah memberikan taufiq-
Nya kepada kita semua untuk bisa mengikuti syariat-Nya. Amin.
c. Mendidik anak
Sang suami sebagai kepala rumah tangga haruslah memberikan teladan yang baik dalam
mengemban tanggung-jawabnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempertanyakannya di
hari kelak Akhir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِ َوال َمرأَة ُ َرا ِعيَةٌ َعلَى بَي،الر ُج ُل َراع َعلَى أَه ِل َبيتِ ِه
ت زَ و ِج َها َّ َو، َواأل َ ِمي ُر َراع، َو ُكلُّ ُكم َمسؤُ و ٌل َعن َر ِعيَّتِ ِه،ُكلُّ ُكم َراع
َ أَالَ فَ ُكلُّ ُكم َراع َو ُكلُّ ُكم َمسؤُو ٌل،َِو َولَ ِده
عن َر ِعيَّتِه
“Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung-jawab atas orang yang
dipimpinnya. Seorang Amir (Raja) adalah pemimpin, laki-laki pun pemimpin atas keluarganya,
dan perempuan juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, ingatlah bahwa kamu
sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung-jawabannya atas
kepemimpinannya”.
Seorang suami harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih,
dengan mengkaji ilmu-ilmu agama, memahaminya serta melaksanakan dan mengamalkan apa-apa
yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta menjauhkan diri dari setiap yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia mengajak dan membimbing sang isteri untuk berbuat
demikian juga, sehingga anak-anaknya akan meneladani kedua orang tuanya, karena tabiat anak
memang cenderung untuk meniru apa-apa yang ada di sekitarnya.
1. Mendidik anak dengan cara-cara yang baik dan sabar, agar mereka mengenal dan mencintai
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang menciptakannya dan seluruh alam semesta, mengenal dan
mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pada diri Beliau terdapat suri tauladan
yang mulia, serta agar mereka mengenal dan memahami Islam untuk diamalkan.
2. Pada usia dini (sekitar 2-3 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik serta
bacaan Al Qur’an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dan generasi tabi’in dan
tabi’ut tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah hafal Al Qur’an pada usia sangat belia.
3. Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua kepada anaknya.
4. Perhatian orang tua kepada anaknya juga dalam hal akhlaqnya, dan yang harus menjadi
penekanan utama adalah akhlaq (berbakti) kepada orang tua.
5. Juga perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh jelek
temannya akan berimbas pada perilaku dan akhlaq anaknya.
6. Disamping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya menjadi isteri yang shalihah,
hendaknya sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu-
waktu yang mustajab (waktu terkabulkannya do’a), seperti sepertiga malam yang terakhir, agar
keluarganya dijadikan keluarga yang shalih, dan rumah tangganya diberikan sakinah,
mawaddah wa rahmah, seperti do’a yang tercantum di dalam Al Qur’an :
اجنَا َوذُ ِريَّاتِنَا قُ َّرة َ أ َعيُن َواجعَلنَا لِل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما
ِ َوالَّذِينَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَب لَنَا مِ ن أَز َو
“Dan orang-orang yang berdo’a : ”Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami,
keturunan-keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertaqwa”. [Al Furqan:74].
Paling tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya, dihormati
oleh sang isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi hamba-hamba Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang shalih dan shalihah, bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.