Anda di halaman 1dari 21

Makalah Psikologi Kepribadian I

Perkembangan Psikososial : Erik Erikson

Disusun Oleh:

Ani Masyayu (190901008)

Yeni Triyana (190901024)

Dosen pembimbing:

Wenny Aidina, S. Psi., M. Psi., Psikolog

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR RANIRY BANDA ACEH

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami limpahan
Rahmat, Karunia, serta nikmat sehatnya, baik itu kesehatan jasmani maupun rohani. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wa Sallam yang kita nanti nantikan syafa’atnya di akhirat nanti. Rasa syukur
tak henti hentinya kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan izin Allah lah sehingga
kami diberi kemudahan untuk menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini penulis sampaikan kepada Pembina mata kuliah Psikologi kepribadian I
Sebagai tugas kelompok pada mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih
kepada dosen Wenny Aidina,S.Psi, M.Psi,Psikolog selaku pembimbing kami dalam mata kuliah
Psikologi Kepribadian I.

Penulis mohon kepada Ibu dosen khusunya,umumnya kepada para pembaca apabila
menemukan kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini,baik dari Bahasa maupun
isinya,penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua
pembaca lebih baiknya makalah yang akan datang.

Banda Aceh, 23 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ……………………………………………………………………………………………………...i

KATA PENGANTAR ……………………………………………….…………………………………….ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………...…….iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………….…1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………….……1


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………….…..3
1.3 Tujuan Masalah ………………………………………………………………………………3

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………………..4

2.1 Biografi Erik Erikson …………………………………………………………………………4

2.2 Dinamika kepribadian Erik Erikson ……………………………………………...…………5

2.3 Struktur Kepribadian Erik Erikson ……………………………………………...…………..9

2.4 Tahapan Perkembangan Erik Erikson …………………………………………..….……10

2.5Kkelebihan dan Kekurangan teori Erik Erikson ...........................................................15

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………………………17

3.1 Implikasi dan Kritik Terhadap Teori Erik Erikson ........................................................17

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………….18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai seorang anak, Erik Salomonsen memiliki banyak pertanyaan namun hanya
sedikit jawaban tentang ayah biologisnya.Dia mengetahui ibunya adalah seorang
wanita Yahudi cantik bernama Dane yang keluarganya berusaha tampil sebagai orang
Denmark lebih daripada keluarga Yahudi. Namun ia tidak mengetahui siapakah
ayahnya. Dia terlahir dalam keluarga single parent,dia memegang 3 keyakinan yang
berbeda perihal asal usulnya. Pertama dia percaya bahwa suami ibunya adalah seorang
dokter bernama Theodore Homburger,dan dia percaya bahwa Theodore adalah ayah
biologisnya.Namun seiring berjalannya waktu dan Erik semakin bertambah besar,dia
menyadari bahwa itu keliru dan tidak benar karena rambut pirang dan mata birunya tidak
cocok dengan orang tuanya yang berambut dan bermata hitam.Dia mendesak pada
ibunya untuk menjelaskan hal ini namun,ibunya berbohong dan berkata bahwa ayah
biologisnya adalah seorang lelaki bernama Valdemar Salomonsen yang juga sebagai
suami pertamanya.dan ibunya bilang bahwa ayahnya meninggalkan sang ibu ketika
ibunya sedang mengandung Erik. Dan akhirnya Erik memilih untuk percaya bahwa dia
adalah hasil perbuatan tak senonoh antara ibunya dengan seorang seniman Denmark
yang berbakat,selama sisa hidupnya dia mempercayai 3 cerita ini namun,dia terus
mencari sendiri identitasnya dengan cara mencari nama ayah biologisnya yang
sesungguhny. Selama usia sekolah,ciri-ciri Skandavian Erik malah kebingungan dengan
identitasnya.Ketika masuk ke Sinagog orang Yahudi, mata biru dan rambut pirang itu
membuat dia terlihat seperti orang asing.Tetapi disekolah umum, teman temannya
malah menyebutnya anak Yahudi sehingga dia merasa seperti orang luar dikedua
tempat ini. Disepanjang hidupnya dia memiliki kesulitan untuk menerima dirinya sebagai
seorang Yahudi atau non-Yahudi
Saat ibunya meninggal,Erik yang saat itu berusia 58 tahun takut tidak akan pernah
mengetahui identitas ayah biologisnya,karena itu dia terus mencarinya.Akhirnya
setelah,30 tahun lebih kemudian dan ketika pikiran dan tubuhnya sudah sangat
renta,Erik kehilangan minat untuk mencari tau jati diri ayah biologisnya. Namun begitu,ia
terus menunjukan kebingungan identitasnya.Contehnya ia kebanyakan berbicara dalam
bahasa Jerman yang digunakan ketika muda,dan jarang berbicara dalam bahasa

1
inggris,bahasa utamanya selama lebih 60 tahun.Selain itu dia mempertahankan
kedekatan sepanjang hayat dengan Denmark dan orang-orang negeri itu,dan
menunujukan rasa bangga ketika memasang bendera Denmark dalam
rumahnya,sebuah negeri yang tidak pernah dia tinggali sedikitpun.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi erik erikson?
2. Bagaimana dinamika kepribadian erik erikson?
3. Bagaimana struktur kepribadian erik erikson?
4. Bagaimana tahapan perkembangan psikososial erik erikson?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan erik erikson?

1.3 TUJUAN MASALAH


1. Unruk mengetahui biografi erik erikson
2. Unruk mengetahui bagaimana dinamika kepribadian erik erikson
3. Untuk mengetahui bagaimana struktur kepribadian erik erikson
4. Untuk mengetahui apa saja tahapan perkembangan erik erikson
5. Untuk mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan teori erik erikson

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BIOGRAFI ERIK ERIKSON

Erik Homburger Erikson/Erik Salomonsen dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal


15 juni 1902. Sangat sedikit yang bias diketahui tentang asal usulnya. Ayahnya adalah seorang
laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau mengaku Erikson
sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya
bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun
ibunya menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore Homburger, kemudian mereka
pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939
sebagai ganti Erik Homburger. Erikson menyebut dirinya sebagai ayah bagi dirinya sendiri,
nama Homburger direduksi sebagai nama tengah bukan nama akhir.

Sebelum melihat lebih jauh mengenai teori dari Erik Erikson, maka kita tidak bisa
melewati sketsa biografi Erik Erikson yang juga berperan/mendukung terbentuknya teori
psikoanalisis. Pencarian identitas tampaknya merupakan fokus perhatian terbesar Erikson
dalam kehidupan dan teorinya.

Pertama kalinya Erikson belajar sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran/ajakan
dari Anna Freud (putri dari Sigmund Freud) di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun
waktu kurang lebih tahun 1927-1933. Bisa dikatakan Erikson menjadi seorang psikoanalisis
karena Anna Freud. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erison menikah dengan Joan Serson,
seorang sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah
ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa (psychoanalytic training
center). Pada tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara
tersebut, selain itu secara resmi pun dia telah mengganti namanya menjadi Erik Erikson. Tidak
yang tahu apa alasannya memilih nama tersebut.

4
2.2 Dinamika Psikososial Menurut Pandangan Erik Erikson

Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori
perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori
kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian
berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan
psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan
sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu
berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi
dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan
dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut
sebagai teori perkembangan psikososisal.

Menurut Erikson perkembangan psikologis dihasilkan dari interaksi antara proses-proses


maturasional atau kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan-kekuatan sosial
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang seperti ini, teori Erikson
menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi sosialisasi dibandingkan teori Freud.
Selain perbedaan ini, teori Erikson membahas perkembangan psikologis di sepanjang usia
manusia,dan bukan hanya tahun-tahun antara masa bayi dan masa remaja. Seperti Freud,
Erikson juga meneliti akibat yang dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman usia dini terhadap
masa-masa berikutnya, akan tetapi ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyelidiki perubahan
kualitatif yang terjadi selama pertengahan umur dan tahun-tahun akhir kehiduaan.

Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah satu teori yang
memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat
posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia
mulai dari lahir hingga lanjut usia, satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena
Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang
membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.

5
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa
pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud.
Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi,
teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah
seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia
sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak
ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-
psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.

Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan
dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Pusat dari teori Erikson
mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia
yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap
manusia.

Erikson memberi jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi perhatian yang lebih
kepada ego dari pada id dan superego. Dia masih tetap menghargai teori Freud, namun
mengembangkan ide-ide khususnya dalam hubungannya dengan tahap perkembangan dan
peran sosial terhadap pembentukan ego. Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan
dalam dan kekuatan lingkungan sosial. Ego bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif (otonomi)
membantu diri menangani dunianya. Erikson masih mengakui adanya kualitas dan inisiatif
sebagai bentuk dasar pada tahap awal, namun hal itu hanya bisa berkembang dan masak melalui
pengalaman sosial dan lingkungan. Dia juga mengakui sifat rentan ego, defense yang irasional,
efek trauma-anxieO-guilt yang langgeng, dan dampak lingkungan yang membatasi dan tidak
peduli terhadap individu. Namun menurutnya ego memiliki sifat adaptif, kreatif, dan otonom
(adaptable, creative, dan autonomy). Dia memandang lingkungan bukan semata-mata
menghambat dan menghukum (Freud), tetapi juga mendorong dan membantu individu. Ego
menjadi mampu – terkadang dengan sedikit bantuan dari terapis – menangani masalah secara
efektif.

6
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan
kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta
integritas. Ego semacam itu disebut juga ego-kreatif, ego yang dapat menemukan pemecahan
kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemui hambatan atau konflik,
ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan
kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego bukan budak tetapi justru menjadi tuan/pengatur
id, superego dan dunia luar. Jadi, ego di samping basil proses faktor-faktor genetik, fisiologik, dan
anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan historik. Ego yang sempurna, digambarkan
Erikson memiliki tiga dimensi, faktualitas, universalitas, dan aktualitas.

Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan mensintesa pengalaman
sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan datang. Dia
menemukan tiga aspek ego yang saling behubungan, yakni body ego (mengacu ke pangalaman
orang dengan tubuh/fisiknya sendiri), ego ideal (gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri,
sesuatu yang bersifat ideal), dan ego identity (gambaran mengenai diri dalam berbagai peran
sosial). Ketiga aspek itu umumnya berkembang sangat cepat pada masa dewasa, namun
sesungguhnya perubahan ketiga elemen itu terjadi pada semua tahap kehidupan.

Teori Ego dari Erikson yang dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori perkembangan
seksual-infantil dari Freud, mendapat pengakuan yang luas sebagai teori yang khas, berkat
pandangannya bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik. Bagi organisme,
untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya, lingkungan harus
memberi stimulasi yang khusus. Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat
biologis juga bersifat epigenesis, artinya psikoseksual untuk berkembang membutuhkan stimulasi
khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah lingkungan sosial.

Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian penting dari
perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori hubungan id-ego dalam bentuk
usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Menurutnya, situasi memberi makan merupakan
model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar jelas manifestasi biologis, tetapi
konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan bagi bayi tentang dunia
luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk mengantisipasi interaksinya dalam bentuk
kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka memandang kontak dengan manusia sangat
menyenangkan karena pada masa lalu hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan
menyenangkan. Sebaliknya, tanpa basic trust bayi akan mengantisipasi interaksi interpersonal

7
dengan kecemasan, karena masa lalu hubungan interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan
rasa sakit

Kepercaayaan dasar berkembang menjadi karakteristik ego yang mandiri, bebas dari dorongan
drives darimana dia berasal. Hal yang sama terjadi pada fungsi ego seperti persepsi, pemecahan
masalah, dan identias ego, beroperasi independen dari drive yang melahirkan mereka. Ciri khas
psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut:

Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial. Pusat
perhatian psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat, alih-alih konflik salah suai yang
neurotik.

Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan konsep
epigenetik kepribadian.

Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang
taksadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran
sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar
kepercayaan bebas dari Id, membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem kerja id.

Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri
dengan realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan masa
yang akan datang.

Perkembangan berlangsung melalui penyelesaian krisis-krisis yang ada pada tahapan


perkembangan yang terjadi berurutan. Erikson pertama kali memaparkan kedelapan tahapan ini
dalam bukunya yang termasyhur, Childhood and Society (1950a). Tabel Delapan Tahapan
Perkembangan Psikososial menyajikan daftar tahapan dan menunjukkan krisis atau tugas
psikososial apa yang terkait dengan masing-masing tahapan tersebut, kondisi-kondisi sosial yang
mungkin membantu atau mengganggu penyelesaian tahapan itu, dan hasil-hasil perilaku yang
muncul dari penyelesaian tahapan tersebut entah itu berhasil maupun gagal

8
2.3 STRUKTUR KEPRIBADIAN ERIK ERIKSON

Erikson (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu:

1. Ego Kreatif
Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan kreativitas atas masalah baru pada
setiap tahap kehidupan. Apabila menemukan hambatan atau konflik pada suatu fase, ego tidak
menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan
kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego yg sempurna memiliki 3 dimensi, yaitu faktualisasi,
universalitas dan aktualitas.

1. Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta metode yang dapat
dicocokkan atau diverifikasi dengan metode yang sedang digunakan pada suatu
peristiwa. Dalam hal ini, ego berisikan kumpulan hasil interaksi individu dengan
lingkungannya yang dikemas dalam bentuk data dan fakta.
2. Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita yang dikemukakan oleh
Freud. Dimensi ini berkaitan dengan sens of reality yang menggabungkan pandangan
semesta/alam dengan sesuatu yang dianggap konkrit dan praktis.
3. Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu untuk berhubungan
dengan orang lain demi mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, ego merupakan
realitas masa kini yang berusaha mengembangankan cara baru untuk dapat
memecahkan masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif, progresif, dan prospektif.
Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada pada individu bersifat tak
sadar, mengorganisir pengalaman yang terjadi pada masa lalu dan pengalaman yang akan terjadi
pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson menemukan tiga aspek yang saling berhubungan,
yaitu body ego, ego ideal dan ego identity, yang umumnya akan mengalami perkembangan pesat
pada masa dewasa meskipun ketiga aspek tersebut terjadi pada setiap fase kehidupan.
1. Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan tubuh atau fisiknya
sendiri. Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda dengan fisik tubuh orang lain.
2. Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang sempurna.
Individu cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep ego yang lebih ideal
dibanding dengan orang lain.
3. Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu terkait dengan diri yang
melakukan peran sosial pada lingkungan tertentu.

2. Ego Otonomi Fungsional


Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego terhadap realita.
Contohnya yaitu hubungan ibu dan anak. Meskipun Erikson sependapat dengan Freud mengenai
hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal terpenting dari perkembangan
kepribadian anak, tetapi Erikson tidak membatasi teori teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha
memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson (Alwisol, 2009:86) menganggap bahwa proses
pemberian makanan pada bayi merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan
sosialnya.

Lapar adalah menifestasi biologis, dan konsekuensinya akan menimbulkan kesan terhadap dunia
luar bayi ketika mendapat pemuasan id yang dilakukan oleh ibu. Bayi belajar untuk
mengantisipasi interaksi dalam bentuk basic trust pada saat diberi makan oleh ibunya. Basic

9
trust yang dimaksud yaitu suatu kepercayaan dasar anak yang memandang kontak dengan
manusia dan dunia luar adalah hal yang sangat menyenangkan karena pada masa lalu (bayi)
hubungan tersebut menimbulkan rasa aman dan menyenangkan terhadap dirinya.

3. Pengaruh Masyarakat
Pengaruh masyarakat adalah pembentuk bagian tersebesar ego, mesikipun kapasitas yang
dibawa sejak lahir oleh individu juga penting dalam perkembangan kepribadian. Erikson
mengemukakan faktor yang memengaruhi kepribadian yang berbeda dengan Freud. Meskipun
Freud menyatakan bahwa kepribadian dipengaruhi oleh biologikal, Erikson memandang
kepribadian dipengaruhi oleh faktor sosial dan historikal. Erikson (Alwisol, 2009:88) menyatakan
bahwa potensi yang dimiliki individu adalah ego yang muncul bersama kelahiran dan harus
ditegakkan dalam lingkungan budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyakarat berbeda,
cenderung akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan budaya
sendiri.

2.4 Tahap Perkembangan psikososial

Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-
sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam
beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah
perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan
melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan
pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson
juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu
perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori
perkembangan psikososial.

Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8


(delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan
ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas
pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan
kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan
merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan
perasaan tidak selaras.

Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang
merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat

10
pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu.
Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi
kegagalan.

Delapan fase perkembangan kepribadian menurut erik erikson memiliki ciri utama setiap
tahapannya yaitu di satu sisi pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat social, dan setiap
tahap mempunyai masa optimal atau masa kritis yang harus di kembangkan dan diselesaikan.
Adapun tingkatan dalam delapan menurut erik erikson.tahap perkembangannya yang di lalui
oleh setiap manusia berikut tahapan perkembangan psikososial Erikson.

1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya) (kelahiran – 18 bulan)


Pada tahap ini terjadi pada masa awal pertumbuhan seseorang dimulai. Pada tahap ini seorang
anak akan mulai belajar untuk beradaptasi dengan sekitarnya. Bayi pada usia 0-1 tahun
sepenuhnya bergantung pada orang lain, perkembangan rasa percaya yang dibentuk oleh bayi
tersebut berdasarkan kesungguhan & kualitas penjaga (yang merawat) bayi tersebut. Apabila
bayi telah berhasil membangun rasa percaya terhadap si pengasuh, dia akan merasa nyaman
& terlindungi di dalam kehidupannya. Akan tetapi, jika pengasuhanya tidak stabil & emosi
terganggu dapat menyebabkan bayi tersebut merasa tidak nyaman dan tidak percaya pada
lingkungan sekitar.

Hal pertama yang akan dipelajari oleh seorang anak adalah rasa percaya. Percaya pada orang-
orang yang berada di sekitarnya. Seorang ibu atau pengasuh biasanya adalah orang penting
pertama yang ada dalam dunia si anak. Jika ibu memperhatikan kebutuhan si anak seperti
makan maupun kasih sayang, maka anak akan merasa aman dan percaya untuk menyerahkan
atau menggantungkan kebutuhannya kepada ibunya. Namun, bila ibu tidak memberikan apa
yang harusnya diberikan kepada si anak, maka secara tidak langsung itu dapat membentuk
anak menjadi seorang yang penuh kecurigaan, sebab ia merasa tidak aman untuk hidup di
dunia (Slavin, 2006).

Shaffer (2005: 135) menyatakan bahwa pengasuh yang konsisten dalam merespon kebutuhan
anak akan menumbuhkan rasa percaya anak kepada orang lain, sedangkan pengasuh yang
tidak responsif atau tidak konsisten akan membentuk anak menjadi seorang yang penuh
kecurigaan. Anak-anak yang telah belajar untuk tidak mempercayai pengasuh selama masa
bayinya mungkin akan menghindari atau tetap skeptis untuk membangun hubungan
berdasarkan rasa saling percaya sepanjang hidupnya. Kegagalan mengembangkan rasa
percaya menyababkan bayi akan merasa takut dan yakin bahwa lingkungan tidak akan
memberikan kenyamanan bagi bayi tersebut, sehingga bayi tersebut akan selalu curiga pada
orang lain.

11
2. Autonomy vs Doubt (kemandirian vs keraguan) (18 bulan – 3 tahun)
Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/mascular stages), masa ini disebut masa balita
yang berlangsung mulai usia 1-3 tahun (early childhood). Pada masa ini anak cenderung aktif
dalam segala hal, sehingga orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak
serta kemandirian anak. Namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun
yang dia mau.

Pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa kegiatan secara
mandiri seperti makan, berjalan atau memakai sandal. Kepercayaan orang tua kepada anak
pada usia ini untuk mengeksplorasi hal-hal yang dapat dilakukannya secara mandiri dan
memberikan bimbingan kepadanya akan membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dan
percaya diri. Sementara orang tua yang membatasi dan berlaku keras pada anaknya, akan
membentuk anak tersebut menjadi orang yang lemah dan tidak kompeten yang dapat
menyebabkan malu dan ragu-ragu terhadap kemampuannya.

Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan
tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Begitu pun sebalikny, jika
anak terlalu diberi kebebasan mereka akan cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa
memperhatikan baik buruk tindakan tersebut.

Sehingga orang tua dalam mendidik anak pada usia ini harus seimbang antara pemberian
kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak. Karena dengan cara itulah anak akan bisa
mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.

3. Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa bersalah) (3 tahun – 6 tahun)


Pada tahap ini, kemampuan motorik dan bahasa anak mulai matang, sehingga memungkinkan
mereka untuk lebih agresif dalam mengeksplor lingkungan mereka baik secara fisik maupun
sosial. Pada usia-usia ini anak sudah mulai memiliki inisiatif dalam melakukan suatu tindakan
misalnya berlari, bermain, melompat dan melempar. Orang tua yang suka memberikan
hukuman terhadap upaya anaknya dalam mengambil inisiatif akan membuat anak merasa
bersalah tentang dorongan alaminya untuk melakukan sesuatu selama fase ini maupun fase
selanjutnya.

Pada masa ini anak telah memasuki tahapan prasekolah. Ia sudah memiliki beberapa
kecakapan dalam mengolah kemampuan motorik dan bahasa. Dengan kecakapan-kecakapan
tersebut, dia terdorong melakukan beberapa kegiatan. Namun, karena kemampuan anak
tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah. Peran orang tua untuk membimbing dan
memotivasi anak sangat dibutuhkan ketika anak mengalami kegagalan. Hal ini dimaksudkan
agar anak dapat melewati tahap ini dengan baik.

12
Erikson (dalam Shaffer, 2005) mengusulkan bahwa anak usia 2-3 tahun berjuang untuk menjadi
seorang yang independen atau mandiri dengan mencoba melakukan hal-hal yang mereka
butuhkan secara mandiri seperti makan dan berjalan. Sementara anak usia 4-5 tahun yang
telah mencapai rasa otonomi, sekarang mereka memperoleh keterampilan baru, mencapai
tujuan penting, dan merasa bangga dalam prestasi yang mereka capai. Anak-anak usia
prasekolah sebagian besar mendefinisikan diri mereka dalam hal kegiatan dan kemampuan
fisik seperti “aku bisa berlari dengan cepat, aku bisa memanjat tangga, aku bisa menggambar
bunga”. Hal ini mencerminkan rasa inisiatif mereka untuk melakukan suatu kegiatan, dan rasa
inisiatif ini sangat dibutuhkan oleh seorang anak dalam menghadapi pelajaran-pelajaran baru
yang akan ia pelajari di sekolah.

Sesuatu yang berlebihan maupun kekurangan itu tidaklah baik. Dalam hal ini, bila seorang
memiliki sikap inisiatif yang berlebihan atau juga terlalu kurang, maka dapat menimbulkan suatu
rasa ketidakpedulian (ruthlessness). Anak yang terlalu berinisiatif, maka ia tidak akan
memperdulikan bimbingan orang tua yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, anak yang terlalu
merasa bersalah, maka ia akan bersikap tidak peduli, dalam arti tidak melakukan usaha untuk
berbuat sesuatu, agar ia terhindar dari berbuat kesalahan. Oleh sebab itu, hendaknya orang tua
dapat bersikap bijak dalam menanggapi setiap perbuatan yang dilakukan oleh anak.
4. Industry vs Inferiority (ketekunan vs rasa rendah diri) (6 tahun – 12 tahun)
Pada tahap ini, anak sudah memasuki usia sekolah, kemampuan akademiknya mulai
berkembang. Selain itu, kemampuan sosial anak untuk berinteraksi di luar anggota keluarganya
juga mulai berkembang. Anak akan belajar berinteraksi dengan teman-temannya maupun
dengan gurunya. Jika cukup rajin, anak-anak akan memperoleh keterampilan sosial dan
akademik untuk merasa percaya diri. Kegagalan untuk memperoleh prestasi-prestasi penting
menyebabkan anak untuk menciptakan citra diri yang negatif. Hal ini dapat membawa kepada
perasaan rendah diri yang dapat menghambat pembelajaran di masa depan.

Pada tahap ini anak juga akan membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Shaffer
(2005) mengatakan pada usia 9 tahun hubungan teman sebaya menjadi sangat penting untuk
anak-anak sekolah. Mereka peduli pada sikap-sikap maupun penampilan yang akan
memperkuat posisi mereka dengan teman sebayanya. Sedangkan pada anak yang berusia
11,5 tahun, anak semakin membandingkan diri mereka dengan orang lain dan mengakui bahwa
ada dimensi di mana mereka mungkin kurang dalam perbandingan tersebut, seperti “aku tidak
cantik, aku biasa-biasa saja dalam hal prestasi”. Oleh sebab itu, sebagai seorang guru
hendaknya dapat memberikan motivasi pada anak-anak yang belum berhasil dalam mencapai
prestasi mereka agar anak tidak memiliki sifat yang rendah diri. Guru dapat mencari momen-
momen penting ketika di sekolah untuk memberikan penghargaan pada seluruh anak-anak,
sehingga anak akan merasa bangga dan percaya diri terhadap pencapaian yang mereka
peroleh.

5. Identity vs Role Confusion (identitas vs kekacauan identitas) (12 tahun -18 tahun)

13
Pada tahap ini anak sudah memasuki usia remaja dan mulai mencari jati dirinya. Masa ini
adalah masa peralihan antara dunia anak-anak dan dewasa. Secara biologis anak pada tahap
ini sudah mulai memasuki tahap dewasa, namun secara psikis usia remaja masih belum bisa
diberi tanggung jawab yang berat layaknya orang dewasa. Pertanyaan “Siapa Aku?” menjadi
penting pada tahapan ini. Pada tahap ini, seorang remaja akan mencoba banyak hal untuk
mengetahui jati diri mereka yang sebenarnya. Biasanya mereka akan melaluinya dengan
teman-teman yang mempunyai kesamaan komitmen dalam sebuah kelompok. Hubungan
mereka dalam kelompok tersebut sangat erat, sehingga mereka memiliki solidaritas yang tinggi
terhadap sesama anggota kelompok.

Erikson (dalam Shaffer, 2005) percaya bahwa individu tanpa identitas yang jelas akhirnya akan
menjadi tertekan dan kurang percaya diri ketika mereka tidak memiliki tujuan, atau bahkan
mereka mungkin sungguh-sungguh menerima bila dicap sebagai orang yang memiliki identitas
negatif, seperti menjadi kambing hitam, nakal, atau pecundang. Alasan mereka melakukan ini
karena mereka lebih baik menjadi seseorang yang dicap sebagai orang yang memiliki identitas
negatif daripada tidak memiliki identitas sama sekali.

Harter (dalam Shaffer, 2005) mengatakan bahwa remaja yang terlalu kecewa atas
penggambaran diri mereka yang tidak konsisten akan bertindak keluar dari karakter dalam
upaya untuk meningkatkan citra mereka atau mendapat pengakuan dari orang tua atau teman
sebaya. Anak pada usia ini rawan untuk melakukan beberapa hal negatif dalam rangka
pencarian jati diri mereka. Bimbingan dan pengarahan baik dari orang tua maupun guru juga
diperlukan bagi anak pada tahap ini, agar mereka dapat menemukan jati diri mereka
sebenarnya.

6. Intimacy vs Isolation (keintiman vs isolasi) (± 18 tahun – 40 tahun)


Pada tahap ini, seseorang sudah mengetahui jati diri mereka dan akan menjadi apa mereka
nantinya. Jika pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok
sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Pada fase ini seseorang
sudah memiliki komitmen untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain. Dia sudah mulai
selektif untuk membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang
sepaham. Namun, jika dia mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan
jarak dalam berinteraksi dengan orang.

Keberhasilan dalam melewati fase ini tentu saja tidak terlepas dari fase-fase sebelumnya. Jika
pada fase sebelumnya seseorang belum dapat mengatasi rasa curiga, rendah diri maupun
kebingungan identitas, maka hal tersebut akan berdampak pada kegagalan dalam membina
sebuah hubungan, dan menjadikannya sebagai seseorang yang terisolasi. Pada tahap ini,
bantuan dari pasangan ataupun teman dekat akan membantu seseorang dalam melewati tahap
ini.

14
7. Generativity vs Self Absorption (generativitas vs stagnasi) (± 40 tahun – 65 tahun)
Erikson (dalam Slavin, 2006) mengatakan bahwa generativitas adalah hal terpenting dalam
membangun dan membimbing generasi berikutnya. Biasanya, orang yang telah mencapai fase
generativitas melaluinya dengan membesarkan anak-anak mereka sendiri. Namun, krisis tahap
ini juga dapat berhasil dilalui dengan melewati beberapa bentuk-bentuk lain dari produktivitas
dan kreativitas, seperti mengajar. Selama tahap ini, orang harus terus tumbuh. Jika mereka
yang tidak mampu atau tidak mau memikul tanggung jawab ini, maka mereka akan menjadi
stagnan atau egois.

Pada masa ini, salah satu tugas untuk dicapai ialah dengan mengabdikan diri guna
mendapatkan keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak
berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini
adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat
dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti
kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam
stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas
dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Dalam tahap
ini, diharapkan seseorang yang telah mmasuki usia dewasa menengah dapat menjalin
hubungan atau berinteraksi secara baik dan menyenangkan dengan generasi penerusnya dan
tidak memaksakan kehendak mereka pada penerusnya berdasarkan pengalaman yang mereka
alami.

8. Integrity vs despair (integritas vs keputusasaan) (± 65 ke atas)


Seseorang yang berada pada fase ini akan melihat kembali (flash back) kehidupan yang telah
mereka jalani dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang sebelumnya belum
terselesaikan. Penerimaan terhadap prestasi, kegagalan, dan keterbatasan adalah hal utama
yang membawa dalam sebuah kesadaran bahwa hidup seseorang adalah tanggung jawabnya
sendiri.

Orang yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat
menghadapi kematian. Keputusasaan dapat terjadi pada orang-orang yang menyesali cara
mereka dalam menjalani hidup atau bagaimana kehidupan mereka telah berubah.

2.5. Kelebihan dan Kekurangan Teori Erikson


Shaffer (2005) mengatakan banyak orang lebih memilih teori Erikson daripada Freud karena
mereka hanya menolak untuk percaya bahwa manusia didominasi oleh naluri seksual mereka.

15
Erikson menekankan banyak konflik sosial dan dilema pribadi yang dialami seseorang atau
orang yang mereka kenal, sehingga mereka dapat dengan mudah mengantisipasinya. Erikson
tampaknya telah menangkap banyak isu sentral dalam kehidupan yang dituangkannya dalam
delapan tahapan perkembangan psikososialnya. Selain itu, rentang usia yang yang dinyatakan
dalam teori Erikson ini mungkin merupakan waktu terbaik untuk menyelesaikan krisis yang
dihadapi, tetapi itu bukanlah satu-satunya waktu yang mungkin untuk menyelesaikannya
(Slavin, 2006).

Selain memiliki kelebihan, teori Erikson juga memiliki beberapa kelemahan. Berikut beberapa
kritikan terhadap teori Erikson:

Tidak semua orang mengalami kasus yang sama pada fase dan waktu yang sama seperti yang
dikemukakan Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya (Slavin, 2006).
Teori ini benar-benar hanya pandangan deskriptif dari perkembangan sosial dan emosional
seseorang yang tanpa menjelaskan bagaimana atau mengapa perkembangan ini bisa terjadi
(Shaffer, 2005).
Teori ini lebih sesuai untuk anak laki-laki daripada untuk anak perempuan dan perhatiannya
lebih diberikan kepada masa bayi dan anak-anak daripada masa dewasa. (Cramer, Craig,
Flynn, Bernadette. & LaFave, Ann, 1997).

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Implikasi dan Kritik terhadap Teori Erikson

Seperti tahap-tahap piaget,tidak semua orang mengalami krisi-krisis Erikson dengan kadar yang
sama atau pada waktu yang sama.Rentang usia yang disebutkan disini mungkin melambangkan
waktu terbaik bagi suatu krisis untuk diselesaikan,tetapi bikan itu satu-satunya waktu yang
memungkinkan.Mislnya,anak yang terlahir dalam keluarga berantakan yang tidak berhasil
memberikannya rasa aman yang memadai mungkin saja mengembangkan kepercayaan setelah
diadopsi atau dibawa ke lingkungan yang lebih stabil.Orang yang pengalaman sekolah negatifnya
dan memberinya rasa inferioritas,ketika dia memasuki dunia kerja,mungkin saja dia menemukan
bahwa dia dapat belajar dan bahwa dia benar-benar mempunyai kemampuan yang
bernilai,kesadarna yang pada akhirnya dapat membantunya mengatasi krisis kemegahan versus
inferioritas yang telah diatasi orang lain pada tahun-tahun sekolah dasarnya.Teori Erikson
menekankan peran lingkungan dalam meyebabkan risis maupun dalam menentukan cara dalam
mengatasi krisis itu.Tahap-tahap perkembangan pribadi dan social dilanjutkan melalui interaksi
terus-menerus dengan orang lain dan dengan masyarakat sebagai keseluruhan.Selama ketiga
tahap pertama,interaksi terutama berlangsung dengan orang tua dan anggota keluarga lain,tetapi
sekolah memainkan peran utama bagi kebanyakan anak pada tahap IV(kemegahan versus
inferioritas) dan tahap V (identitas versus kebingungan peran).

Teori Erikson menjelaskan masalah-masalah dasar yang dihadapi orang ketika dia menjalani
kehidupan.Namun,teorinya telah dikritik karena teori tersebut tidak menjelaskan bagaiman atau
mengapa orang melangkah dari satu tahap ke tahap lain dan karena teori itu sulit dipastikan
melalui riset(Green,1989;Miller,1993)

17
DAFTAR PUSTAKA

Diakses melalui : https://duniapsikologi12.blogspot.com/2016/05/struktur-kepribadian-erik-


erikson.html?m=1

Diakases melalui : https://scdc.binus.ac.id/himpsiko/2017/12/1086

Diakses melalui : https://psikologi.net/erik-erikson

Diakses melalui : https://kongkoh.blogspot.com/2010/01/teori-perkembangan-psikososial-


erik.html?m=1

Diases melalui : https://wan-zeptyawan.blogspot.com/2013/06/makalah-teori-erikson.html?m=1

Diakses melalui : https://www.genreindonesia.com/2018/06/21/teori-perkembangan-psikososial-


erik-h-erikson

18

Anda mungkin juga menyukai