TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH TEKNOLOGI PANGAN
IKAN SARDEN KALENG
Disusun oleh:
Kelompok 2
Elmahery Sri Pratiwy 1606930193
Rizki Yanwar A. 1306377612
Sekar Pramesti Artha 1306397034
Yosia El Gibort 1406573904
Yulietta Heryani K. 1306480401
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Ikan Sarden Kaleng” ini dengan sebaik-baiknya. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Pangan. Makalah ini berisi
proses pengolahan produk ikan sarden kaleng mulai dari deskripsi bahan yang digunakan,
proses produksi, evaluasi hasi produksi serta kemasan yang digunakan untuk mengemas
produk.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak agar dalam penulisan selanjutnya dapat lebih baik.
Semoga makalah ini dapat menjadi sebuah referensi dan menambah pengetahuan
mengenai proses pengolahan ikan sarden kaleng. Akhir kata, penulis menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah
ini dari awal hingga akhir.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
2.3 Evaluasi Resiko Bahaya Keamanan Pangan pada Produksi Ikan Kaleng ................ 15
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bahan baku yang digunakan dalam pembuatan ikan sarden dalam kaleng
2. Mengetahui proses produksi ikan dalam kaleng
3. Mengetahui evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kualitas produk ikan sarden
dalam kaleng
1.3 Manfaat
Dengan mengetahui proses produksi produk ikan sarden dalam kaleng dapat
menambah wawasan mengenai bahan yang digunakan dalam pembuatan ikan sarden, cara
1
2
pembuatan, kemasan yang digunakan untuk mengemas ikan sarden dan evaluasi yang
diperlukan untuk mengetahui kualitas produksi ikan sarden dalam kaleng pada teknologi
pangan
BAB 2
ISI
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan ikatan sarden kaleng adalah ikan
lemuru. Ikan lemuru (Sardinella sp.) merupakan ikan pelagis kecil pemakan plankton
yang termasuk dalam keluarga sarden. Ikan lemuru hidup bergerombol, memiliki bentuk
bulat memanjang dengan bagian perut sedikit membulat dengan sisik duri yang sedikit
tumpul dan tidak menonjol. Panjang badan ikan lemuru mencapai 23 cm, tetapi umumnya
17-18 cm. Bagian atas badan berwarna biru kehijauan sedangkan bagian bawah berwarna
putih keperakan. Pada bagian atas penutup insang hingga pangkal ekor terdapat bercak
hitam atau bulatan kecil berwarna gelap. Siripnya berwarna abu-abu kekuning-kuningan,
sedangkan warna sirip ekor berwarna kehitaman.
Terdapat dua jenis ikan lemuru yang sering dijadikan sebagai bahan baku produk
olahan, yaitu Sardinella sirm dan Sardinella longiceps. Sardinella sirm banyak
3
4
ditemukan di laut Jawa. Tegal dan Pekalongan merupakan tempat pendaratan terbesar
jenis lemuru ini sedangkan Sardinella longiceps didapatkan dalam jumlah besar di Selat
Bali. Selain di perairan Selat Bali dan sekitarnya, ikan ini terdapat juga di sebelah selatan
Ternate dan Teluk Jakarta Ikan lemuru umumnya berada di dekat dasar perairan dan
membentuk gerombolan yang kompak pada siang hari, sedangkan pada malam hari ikan
lemuru bergerak mendekati permukaan air dalam bentuk gerombolan yang menyebar dan
akan muncul ke permukaan apabila cuaca mendung disertai hujan gerimis.
Ikan lemuru memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi. Ikan lemuru
mengandung omega-3 yaitu EPA (eicosapentaenoic) dan DHA (docohexanoic acid), jenis
lemak tak jenuh yang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Kandungan omega-3
pada ikan lemuru dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan HDL dan menekan
LDL sehingga dapat mencegah penyakit jantung, mencegah kegemukan karena menekan
bertambahnya sel-sel lemak dan mencegah timbulnya beberapa jenis alergi. Beragam
vitamin dan mineral yang dikandungnya dapat meningkatkan metabolisme seluler,
menjaga kesehatan tulang dan bergama manfaat lain yang dapat meningkatkan kualitas
hidup.
2.2.1 Kaleng
Kaleng digunakan sebagai kemasan primer dalam pengemasan produk ikan
kaleng. Keuntungan dari penggunaan kaleng adalah bahan pangan yang ada didalamnya
tetap terjaga. Makanan yang ada di dalam wadah yang tertutup dapat terjaga dari
kontaminasi oleh mikroba, serangga atau bahan lain yang mungkin dapat menyebabkan
kebusukan atau penyimpangan penampakan dan cita rasa yang dhiasilkan. Kaleng juga
dapata menjaga perubahan kadar air yang tidak diinginkan. Kaleng juga dapat menjaga
bahan pangan dari penyerapan oksigen, gas-gas lain, bau-bauan dari partikel radioaktif
yang terdapat di atmosfer. Selain itu, kaleng dapat menjaga dari radiasi cahaya.
2.2.2 Karton
Karton berfungsi untuk mempermudah proses penyimpanan, mempermudah sistem
pengangkutan atau pendistribusian bagi produsen, serta melindungi makanan dari
kontaminasi, pengaruh sinar matahari, tahan terhadap tekanan dan benturan. Pengemas
sekunder ini dilengkapi dengan layer berupa karton yang dapat mencegah terjadinya gesekan
6
antar kaleng. Pengemasan dalam karton juga dilengkapi dengan pita perekat agar karton
menjadi lebih kuat. Bagian luar karton terdapat label merek produk, kode dan tanggal
produksi.
2.3.2 Penyimpanan
Pada tahap ini, bahan-bahan disimpan dalam tempat penyimpanan. Bahan baku
utama, yaitu ikan disimpan dalam cold storage untuk mempertahankan suhu dan mutu
ikan sebelum digunakan. Suhu cold storage maksimal adalah -18°C. Selama
penyimpanan, ikan dikarantina untuk diuji kualitasnya oleh tim quality control
perusahaan dan balai karantina ikan. Ikan yang dikarantina akan disegel dan tidak boleh
digunakan sebelum selesia masa karantina. Lamanya masa karantina yaitu selama 5 hari.
Setelah masa karantina dan lolos pengujian, segel pada ikan akan dilepas oleh balai
karantina ikan.
7
Bahan pendukung lainnya disimpan dalam gudang terpisah dengan suhu ruang.
Masing-masing gudang dilengkapi dengan alat pengendali hama. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kerusakan bahan akibat hama seperti semut dan ikan.
berfungsi untuk membersihkan darah pada tubuh ikan. Proses pembersihan sisik
berlangsung cukup singkat, yaitu kurang dari 2 menit.
Kaleng berisi ikan yang telah melalui tahap penimbangan kemudian dilakukan
proses pemasakan awal atau pre cooking yang dilakukan dalam exhaust box. Tujuan
pemasakan awal adalah untuk membunuh mikroorganisme patogen dan mematangkan
ikan. Lamanya proses pemasakan awal yaitu selama 20 menit dengan suhu 90°C. Exhaust
box ini menggunakan panas dari uap yang dihasilkan boiler. Dari proses pemasakan awal
ini diharapkan suhu pusat ikan minimal 70°C. Jika suhu tidak mencapai 70°C, maka akan
dilakukan pemasakan ulang hingga dicapai suhu yang diharapkan.
2.3.10 Penirisan
a. Alat dan Bahan
1. Conveyor
2. Kaleng berisi ikan hasil pre-cooking
b. Proses
Dari proses pemasakan awal, dihasilkan air maupun minyak yang keluar dari ikan
lalu dihasilkan menjadi limbah dan ditampung untuk diolah lebih lanjut di bagian
pengolahan limbah. Air dan minyak tersebut perlu dibuang untuk menghindari terjadinya
pengenceran media dan dapat mempengaruhi cita rasa produk. Air dan minyak akan
dikeluarkan dengan penirisan. Proses penirisan dilakukan otomatis menggunakan
conveyor dengan kemiringan tertentu sehingga air dan minyak akan keluar dari kaleng.
kaleng akan langsung ditutup. Selain untuk menghampakan udara dalam kaleng,
penambahan saus berfungsi untuk memperpendek waktu sterilisasi karena kaleng masih
dalam keadaan panas. Tidak hanya itu, penampabahan saus terutama saus tomat dapat
menurunkan pH. Dengan adanya saus dalam kaleng, maka tidak ada lagi rongga udara di
antara potongan ikan.
Sebelum pengisian saus, dilakukan proses pembuatan saus terlebih dulu. Saus
dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan yang terdiri dari pasta tomat, pati modifikasi,
garam, dan air. Pencampuran bahan dilakukan di dalam tanki besar dengan kapasitas 750
liter yang terdapat pengaduk di dalamnya. Proses pencampuran bahan menggunakan uap
panas dari boiler dengan suhu uap 90⁰ C. Setelah proses pemasakan saus selesai, saus
langsung dialirkan melalui pipa menuju mesin pengisi saus. Pengisian dilakukan secara
otomatis menggunakan kran yang terdapat di bagian atas mesin pengisi saus. Suhu saus
saat masuk ke dalam kaleng minimal 70⁰ C. Setelah kaleng melewati kran pengisi saus,
aliran kaleng di atas conveyor diatur kemiringannya sehingga saus akan tumpah dan
diperoleh head space yang diinginkan. Head space yang dihasilkan dari kemiringan
tersebut adalah 6-10% dari tinggi kaleng. Saus yang tumpah akan ditampung dalam tanki
lalu dialirkan kembali ke tanki pemasakan saus untuk dipanaskan kembali. Saus yang
dipanaskan tersebut akan digunakan kembali untuk diisikan ke dalam kaleng.
dilakukan dengan menyemprotkan campuran air dan deterjen yang bersuhu 80⁰ C.
Kemudian kaleng yang sudah bersih diluncuran ke dalam bak penampung berisi air dan
terdapat keranjang besi untuk menampung kaleng-kaleng tersebut.
2.3.14 Sterilisasi
a. Alat dan Bahan
1. Produk dalam kaleng yang sudah dicuci
2. Retort (manual dan otomatis)
3. Keranjang
b. Proses
Setelah kaleng dicuci bersih, tahap selanjutnya adalah sterilisasi menggunakan
retort. Tujuan proses sterilisasi adalah untuk mematikan semua mikroorganisme yang
dapat menyebabkan kerusakan dan kebusukan pada produk. Dengan matinya semua
mikroorganisme tersebut, produk akan memiliki umur simpan yang panjang. Selain
mematikan mikroorganisme, proses ini bertujuan untuk melunakkan tulang dan daging
ikan. Tahap ini merupakan titik kendali kritis ke-3 karena jika suhu, waktu, dan tekanan
sterilisasi tidak sesuai dapat menimbulkan potensi bahaya tumbuhnya bakteri Clostridium
botulinium.
Kaleng yang ditampung dalam keranjang besi diangkut kemudian dimasukkan ke
dalam retort untuk proses sterilisasi. Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah
suhu dan waktu sterilisasi. Terdapat 2 jenis retort yang dapat dipakai, yaitu retort manual
dan otomatis. Pada retort otomatis, klep akan membuka ataupun menutup pada saat
tekanan uap naik maupun turun, sehingga kestabilan uap dapat terjaga. Sedangkan retort
13
manual, tekanan uap harus selalu dipantau dengan membuka kran uap saat tekanan uap
meningkat dan sebaliknya. Proses sterilisasi dikatakan berhasil jika mampu mencapai
tujuan tanpa merusak produk karena pemanasan selama proses sterilisasi.
Tahap awal yang harus dilakukan setelah memasukkan keranjang ke dalam retort
adalah membuka kran venting selama 10 menit. Venting adalah proses menghilangkan
udara dalam retort dan mengganti udara tersebut dengan uap panas. Kran venting ditutup
ketika suhu di dalam retort minimal 105⁰C. Setelah itu proses sterilisasi dimulai. Durasi
sterilisasi tergantung pada ukuran kaleng yang dipakai. Lamanya proses sterilisasi yang
diterapkan oleh salah satu produsen ikan kaleng olahan yaitu PT. Maya Food Industries
misalnya, untuk produk dengan ukuran kaleng 300 adalah selama 90 menit dengan suhu
117⁰C. Sementara produk dengan ukuran kaleng 202 yaitu selama 80 menit dengan suhu
117⁰C. Jika proses sterilisasi sudah selesai, kran uap ditutup.
Setelah kaleng kering, dilakukan proses pencetakan kode atau printing. Pencetakan
kode produksi dilakukan secara otomatis menggunakan mesin print. Printing dilakukan
untuk memberi identitas pada produk.
Setelah printing selesai, tahap selanjutnya adalah pengemasan kaleng dalam
kemasan berupa master carton. Contoh kecacatan pada kaleng yang umum terjadi adalah
kaleng lecet, adanya penyok pada kaleng, karat pada kaleng, bocor, selip, dan kaleng
kembung. Untuk kaleng yang lecet dan penyok akan dilakukan repacking atau
pengemasan ulang dengan mengganti kemasan kaleng menggunakan kaleng yang baru.
Sedangkan untuk kecacatan pada kaleng lainnya, produk tersebut termasuk dalam produk
reject.
2.2.17 Inkubasi
Setelah pengemasan, dilakukan tahap inkubasi produk jadi. Lamanya inkubasi
yaitu 7 hari setelah pengemasan. Proses inkubasi dilakukan di ruang pengemasan maupun
di ruang penyimpanan produk jadi. Tujuan inkubasi adalah untuk memastikan produk
yang dijual tidak terkontaminasi oleh mikroba dan tidak terjadi kerusakan pada produk
setelah 7 hari masa inkubasi dengan melakukan sampling pada produk jadi untuk dicek
di laboratorium.
2.3 Evaluasi Resiko Bahaya Keamanan Pangan pada Produksi Ikan Kaleng
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu sistem yang
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan
16
terhadap risiko bahaya signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex
Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar
identifikasi titik pengendalian kritis (Critical Control Point) dalam tahap pengolahan
dimana kegagalan dapat menyebabkan risiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001).
Proses HACCP ini diterapkan selama proses Good Manufacturing Process (GMP) dan
Sanitation Standard Operating Process (SSOP). Terdapat panduan penentuan dalam
identifikasi CCP yaitu:
Dalam identifikasi Criticial Control Point (CCP), kegiatan yang dilakukan adalah
a)identifikasi bahaya, b)penetapan titik kendali kritis (CCP), c)prosedur pemantauan
CPP, dan d)penetuan prosedur monitoring. Dalam tabel 2.1, dilampirkan tahapan-tahapan
dalam proses produksi sarden dalam kemasan kaleng yang memiliki resiko tinggi
17
menimbulkan bahaya. Untuk masing-masing proses tersebut, telah ditentukan batas kritis,
prosedur pemantauan, tindakan koreksi serta proses verifikasi guna memastikan proses
produksi berjalan dengan baik.
2.4.1 Sensori
Evaluasi ini bertujuan untuk keperluan pengembangan produk dan penilaian
kualitas produk perikanan.
Prinsip Pengujian : Dilakukan menggunakan indera manusia
a. Uji afektif : uji hedonik
Tujuan : untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk, pengujian dilakukan oleh
panelis tidak terlatih dalam jumlah yang banyak.
Prosedur uji hedonik : Satu atau lebih sampel disajikan bersamaan pada panelis yang biasa
mengonsumsi produk yang diuji dan dinilai berdasarkan tingkat kesukaan menggunakan
skor 1-9 untuk masing-masing atribut sensori
2.4.2 Kimia
a. Uji Histamin
Menentukan kadar histamin pada produk perikanan. Histamin merupakan senyawa
turunan dari asam amino histidin yang terbentuk karena tindakan bakteri yang memiliki
enzim dekarboksilase.
Prinsip : Histamin diesktrak dari jaringan daging contoh dengan TCA 10% lalu
diderivatisasi dengan senyawa orto-ftaldehid (OPA). Diukur secara KCKT dengan
detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 450 nm dengan
menggunakan fase gerak campuran asetonitril : larutan dapat monosodium fosfat (30:70)
dan kolom C-18. Respon KCKT berupa puncak kromatogram yang mempunyai waktu
retensi yang spesifik. Identifikasi puncak dilakukan dengan membandingkan tr sampel
terhadap tr standar. Luas puncak sebanding dengan jumlah analit tersebut.
Prosedur :
1. Blender contoh hingga homogen
2. Timbang seksama lebih kurang 50 g contoh ke dalam gelas piala, tambahkan 100
ml TCA 10% kemudian blender
3. Pindahkan ke dalam tabung reaksi 50ml, sentrifugal pada 3500 rpm selama 10
menit. Saring supernatan dengan membran filter 0,45 m kemudian simpan pada
suruh refrigerator (4oC)
4. Derivatisasi
5. Piept masing-masing 135 l larutan baku kerja dan filtrat contoh, masukkan ke
dalam tabung reaksi 10 ml
6. Tambahkan masung-masing ke dalam larutan baku kerja dan filtrat contoh berikut
berturut-turut : 1,86 ml air pro KCKT kemudian divorteks; 0,4 ml NaOH 1N,
biarkan selama 1 menit; 0,1 ml larutan OPA, vorteks dan biarkan selama 4 menit;
0,1 ml HCl 3N lalu vorteks.
7. Masukkan ke vial dan siap untuk diinjeksikan
8. Lakukan pengerjaan blanko 135l larutan asam trikloroasetat 10% pengganti
contoh dan dikerjakan seperti pengerjaan contoh
9. Injeksikan ke dalam kromatografi secara berurutan larutan blanko baku, baku kerja
dari konsentrasi terendah, blanko pereaksi, dan contoh. Rekam area puncak
kromatogram utama dari masing-masing larutan yang diinjeksikan
21
Kondisi KCKT
Detektor : fluoresens (high pressure xenon lamp)
Eksitasi : 350 nm
Emisi : 450 nm
Kolom : C-18 (4,6 mm x 220 mm) terkemas dengan ukuran partikel 5m
Fase gerak : asetonitril/ natrium dihidrogen fosfat 50 mmol/l (30/70)
Laju alir : 0,7 ml/menit
Volume injeksi: 20 l
Pastikan peralatan KCKT berfungsi dengan baik dan lakukan UKS
Perhitungan (dengan satu titik konsentrasi standar) :
𝐴𝑐 − 𝐴𝑏𝑝𝑟
𝜇𝑔 𝑥 𝐶𝑠𝑡𝑑 𝑥 𝑉𝑎
𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑠𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛 ( ) = 𝐴𝑠 − 𝐴𝑎𝑏𝑠
𝑔 𝑊
Keterangan :
Ac = area contoh
Abpr = Area blanko pereaksi
As = Area baku
Aabs = Area blanko baku
𝜇𝑔
Cstd = konsentrasi baku (𝑚𝑙)
dan daya hantar listrik yang tinggi, dan daya hantar panas yang cukup baik (Dahuri,
1996).
Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dibagi menjadi dua jenis yaitu
logam berat esensial dan logam berat tidak esensial (beracun). Keberadaan logam berat
esensial dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, seperti
antara lain, seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), kobalt (Co), dan mangan (Mn).
Sebaliknya, keberadaan logam berat tidak esensial dalam tubuh organisme hidup dapat
bersifat racun, seperti logam merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr),
dan lain-lain. Logam berat esensial dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, namun
dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun (Palar, 1994). Tercemarnya
makanan dan bahan makanan oleh logam berat dapat terjadi melalui berbagai cara, antara
lain melalui bahan baku, proses produksi, dan pengemasan (Dahuri, 1996).
Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya adalah sifat logam berat
yang tidak dapat dihancurkan (nondegradable) oleh organisme hidup yang ada di
lingkungan sekitarnya. Akibatnya, logam-logam tersebut akan terakumulasi dan
mengendap membentuk senyawa kompleks bersama bahanbahan organik dan anorganik
(Dahuri, 1996).
Menurut SNI 01-3751-2006, batas maksimum cemaran logam berat timbal (Pb)
pada bahan makanan dalam kaleng adalah 1,10 mg/kg. Untuk tembaga (Cu), batas
maksimum cemarannya adalah 10,0 mg/kg, batas maksimum cemaran logam kadmium
(Cd) tidak tercantum, dan batas cemaran logam kadmium (Cd) untuk bahan makanan dan
makanan yang tidak tercantum adalah 0,2 mg/kg (Standar Nasional Indonesia, 2006).
Menurut SNI 7387:2009, batas maksimum cemaran logam timbal (Pb) pada bahan
makanan dalam kaleng adalah 1,0 mg/kg.
Metode spektrofotometri serapan atom diperkenalkan pertama kali oleh Walsh
pada tahun 1953 dan dikembangkan di Exhibition of Physical Institute Melbourne
kemudian dipublikasikan pada tahun 1954. Spektrofotometri serapan atom merupakan
metode yang digunakan untuk menentukan kadar logam dalam suatu sampel. Keuntungan
dari metode spektrofotometri serapan atom adalah waktu pengerjaan yang cepat, alatnya
yang sensitif, dan sangat spesifik untuk unsur yang akan dianalisis. Metode
spektrofotometri serapan atom dapat menentukan kadar logam dengan konsentrasi yang
sangat kecil, yaitu sampai part permillion (ppm) (Haris & Gunawan, 1992).
23
Gambar 2.9 Skema pengenceran sampel untuk pengujian logam berat dengan
spektrofotometri serapan atom (SSA)
Gambar 2.12 Hasil pengujian TPC dengan metode konvensional, gambar dengan
jumlah koloni terbanyak pada pengenceran terbesar, dan koloni yang lebih sedikit pada
pengenceran besar.
25
Metode TPC yang banyak diterapkan untuk quality control di perusahaan adalah
metode TPC dengan petrifilm. Menurut A Brief Introduction to Microbiology and the Use
of 3MTM Petrifim PlatesTM, petrifilm merupakan medium kultur berupa film tipis, siap
digunakan untuk sampel, dan versi modern dari petridish agar plate. Petrifilm siap
digunakan setelah dibuka dari wadahnya dan memiliki beberapa keuntungan seperti
kemudahan dalam preparasi dan penggunaan, dan hanya membutuhkan volume yang
kecil saat pengujian.
Gambar 2.13 Hasil pengujian TPC dengan metode modern pertifilm, pada metode
pertrifilm sudah ditambahkan indikator warna, sehingga pertumbuhan koloni bakteri
dapat termati dengan jelas (titik merah).
Petrifilm juga lebih akurat saat uji kuantitatif secara mikrobiologi. Salah satu
metode penetapan TPC adalah dengan menggunakan aerobic count plate petrifilm.
Aerobic count plate dapat menghitung bakteri aerob dan anaerob fakultatif dalam suatu
sampel. Aerobic count plate mengandung nutrisi pertumbuhan bakteri, pewarna trifenil
tetrazoliumklorida, dan zat pembentuk gel larut air. Inkubasi aerobic count plate
dilakukan selama 48±3 jam pada suhu 35º±1ºC.
2.3.4 Fisik
a. Bobot Tuntas
Menetapkan penetuan berat bersih (drained weight) produk kaleng pada produk
perikanan
Prinsip : Penimbangan sebelum dan sesudah penirisan
Prosedur :
1. Timbang produk kaleng tanpa membuka, catat beratnya. Berat awal adalah berat
produk kaleng dikurangi berat kaleng (A)
2. Tuang seluruh isi kaleng kedalam saringan bundar No. 8 berdiameter 8 inci untuk
kemasan kaleng kurang dari sama dengan 1,36 jg (3 lb) dan berdiameter 12 inci
untuk kemasan kaleng > 3 lb
3. Timbang produk kaleng setelah penirisan, catat beratnya sebagai berat akhir (B)
27
b. Filth
Menentukan jumlah dan jenis benda-benda asing (filth) yang terdapat pada produk
perikanan. Filth adalah benda asing yang tidak diharapkan terdapat pada suatu produk
yang disebabkan oleh kontaminasi binatang seperti potongan serangga, bulu burung,
rambut manusia dan binatang pengerat serta beberapa bahan lain yang disebabkan kondisi
yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
Prinsip : memisahkan filth dari produk kaleng berdasarkan perbedaan densitas dengan
menggunakan larutan mineral oil (paraffin oil)
Prosedur :
1. Timbang contoh makanan kaleng sebanyak 200 g dalam Erlenmeyer
2. Tambah 800 ml air panas bersih (55-70oC), didihkan di atas hot plate magnetic
stirrer sambil diaduk dengan bayang magnet
3. Tambah 50 ml mineral oil dan aduk selama 3 menit hingga mendidih kembali
4. Angkat erlenmeyer, masukkan batang perangkap dan tambahkan air panas bersih
hingga leher labu dan diamkan selama 30 menit. Aduk secara manual pada menit
ke-10 dan ulangi pada menit ke-20
7. Letakkan kembali di atas hot plate magnetic stirrer selama 5 menit dengan
kecepatan maksimum tanpa pemanasan
8. Tambahkan dengan air panas bersih hingga mencapai leher labu dan diamkan
selama 20 menit, aduk secara manual pada menit ke-10.
9. Tarik batang perangkap hingga batas leher dan tuang cairan lapisan atas ke dalam
gelas piala (A).
10. Bilas leher erlenmeyer dengan larutan isopropanol dan tuang bilasan dalam gelas
piala (A).
11. Pindahkan larutan dari gelas piala (A) ke dalam percolator yang berisi 250 ml
aquades. Bilas gelas piala dan tuang dalam percolator. Tambahkan air hingga
volume percolator mencapai 1700 ml, diamkan selama 3 menit buang lapisan
bawah hingga batas 250 ml.
Gambar 2.15 Percolator
12. Ulangi pencucian 2 kali atau lebih, buang cairan lapisan bawah hingga batas 250
ml dan tampung cairan lapisan atas dalam gelas piala (B).
13. Bilas percolator dengan larutan sodium lauryl sulfat 1 % dan Isopropanol sampai
tidak ada partikel yang menempel. Tampung air bilasan dalam gelas piala (B)
14. Saring dengan kertas saring kasar menggunakan corong buchner yang dilengkapi
labu penampung dan pompa vakum.
Gambar 2.16 Corong buchner
29
3.1 Kesimpulan
1. Bahan yang digunakan dalam pembuatan ikan sarden dalam kaleng terdiri dari
bahan utama, bahan tambahan dan bahan pengemass. Bahan utama yang digunakan
yaitu ikan lemuru. Bahan tambaan yang digunakan yaitu pasta saus tomat, pati yang
termodifikasi, garam dan air.
2. Proses produksi ikan dalam kaleng terdiri penerimaan bahan baku, penyimpanan,
pelelehan, sortasi dan penyiangan, pembersihan sisik, pencucian ikan, pencucian
kaleng kosong, pengisian dan penimbangan, pemasakan wal, penirisan, pengisian
saus, penutupan kaleng, pencucian kaleng, sterilisasi, pendinginan, pencetakan dan
pengemasan, inkubasi, penyimpanan dan distribusi
3. Evaluasi yang dapat dilakukan terhadap produk ikan kaleng diantaranya sensori, uji
histamin, uji batas mikroba, cemaran logam berat, fisik
3.2 Saran
Dengan adanya materi pengolahan ikan sarden dalam kaleng, diharapkan dapat
produksi ikan dalam kaleng dikembangkan untuk meningkatkan kualitas dari bahan
makanan. Selain itu, wilayah Indonesia sebagian besar merupakan wilayah perairan
diharapkan jenis ikan yang digunakan sebagai bahan utama dapat diganti dengan jenis
ikan lainnya.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Astawan, M. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan : Ikan Kalengan Tetap Kaya Gizi.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 01-
2372.7:2006. Cara Uji Fisika- Bagian 7: Pengujian Filth pada Produk Perikanan.
Dewan Standarisasi Indonesia: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 2372.2:2011.
Cara Uji Fisika- Bagian 2: Penentuan Bobot Tuntas pada Produk Perikanan. Dewan
Standarisasi Indonesia: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 2354.5:2011.
Cara Uji Fisika- Bagian 5: Penentuan Kadar Pb dan Cd pada Produk Perikanan.
Dewan Standarisasi Indonesia: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2015. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 2346:2015.
Pedoman Pengujian Sensori pada Produk Perikanan. Dewan Standarisasi Indonesia:
Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2016. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI
2354.10:2016. Cara Uji Kimia- Bagian 10: Penetuan Kadar Histamin dengan
Spektrofotometri dan KCKT pada Produk Perikanan. Dewan Standarisasi
Indonesia: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2016. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 2354.6:2016.
Cara Uji Kimia- Bagian 6: Penentuan Kadar Hg pada Produk Perikanan. Dewan
Standarisasi Indonesia: Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2016. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 8222:2016.
Sarden dan Makarel dalam kemasan kaleng. Dewan Standarisasi Indonesia: Jakarta.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu dan Gizi Pangan.
31
32
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.05.1.55.1621 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Kemasan Pangan.
Redhitasari, R. Proses Produksi Pengalengan Ikan Sarden (Sardinella sp.) dalam Saus
Tomat di PT. Maya Food Industries Pekalongan. Thesis, Study of Food
Technology, Faculty of Farming Technology, Universitas Katolik Soegijapranta,
Semarang, Indonesia (2015).