ABSTRAK
Regulasi diri dipandang menjadi salah satu kunci pencapaian prestasi seseorang. Proses regulasi
diri melibatkan keaktifan seseorang dalam menghasilkan pikiran, perasaan dan tindakan,
merencanakan serta terus-menerus mengadaptasikannya guna mencapai tujuan-tujuan
(Zimmerman, 2000). Mahasiswa yang berprestasi pun diasumsikan meregulasi dirinya untuk
mencapai prestasi yang tinggi secara akademik maupun nonakademik. Tujuan penelitian ini
adalah memahami proses regulasi diri mahasiswa yang berprestasi tinggi, terfokus pada aspek
motivasionalnya. Partisipan penelitian berjumlah dua orang yang merupakan mahasiswa peraih
gelar “Mahasiswa Berprestasi” lewat kompetisi tahunan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi di
Indonesia. Menggunakan metode analisis data fenomenologi deskriptif (Moustakas, 1994;
Giorgi, 2009), peneliti menemukan 10 tema yang menyusun motif regulasi diri yang dialami
partisipan dan mensintesiskan kesemuanya dalam deskripsi struktural fenomena. Disimpulkan
bahwa pengejaran prestasi dimotivasi oleh keinginan berhasil memenuhi kewajiban sebagai anak
dalam keluarga, memenuhi kebutuhan dan mencapai kepuasan pribadi, menjalani hidup
bermanfaat dan bermakna, dan bersyukur kepada Tuhan atas keberhasilan menjadi mahasiswa.
Penemuan yang berkaitan dengan persoalan kultural didiskusikan.
Kata kunci: motivasi, regulasi diri, mahasiswa berprestasi tinggi, “Mahasiswa Berprestasi”
ABSTRACT
Self-regulation is long understood as a significant factor that influences person/ student
achievement. Self-regulation refers to self-generated thoughts, feelings, and actions that are
planned and cyclically adapted to the attainment of personal goals (Zimmerman, 2000). High-
achieving university students are assumed to regulate themselves to achieve high score in
academic task and to maintain extracurricular activities harmoniously. This study is purposed to
identify the process of self-regulation of high-achieving university student, focused on its
motivational aspect. Participant of this study is two university students that won title “Mahasiswa
Berprestasi” through annual competition “Pemilihan Mahasiswa Berprestasi” in Indonesia. Using
descriptive phenomenological analysis method (Moustakas, 1994; Giorgi, 2009) of data from the
participants, the author identifies 10 themes of motive of self-regulation and synthesizes them
through a structural description of phenomenon. It is concluded that achievement striving are
motivated by desire to successfully accomplish the obligations as child in the family, to fulfill
personal need and satisfaction, to live a useful and meaningful life, and to thank God to have
succeeded being a college student. Findings that related to cultural issues are discussed.
Pendahuluan
Keinginan Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar menimpakan tanggung jawab yang besar
bagi perguruan tinggi untuk mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas. Sesuai dengan
amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perguruan tinggi bagaikan
kawah candradimuka di mana di dalamnya mahasiswa dididik untuk membangun kemampuan
dan kompetensi, tidak hanya secara kognitif, tetapi juga sosial, emosional dan spiritual.
Tidak dapat dipungkiri, semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun keluarga ingin agar
mahasiswa berprestasi, sukses dalam studi, berkarakter, berkompeten, dan kompetitif sehingga
pada akhirnya mampu mengharumkan nama bangsa dan negara. Namun, keinginan tersebut
dihadang oleh satu kenyataan pahit bahw meskipun berbagai upaya telah dilakukan, sebagian
mahasiswa tidak berproses dan berprestasi seperti yang diharapkan.
Ada titik di mana perguruan tinggi tidak dapat dipersalahkan lagi ketika kegagalan tersebut
bersumber dari diri mahasiswa itu sendiri. Sarana prasarana belajar yang memadai, pengajar
yang cakap, kebijakan akademis yang mendukung, dan luasnya kesempatan untuk
mengembangkan diri lewat kegiatan organisasi dan kompetisi tidak akan bermanfaat jika
mahasiswa tidak berinisiatif untuk memanfaatkannya. Meskipun mahasiswa itu cerdas dan
berbakat, jika ia tidak aktif mengelola dirinya sendiri dan mau bekerja keras, maka ia tidak akan
berprestasi.
Pemerintah dan perguruan tinggi pun berusaha mendongkrak prestasi mahasiswa lewat berbagai
kebijakan akademis. Namun demikian, beberapa solusi sistemik atas permasalahan pendidikan
ini tampak terlalu reaktif, diterapkan pada mahasiswa dengan cara yang cukup memaksa dan
terlalu menekankan hasil daripada proses yang berkualitas. Hal itu mengabaikan hakikat prestasi
sebagai hasil dari proses berprestasi, sementara prestasi yang memunculkan kebahagiaan dan
kepuasan hidup adalah prestasi yang dicapai karena diinginkan dari dalam diri sendiri dan
diusahakan sepenuh hati (Brown & Ryan, 2004).
Teori regulasi diri merupakan salah satu perkembangan dari teori sosial kognitif. Berdasarkan
teori sosial kognitif, manusia dikenal sebagai makhluk yang dapat mengorganisasi dirinya sendiri
(self-organizing), proaktif, self-reflecting, dan mampu meregulasi dirinya sendiri, bukan
makhluk yang reaktif, yang dibentuk dan dipengaruhi semata-mata oleh kekuatan lingkungan
atau impuls-impuls dari dalam diri (Schunk & Pajares, 2005).
Kemampuan regulasi diri merupakan hasil dari adanya sense of personal agency, yaitu rasa
dimana seseorang menganggap dirinya bertanggung jawab atas usaha pencapaian hasil. Maka
dari itu ia membuat pilihan, membuat rencana untuk tindakan, memotivasi dan mengatur
jalannya rencana dan tindakan (Woolfolk, 2010).
Regulasi diri didefinisikan sebagai suatu proses di mana seseorang menghasilkan pikiran,
perasaan dan tindakan, merencanakan dan mengadaptasikannya secara terus-menerus untuk
mencapai tujuan-tujuan personal (Zimmerman, 2000). Ia pun mengacu pada keterlibatan aktif
seseorang dalam membuat tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan dan, jika dibutuhkan,
menyesuaikan strategi untuk mencapai tujuan (Senko & Harackiewicz, 2005).
Di Indonesia, sebuah penelitian disertasi menunjukkan hasil bahwa individu yang berprestasi
tinggi memiliki karakteristik pekerja keras, disiplin, prestatif, berkomitmen, mandiri, dan
realistis (Markum, 1998). Sekalipun tidak secara langsung berbicara tentang regulasi diri,
penemuan tersebut bersangkutan dengan self-regulatory ability.
Hal yang sama ditemukan dalam kasus siswa yang berprestasi tinggi di bidang akademik
sekaligus atletik di AS. Zimmerman dan Kitsantas (2005) menemukan bahwa pencapaian
prestasi membutuhkan lebih dari sekadar bakat dan pelajaran yang berkualitas, tetapi juga
keyakinan diri, ketekunan, dan kedisiplinan. Hal itu menunjukkan adanya dimensi self-
regulatory dalam suatu kompetensi yang sering kali tersembunyi dan luput disadari berperan
besar menjadi salah satu faktor penentu prestasi.
Dalam beberapa penelitian dalam konteks akademik, diketahui bahwa siswa yang berprestasi
tinggi melakukan regulasi diri dalam aktivitas belajarnya (self-regulated learning). Regulasi diri
mempengaruhi cara siswa menghadapi tugas akademiknya. Dalam belajar, tujuan mereka tidak
sekadar mendapatkan nilai bagus (performance goal), tetapi juga mencapai penguasaan dan
pemahaman materi (mastery goal) (Senko & Harackiewicz, 2005); cenderung untuk tidak
melakukan prokrastinasi akademik (Rakes & Dunn, 2010) dan self-handicapping akademik
(Thomas & Gadbois, 2007).
Evans (2007) dalam abstrak penelitian disertasi pada siswa sekolah menengah, menyimpulkan
bahwa regulasi diri bermanfaat dalam membantu siswa mencapai banyak prestasi di sekolah,
termasuk prestasi sosial yang dalam hal ini adalah penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
Hal tersebut menunjukkan bahwa regulasi diri juga berperan dalam mengelola aktivitas sosial, di
samping aktivitas belajar siswa.
Motivasi merupakan salah satu aspek penting dalam proses regulasi diri. Regulasi diri tidak akan
berjalan tanpa disertai motivasi diri untuk melakukan suatu tindakan (Zimmerman, 2000).
Usaha-usaha dalam proses regulasi diri pada dasarnya merupakan usaha yang bertujuan dan
berorientasi pada pencapaian target (goal-oriented behavior). Keberadaan target dan tujuan
merupakan sumber motivasi; ia memberikan energi, mengarahkan perilaku, dan memberikan
makna bagi kehidupan seseorang (Carver & Scheier, 2000).
Seseorang akan lebih memelihara pola perilaku dalam mencapai tujuan jika perilakunya
didasarkan oleh motivasi yang bersifat internal. Adanya motivasi internal menunjukkan bahwa
seseorang berperilaku demi suatu ganjaran yang intrinsik. Hal ini berkebalikan dengan motivasi
eksternal yang mana seseorang berperilaku karena tuntutan dari luar dirinya, seperti untuk
menghindari hukuman, mendapatkan ganjaran atau menyenangkan orang lain (Rothman,
Baldwin, Hertel, & Fuglestead, 2011).
Terdapat beberapa hal yang menarik terkait persoalan motivasional ini menyangkut adanya
pengaruh budaya dan agama terhadap orientasi tindakan. Salili (1996) mengungkapkan bahwa
orientasi budaya suatu masyarakat mempengaruhi motivasi dan aktivitas belajar seseorang.
Masyarakat Asia yang kolektivistik cenderung berprestasi demi kepentingan komunal mereka.
Dalam Chong (2007) disebutkan bahwa siswa Asia didorong untuk berusaha keras demi
memenuhi harapan orangtua dan sosial mereka. Mampu membuat keluarga bangga dan menjaga
nama baik keluarga menjadi insentif yang lebih besar daripada kepuasan pribadi.
McCullough dan Willoughby (2009) mengemukakan bahwa agama mempengaruhi regulasi diri
dengan mempengaruhi tujuan yang dimiliki seseorang. Agama mempengaruhi pemilihan tujuan,
meningkatkan kepentingannya dengan adanya sanksi, mengurangi konflik antartujuan, dan
mempengaruhi bagaimana tujuan diinternalisasikan.
Setelah semakin disadari besarnya pengaruh budaya (Chong, 2007; Trommsdorff, 2009), proses
interpersonal (Finkel & Fitzsimons, 2011) dan religius (McCullough & Willoughby, 2009)
terhadap proses regulasi diri, tantangan yang dihadapi penelitian ini adalah memahami motivasi
dalam proses regulasi diri di dalam konteksnya yang dialami oleh mahasiswa yang hidup dan
dibesarkan dalam budaya Indonesia yang dikenal bersifat kolektivistik-religius.
Pertanyaan utama yang berusaha dijawab penelitian ini adalah: bagaimana motivasi dalam proses
regulasi diri yang dilakukan oleh Mahasiswa Berprestasi?
Metode Penelitian
Partisipan
Partisipan penelitian ini berjumlah dua orang dan merupakan mahasiswa yang meraih gelar
“Mahasiswa Berprestasi” di tingkat universitas di Kota Semarang, berusia 20-21 tahun, dan
belum lulus dari perguruan tinggi. Partisipan diperoleh secara purposif berdasarkan kriteria yang
telah ditentukan.
Pengumpulan Data
Setelah mengajukan surat izin penelitian dan form kesediaan menjadi partisipan penelitian
(informed consent), peneliti memulai proses pengumpulan data. Data dikumpulkan dengan
wawancara mendalam (depth interview) selama tiga sampai empat kali pertemuan, masing-
masing sekitar 1 sampai 1,5 jam.
Prosedur analisis dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologi deskriptif (descriptive
phenomenology) (Giorgi & Giorgi, 2003; Moustakas, 1994) yaitu:
Horisonalisasi. Pada tahap kedua, peneliti mengidentifikasi “unit makna” dari data dengan cara
mencermati makna dari ucapan subjek. “Unit makna” adalah satu bagian dari deskripsi (kalimat
atau beberapa) yang mengandung satu makna saja sehingga dapat dibedakan dari unit makna
yang lain. Horisonalisasi ini menghasilkan daftar unit-unit makna.
Mengorganisasi Unit-unit Makna. Pada tahap ketiga, peneliti mengorganisasi unit-unit makna ke
dalam kategori-kategori (pengelompokkan/ clustering) berdasarkan kesamaan tertentu, lalu
memberi kategori-kategori tersebut nama atau tema (thematizing). Tema-tema yang dihasilkan
adalah poin-poin penting yang membentuk seluruh pengalaman subjek.
Menyusun Deskripsi Tekstural dan Struktural Individual. Pada tahap keempat, berdasarkan tema-
tema yang membentuk pengalaman subjek, peneliti membuat semacam deskripsi yang
menceritakan kembali pengalaman subjek berdasarkan pemahaman peneliti. Peneliti kemudian
memunculkan makna psikologis (psychological significance) dari deskripsi tema tersebut.
Peneliti melakukan refleksi atas pengalaman partisipan dan mengungkapkannya lagi dengan
bahasa yang kreatif dan psikologis tentang apa sebenarnya yang partisipan alami.
Identifikasi Tema Umum dan Khusus. Pada tahap kelima, peneliti mencermati tema-tema
pengalaman setiap subjek untuk menemukan tema-tema umum yang dimiliki seluruh subjek
beserta variasi individual yang ada. Tema-tema umum yang dimiliki bersama dikelompokkan
sebagai indikasi adanya tema utama yang muncul dari seluruh pengalaman.
Sintesis Tekstural-Struktural/ Deskripsi Gabungan. Pada tahap terakhir ini, berdasarkan tema
umum yang telah ditemukan, peneliti mensintesiskan deskripsi gabungan. Deskripsi tersebut
mengintegrasikan seluruh pengalaman tekstural dan struktural seluruh subjek menjadi deskripsi
yang universal yang merepresentasikan pengalaman seluruh subjek sebagai satu kesatuan.
Hasil
Tema-tema Umum
1. Peran sebagai anak tertua, harapan dan tanggung jawab untuk menjadi teladan. Kedua
partisipan dalam penelitian ini adalah anak tertua dalam keluarga mereka. Di dalam
keluarga, anak tertua berkewajiban menjadi teladan (model perkembangan) bagi saudara-
saudara yang lebih muda.
2. Tujuan berprestasi berorientasi pada keluarga, yaitu: 1) berbakti kepada orangtua/
membahagiakan orangtua dan 2) menjadi anak dan kakak yang baik/ memenuhi tugas
sebagai anak dan kakak.
3. Dalam hubungannya dengan orangtua mereka, kedua partisipan menunjukkan adanya
ikatan emosional yang kuat, ditandai dengan adanya rasa sayang yang mendalam.
Orangtua berperan sebagai significant other, tidak hanya karena perannya sebagai
pengasuh, tetapi juga sebagai penentu keberhasilan hidup/ prestasi kedua partisipan.
Prestasi pun dirasakan sebagai suatu kewajiban moral terhadap keluarga yang jika tidak
dicapai memunculkan rasa bersalah.
4. Keinginan berprestasi dipengaruhi oleh konsep diri kedua subjek sebagai anak pertama,
bahwa sebagai anak pertama mereka harus selalu baik dalam hal apapun, tidak hanya
dalam hal prestasi akademik, tetapi juga perilaku dan mentalitas.
5. Dalam konsep yang diyakini kedua partisipan, prestasi adalah sumber kepuasan hidup
yang besar. Prestasi adalah 1) sumber kesenangan, manfaat dan kebanggaan dan 2) sarana
untuk mengembangkan diri dan mengaktualisasikan kemampuan. Kedua partisipan
membangun sikap positif terhadap prestasi (suka dengan semua hal yang akan membuat
diri berprestasi, seperti belajar, kompetisi dan aktivitas organisasi).
6. Keinginan berprestasi dipengaruhi oleh konsep diri kedua subjek sebagai anak
berprestasi. Pengalaman menjadi “siswa teladan” selama masa sekolah membuat prestasi
dirasakan sebagai bagian yang integral dalam diri dan kehidupan. Kedua partisipan tidak
tenang dengan kondiri “menjadi yang biasa-biasa saja”, mereka berekspektasi tinggi pada
diri mereka sendiri.
7. Prestasi adalah jalan untuk memenuhi tujuan hidup yang prinsipil, mengada (eksis)
sebagai manusia yang bermanfaat karena mampu melakukan sesuatu yang baik dan
bermakna sesuai kapastias diri. Menjadi orang yang bermanfaat adalah jalan hidup yang
diinginkan, yang dengan mencapai itu hidup akan terasa menyenangkan.
8. Prestasi adalah jalan untuk membuktikan diri bahwa diri bisa, berkemampuan dan tidak
lemah. Prestasi dicapai karena didorong oleh kebutuhan mengetahui sejauh mana
kapasitas diri dan kemampuan otentik diri yang membuat diri layak menerima tanggung
jawab hidup yang besar.
9. Kedua hal di atas menjadi prinsip yang mewarnai upaya berprestasi dalam bentuk etos
diri yang berorientasi pada kebermanfaatan, proses yang berkualitas dan perkembangan
diri.
10. Kedua partisipan berjanji untuk berprestasi karena dua hal: 1) bersyukur atas
keberhasilan menjadi mahasiswa dan 2) bertanggung jawab atas pilihan belajar di bidang
studi yang diinginkan. Kedua partisipan mengalami pengalaman masuk perguruan tinggi
yang tidak mudah (melibatkan pengalaman nyaris gagal dan konflik preferensi dengan
orangtua) di mana mereka harus bekerja keras untuk memenangkan bidang studi yang
diinginkan. Rasa puas dan bersyukur pun diikuti dengan janji untuk berprestasi.
Komitmen tersebut tercermin dari target prestasi tinggi yang ditetapkan untuk diri sendiri.
Sintesis
Mencermati hal-hal apa saja yang menjadi motif berprestasi yang menggerakkan proses regulasi
diri, regulasi diri untuk mencapai prestasi tampak merupakan proses yang multidimensional dan
multitujuan. Meskipun dilakukan dalam konteks akademik terkait peran partisipan sebagai
seorang mahasiswa, regulasi diri untuk mencapai prestasi bersentuhan dengan berbagai aspek
kehidupan partisipan yang lain. Apa yang mendorong partisipan untuk berprestasi berasal dari
ranah kehidupan nonakademik, seperti keinginan menyukseskan peran sosial sebagai anak dan
kakak yang baik dan mencapai prestasi eksistensial-spiritual sebagai pribadi yang unggul,
bermanfaat dan bersyukur.
Motivasi untuk berprestasi berasal dari berbagai sumber. Dorongan berprestasi yang besar
muncul dari adanya tekanan untuk memenuhi harapan sosial (keluarga) dan menghindarikan diri
dari merugikan kepentingan umum. Ikatan emosional, rasa sayang dan takut mengecewakan
orang yang disayang, serta rasa bersalah karena gagal menjadi sumber kekuatan untuk berjuang
yang besar. Dorongan berprestasi juga muncul dari kebutuhan diri untuk berprestasi dan
memelihara integritas dan identitas diri sebagai individu yang berprestasi. Prestasi berkaitan erat
dengan persoalan harga diri untuk mencapai kebanggaan dan menghindari rasa malu dari tidak
berprestasi. Karena itu, tidak berprestasi dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam harga diri.
Terakhir, prestasi dicapai sebagai konsekuensi memiliki prinsip hidup yang bersifat moral-sosial-
religius, untuk menjalani hidup yang ideal sebagai individu yang baik, dalam arti bermanfaat,
mampu berbagi kelebihan diri pada lingkungan/ orang lain. Kemampuan untuk bermanfaat ini
memberikan insentif berupa rasa bahagia dan puas karena dapat membahagiakan orang lain.
Prestasi tampak merupakan konsekuensi/ reaksi adaptif atas pengalaman sukses dengan
kebersyukuran sebagai proses yang memerantarainya.
Diskusi
Motif adalah sumber motivasi dan daya juang subjek dalam berprestasi. Pemahaman akan motif
menjadi kunci memahami determinasi dan persistensi individu; apa yang membuat individu
menghendaki “kesulitan” dan kebertahanannya dalam kesulitan tersebut demi berprestasi.
Perilaku manusia dapat dipahami dengan mengetahui apa tujuan/motif yang ia miliki. “Goals
energize and direct activities; tujuan memberikan energi dan mengarahkan tindakan”, demikian
dikatakan dalam Carver & Scheier (2000). Tujuan juga memberikan makna bagi kehidupan
individu. Mencermati motif atau tujuan yang dimiliki partisipan, dapat dilihat bahwa berprestasi
adalah sebuah perjalanan yang penuh makna, menyangkut kepentingan/ kebahagiaan orang
banyak dan diri sendiri.
Prestasi akademik tidak menjadi hal berdiri sendiri. Peran sebagai mahasiswa tidak dimainkan
atau terjadi dalam ruang hidup yang terisolasi secara akademik, melainkan berhubungan dengan
peran-peran lainnya dalam hidup, menyangkut status diri sebagai makhluk individual dan sosial,
serta spiritual. Dalam kemultidimensiannya, tujuan-tujuan berprestasi yang dimiliki subjek
berhubungan dengan banyak motif, berkaitan dengan peran-peran yang dimainkannya dalam
kehidupan.
Macam dari motif terentang dari yang berorientasi pada diri sendiri/ motif personal-instrumental
(menjadi diri terbaik, mencapai kesenangan, kepuasan, dan kebanggaan), sampai yang
berorientasi pada orang lain/ motif sosial-familial, dan pencarian kebermaknaan hidup/ motif
yang bersifat eksistensial-spiritual. Di hadapan motif-motif tersebut, prestasi yang diperjuangkan
tampak diposisikan sebagai sarana atau jalan untuk mencapai hal-hal lain yang lebih besar dan
lebih penting dalam hidup tersebut.
Peran Keluarga
Proses dalam keluarga menentukan proses regulasi diri. Hal ini mendukung teori yang
menyatakan bahwa hubungan sosial memiliki pengaruh yang kuat dan luas terhadap proses
regulasi diri seseorang (Vohs & Finkel, dalam Finkel & Fitzsimons, 2011). Hubungan sosial
mempengaruhi keputusan tentang tujuan yang hendak dicapai, mempengaruhi usaha mencapai
tujuan dengan memberikan dukungan sosial dan sumber kekuatan psikologis untuk meregulasi
diri, mempengaruhi motivasi dan strategi, serta mempengaruhi pengawasan terhadap pencapaian
tujuan.
Pencapaian prestasi erat kaitannya dengan persoalan identitas “siapa saya”. Bagi kedua
partisipan, diri mereka adalah “kakak teladan dan anak yang berprestasi” sehingga selamanya
“saya harus mampu menjadi teladan dan berprestasi”. Kedua subjek hidup dengan konsep diri
yang demikian dan prestasi pun menjadi penting karena ia berhubungan dengan kebutuhan dan
usaha memelihara diri untuk tetap menjadi diri yang ideal.
Penemuan ini mendukung konsep yang dikemukakan oleh Carver dan Scheier (2000) bahwa
tujuan yang dimiliki seseorang adalah berkaitan dengan diri orang itu sendiri; “self is partly the
person’s goal”, diri seseorang sampai pada titik tertentu merupakan bagian tujuan dari orang itu.
Sebuah tujuan menjadi penting karena dihubungkan pada konsep diri seseorang.
Pengejaran prestasi di perguruan tinggi melanjutkan keinginan berprestasi yang sudah ada
sebelum partisipan menjadi mahasiswa. Satu hal yang menjadikan prestasi selalu diinginkan
adalah karena prestasi memberikan “sesuatu” secara psikologis. Ketika berhasil mencapai itu,
partisipan merasakan puas, senang dan bahagia. Lebih dari sekadar perasaan yang emosional,
keberhasilan memunculkan rasa bermakna bahwa eksistensi diri tidak sia-sia. Karena itu,
pengejaran prestasi pun menjadi menjadi jalan untuk mencari kebahagiaan diri.
Pencapaian prestasi memberikan efek yang menjamin keberlangsungan keinginan berprestasi
lewat pengaruh psikologis yang diberikannya, berupa kepuasan hidup, seperti yang disebutkan
oleh Sagiv, Roccas dan Hazan (2004, h. 73) bahwa pencapaian tujuan memuaskan kebutuhan
psikologis dan mengharmoniskan diri (self-concordance).
Beberapa temuan dalam penelitian ini bersangkutan dengan isu kultural dan religius. Pertama,
mengenai motif berprestasi yang sangat mengutamakan kepentingan keluarga yang
mencerminkan karakter kolektivistik masyarakat Asia (keinginan mewujudkan harapan dan
berbakti kepada orangtua dan menjadi anak tertua yang dapat diteladani). Kedua, mengenai
adanya rasa takut mengecewakan keluarga dan perasaan malu, bersalah dan sedih ketika gagal
mencapai prestasi yang diinginkan yang mendorong kerja keras. Ketiga, mengenai pengaruh
kebersyukuran terhadap motivasi dalam proses regulasi diri.
Temuan yang dihasilkan menunjukkan adanya peran budaya kolektivistik dalam regulasi diri
partisipan yang merupakan orang Indonesia. Tujuan dari kolektivisme adalah mencapai harmoni
dan berusaha demi mencapai kesejahteraan bersama di mana kepentingan bersama berada di atas
kepentingan pribadi. Dari perspektif kolektivistik terhadap regulasi diri, perilaku individu
dipandang merupakan hasil dari adanya harapan komunal (Jackson, Mackenzie, & Hobfoll,
2000).
Motif dan perilaku berprestasi partisipan menunjukkan kesamaan dengan yang dimiliki siswa di
masyarakat Asia (dalam Chong, 2007). Orang Asia diajarkan untuk bersikap dan merespon
dalam cara yang akan meningkatkan keterikatan mereka dengan significant other di lingkungan
tempat tinggal. Seorang siswa didorong untuk berusaha keras memenuhi harapan orangtua dan
sosial.
Keterbatasan Penelitian
Betapa pun penelitian ini telah menghasilkan sebuah penemuan, penelitian ini tidak lepas dari
keterbatasan metodologis yang berdampak pada aplikasi hasil penelitian, yaitu menyangkut
jumlah subjek penelitian yang minim hanya dua orang dan karakteristik yang relatif homogen.
Polkinghorne (dalam Cresswell, 2007) merekomendasikan bahwa jumlah subjek yang ideal
untuk studi fenomenologis adalah 5 sampai 25 orang. Metode sampling yang utama bagi
fenomenologi deskriptif adalah sampling dengan variasi maksimum (maximum variation
sampling) (Polkinghorne, dalam Langdridge, 2007).
Penelitian ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan akses terhadap subjek/ partisipan.
Penelitian ini memiliki sumber yang sangat minim, mengingat ketatnya syarat yang peneliti
terapkan sebagai karakteristik subjek. Peneliti mengambil subjek secara purposif, yaitu
mahasiswa yang sangat berprestasi/ berprestasi tinggi, dilihat dari keberhasilan mereka terpilih
menjadi Mahasiswa Berprestasi lewat kompetisi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi di universitas
dan menjadi finalis di pemilihan tingkat nasional. Jumlah individu yang menjadi subjek pun
terbatasi lewat kriteria tersebut.
Peneliti pun tidak sengaja mendapatkan subjek dengan karakter yang serupa. Dilihat dari sudut
pandang kultural, kedua subjek adalah wanita, menjadi anak sulung di dalam keluarga, berasal
dari suku Jawa, dan beragama Islam. Dilihat dari latar belakang keluarga dan pengalaman hidup,
kedua subjek berasal dari keluarga yang berpendidikan dan status sosial ekonomi yang relatif
serupa, dibesarkan dengan pola asuh yang demokratis, menekankan peran anak pertama sebagai
teladan dan keharusan berprestasi, dan menjadi Siswa Teladan di masa sekolah.
Persoalan tersebut mempengaruhi variasi data yang dihasilkan di mana peneliti menemukan ada
lebih banyak kesamaan daripada perbedaan dalam pengalaman regulasi diri kedua subjek
sehingga deskripsi pengalaman yang dihasilkan penelitian ini tidaklah kaya. Menurut Langdridge
(2007), kekayaan data adalah hal yang penting karena hal itu memungkinkan subjek dipahami,
yang dalam penelitian ini adalah mahasiswa berprestasi, dengan cara yang baru, cermat,
mendetail, dan berbeda.
Penutup
Kesimpulan
Motivasi yang sifatnya internal adalah aspek penting dalam proses regulasi diri. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa partisipan mengelola dimensi motivasi. Mereka
memiliki banyak hal yang terus memotivasi mereka untuk mengejar prestasi. Secara eksternal,
mereka berkomitmen pada peran dan tanggung jawab sosial yang mereka miliki untuk menjadi
teladan dan anak yang berbakti dan mampu membahagiakan keluarga. Secara internal, terdapat
kebutuhan pribadi untuk mempertahankan prestasi dan menggunakan prestasi tersebut sebagai
sarana untuk mewujudkan tujuan hidup yang prinsip dan menjalani hidup yang bermakna.
Motivasi yang dimiliki bernuansa religius ditandai dengan terlibatnya kebersyukuran sebagai
pendorong regulasi diri dan juga menyiratkan adanya pengaruh kultural masyarakat Indonesia
yang kolektivistik; mengutamakan kepentingan komunal.
Saran
Secara praktis, hasil penelitian ini menjadi masukan yang mendukung upaya peningkatan
prestasi mahasiswa. Motivasi penting diperhatikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
proses regulasi diri dan keberhasilan akademik. Ketika diketahui bahwa faktor sosial (keluarga),
individu (pengejaran makna hidup) dan religius (kebersyukuran) berperan di dalamnya, maka
upaya memotivasi mahasiswa dapat dilakukan dengan mengintegrasikan ketiga hal tersebut.
Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti topik terkait
regulasi diri, terutama dalam konteks yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Mengingat adanya keterbatasan dalam penelitian ini, peneliti menyarankan untuk dilakukan
penelitian ulang dengan metode kualitatif dan subjek yang sama, tetapi dalam jumlah yang lebih
besar atau penelitian baru dengan metode dan subjek yang berbeda.
DaftarPustaka
Brown, K. W. & Ryan, R. M. 2004. Fostering Healthy Self-Regulation from Within and
Without: A Self-Determination Theory Perspective. Dalam P. A. Linley & S. Joseph (Ed.).
Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley & Sons.
Chong, Wan Har. 2007. The Role of Personal Agency Beliefs in Academic Self-Regulation: An
Asian Perspective. School Psychology International. 2007, 28, 63.
Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five
Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publication.
Jackson, T., Mackenzie, J., & Hobfoll, S. E. 2000. Communal Aspects of Self-Regulation.
Dalam M. Boekaerts, P. R. Pintrinch & M. Zeidner (Ed.). Handbook of Self-Regulation. San
Diego: Academic Press.
Markum, M. E. 1998. Sifat Sumber Daya Manusia Indonesia Penunjang Pembangunan: Studi
tentang Prasyarat Sifat, Latar Belakang Keluarga dan Sekolah dari Individu Berprestasi Tinggi.
[Abstrak] Disertasi. Universitas Indonesia. Diunduh dari:
http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/ detail.jsp?id=74950&lokasi =lokal.
Rothman, A. J., Baldwin, A. S., Hertel, A. W., & Fuglestad, P. T. 2011. Self-Regulation and
Behavioral Change: Disentangling Behavioral Initiation and Behavioral Maintenance. Dalam R.
F. Baumiester & K. D. Vohs. Handbook of Self-Regulation: Research, Theory, and Applications
Second Edition. New York: The Guilford Press.
Sagiv, L., Roccas, S. & Hazan, O. 2004. Value Pathways to Well-Being: Healthy Values, Valued
Goal Attainment, and Environmental Congruence. Dalam P. A. Linley & S. Joseph (Ed.).
Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley & Sons.
Salili, F. 1996. Learning & Motivation: An Asian Perspective. Psychology Developing Societies.
8, 55, h. 55-81.
Schunk, D. H. & Pajares, F. 2005. Competence Perceptions and Academic Functioning. Dalam
A. J. Elliot & C. S. Dweck (Ed.). Handbook of Competence and Motivation. New York: Guilford
Press.
Woolfolk, A. 2010. Educational Psychology Eleventh Edition. New Jersey: Pearson Education
International.
Zimmerman, B. J. & Kitsantas, A. 2005. The Hidden Dimension of Personal Competence: Self-
Regulated Learning and Practice. Dalam A. J. Elliot & C. S. Dweck (Ed.). Handbook of
Competence and Motivation. New York: Guilford Press.
Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenalogi transedental dari Husserl:
a. Epoche
Epoche berarti “ menjauh dari”dan “ tidak memberikan suara”. Husserl menggunakan metode epoche
untuk term bebas dari prasangka. Dengan metode Epoche, kita menyampingkan penilaian, bias, dan
pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan
hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang kita miliki sebelumnya.
Dalam melakukan penelitian fenomenologi, epoche ini mutlak harus ada. Terutama ketika
menempatkan fenomena dalam tanda kurung ( Bracketing methods). Memisahkan fenomena dari
keseharian dan unsure-unsur fisiknya, dan ketika mengeluarkannya “ kemurnian” yang ada padanya.
Jadi epoche adalah untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.
b. Reduksi Fenomenalogi
Tugas dari reduksi fenomenalogi adalah menjelaskan dalan susunan bahasa bagaimana objek iu terlihat.
Tidak hanya dalam term objek secara eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,
pengalaman, ritme, dan hubungan antara fenomena dengan “ aku”, sebagai subjek yang diamati.
Fokusnya terletak pada kualitas dari pengalaman, sedangkan tantangannya ada pemenuhan sifat-sifat
alamiah dan makna dari pengalaman. Dengan demikian proses ini terjadi lebih dari satu kali.
Reduksi akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu (leads us back to our own
experience of the thins are). Memunculkan kembali penelian/ asumsi awal, dan mengembalikan sifat-
sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk
mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk
melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya
c. Variasi Imajinasi
Dalam penelitian fenomenologi, setelah reduksi fenomenologi adalah variasi imajinasi. Tugas dari variasi
imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka
rujukan, pemisahan dan pembalikan, dan pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi,
peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tidak lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah
pengalaman (bagaimana fenomena berbicara mengenai dirinya). Dengan kata lain menjelaskan struktur
esensial dari fenomena.
d. Sintesis Makna dan Esensi
Tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi transcendental adalah integrasi intuitif dasar-dasar
deskripsi tekstural dan struktural ke dalam satu pertanyaan yang menggambarkan hakikat fenomena
secara keseluruhan. Dengan demikian tahap ini adalah tahap penegakan pengetahuan mengenai
hakikat.
Menurut Husserl, esensi adalah suatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas yang
menjadikan sesuatu. Sedangkan menurut Sartre, esensi adalah rangkaian yang sangat penting, rangkaian
yang saling jalin menjalin dari penampakan.
2.4 Penggunaan Teori dalam Penelitian Fenomenalogi
Fenomenalogi pada dasarnya berprinsip a priori, sehingga tidak diawali dan didasari oleh teori tertentu.
Penelitian fenomenalogi justru berangkat dari perspektif filasafat, mengenai “apa” yang diamati, dan
bagaimana cara mengamatinya. Adapun premis-premis dasar yang digunakan dalam penelitian
fenomenalogi adalah sebagai berikut:
1. Sebuah peristiwa akan berarti mereka yang mengalaminya secara langsung.
2. Pemahaman objektif oleh pengalaman subjektif
3. Pengalaman manusia terdapat dalam struktur pengalaman itu sendiri tidak direkontruksi oleh
peneliti.
2.5. Tahapan-Tahapan Penelitian Fenomenalogi
Berikut adalah tahapan-tahapan dalam penelitian Fenomenalogi:
a. Tahapan perencanaan
• Membuat daftar pertanyaan
• Menjelaskan latar belakang penelitian
• Memilih informan
• Telaah Dokumen
Berikut salah satu contoh format proposal penelitian fenomenalogi dari Creswell
a. Pendahuluan
1. Perumusan masalah
2. Tujuan Penelitian
3. Pertanyaan besar penelitian dan pertanyaan penelitian (yang lebih mendetail)
4. Definisi-definisi konsep dalam penelitian
5. Ada tidaknya pembatasan penelitian
b. Prosedur Penelitian
1. Asumsi dasar dan rasionalitas rancangan penelitian yang digunakan
2. Ciri-ciri rancangan penelitian yang digunakan
3. Peranan peneliti dalam penelitian.
4. Prosedur pengumpulan data
5. Metode pemeriksaan (validasi) data.
6. Hasil penelitian yang diharapkan, dan bagaimana hubungannya dengan teori dan literature yang ada
2.6 Tahap Pengumpulan Data
Menurut Creswell (Perluasan dari konsep-konsep Moustakas), teknik pengumpulan data dalam
penelitian fenomenalogi adalah:
1. Wawancara mendalam
2. Refleksi diri
3. Gambaran realitas di luar konteks penelitian. Misalnya dalam novel, puisi, lukisan dan tarian
2.7 Prinsip dasar dan Etika Penelitian Fenomenalogi.
Berikut penjelasannya:
1. Membangun kesepakatan yang jelas dengan informan
2. Mengenali dengan jelas, data yang harus dirahasiakan dan data yang dapat dipublikasikan.
3. Membangun prosedur yang tepat agar tujuan, sifat alamiah, dan keperluan penelitian tergambar
dengan jelas.
4. Menekankan kepada informan bahwa penelitian bisa jadi sangat luas, lama, dan tidak terbatas,
dengan teknik pengumpulan data yang berganti-ganti. Misalnya menggunakan teknik penelitian
wawacara dan mengisi kuisioner secara bergantian.
5. Mengijinkan informan untuk memberikan masukan dan ide, demi kenyamanan informan, dan
kelengkapan penelitian
6. Mengijinkan informan untuk berhenti terlibat dalam penelitian, walaupun itu tengah-tengah
penelitian
7. Menyediakan informasi yang lengkap mengenai tujuan dan sifat alamiah penelitian, termasuk jenis
data yang dicari, dan cara pemilihan informan
8. Menyediakan informasi selama proses pengolahan data. Jadi informan juga memiliki akses terhadap
selama penelitian berlangsung
9. Mempertimbangkan resika yang mungkin dihadapi berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental
informan selama penelitian berlangsung
10. Membuka diskusi selama penelitian berlangsung, baik ketika perencanaan penelitian maupun ketika
pengolahan data.
11. Tidak mempublikasikan informasi yang sifatnya rahasia pribadi kepada informan
12. Menekankan pada informan, bahwa informasi yang mereka berikan sangat penting bagi penelitian
dan ilmu pengetahuan secara umum
13. Selalu konfirmasi dengan informa, sehingga tetap asli dan akurat.
14. Memberikan alternartif data yang berhibingan dengan data yang diberikan informan, sebagai bahan
referensi informan.
PENELITIAN FENOMENOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak ada metode atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada teknik yang serta
merta dapat disingkirkan. Kalau dibandingkan dengan metodologi penelitian yang dikemukakan oleh
Feyerabend (dalam Chalmers, 1982) mungkin akan mendekati ketepatan, karena menurutnya
metodologi apa saja boleh dipakai asal dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Kegiatan penyelesaian
masalah yang disebut penelitian dapat dilakukan secara sistematis dengan mengikuti metodologi,
dikontrol, dan didasarkan teori yang ada serta diperkuat dengan gejala yang ada (Sukardi, 2004:3).
Kita semua mengalami berbagai jenis pengalaman termasuk persepsi, imajinasi, pikiran, emosi,
keinginan, kemauan, dan tindakan. Dengan demikian, ranah dari fenomenologis adalah berbagai
pengalaman. Pengalaman tidak hanya mencakup pengalaman yang relatif pasif seperti pada penglihatan
atau pendengaran, tetapi juga pengalaman aktif dalam berjalan, memalu paku, atau menendang bola.
B. Pengertian Fenomenologis
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan metode penelitian fenomenologis
serta contoh penerapannya dalam kegiatan penelitian. Kelompok kami akan membahas metode
penelitian yang menggunakan teknik fenomenologis. Sebelum kami menjelaskan secara rinci tentang
metode penelitian fenomenologis, kami sampaikan terlebih dahulu pengertian dan sejarah
terbentuknya pemikiran fenomenologis. Fenomenologis sebelum menjadi sebuah metode penelitian,
merupakan sebuah aliran dalam filsafat yang paling berpengaruh pada awal abad 20 yang dipelopori
oleh Edmund Husserl. Tokoh-tokoh yang mengembangkan fenomenologis setelah sepeninggalnya
Edmund Husserl antara lain, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Jacques
Derrida. Di antara tokoh-tokoh tersebut, ada salah satu yang menghubungkan aliran fenomenologis
dengan bahasa (tanda).
Menurut Adian (2010: 4) fenomenologis adalah ilmu tentang penampakan (fenomena). Artinya,
semua perbincangan tentang esensi di balik penampakan dibuang jauh-jauh. Istilah fenomenologis
berasal dari bahasa Yunani, yaitu phainomenon (penampakkan diri) daa logos (akal). Ilmu tentang
penampakan berarti ilmu tentang apa yang menampakkan diri pada pengalaman subjek. Tak ada
penampakan yang tidak dialami. Hanya dengan berkonsentrasi pada apa yang tampak dalam
pengalaman, maka esensi dapat dirumuskan dengan jernih. Dalam konteks fenomenologis dipahami
sebagai apa yang tampak dalam kesadaran.
Kemudian, Adian (2010: 145) menambahkan, bahwa fenomenologis adalah sebuah studi tentang
fenomena-fenomena atau apa saja yang tampak. Fenomenologis mengungkapkan sebuah pendekatan
atau cara bersilsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala-gejala yang berhubungan dengan
kesadaran. Edmund Husserl mendefinisikan fenomenologis sebagai studi tentang esensi dan aktivitas-
aktivitas kesadaran. Namun dalam perkembangan sejarah fenomenologis selanjutnya, fenomenologis
mengalami perluasan makna. Contohnya pada pemikiran Martin Heidegger yang menhubungkan
fenomenologis dengan ontologi, Jean-Paul Sartre menggunakan fenomenologis untuk mengungkapkan
dimensi eksistensialisme, Maurice Merleau-Ponty menghubungkannya dengan kajian psikologi Gestalt,
dan Jacques Derrida menghubungkannya untuk membentuk konsepsi tentang bahasa (makna). Jadi,
Jacques Derridalah yang menghubungkan aliran filsafat fenomenologis dengan bahasa (tanda) yang
dikemudian hari, akan berkembang sebagai sebuah salah satu metode penelitian yang tidak hanya
meneliti masalah kefilsafatan atau kebahasaan saja, tetapi juga segala masalah (fenomena) yang terjadi
di dalam masyarakat yang perlu untuk diteliti dan dikaji demi kebaikan bersama.
Fenomenologis sebagai deskripsi gejala kesadaran tampaknya merupakan sebuah konsekuensi
logis dari pendapat yang menyatakan bahwa fenomenologis adalah ilmu mengenai yang tampak dalam
masyarakat (Sumiyadi, 2005: 22). Dalam aliran filsafat fenomenologis, ada beberapa istilah yang perlu
diketahui, yaitu:
a) reduksi fenomenologis adalah penampakan benda-benda sebagai gejala kesadaran yang menampakkan
diri,
c) reduksi fenomenologis transendental adalah penampakan akar-akar kesadaran yang bersifat murni atau
transendental (metafisika).
Sumiyadi (2005), mengatakan bahwa fenomenologis bukanlah suatu aliran, melainkan sebuah
metodologi. Karena fenomenologis merupakan metode berpikir, ilmu apapun dapat menerapkannya
sebagai metode penelitian. Seperti yang telah kami tulis di atas. Kemudian, fenomenologis berasal dari
bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak” dengan pengertian bahwa fenomena adalah fakta
yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada dalam relasi
kesadaran (Kuswarno, 2009: 1).
Sedangkan menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan fenomenologis adalah
(a) the science of phenomena as distinct from being dan (b) division of any science which describes and
clasifies its phenomena. Fenomenologis adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu
yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena.
Fenomenologis mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakannya.
BAB II
URAIAN TEORI
Dalam bab II ini, terlebih dahulu kami akan menguraikan pemikiran para ahli fenomenologis
tersebut beserta riwayat singkatnya masing-masing. Kemudian, kami akan menjelaskan fenomenologis
dalam pengertiannya sebagai sebuah metode penelitian kualitatif.
A. Edmund Husserl
Edmund Husserl lahir di Prostejov Prossnitz, Moravia, wilayah kekaisaran Austria-Hongaria pada 8
April 1859, tahun yang sama dengan kelahiran tokoh bahasa John Dewey. Husserl anak kedua dari
empat bersaudara dari pasangan Adolf Abraham Husserl dan Julie Husserl dan berasal dari kalangan
kelas menengah. Fenomenologis Husserl dirancang untuk menanggulangi krisis ilmu pengetahuan.
Kemampuan untuk menangani krisis itu memang di luar wewenang ilmu pengetahuan itu sendiri, sebab
ilmu pengetahuan tidak bisa menyelidiki dirinya sendiri. Dan, menurut Husserl, hanya ada satu studi
yang berusaha mengambil jarak dari ilmu pengetahuan itu sendiri dan yang bisa menyelidiki ilmu
pengetahuan, yaitu fenomenologis. Fenomenologis bertugas membimbing para ilmuwan untuk
memurnikan dan menjernihkan konsep-konsep ilmu pengetahuan. Fenomenologis menyediakan jalan
bebas untuk mengubah sudut pandang seiring arus pengalaman terhadap objek penyelidikan.
Fenomenologis bermaksud mendeskripsikan pengalaman manusia sebagaimana manusia itu
mengalaminya sendiri. Fenomenologis Husserl selanjutnya berhasil menemukan adanya dunia yang
dihayati oleh subjek. Artinya, kesadaran yang tertuju pada manusia yang selalu terarah terhadap dunia
dan keterarahan ini melibatkan suatu wawasan makna yang disebut sebagai dunia kehidupan.
B. Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir di kawasan pinggiran daerah Messkirch, Jerman pada 26 September 1889
dari pasangan Friedrich Heidegger dan Johanna Heidegger. Tidak terlalu sulit melihat fenomenologis
Heidegger dalam kehidupan sehari-hari, karena dia mencurahkan perhatian pada persoalan tersebut.
Dalam fenomenologis Heidegger, kita menemukan betapa filsafat masuk ke dalam apa yang tidak biasa
dibahas oleh filsafat, yaitu keseharian yang biasa dihadapi oleh manusia awam. Heidegger
mendeskripsikan kecemasan sebagai sesuatu yang kita alami sehari-hari sebagai sebuah peristiwa yang
melibatkan suasana hati yang tidak nyaman, sehingga kita cenderung untuk lari dari keadaan tersebut.
Manusia hidup dalam tiga dimensi waktu sekaligus, yakni mengantisipasi masa depan, mengambil
kembali apa yang telah berlalu, dan mengaktualisasikannya di waktu sekarang. Contohnya adalah
seorang montir motor. Saat memperbaiki motor, montir tersebut mengalami tiga dimensi waktu: masa
lalu (penegtahuan tentang memperbaiki motor yang dipelajari saat di STM), masa sekarang
(memperbaiki motor dengan bekal pengetahuan saat di STM dan antisipasi akan kerusakan motor itu
lagi), dan masa depan (mengantisipasi motor yang telah sempurna kemudian rusak lagi).
C. Jean-Paul Sartre
Mempunyai nama lengkap Jean-Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre. Beliau lahir di kota
Paris, Prancis pada 21 Juni 1905 dari pasangan Jean Baptiste Sartre dan Anne-Marie Schwitzer yang
berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Prancis. Sartre memberikan sumbangan besar
terhadap perkembangan fenomenologis, khususnya dalam mendeskripsikan persoalan karakter
negativitas kesadaran. Menurut Sartre, objek-objek imajinasi seakan-akan dikotori oleh semacam
ketiadaan. Di sini Sartre berusaha menunjukkan perbedaan proses persepsi dan imajinassi secara
radikal. Sartre mengakui, bahwa pada aktivitas imajinasi, suatu objek menunjukkan kesadaran langsung
dari ketiadaan. Dengan demikian, Sartre membuat pernyataan yang kuat bahwa gambaran yang
diberikan dalam tindak imajiansi tidak pernah dapat menjadi sumber pengetahuan.
D. Maurice Merleau-Ponty
E. Jacques Derrida
Jacques Derrida lahir di El-Biar, Aljazair pada 15 Juli 1930 dari pasangan Aime Derrida dan Esther
Sultana Geogette Safar. Dalam tradisi metafisika menyatakan, bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang
tidak hadir, artinya tanda menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Menurut Derrida bahwa tanda adalah
sebagai trace (bekas). Sebagai suatu tanda yang merupakan suatu bekas pada hakikatnya tidak
mempunyai substansi daan kuantitas sendiri melainkan hanya menunjuk. Konsep Derrida dapat
dianalogikan pada segelas air teh, bahwa setelah air teh diminum maka tinggalah gelas bekas air teh.
Menurut Derrida gelas tersebut adalah sebagai bekas yang menunjuk kepada air teh, dapur, atau orang
yang meminumnya. Adapun air teh, dapur, serta orang yang meminum teh juga menunjuk kepada hal-
hal yang lain lagi dan seterusnya. Bekas selalu melalui objek dan objek timbul dalam jaringan tanda dan
tidak pernah diberikan bagi sesuatu intuisi dasar seperti halnya dengan benda itu sendiri. Derrida
berpendapat bahwa secara ontologis tulisan mendahului ucapan dan tulisan adalah barang asing yang
masuk ke dalam sistem bahasa. Sudah menjadi suatu keyakinan umum bahwa penulisan abjad
menghadirkan ucapan dan sesaat kemudian hilang di balik kata-kata yang diucapkannya. Dengan
demikian, makna bukanlah urusan struktur, karena makna tidak dapat dibangun dalam ucapan. Hal ini
dikarenakan jika makna sudah terbentuk di dalam bahasa, maka orang tidak lagi membutuhkan
interpretasi.
Dewasa ini fenomenologis dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir, yang
Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja memerlukan alat pengamatan
yang khusus. Inilah awalnya fenomenologis berkembang, tidak hanya sebuah pemikiran filasafat, namun
juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian. Tujuan utama fenomenologis adalah mempelajari
bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan. Seperti bagaimana
fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologis mencoba mencari pemahaman
bagaimana manusia mencari makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas.
Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang
lain.
Fenomenologis bertujuan pula untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang
mengalaminya secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna
yang ditempelkan padanya. Dengan demikian peneliti fenomenologis harus menunda proses
penyimpulan dari sebuah fenomena, dengan mempertanyakan dan meneliti terlebih dahulu fenomena
yang tampak. Konsekuensi hal tersebut, fenomenologis sebagai metode penelitian tidak menggunakan
hipotesis dalam prosesnya, walaupun fenomenologis bisa jadi menghasilkan sebuah hipotesis untuk diuji
lebih lanjut. Selain itu fenomenologis tidak di awali dan tidak bertujuan untuk menguji teori. Jadi pada
praktiknya, fenomenologis cenderung untuk menggunakan metode observasi dan wawancara
mendalam. Fenomenologis pada dasarnya berupaya untuk “mereduksi” kesadaran informan dalam
memahami sebuah fenomena, bukan berupaya mencari pendapat benar atau salahnya informan dalam
suatu fenomena, atau disebut dengan metode verstenhen. Dengan keberadaan metode verstenhen ini,
penelliti mengharuskan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Menurut Moustakas dalam Phenomenological Research Methodes, pada prinsipnya kegiatan yang
dilakukan peneliti dalam sebuah penelitian fenomenologis adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan topik dan pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang berakar pada makna-makna biografis
dan nilai-nilai. Adapun pertanyaan yang dirumuskan harus menyertakan makna-makna sosial yang
berarti. Karena jangan sampai pertanyaan penelitian yang sudah dibuat tidak dimengerti oleh orang lain,
3. Membuat seperangkat kriteria untuk menentukan lokasi dan peran yang sesuai bagi peserta penelitian
(asisten peneliti dan informan),
4. Membekali asisten penelitian dengan serangkaian instruksi mengenai sifat alamiah dan tujuan dari
penelitian. Selain itu juga membuat kesepakatan untuk perolehan informasi, izin penelitian, menjamin
kerahasiaan hasil penelitian, menentukan tanggung jawab peneliti utama dan asisten, serta konsisten
dengan etika dan prinsip-prinsip penelitian,
5. Mengembangkan serangkaian pertanyaan dan topik, sebagai panduan dalam proses wawancara (formal
dan informal),
6. Memimpin dan merekam proses wawancara perorangan, terutama yang berhubungan langsung dengan
tujuan penelitian, serta menentukan perlu atau tidaknya wawancara tambahan, dan
7. Mengorganisasikan dan menganalisis data, memfasilitasi pengembangan deskripsi tekstural dan struktur
individu, menggabungkan deskripsi tekstural masing-masing informan, dan mensintesiskan makna/
esensi dari rangkuman deskripsi tekstural maupun struktural.
Selanjutnya Creswell menjelaskan isu-isu prosedural dalam penelitian fenomenologis, antara lain:
1. Peneliti harus memahami cara pandang filsafat terhadap fenomena/ realitas/ objek. Terutama pada
konsep-konsep bagaimana individu mengalami dan memahami realita. Epoche menjadi pusat
paradigma, yaitu ketika peneliti mengesampingkan perasaan dan prasangkanya demi untuk memahami
realitas fenomena yang ditelitinya,
2. Peneliti bertanggung jawab untuk membuat pertanyaan penelitian yang berfungsi membongkar makna
realitas dalam pemahaman informan. Pertanyaan penelitian juga harus mampu membuat informan
menceritakan kembali kejadian yang sudah dialaminya, apa adanya (tanpa penambahan dan
pengurangan),
3. Peneliti bertugas untuk mengumpulkan data dari orang yang mengalaminya secara langsung. Biasanya
melalui wawancara dalam jangka waktu yang lama, dengan informan yang jumlahnya berkisar antara 5-
20 orang. Peneliti diharuskan menggunakan refleksi diri dalam mengembangkan penjelasan yang
artistik,
5. Membuat laporan yang komprehensif mengenai makna dan esensi dari realitas.
Dengan demikian, isu-isu utama yang harus diperhatikan ketika akan mengadakan penelitian
fenomenologis, adalah:
2. Informan perlu dipillih secara hati-hati, yakni mereka yang mengalami secara langsung fenomena
tersebut,
3. Sangat sulit untuk menunda penilaian dan aspek-aspek pribadi dari si peneliti selama penelitian
berlangsung, dan
4. Peneliti harus memutuskan dengan tepat bagaimana dan dengan cara apa memasukkan aspek-aspek
pribadinya ke dalam proses penelitian, tanpa kehilangan peristiwa epoche.
Penelitian fenomenologis pada dasarnya berprinsip a priori, sehingga tidak diawali dan didasari
oleh teori tertentu. Penelitian fenomenologis justru berangkat dari perspektif filsafat, mengenai “apa”
yang diamati, dan bagaimana cara mengamatinya. Adapun premis-premis dasar yang digunakan dalam
penelitian fenomenologis adalah sebagai berikut:
1. Sebuah peristiwa akan berarti bagi mereka yang mengalaminya secara langsung,
3. Pengalaman manusia terdapat dalam struktur pengalaman itu sendiri. Tidak dikonstruksi oleh peneliti.
Pertanyaan penelitian sangat penting kedudukannya dalam penelitian fenomenologis, karena data
penelitian yang tepat akan diperoleh melalui pertanyaan yang tepat pula. Berikut adalah syarat-syarat
yang sedapat mungkin harus ada dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian fenomenologi :
4) Fokus dalam pertanyaan penelitian, menentukan topik penelitian, dan bagaimana pengumpulan data
dilakukan,
5) Pertanyaan penelitian mampu membangun ketertarikan yang kuat terhadap topik penelitian,
6) Latar belakang ketertarikan peneliti terhadap topik penelitian sebaiknya tergambar dalam pertanyaan
penelitian, karena akan membimbing kepada inti dari permasalahan yang dibahas,
7) Pertanyaan penelitian yang dikelola dalam bentuk pertanyaan yang spesifik akan memunculkan,
merangkaikan, dan menyentuh permasalahan inti yang dibahas, dan
Menurut Moustakas, seorang peneliti fenomenologis perlu untuk menjelaskan latar belakang
ketertarikannya pada topik penelitian yang dibahas. Hal ini diharapkan mengurangi bias dari penelitian.
Biasanya latar belakang penelitian dinyatakan juga dalam perumusan pertanyaan penelitian.
Berdasarkan analisis metariset yang pernah dilakukan biasanya masalah penelitian kualitatif lebih
beragam, dibanding dengan penelitian kuantitatif. Cara menjelaskan latar belakang penelitian yang
langsung (straight to the point) pada penelitian fenomenologis akan membawa penelitian lebih terfokus
pada inti penelitian ketimbang penyampaiannya dengan gaya komunikasi melingkar. Jika memungkinkan
kalimat pertama dalam latar belakang penelitian adalah inti atau fokus penelitian, bukan menjelaskan
masalah yang bersifat umum sehingga urian lebih bersifat induktif.
c) Memilih informan.
Tidak ada kriteria yang pasti untuk menentukan informan penelitian. Namun demikian aspek-aspek
demografis perlu mendapat perhatian yang utama, seperti usia, suku, agama, jenis kelamin, dan status
ekonomi. Diperlukan penelaahan yang terperinci berkaitan dengan aspek demografis ini agar sesuai
dengan topik penelitian. Berikut adalah beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam memilih
informan dalam penelitian fenomonologis :
1) Kriteria utamanya sebagai syarat otentitas penelitian adalah informan harus mengalami langsung situasi
atau kejadian yang berkaitan dengan topik penelitian. Tujuannya untuk mendapatkan deskripsi dari
sudut pandang orang pertama,
2) Informan mampu menggambarkan kembali fenomena yang telah dialaminya, terutama dalam sifat
alamiah dan maknanya,
3) Bersedia untuk terlibat dalam kegiatan penelitian yang mungkin membutuhkan waktu yang lama,
4) Bersedia untuk diwawancara dan direkam aktivitasnya selama wawancara atau selama penelitian
berlangsung, dan
d) Telaah dokumen
Adapun sumber rujukan bagi telaahan dokumen yang diperbolehkan dalam penelitian fenomenologis
adalah:
1) Abstrak skripsi, tesis, disertasi, karya ilmiah, atau hasil penelitian fenomenologis (sebaiknya) yang telah
dipublikasikan,
2) Buku-buku referensi,
5) Dokumen yang relevan, misalnya arsip pemerintah, kutipan peraturan, dan lainnya,
6) Seminar atau pertemuan yang membahas topik yang relevan dengan permasalahan penelitian,
8) Jurnal dan bahan tulisan yang lain (termasuk yang dipublikasikan melalui internet).
Kegiatan pengumpulan data yang paling utama dalam penelitian fenomenologis adalah wawancara
mendalam atau wawancara kualitatif. Karena dengan metode ini esensi dari fenomena yang diamati
dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama. Wawancara sebenarnya bukanlah teknik
penelitian satu-satunya pada penelitian fenomenologis, namun wawancara merupakan teknik yang
paling utama. Wawancara dilakukan secara informal dan terbuka, namun peneliti tetap harus
memegang kendali percakapan sesuai dengan topik atau permasalahan yang dibahas. Adapun prosedur
yang harus dipenuhi dalam wawancara fenomenologis adalah sebagai berikut:
b) Mampu membuat catatan-catatan kecil yang lengkap dan cepat, selama wawancara berlangsung,
c) Usahakan untuk mengingat pertanyaan, sehingga peneliti tidak banyak kehilangan kontak mata dengan
informan,
d) Usahakan untuk tidak banyak bicara (menimpali informan) ketika wawancara berlangsung,
s) Mengucapkan terima kasih kepada informan di akhir proses wawancara dan meminta persetujuan bila
hasil wawancara dipublikasikan,
u) Menanyakan dengan pertanyaan yang tepat dan bergantung kepada informan ketika mendiskusikan
makna peristiwa yang mereka alami.
Metode analisis data fenomenologis, yang disajikan oleh Moustakas sebagai berikut:
a) Membuat daftar dan pengelompokan awal data yang diperoleh. Pada tahap ini dibuat daftar pertanyaan
berikut jawaban yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (horizonalization),
b) Reduksi dan eliminasi. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menguji data untuk menghasilkan
invariant constitutes.
c) Mengelompokkan dan memberi tema setiap kelompok invariant constitutes yang tersisa dari proses
eliminasi. Setiap kelompok akan menggambarkan tema-tema inti penelitian,
d) Identifikasi final terhadap data yang diperoleh melalui proses validasi awal data. Caranya dengan
memeriksa data dan tema yang dilekatkan padanya.
f) Membuat deskripsi struktural, yakni penggabungan deskripsi tekstural dengan variasi imajinasi, dan
g) Menggabungkan e) dan f) untuk menghasilkan makna dari esensi dan permasalahan penelitian. Hasilnya
harus menggambarkan tema secara keseluruhan.
b) Menegaskan hasil penelitian dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan dari penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya,
c) Menjelaskan hasil penelitian dengan kemungkinan penelitian lanjutannya,
Creswell dalam Kuswarno mencatat hal-hal mengenai teknik pemeriksaan keabsahan data, yang
diantaranya sebagai berikut:
a) Konfirmasi kepada beberapa peneliti lain, terutama mereka yang meneliti pola-pola yang mirip,
b) Verifikasi data oleh pembaca naskah hasil penelitian (eureka factor), terutama dalam hal penjelasan
logis, dan cocok tidaknya dengan peristiwa yang pernah dialami pembaca naskah,
c) Analisis rasional dari pengenalan spontan, yaitu dengan menjawab pertanyaan berikut ini:
BAB III
2. Latar belakang permasalahan yang diangkat, misalnya kejadian apa yang membuat harus dilakukannya
penelitan,
B. Telaah dokumen dari literatur yang relevan (Melacak Studi Tentang Pengemis)
1. Pendahuluan, menampilkan tema dan topik yang akan dibuat review-nya, juga simpulan metodologi
penelitian dari penelitian yang sudah dilakukan.(menjabarkan berbagai tulisan atau penelitian yang
telah dilakukan mengenai keberadaan pengemis baik dari surat kabar maupun lainnya, meliputi kota
asal kebanyakan pengemis, kemampuan/ keterampilan berusaha, alasan menjadi pengemis, dan lain-
lain),
2. Metode telaah dokumen yang digunakan, misalnya cara menyeleksi bahan literatur,
4. Membuat simpulan dan ringkasan, yakni inti yang relevan dari penelitian yang akan dilakukan dan
bagaimana perbedaannya dengan penelitian yang sudah dilakukan. Sehingga ada sedikit penjelasan
mengenai penelitian yang sedang dilakukan.
C. Model dan landasan konseptual penelitian. Berisi teori, konsep, proses penelitian, dan rancangan
penelitian. (Perilaku pengemis dalam perspektif teoretis). Teori yang digunakan, seperti:
1. Pertanyaan-pertanyaan verbal yang menggambarkan data, organisasi, analisis, dan sintesis data,
4. Deskripsi tekstural,
5. Deskripsi struktural,
7. Sintesis hasil no. 6 yang berupa makna dan esensi dari permasalahan penelitian.
1. Ringkasan hasil penelitian dalam bentuk penjelasan yang lengkap dan menarik (sintesis akhir),
3. Pernyataan apakah penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
6. Bagaimana dampak dari penelitian terhadap kehidupan nyata, terhadap profesi peneliti, terhadap dunia
pendidikan, dan terhadap peneliti secara pribadi, dan
7. Penutup, berisi esensi dari penelitian dan inspirasi yang dihasilkannya dalam bentuk pengetahuan baru.
Selain itu juga berisi tujuan dan harapan bagi karier dan kehidupan pribadi peneliti.
BAB IV
KESIMPULAN
Semenjak kemunculannya, fenomenologis telah digunakan secara luas dalam ilmu sosial, seperti
sosiologi, psikologi, ilmu kesehatan dan keperawatan, ilmu pendidikan, serta bahasa. Fenomenologis
adalah studi tentang struktur kesadaran yang dialami dari titik pandang orang pertama. Fenomenologis
juga sebagai salah satu cabang dari filsafat. Tujuan utama fenomenologis adalah mempelajari
bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan. Seperti bagaimana
fenomena tersebut bernilai atau diterima secara etika dan estetika. Tahapan dalam penelitian
fenomenologis adalah epoche, reduksi fenomenologis, variasi imajinasi dan sintesis makna, serta esensi.
Secara harfiah, fenomenologis adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti penampakan,
segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu, dan makna yang kita miliki
dalam pengalaman kita. Namun, fokus perhatian fenomenologis lebih luas dari hanya fenomena, yakni
pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya secara langsung).
Fenomenologis mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia membangun (mengkonstruksi)
makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas. Studi fenomenologis tiada lain
mengungkapkan suatu fenomena yang tersembunyi agar menjadi fakta yang tampak dan mendalami
fenomena yang tampak dengan mengungkapkan fakta yang tersembunyi.
Manusia senantiasa memiliki naluri untuk mengungkapkan sesuatu di balik dunia nyata atau
menginginkan sebuah “penampakan” kenyataan yang jauh lebih dalam dari sekadar mengungkapkan
kenyataan empiris secara artifisial melalui panca indera. Fenomenologis dianggap sebagai cara
mengungkapkan realitas murni berparadigma kualitatif. Hasil penelitian fenomenologis dan paradigma
kualitatif (interpretif atau konstruktivis) pada umumnya alamiah daripada ilmiah. Dengan kata lain,
semakin subjektif penelitian fenomenologis, maka hakikatnya semakin objektif penelitian tersebut.
Sejak cara berpikir sampai dengan melakukan langkah operasional penelitian, peneliti hendaknya
konsisten (istiqomah) dalam paradigma kualitatif untuk memenuhi proses dan hasil yang betul-betul
alami, reflektif, serta otentik. Suatu kenyataan tampak alami karena tidak mendapat campur tangan
keinginan peneliti. Pada sisi lain, kenyataan muncul secara reflektif, yang maknanya mencerminkan
keadaan sesungguhnya dan kenyataan otentik yang maknanya diperoleh peneliti dari sumber pertama
dan pelaku yang mengalaminya.
Dalam makalah kami terdapat uraian yang “berat” pada pembahasan sejarah asal-usul
fenomenologis dilihat dari kaca mata filsafat. Hal tersebut terjadi disebabkan kekurangan kami yang
tidak dapat menyederhanakan pemikiran-pemikiran ahli filsafat fenomenologis (cikal bakal metode
penelitian fenomenologis), terlebih lagi tidak mudah menyederhanakan pemikiran filsafati sejumlah
tokoh yang menyumbang pemikiran mereka bagi perkembangan fenomenologis yang kami kutip pada
makalah ini. Pada hemat kami, penyederhanaan pengertian filsafat hakikatnya dapat membuat
dangkalnya pemikiran filsafat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
AR, Syamsuddin & Vismaia S. Damaianti. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Emzir. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Fraenkel, J.R. & Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-
Hill.
Hidayat, Asep Ahmad. (2006). Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Kaelan. (2002). Filsafat Bahasa: Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika, dan Postmodernisme.
Yogyakarta: Paradigma.
Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh
Penelitian Fenomena Pengemis Kota Bandung. Bandung: Widya Padjadjaran.
Narbuko, C & Abu Achmadi. (2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumiyadi. (2005). Pengkajian Puisi: Analisis Romantik, Fenomenologis, Stilistik, dan Semiotik. Bandung: Pusat
Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.
Sutopo, HB. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian (Edisi 2).
Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Thwaites, Tony, Lloyd Davis, & Warwick Mules (terjemahan). (2009). Introducing Cultural and Media Studies:
Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta: Jalasutra.
Mengenai Saya
Ucu, S.S adalah pemerhati bahasa dan sastra Indonesia. sekarang sedang menyelesaikan studi di
Pascasarjana UPI Bandung Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesa