PENDAHULUAN
1
transmisibilitasnya, yang ia rasa karena “cairan seperti susu” yang dapat
dikeluarkan dari lesi. Pada 1841, Henderson dan Paterson menjelaskan elemen
seluler cairan ini dengan badan inklusi intrasitoplasmik yang besar (yang
kemudian dinamakan Henderson-Paterson, atau moluskum, badan) yang mereka
rasa bertanggung jawab untuk penyebab dan transmisi dari penyakit. Laporan
selanjutnya mengenai transmisi infeksi ke manusia dengan inokulasi langsung
bahan lesi mendukung etiologi infeksius. Temuan “badan dasar” yang kecil dalam
badan moluskum oleh Lipschutz pada 1911, dan transmisi penyakit dengan “agen
yang dapat difiltrasi” oleh Juliusberg pada 1905 dan Wile dan Kingery pada 1919,
menyarankan agen virus. Pada 1933, Goodpasture mendemonstrasikan
keseragaman yang menonjol antara inklusi seluler dan badan dasar dari moluskum
kontagiosum, fowl pox, dan vaccinia dan menyimpulkan bahwa agen infeksius ini
berasal dari famili virus yang sama. Dengan eradikasi dari variola, MCV adalah
satu-satunya poxvirus yang spesifik pada manusia. Yang dulunya dianggap
sebagai masalah klinis minor, moluskum kontagiosum telah menjadi keadaan
yang umum dan sering berat pada pasien dengan infeksi HIV.
Prognosis moluskum kontagiosum ini umumnya baik, karena penyakit ini
jinak dan dapat sembuh sendiri. Dalam waktu 18 bulan akan hilang, namun ada
juga yang sampai 5 tahun. Pada pasien yang sehat, terapi dapat efektif. Meskipun
lesi dapat hilang, namun dapat saja timbul kecemasan pada pasien, keluarga,
tempat tinggal, maupun sekolah. Pada 35% kasus, moluskum kontagiosum dapat
timbul kembali setelah pembersihan awal, akan tetapi hal ini belum diketahui
penyebabnya. Hal tersebut bisa diakibatkan oleh terinfeksi kembali, eksaserbasi
penyakit yang sedang berjalan, atau lesi baru yang timbul setelah perpanjangan
periode laten.3
1.2. Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
penyusun dan pembaca mengenai Moluskum Kontagiosum dan sebagai salah satu
syarat agar bisa mengikuti ujian akhir di KSM Kulit dan Kelamin RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1.Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari Jumat, 20 Desember 2019, pukul 09.30
WIB dengan pasien (autoanamnesis) di ruang Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
3
bintil tersebut. Selain itu, pasien mengaku belum ada memberikan obat atau upaya
lainnya untuk menghilangkan bintil.
Pasien tidak mengeluhkan demam sebelumnya, belum pernah berhubungan
seksual, keputihan dan nyeri disangkal. Pasien memberi keterangan bahwa adik
pasien juga memiliki keluhan serupa bahkan dengan jumlah bintil yang lebih
banyak hingga menyebar ke daerah bokong. Pasien mengaku adik pasien pernah
menggunakan celana dalam pasien kurang lebih 1 bulan yang lalu pada saat
berlibur bersama.
4
2. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, edema
periorbital -/-
3. Hidung : Simetris, Sekret minimal
4. Mulut : Labium oris pucat (-), sianosis (-), edema labia (-), lidah
pucat (-), atrofi papil lidah (-), faring hiperemis (-), tonsil
T1-T1.
5. Leher : ■ Tekanan vena jugularis (JVP) normal
■ Pembesaran kelenjar getah bening (-)
■ Pembesaran tiroid (-)
6. Thorax
Pulmo
Inspeksi Simetris, ketertinggalan gerak (-).
Palpasi Fremitus vokal kanan = kiri, ekspansi dada kiri = kanan
Perkusi Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar di ICS V linea midclavicularis dextra
Batas paru-lambung di ICS VI linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi Suara dasar paru -/-, wheezing -/-, rhonki -/-
Cor
Inspeksi Thrill (-)
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V di LMCS
Perkusi Batas kiri di ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas dextra di linea sternalis dextra
Pinggang jantung di ICS II linea sternalis sinistra
Batas bawah di ICS VI linea sternalis sinistra
Auskultasi S1-S2 tunggal dan regular, murmur (-), gallop (-)
Heart rate = 95x/menit, regular, tunggal
7. Abdomen
Inspeksi Tampak datar, distensi (-)
Auskultasi Bising usus 8x/menit (normal)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi Timpani
8. Genital
Inspeksi Edema (-), duh (-), papul (-), ulkus (-)
9. Ekstremitas
Extremitas superior dextra Extremitas superior sinistra
Akral hangat, CRT <2 detik Akral hangat, CRT <2 detik
5
CRT < 2” CRT < 2”
Pucat palmar (-) Pucat palmar (-)
Motorik : 5 Motorik : 5
Sensorik normal Sensorik normal
2.6. Tatalaksana
a. Non-Medikamentosa
pro Ekskokhleasi
6
Edukasi
Jangan menyentuh dan menggaruk lesi; tidak memakai peralatan pribadi
seperti pakaian atau handuk secara bergantian; serta menghindari kontak
langsung dengan penderita.
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Moluskum kontagiosum merupakan suatu penyakit infeksi virus pada kulit
yang disebabkan oleh virus golongan poxvirus genus Molluscipox dengan wujud
klinis berupa benjolan pada kulit atau papul-papul multiple yang berumbilikasi di
tengah, mengandung badan moluskum.5-8
3.2. Epidemiologi
Penyakit ini terutama menyerang anak, namun dapat juga mengenai usia
dewasa dan pasien dengan imunocompromised. Jika pada orang dewasa
digolongkan dalam penyakit infeksi menular seksual (IMS). Secara klinis perlu
dibedakan dengan herpes simpleks fase awal. Transmisinya dalap melalui benda
yang terkontaminasi, misalnya handuk, baju, kolam renang dan mainan
Transmisi MCV terjadi secara primer dengan kontak kulit-ke-kulit baik
melalui rute seksual dan nonseksual dan meningkat dengan kehangatan dan
kelembaban, dengan infeksi lebih umum pada negara belum berkembang dan
beriklim tropis. Kecurigaan bahwa moluskum kontagiosum genital adalah
penyakit menular seksual didukung dengan bukti tidak langsung, meliputi lokasi
lesi (contoh, kulit genital dan pubis), riwayat kontak berulang dengan beberapa
pasangan seksual dan prostitusi, riwayat dan keberadaan PMS lainnya, adanya lesi
genital pada pasangan seksual, dan puncak usia kejadian (20-29 tahun) yang mirip
dengan PMS lainnya. Tidak ada informasi mengenai efisiensi transmisi seksual
dari MCV. Bentuk nonseksual dari penyakit terjadi secara primer pada anak-anak.
Ini melibatkan wajah, tubuh, dan ekstremitas atas dan tampak ditransmisikan
melalui kontak langsung dengan kulit individu yang terinfeksi dan/atau objek
perantara. Infeksi telah dikaitkan dengan prosedur yang menyebabkan trauma
kulit (misal, mencukur, tato, dan elektrolisis) dan dengan kontak dengan benda
perantara, seperti alat mandi, alat gimnastik dan handuk, dan terutama berenang di
kolam renang, yang berkontribusi terhadap wabah komunitas.1,2,40,42, 43,50
8
Pada negara tropis, insiden paling tinggi pada anak-anak dengan rentang
usia 2 dan 3 tahun. Sedangkan pada negara maju, biasanya pada anak-anak
sekolah karena penggunaan kolam renang yang bersama-sama. Studi di Jepang
pada tahun 2008, menyatakan bahwa terdapat 7000 anak terserang moluskum
kontagiosum dengan 75% di antaranya memiliki riwayat penggunaan kolam
renang bersama. Di Amerika Serikat, pada tahun 2003, hanya ditemukan 5%
anak-anak yang terkena moluskum kontagiosum, dan kira-kira antara 5-20%
menyerang dewasa dengan AIDS.2,3
3.3. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini adalah virus (genus Molluscipoxvirus) yang
menyebabkan moluskum kontagiosum menjadi angoota dari family poxviridae,
yang juga terdapat anggota smallpox. Molluscum Contagiosum Virus (MCV)
merupakan virus double stranded DNA,berbentuk lonjong dengan ukuran 230 x
330 nm. Terdapat 4 subtipe utama Molluscum Contagiosum Virus (MCV), yaitu
MCV 1, MCV 2, MCV 3 dan MCV 4. Keempat subtipe tersebut menimbulkan
gejala klinis serupa berupa lesi papul milier yang terbatas pada kulit dan membran
mukosa. MCV 1 diketahui memiliki prevalensi lebih besar dibandingkan ketiga
subtipe lain. Sekitar 96,6% infeksi moluskum kontagiosum disebabkan oleh MCV
1. Akan tetapi pada pasien dengan penurunan status imun didapatkan prevalensi
MCV 2 sebesar 60 %. Molluscum Contagiosum Virus (MCV) merupakan
imunogen yang lemah. Sekitar sepertiga pasien tidak memproduksi antibodi
terhadap MCV, sehingga seringkali didapatkan serangan berulang. Tiga subtipe
dari MCV telah diidentifikasi, semuanya memiliki presentasi klinis yang mirip
dan tidak terlokalisir pada bagian tubuh tertentu (misalnya genital). Molluscum
contagiosum virus tipe-1 (MCV-1) adalah subtipe yang paling ditemukan pada
pasien, sedangkan MCV-3 jarang ditemukan. Sebagai contoh, analisis dari 106
MCV terisolasi secara klinis mengindikasikan kemunculan MCV-1, -2, dan -3
dengan perbandingan 80 : 25 : 1.
9
3.4. Biologi Molluscum contagiosum virus
MCV adalah anggota famili Poxviridae, subfamili Chordopoxvirinae, dan
satu-satunya anggota dari genus Molluscipoxvirus. Meski belum secara
meyakinkan direplikasi dalam kultur sel, MCV telah dimurnikan dari lesi kulit.
MCV dianggap sebagai poxvirus berdasarkan ukuran, struktur, komposisi kimia,
dan karakteristik fisik dan genomik. Studi ultrastruktural dari MCV menunjukkan
partikel menyerupai virus vaccinia, yang mana telah banyak dilakukan
perbandingan: bentuk seperti bata, volume sekitar 300 .220 . 100 nm, dengan inti
virus bikonkaf yang dilapisi oleh membran dalam dan selubung luar.1,7,9.10
Genom virus terdiri dari molekul tunggal double-stranded DNA linier
sepanjang 190 kilobase. Perbandingan dari susunannya dengan poxvirus lain
mengindikasikan bahwa ini merupakan yang paling berbeda dengan famili
poxvirus. Banyak poxvirus mengkode protein yang menghindari pertahanan imun
host, sering kali dengan homologi terhadap gen seluler dari mana mereka berasal,
dan MCV tersebut secara unik cocok untuk infeksi yang terbatas pada epidermis.
Gen penghindaran imun dari MCV yang homolog dengan gen seluler meliputi
antagonis terhadap kemokin CCR8 (MC148), protein pengikat IL-18 (MC54),
molekul seperti MHC class-1 yang dapat menghambat pemprosesan antigen virus
(MC80), molekul seperti CD150 yang dapat mengubah fungsi pensinyalan
antivirus (MC2, MC161, MC162), glutation peroksidase yang menghambat
apoptosis yang dimediasi sinar UV dan peroksida (MC66) dan inhibitor apoptosis
yang dimediasi tumor necrosis factor (MC159, MC160). Gen virus lain yang
memodifikasi interaksi virus-host (MC13) menghambat vitamin D dan
transaktivasi reseptor inti glukokortikoid, yang dapat meningkatkan pertumbuhan
virus dengan meningkatkan proliferasi keratinosit (yang dihambat baik dengan
vitamin D dan glukokortikoid) dan memblok diferensiasi terminal (yang
dipromosikan oleh vitamin D).16,17,21-25
Virus tidak dapat ditumbuhkan dalam kultur sel, situasi yang paralel
dengan human papillomavirus (HPV). Namun virus yang berasal dari lesi akan
menyebabkan perubahan fungsional dalam sel fibroblas primer manusia, termasuk
produksi interferon dan induksi efek khas sitopatik (CPE) dengan sel melingkar.
10
Karena perubahan ini berhubungan dengan transkripsi gen virus akhir dan juga
awal, replikasi virus dengan kadar rendah adalah mungkin; namun, produksi
virion tidak terjadi. Ketidakmampuan untuk menggandakan virus dalam sel yang
dikultur juga membatasi karakterisasi dari subtipe MCV; namun, berdasarkan
pada teknik restriksi DNA endonuklease telah diidentifikasi empat subtipe
genomik, MCV 1-4, dengan bukti tambahan untuk varian subtipe minor (contoh,
tipe 1v, 1vb, 1vc). Tipe paling umum, MCV-1 dan MCV-2, sangat berhubungan
dalam susunan nukleotida dan organisasi genom, meski peta restriksi mereka
sangat berbeda, berlawanan dengan konservasi lokasi restriksi yang tampak pada
poxvirus lainnya.1-3,10,16,29-30
11
lainnya belum ditemukan pada MCV, meski kemungkinan faktor pertumbuhan
yang tidak terkarakterisasi tetap dipertimbangkan.10-15, 20,24
Perubahan patologik yang diinduksi oleh infeksi MCV sangat khas. Lesi
terdiri dari area fokal dari hiperplastik epidermis yang mengelilingi 12yperke
berbentuk kista yang berisi debris berkeratin dan badan moluskum yang
terdegenerasi. Pada lapisan basal, nukleus dan sitoplasma dari keratinosit
membesar dan terdapat peningkatan pada laju 12yperke. Pada lapisan spindel,
sebagai akibat dari replikasi virus di sitoplasma, sel mulai menunjukkan
vakuolisasi sitoplasmik, pembesaran, dan kemudian penggantian oleh globulus
eosinofilik terkompartementalisasi, badan moluskum, yang terkandung pada
kantung berbatas jelas dan yang menekan nukleus ke perifer sel. Pada lapisan
granular, badan moluskum menjadi lebih 12yperker dengan hilangnya tanda
12yperkerat internalnya dan akhirnya terdeskuamasi ke 12yperke kistik.
Perubahan dermal biasanya terbatas ke proliferasi stromal, meski inflamasi terjadi
pada hingga 20% dari lesi klinis, dengan infiltrasi epitelium nekrotik oleh
limfosit, histiosit, 12yperkerat, dan terkadang multinucleated giant cell. Pada
infeksi HIV, histologi lesi mungkin atipikal, dengan 12yperkeratosis dan
perubahan verukosa.17-23
Gambar 3. Biopsi dari lesi moluskum kontagiosum menunjukkan area hiperplasia epidermis yang
mengelilingi lobula kistik. Keratinosit pada epidermis bagian atas seperrti yang terdeskuamasi ke
12
dalam lobula, menunjukkan badan moluskum intrasitoplasmik bulat, besar. Pengecatan
Hematoxylin dan Eosin (Courtesy of BA Werness.)
13
moluskum kontagiosum meliputi folikulitis, sikosis barbae, eritema anular
sentrifugum, dan pseudoleukemia kutis. Meski telah disarankan bahwa lesi
moluskum kontagiosum, seperti kutil kelamin, memburuk selama kehamilan,
hanya ada sedikit informasi dalam hal ini. Infeksi tidak tampak mempengaruhi
hasil kehamilan, dan meski lesi telah dilaporkan pada anak dengan usia termuda 1
minggu, tidak ada laporan kasus transmisi maternal-fetal yang telah dilaporkan.
Gambar 4. Lesi moluskum kontagiosum pada penis host imunokompeten dengan bentuk kubah
tipikal dan umbilikasi sentral (Courtesy of CAM Rietmeijer.)
14
terjadi di wajah dan leher, terutama di daerah janggut, dimana penyakit ini
tampaknya menyebar karena bercukur; infeksi anogenital relatif tidak umum.
Wabah dengan lesi ekstensif adalah umum, dan lesi moluskum raksasa ditemui
pada hampir 10% pasien. Peningkatan penggunaan terapi antiretroviral yang
sangat aktif (HAART) dapat menyebabkan reduksi moluskum kontagiosum
diantara orang dengan infeksi HIV. Namun, hasil hingga saat ini yang
membandingkan kohort pada era pre dan post HAART bervariasi, dengan satu
studi mendemonstrasikan reduksi dalam prevalensi dan beberapa lainnya
mengindikasikan tidak adanya perubahan. Terdapat satu laporan terbaru mengenai
peningkatan moluskum setelah introduksi HAART, meski ini dapat merefleksikan
fenomena transien berhubungan dengan peningkatan lesi inflamasi setelah
perbaikan akibat HAART dalam fungsi imun dan peningkatan pengenalan lesi.
Fenomena ini dianggap sebagai bagian dari “immune reconstitution inflammatory
syndrome” dan moluskum dilaporkan sebagai penanda dermatologis umum dari
sindroma ini.20-25
3.7 Diagnosis
Anamnesis
Jika pasiennya anak-anak biasanya orang tua menjelaskan adanya
eksposur dengan anak-anak lain yang terinfeksi moluskum kontagiosum di
sekolah, asrama atau rekreasi publik (tempat olahraga, kolam renang, taman
bermain). Dewasa yang imunokompeten, orang dewasa yang biasanya aktif
secara seksual dan tidak mengetahui bahwa pasangan mereka terinfeksi. Pada
orang dewasa juga sering terjadi pada orang yang memiliki banyak pasangan
seksual dengan frekuensi hubungan seksual yang meningkat.
Pemeriksaan fisik
Ditemukan ruam berupa papul millier, kadang-kadang lentikular dan
berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah (dome shaped) yang kemudian di
tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika dipijat akan tampak massa yang berwarna
putih seperti nasi. Biasanya dijumpai didaerah muka, badan dan ekstrimitas,
15
sedangkan pada orang dewasa di daerah paha, pubis dan genitalia eksterna.
Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga timbul supurasi.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan histopatologi di daerah epidermis dapat ditemukan badan
moluskum yang mengandung partikel virus di atas stratum basal. Selain itu pada
pemeriksaan histopatologik dijumpai hipertrofi dan hiperplasia dari epidermis.
a. Pewarnaan Giemsa
Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan giemsa dapat ditemukan
badan moluskum yang mengandung partikel virus.
16
b. Histopatologik (Hematoksilin & Eosin)
Pada pemeriksaan histopatologik menggunakan pewarnaan HE, didapatkan
gambaran lekukan epidermis berbentuk cangkir sampai kedalam dermis.
17
Pada gambar dibawah ini memperlihatkan keratinosit dengan sitoplasma
yang eosinofilik dan badan moluskum yang menggeser nucleus ke pinggir
sel.
18
Gambar 9. Papul kemerahan, vesikel pada Gambar 10. Vesikel dengan dasar
varicella kemerahan, vesikel umbilikasi serta krusta
Veruka Vulgaris
Hiperplasia epidermis yang disebabkan oleh papilloma virus tipe
tertentu. Tersebarnya kosmopolit dan transmisinya melalui kontak kulit
dan otoinokulasi. Bergantung pada jenis kulit yang ditemukan, ada yang
terdapat terutama pada usia anak atau pada usia dewasa. 2,11
Virus penyebab tergolong dalam virus papiloma (Grup papova),
virus DNA dengan karakteristik replikasi terjadi intranuklasi.2,11
Tempat predileksi terutama di ekstremitas bagian ekstensor,
walaupun penyebarannya dapat kebagian lain tubuh termasuk mukosa,
mulut, dan hidung. Kutil ini bentuknya bulat berwarna abu-abu, besarnya
lentikular dan kalau berkonfluensi berbentuk plakat, permukaan kasar
(verukosa). Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi sepanjang
goresan.2,11
20
dan pada bagian tengahnya terdapat penebalan dengan berbentuk kawah
yang khas bersisik dan kadang-kadang dapat pecah sehingga menimbulkan
luka. 21
Gambar 13. Gambaran Keratoakantoma: sel tumor berskuama serta sisa keratin pada daerah
tengah nodul
3.9 Penatalaksanaan
Moluskum kontagiosum adalah penyakit infeksi virus yang dapat sembuh
spontan. Pada kelompok pasien imunokompeten jarang ditemui lesi moluskum
kontagiosum bertahan lebih dari 2 bulan. Terapi untuk memperbaiki gejala yang
timbul diperlukan pada beberapa pasien dengan penurunan status imun, dimana
didapatkan lesi ekstensif dan persisten. Pemberian terapi dilakukan berdasarkan
beberapa pertimbangan meliputi kebutuhan pasien, rekurensi penyakit serta
kecenderungan pengobatan yang meninggalkan lesi pigmentasi atau jaringan
parut. Sebagian besar pengobatan moluskum kontagiosum bersifat traumatis pada
lesi. Pilihan terapi terbaru mencakup pemberian antivirus dan agen
imunomodulator. Berikut ini merupakan beberapa pilihan terapi yang umum
digunakan dalam penatalaksanaan moluskum kontagiosum.
1. Bedah Beku (Cryosurgery)
Merupakan salah satu terapi yang umum dan efisien digunakan dalam
pengobatan moluskum kontagiosum, terutama pada lesi predileksi perianal dan
perigenital. Bahan yang digunakan adalah nitrogen cair. Aplikasi menggunakan
lidi kapas pada masing masing lesi selama 10-15 detik. Pemberian terapi dapat
21
diulang dengan interval 2-3 minggu. Efek samping meliputi rasa nyeri saat
pemberian terapi, erosi, ulserasi serta terbentuknya jaringan parut hipopigmentasi
maupun hiperpigmentasi.
2. Eviserasi (Ekskokhleasi)
Merupakan metode yang mudah untuk menghilangkan lesi dengan cara
mengeluarkan inti umbilikasi sentral melalui penggunaan instrumen seperti
skalpel, ekstraktor komedo dan jarum suntik. Penggunaan metode ini mungkin
tidak dapat ditoleransi oleh anak-anak.
3. Podofilin dan Podofilotoksin
Suspensi podofilin 25% dalam larutan benzoin atau alkohol dapat
diaplikasikan pada lesi dengan menggunakan lidi kapas, dibiarkan selama 1-4 jam
kemudian dilakukan pembilasan dengan menggunakan air bersih. Pemberian
terapi dapat diulang sekali seminggu. Terapi ini membutuhkan perhatian khusus
karena mengandung mutagen yaitu quercetin dan kaempherol. Efek samping lokal
akibat penggunaan bahan ini meliputi erosi pada permukaan kulit normal serta
timbulnya jaringan parut. Efek samping sistemik akibat penggunaan secara luas
pada permukaan mukosa berupa neuropati saraf perifer, gangguan ginjal, ileus,
leukopeni dan trombositopenia. Podofilotoksin merupakan alternatif yang lebih
aman dibandingkan podofilin. Sebanyak 0,05 ml podofilotoksin 5% diaplikasikan
pada lesi 2 kali sehari selama 3 hari. Kontraindikasi absolut kedua bahan ini pada
wanita hamil.
4. Cantharidin
Merupakan agen keratolitik berupa larutan yang mengandung 0,9%
collodian dan acetone. Telah menunjukkan hasil memuaskan pada penanganan
infeksi Molluscum Contagiosum Virus (MCV). Pemberian bahan ini terbatas pada
puncak lesi serta didiamkan selama kurang lebih 4 jam sebelum lesi dicuci.
Cantharidin menginduksi lepuhan pada kulit sehingga perlu dilakukan tes terlebih
dahulu pada lesi sebelum digunakan. Bila pasien mampu menoleransi bahan ini,
terapi dapat diulang sekali seminggu sampai lesi hilang. Efek samping pemberian
terapi meliputi eritema, pruritus serta rasa nyeri dan terbakar pada daerah lesi.
22
Kontraindikasi penggunaan Cantharid in pada lesi moluskum kontagiosum di
daerah wajah.
5. Tretinoin
Tretinoin merupakan derivat vitamin A yang berfungsi sebagai agen anti
proliferasi sel. Krim tretinoin 0,1% digunakan pada penanganan moluskum
kontagiosum. Pemberian dengan cara dioleskan 2 kali sehari pada lesi.
Penyembuhan dilaporkan terjadi dalam waktu 11 hari setelah pemberian terapi.
Efek samping terapi berupa eritema pada daerah timbulnya lesi. Pilihan lain
menggunakan krim tretinoin 0,05% menunjukkan hasil yang memuaskan dengan
efek samping berupa iritasi ringan.
6. Cimetidine
Cimetidine merupakan antagonis reseptor histamin H 2 yang menstimulasi
reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Mekanisme kerja Cimetidine pada terapi
moluskum kontagiosum masih belun diketahui secara jelas. Sebuah studi
menunjukkan keberhasilan penggunaan cimetidine dosis 40 mg / kgBB / oral /
hari dosis terbagi dua pada pengobatan moluskum kontagiosum dengan lesi
ekstensif. Cimetidine berinteraksi dengan berbagai pengobatan sistemik lain,
sehingga perlu dilakukan anamnesis riwayat pengobatan pada pasien yang akan
mendapat terapi obat ini.
7. Larutan KOH
Larutan KOH 10% diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi dengan
menggunakan lidi kapas. Pemberian terapi dihentikan bila didapatkan respon
inflamasi atau timbul ulkus pada daerah lesi. Perbaikan lesi didapatkan setelah
kurang lebih 30 hari pemberian terapi. Efek samping berupa pembentukan
jaringan parut hipertropik serta hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada daerah
lesi. Sebuah studi merekomendasikan penggunaan l arutan KOH 5% yang
memiliki efek samping minimal dalam pengobatan moluskum kontagiosum pada
anak-anak.
8. Pulsed Dye Laser
Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan modalitas
terapi pulsed dye laser pada lesi moluskum kontagiosum. Perbaikan lesi dicapai
23
dalam waktu 2 minggu setelah pemberian terapi tanpa disertai efek samping yang
berarti. Pulsed dye laser merupakan salah satu pilihan terapi yang efisien namun
memiliki kekurangan dari segi efektifitas biaya.
9. Imunomodulator
Penggunaan imunomodulator telah menjadi bagian dari pilihan terapi
moluskum kontagiosum. Pada pasien dengan gangguan fungsi imun dimana
didapatkan lesi ekstensif tersebar di seluruh tubuh, terapi lokal yang bersifat
destruktif dikatakan tidak efektif. Penggunaan imunomodulator telah memberikan
hasil memuaskan. Imunomodulator topikal telah digunakan pada bermacam
kelainan kulit. Molekul imunomodulator topikal memiliki kemampuan
memodifikasi respon imun lokal pada kulit, bersifat stimulator maupun supresor
terhadap respon imun. Pemilihan preparat topikal didasarkan pada beberapa
alasan antara lain hasil terapi memuaskan, kemudahan aplikasi serta tingkat
keamanan lebih baik dibandingkan preparat sistemik. Imunomodulator topikal
terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu imunomodulator steroid dan
imunomodulator non-steroid.
Imunomodulator non-steroid topikal yang umum digunakan pada terapi
moluskum kontagiosum adalah imiquimod. Imiquimod merupakan molekul
sintetik Imunomodulator lain:
- Calcipotriol
- Anthralin
- Zinc topikal
- Interferon topikal
- Interferon intralesi
24
Mekanisme tersebut merupakan pertahanan alami primer terhadap infeksi virus.
IFN-α akan menghambat respon T helper 2 (Th2), sedangkan IL-12 dan TNF α
menstimulasi respon T helper1 (Th1). Imiquimod diketahui berperan pula dalam
meningkatkan maturasi dan migrasi sel Langerhans fungsional yang berperan
sebagai antigen presenting cell pada jaringan epidermis kulit, menuju kelenjar l
imfe regional. Keadaan ini membuat respon imun yang diinduksi oleh imiquimod
menjadi lebih spesifik terhadap antigen tertentu. Imiquimod tersedia dalam bentuk
krim 1% dan 5%, bermanfaat dalam penanganan kelainan infeksi maupun
neoplasma dermatologi. Imiquimod digunakan 3 kali / minggu pada malam hari
sampai lesi hilang secara menyeluruh atau selama maksimal 16 minggu.
Dioleskan pada tiap lesi dan didiamkan selama 6-10 jam. Pemakaian krim
imiquimod 5%, 5 hari dalam seminggu selama 16 minggu memberikan perbaikan
lesi pada 15 pasien anak dengan moluskum kontagiosum. Penelitian lain
membandingkan krim imiquimod 1% dengan placebo pada 100 pasien laki-laki
moluskum kontagiosum, didapatkan perbaikan lesi menyeluruh pada 86% pasien
yang mendapat terapi krim imiquimod 1%. Rekurensi lesi moluskum kontagiosum
terjadi 10 bulan setelah pemberian terakhir krim imiquimod 1% pada seorang
pasien. Penggunaan krim imiquimod secara umum cukup dapat ditoleransi. Efek
samping minimal berupa rasa gatal, nyeri dan terbaka r pada kulit. Pada beberapa
kasus pernah dilaporkan terjadinya efek samping berupa eritema, indurasi, erosi
dan ulkus. Efek samping sistemik berupa sakit nyeri kepala, nyeri otot dan flu like
symptoms didapatkan pada beberapa kasus. Tidak didapatkan bukti timbulnya
efek samping sistemik maupun toksik pada anak -anak.
10. Antivirus
Antivirus yang umum digunakan dalam pengobatan moluskum
kontagiosum adalah Cidofovir. Cidofovir merupakan analog nukleosida
deoxytidine 7 monophosphate yang memiliki aktivitas antivirus terhadap sejumlah
besar DNA virus meliputi citomegalovirus (CMV), virus herpes simplex (HSV),
Human Papiloma Virus (HPV) dan Molluscum Contagiosum Virus (MCV).
Didalam tubuh host, cidofovir mengalami 2 fase fosforilasi melalui jalur
monofosfat kinase dan piruvat kinase. Melalui kedua fase fosforilasi tersebut akan
25
terbentuk cidofovir difosfat yang merupakan metabolit aktif cidofovir. Cidofovir
difosfat bekerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap DNA polimerase virus
sehingga mampu menghambat sintesis DNA virus. Cidofovir tersedia dalam
bentuk krim 3%, solusio intravena dan intralesi. Beberapa studi menunjukkan
hasil memuaskan penggunaan cidofovir topikal maupun injeksi intralesi pada
pengobatan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus. Resolusi lesi moluskum
contagiosum didapatkan 2-6 minggu setelah pemberian terapi. Sebuah laporan
kasus menyebutkan efektifitas pemberian krim cidofovir 3% sekali sehari selama
8 minggu pada pengobatan 2 penderita moluskum kontagiosum anak dengan
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Meadows dkk melaporkan
keberhasilan terapi krim cidofovir 3% dan solusio cidofovir intravena pada 3
orang penderita HIV sero-positif disertai moluskum kontagiosum dengan
predileksi lesi di daerah wajah, badan, ekstremitas dan perianal. Pemberian terapi
cidofovir intravena pada 2 orang pasien memberikan perbaikan lesi dalam waktu
2 bulan, sedangkan aplikasi krim cidofovir 3% dua kali sehari selama 2 minggu
pada seorang pasien memberikan perbaikan lesi secara menyeluruh. Cidofovir
memiliki potensi cukup baik dalam pengobatan moluskum kontagiosum, terutama
pada pasien dengan penurunan status imun. Akan tetapi kurangnya efektifitas dari
segi biaya memberikan batasan tersendiri dalam pemilihan terapi. Sebuah artikel
menyebutkan harga krim cidofovir 3% adalah sebesar US$ 65 per gram. Efek
samping lokal pemberian terapi cidofovir mencakup reaksi inflamasi pada daerah
sekitar lesi, sedangkan efek samping sistemik meliputi nefrotoksik, neutropenia
dan asidosis metabolik.
26
3.11 Pencegahan
Pencegahan penyakit ini sulit karena banyaknya jalan untuk terjadinya
infeksi (pakaian, kolam renang, handuk, kontak seks, dll). Sekali sudah
terdiagnosa penting sekali bagi keluarga pasien untuk melakukan pemisahan
pakaian penderita yang harus dicuci dengan air mendidih hingga penyakit
sembuh. Sudah tentu harus diperhatikan juga untuk menghindari kontak dengan
kelainan kulit ini dan bagi penderita orang dewasa untuk menghindarkan
terjadinya penularan seksual dengan melakukan upaya pencegahan.
27
BAB IV
PEMBAHASAN
28
Pada kasus, bintil awalnya timbul tiga minggu yang lalu sebanyak 1 buah
pada lipatan paha kanan tidak disertai rasa gatal maupun nyeri. Bintil tersebut
bertambah banyak dan menyebar hingga daerah paha kanan dan kiri. Pada status
dermatologis pasien didapatkan pada regio femur dextra et sinistra, terdapat papul,
berwarna putih mengkilat seperti mutiara, multipel, milier, ukuran 0,1 s.d 0,4 cm,
berbatas tegas, permukaan halus, bentuk seperti kubah (dome shaped) ditengah
terdapat lekukan (delle), tersebar diskret. Bintil yang masih timbul tersebut terjadi
karena moluskum kontagiosum ini dapat bertambah banyak dan berulang bila
bintil tidak dihilangkan seluruhnya.
Secara teoritis, etiologi penyakit ini adalah Molluscum Contagiosum Virus
(MCV), yang merupakan bagian dari virus pox. MCV ini terdiri dari 4 tipe yaitu
MCV 1, MCV 2, MCV 3, dan MCV 4. Yang terbayak adalah MCV 1. Pada anak-
anak biasanya disebabkan oleh MCV 1, sedangkan pada penderita HIV
disebabkan oleh MCV 2. Virus ini masuk ke kulit lewat kelenjar rambut dan
mudah menular lewat kontak langsung. Bila papul digaruk, virus ini dapat
menyebar ke kulit sekitarnya. Faktor pendukung penyebaran adalah berbagi
mandi, kolam renang, dan handuk. Pada penelitian di Indian dan Alaska,
menyatakan bahwa anak-anak dibawah 15 tahun lebih sering terkena moluskum
kontagiosum. Transmisi dapat terjadi melalui kontak kulit langsung atau
hubungan seksual. Diagnosis moluskum kontagiosum pada sebagian besar kasus
dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan gejala klinis yang tampak.
Pemeriksaan histopatologi melalui biopsi dapat membantu pada beberapa kasus
dengan gejala yang tidak khas.
Pada pasien ini sudah terdapat tanda-tanda yang khas, sehingga tidak
dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan penunjang seperti
histopatologi hanya digunakan bila diragukan penyebabnya, dan bukan
merupakan pemeriksaan rutin. Pemeriksaan dilakukan dengan membuat preparat
dari lesi yang diambil secara biopsi, kemudian dilakukan pewarnaan giemsa atau
pewarnaan hematoksilin & eosin dan diteliti di bawah mikroskop. Hal ini
dilakukan untuk konfirmasi penyebab diagnosis penyakit ini. Sumber penularan
penyakit pada kasus ini diduga berasal dari penggunaan celana dalam yang
29
bergantian dengan adik pasien yang diakui juga mengalami keluhan yang sama
bahkan dengan jumlah bintil yang lebih banyak. Faktor pendukung penyebaran
seperti tinggal bersama juga diakui oleh pasien kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Secara teori, diagnosis moluskum kontagiosum ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
biasanya diketahui adanya eksposur dengan orang lain yang terinfeksi moluskum
kontagiosum baik di rumah, tempat kerja dan tempat publik (misalnya, tempat olahraga, dan
kolam renang). Pada pemeriksaan fisik ditemukan ruam berupa papul millier,
kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah (dome
shaped) yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan (delle). Biasanya pada
anak dijumpai didaerah muka, badan dan ekstrimitas, sedangkan pada orang
dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang-kadang dapat timbul
infeksi sekunder sehingga timbul supurasi. Sedangkan pada pemeriksaan
penunjang dilakukan pemeriksaan histopatologi di daerah epidermis dapat
ditemukan badan moluskum yang mengandung partikel virus di atas stratum
basal. Selain itu pada pemeriksaan histopatologik dijumpai hipertrofi dan
hiperplasia dari epidermis.
Pada kasus, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, maka dapat diperoleh diagnosis pasien ini yaitu moluskum kontagiosum.
Pada hasil anamnesis didapatkan keluhan timbul bintil-bintil berwarna putih
mengkilap seperti mutiara, tidak disertai rasa gatal maupun nyeri yang timbul di
bagian lipatan paha kanan dan paha kiri sejak 3 minggu yang lalu. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda yang paling khas dari kasus ini yang sama
dengan moluskum kontagiosum adalah apabila papul berbentuk kubah yang di
tengahnya terdapat lekukan bentuknya bulat dan dengan ukuran yang bervariasi
dipijat maka akan keluar massa berwarna putih seperti nasi.
Diagnosis banding kasus ini pertama adalah veruka vulgaris oleh karena
dapat terjadi pada anak-anak dengan bentuk lesi bulat, tapi tidak adanya lekukan
delle, permukaan yang kasar, berwarna abu-abu dan juga lebih sering timbul di
jari kaki dan tangan dapat menyingkirkan diagnosis banding ini.
30
Diagnosis banding kedua adalah varisela karena berdasarkan gejala klinik
terdapat vesikel-vesikel yang menyerupai papul-papul pada moluskum
kontagiosum, dan juga terdapat lekukan delle pada vesikel varisela yang telah
pecah dimana hal ini juga ditemukan pada moluskum kontagiosum. Namun pada
varisela biasanya diawali dengan stadium prodromal berupa panas, malaise, dan
nyeri dimana hal ini tidak ditemukan pada penderita tersebut sehingga diagnosis
banding ini dapat disingkirkan.
Diagnosis banding ketiga adalah veruka plana, karena memiliki beberapa
kemiripan. Veruka plana yaitu kutil yang berwarna seperti kulit atau kehitaman,
lunak, berbentuk papul datar berdiameter 1-3 mm terutama pada wajah leher,
permukaan ekstensor lengan bawah. Yang membedakannya dengan moluskum
kontagiosum adalah warnanya yang lebih gelap dan apabila dipijat maka tidak ada
massa berwarna putih.1
Diagnosis banding keempat pada penyakit ini yaitu liken planus karena pada
liken planus biasanya ditandai dengan timbulnya papul-papul berwarna merah
biru, berskuama, dan sangat gatal. Sehingga diagnosis banding ini dapat
disingkirkan.
Berdasarkan teori, penanganan moluskum kontagiosum adalah mudah,
karena penyakit ini sembuh spontan. Namun, membutuhkan waktu yang lama.
Pada prinsipnya, pengobatan dari penyakit ini adalah dengan menghilangkan
seluruh lesi yang ada di tubuh pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi
pembedahan maupun dengan pengobatan. Atau dengan obat-obatan seperti
trichloro acetic acid, potassium hydrochloride, cantharidium, 10% benzyl
18-21
peroxide, imiquimod, retinoid. Beberapa teknik pembedahan yang dapat
dilakukan untuk menghilangkan papul moluskum kontagiosum adalah dengan
cryosurgery, evisceration, curretage, menggunakan laser, elektrokauterisasi,
adhesive tape. Pemilihannya tergantung pada alat yang tersedia dan keahlian dari
dokter atau tenaga kesehatan yang akan melakukan tindakan. Akan tetapi, dari
teknik-teknik tersebut juga masih memungkinkan untuk memerlukan anestesi
lokal untuk menghilangkan nyeri selama tindakan, namun mungkin
mengakibatkan rasa sakit setelah tindakan, iritasi, maupun jaringan parut.17
31
Penatalaksaan pada kasus ini sudah tepat karena sudah sesuai dengan
prinsip penatalaksanaan yaitu dengan mengeluarkan massa yang mengandung
badan moluskum. Tindakan ekskokleasi pada kasus ini akan dilakukan dengan
menggunakan alat seperti ekstraktor komedo dan jarum suntik yang sebelumnya
papul-papul sudah diberi anestesi krim lidocaine prilocaine 5 % lalu ditutup
plester dan dibiarkan 1-2 jam. Kemudian, setelah tindakan diberikan antiseptik
berupa povidone iodine yang dioleskan pada daerah luka post ekskokhleasi;
amoksisilin 500mg selama 5 hari sebagai antibiotik profilaksis akibat infeksi
sekunder dari luka post ekskokhleasi; dan ibuprofen 400mg sebagai antinyeri dan
antiinflamsi. Pilihan antibiotik lain untuk kasus ini adalah pemberian antibiotik
salep asam fusidat setelah penatalaksanaan intensif yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pada kasus ini juga dilakukan pemberian
edukasi mengenai cara untuk mencegah terjadinya penyakit seperti menghentikan
semua penggunaan obat penekan imun, tidak memakai peralatan secara
bergantian, menghindari kontak langsung dengan penderita moluskum
kontagiosum dan menghindari berganti-ganti pasangan seksual khususnya orang
dewasa.22-24
Prognosis pada moluskum kontagiosum adalah baik, dikarenakan dengan
menghilangkan semua lesi yang ada, maka jarang atau tidak akan residif. Secara
klinis, kondisi pasien tidak terdapat resiko yang dapat mengancam jiwa sehingga
prognosis quo ad vitam adalah bonam. Lalu secara keadaan fisik pasien tidak ada
yang menyebabkan kecacatan sehingga prognosis quo ad functionam adalah
bonam. Penyakit ini adalah penyakit infeksi menular, pasien dapat menularkannya
dengan orang sekitarnya melalui kontak langsung, namun apabila sudah
dihilangkan seluruh lesi yang ada maka penyakit ini tidak akan berulang.
Sehingga prognosis quo ad sanationam adalah dubia ad bonam.25,26
32
BAB V
PENUTUP
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Bolognia JL, Schaffer JV, Cerroni L. 2018. Dermatology. 4th Ed. New York:
Elsevier. 1296p.
2. Menaldi, SLSW. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. James WD, Elston DM, McMahon PJ. 2018. Andrew's Diseases of the Skin:
Clinical Atlas. London: Elsevier.
4. Locwood D. Leprosy. In Burns T, Breachnach S, Cox N, Griffiths C, editor
Rook’s Textbook of Dermatology.: Wiley-Blackwell;2016.p.32.1-29.
5. James W et al, 2016, Chapter 17: Hansen’s Disease dalam Andrew’s
Diseases of The Skin: Clinical Dermatology, Ed. 12, pp. 380-387. China :
Elsevier, Inc.
6. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
Orringer JS. 2019. Fitzpatrick's Dermatology. 9th Edition. New York:
McGraw Hill. 2918p.
7. Nery JAC, Duppre NC, Sales AM, Jardim MR. Contribution to diagnosis and
management of reactional states : a practical approach. Annais Brasillian
Dermatology. 2016; 81(4): p 367-75
8. Brooks GF. Jawetz, Melnick, & Adleberg’s Medical Microbiology Edisi ke-
23. Jakarta: EGC; 2014.
9. Olsen JR. Epidemiology of molluscum contagiosum in children: A Systemic
Review. UK: Oxford University Press; 2014.
10. Bathia AC. Molluscum contagiosum. New York: Medscape WebMD Health;
2014.
11. Hyde PMD. Infections molluscum contagiosum. USA: Kids Health from
Nemours; 2013
12. Adhi D. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2017. hlm. 114-115
13. Abdullah, Benny. Kasus-kasus lain: Dermatologi pengetahuan dasar dan kasus
di rumah sakit. Surabaya: Airlangga University Press; 2018. hlm. 166-168.
14. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2015. hlm 79.
15. Reynolds MG, Holman RC, Christensen KLY, Cheek JE, DamonIK. The
incidence of molluscum contagiosum among American Indians and Alaska
natives: an Update. Plos One: Atlanta; 2018.
16. Dohil MA, Lin P, Lee J, Lucky AW, Paller AS, Eichenfield LF. The
epidemiology of molluscum contagiosum in children. J Am Acad Dermatol.
2015;54:47-54.
17. Graham, Robin & Tony. Lectures notes dermatology. Edisi ke-8. Jakarta:
Erlangga; 2015.
18. Tyring SK. Molluscum contagiosum: The importance of early diagnosis and
19. treatment. Am J Ostet Gynecol. 2013;189:S12-S16.
34
20. Cribier B, Scrivener Y, Grosshans E. Molluscum contagiosum: histologic
patterns and associated lesions. Am J Dermatopathol. 2013;23:99-103.
21. Rajendran ES. Moluscum contagiosum: a case series. Homeopathy.
2013;202(91):25-259.
22. Smith K, Yeager J, Skelton H. Molluscum contagiosum: its clinical,
histopathologic, and immunohistochemical spectrum. Int J Dermatol.
2018;38:664-72.
23. Shelley WB, Burmeister V. Demonstration of a unique viral structure: the
molluscum viral colony sac. Br J Dermatol. 2016;115:557-62.
24. Fritzpatric. Dermatology in General Medicine, 7th ed. NeywYork: McGraw
Hill; 2013.
25. Centers for Disease Control. Molluscum Contagiosum. USA: Centers for
Disease Control; 2015.
26. Nandhini G, Rajkumar K, Kanth KS, Nataraj P, Ananthakrishnan P,
Arunachalam M. Molluscum contagiosum in 12 year old child report of a case
and review of literature. J Int Oral Health. 2015;7(1):63–66.
27. Epstein WL. Molluscum contagiosum. Semin Dermatol. 2013;11(3):184-9.
28. Hammes S, Greve B, Raulin C. Molluscum contagiosum: Treatment
29. with pulsed dye laser. Hautarzt. 2013;52(1):38-42.
30. Arndt KA. Manual of Dermatologic Therapeutics, 5th ed. Boston: Little
Brown; 2015.
31. Silpi B. Molluscum Contagiosum – An Update. Indian Medical Gazette. 2013.
32. Nandhini G, Rajkumar K, Kanth KS, Nataraj P, Ananthakrishnan P,
Arunachalam M. Molluscum contagiosum in a 12 year old child – Report of a
case and review of literature. J Int Oral Health. 2015;7(1):63-66.
33. Ho KK. Management of Molluscum Contagiosum in Children. Medical
Bulletin. 2015.
34. Lee Robert, A Robert. Schwartz. Pediatric Molluscum Contagiosum:
Reflections on the Last Challenging Poxvirus Infection, Part 1. 2013.
35. Hicks CB, Myers SA, Giner J. Resolution of intractable molluscum
contagiosum in a human immunodeficiency virus infected patient after
institution of antiretroviral therapy with ritonavir. Clin Infect Dis.
2017;24:1023-1025.
35