Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut
dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic
drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian dengan cara sistemik. Pemberian dengan cara sistemik
di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan
suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat
dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai
istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong
‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah
sakit bahkan mengakibatkan kematian. Steven- Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic
Epidermal Necrolitic (TEN) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut.
Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi
mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi
terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat
fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di
India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari
seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit
merupakan kasus erupsi obat alergi. Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons
dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat.6
Angka kematian tergantung pada penyebab eritroderma. Sigurdson (2004)
melaporkan dari 102 penderita eritroderma terdapat 43% kematian, 18% disebabkan
langsung oleh eritroderma dan 74% tidak berhubungan dengan eritroderma. 7
Salah satu jenis dari erupsi alergi kulit adalah eritroderma. Eritoderma berasal dari
bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) + derma, dermatos (skin = kulit),
1
merupakan peradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih pada permukaan kulit yang
biasanya disertai skuama. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit
kulit yang telah ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis spongiotic
lainnya), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi, antibiotika, calcium
channel blocker, dan bahan topikal), penyakit sistemik termasuk keganasan, serta
idiopatik (20%).
Insiden eritroderma di Amerika Serikat bervariasi, antara 0,9 sampai 71,0 per
100.000 penderita rawat jalan dermatologi.8 Hasan dan Jansen (1983) memperkirakan
insiden eritroderma sebesar 1–2 per 100.000 penderita. Sehgal dan Srivasta (1986) pada
sebuah penelitian prospektif di India melaporkan 35 per 100.000 penderita eritroderma
dirawat jalan dermatologi.
Pada beberapa laporan kasus, didapatkan insiden pada laki-laki lebih besar
daripada perempuan, dengan proporsi 2:1 sampai 4:1, dan usia rata- rata 41–61 tahun.

1.2. Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penyusun
dan pembaca mengenai Eritroderma dan sebagai salah satu syarat agar bisa mengikuti
ujian akhir di KSM Kulit dan Kelamin RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari Sabtu, 7 Agustus 2021, pukul 14.00 WIB dengan
pasien sendiri (auto-anamnesis) di Ruang Perawatan Dahlia RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya.

2.1.1. Identitas Pasien


a. Nama penderita : Tn. EF
b. Jenis kelamin : Laki-laki
c. Tanggal lahir : 18 Januari 1999 (22 Tahun)
d. No. Rekam Medik : 37.15.98
e. Pendidikan terakhir : SLTA
f. Pekerjaan : Pegawai Swasta
g. Alamat : Kota Sampit

2.1.2. Keluhan Utama


Bercak merah mengelupas dan disertai gatal di seluruh tubuh.
2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari Sampit dengan keluhan muncul bercak merah disertai rasa
gatal dan kulit mengelupas sejak kuraang lebih 3 bulan yang lalu. Awalnya pasien
hanya mengeluh bercak kemerahan pada kulit tangan lalu pasien berinisiatif meminum
obat CTM dan Lerzin namun keluhan tidak membaik, lalu kemudian pasien berobat ke
mantri di sekitar rumah pasien kemudian pasien disuntik dan diberikan obat minum
namun pasien lupa nama obatnya, bebrapi hari kemudia pasien keluhan pasien
bertambah berat meluas ke seluruh tubuh disertai kulit mengelupas dan bertambah gatal,
leher pasien membengkak dan pasien merasa sesak nafas. Kemudian pasien dibawa ke
rumah sakit dan dirawat selama kurang leabih 1 minggu, setelah kondisi pasien pulih

3
dan keluhan membaik pasien diperbolehkan pulang. Namun setelah beberapa minggu
kemudian keluhan pasien kambuh kembali, kemudian pasien berobat ke dokter lagi
kemudian diberikan obat namun keluhann tidak membaik dan mata dan badan pasien
menjadi kekuningan. Pasien dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam dan obat untuk
keluhan kulit pasien dihentikan dan hanya fokus ke pengobatan penyakit kuning pada
pasien.
Demam (+), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah atau diare. Makan dan minum
rutin, BAB rutin setiap hari, BAK tidak ada keluhan.

2.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu


• Pasien belum pernah menderita keluhan serupa
• Pasien tidak pernah memiliki riwayat kelainan kulit sebelumnya.
2.1.5. Riwayat Pengobatan
• Riwayat konsumsi obat CTM dan Lerzin
• Riwayat injeksi obat dan konsumsi obat minum dari mantri (pasien lupa nama
obatnya)
• Riwayat konsumsi obat-obatan dari dokter penyakit dalam

2.1.6. Riwayat Alergi


Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, cuaca atau benda
tertentu.
2.1.7. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat penyakit khusus seperti asma,
jantung dan diabetes melitus disangkal.
2.1.8. Riwayat Kebersihan Diri
Pasien mengaku mandi 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih. Pasien
menggunakan air sumur bor didekat rumahnya untuk mandi.
2.2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

4
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 112/70 mmHg
 Laju nadi : 79 x/menit,tunggal regular, kuat angkat
 Laju napas (RR) : 20x/menit, pernapasan thorako-abdominal
 Suhu : 36,6 oC di axilla
d. Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala : Normocepal (+)
2. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, edema
periorbital -/-,
3. Hidung : Simetris, Sekret minimal
4. Mulut : Labium oris pucat (-), sianosis (-), edema labia (+), lidah pucat
(-), atrofi papil lidah (-), faring hiperemis (-), tonsil T2-T2.
5. Leher : ■ Tekanan vena jugularis (JVP) normal
■ Pembesaran kelenjar getah bening (-)
■ Pembesaran tiroid (-)
6. Thorax
Pulmo
Inspeksi Simetris, ketertinggalan gerak (-).
Palpasi Fremitus vokal kanan = kiri, ekspansi dada kiri = kanan
Perkusi  Sonor di semua lapang paru
 Batas paru-hepar di ICS V linea midclavicularis dextra
 Batas paru-lambung di ICS VI linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi Suara dasar paru +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Cor
Inspeksi Thrill (-)
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V di LMCS
5
Perkusi Batas kiri di ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas dextra di linea sternalis dextra
Pinggang jantung di ICS II linea sternalis sinistra
Batas bawah di ICS VI linea sternalis sinistra
Auskultasi  S1-S2 tunggal dan regular, murmur (-), gallop (-)
 Heart rate = 79x/menit, tunggal regular, kuat angkat

7. Abdomen
Inspeksi Tampak datar, distensi (-) ikterik (+)
Auskultasi Bising usus 8x/menit (normal)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi  Timpani

8. Ekstremitas
Extremitas superior dextra Extremitas superior sinistra
 Akral hangat, CRT <2 detik  Akral hangat, CRT <2 detik
 CRT < 2”  CRT < 2”
 Pucat palmar (-)  Pucat palmar (-)
 Claw hand (-)  Claw hand (-)
 Motorik : 5  Motorik : 5

Extremitas inferior dextra Extremitas inferior sinistra


 Akral hangat, CRT<2 detik  Akral hangat, CRT<2 detik
 CRT < 2”  CRT < 2”
 Foot drop (-)  Foot drop (-)
 Motorik : 5  Motorik : 5
Sensorik menurun  Sensorik menurun

9. Status Dermatologis

Regio Generalisata : Patch eritema disertai skuama, berbatas tegas, multiple


kasar, berwarna putih, dan terdistribusi general.

2.3. Diagnosa Kerja


Diagnosis kerja pada kasus pasien Tn. EF adalah:
 Eritroderma e.c Drug Allergy
6
2.4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

Indikator Nilai Rujukan 10 Agustus 2021


Hb 13,5 - 18,0 g/dL 9,1 g/dL
Leukosit 4.500 - 11.000/μL 20.17 /μL
Neutrofil 2-5% 11.98 %
Limfosit 20– 40% 3.46 %
Eosinofil 1 – 4% 2.57 %
Trombosit 15x104-40x104/μL 314.000/μL
MCV 80 - 100 fL 88.2 fL
MCH 27 - 34 pg 33.5 pg
MCHC 32 – 36 g/dL 37.9 g/dL
Albumin 3.5-5.5 g/dL 2.51 g/dL
Natrium 135 - 148 mmol/L 138 mmol/L
Kalium 3.5 - 5.3 mmol/L 3.7 mmol/L
Calcium 0.98 - 1.2 mmol/L 1.14 mmol/L
SGOT L = <37 U/L 185 U/L
SGPT L = <42 U/L 200 U/L
Bilirubin Total <1.1 mg/dL 33.79 mg/dL
Bilirubin Direk <0.25 mg/dL 24.05 mg/dL
Bilirubin
<0.75 mg/dL 9.73 mg/dL
Indirek
GDS <200 mg/dL 59 mg/dL
Ureum 21 – 53 mg/dL 23 mg/dL
Creatinin 0.7 – 1.5 mg/dL 1.33 g/dL

b. Pemeriksaan Imaging
Rontgen Thorax : Jantung dan Paru tidak tampak kelainan
USG Abdomen : Hepatosplenomegali ringan, Hydrops dengan sludge gall
bladder e.c kolesistitis akut

2.5. Daftar Abnormalitas


7
a. Anamnesis
 Bercak kemerahan pada seluruh tubuh disertai kulit mengelupas dan rasa
gatal
 Leher pasien membengkak dan sesak nafas
 Pasien mengalami demam
 Mata dan badan pasien menjadi kuning
b. Pemeriksaan Fisik

Regio Generalisata : Patch eritema disertai skuama, berbatas tegas, multiple


kasar, berwarna putih, dan terdistribusi general.
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Leukositosis, penurunan hemoglobin, peningkatan
neutrofil, penurunan limfosit, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan
bilirubin total, direk, dan indirek.
USG Abdomen : Hepatosplenomegali ringan, Hydrops dengan sludge gall
bladder e.c kolesistitis akut

2.6. Tatalaksana
 Inj. Metilprednisolon 1/3-0-0
 PO Ceterizine 2 x 10 mg
 Wajah : Betametason Cream + VA 2 dd u.e
 Badan : Desoximetason Cream + VA 2 dd u.e

Gambar 1.1 Kondisi Pasien Saat Diperiksa

8
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah)
+ derma, dermatos (skin  = kulit). Eritroderma adalah kelainan kulit yang
ditandai dengan adanya eritema universalis (90-100%), biasanya disertai
adanya skuama. Bila eritemanya antara 50-90% dinamai dengan pre-
eritroderma. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema,
sedangkan skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena
alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, baru
kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama. Pada eritroderma
yang kronik, eritroderma tidak begitu jelas, karena bercampur dengan
hiperpigmentasi. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit
kulit yang telah ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis
10
spongiotik lainnya), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi,
antibiotika, calcium channel blocker,  dan bahan topikal), penyakit sistemik
termasuk keganasan, serta idiopatik (20%).
Eritroderma, disebut juga sebagai dermatitis eksfoliatif,
diperkenalkan pertama kali oleh Hebra pada 1868, merupakan kelainan kulit
inflamasi yang ditandai kulit eritem generalisata dan skuama yang luas
melibatkan 90% luas permukaan kulit. Eritroderma dan dermatitis eksfoliatif
merupakan satu perjalanan klinis, yakni tahap awal berupa kulit eritem
generalisata yang kemudian diikuti dengan pengelupasan kulit. Kata
‘eksfoliasi’ berdasarkan pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun
kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata ‘dermatitis’ digunakan
berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus.6 

3.2. Epidemiologi
Insidens eritroderma sangat bervariasi, menurut penelitian dari 0,9-70 dari
100.000 populasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita namun
paling sering pada pria dengan rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-
rata > 40 tahun, meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Insiden
eritroderma makin bertambah. Penyebab utamanya adalah psoriasis. Hal
tersebut seiring dengan meningkatnya insidens psoriasis.

3.3. Etiologi
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik,
perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan. Pada banuyak
kasus eritroderma umumnya disebabkan kelainan kulit yang ada sebelumnya
(misalnya psoriasis atau dermatitis atopik), cutaneous T-cell lymphoma (CTCL)
atau reaksi obat. Identifikasi penyakit yang menyertai menggambarkan satu
dari sekian banyak kelainan kulit. 7  Penyakit kulit yang dapat menimbulkan
eritroderma diantaranya adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%,
11
alergi obat 15%, CTCL atau sindrom sezary 5%.8 
Secara morfologis gambaran eritroderma menyerupai beberapa kelainan
kulit dan penyakit sistemik, begitu pula akibat alergi obat-obatan tertentu,
berikut

Klasifikasi Eritroderma:
1. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik.
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat
menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang),
penisilin, barbiturat. Insiden ini dapat lebih tinggi karena kebiasaan
masyarakat sering melakukan pengobatan sendiri dan pengobatan secara
tradisional.9 Waktu mulainya obat masuk ke dalam tubuh hingga timbul
penyakit bervariasi dapat segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya
adalah eritema universal. Bila ada obat yang masuk ke dalam tubuh lebih
dari satu diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering
menyebabkan alergi.

2.  Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit.

Eritroderma et causa  psoriasis, merupakan eritroderma yang paling


banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun
akibat pengobatan psoriasis yang terlalu kuat. Dermatitis seboroik pada bayi
juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal sebagai penyakit
Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20
minggu. Ptyriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu
dapat pula menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah pemphigus foliaseus, dermatitis atopik dan liken
planus.2 

3. Eritroderma akibat penyakit sistemik.

Berbagai penyakit atau kelainan sistemik termasuk infeksi fokal dapat

12
memberi kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang
tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus
dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk
pemeriksaan laboratorium dan foto thorax), untuk melihat adanya infeksi
penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis
namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial yang
tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati.2 

Harus lebih diperhatikan komplikasi sistemik akibat eritroderma seperti;


hipotermia, edema perifer, dan kehilangan cairan, dan albumin dengan
takikardia dan kelainan jantung harus mendapat perawatan yang serius. \ Pada
eritroderma kronik dapat mengakibatkan kakeksia, alopesia, palmoplantar
keratoderma, kelainan pada kuku dan ektropion.

3.4. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui secara pasti.
Patogenesis eritroderma berkaitan dengan patogenesis penyakit yang
mendasarinya, dermatosis yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi
eritroderma, atau perkembangan eritroderma idiopatik de novo tidaklah
sepenuhnya dimengerti. Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang
dimediasi toxin menunjukkan bahwa lokus patogenesitas
staphilococcus mengkodekan superantigen. Lokus-lokus tersebut mengandung
gen yang mengkodekan toxin dari toxic shock syndrome  dan
staphylococcal scalded-skin syndrome. Kolonisasi  staphylococcusa ureus
atau antigen lain merupakan teori yang mungkin saja seperti toxic shock
syndrome toxin-1, mungkin memainkan peranan pada patogenesis eritroderma.
Pasien-pasien dengan eritroderma biasanya mempunyai kolonisasi S. aureus 
sekitar 83% dan pada kulit sekitar 17%, bagaimanapun juga hanya ada satu dari
pasien yang memiliki toxin S. aureus yang positif.

13
Dalam mempelajari patogenesis dari eritroderma membutuhkan
pengetahuan biologi normal dari epidermis. Seperti pada jaringan lainnya,
epidermis melakukan regenerasi secara rutin yang terjadi pada membrana
basalis, dan sel-sel ini berubah menjadi struktur keratin yang utuh melalui
proses selama 10-12 hari. Pada umumnya, sel-sel ini membutuhkan tambahan
sekitar 12-14 hari lagi di stratum korneum sebelum sel ini dilepaskan.3 
Berdasarkan penelitian, jumlah skuama yang hilang pada manusia normal
antara 500-1000 mg/hari. Pengelupasan keratin paling banyak terjadi pada
telapak tangan, kulit kepala, dan dahi (kurang lebih 2-3,5 gr/m2 per 24 jam)
dan paling sedikit pada dada, lengan bawah dan tungkai bawah (0,1 gr/m2 per
24 jam). Karena tubuh mengkatabolisme 50-60 gr protein per hari,
pengelupasan kulit yang fisiologis ini berperan penting dalam metabolisme
protein secara keseluruhan.3 
Patogenesis eritroderma masih menjadi perdebatan. Penelitian terbaru
mengatakan bahwa hal ini merupakan proses sekunder dari interaksi kompleks
antara molekul sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2,
IL-8), molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor nekrosis faktor, dan
interferon-γ.19 Pada eritroderma terjadi peningkatan laju pengelupasan
epidermis. Meskipun beberapa peneliti memperkirakan sekitar 100 gr
epidermis hilang setiap harinya, tetapi pada beberapa literatur menyatakan
bahwa hanya 20-30 gr yang hilang. Pada skuama penderita eritroderma
ditemukan peningkatan jumlah asam nukleat dan hasil metabolismenya,
penurunan jumlah asam amino, dan peningkatan jumlah protein bebas.3 
Reaksi tubuh terhadap suatu agen dalam tubuh (baik itu obat-obatan,
perluasanpenyakit kulit dan penyakit sistemik) adalah berupa pelebaran
pembuluh darah kapiler (eritema) yang generalisata. Eritema berarti terjadi
pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat
sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya pasien merasa dingin dan
menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat
terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang
14
makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan
meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu.
Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensatoar dan
peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi
meningkat sebanding laju metabolisme basal.2,3 
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2  permukaan kulit atau lebih
sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia
dengan berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin terutama
gammaglobulin merupakan kelainan yang khas. Edema sering terjadi,
kemungkinan disebabkan oleh pergesaran cairan ke ruang ekstravaskuler.2 
Eritroderma akut dan kronis dapat menganggu mitosis rambut dan kuku berupa
kerontokan rambut dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan
kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung berbulan
– bulan dapat terjadi perburukan keadaan umum yang progresif.9
Pada eritroderma ec alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai dengan eritem dan skuama. Pada
eritroderma ec alergi obat terlihat adanya eritem tanpa adanya skuama.
Skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan. 2

3.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis eritroderma beraneka ragam dan bervariasi tiap individu.
Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritema, yang disebabkan oleh pelebaran
pembuluh darah, yang umumnya terjadi pada area genetalia, ekstremitas, atau kepala.
Eritema ini akan meluas sehingga dalam beberapa hari atau minggu seluruh permukaan
kulit akan terkena, yang akan menunjukan gambaran yang disebut “red man
syndrome”.6
Skuama muncul setelah eritema, biasanya setelah 2-6 hari. Skuama adalah
lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama berkonsistensi mulai dari
halus sampai kasar.6 Ukuran skuama bervariasi; pada proses akut akan berukuran
besar, sedangkan pada proses kronis akan berukuran kecil. Warna skuama juga

15
bervariasi, dari putih hingga kekuningan. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah
lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai membran mukosa, terutama yang
disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah terkena, dapat terjadi alopesia,
perubahan kuku, dan kuku dapat lepas. Pada eritroderma, skuama tidak selalu terdapat,
misalnya eritroderma karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama,
skuama kemudian timbul pada stadium penyembuhan timbul.6,10

Gambar 2. Eritema disertai Skuama

Sumber: www.your-doctor.net/dermatology_atlas

Kulit kepala dapat terlibat, yang akan meluas ke folikel rambut dan matriks
kuku. Kurang lebih 25% dari pasien mengalami alopesia, dan pada banyak kasus, kuku
akan mengalami kerapuhan sebelum lepas seluruhnya. Telapak tangan dan kaki
biasanya ikut terlibat, namun jarang mengenai membran mukosa. Sering terjadi pula
bercak hiper dan hipopigmentasi. Pada eritroderma kronis, eritema tidak begitu jelas
karena bercampur dengan hiperpigmentasi.2,6
Epidermis berukuran tipis pada awal proses penyakit dan akan terlihat dan
terasa tebal pada stadium lanjut. Kulit akan terasa kering dengan krusta berwarna
16
kekuningan yang disebabkan serum yang mengering dan kemungkinan karena infeksi
sekunder. Pada beberapa kasus, manifestasi klinis yang muncul pada eritroderma yang
akut menyerupai nekrolisis epidermal toksik, walaupun secara patofisiologi sangat
berbeda.6
Pada eritroderma karena penyakit kulit, penyakit sistemik dan obat- obatan,
sering dijumpai kelainan-kelainan yang mendasarinya, yang membantu dalam
menegakan diagnosis. Sering ditemukan plak psioriasis yang masih tersisa; papul atau
lesi oral likenplanus; gambaran pulau yang khas dari pitiriasis rubra; dan lesi papular
dari drug eruption.6 Gejala dari penyakit yang mendasari ini sering sulit ditemukan dan
harus diperiksa dengan cermat.3
Pasien mengeluh kedinginan. Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi
hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh
pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas metabolik. Eritroderma akibat alergi
obat secara sistemik diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat
penyebabnya. Umumnya alergi timbul akut dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit
hanya eritem saja, setelah penyembuhan barulah timbul skuama.2,3 Pada eritroderma
akibat alergi obat, dapat disertai edema pada wajah dan leher.12,13

17
Gambar 3. Eritroderma karena alergi obat (gambar kiri); Red Man
Syndrome (gambar kanan)
Sumber: www.your-doctor.net/dermatology_atlas

Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis dan


dermatitis seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua hal yaitu:
karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat. Psoriasis yang
menjadi eritroderma tanda khasnya akan menghilang. Pada eritroderma et causa
psoriasis, merupakan eritroderma yang disebabkan oleh penyakit psoriasis atau
pengobatan yaitu kortikosteroid sistemik, steroid topikal, komplikasi fototerapi, stress
emosional yang berat, penyakit terdahulu misalnya infeksi.2,3,11

3.6. Diagnosis
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang sudah
ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuning-kemerahan
di pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi, dan
ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa
skuama, dan pityriasis rubra; ditandai bercak kulit dalam eritroderma. Dengan beberapa
biopsi biasanya dapat menegakkan diagnosis.2,6

18
3.7. Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding pada eritorderma :

1. Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis yang terjadi di lapisan


epidermis dan dermis, sering berhubungan dengan riwayat atopik pada keluarga
asma bronchial, rhinitis alergi, konjungtivitis. Atopik terjadi diantara 15-25%
populasi, berkembang dari satu menjadi banyak kelainan dan memproduksi sirkulasi
antibodi IgE yang tinggi, lebih banyak karena alergi inhalasi. Dermatitis atopik
adalah penyakit kulit yang mungkin terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya
timbul sebelum usia 5 tahun. Biasanya, ada tiga tahap: balita, anak-anak dan
dewasa.5,8

Dermatitis atopik merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang

19
dewasa dimana didapatkan gambaran klinisnya terdapat lesi pra- existing, pruritus
yang parah, likenifikasi dan prurigo nodularis, sedangkan pada gambaran histologi
terdapat akantosis ringan, spongiosis variabel, dermal eosinofil dan parakeratosis.3,8
2. Psoriasis

Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang


terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi
eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena
terdapat menghilang dimana plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan skuama tebal
universal. Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung
lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Faktor genetik berperan. Bila
orang tuanya tidak menderita psoriasis resiko mendapat psoriasis 12%, sedangkan
jika salah seseorang orang tuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 34 –
39%.2,9

Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas


dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan
lilin, Auspitz, dan Kobner.3

3. Dermatitis seboroik

Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai dengan


plak eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung
kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping
hidung, ketiak, dada, antara skapula. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua
umur, dan meningkat pada usia 40 tahun. Biasanya lebih berat apabila terjadi pada
laki-laki daripada wanita dan lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan
lemak dan minum alkohol. 2,1

Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman Pityrosporum


ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak
eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan
20
menghasilkan skuama putih yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa
gatal yang hebat.(3) DS dapat diakibatkan oleh ploriferasi epidermis yang meningkat
seperti pada psoriasis. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik
dapat memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi,
timbulnya DS dapat disebabkan oleh faktor kelelahan sterss emosional infeksi, atau
defisiensi imun.10

3.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin, didapatkan penurunan
hemoglobin, peningkatan eosinofil, dan peningkatan leukosit (pada infeksi
sekunder). Kadar imunoglobulin dapat meningkat, khususnya IgE. Albumin serum
menurun dan gamma globulin meningkat relatif. Didapatkan pula
ketidakseimbangan elektrolit karena dehidrasi.6
Pasien dengan eritrodetma yang luas dapat ditemukan tanda-tanda dari
ketidakseimbangan nitrogen: edema, hipoalbuminemia, dan hilangnya masa otot.
Beberapa penelitian menunjukan terdapat perubahan keseimbangan nitrogen dan
potasium ketika laju pembentukan skuama mencapai 17 gr/m2 per 24 jam.

2. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi
kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi
proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi
edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan.2
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik, dan mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti
bandlike limfoid infiltrat di dermis-epidermis, dengan sel cerebriform mononuklear
atipikal dan Pautrier's microabscesses. Pasien dengan sindrom Sezary sering
menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis kronis, dan eritroderma jinak mungkin

21
kadang-kadang menunjukkan beberapa gambaran tidak jelas pada limfoma.2
Pemeriksaan immunofenotipe infiltrat limfoid juga mungkin sulit
menyelesaikan permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya memperlihatkan
gambaran sel T matang pada eritroderma jinak maupun ganas. Pada psoriasis
papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan papiler dapat terlihat, dan pada
pemfigus foliaseus, akantosis superficial juga ditemukan. Pada eritroderma
ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi diulang dari tempat-tempat yang
dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan gambaran khasnya. 2

3.9. Tatalaksana

Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan


I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg
– 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari-
beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga
diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10 mg – 4 x 15 mg sehari.
Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkkan.
Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika
eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat
tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati
dengan etretinat. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa
minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat golongan I. 2
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang
baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya
terdiri atas kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil
dengan dosis 2-6 mg sehari. Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet
tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein.
Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat
vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin 10%.

22
3.10. Prognosis

Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang


mendasarinya. Kasus karena penyebab obat dapat membaik setelah penggunaan
obat dihentikan dan diberikan terapi yang sesuai. Prognosis kasus akibat
gangguan sistemik yang mendasarinya seperti limfoma akann tergantung pada
kondisi keberhasilan pengobatan, tetapi mungkin timbul kekambuhan. Kasus
idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat bertahan dalam waktu yang
lama, sering kali disertai dengan kondisi yang lemah.

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara


sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat
dibandingkan golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum
diketahui penyebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya
mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan
kortikosteroid.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. EF berusia 22 tahun rujukan dari Sampit dengan keluhan muncul
bercak merah disertai rasa gatal dan kulit mengelupas sejak kuraang lebih 3 bulan yang
lalu. Awalnya pasien hanya mengeluh bercak kemerahan pada kulit tangan lalu pasien
berinisiatif meminum obat CTM dan Lerzin namun keluhan tidak membaik, lalu
kemudian pasien berobat ke mantri di sekitar rumah pasien kemudian pasien disuntik
dan diberikan obat minum namun pasien lupa nama obatnya, bebrapi hari kemudian
pasien keluhan pasien bertambah berat, meluas ke seluruh tubuh disertai kulit
mengelupas dan bertambah gatal, leher pasien membengkak dan pasien merasa sesak
nafas. Kemudian pasien dibawa ke rumah sakit dan dirawat selama kurang leabih 1
minggu, setelah kondisi pasien pulih dan keluhan membaik pasien diperbolehkan

23
pulang. Namun setelah beberapa minggu kemudian keluhan pasien kambuh kembali,
kemudian pasien berobat ke dokter lagi kemudian diberikan obat namun keluhann tidak
membaik dan mata dan badan pasien menjadi kekuningan. Pasien dirujuk ke dokter
spesialis penyakit dalam dan obat untuk keluhan kulit pasien dihentikan dan hanya
fokus ke pengobatan penyakit kuning pada pasien.
Demam (+), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah atau diare. Makan dan minum
rutin, BAB rutin setiap hari, BAK tidak ada keluhan.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, cuaca atau benda
tertentu. Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit khusus
seperti asma, jantung dan diabetes melitus disangkal. Riwayat mengonsumsi obat CTM,
Lerzin, injeksi obat dari mantri dan obat minum. Pasien mengaku mandi 2-3 kali sehari
dengan sabun dan air bersih. Pasien menggunakan air sumur bor didekat rumahnya
untuk mandi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan patch eritema disertai skuama, berbatas tegas,
multiple kasar, berwarna putih, dan terdistribusi menyeluruh pada regio generalisata.

Diagnosis Eritroderma e.c Drug Allergy ditegakkan berdasarkan anamnesis


didapatkan bercak kemerahan pada seluruh tubuh disertai kulit mengelupas dan rasa
gatal, serta leher mengalami bengkak dan mengeluh sesak nafas yang muncul akibat
mendapatlan obat injeki dan obat minum tertentu.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan patch eritema disertai skuama,
berbatas tegas, multiple kasar, berwarna putih, dan terdistribusi menyeluruh pada regio
generalisata. Serta pada penunjang ditemukan leukositosis, penurunan hemoglobin,
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema
universalis (90-100%), biasanya disertai adanya skuama. Bila eritemanya antara
50-90% dinamai dengan pre-eritroderma.

Untuk penegakan diagnosis ditegakan berdaarkan temuan klinis yang didapatkan


serta ditemukannya ada riwayat mengonsumi obat tertentu yang memicu munculnya
keluhan. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah berupa pemeriksaan histopatologi.

24
Tatalaksana pada pasien
 Inj. Metilprednisolon 1/3-0-0
 PO Ceterizine 2 x 10 mg
 Wajah : Betametason Cream + VA 2 dd u.e
 Badan : Desoximetason Cream + VA 2 dd u.e
Selain pemberian tatalaksan farmakologi berupa obat injeksi, oral dan obat topikal.
Pada pasien harus menghentikan penggunaan obat yang memicu munculnya keluhan
pada pasien.
Prognosis
Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya. Pada kasus ini karena adanya alergi obat, maka dapat membaik
setelah penggunaan obat dihentikan dan diberikan terapi yang sesuai.

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pasien Tn. EF berusia 22 tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang didiagnosa dengan Eritroderma e.c Drug Allergy. Pada pasien
ini diberikan terapi berupa injeksi Metilprednisolon, Ceterizin oral dan obat tokial
berupa Betametason Cream untuk wajah dan Desoximetason Cream untuk badan.
Prognosis pada pasien ini baik apabila obat yang memicu keluhan dihentikan dan
diberikan terapi yang sesuai.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wasitaatmadja SM. Anatomi kulit. Djuanda A. Ilmu penyakit


kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.p;3-5.
2. Champion RH. Eczema, Lichenification, prurigo, and erythroderma.
In: Champion RH eds. Rook’s, textbook of dermatology, 5 th ed.
Washington; Blackwell Scientific Publications. 1992.p;17.48-17.52.
3. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.p;197-200.
4. Sanusi UH. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis).
Emedicine (updated 24 Januari 2012; cited 10 Februari 2012).
Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1106906-overview
5. Shimizu H. Shimizu’s textbook of dermatology. 1st ed. Hokkaido:
Nakayama Shoten Publishers; 2007.p; 122-25, 98-101.
6. Freederg IM. Exfoliative dermatitis. Fitzpatrick et all.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 4th ed. Newyork:
Mcgraw-Hill. 1996. Chapter-41.p; 527-531.
7. Siregar RS. Dermatosis eritroskuamosa. Saripati penyakit kulit. 2 nd
ed. Jakarta: EGC. 2005.p; 94-106,236-238.
8. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Djuanda A. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2005.p; 138.
9. Imtikhananik. Dermatitis Exfoliativa. Cermin Dunia Kedokt 1992;74:16-
18.

10. Utama HW, Kurniawan D. Erupsi alergi obat. Tesis. Palembang:


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.2007.p; 11.

26
11. Schön MP, Boehncke WH. Psoriasis. N Engl J Med 2005;352:1899-912.

12. Tyrrell JD. Severe exfoliating dermatitis from sodium


sulphocyanate therapy. Can Med Assoc J. 1930 January; 22(1):
80–81.
13. Gupta S et al. Allergic contact dermatitis with exfoliation secondary to
calamine/diphenhydramine lotion in a 9 year old girl. Journal of
clinical and diagnostic research [serial online] 2007 june [cited: 10 Feb
2012]; 1:147- 150. Available from: URL:
http://www.jcdr.net/back_issues.asp?issn=0973-
709x&year=2007&month=june&volume=1&issue=3&page=147-
150&id=72
14. Akhyani M et al. Erythroderma: a clinical study of 97 cases.
BMC Dermatology. 2005; 5:5
15. Bruno TF, Grewal P. Erythroderma: a dermatologic emergency.
CJEM 2009;11(3):244-246

27

Anda mungkin juga menyukai