Oleh:
Adhi Pasha Dwitama 1806150673
Ardian Fitrianto 1806150704
Mario Binsar 1609150761
Sena Rian Rizardi 1806241614
Titil S. Kurniawati1806150805
Triandana Budi W. 1806241620
Pembimbing:
dr. Yunia Irawati, Sp.M (K)
Makalah ini merupakan tugas dalam menjalani tugas mata kuliah Ilmu Penyakit
Mata. Dengan adanya makalah dengan judul Kecacatan Mata, Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna dan saya mengharapkan makalah ini dapat menjadi
masukan bersama dan dapat berguna bagi para rekan sejawat dalam memberikan
pelayanannya kesehatan dan juga edukasi kepada para pekerja yang agar terhindar dari
risiko terjadinya kecelakaan kerja ataupun penyakit akibat kerja terutama pada organ
mata. Adapun, Makalah ini juga agar dievaluasi secara berkala guna menyesuaikan
dengan perkembangan kondisi dalam masyarakat dan juga teknologi kedokteran dewasa
ini.
Demikian makalah ini kami susun dengan sebaik-baiknya, apabila ada yang kurang
berkenan, kami memohon maaf. Semoga makalah ini menjadi berguna untuk kita semua.
Terimakasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Untuk mengetahui apa saja yang termasuk pada kecacatan mata dan
bagaimana melakukan penilaian kecacatan terhadap penyakit mata akibat kerja.
4
1.3 Tujuan
a. Tujuan umum :
1. Mengetahui dan memahami tentang kecacatan pada mata.
b. Tujuan khusus :
1. Mengetahui dan memahami tentang kecacatan mata akibat kerja.
2. Mampu memahami metodologi dan diagnostik kecacatan mata akibat
kerja.
3. Mampu menentukan tingkat kecacatan dalam bidang penyakit mata.
4. Mampu menentukan bagaimana kompensasi kecacatan penglihatan
akibat kerja
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Definisi cacat adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya
kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau
akhlak). Hal ini mengakibatkan hilang atau berkuranganya kemampuan untuk
menjalankan pekerjaan. Kecacatan dapat dibagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu:
a. Cacat sebagian selamanya adalah cacat yang mengakibatkan hilangnya
sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh.
b. Cacat sebagian fungsi adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi
sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh untuk selama-lamanya.
c. Cacat total untuk selamanya adalah kedaan tenaga kerja tidak mampu bekerja
sama sekali untuk selama-lamanya.
Untuk menyatakan cacat total, dokter yang merawat atau dokter penasehat
akan melakukan pemeriksaan fisik kepada tenaga kerja yang sakit agar
pertimbangan medis bisa diberikan secara akurat dan obyektif serta menggunakan
parameter diagnostik
Penyakit akibat kerja atau kecelakaan akibat kerja di bidang mata adalah suatu
penyakit atau kelainan/kecacatan pada mata akibat pemaparan atau kecelakaan
kerja antara lain dengan faktor-faktor risiko di tempat kerja yang dapat
menyebabkan kelainan atau kecacatan pada tajam penglihatan, lapangan
pandangan, binokularitas, dan penglihatan warna. Kelainan atau kecacatan yang
dapat terjadi pada penglihatan, yaitu berupa:
1. Kelainan jaringan penunjang dan adneksa mata:
Kelopak mata : laserasi atau rupture kelopak mata akibat trauma
Tulang orbita : fraktur dinding orbita karena trauma
Sistem air mata (lakrima) : sumbatan sistem lakrima oleh trauma
Konjungtiva : radang konjungtiva akibat kontak iritan atau bahan kimia,
benda asing di konjungtiva.
Otot mata : kelumpuhan otot mata akibat trauma.
6
2. Kelainan bola mata
Kornea : ruptur kornea akibat trauma, trauma kimia asam dan basa,
trauma termal (panas atau dingin), trauma radiasi (misalnya akibat
lampu ultraviolet, ledakan nuklir, sinar-X atau radioisotop), trauma
akibat kontak dengan serangga/tumbuhan, benda asing kornea, dan
erosi / abrasi kornea, dry eye syndrome.
Sklera : ruptur sklera akibat trauma.
Lensa : katarak traumatik, luksasi/subluksasi lensa.
Bilik mata depan : hifema akibat trauma.
Iris : iridodialisis, siklodialisis, ruptur iris akibat trauma, midriasis atau
miosis traumatik.
Badan kaca (vitreus) : perdarahan vitreus akibat trauma, benda asing
dalam vitreus, endoftalmitis pasca trauma.
Koroid : ruptur koroid akibat trauma.
3. Kelainan saraf/jaras penglihatan
Retina : edema makula, komosio retina, perdarahan retina dan/atau
robekan retina akibat trauma, retinopati toksik (terutama kloroquin),
retinopati radiasi (misalnya pada radioterapi), atau retinopati akibat
cahaya (efek mekanik, termal atau fotokimia, contohnya solar retinopati
pada pekerja las).
Saraf optik : neuropati optik akibat kontak, inhalasi atau ingesti zat
toksik atau nutrisional (lihat tabel), neuropati optik akibat trauma,
neuropati akibat radiasi (> 3000 rad), dan avulsi papil nervus optik.
Korteks Penglihatan : akibat trauma kepala atau intoksikasi, misalnya
oleh metil merkuri
Adapun menurut AMA, terdapat 4 aspek penting dalam menentukan batasan
kelainan penglihatan, antara lain:
1. Perubahan pada anatomis dan struktural mata. Pada aspek ini yang dibahas
adalah perubahan anatomis dan struktural yang akan menjadi dasar diagnosis
pada level organ mata. Aspek ini akan berpengaruh pada kode diagnosis ICD-
9 dan ICD-9-CM, karena merupakan klasifikasi penyakit pada level organ
mata.
7
2. Fungsi visual (Impairment). Aspek ini membahas perubahan fungsi mata
secara kuantitatif. Fungsi visual tidak terbatas pada lapang pandang
penglihatan, tetapi juga pada penglihatan warna, ketajaman penglihatan,
adaptasi kegelapan dan binokularitas. sangat penting untuk dapat melakukan
pemeriksaan fungsi visual terhadap penglihatan yang akan bertujuan sebagai
pedoman penegakan diagnosis atau untuk mengestimasi konsekuensi
fungsional terhadap kelainan yang terjadi pada fungsi visual penglihatan.
3. Kemampuan visual (disability). Pada aspek ini menggambarkan kemampuan
visual secara kualitatif yang akan menggambarkan kemampuan penglihatan
yang berdampak pada aktivitas penglihatan sehari – hari seperti kemampuan
membaca, kemampuan menjalankan aktivitas penglihatan.
4. Konsekuensi sosial dan ekonomi (handicap). Aspek ini menggambarkan
konsekuensi sosial dan ekonomi terhadap individu yang mengalami kelainan
atau hilangnya kemampuan untuk penglihatan. Aspek ini lebih menjelaskan
kepada kualitas hidup seseorang. Contoh pada aspek ini, seperti terisolasi dari
kehidupan sosial, kehilangan pekerjaan.
Adapun WHO membagi kriteria buta sebagai berikut:
1. Kategori 1: Rabun atau penglihatan <6/18
2. Kategori 2: Rabun, tajam penglihatan <6/60
3. Kategori 3: Buta
Tajam penglihatan <3/60
Lapang pandang < 10 derajat
4. Kategori 4: Buta
Tajam penglihatan <1/60
Lapang pandang < 5 derajat
5. Kategori 5: Buta dan tidak ada persepsi sinar
8
kerja ataupun Kecelakaan Akibat kerja, perlu dilaksanakan langkah spesifik berupa
7 langkah diagnosis penyakit mata akibat kerja, yaitu:
1. Penegakan diagnosis klinis kelainan pada mata.
2. Penentuan pajanan yang dialami di tempat kerja (meninjau dan menilai
berbagai pajanan di tempat kerja).
3. Penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit lewat studi literatur /
evidence based
4. Penentuan intensitas atau lamanya pajanan tersebut terjadi (riwayat dan masa
kerja).
5. Penentuan ada tidaknya faktor lain yang mempengaruhi.
6. Penentuan kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab (pajanan di
rumah atau pajanan ketika melakukan hobi tertentu).
7. Penentuan diagnosis penyakit akibat kerja.
A. Anamnesis:
Anamnesis dilakukan untuk mengumpulkan informasi dari pasien
terutama ditujukan untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara
pekerjaan dan kelainan mata. Beberapa hal yang harus ditanyakan antara lain;
1. Umur pasien.
2. Jenis pekerjaan
3. Apa keluhan okular yang dirasakan pasien? Perlu dirinci: penglihatan
buram, mata merah, nyeri pada mata, keluar darah dari mata, melihat
ganda/ diplopia, floaters, atau fotopsia, dll
4. Apakah terdapat trauma? Bila ya, kapan terjadinya trauma?
5. Bagaimana perjalanan penyakit (misalnya: akut atau kronik)?
6. Apakah terdapat risiko di lingkungan kerja? (termasuk : iritan/polutan,
tidak adanya sarana proteksi, dsb)
7. Apakah terdapat risiko di lingkungan rumah / diluar pekerjaan?
8. Berapa lama waktu kerja / terpapar faktor risiko?
9. Dicari apakah terdapat penyakit sistemik, penyakit dalam keluarga atau
riwayat penyakit mata sebelumnya.
9
B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan oftalmologis
a. Pemeriksaan tajam penglihatan, baik monokular maupun binokular
b. Pemeriksaan mata luar, menggunakan loup, senter, maupun slit
lamp di tingkat rujukan. Seluruh hasil pemeriksaan harus tercatat
dengan baik, begitu juga pada cidera harus dideskripsikan dengan
sistematis dan lengkap. Pemeriksaan luar meliputi:
Kelopak mata Bilik mata depan
Konjungtiva Iris
Sklera Pupil
Kornea Lensa
c. Pemeriksaan refleks pupil. Mencari kelainan pupil seperti
anisokoria atau afferent pupillary defect.
d. Posisi (alignment) dan gerakan bola mata; dinilai secara binokular
ke 8 arah (cardinal gaze) untuk mencari kelainan posisi bola mata
seperti pada strabismus (esotropia, eksotropia, dan hipertropia),
dan kelainan gerakan / hambatan gerak bola mata.
e. Pemeriksaan lapang pandang. Tes Konfrontasi (tingkat layanan
primer) ataupun kampimetri Goldmann (tingkat rujukan).
f. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop. Untuk menilai bagian
dalam mata meliputi badan kaca, retina, pupil, dan saraf optik.
g. Pemeriksaan khusus, antara lain meliputi:
Tonometri: mengukur tekanan intraokular (TIO). Nilai normal
adalah 10-21 mmHg.
Penglihatan warna : menilai kemampuan melihat warna.
Binokularitas : menilai kemampuan kedua mata saat melihat
secara bersamaan. Dinilai adakah penglihatan ganda, dan apakah
kedua mata melihat secara stereoskopis.
10
C. Pemeriksaan terhadap parameter gangguan fungsi penglihatan.
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan, baik penglihatan jarak jauh dan jarak
dekat.
Pemeriksaan Tajam Penglihatan Jauh
Dasar pemeriksaan pada tajam penglihatan jarak jauh menggunakan
Kartu Snellen (Snellen Chart) dan Kartu Kipas Astigmatisme serta
refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens and trial frame).
11
pada Kartu Snellen (yang menggunakan lampu) adalah sebesar 500
lux.
Jarak baca 6 meter, atau setidaknya 3 meter dengan menggunakan
cermin. Pada jarak ini dianggap mata yang diperiksa tidak lagi
berakomodasi
Kedua mata diperiksa bergantian, dengan cara menutup satu mata
bergantian
Pada orang buta huruf dapat digunakan kartu E atau kartu Landolt
dengan prinsip yang sama.
2. Refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens dan trial frame)
Menggunakan lensa yang dicobakan pada pasien dimulai dari lensa
terkecil (0.5 dioptri) minimum sampai 3 dioptri. Teknik pemeriksaan:
Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter
Dipasang bingkai coba, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan
occluder
Pasien diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih
dapat dibaca olehnya.
Hasil yang didapat merupakan tajam penglihatan sebelum koreksi.
Apabila hasil tajam penglihatan yang didapat tidak mencapai
penglihatan normal (6/6), dilakukan koreksi kacamata.
Dicoba dengan lensa negatif/positif terkecil dan bila tajam
penglihatan menjadi lebih baik ditambah kekuatannya periahan-
lahan hingga dapat membaca huruf pada baris terbawah.
Apabila belum juga dapat mencapai tajam penglihatan normal,
dilakukan pemeriksaan melalui lubang intip (pinhole).
Apabila dengan teknik ini tidak terdapat kemajuan tajam
penglihatan, maka penglihatan tidak bisa diperbaiki lebih lanjut
(kelainan retina/saraf optik).
Apabila terdapat kemajuan tajam penglihatan maka diperiksa
kemungkinan adanya astigmatisme.
Dengan lensa negatif/positif yang memberi hasil terbaik pada masa
tersebut ditambahkan lensa positif yang cukup besar (kira-kira 5+3
12
dioptri), membuat kekaburan penglihatan, kemudian diminta untuk
melihat kartu kipas astigmat.
Ditanyakan adanya garis pada kipas yang paling jelas terlihat (yang
paling hitam dan tajam gambarannya). Apabila belum terlihat
perbedaan tebal garis kipas astigmat, maka lensa 5+3.0 dioptri
diperlemah sedikit demi sedikit, hingga pasien dapat menentukan
perbedaan garis yang terjelas dan terkabur.
Lensa silinder negatif dipasang dengan sumbu sesuai dengan garis
terkabur pada kipas astigmat.
Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit hingga semua
garis terlihat sama tebalnya pada kipas astigmat tersebut.
Pembacaan kartu Snellen dilanjutkan sampai baris terkecil, dengan
pengurangan lensa positif yang terpasang atau penambahan lensa
negatif.
Diperiksa mata sebelahnya, seperti di atas.
Penilaian:
Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan dengan pembilang
merupakan jarak pemeriksaan (biasanya 6 meter) dan penyebut adalah
angka yang terkecil yang masih dapat dibaca. Dimana tajam
penglihatan normal adalah 6/6. Misalnya; Tajam penglihatan 6/8 berarti
pasien tersebut hanya dapat membaca dalam jarak 6 meter
huruf/gambar yang seharusnya dapat dibaca oleh orang normal pada
jarak 8 meter.
Hasil koreksi kacamata sesuai dengan ketentuan lensa negatif/positif,
dengan /tanpa lensa silinder negatif pada sumbu terpasang.
Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu Snellen,
maka dilakukan hitung jari (counting fingers = CF). Tajam penglihatan
pada tes hitung jari diberi simbol angka 1/60 hingga 5/60. Pembilang
merupakan jarak yang masih dapat dilihat oleh pasien dalam satuan
meter.
13
Apabila pasien tidak juga dapat menghitung jari, maka dilakukan tes
gerakan tangan (hand movement = HM). Tajam penglihatan pada tes
ini diberikan simbol angka 1/300.
Apabila pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang, tajam
penglihatannya diberikan simbol 1/~ (light perception = LP).
Ditentukan pula kemampuan menentukan arah sumber cahaya
(proyeksi baik atau salah)
Bila sama sekali tidak dapat menerima langsung rangsang cahaya
dinyatakan tajam penglihatan nol (no light perception = NLP)
3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dekat
Dasar pada pemeriksaan tajam penglihatan dekat adalah daya
akomodasi untuk menambah daya bias lensa dengan kontraksi
otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan
kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang
berbeda akan terfokus di retina. Alat yang digunakan adalah kartu
baca Jaeger yang besar hurufnya bervariasi dalam ukuran 0,5 mm
hingga 19,5 mm dan dinyatakan dalam tingkat Jaeger 1 sampai
dengan Jaeger 20. pencahayaan minimal 100 footcandles pada
kartu.
14
Penilaian tajam penglihatan dekat normal adalah Jaeger 1.
Kriteria klinik ini dapat dilihat kuantifikasinya secara fungsional
sebagai Efisiensi Penglihatan.
Peralatan:
Pada pelayanan mata tingkat primer dan sekunder, pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara sederhana tanpa menggunakan alat, yaitu tes
konfrontasi. Sedangkan pada pelayanan mata tingkat rujukan / tersier
dapat dilakukan Perimeter Goldmann.
Tes Konfrontasi:
Cara paling sederhana yang dapat dilakukan di layanan primer adalah tes
Konfrontasi. Tes ini membandingkan lapang pandangan pasien dengan
pemeriksa. Pemeriksa harus memiliki lapang pandang yang normal.
15
Teknik pemeriksaan:
Pasien dan pemeriksa berhadapan muka dengan jarak kira-kira 75 cm
(dua kali jarak baca).
Mata kiri pemeriksa dan mata kanan pasien ditutup.
Mata yang terbuka saling berpandangan; sebuah objek (misalnya tangan
pemeriksa) digerakan dari bidang tengah pada 8 meridian pada jarak yang
sama dari pemeriksa-pasien.
Pasien diminta menyebutkan dengan segera, pada saat objek (benda,
warna) terlihat.
Luasnya lapang pandang antara pasien dibandingkan dengan pemeriksa.
Cara lain adalah dengan menyuruh pasien menghitung jari pemeriksa
pada ke-empat kuadran yaitu superotemporal. Inferotemporal,
superonasal dan inferonasal.
Pemeriksaan dilakukan pada mata sebelahnya
Penilaian:
Lapang pandang dianggap normal apabila sama luasnya dengan
pemeriksa.
Lapang pandang dianggap menyempit apabila lebih kecil dari lapang
pandang pemeriksa.
Apabila pasien tidak dapat menghitung jumlah jari di salah satu kuadran
atau lebih, dianggap sebagai abnormal
Pada tingkat rujukan (pelayanan mata tingkat tersier) dilakukan
pemeriksaan lapang pandang dengan Perimeter Goldmann
Kampimetri Goldmann
Pemeriksaan ini dilaksanakan di tingkat rujukan. Dasar pemeriksaan ini
adalah:
Saraf yang mempunyai fungsi sama akan mempunyai kemampuan
melihat yang sama.
Retina perifer mempunyai kemampuan melihat yang berbeda dengan
retina sentral.
Pada pemeriksaan kampimeter Goldmann jika tenaga kerja mengalami
16
kelainan lapang pandang, maka akan didapatkan scotoma yaitu daerah
yang hilang total atau sebagian lapang pandang seseorang (bersifat
subjektif/objektif) dengan dasar penilaian menggunakan Kisi Esterman.
Kisi Esterman adalah nilai lapang pandang di setiap bagian tidak sama,
sesuai dengan fungsi kepekaan penglihatan di tempat tersebut. Pada
Kisi Esterman lapang pandang dibagi menjadi 100 bagian yang tidak
sama besar tetapi masing-masing mempunyai nilai 1.
3. Pemeriksaan binokularitas
Penglihatan binokular terdiri atas beberapa gradasi yaitu :
Penglihatan serentak (simultaneous perception), yaitu keadaan di mana
kedua mata dapat melihat sekaligus.
Fusi, yaitu keadaan di mana kedua mata dapat bekerja sama
Stereopsis, yaitu kemampuan untuk membedakan ruang.
17
Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kacamata filter merah (pada mata kanan)
Kotak hitam dengan 4 lubang (diameter 2-3 cm), susunan ketupat; 2
lubang lateral atau horizontal berwarna hijau, lubang di atas berwarna
merah dan lubang bawah berwarna putih. Kotak berjarak 6 meter dari
tempat pemeriksaan.
Kotak hitam di atas dapat digantikan oleh slide Worth Four-Dot Test,
yang umumnya termasuk dalam proyektor Snellen yang dapat tersedia di
pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier.
Teknik pemeriksaan:
Pasien memakai kacamata koreksi diberikan sesuai kacamata dan diberi
kaca filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri.
Pasien diperiksa pada jarak 6 meter dan 30 cm
Kepala pasien harus dalam posisi tegak dan melihat lurus ke depan.
Pasien diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata,
sewaktu melihat "Worth Four Dot".
Penilaiannya:
sinar berarti ada fusi (melihat dengan 2 mata)
2 merah atau 3 hijau saja, berarti pasien hanya melihat dengan salah
satu matanya dan mata lain dalam keadaan tersupresi.
Sumber cahaya putih kadang-kadang berwarna merah dan berganti
18
menjadi hijau, berarti pada setiap saat pasien hanya melihat dengan satu
mata, berganti-ganti.
Bila terlihat 5 titik berarti terdapat diplopia.
Catatan:
1. Penilaian ini hanya bermakna apabila tajam penglihatan mata terburuk
minimal 6/8
2. Penilaian ini harus ditunjang dengan pemeriksaan objektif untuk menilai
adanya juling.
3. Bila terdapat diplopia dianggap kehilangan satu mata dengan tajam
penglihatan terburuk.
4. Dinilai adanya diplopia pada penglihatan jauh dan penglihatan dekat.
5. Pemeriksaan ini hanya untuk posisi primer, keluhan pada posisi lain harus
diperiksa di tingkat rujukan.
4. Penglihatan Warna
Orang normal mempunyai kemampuan untuk membedakan warna
sinar yang masuk berdasarkan fotoreseptor dan reaksi foto kimia retina
yang berbeda. Warna dasar yang terlihat adalah hitam-putih, hijau-merah
dan kuning- biru. Pemeriksaan ini disebut Tes Isihara yang menggunakan
alat berupa Kartu Isihara. Penilaian pada pembacaan Kartu Ishihara adalah
ada atau tidaknya buta wana hijau merah. Orang normal dapat mengenali
warna gambar dalam waktu 3-10 detik, bila terdapat kelambatan
pengenalan berarti terdapat kelainan penglihatan warna.
19
Gambar 04. Kartu Isihara
Dari aspek kompensasi cacat penglihatan penilaian ini hanya
bermakna apabila keadaan sebelumnya diketahui, tajam penglihatan 6/6
(dengan koreksi), dan lapang pandang normal.
A. Tajam penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat dilakukan untuk
mendapatkan nilai koreksi kacamata yang terbaik, yang kemudian dikonversi
ke dalam nilai kehilangan penglihatan.
20
1. Tabel Persentase kehilangan penglihatan jauh (setelah dilakukan koreksi
terbaik)
Tajam penglihatan Efisiensi % kehilangan
Tajam penglihatan
6/6 100 0
6 / 7,5 95 5
6 / 12 85 15
6 / 24 75 25
6 / 30 60 40
6 / 48 50 50
6 / 60 30 70
3 / 60 10 90
1 / 60 5 95
21
3. Persentase kehilangan tajam penglihatan penglihatan jauh dan dekat
Jumlah aljabar penglihatan jauh dan dekat dibagi 2. Nilai kehilangan
penglihatan jauh dan penglihatan jauh dan penglihatan dekat adalah sama.
Contoh:
Penglihatan jauh 6 / 30→ efisiensi panglihatan 50%;
Penglihatan dekat jeager 7 → efisiensi penglihatan 60%
Berarti orang ini mempunyai kehilangan tajam penglihatan penglihatan
sebesar :
[(%penglihatan kehilangan X penglahatan jauh) + (% kehilangan X penglihatan)]
2
= (50% + 60%) = 55%
2
4. Perhitungan Efisiensi tajam Penglihatan
Untuk menghitung efisiensi tajam penglihatan dilakukan dengan rumus :
Efisiensi penglihatan = 100% - presentase penglihatan
Untuk efisiensi tajam penglihatan pada contoh diatas adalah 100 – 55 =
45%
B. Lapang Pandang
1. Lapang pandang dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimeter
Goldman
2. Dilakukan penghitungan luas lapang pandang yang hilang
3. Dilakukan penghitungan luas pandang yang masih ada
22
Contoh:
Lapang pandang normal Lapang pandangn
(derajat ) mengecil
( derajat )
Temporal 85 45
Temporal bawah 85 25
Bawah 55 30
Nasal 55 25
Nasal bawah 50 25
Nasal atas 55 25
Atas 45 25
Atas temporal 55 35
Jumlah 485 235
D. Penglihatan warna
Pemeriksaan penglihatan warna hanya berlaku apabila keadaan
penglihatan warna sebelumnya sudah diketahui. Dilakukan dengan
pemeriksaan Ishihara. Hasil pemeriksaan warna merah – hijau. Apabila
kehilangan penglihatan warna, maka dianggap kehilangan efisiensi
penglihatan sebesar 10%.
23
Perhitungan kecacatan mata menurut Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Nasional (DK3N)
Efisiensi penglihatan satu mata
Bila tidak terdapat diplopia, angka motilitas dihilangkan dari perhitungan, maka rumus
sehingga rumus nya menjadi:
Hasil yang diperoleh dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan satu mata
(lampiran PP No. 14 tahun 1994)
Hasil yang diperoleh dikalikan dengan presentase kompensasi kecacatan dua mata
(lampiran PP No. 14 tahun 1993). Bila kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi pada
satu mata, maka penilaian tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi penglihatan satu
mata.
24
Tabel lampiran dari PP No. 14 tahun 1994
25
b. STMB untuk 6 (enam) bulan kedua diberikan sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen) dari Upah
c. STMB untuk 6 (enam) bulan ketiga dan seterusnya diberikan sebesar
50% (lima puluh persen) dari Upah.
d. STMB dibayar selama Peserta tidak mampu bekerja sampai
Peserta dinyatakan sembuh, Cacat sebagian anatomis, Cacat sebagian
fungsi, Cacat total tetap, atau meninggal dunia
3. Santunan Cacat, meliputi:
a. Cacat sebagian anatomis sebesar = % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan
b. Cacat sebagian fungsi = % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80
x Upah sebulan
c. Cacat total tetap = 70% x 80 x Upah sebulan
26
4. Santunan kematian sebesar = 60% x 80 x Upah sebulan, paling sedikit
sebesar JKM.
5. Biaya pemakaman Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
6. Santunan berkala dibayar sekaligus = 24 x Rp. 200.000,00 =
Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah)
7. Rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) dan/atau alat ganti (prothese)
bagi Peserta yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat
Kecelakaan Kerja untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan
oleh Pusat Rehabilitasi Rumah Sakit Umum Pemerintah ditambah 40%
(empat puluh persen) dari harga tersebut serta biaya rehabilitasi medik.
8. Bantuan beasiswa kepada anak Peserta yang masih sekolah sebesar
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta, apabila Peserta
meninggal dunia atau Cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja.
27
Catatan: Karyawan tidak bekerja selama 1 bulan
• Biaya / ongkos ke RS = Rp 50.000,-
• Biaya pengobatan = Rp 2.000.000
• Gaji per bulan = Rp 10.000.000,-
Jawaban:
• Kompensasi yg dapat diperoleh karyawan tsb dapat terdiri dari
• Biaya pengobatan dan perawatan
• Biaya transportasi ke rumah sakit
• Santunan sementara tidak mampu bekerja selama 1 bln (100% x gaji
sebulan)
• Santunan cacat kekurangan fungsi yang menetap (% kekurangan fungsi x %
sesuai tabel x 70 bulan upah) % sesuai tabel PP 64 tahun 2005 adalah 7%
28
• Maka efisiensi dua mata :
(Efisiensi penglihatan terbaik X 3) + (Efisiensi penglihatan terburuk X 1) / 4
= (82.5% x 3) + (50%x1) / 4
= 74,375 %
Efisiensi Penglihatan : 100% - 74.375% = 25.625%
29
BAB III
KESIMPULAN
Tingginya risiko kecelakaan kerja yang bias terjadi karena potensi bahaya yang ada
di tempat kerja dapat menimbulkan trauma pada organ mata selain itu tidak jarang juga
potensi bahaya bias menimbulkan penyakit akibat kerja terutama penyakit mata yang bias
menyebabkan kecacatan. Penanganan kasus-kasus penyakit akibat kerja dan kecelakaan
kerja yang dapat menyebabkan kecacacatan mata, seorang dokter perlu memahami
prinsip-prinsip medis mulai dari hal-hal mendasar tentang anatomi dan fisiologi mata,
pemeriksaan-pemeriksaan oftalmologi dasar, neuro-oftalmologi mata, dan aspek-aspek
hukum ketenagakerjaan, khususnya masalah-masalah benefit & compensation bagi
pegawai yang mengalami masalah dengan mata/penglihatannya yang berkaitan dengan
pekerjaan.
Dalam kecelakaan akibat kerja atau penyakit akibat kerja yang mengenai mata
maka perlu dilakukan penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja. Langkah-langkah
pemeriksaan yang harus dilakukan untuk melakukan penilaian dan mengevaluasi
kecacatan mata adalah:
a. Pemeriksaan tajam penglihatan jauh,
Pada pemeriksaan ini, menggunakan kartu Snellen yang merupakan kartu
yang memiliki ukuran huruf yang berbeda-beda. Pemeriksaan ini
menentukan huruf terkecil yang masih dapat dilihat di kartu baca pada jarak
6 meter atau 20 kaki.
b. Pemeriksaan tajam penglihatan dekat, dengan menggunakan kartu Jaeger.
c. Pemeriksaan lapang pandang.
- Tes konfrontasi.
- Pada tingkat rujukan menggunakan perimeter Goldman dan kisi Esterman.
d. Pemeriksaan binokularitas.
Penglihatan binokularitas terdiri atas beberapa gradasi yaitu :
- Penglihatan serentak dimana kedua mata dapat melihat sekaligus.
- Fusi dimana kedua mata dapat bekerjasama.
- Stereopsis yaitu kemampuan untuk membedakan ruang.
30
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk menilai penglihatan binokular
tunggal seperti tes “Worth four dot”, tes dengan menggunakan perimeter
Goldman dan tes kartu TNO.
e. Pemeriksaan penglihatan warna.
f. Pemeriksaan ini menggunakan tes Ishihara untuk menentukan ada atau tidaknya
buta warna hijau merah.
31
Daftar pustaka
1. Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Manajemen
dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Press.
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
609 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan
Penyakit Akibat Kerja
3. Masayuki Tatemichi et all Possible association between heavy computer users and
glaucomatous visual field abnormalities: a cross sectional study in Japanese
workers Journal of Epidemiology & Community Health 2004; 58 965-965
Published Online First: 16 Nov 2004. https://jech.bmj.com/content/58/12/1021
Diakses pada 25 November 2019
4. Kepmenaker No 25 Tahun 2008
5. Program Jaminan Kecelakaan Kerja. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
Ketenagakerjaan. Diunduh dari:
https://bpjsketenagakerjaan.go.id/page/program/Program-Jaminan-Kecelakaan-
Kerja-(JKK).html. 25 November 2019
6. Peraturan Pemerintah RI No.44 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
32