Anda di halaman 1dari 56

TEORI BELAJAR PEMROSESAN INFORMASI

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori-teori Belajar yang
diampu oleh :
Dr. Mamat Supriatna, M.Pd.
Dra. Rd. Tati Kustiawati, M.Pd.
Rina Nurhudi Ramdhani, M.Pd.

Disusun oleh:
Ananda Diar Shafira 1806529
Bangun Waizal Karniz 1800444
Nuha Tsaqifa Salsabila 1803949
Mutia Nur Aini 1803753
Yuni Nur Rohman 1800400

PPB-A 2018

DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Teori pemrosesan informasi berfokus pada gagasan bahwa manusia


memproses informasi yang mereka terima dari lingkungan. Teori
pemrosesan informasi sangat berkaitan dengan proses belajar karena dalam
proses belajar otak siswa menerima informasi, memanipulasi, dan
menyimpannya. Sehingga penting bagi guru memahami memahami
mengenai teori pemrosesan informasi agar guru dapat dengan tepat
menyampaikan informasi kepada siswa, baik itu tepat dalam cara
menyampaikan informasi maupun ketepatan mengenai infomasi yang
diberikan.
Pada hakikatnya setiap siswa memiliki perbedaan dalam memproses
informasi. Ada siswa yang dengan mudah memahami informasi yang
diberikan, dan ada juga siswa yang kesulitan memahami informasi yang
diberikan. Dengan memahami mengenai teori pemerosesan informasi, guru
dapat membantu siswa yang kesulitan dalam memproses informasi yang
didapatkan dengan memberi tahu siswa mengenai elemen penting dari
informasi tersebut.

B. LINGKUP BAHASAN
Makalah ini terdiri dari tiga Bab. Dimana Bab I (Pendahuluan) terdiri
dari dua pembahasan yaitu Dasar Pemikiran dan Lingkup Bahasan Makalah.
Selanjutnya Bab II terdiri dari tiga pembahasan yaitu Deskripsi Teori,
Penelitian Terdahulu, Analisis, dan Skenario. Dalam Deskripsi Teori,
makalah ini membahas mengenai Teori Sistem Pengolahan Informasi.
Dalam Penelitian Terdahulu terdapat 16 jurnal bersumber dari :
Ardika, Y., & A. S. (2016). Efektivitas Metode Mnemonik Ditinjau
dari Daya Ingat dan Hasil Belajar Matematika Siswa SMK Kelas X.
Matematika Kreatif-Inovatif, 72.; Ariyanto, S. N. (2017). Terapi Bermain
Menyusun Puzzle Beragam untuk Meningkatkan Memori Jangka Pendek
Pada Anak ADHD. 1.; Bhinnety, M. (2011). Struktur dan Proses Memori.
Buletin Psikologi, 76-87.; Dharmawan, T. (2015). Musik Klasik dan Daya
Ingat Jangka Pendek pada Remaja. Ilmiah Psikologi Terapan, 370-379. ;
Halim, M. A. (2012). Keefektifan Teknik Mnemonic untuk Meningkatkan
Memori Jangka Panjang dalam Pembelajaran Biologi Pada Siswa Kelas
VIII SMP Al-Islam 1 Surakarta . xi.; Julianto, V. (2017). Meningkatkan
Memori Jangka Pendek dengan Karawitan. Ilmiah Psikologi , 144-145.;
Junaidi, M. C., & Soegiarto, B. (251). Hubungan antara Aktivitas Fisik
Terhadap Memori Kerja Murid SMA Don Bosco III Bekasi. Sari Pediatri,
2015.; Khotijah, S., A. T., & P. U. (2017). Penerapan Model Pemrosesan
Informasi Pada Pembelajaran Membaca Siswa Di SMP Negeri 02 Bengkulu
Utara . Ilmiah Korpus, 199.; Khotimah, H., Supena, A., & Hidayat, N.
(2019). Meningkatkan Attensi Belajar Siswa Kelas Awal melalui Media
Visual. Pendidikan Anak , 17.; Kusaeri, Lailiyah, S., Ariffadah, Y., &
Hidayati, N. (2018). Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika Berdasarkan Teori Pemrosesan Informasi. Suska Jurnal of
Education, 125.; Lestari, T., & Nurihsan, A. J. (2017). Efektivitas Stratrgi
Pembelajaran SMART (Stories Method and Recall Training) terhadap
Peningkatan Memory Kerja Anak Fase Sekolah Dasar Kelas Rendah.
Repository.Upi.edu, 1-5.; Marettina, N., & Maruti, E. D. (2016). Pengaruh
Senam Otak terhadap Peningkatan Kemampuan Mengingat Memori Jangka
Pendek Pada Lansia di Unit Pelayanan Sosial Pucang Gading Semarang .
Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 1-7.; Purwanto, S. (2011). Hubungan
Daya Ingat Jangka Pendek dan Kecerdasan dengan Kecepatan Menghafal
Al-Quran di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. 70-81.; Rehalat, A.
(2014). Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi. Pendidikan Ilmu
Sosial, 7-8.; Rehalat, A. (2014). Model Pembelajaran Pemrosesan
Informasi. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 9-10.; Rinta, L. (2015).
Pendidikan Seksual dalam Membentuk Perilaku Seksual Positif pada
Remaja dan Implikasinya terhadap Ketahanan Psikologi Remaja. 162-175.;
Suprapto, A. (2015). Pengembangan Metodologi Pembelajaran PAI Melalui
Teori Pemrosesan Informasi dan Teori Neuroscience. Pendidikan Agama
Islam, 49-50.; Thobroni, M., & Mustofa, A. (2013). Belajar &
Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam
Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.; Wardhani, S. S.
(2017). Penerapan Teknik Repitisi untuk Meningkatkan Memori Siswa
pada Konsep Sel. vii.
Dalam analisis, kami membandingkan Teori Sistem Pengolahan Informasi
dengan Teori Behavioristik. Dan skenario bimbingan klasikal tentang Cara
Menghafal Cepat dengan Teknik Mnemonik dalam Teori Pemrosesan
Informasi (Sibernetik) kepada peserta didik kelas X1I di SMAN 5 Bandung.
Dan terakhir Bab III terdiri dari dua pembahasan yaitu Kesimpulan dan
Implikasi.
BAB II
A. Deskripsi Teori
1. SISTEM PENGOLAHAN INFORMASI
Asumsi- asumsi
Teori-teori pengolahan informasi yang ada memiliki pandangan
yang berbeda-beda dalam hal proses-proses kognitif yang mana yang
tergolong penting dan bagaimana cara kerjanya, tetapi teori-teori tersebut
memiliki asumsi-asumsi yang sama. Salah satunya adalah pengolahan
informasi terjadi dalam tahapan-tahapan yang memisahkan penerimaan
sebuah stimulus dan penerimaan sebuah respon. Dari sini didapatkan logika
bahwa bentuk informasi tersebut diinterpretasikan secara mental, berbeda-
beda tergantung pada tahapannya. Tahapan yang dimaksud berbeda antara
satu sama lain secara kualitatif.
Asumsi lain mengatakan bahwa pengolahan informasi dapat
dianalogikan dengan pengolahan komputer. Para teoritis pengolahan
informasi meragukan gagasan yang menjadi ciri khas behaviorisme bahwa
pembelajaran merupakan pembentukan asosiasi antara stimulus-stimulus.
Para teoritisi pengolahan informasi tidak menolak gagasan tentang asosiasi
karena mereka mendalilkan bahwa asosiasi-asosiasi yang terbentuk di
antara potongan-potongan pengetahuan, membantu penguasaan dan
penyimpanan potongan-potongan tersebut dalam memori. Para teoritisi ini
tidak banyak memperhatikan kondisi-kondisi eksternal; mereka lebih
memfokuskan perhatian pada proses-proses internal (mental) yang terjadi
pembatas antara stimulus dan respon. Siswa merupakan pencari yang aktif
dan pemeroses informasi. Tidak seperti behavioris yang menyatakan bahwa
orang memberikan respon ketika terdapat stimulus yang datang kepada
mereka, para teoritisi pengolahan informasi berpendapat bahwa orang
menyeleksi dan memperhatikan aspek-aspek dari lingkungan,
mentrasformasi dan mengulang informasi, menguhubungkan informasi-
informasi yang baru dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya, dan mengorganisasikan pengetahuan untuk membuatnya
bermakna atau dapat dipahami (Mayer, 1996).
Fungsi-fungsi dari sistem manusia serupa dengan komputer. Sistem
manusia menerima informasi, menyimpan dalam memori, dan
mengambilnya lagi saat diperlukan. Pengolahan kognitif luar biasa efisien;
tidak banyak terjadi pembuangan atau persinggungan. Ada perbedaan
pendapat diantara para peneliti tentang seberapa jauh mereka dapat
memperluas analogi ini. Sebagian peneliti menganggap analogi dengan
komputer hanya sebuah kiasan. Sebagaian yang lainnya menggunakan
analogi komputer untuk membuat simulasi-simulasi aktivitas manusia.
Bidang ilmu tentang kecerdasan buatan berkaitan dengan pemerograman
komputer untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas manusia seperti berpikir,
menggunakan bahasa, dan memecahkan masalah (Bab 7).
Para peneliti juga berasumsi bahwa pengolahan informasi terlibat dalam
semua aktivitas kognitif: melihat/merasakan, mengulang, berpikir,
memecahkan masalah, mengingat, lupa dan mencitrakan (Farnham-
Diggory, 1992; Martlin, 2009; Mayer, 1996; Shuell, 1986; Terry, 2009).
Pengolahan informasi menjangkau lebih dari konsep tradisional tentang
pembelajaran manusia.

Model Memori Dua-Penyimpanan


Menunjukan sebuah model pengolahan informasi yang
menggabungkan tahapan-tahapan pengolahan. Meskipun umum, model ini
sangat berhubungan dengan model klasik yang diusulkan oleh Atkinson dan
Shiffrin (1968, 1971).
Pengolahan informasi bermula ketika sebuah input stimulus (misalnya:
visual, auditori) mengenai satu atau lebih panca indra (misalnya:
pendengaran, penglihatan, peraba). Register sensorik yang sesuai menerima
input dan menyimpannya sebentar dalam bentuk rekaman indrawi. Di
sinilah presepsi (pengenalan pola) terjadi; yaitu proses pemberian makna
terhadap sebuah input stimulus. Proses ini biasanya tidak termasuk
penamaan karena penamaan memerlukan waktu dan informasi hanya
berdiam di register sensorik selama sepersekian detik. Dalam presepsi
terjadi pencocokan sebuah input dengan informasi yang telah diketahui.
Register sensorik mentransfer nformasi ke memori jangka pendek (STM/
Short term memory). STM adalah sebuah memori kerja (WM/working
memory) dan kira-kira berhubungan dengan kesadaran atau hal-hal yang
tertangkap oleh pikiran sadar pada saat tertentu. Kapasitas MW terbatas.
Miller (1956) mengemukakan bahwa WM menyimpan tujuh plus atau
minus dua unit informasi. Sebuah unit merupakan item yang bermakna:
sebuah huruf, kata, bilangan, atau tuturan umum (misalnya;”mata
penceharian”). Durasi WM juga terbatas sehingga supaya unit dapat
dipertahankan dalam WM, unit tersebut harus diulang. Tanpa pengulangan,
informasi akan hilang beberpa detik. Ketika informasi berada di WM,
pengetahuan yang terkait dengannya dalam memori jangka panjang
(LTM/long term memory) atau memori permanen, akan diaktifkan dan
ditempatkan dalam WM untuk digabungkan dengan informasi yang baru.
Untuk menyebutkan semua ibu kota Negara bagian yang diawali dengan
huruf A, siswa mengingat nama-nama Negara bagian-barangkali
berdasarkan daerah dari negaranya- dan melakukan pemindaian nama-nama
ibu kota. Ketika para siswa yang tidak mengetahui ibu kota Maryland
diberitahukan bahwa ibukotanya adalah “ Annapolis” mereka dapat
menyimpannya bersama Maryland dalam LTM.
Perihal apakah informasi hilang didalam LTM mesih diperdebatkan.
Sebagian peneliti berpendapat bahwa bisa jadi demikian kenyatannya,
sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa kegagalan dalam mengingat
lebih mencerminkan tidak adanya penarikan informasi yang memadai,
bukan kondisi lupa. Tidak peduli apa prespektif toeritisnya, para peneliti
sepakat bahwa informasi tersimpan dalam LTM untuk waktu yang lama.
Proses kontrol (eksekutif) mengandalikan informasi diseluruh
sistem pengolahan informasi. Pengulangan merupakan proses kontrol
penting yang terjadi di WM. Untuk materi verbal, pengulangan tampil
dalam bentuk mengulang informasi dengan mengucapkannya dengan suara
jelas atau lirih. Proses-proses kontrol lainnya meliputi pengkodean
(menempatka informasi dalam sebuah konteks yang bermakna), pencitraan
(merepresentasikan informasi secara visual), mengimplementasikan aturan-
aturan pengambilan keputusan, mengorganisasikan informasi, memantau
tingkat pemahaman, serta menggunakan strategi-strategi penarikan,
pengaturan diri, dan motivasional.
Salah satu dari temuan mengenai model Memori Dua-Penyimpana
adalah kenyataan bahwa ketika orang memiliki sebuah daftar item untuk
dipelajari, mereka cenderung mengingat item-item awal dengan baik
(primacy effect/ efek keunggulan) dan item-item terakhir (recency
effect/efek kekinian). Menurut model dua penyimpanan, item-item awal
mendapatkan pengulangan paling banyak dan ditransfer ke LTM, sementara
item-item terakhir masih berada di WM pada saat proses mengingat. Item-
item yeng berada ditengah paling sulit diingat kerena item-item tersebut
sudah tidak ada di WM lagi pada saat mengingat (telah digeser oleh item-
item berikutnya). Item-tem ini mendapatkan pengulangan yang paling
sedikit item-item awal dan belum tersimpan dengan benar dalam LTM.
Namun, (Baddeley, 1998) mengemukakan bahwa pembelajaran
mungkin lebih kompleks dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh model
dua-penyimpanan. Kelemahan dari model dua-penyimpanan adalah model
ini tidak sepenuhnya menjelaskan bagaimana informasi bergerak dari satu
penyimpanan ke penyimpanan lainnya. Pemikiran tentang proses-proses
kontrol memang masuk akal tetapi kurang jelas. Kita bisa saja menanyakan:
mekanisme-mekanisme apa yang memutuskan bahwa sebuah informasi
telah diulang cukup lama dan ditransfer ke LTM? bagaimana informasi
dalam LTM diseleksi untuk diaktifkan? Yang menjadi pertimbangan
lainnya adalah bahwa model ini tampaknya paling sesuai digunakan untuk
materi-materi verbal. Dalam hal ini tidak jelas juga bagaimana representasi
non-verbal muncul bersama materi-materi yang mungkin tidak bisa
langsung diverbalkan, seperti seni modern dan keterampilan-keterampilan
yang telah mapan.
Ada juga pertanyaan tentang apakah semua komponen sistem selalu
digunakan. WM berperan ketika orang memperoleh pengetahuan dan harus
menghubungkan informasi yang masuk dalam pengatahuan yang berada
dalam LTM. Akan tetapi kita melakukan banyak hal secara otomatis:
berpakaian, berjalan, mengendarai sepeda, merespon permintaan sederhana
(misalnya; “ada punya waktu?”). bagi banyak orang dewasa,membaca
(menguraikan kode) dan perhitungan-perhitungan aritmetik sederhana
merupakan proses-proses otomatis yang tidak banyak membebani proses-
proses kognitif. Pengolahan otomatis ini bisa jadi tidak membutuhkan kerja
WM. Bagaimana proses otomatis berkembang dan mekanisme apakah yang
mengaturnya?
Persolan-persoalan ini dan juga persoalan-persoalan lainnya yang
tidak cukup diperhatikan oleh model dua-penyimpanan (misalnya; peran
motivasi dalam pembelajaran dan perkembangan diri pengaturan-diri)
bukan membuktikan kesalahan dari gagasan yang dibawa oleh model
Memori Dua-Penyimpanan. Persoalan-persoalan adalah hal-hal yang perlu
dipikirkan. Meskipun model dua-penyimpanan adalah contoh yang paling
dikenal dari teori pengolahan informasi, banyak peneliti yang tidak
sepenuhnya menerima (Matlin, 2009; Naurne, 2002).

Alternatif-alternatif Model Dua-Penyimpanan


Level-level (kedalaman) pengolahan. Teori level-level (kedalaman)
pengolahan mengkonseptualisasikan memori menurut tipe pengolahan yang
diterima oleh informasi, bukan lokasinya (Craik, 1979; Craik & Lockhart,
1972; Craik & Tulving, 1975; Lockhart, Craik & jacoby, 1976). Pandangan
ini tidak mencakup pembicaraan tentang tahapan-tahapan atau komponen-
komponen struktural seperti WM atau LTM (Terry, 2009). Pandangan ini
mengemukakan tentang cara-cara yang berbeda dalam memproses
informasi (seperti level-level atau kedalaman dimana informasi diproses)
yang terdiri dari fisik (permukaan), akustik (fonologis, bunyi), dan semantik
(makna). Ketiga level ini sifatnya dimensional dimana pengolahan fisik
menjadi yang paling dangkal dan pengolahan semantik menjadi yang paling
dalam.
Ketiga level ini tampaknya mirip konsepnya dengan register
sensorik, WM, dan LTM dari model dua-penyimpanan. Kedua macam
pandangan ini mengemukakan bahwa pengolahan informasi akan makin
terinci pada tahapan-tahapan atau level-level berikutnya. Meski demikian,
model level-level pengolahan tidak berasumsi bahwa tiga tipe pengolahan
tersebut bertindak sebagai tahapan-tahapan. Dalam level-level pengolahan,
orang tidak harus beralih ke proses berikutnya untuk melakukan pengolahan
yang lebih terinci; kedalaman pengolahan bisa berbeda-beda dalam sebuah
level. Wren dapat memperoleh pengolahan semantik dengan level rendah
(burung kecil) atau pengolahan semantik yang lebih luas (kemiripannya atau
perbedaannya dengan burung-burung lainnya.
Perbedaan lainnya antara kedua model pengolahan informasi diatas
berkenaan dengan urutan pengolahan. Model dua-penyimpanan berasumsi
bahwa informasi di proses dulu oleh register sensorik, lalu oleh WM, dan
terakhir oleh LTM. Model level-level pengolahan tidak memberikan asumsi
berupa rangkaian urutan. Supaya dapat diproses pada level makna,
informasi tidak harus diproses dahulu pada level permukaan dan level bunyi
(diluar hal yang diperlukan dalam pengolahan supaya informasi dapat
diterima) (Lockhart, 1976).
Kedua model ini juga memiliki pandangan berbeda tentang
bagaimana tipe pengolahan mempengaruhi memori. Dalam level-level
pengolahan, makin dalam level sebuah item diproses, makin bagus
memorinya karena jejak memorinya lebih tertanam. Begitu sebuah item
diproses pada titik tertentu dalam sebuah level, pengolahan tambahan pada
titik tersebut tidak dapat meningkatkan memori. Sebaliknya, model dua-
penyimpanan menyatakan memori dapat ditingkatkan dengan pengolahan
tambahan dari tipe yang sama. Model ini memprediksikan bahwa makin
sering sebuah daftar item diulang, makin kuat ingatan terhadap item-item
dalam daftar tersebut.
Level-level pengolahan menyiratkan bahwa pemahaman siswa kan lebih
baik ketika materi pelajaran yang diberikan pada mereka diperoses pada
level yang lebih dalam. (Glover, Plake, Roberts, Zimmer, dan Palmere,
1981) mengemukakan bahwa meminta siswa untuk memparafrasakan ide-
ide ketika mereka membaca esai dapat meningkatkan ingatan mereka jauh
lebih baik dari pada melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas yang tidak
didasarkan pada pengetahuan yang sebelumnya (misalnya: mengidentifikasi
kata-kata kunci dalam esai). Perintah untuk membaca perlahan dan hati-hati
tidak dapat membantu siswa saat harus mengingat.
(Moscovitch dan Craik, 1976) mengemukakan bahwa pengolahan yang
lebih mendalam saat pembelajaran menghasilkan potensi kinerja memori
yang lebih tinggi, tetapi potensi tersebut akan terealisasikan hanya ketika
kondisi-kondisi saat penarikan informasi cocok dengan kondisi-kondisi
pada saat pembelajaran.
Persoalan teori level-level pengolahan adalah bahwa apakah
pengolahan tambahan pada level yang sama menghasilkan ingatan yang
lebih baik. (Nelson, 1977) mamberi partisipan-patisipannya satu atau dua
pengulangan dari tiap-tiap stimulus (kata) yang diperoses pada level yang
sama. Dua pengulangan menghasilkan ingatan yang labih baik dan ini
berlawanan dengan hipotesis level-level pengolahan. Penelitian lain
menunjukan bahwa pengulangan tambahan dari materi dapat memfasilitasi
pemertahanan informasi dan ingatan sebagaimana otomatisasi dari
pengolahan (Anderson, 1990; Jacoby, Bartz, & Evans, 1978)
Persoalan lainnya yang berkaitan dengan sifat dari sebuah level. Para
peniliti berpendapat bahwa pemikiran tentang kedalaman itu
membingungkan, baik defnisinya maupun pengukurannya (Terry, 2009).
Akibatnya kita tidak tahu bagaimana pengolahan pada level yang berbeda-
beda mempengaruhi pembelajaran dan memori (Baddeley, 1978; Nelson,
1977). Waktu merupakan kriteria yang buruk dari level karena beberapa
pengolahan permukaan (misalnya; “Apakah kata ini memiliki pola huruf :
konsonan-vokal-konsonan-konsonan-vokal-konsonan?”) dapat
berlangsung lebih lama dari pengolahan semantik (“Apakah ini jenis
burung?”). waktu pengolahan dalam level tertentu juga tidak dapat
mengindikasikan pengolahan yang lebih dalam (Baddeley, 1978,1998).
Kurangnya pemahaman yang jelas tentang level-level (kedalaman)
membatasi kegunaan dari prespektif ini.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini bisa jadi akan
membutuhkan penggabungan-penggabungan level-level dengan gagasan
dua-penyimpanan supaya mendapatkan model memori yang lebih baik.
Contohnya; informasi-informasi dalam WM barangkali berkaitan dengan
pengetahuan dalam LTM pada tingkatan permukaan atau tingkatan yang
lebih terinci. Selain itu dua-penyimpana memori dapat mencakup level-
level pengolahan didalam masing-masing dari dua penyimpanan tersebut.
Pengkodean semantik dalam LTM dapat mengarah pada sebuah jaringan
informasi yang lebih luas dan cara yang lebih bermakna untuk mengingat
informasi dibandingkan dengan pengkodean permukaan atau fonologis.
Level aktivasi. Sebuah konsep alternatif dari memori, yang serupa dengan
model dua-penyimpanan dan model level-level pengolahan, menyatakan
bahwa struktur memori berbeda-beda berdasarkan level aktivasinya
(Anderson, 1990). Dalam pandangan ini, kita bukan memiliki struktur
memori-memori yang terpisah, tetapi satu memori dengan kondisi aktivasi
yang bereda-beda. Informasi dapat berupa dalam kondisi aktif atau tidak
aktif. Ketika aktif, informasi dapat diakses dengan cepat. Kondisi aktif
dipertahankan selama informasi diperhatikan. Tanpa perhatian, level
aktivasi akan menurun dan dalam hal ini informasi tersebut dapat diaktifkan
ketika struktur memorinya diaktifkan kembali (Collins&Loftus, 1975).
Informasi aktif dapat mencakup informasi-informasi yang masuk ke
sistem pengolahan informasi dan informasi yang telah disimpan dalam
memori (Baddeley, 1998). Tidak masalah sumbernya dari mana, informasi
aktif adalah informasi yang sedang diproses atau informasi yang dapat
diperoses dengan cepat. Pengulangan membuat informasi dapat
dipertahankan dalam kondisi aktf (Anderson, 1990). Untuk memori kerja
atau WM, jumlah struktur memori yang dapat diaktifkan pada waktu
tertentu terbatas. Ketika perhatian seseorang teralihkan, level aktivasinya
berubah.
Konsep level aktivasi penting untuk penyimpan informasi dan
penarikannya dari dalam memori. Pemikiran dasarnya adalah aktivasi yang
menyebar (spreading activation) yaitu satu struktur memori dapat
mengaktifkan struktur lain yang berdekatan (berkaitan) dengannya
(Anderson, 1990). Aktivasi menyebar dari bagian yang aktif ke bagian yang
tidak aktif dalam memori. Level aktivasi tergantung pada kekuatan jalur
penyebaran aktivasi dan pada jumlah jalur yang berebut untuk aktif (yang
menghalangi). Kemungkinan persebaran aktivasi makin besar ketika praktik
ditingkatkan, karena praktik dapat memperkuat struktur-struktur, tetapi
kemungkinan tersebut akan menurun seiring dengan lamanya interval
pemertahanan karena kekuatan-kekuatan struktur tersebut akan melemah.
Satu keuntungan yang bisa didapatkan dari teori level aktivasi
adalah bahwa teori ini dapat menjelaskan penarikan informasi dari memori.
Dengan mengesampingkan pemikiran tentang penyimpanan-penyimpanan
memori yang terpisah, teori ini dapat menghilangkan potensi permasalahan
dari pentransferan informasi dari satu penyimpanan ke penyimpanan yang
satunya. STM (WM) merupakan bagian dari memori yang sedang aktif.
Aktivasi akan menghilang dengan berlakunya waktu, kecuali jika
pengulangan terus dilakukan untuk menjaga agar informasinya tetap aktif
(Nairne, 2002). Meski demikian model level aktivasi tidak terlepas dari
masalah yang juga dihadapi oleh model dua-penyimpanan. Keduanya
terlalu membeda-bedakan sistem informasi (aktif-tidak aktif). Kita juga
menghadapi permasalahan lainnya tentang tingkat kekuatan yang
diperlukan supaya informasi dapat lolos dari satu kondisi ke kondisi lainnya.

2. Perhatian

Pada dasarnya saat peristiwa terkait pelajaran terjadi objek-objek visual,


bunyi, bau rasa, dan hal lain terus membombardir kita. Kita tidak bisa dan
tidak harus memerhatikan semuanya. Kapabilitas perhatian kita terbatas. Kita
hanya bisa memerhatikan beberapa hal secara bersamaan. Dengan demikian,
perhatian dapat dipahami sebagai proses memilih beberapa dari banyaknya
potensi input. Perhatian juga dapat mengacu pada sumber daya manusia yang
terbatas yang dikeluarhkan untuk mencapai tujuan-tujuan seseorang dan
untuk memobilisasi serta memperhatikan proses-proses kognitif
(Grabe,1986).

Teori-Teori Tentang Perhatian


Pada tugas mendengarkan secara dichotic, orang menggunakan headphone
dan menerima pesan-pesan yang berbeda pada masing-masing telinga mereka.
Mereka diminta untuk "membuntuti" satu pesan (menyebutkan apa
yangmereka dengar); kebanyakan dapat melakukannya dengan baik. Cherry
(1953) memikirkanapa vang terjadi dengan pesan yang tidak diperhatikan. la
menemukan bahwa para partisipannya tahu kapan pesan tersebut datarg,
apakah itu suara manusia atau suara lain, dan kapan suaranya berubah dari
suara laki-laki ke suara perempuan. Mereka biasanya tidak tahu apa isi
pesannya, kata-kata apa yang diucapkan, bahasa apa yang dipakai, atau apakah
kata-katanya diulangi. Broadbent (1958) mengusulkan sebuah model
perhatian yang dikenal sebagai teori filter (leher. botol). Dalam pandangannya,
informasi yang masuk dari lingkungan disimpan sebentar dalam sebuah sistem
indrawi. Berdasarkan karakteristik fisiknya, potongan-potongan informasi
diseleksi untuk diproses lebih lanjut oleh sistem perseptual. Informasi tidak
ditangani oleh sistem perseptual disingkirkan-tidak diproses di luar sistem
indrawi. Perhatian itu bersifat selektif karena "jalur leher botol" ini-hanya
beberapa dari pesan yang diterima yang diproses lebih lanjut. Dalam studi-studi
mendengarkan dichotic, teori filter menyatakan bahwa para pendengar
menyeleksi sebuah saluran bunyi berdasarkan instruksi-instruksi mereka.
Mereka mengetahui beberapa detail tentang pesan yang Satunya (yang tidak
diperhatikan/dibuntuti) karena penyelidikan fisik terhadap informasi terjadi
sebelum penyaringan.
Penelitian sesudahnya yang dilakukan oleh Treisman (1960, 1964)
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan dengan teori filter. Treisman
menemukan bahwa saat ek- perimen mendengarkan secara dichotic, para
partisipan secara teratur bergantian meng- anhkan perhatian antara kedua
telinga tergantung pada lokasi pesan yang sedang mereka Duntuti. Jika mereka
sedang membuntuti pesan yang datang ke telinga kiri mereka, ketika pesan
tersebut tiba-tiba berpindah ke telinga kanan, mereka akan terus mengikuti atau
Thembuntuti pesan yang sama, bukan mengalihkan perhatian pada pesan baru
yang datang ke telinga kiri mereka. Perhatian selektif tergantung tidak hanya
pada lokasi fisik dari stimulus tetapi juga pada makna yang dibawanya.
Treisman (1992; Treisman & Gelade, 1980) mengetengahkan teori
integrasi fitur (feature-integration). Kadang-kadang kita membagi perhatian
kita untuk banyak input, dan masing-masing input tersebut menerima
pengolahan level bawah. Kadang-kadang kita memfokuskan perhatian pada
input tertentu yang secara kognitif lebih menuntut perhatian. Dalam proses ini
perhatian bukan menghalangi pesan-pesan yang sedang tidak membutuhkan
perhatian, tetapi hanya membuat pesan-pesan tersebut kurang menonjol
dibanding dengan pesan-pesan yang sedang membutuhkan perhatian. Input-
input informasi pada mulanya melewati bermacam-macam tes untuk melihat
karakteristik-karakteristik fisiknya dan isinya. Setelah melewati analisis
pendahuluan ini, satu input mungkin akan dipilih untuk mendapat perhatian.
Model Treisman memiliki permasalahan dengan pertimbangan bahwa
banyak analisis informasi yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
memberikan perhatjan terhadap sebuah input; hal ini membingungkan karena
tentunya analisis pendahuluannya melibatkan sejumlah perhatian. Normar.
(1976) berpendapat bahwa semua input diperhatikan dengan cara yang
memadai untuk mengaktifkan satu bagian LTM. Pada tahapan ini satu input
dipilih untuk diberikan perhatian lebih lanjut berdasarkan tingkat aktivasinya
yang tergantung pada konteks. Sebuah input akan cenderung lebih
mendapatkan perhatian jika input tersebut sesuai dengan konteks yang
dibangun oleh input-input sebelumnya. Sebagai contoh, ketika orang membaca
banyak stimulus dari luar yang mengenai sistem indrawi mereka, tetapi mereka
tetap memerhatikan simbol-simbol cetak yang sedang mereka baca.Dalam
pandangan Norman, stimulus mengaktifkan bagian-bagian LTM, tetapi
perhatian melibatkan lebih banyak aktivasi kompleks. Neisser (1967)
mengemukakan bahwa proses-proses pra-perhatian berlangsung di dalam
kepala dan gerakan-gerakan mata (misalnya; menyesuaikan fokus perhatian)
dan dalam gerakan-gerakan yang terarah (misalnya; berjalan, berkendara).
Proses-proses pra-perhatian berlangsung secara otomatis-orang melakukannya
tanpa perantara pikiran sadar. Sebaliknya, proses-proses memerhatikan adalah
sesuatu yang sengaja dilakukan dan membutuhkan aktivitas sadar. Untuk
mendukung pemikiran ini, Logan (2002) mengetengahkan bahwa perhatian
dan kategorisasi terjadi bersama-sama. Ketika suatu objek diperhatikan, objek
tersebut dikategorisasikan berdasarkan informasi-informasi dalam memori.
Perhatian, kategorisasi, dan memori adalah tiga aspek dari kognisi yang
disengaja dan disadari. Saat ini para peneliti masih mempelajari proses-proses
neurofisiologis (Bab 2) yang terlibat dala perhatian (Matlin, 2009).

Perhatian dan Pembelajaran

Saran-saran untuk memfokuskan dan mempertahankan perhatian siswa.

Sarana Pelaksanaan
Isyarat Memberikan isyarat pada siswa pada awal pemberian
pelajaran atau ketika akan berganti aktivitas
Gerakan Bergerak ketika menjelaskan materi dalam kelas.
Berkeliling ruang kelas ketika siswa sedang mengerjakan
tugas kelas mereka
Variasi Menggunakan materi dan alat bantu mengajar yang
berbeda-beda. Menggunakan gerak-gerak isyarat. Tidak
berbicara dengan nada yang monoton
Daya Memberikan pelajaran dengan materi-materi yang
Tarik menarik. Memerhatikan hal-hal menarik bagi siswa setiap
saat pelajaran
Pertanyaan Meminta siswa menjelaskan suatu topic dengan kata-kata
mereka sendiri. Menekankan pada meraka bahwa mereka
bertanggung jawab terhadap pembelajaran mereka sendiri

Perhatian dan Keterampilan Membaca

Sebuah temuan yang umum dihasilkan dalam penelitian adalah kenyataan


bahwa siswa cenderung mengingat elemen-elemen bacaan yang penting
daripada elemen-elemen bacaan yang kurang penting (R.Anderson, 1982;
Grabe, 1986). Pembaca yang bagus maupun yang buruk mencari materi-materi
yang penting dan memperhatikannya dalam waktu yang lebih lama (Ramsel &
Grabe, 1983; Reynolds & Anderson, 1982). Pembeda antara pembaca yang
baik dan buruk adalah pengolahan informasi dan pemahaman yang
berlangsung setelahnya. Pembaca yang buruk, memiliki durasi yang lebih lama
pada tugas-tugas dasar membaca, sehingga menjadi teralihkan dari materi-
materi yang penting. Pembaca yang baik, ketika memperhatikan materi-materi
yang penting, ia cenderung menghubungkan informasi yang diperolehnya
dengan hal-hal yang telah mereka ketahui, membuatnya bermakna, serta
mengulanginya, dan kesemuanya ini meningkatkan pemahaman (Resnick,
1981). Pentingnya materi bacaan dapat memengaruhi ingatan melalui
perhatian yang dibedakan setelahnya (R. Andersn, 1982). Semakin penting
elemen teks bagi pembaca semakin lama pula durasi ketika memerhatikan
elemen tersebut. Pembaca-pembaca yang lebih baik dapat melakukan
pengolahan yang lebih otomatis pada awalnya dan memerhatikan informasi
yang dipandang penting, sementara pembaca yang lebih buruk mungkin akan
lebih jarang menjalani pengolahan otomatis. Hidi (1995) mengemukakan
bahwa perhatian diperlukan pada banyak fase dalam membaca memproses
fitur-fitur ortografis, menarik makna-makna, menilai penting tidaknya
informasi, dan memfokuskan perhatian pada informasi yang penting. Hal ini
berarti bahwa tuntutan-tuntutan perhatian sangat beragam terganntung pada
tujuan pembaca.

3. Model Memori Dua Penyimpanan

Model memori dua-penyimpanan (dual) berperan sebagai perspektif dasar


pengolahan informasi untuk pembelajaran dan memori meskipun, sebagaimana
yang disampaikan sebelumnya, tidak semua peneliti setuju dengan model ini
(Matlin, 2009).

Pembelajaran Verbal

Asosiasi-Asosiasi Stimulus-Respons. Pencetus penelitian terhadap


pembelajaran verbal adalah tulisan ilmiah Ebbinghaus, yang menyatakan
pembelajaran sebagai penguatan asosiasi-asosiasi antar stimulus verbal secara
berangsur-angsur (kata-kata, suku kata - suku kata tak bermakna).
Ebbinghaus menunjukkan bahwa tiga faktor penting yang memengaruhi
kelancaran atau kecepatan seseorang mempelajari deretan item adalah
kebermaknaan dari item-item tersebut, tingkat kemiripan antar-item tersebut,
dan lamanya waktu yang memisahkan antara satu percobaan dengan percobaan
berikutnya (Terry, 2009). Kata-kata (item-item yang bermakna) dipelajari lebih
cepat daripada suku kata-suku kata yang tidak bermakna. Dalam kaitannya
dengan kemiripan, makin mirip item-item antara satu dengan lainnya, makin
sulit item-item tersebut dipelajari. Kemiripan pada makna dan bunyi dapat
menimbulkan keb.ngungan. Seseorang yang diminta mempelajari beberapa
sinonim seperti gigantic, huge, mammoth, dan enormous (catatan: kesemuanya
kata-kata dalam bahasa Inggris yang maknanya mengarah pada ukuran atau
kuantitas yang sangat besar) bisa jadi tidak bisa mengingat beberapa di antara
kata-kata tersebut, tetapi mungkin akan mengingat kata-kata yang maknanya
serupa tetapi tidak ada dalam deretan kata-kata di atas (large, behemoth).
Dalam mempelajari suku kata - suku kata yang tak bermakna, kebingungan
terjadi ketika huruf yang sama digunakan dalam posisi yang berbeda (xqv, khq,
vxh, quk). Lamanya waktu dari percobaan satu ke percobaan berikutnya dapat
beragam dari pendek (praktik rapat/massed practice) ke panjang (praktik
terdistribusi/distributed practice). Ketika ada kemungkinan terjadi hambatan
(didiskusikan nanti dalam bab ini), praktik terdistribusi akan menghasilkan
pembelajaran yang lebih baik (Underwood, 1961).
Tugas-tugas Pembelajaran. Para peneliti pembelajaran verbal pada
umumnya menggunakan tiga tipe tugas pembelajaran: serial (berurutan),
paired-associate (pasangan penyerta), dan free-recal (ingatan bebas). Dalam
pembelajaran serial orang mengingat stimulus-stimulus verbal sesuai dengan
urutan penyajian stimulus-stimulus tersebut. Pembelajaran serial dilakukan
dalam pengerjaan tugas-tugas sekolah seperti menghafal sebuah puisi atau
mempelajari langkah-langkah dalam sebuah strategi pemecahan masalah.
Hasil-hasil dari banyak studi tentang pembelajaran serial biasanya membentuk
kuriva posisi serial. Kata-kata yang ada di permulaan urutan dan di akhir urutan
dipelajari dengan cepat, sementara item-item pada urutan-urutan tengah
membutuhkan beberapa pe- ngulangan supaya dapat dipelajari. Efek posisi
serial bisa jadi muncul karena perbedaan-perbedaan ke-menonjol-an dari posisi
yang berbeda-beda dalam urutan. Orang harus mengingat tidak hanya item-
item itu sendiri tetapı juga posisinya dalam urutan. Ujung-ujung urutan akan
tampak lebih menonjol dari yang lainnya dan karenanya dapat menjadi
stimulus-stimulus yang "lebih baik" dibandingkan posisi-posisi tengah dari
urutan.
Dalam pembelajaran paired-associate atau pasangan penyerta, satu
stimulus diberikan untuk satu item respons (misalnya; kucing-pohon, perahu-
atap, bangku panjang-anjing). Para partisipan harus merespons dengan respons
yang benar terhadap penyajian dari stimulus. Pembelajaran paired-associate
memiliki tiga aspek: membedakan satu stimulus dari stimulus lainnya,
mempelajari respons-responsnya, dan mempelajari respons-respons apa
menyertai stimulus-stimulus apa. Terdapat perdebatan mengenai proses
terjadinya pem- belajaran paired-associate dan peran dari mediasi kognitif.
Para peneliti pada mulanya berasumsi bahwa pembelajaran itu bertahap dan
bahwa masing-masing asosiasi stimulus- respons secara berangsur-angsur
diperkuat. Pandangan ini didukung oleh kurva pembelajaran umum (Gambar
5.4). Jumlah kesalahan yang dibuat siswa akan tinggi pada awalnya, tetapi
kemudian menurun setelah deretan kata yang dipelajari disajikan berulang-
ulang.
Penelitian yang dilakukan oleh Estes (1970) dan yang lainnya
menunjukkan perspektif yang berbeda. Meskipun pembelajaran deretan kata
membaik dengan perulangan, pembelajaran untuk masing-masing item
memiliki karakter semua-atau tidak sama sekali: Siswa mengetahui atau tidak
mengetahui asosiasi yang benar. Melalui sejumlah percobaan, jumlah asosiasi
yang diketahui bertambah. Persoalan kedua berkaitan dengan mediasi kognitif.
Bukan hanya menghafal respons-responsnya, siswa sering menerapkan
pengorganisasian mereka terhadap materi-materi untuk membuatnya
bermakna. Mereka dapat menggunakan mediator-mediator kognitif untuk
menghubungkan kata-kata stimulus dengan respons-responsnya. Untuk
pasangan kucing-pohon, orang mungkin akan membayangkan seekor kucing
berlari memanjat pohon atau berpikir tentang kalimat, "Kucing itu berlari
memanjat pohon." Ketika melihat kata kucing, orang akan mengingat
gambaran atau kalimat di atas dan meresponsnya dengan kata pohon. Penelitian
menunjukkan bahwa proses-proses pembelajaran verbal lebih kompleks dari
yang dikira sebelumnya (Terry, 2009).
Dalam pembelajaran free-recall (ingatan bebas), siswa diberi deretan
item dan mengingatnya tanpa urutan tertentu. Free-recall dapat diterapkan
dengan baik dalam pengorganisasian vang dilakukan untuk menunjang
memori. Seringkali saat mengingat, siswa mengelompokkan kata-kata yang
dibeikan pada mereka jauh dari urutan aslinya. Pengelompokan sering
didasarkan pada makna yang serupa atau keanggotaan dalam kategori yang
sama misalnya; batu-batuan, buah-buahan, sayuran).

Memori (kerja) Jangka-Pendek


Dalam model dua-penyimpanan, begitu sebuah stimulus diperhatikan
dan dirasakan, stimulus tersebut akan ditransfer ke memori (kerja) jangka
pendek (short-term (working) memory/ STM atau dikenal juga dengan sebutan
working memory/WM/memori kerja; Baddeley, 1992, 1998, 2001; Terru,
2009). WM adalah memori kita dari pikiran sadar yang dapat segera di akses.
WM memiliki dua fungsi penting, yaitu: pemertahanan dan penarikan
(Unsworth & Engle, 2007). Informasi yang datang dipertahankan dalam
kondisi aktif dalam jangka waktu yang pendek dan diproses dengan cara
diulang atau dihubungkan dengan informasi yang ditarik dari memori jangka
Panjang (long-term memory/ LTM).
Penelitian telah memberikan gambaran yang cukup terinci dari kerja
WM. WM itu terbatas durasinya: jika tidak segara diproses, informasi dalam
WM akan menghilang. Dalam studi terdahulu (Peterson & Peterson, 1959),
para partisipan diberi suku kata-suku kata tidak bermakna (misalnya: khv),
setelah itu mereka mengerjakan sebuah tugas aritmetik sebelum mencoba
mengingat suku kata-suku kata yang diperlihatkan pada mereka tadi. Tujuan
dari pemberian tugas aritmetik adalah mencegah para partisipan mengulang
kembali daftar suku kata tersebut dalam benak mereka, tapi karena bilangan-
bilangan aritmetiknya tidak perlu disimpan, bilangan-bilangan tersebut tidak
menghalangi penyimpanan deretan suku kata tersebut. Makin lama partisipan
melakukan aktivitas yang mengalihkan perhatian mereka dari kata-kata tak
bermakna tersebut, makin buruk ingatan mereka tentangnya. Temuan-temuan
ini mengimplikasikan bahwa WM itu rapuh; informasi yang mampir disana
cepat hilang jika tidak dipelajari dengan baik.
Selanjutnya WM juga terbatas kapasitasnya. WM hanya dapat
menyimpan sedikit informasi. Miller (1956) mengatakan bahwa kapasitas WM
tujuh plus atau minus dua item, dimana item-itemnya adalah unit-unit yang
bermakna seperti kata-kata, huruf-huruf, dan tuturan-tuturan umum. Kita dapat
meningkatkan jumlah informasinya dengan memotong-motong atau
mengombinasikan informasi-informasi dengan cara yang dapat dipahami.
Hal serupa dikatakan juga dalam (Bhinnety, Struktur dan Proses
Memori, 2008, p. 76), bahwa memori jangka pendek ini memiliki kapasitas
yang kecil sekali. Tetapi, meskipun begitu WM memiliki peranan yang sangat
besar dalam proses memori, yang merupakan tempat dimana kita memproses
stimulus yang berasal dari lingkungan kita. Kemampuan penyimpanan
informasi yang kecil tersebut sesuai dengan kapasitas pemrosesan yang
terbatas. Memori jangka pendek berfungsi sebagai penyimpanan transitory
yang dapat menyimpan informasi yang sangat terbatas dan
mentransformasikan serta menggunakan informasi tersebut dalam
menghasilkan respon atau suatu stimulus.
Adapun beberapa hasil penelitian menunjukkan bukti paling awal dari
terbatasnya kapasitas memori jangka pendek (immediate memory)
dikemukakan,oleh Sir William Hamilton pada tahun 1800 (dalam Miller,
1956), yang menyatakan bahwa: “apabila anda melempar segenggam
kelereng ke laintai, maka anda akan menemui kesulitan untuk mengamati lebih
dari enam (atau paling banyak tujuh) kelereng tanpa kebingungan”. Pernyataan
serupa juga telah dikemukakan oleh Jacobs pada tahun 1887 (dalam Miller,
1956), bahwa apabila saat orang dibacakan sederetan angka yang tidak
berurutan maka ia hanya akan mampu menyebutkan kembali sekitar tujuh
angka (Bhinnety, Struktur dan Proses Memori, 2008, p. 78).
Proses-proses control (eksekutif) mengarahkan pengolahan informasi
di WM dan juga gerakan pengetahuan yang keluar dan masuk WM (Baddeley,
2011). Proses-proses kontrol mencakup pengulangan, prediksi, pengecekan,
pengawasan atau pemantauan, dan aktivitas-aktivitas kognitif. Proses-proses
control diarahkan oleh tujuan. Proses-proses ini memilih informasi yang sesuai
dengan rencana-rencana dan maksud-maksud seseorang dari berbagai reseptor
indrawi. Informasi-informasi yang dianggap penting diulang dalam pikiran.
Pengulangan (rehearsel/ mengulangi informasi untuk diri sendiri dengan cara
menyatakannya dengan jelas atau tidak dengan dinyatakan) dapat
mempertahakankan informasi dalam WM dan meningkatkan ingatan
(Baddeley, 2001: Rundus, 1971; Rundus & Atkinson, 1970).
WM memainkan peranan penting dalam pembelajaran. Dibandingkan
dengan para siswa dengan prestasi belajar yang normal, para siswa yang
memiliki kelemahan dalam keterampilan membaca dan matematika
menunjukkan kerja WM yang lebih buruk (Anderson & Lyxell, 2007, 2007;
Swanson, Howard, & Saez, 2006). Implikasi pengajaran yang sangat penting
dari penelitian ini adalah jangan terlalu banyak membebani WM siswa dengan
menyajikan terlalu banyak materi sekaligus atau terlalu cepat menjelaskan
materinya. Jika memungkinkan, guru dapat memberikan infomasi secara visual
dan verbal untuk memastikan bahwa siswa dapat mempertahankannya dalam
WMnya dengan cukup lama, sehingga informasi tersebut dapat diproses lebih
lanjut secara kognitif.

Memori Jangka Panjang


Dalam (Bhinnety, Struktur dan Proses Memori, 2008, p. 86), secara
umum memori jangka panjang (long-term memory) dapat dibayangkan sebagai
tempat penyimpanan informasi yang saat ini belum perlu digunakan namun
potensial untuk dapat diperoleh kembali bila diperlukan.
Representasi pengetahuan dalam LTM tergantung pada frekuensi dan
kontiguitas (Baddeley, 1998). Makin sering suatu fakta, peristiwa, atau ide
dijumpai, makin kuat representasinya dalam memori. Selain itu, dua
pengalaman yang terjadi berdekatan waktunya akan cenderung dihubungkan
dalam memori sehingga ketika salah satunya diingat, yang satunya akan
teraktifkan. Maka, informasi dalam LTM direpresentasikan dalam struktur-
struktur asosiatif.
Pengetahuan yang disimpan dalam LTM beragam kekayaannya.
Kapasitas dan durasi memori jangka panjang secara umum tidak terbatas,
namun terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan kelupaan atau
ketidakberhasilan untuk memunculkan informasi yang telah tersimpan di
memori jangka panjang (Bhinnety, Struktur dan Proses Memori, 2008, pp. 86-
87).
Masing-masing orang memiliki memori-memori yang jelas tentang
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan.
Memori-memori ini bisa tepat detailnya. Tipe-tipe pengetahuan lain yang
tersimpan dalam memori sifatnya sehari-hari dan tidak pribadi: makna-makna
kata, operasi-operasi aritmetik, dan kutipan-kutipan dari dokumen terkenal.
Informasi- informasi dalam sistem memori jangka panjang tersimpan
secara terorganisir dalam berbagai cara. Informasi baru yang masuk ke
memori jangka panjang tidak memerlukan pembuatan suatu jaringan baru,
namun disimpan dalam organisasi yang telah ada.
Persoalan penting lainnya berkaitan dengan bentuk atau struktur dari
pengetahuan-pengetahuan yang disimpan oelh LTM. Paibip (1971)
mengemukakan bahwa pengetahuan tersimpan dalam bentuk verbal dan visual
yang masing-masing terpisah berdasarkan fungsinya tetapi saling
berhubungan. Objek-objek konkret (misalnya; anjing, pohon, buku) cenderung
disimpan sebagai gambar-gambar, sedangkan konsep-konsep abstral
(misalnya; cinta, kebenaran, kejujuran) dan struktur-struktur linguistik
(misalnya; tata bahasa) disimpan dalam kode-kode verbal. Pengetahuan dapat
disimpan baik secara visual maupun secara verbal.
Selanjutnya, Paivio menyatakan bahwa untuk potongan pengetahuan
apapun seseorang memiliki bentuk penyimpanan atas pilihannya sendiri yang
dapat diaktifkan dengan lebih mudah daripada yang lainnya. Temuan ini
memiliki implikasi pendidikan yang penting dan menegaskan prinsip
pengajaran umum yang merekomendasikan penjelasan (verbal) dan
pendemonstrasian (visual) materi-materi baru (Clark & Paivio, 1991).
Selain itu, teori-teori pengolahan informasi meyakini bahwa
pembelajaran dapat terjadi tanpa adanya perilaku terbuka (overt behaviour)
karena pembelajaran merupakan pembentukan atau modifikasi dari jaringan-
jaringan modifikasi. Akan tetapi, tindakan terbuka biasanya diperlukan untuk
memastikan bahwa siswa telah memperoleh keterampilan-keterampilan yang
mereka pelajari.

Faktor-faktor yang memengaruhi pengkodean

Pengkodean (encoding) dalam proses menempatkan informasi yang baru


(yang masuk) kedalam sistem pengolahan informasi dan mempersiapkannya
untuk disimpan dalam LTM. Pengkodean biasanya dilaksanakan dalam
membuat informasi-informasi yang baru memiliki makna dan
menggabungkannya dengan informasi-informasi yang telah diketahui dalam
LTM.

Memerhatikan dan merasakan stimulus tidak menjamin bahwa


pengolahan informasi akan berlanjut. Banyak hal yang dikatakan guru dalam
kelas tidak dipahami (meskipun siswa memperhatikan guru dan kata-kata yang
disampaikan bermakna) karena siswa tidak berlanjut memproses informasi
tersebut. Faktor-faktor penting yang memengaruhi pengkodean adalah
organisasi, penjelasan, dan struktur-struktur skema.

Organisasi. Teori dan penelitian Gestalt menunjukan bahwa materi-


materi yang diorganisasikan dengan baik akan lebih mudah dipelajari dan di
ingat (Katona, 1940). Miller (1956) berpendapat bahwa pembelajaran dapat di
perlancar dengan mengklasifikasikan dan mengelompokan potongan-potongan
kecil informasi menjadi potongan-potongan besar yang terorganisir. Penelitian
terhadap memori memperlihatkan bahwa bahkan ketika item-item yang harus
dipelajari tidak diorganisasikan, orang sering menerapkan
pengorganisasiannya sendiri pada materi-materi yang diberikan pada mereka,
dan hal ini dapat memfasilitasi ingatan (Matlin, 2009).

Cara-cara lain mengorganisasikan informasi diantaranya adalah


menggunakan teknik-teknik mnemonik [catatan : Pola huruf ada ide-ide yang
menunjang ingatan] Dan pencitraan mental. Teknik mnemonik membantu
siswa memperkaya atau mengembangkan materi, contohnya seperti
membentuk huruf - huruf pertama dari tiap - tiap kata yang harus dipelajari
menjadi akronim rasa yang dikenal , atau kalimat . (Matlin, 2009). Beberapa
teknik mnemonik menggunakan pencitraan, contohnya, ketika mengingat dua
kata ( misalnya madu dan roti) seseorang dapat membayangkannya saling
berinteraksi (madu di atas roti) menggunakan audio visual dalam pelajaran juga
dapat meningkatkan pencitraan siswa.

Penjelasan. penjelasan adalah proses mengembangkan informasi yang


baru bagi seseorang dengan menambahkan atau menghubungkannya dengan
hal - hal yang telah diketahuinya. penjelasan membantu pengkodean dan
penarikan dari memori karena cara ini dapat menghubungkan informasi yang
harus di ingat dengan pengetahuan pengetahuan lain . informasi - informasi
yang baru saja dipelajari akan lebih mudah di akses dalam jaringan memori
yang telah dikembangkan ini . bahkan , ketika informasi baru tersebut
dilupakan orang sering dapat mengingat penjelasan nya (Anderson,1990).
Pengulangangan informasi akan mempertahankannya dalam WM , tetapi tidak
selalu dapat mengembangkannya. Proses pengulangan dapat dibedakan
menjadi dua jenis , yaitu pengulangan pemertahanan ( maintance rehearsal) (
mengulang informasi berkali - kali) dan pengulangan elaboratif ( elaborative
rehearsal / menghubungkan informasi dengan sesuatu yang telah diketahui).

Salah satunya adalah untuk membentuk huruf pertama menjadi kalimat


yang membentuk , "My very educated mother just served us mine pizzas "
(Ibuku yang berpendidikan tinggi hanya melayani sembilan pizza untuk kami)
- huruf pertama dari setiap kata dalam kalimat itu terkait dengan huruf pertama
dari nama-nama planet (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus,
Uranus, Neptunus, Pluto) Pertama-tama siswa akan mengingat kalimat dan
setelah itu mereka mengatur urutan nama-nama planet berdasarkan pada huruf
pertama kalimat. Siswa dapat menggunakan penjelasan, tetapi jika mereka
tidak bisa, mereka tidak perlu repot dengan itu jika guru mereka dapat memberi
mereka penjelasan yang efektif. Untuk membantu dalam menyimpan memori
dan mengingat, penjelasan harus masuk akal. Penjelasan yang terlalu tidak
biasa mungkin tidak dapat diingat, dan penjelasan yang masuk akal dan
memfasilitasi ingatan dan proses mengingat (Bransford et al., 1982; Stein,
Littlefield, Bransford, & Persampieri, 1984).

Skema. Skema (jamak: skema atau skema) adalah struktur yang


mengorganisasikan sejumlah besar informasi menjadi sebuah sistem yang
bermakna. Skemata memuat pengetahuan – pengetahuan yang
digeneralisasikan tentang situasi - stiuasi (Matlin, 2009). Skemata adalah
rencana yang kita pelajari dan gunakan dalam interaksi kita dengan lingkungan.
Unit yang lebih besar diperlukan untuk mengatur proposisi yang mewakili
potongan kecil informasi menjadi keseluruhan yang koheren (Anderson, 1990).
Skemata dapat membantu kami membuat dan mengendalikan serangkaian
tindakan rutin kami (Cooper & Shallice, 2006).

Dalam studi sebelumnya, Bartlett (1932) menemukan bahwa skema


dapat membantu memahami informasi. Dalam percobaan ini, seorang peserta
membaca sebuah cerita tentang budaya yang tidak dikenal. Setelah itu orang
ini menceritakan kembali kisahnya kepada peserta kedua. Peserta kedua
menceritakannya kepada peserta ketiga, dan seterusnya. Ketika cerita
mencapai peserta kesepuluh, konteks cerita yang tidak diketahui telah berubah
ke konteks yang diketahui oleh peserta (misalnya; perjalanan memancing).
Bartlett menemukan bahwa ketika diulang-ulang, cerita dapat berubah dengan
cara-cara yang dapat diprediksikan. Informasi yang tidak dikenal ditinggalkan,
beberapa detail dipertahankan, dan akhirnya cerita yang diberikan menjadi
lebih mirip dengan pengalaman-pengalaman para partisipan. Mereka
mengubah informasi-informasi yang masuk supaya sesuai dengan skema-
skema yang telah ada sebelumnya.

Semua rangkaian yang diatur dengan baik dapat direpresentasikan


sebagai sebuah skema. Salah satu tipe skema adalah "Pergi ke restoran".
Langkah-langkahnya terdiri dari memilih meja dan duduk disana, memilih-
milih menu, memesan makanan, dilayani piring-piring kotor disingkirkan,
menerima bekas tagihan, memberi tip, dan membayar tagihannya. Skemata itu
penting karena mengindikasikan hal yang diperkirakan terjadi dalam sebuah
situasi. Orang mengenali sebuah permasalahan ketika realita dan skemata tidak
cocok. Pernahkah anda berada dalam sebuah restoran dimana salahsatu
langkah diatas tidak terjadi (misalnya ; anda menerima menu tetapi tidak ada
yang kembali menghampiri meja anda untuk mencatat pesanan anda) ?

Skema-skema umum dalam pendidikan meliputi prosedur-prosedur


laboratorium, belajar, dan memahami cerit-cerita. Ketika diberi materi untuk
dibaca, siswa mengaktifkan tipe skema yang mereka yakini dibutuhkan disana.
Jika siswa harus membaca suatu bacaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang ide-ide pokok, mungkin mereka akan beberapa kali berhenti dan
mengetes diri mereka sendiri tentang apa yang menurut mereka termasuk poin-
poin utama (Resnick, 1985). Skemata telah digunakan secara luas dalam
penelitian tentang membacarm dan menulis (McVee, Dunsmore, dan Gavelek,
2005).

Skemata membantu pengkodean karena skemata menjelaskan atau


mengembangkan materi-materi baru menjadi sebuah struktur yang bermakna.
Ketika mempelajari materi-materi, siswa berusaha untuk menyesuaikan
informasi-informasi kedalam ruang-ruang skema. Elemen-elemen skema yang
kurang penting atau sifatnya pilihan dapat dipelajari atau tidak dipelajari.

Skema-skema dapat memfasilitasi ingatan secara terpisah dari manfaat-


manfaatnya untuk pengkodean. Anderson dan Pichert (1978) membagikan
sebuah cerita kepada sejumlah mahasiswa tentang dua anak laki-laki yang
membolos. Mahasiswa-mahasiswa tersebut diminta membacanya dari
prespektif seorang perampok atau seorang pembeli rumah. Cerita tersebut
memiliki elemen-elemen yang relevan dengan kedua prespektif tersebut.
Mereka mengingat cerita ini dan kemudian mengingatnya lagi untuk kedua
kalinya. Pada ingatan kedua, separuh dari mereka diminta untuk menggunakan
prespektif yang pertama dan separuhnya lagi menggunakan prespektif yang
satunya. Pada proses mengingat yang kedua mengingat lebih banyak informasi
yang relevan dengan prespektif kedua, bukan prespektif yang pertama, dan
lebih sedikit informasi yang tidak penting bagi prespektif yang kedua yang
tadinya penting bagi prespektif pertama. Kardash, Royer, dan Greene (1988)
juga menemukan bahwa skema-skema memberikan manfaat-manfaat
pentingnya saat proses mengingat daripada saat proses pengkodean. Ke semua
hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada saat penarikan informasi dari
memori, orang mengingat sebuah skema dan berusaha untuk menyesuaikan
elemen-elemen kedalam skema tersebut. Rekonstruksi ini mungkin tidak
akurat, tetapi dapat mencakup sebagian besar elemen skema. Sistem produksi,
yang akan didiskusikan nanti, mempunyai kemiripan-kemiripan dengan
skema.

4. Pencitraan Mental
Pencitraan mental membahas tentang bagaimana informasi di
representasikan dalam bentuk gambar-gambar dan tentang perbedaan-
perbedaan masing-masing individu dalam kemampuan menggunakan
pencitraan.
Representasi Informasi Spasial
Pencitraan mental mengacu pada representasi mental dari pengetahuan
visual/spasial termasuk karakter-karakter fisik dari objek-objek atau peristiwa-
peristiwa yang di representasikan. Stimulus-stimulus visual yang diperhatikan
disimpan sebentar dalam bentuk yang sesuai dengan kenyataannya dalam
register sensorik lalu ditranfer ke WM. Representasi WM muncul untuk
mempertahankan sebagian dari karakteristik fisik stimulus yang
direpresentasikannya (Gagne, Yekovich, & Yekovich, 1993). Gambar-gambar
merupakan representasi-representasi analog yang serupa namun tidak identik
dengan referen-referennya atau objek-objek yang diacunya (Shepard,
1978).Kebalikan dari gambar-gambar, proposisi adalah representasi yang
berbeda dari makna yang strukturnya tidak menyerupai referennya. Tuturan
“New York City” tidak serupa sama sekali dengan kota New York sebenarnya
maupun dengan gambaran dari tiga kata yang diambil secara acak dari sebuah
kamus. Gambaran dari New York City yang berisi gedung-gedung pencakar
langit, toko-toko, orang-orang, dan lalu lintas lebih mirip strukturnya dengan
referennya. Pola visual dari sebuah stimulus dirasakan ketika ciri-ciri fisiknya
terhubung dengan sebuah representasi LTM. Ini menandakan bahwa
gambaran-gambaran mental hanya dapat sejelas representasi-representasi LTM
(Pylyshyn, 1973). Dalam tataran bahwa gambaran-gambaran mental
merupakan produk dari persepsi-persepsi seseorang, gambaran-gambaran
tersebut cenderung berupa representasi-representasi yang tidak lengkap dari
stimulus-stimulus. Dukungan untuk gagasan bahwa orang menggunakan
pencitraan untuk merepresentasikan pengetahuan spasial berasal dari studi-
studi dimana partisipan-partisipannya diberi pasangan-pasangan gambar dua
dimensi yang masing-masing menggambarkan sebuah objek tiga dimensi
(Cooper & Shepard, 1973; Shepard & Cooper, 1983). Terkait dengan siswa
yang menggunakan pencitraan untuk merepresentasikan pengetahuan spasial
dan visual, pencitraan adalah hal yang relevan dengan muatan pendidikan yang
melibatkan objek-objek konkret. Ketika mengajarkan sebuah materi pelajaran
tentang berbagai tipe formasi batuan (gunung, dataran tinggi, punggung bukit),
seorang guru dapat menunjukkan gambar-gambar berbagai formasi batuan dan
meminta siswa untuk membayangkannya. Bukti menunjukan bahwa orang
juga menggunakan pencitraan ketika memikirkan tentang dimensi-dimensi
abstrak. Kerst dan Howard (1977) meminta sejumlah siswa untuk
membandingkan paasangan-pasanagn mobil, negara, dan hewan berdasarkan
dimensi konkret dari ukurannya dan dimensi abstraknya yang sesuai (misalnya:
biayanya, kekuatan militernya, kebuasannya).

Pencitraan dalam Memori Jangka-panjang (LTM)


Banyak peneliti berpendapat bahwa gambar-gambar tersebut
dipertahankan dalam LTM (kosslyn & Pomerantz, 1977; Pylyshyn, 1973).
Teori dua kade (dual code theory) memerhatikan persoalan ini secara langsung
(Clark & Paivio, 1991; Paivio, 1971, 1978, 1986). LTM memiliki dua sarana
untuk merepresentasikan pengetahuan: sistem verbal dan sistem imaginal.
Sistem verbal memasukan pengetahuan yang di ekspresikan dengan bahasa.
Sistem imaginal atau sistem gambar menyimpan informasi visual dan spasial .
kedua sistem ini saling berkaitan, sebuah kode verbal dapat dikonversi menjadi
sebuah kode imaginal atau kode gambar, dcan demikian pula sebaliknya, tetapi
ada perbedaan-perbedaan penting di antara keduanya. Sistem verbal ini sesuai
untuk informasi-informasi abstrak sementara sistem imaginal digunakan untuk
merepresentasikan objek-objek konkret atau peristiwa-peristiwa. Eksperimen
Shepard mendukung kegunaan pencitraan dan memberikan dukungan tidak
langsung terhadap teori dua kode. Bukti-bukti yang mendukung lainnya berasal
dari penelitian yang menunjukan bahwa ketika orang mengingat daftar kata-
kata abstrak dan konkret dengan lebih baik dibanding kata-kata yang abstrak
(Terry, 2009). Penjelasan menurut teori dua kode dari temuan ini adalah, kata-
kata konkret dapat dikodekan secara verbal dan visual, sedangkan kata-kata
abstrak biasanya hanya dapat dikodekan secara verbal.
Teori Uniter (unitary theory) menyatakan bahwa semua informasi
direpresentasikan dalam LTM dalam bentuk kode-kode verbal (proposisi-
proposisi). Gambar-gambar dalam WM direkonstruksikan dari kode-kode
LTM Verbal. Dukungan tak langsung untuk pandangan ini datang dari Mandler
dan Johnson (1976) dan juga Mandler dan Ritchey (1977). Seperti halnya
dengan materi-materi verbal, orang menggunakan skema-skema ketika
memperoleh informasi-informasi visual. Mereka mengingat kejadian-kejadian
dengan lebih baik ketika elemen-elemennya memiliki pola umum yang sama;
memori tidak dapat berfungsi dengan baik ketika elemen-elemennya tidak
beraturan. Organisasi dan penjelasan informasi-informasi yang bermakna ke
dalam skemata dapat meningkatkan memori untuk kejadian-kejadian seperti
halnya untuk materi-materi verbal. Temuan ini menunjukan mekanisme kerja
dari sebuah proses umum tanpa memandang bentuk dari informasi yang
disajikan.
Meskipin terdapat perbedaan pandangan seperti diatas, menggunakan
materi-materi konkret dan gambar-gambar dapat memperlancar memori
(Terry, 2009). Alat-alat pengajaran seperti gambar-gambar tak lengkap,
bantuan-bantuan audiovisual, dan tampilan-tampilan visual komputer dapat
menunjang pembelajaran. Meskipun sarana-sarana konkret tak diragukan lagi
lebih penting bagi anak-anak karena mereka belum memiliki kapabilitas
kognitif untuk dapat berpikir secara abstrak, para siswa dari berbagai usia dapat
mempeoleh manfaat dari informasi-informasi yang disajikan dengan lebih dari
satu cara.

Perbedaan-Perbedaan Individual
Kosslyn (1980) menyampaikan bahwa anak-anak cenderung
menggunaan pencitraan untuk menyimpan dan mengingat informasi daripada
orang dewasa yang lebih mengandalkan representasi proposisi. Dalam
eksperimennya, kosslyn memberi pernyataan pada sejumlah anak dan dan
orang dewasa sebagai berikut, “Seekor Kucing mempunyai cakar,” dan
“Seekor kucing mempunyai bulu.” Mereka diberi tugas menentukan kebenaran
kedua pernyataan tersebut. Kossylyn berpikir bahwa orang dewasa dapat
menjawab lebih cepat karena mereka dapat menjawab lebih cepat karena
mereka dapat mengakses informasi proposisi dari LTM sementara anak-anak
masih harus mengingat gambaran hewan ini dan melakukan pemindaian
terhadapnya. Untuk memastikan apakah pengolahan informasi orang dewasa
lebih baik secara umum, ada kelompok kontrol dimana sejumlah orang dewasa
diminta untuk memindai gambaran hewan tersebut sedangkan yang lainnya
boleh menggunakan strategi apapun.
Orang dewasa lebih lambat dalam merespon ketika diberi instruksi
untuk melakukan pencitraan dibandingkan mereka yang bebas memilih
strategi apapun, tetapi pada anak-anak tidak ditemukan perbedaan. Temuan ini
menunjukkan bahwa anak-anak menggunakan pencitraan, bahkan ketika
mereka dibebaskan untuk melakukan cara lainnya. Namun penelitian ini tidak
meneliti apakah anak-anak tidak bisa menggunakan informasi proposisi
(karena keterbatasan kognitif) atau apakah mereka bisa melakukannya tetapi
memilih untuk tidak melakukannya karena mereka merasa pencitraan lebih
efektif.
Penggunaan pencitraan oleh orang-orang dari berbagai usia tergantung
pada apa yang dibayangkan. Objek-objek konkret lebih mudah dibayangkan
daripada yang abstrak. Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan pencitraan
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakannya. Pencitraan eidetik,
atau memory fotografi (Leask, Haber, & Haber, 1996) sebenarnya tidak seperti
sebuah foto. Gambar foto dilihat sebagai sebuah keseluruhan sementara
pencitraan eidetik terjadi berupa potongan-potongan. Orang mengatakan
bahwa sebuah gambaran timbul dan tenggelam dalam segmen-segmen, bukan
sekaligus.
Pencitraan eidetik lebih sering ditemukan pada anak-anak daripada pada
orang dewasa (Gray & Gummerman, 1975) tetapi bahkan di antara anak-anak,
proses ini tidak umum (sekitar 5%). Pencitraan eidetik mungkin hilang seiring
dengan pertumbuhan, barangkali karena representasi proposisi menggantikan
cara berfikir imaginal. Mungkin juga orang dewasa masih menyimpan
kapasitas untuk membentuk gambaran jelas, tetapi tidak secara rutin
melakukannya karena sistem-sistem proposisi mereka dapat mempresentasikan
lebih banyak informasi. Jika memori dapat ditingkatkan, kapasitas untuk
membentuk gambaran dapat dikembangkan, tetapi kebanyakan orang dewasa
tidak secara eksplisit berusaha untuk mempertajam pencitraan mereka.

B. Penelitian Terdahulu
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Purwanto, 2011,
pp. 70-81) yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang
kecepatan menghafal al-quran ditinjau dari daya ingat jangka pendek,
menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu: pertama, daya ingat jangka
pendek berpengaruh secara signifikan terhadap kecepatan menghafal
Al-Qur’an. Semakin tinggi daya ingat jangka pendeknya maka akan
semakin cepat pula dalam menghafal. Kedua, kecerdasan tidak dapat
dimasukkan dalam analisis sebab antara kecerdasan dengan daya ingat
jangka pendek terjadi kolinearitas. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa ingatan jangka pendek mempunyai pengaruh yang signifikan (r
= 0,3008, p = <0,05) terhadap kecepatan menghafal Al-Qur’an. Semakin
tinggi tingkat ingatan jangka pendek maka semakin cepat pula dalam
menghafal Al- Qur’an. Setiap kali penghafal tersebut membaca Al-
Qur’an maka informasi tersebut akan diterima oleh indra, kemudian
memasuki sirkuit otak. Maka secara otornatis daya ingat akan bekerja
baik secara sadar maupun tidak. Penghafalan Al-Qur’an ini berbentuk
kata- kata dan konsonan yang menurut pendapat Baddeley (1976) akan
merangsang otak kiri.
2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Rehalat, Model
Pembelajaran Pemrosesan Informasi, 2014, pp. 7-8) bahwa sebuah teori
memori yang diusulkan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968, 1971) yang
menekankan pada interaksi antara penyimpanan sensoris, memori
jangka pendek, dan jangka panjang (Long Term Memory). Memori
Jangka pendek sebagai komponen dasar kedua dalam sistem Atkinson
dan Shiffrin adalah bersifat terbatas baik dalam kapasitas maupun
durasi. Informasi akan hilang dalam waktu 20-30 detik jika tidak
diulang. Memori jangka panjang memiliki kapasitas yang tidak terbatas
dan dapat menahan informasi dalam jangka waktu yang lebih lama,
namun sering kali memerlukan usaha yang keras agar dapat
memasukkan informasi ke memori ini. Fakta bahwa memori jangka
pendek di butuhkan ketika kita menyelesaikan sebagian besar tugas-
tugas kognitif mencerminkan peran penting memori jangka pendek
sebagai sebuah memori kerja (working memory) yang menjaga dan
memanipulasi informasi.Teori yang diajukan oleh Atkinson san Shiffrin
(1968, 1971) menekankan pada interaksi antara Short Term Memory
(STM) dan Long Term Memory (LTM). Memori jangka panjang
memiliki dua manfaat penting: Pertama, sebagaimana diketahui,
kecepatan lupa jauh lebih rendah untuk LTM. Beberapa psikologi
bahkan menyatakan bahwa informasi dalam LTM tidak pernah hilang
meskipun kita kehilangan kemampuan untuk memanggil kembali
informasi tersebut; dan LTM memiliki kapasitas yang tidak terbatas.
3. Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan dalam (Khotijah, Agus, &
Padi, 2017, p. 208) menunjukkan penerapan model pemrosesan
informasi dalam pembelajaran siswa sudah dapat dilihat melalui delapan
fase model pemrosesan informasi yang terdiri dari fase motivasi, fase
pemahaman, fase pemerolehan, fase penahanan, fase ingatan kembali,
fase generalisasi, fase perlakuan dan fase umpan balik. Hasil belajar
siswa kelas VII A SMP Negeri 02 Bengkulu Utara dengan menerapkan
model pemrosesan informasi, memperoleh skor rata-rata kelas yang
berada pada kategori baik. Pertemuan pertama skor rata- rata kelas
sebesar 79,4 dengan ketuntasan klasikal siswa 81%. Pertemuan kedua
skor rata-rata sebesar 79,5 dengan ketuntasan klasikal siswa 85% dan
tugas diluar Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) skor rata- rata
kelas sebesar 81 dengan ketuntasan klasikal 100%. Berdasarkan skor
yang diperoleh tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan model
pemrosesan informasi dalam pembelajaran membaca siswa efektif
untuk digunakan.
4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Bhinnety, Struktur
dan Proses Memori, 2011, p. 84) yang mengkaji pengaruh berbagai
intensitas kebisingan (70 dB, 85 dB, dan 95 dB) terhadap memori jangka
pendek para siswa Sekolah Dasar di Yogyakarta. Sumber kebisingan
yang digunakan adalah rekaman suara pesawat terbang yang sedang
lepas‐landas dan mendarat di Bandara Adisucipto, Yogya‐ karta dengan
intensitas maksimum yang teramati di sekitar lokasi bandara adalah 95
dB. Alat tes yang dipakai dalam studi tersebut adalah modifikasi dari
prosedur yang diusulkan oleh Peterson & Peterseon (1959), yang
melibatkan “rangkaian tiga huruf” tak bermakna (nonsense syllables),
yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya. Modifikasi yang
dilakukan oleh Magda Bhinnety adalah dalam penyampaian tugas dan
cara menjawabnya. Pada tes yang asli, karena diperuntukkan pada
kondisi normal, setiap tugas/soal disampaikan secara verbal dan
jawaban yang diberikan subyek secara verbal juga, sehingga
pelaksanaan tes dilakukan secara individual. Pada situasi bising
prosedur tersebut tidak dapat dilakukan, sehingga cara penyampaian
tugas/soal dimodifikasi menjadi secara visual melalui tayangan selama
5 detik, dan jawaban subyek dilkukan dengan cara menuliskannya pada
lembar jawaban. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa: (a)
intensitas kebisingan dibawah 70 dB tidak berpengaruh pada memori
jangka pendek, sedangkan intensitas diatas 70 dB, yaitu 85 dB dan 90
dB, berpe‐ ngaruh secara signifikan, dan (b) semakin tinggi intensitas
kebisingan akan semakin menurun memori jangka pendek.
5. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Ardika & A, 2016,
p. 72) yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan metode
mnemonic yang ditinjau dari daya ingat siswa dalam mengingat rumus
trigonometri dan mengetahui efektivitas penggunaan metode mnemonic
yang ditinjau dari hasil belajar siswa pada materi trigonometri. Dalam
penelitian ini terdapat hasil analisis data kuesioner daya ingat,
menunjukkan bahwa daya ingat siswa secara keseluruhan masuk dalam
kriteria tinggi, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan metode
mnemonik ini dapat meningkatkan daya ingat siswa dengan mencapai
kriteria daya ingat tinggi. Dengan menggunakan metode mnemonik
dalam pembelajaran juga mampu meningkatkan minat belajar dan
kreatifitas siswa ketika membuat jembatan keledai. Subjek penelitian
dalam penelitian ini adalah siswa kelas X Teknik Pemesinan A SMKN
2 DEPOK SLEMAN. Jumlah siswa di kelas X TPA sebanyak 32 siswa.
Kelas X TPA ini dipilih karena menurut guru pengampu kelas tersebut
lebih mengalami kesulitan belajar dibandingkan kelas yang lain.
6. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Dharmawan, 2015,
pp. 370 - 379) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh alunan musik
klasik terhadap ingatan jangka pendek pada remaja. Subjek dalam
penelitian ini adalah 20 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
dengan kategori usia remaja akhir dan kategori IQ rata-rata. Data
dianalisis dengan metode non parametric uji independent sample t-test.
Dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa hipotesa ditolak karena
musik klasik tidak pengaruh terhadap daya ingat jangka pendek pada
remaja. Musik klasik terbukti tidak dapat meningkatkan daya ingat
jangka pendek pada penelitian ini, hal ini juga bisa disebabkan pada
subjek yang tidak menyukai musik klasik sehingga kinerja otak tidak
bisa optimal dalam hal mengingat. Hal ini sesuai dengan sebuah
penelitian yang menyebutkan bahwa jika subjek tidak menjadikan salah
satu jenis musik menjadi kesukaan, maka musik tersebut bisa membuat
kinerja otak menjadi tidak optimal dalam melakukan recall (Cassidy, et
al., tt).
7. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Julianto, 2017, pp.
144-145) secara khusus meneliti pengaruh mendengarkan musik
karawitan terhadap kinerja memori jangka pendek siswa UIN Bandung.
Berdasarkan fenomena sehari-hari ada siswa yang belajar dengan
mendengarkan musik dan ada yang tidak. Subjek dalam penelitian ini
adalah mahasiswa dari berbagai fakultas UIN Sunan Gunung Jati
Bandung yang diambil dari berbagai semester.Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini menunjukkan bahwa mendengarkan musik karawitan,
mampu meningkatkan kinerja memori jangka pendek. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan kepada mahasiswa yang diambil dari berbagai
fakultas dan tingkatan di UIN Sunan Gunung Jati Bandung, peneliti
dapat membuktikan bahwa orang yang mendengarkan musik karawitan
ketika menghafal informasi mampu mengingat lebih banyak kata
dibandingkan dengan orang yang menghafal tanpa mendengarkan
musik karawitan. Dapat disimpulkan bahwa musik karawitan dengan
tempo lambat dapat memberikan ketenangan dan perasaan rileks,
mampu meningkatkan konsentrasi serta kinerja memori jangka pendek.
8. Berdasarkan hasil penelian yang dilakukan dalam (Halim, 2012, pp. xi
-135) yang bertujuan untuk mengetahui keefektifan teknik mnemonic
untuk meningkatkan memori jangka panjang dalam pembelajaran
biologi pada siswa kelas VIII SMP Al-Islam 1 Surakarta. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimental dengan desain Matched Two
Groups Design, Posttest Only. Kriteria subjek penelitian yaitu siswa
yang memiliki nilai biologi murni di bawah nilai 67 yang merupakan
standar kompetensi mata pelajaran biologi di SMP Al-Islam 1 Surakarta.
Subjek penelitian sebanyak 32 siswa yang memenuhi kriteria yang
terbagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Subjek
kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran biologi
dengan teknik mnemonic, sedangkan subjek kelompok kontrol
mempelajari materi biologi sendiri tanpa bimbingan dari guru atau
pengajar. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan tes rekognisi
yang dikenakan pada subjek setelah perlakuan. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa teknik mnemonic efektif untuk meningkatkan
memori jangka panjang dalam pembelajaran biologi pada siswa kelas
VIII SMP Al-Islam 1 Surakarta.
9. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Kusaeri, Lailiyah,
Ariffadah, & Hidayati, 2018, p. 125) yang bertujuan untuk
mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika berdasarkan teori pemrosesan informasi. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian dilaksanakan di salah satu SMAN favorit di kota
Surabaya kelas XIMIA-4. Subjek penelitian dipilih berdasarkan skor
Tes Kemampuan Matematika (TKM) dan masukan dari guru bidang
studi matematika. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari masing-
masing dua siswa yang berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan
rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua siswa menerima
informasi atau stimulus berupa soal matematika melalui sensory register
dengan indra penglihatan dan pendengaran. Kemudian terjadi attention
setelah siswa membaca soal dan muncul persepsi saat memahami soal.
Perception terjadi ketika siswa melakukan retrieval konsep yang
dibutuhkan dari long term memory untuk menyelesaikan masalah.
Perbedaan saat melakukan retrieval pada masing-masing siswa yaitu
siswa yang berkemampuan matematika tinggi mengalami lupa atau
forgotten lost terhadap suatu konsep tertentu. Sedangkan siswa yang
berkemampuan matematika sedang mengalami kesalahan atau retrieval
failure dalam menjelaskan konsep terkait pengertian sudut elevasi.
Sedangkan bagi siswa yang berkemampuan matematika rendah sering
mengalami kesalahan dan lupa dikarenakan konsep-konsep yang
dibutuhkan di short term memory tidak tersimpan dengan baik oleh long
term memory.
10. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam (Wardhani, 2017, p. vii)
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerapan teknik
repetisi terhadap memori siswa di kelas XI MIA SMA Al-Falah
Bandung. Sampel dari penelitian ini sebanyak 25 siswa SMA Al-Falah
Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan desain penelitian The one group pretestposttest design. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini adalah tes. Hasil tes dianalisis
secara kuantitatif yaitu dari rata-rata skor pretest (23,87) dan posttest
(37,12). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pada memori siswa. Hal ini diperkuat dengan analisis uji
regresi yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif terhadap
memori siswa. hal ini dapat dilihat dari nilai Fhitung (F0= 101,84) pada
taraf signifikansi α 0,00 dan thitung (t0) sebesar 10,091 dan taraf
signifikansi α <0,05. maka dengan demikian H0 ditolak, H1 diterima
yaitu penerapan teknik repetisi dapat meningkatkan memori siswa pada
konsep sel. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak melakukan
pengulangan maka semakin baik pula peningkatan memori siswa.
11. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Suprapto, 2015, pp.
48-49) bahwa materi pelajaran dengan teori pemrosesan informasi yang
disajikan secara menarik akan membuat materi tersimpan dalam sensory
memory yang bertahan hanya dalam satu detik, dan tersimpan dalam
memori jangka pendek yang reltif lebih lama yaitu dua puluh detik, dan
tersimpan dalam memori jangka panjang yang sulit hilang dari ingatan
karena selalu diulang-ulang.
12. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam (Junaidi &
Soegiarto, 251) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh aktivitas
fisik terhadap kapasitas memori kerja murid SMA Don Bosco III.
Metode. Penelitian metode analitik dengan pendekatan potong lintang
pada 113 murid SMA Don Bosco III, Bekasi, pada 18 – 20 Juli 2016.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner demografi,
kuesioner skrining gangguan mental dan penyakit kronis, Physical
Acitivity Questionnaire of Adolescent (PAQ-A) dan Operation Span (O-
SPAN). Analisis data dengan univariat dan bivariat menggunakan uji
korelasi Spearman. Hasil. Terdapat 113 murid SMA Don Bosco III
dengan kisaran usia 14 – 17 tahun, usia terbanyak 15 tahun (47.8%),
laki-laki 61,1%, murid kelas X 44.2%. Mayoritas responden memiliki
aktivitas fisik “kurang baik” dan rerata memori kerja 6,16. Analisis
Spearman menunjukkan terdapat hubungan bermakna (p<0,05) antara
aktivitas fisik terhadap memori kerja dengan korelasi positif lemah
(r=0,384). Terdapat korelasi positif antara aktivitas fisik dan memori
kerja, aktivitas fisik yang semakin tinggi cenderung akan meningkatkan
memori kerja.
13. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam (Lestari & Nurihsan,
2017, pp. 1-5) yang bertujuan untuk menguji efektivitas strategi
pembelajaran SMART (Stories Method and Recall Training) terhadap
peningkatan memori kerja anak fase sekolah dasar kelas rendah. Strategi
ini dirancang agar anak dapat menggunakan memori lebih efisien
melalui latihan penyandian (stories) dan perolehan kembali informasi
(recalling) dalam satu rangkaian proses kognisi. Desain penelitian yang
digunakan adalah one group pretest-posttest design, dengan
menggunakan sekelompok subjek anak usia sekolah dasar kelas rendah
rentang usia 7-9 tahun sejumlah 15 orang. Pengukuran respon subjek
menggunakan insrumen memori kerja yang dikembangkan sendiri oleh
peneliti, yang dilakukan sebanyak lima kali dengan tiga kali pemberian
intervensi. Hasil penelitian menunjukan bahwa kapasitas memori kerja
meningkat seiiring dengan bertambahnya usia, dan pelatihan strategi
pembelajaran SMART (Stories Method and Recall Training) efektif
meningkatkan memori kerja anak. Strategi ini merupakan bagian dari
sistem mnemonik yang mengacu pada apa yang disarankan Gordon dan
Berger (2003), bahwa proses perolehan kembali informasi akan menjadi
lebih mudah jika informasi divisualisasi dan disimpan ke dalam sebuah
cerita yang koheren. Bagi sebagian besar orang karena merupakan salah
satu dari sistem memori yang paling kuat. Sekitar 40% dari otak
digunakan untuk fungsi-fungsi visual, sehingga informasi akan lebih
mudah diingat jika dibuat menjadi sebuah gambaran visual.
14. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam (Khotimah, Supena, &
Hidayat, 2019, p. 17) yang bertujuan untuk mencari solusi terkait
dengan upaya meningkatan perhatian siswa khususnya ditingkat awal
yaitu kelas 1, 2 dan 3 terhadap tugas belajarnya selama proses
pembelajaran berlangsung menggunakan media pembelajaran visual.
Penelitian ini menggunakan metode tinjauan literatur integratif. Metode
ini menggabungkan berbagai artikel berbasis empiris dan penelitian,
buku, dan literatur lain yang dipublikasikan tentang penggunaan media
visual dalam meningkatkan perhatian belajar siswa kelas awal tersebut.
Penelitian literatur ini menyimpulkan: (1) Perhatian adalah proses
pemilihan informasi yang dikontrol secara sukarela oleh subjek (sadar),
atau dapat karena pengaruh beberapa peristiwa eksternal yang ditangkap
indera (tidak sadar); ( 2) Proses perhatian terjadi melalui seleksi,
kesadaran, dan control; (3) Model media visual yang digunakan
sebaiknya bervariasi baik media pembelajaran yang dibuat oleh guru
maupun media dari internet. Media visual dalam bentuk infografis
merupakan model media visual yang paling disarankan; (4) Implikasi
dari fungsi media visual terhadap memori penginderaan antara lain: (a)
memori pengindera hanya dapat mengolah informasi dalam jumlah
terbatas, sehingga media visual yang digunakan untuk menyajikan
materi pembelajaran perlu didesain sedemikian sehingga informasi-
informasi kunci dapat diterima oleh siswa dengan baik; (b) memori
penginderaan yang memiliki daya serap paling tinggi adalah indera
penglihatan, sehingga mengkombinasikan sajian informasi visual dapat
meningkatkan jumlah informasi yang mampu diterima oleh memori
pengindera.
15. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam (Ariyanto, 2017, p. 1)
yang bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh terapi bermain
menggunakan puzzle bergambar dapat meningkatkan memori jangka
pendek pada anak ADHD. ADHD adalah yang sering disebut sebagai
gangguan kesulitan memusatkan perhatian, impulsif, dan hiperaktif
yakni suatu sindrom neuropsikiatrik yang banyak ditemukan pada anak-
anak terlebih anak laki-laki. Gejala seperti kurangnya konsentrasi,
hiperaktif, serta impulsif pada anak ADHD dapat menganggu
perkembangan anak salah satunya perkembangan kognitif atau
kemampuan memori jangka pendek. Subjek dalam penelitian ini adalah
satu anak laki-laki ADHD berusia 8 tahun. Metode pengumpulan data
menggunakan skala digit span dan dianalisa dengan menggunakan
analisa grafik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi
bermain menyusun puzzle bergambar dapat meningkatkan memori
jangka pendek pada anak ADHD untuk mengulang angka dan huruf
dari depan.
16. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam (Marettina & Maruti,
2016, pp. 1-7) yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh senam otak dapat meningkatkan kemampuan mengingat
memori jangka pendek lansia di unit pelayanan sosial Pucang Gading
Semarang. Desain penelitian ini adalah Quasi Ekperimen dengan
pendekatan one group pretest-postest, intervensi dilakukan 5 kali dalam
2 minggu. Jumlah sampel dalam penelitian ini 19 lansia dengan
mengguankan teknik random sampling . Hasil analisis bivariat dengan
uji T berpasangan menunjukan ada pengaruh terapi senam otak
terhadap peningkatan kemampuan mengingat memori jangka
pendek.Lansia mengalami peningkatan skor memori jangka pendek
setelah dilakukan terapi senam otak sebanyak 5 kali dibuktikan dengan
lebih banyak deretan angka yang dapat diingat oleh lansia, walaupun
peningkatannya kurang signifikan. dikarenakan proses menua yang
terjadi pada lansia.

C. Analisis

Dalam (Thobroni & Mustofa, 2013), teori belajar pemrosesan informasi


disebut juga dengan teori belajar sibernetik. Teori belajar sibernetik adalah
yang paling baru dari semua teori belajar yang telah dikenal. Teori ini
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Sedangkan teori
belajar behavioristik adalah sebuah teori tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner. Teori
ini lalu berkembang menjadi aliran psikologis belajar yang berpengaruh
terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran
yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Terdapat beberapa perbedaan dalam
teori belajar pemrosesan informasi dengan teori belajar behavioristik.
Pertama, belajar dalam teori pemrosesan informasi adalah pengolahan
informasi. Proses belajar memang penting dalam teori ini, namun yang lebih
penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa
(Abdurakhman & Rusli, 2017, p. 17). Teori pemrosesan informasi
mendudukan siswa sebagai pencari yang aktif dan pemroses informasi.
Sedangkan belajar dalam teori behavioristik adalah akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon ; perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur ,
dan dinilai secara konkret. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respons. Teori behavioristik dengan model hubungan responnya, mendudukan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Kedua, aplikasi teori belajar sibernetik dan teori belajar behavioristik dalam
pembelajaran berbeda. Aplikasi teori belajar sibernetik dalam pembelajaran,
menuntut pembelajaran untuk diorganisir dengan baik yang memperhatikan
kondisi internal dan kondisi ekternal. Kondisi internal peserta didik yang
mempengaruhi proses pembelajaran melalui proses pengolahan informasi dan
yang sangat penting diperhatikan oleh seorang guru dalam mengelola
pembelajaran antara lain:
1. Kemampuan Awal Peserta Didik
Kemampuan awal peserta didik yaitu peserta didik telah memiliki
pengetahuan,
atau keterampilan yang merupakan prasyarat sebelum mengikuti pembelajaran.
Dengan adanya kemampuan prasyarat ini peserta didik diharapkan mampu
mengikuti proses pembelajaran dengan baik.
2. Motivasi
Motivasi berperan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya
tingkah laku ke arah tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi intrinsic
lebih menguntungkan karena dapat bertahan lebih lama. Kebutuhan untuk
berprestasi yang bersifat cenderung relatif stabil, mereka ini berorientasi pada
tugas-tugas belajar yang memberikan tantangan. Pendidik yang dapat
mengetahui kebutuhan peserta didik untuk berprestasi dapat memanipulasi
motivasi dengan memberikan tugas-tugas yang sesuai untuk peserta didik.

3. Perhatian
Perhatian merupakan strategi kognitif untuk menerima dan memilih
stimulus yang relevan untuk diproses lebih lanjut diantara sekian banyak
stimulus yang datang dari luar. Perhatian dapat membuat peserta didik
mengarahkan diri diberikan, melihat masalah-masalah yang ketugas akan
diberikan, melihat masalah-masalah yang akan diberikan, memilih dan
memberikan fokus pada masalah yang akan diselesaikan, dan mengabaikan
hal- hal lain yang tidak relevan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhatian
seseoran adalah faktor internal yang mencakup: minat, kelelahan, dan
karakteristik pribadi. Sedangkan faktor eksternal mencakup: intensitas
stimulus, stimulus yang baru, keragaman stimulus, warna, gerak dan penyajian
stimulus secara berkala dan berulang-ulang.
4. Persepsi
Persepsi merupakan proses yang bersifat kompleks yang menyebabkan
orang dapat menerima atau meringkas informasi yang diperolah dari
lingkungannya. Persepsi sebagai tingkat awal struktur kognitif seseorang untuk
membentuk persepsi yang akurat mengenai stimulus yang diterima serta
mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan perlu adanya latihan-latihan
dalam bentuk berbagai situasi. Persepsi seseorang menjadi lebih mantap
dengan meningkatnya pengalaman.
5. Ingatan
Ingatan adalah suatu sistem aktif yang menerima, menyimpan, dan
mengeluarkan kembali yang telah diterima seseorang. Ingatan sangat selektif,
yang terdiri dari tiga tahap, yaitu ngatan sensorik, ingatan jangka pendek, dan
ingatan jangka panjang yang relative permanen.Penyimpanan informasi dalam
jangka panjang dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu melalui kejadian-
kejadian khusus (episodic), gambaran (image), atau yang berbentuk verbal
bersifat abstrak. Daya ingat sangat menentukan hasil belajar yang diperoleh
peserta didik.
6. Lupa
Lupa merupakan hilangnya informasi yang telah disimpan dalam ingatan
jangka panjang. Seseorang dapat melupakan informasi yang telah diperoleh
karena memang tidak ada informasi yang menarik perhatian, kurang adanya
pengulangan atau tidak ada pengelompokan informasi yang diperoleh,
mengalami kesulitan dalam mencari kembali informasi yang telah disimpan,
ingatan telah aus dimakan waktu atau rusak, ingatan tidak pernah dipakai,
materi tidak dipelajari sampai benar-benar dikuasai, adanya gangguan dalam
bentuk informasi lain yang menghambatnya untuk mengingat kembali.
7. Retensi
Retensi adalah apa yang tertinggal dan dapat diingat kembali setelah
seseorang mempelajari sesuatu, jadi kebalikan lupa. Apabila seseorang belajar,
setelah beberapa waktu apa yang dipelajarinya akan banyak dilupakan, dan
apa yang diingatnya akan berkurang jumlahnya. Ada tiga factor yang
mempengaruhi retensi, yaitu: materi yang dipelajari pada permulaan (original
learning), belajar melebihi penguasaan (over learning), dan pengulangan
dengan interval waktu (spaced review).
8. Transfer
Transfer merupakan suatu proses yang telah pernah dipelajari, dapat
mempengaruhi proses dalam mempelajari materi yang baru. Transfer belajar
atau transfer latihan berarti aplikasi atau pemindahan pengetahuan,
keterampilan, kebiasaan, sikap, atau respon-respon lain dari satu situasi ke
situasi lain.
Adapun kondisi eksternal yang sangat berpangaruh terhadap proses
belajar dengan proses pengolahan informasi antara lain:
1. Kondisi Belajar
Kondisi belajar dapat menyebabkan adanya modifikasi tingkah laku yang
dapat dilihat sebagai akibat dari adanya proses belajar. Cara yang ditempuh
pendidik untuk mengelola pembelajaran sangat bervariasi tergantung pada
kondisi belajar yang diharapkan.
2. Tujuan Belajar
Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat
penting, sebab komponen-komponen lain dalam pembelajaran harus bertolak
dari tujuan belajar yang hendak dicapai dalam proses belajarnya. Tujuan
belajar yang dinyatakan secara spesifik dapat mengarahkan proses belajar,
dapat mengukut tingkat ketercapaian tujuan belajar, dan dapat meningkatkan
motivasi belajar.
3. Pemberian Umpan Balik
Pemberian umpan balik merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
peserta didik, karena memberikan informasi tentang keberhasilan, kegagalan,
dan tingkat kompetensinya (Abdurakhman & Rusli, 2017, pp. 19-21).
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa teori belajar pemrosesan
informasi yang terjadi merupakan interaksi faktor internal dan eksternal dari
peserta didik, maka aplikasi pengelolaan kegiatan pembelajaran berbasis teori
sibernetik yang baik yang harus diperhatikan guru di kelas dalam kaitannya
dengan pembelajaran pemrosesan informasi atau sibernetik adalah:
1. Melakukan tindakan untuk menarik perhatian peserta didik.
2. Memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran dan topik yang dibahas
3. Merangsang peserta didik untuk memulai aktivitas pembelajaran
4. Menyampaikan isi pembelajaran sesuai dengan topik yang telah dirancang
5. Memberikan bimbingan bagi aktivitas peserta didik dalam pembelajaran.
6. Memberikan penguatan pada perilaku pembelajaran
7. Memberikan feedback terhadap perilaku yang ditunjukkan peserta didik
8. Melaksanakan penilaian proses dan hasil
9. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya dan menjawab
berdasarkan pengalamannya (Rehalat, Model Pembelajaran Pemrosesan
Informasi, 2014, pp. 9-10)
Sedangkan, aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, karakteristik
pelajaran, sifat materi pembelajaran, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia

D. Skenario
Peserta didik kelas X1I di SMAN 5 Bandung akan segera menghadapi Ujian
Nasional (UN). Maka dari itu guru BK melakukan bimbingan klasikal tentang Cara
Menghafal Cepat dengan Teknik Mnemonik dalam Teori Pemrosesan Informasi
(Sibernetik) kepada peserta didik kelas XII pada jam mata pelajaran kedua dengan
waktu 1x45 menit. Tujuan dari bimbingan klasikal ini adalah untuk membantu
peserta didik kelas XII dalam:
1. Mempermudah peserta didik dalam mengingat pengetahuan baik itu tempat,
orang, tanggal, atau lainnya dengan cara menghubungkan dan
mengasosiasikannya dengan suatu kejadian yang ada hubungannya atau dekat
dengan dirinya
2. Mempermudah peserta didik dalam mengambil kembali pengetahuan yang
sudah lama sehingga dapat dipanggih kembali sewaktu diperlukan
3. Mengefektifkan informasi dari short-term memory (memori jangka pendek)
menjadi long-term memory (memori jangka panjang) dengan berbagai cara yang
terdapat didalamnya
Beberapa alat dan bahan yang dibutuhkan dalam bimbingan klasikal ini
adalah proyektor, PPT, laptop, dan video. Adapun beberapa tahapan yang akan
dilakukan dalam bimbingan klasikal ini yaitu:
Tahap 1: Melakukan tindakan untuk menarik perhatian peserta didik.
Guru BK : “Assalammualaikum anak-anak”
Peserta didik : “Waalaikummussalam bu”
Guru BK : “Bagaimana kabarnya hari ini?”
Peserta didik : “Alhamdulillah, luar biasa, Allahu akbar, bersemangat”
Guru BK : “Sebelum memulai kegiatan pada hari ini, alangkah baiknya kita
membaca doa terlebih dahulu agar kegiatan yang dilakukan bisa berjalan dengan
lancar, kepada ketua kelas dipersilahkan untuk memimpin doa”
Ketua kelas : “Berdoa menurut kepercayaan masing-masing, dimulai.”
Ketua kelas : “Berdoa selesai”
Guru BK : “Nah sekarang anak-anak, gimana kalo kita buat kesepakatan dulu
sebelum kegiatan berlanjut. Kalo misalnya nanti kalian mendengar ibu
mengucapkan kata “pagi” kalian harus menjawab dengan “kukuruyukkk”, kalo
misalnya ibu mengucapkan “siang” kalian harus bersorak sambil tepuk tangan, dan
kalo misalnya ibu mengucapkan “malam” kalian harus menjawab “ssttttt”.
Gimana? Kalian setuju?”
Peserta didik : “Setujuuuu.”
Guru BK : “Kita coba dulu yaahhhh. Pagi, malem, siang, pagi, malem,
malem.”
Peserta didik : (merespon ucapan guru)
Guru BK : “Nah sekarang ibu punya video nih buat kalian. Yukkk disimakk.
(sambil memberikan video 1)
Peserta didik : (melihat video)
Guru BK : “Nah sekarang berapa kata yang bisa kalian ingat?”
Peserta didik : (merespon guru BK)
Guru BK : “Nah sekarang ada video lagi nih buat kalian, disimak lagi yukkk.”
Peserta didik : (melihat video)
Guru BK : “Nah sekarang berapa kata yang bisa kalian ingat?”
Peserta didik : (merespon guru BK)
Guru BK : “Apakah kalian menyadari ada perbedaan antara kata yang bisa
kalian ingat antara video pertama dan video kedua?”
Peserta didik : (merespon guru BK)
Guru BK : “Nah benar, jadi kata yang dapat dihapalkan dengan cara visual
berupa gambar-gambar dapat lebih banyak dibandingkan dengan kata yang
dihapalkan dengan cara verbal. Biasanya kita hanya bisa mengingat 5-7 kosa kata
saja ketika menggunakan cara verbal, namun ketika kita menghafal dengan cara
visual kita bisa saja mengingat semua kosa kata yang ada, dan ajaibnya bahkan kita
bisa mengingatnya secara berurutan, berbeda dengan cara verbal. Biasanya sulit
untuk mengingatnya secara berurutan, kata yang kita ingat biasanya tidak berurut”.
Peserta didik : (merespon guru BK)

Tahap 2: Memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran dan topik yang


dibahas
Guru BK : “Nah, tapi ternyata selain cara visual adalah cara yang di sarankan
agar kita mudah menghapal, ada juga nih cara lain yang bisa digunakan agar kita
bisa menghafal dengan cepat. Kebetulankan kalian mau Ujian Nasional juga ya?
Nah sekarang ibu mau ngasih kalian cara biar kalian bisa menghapal dengan cepat.”
Peserta didik : “Emang ada ya bu caranya?”
Guru BK : “Adaaa, oleh karena itu tujuan ibu masuk ke kelas ini juga, ibu
ingin memberikan tips atau teknik biar kalian bisa menghafal dengan cepat dan
mudah. Disini ibu bakal memberikan kalian cara-cara menghafal yang cepat
melalui teknik mnemonik. ”

Tahap 3: Merangsang peserta didik untuk memulai aktivitas pembelajaran


Guru BK : “Nah kalian tahu gak kira-kira teknik mnemonik itu apa?”
Peserta didik : “enggakk buu..”
Guru BK : “Teknik mnemonic adalah teknik atau cara untuk membantu kita
meningkatkan daya ingat.”

Tahap 4: Menyampaikan isi pembelajaran sesuai dengan topik yang telah


dirancang
Peserta didik : “Emangnya gimana bu caranya?”
Guru BK : “Caranya adalah mengambil huruf depan dari kata, kalimat, dan
materi yang akan kalian ingat, kemudian susun menjadi suatu singkatan atau cerita
yang lucu. Contohnya seperti:
1. Untuk mengingat 4 lapisan pada ginjal, kalian bisa menggunakan kalimat
“KOran MEdia PEngetahuan Umum” : korteks (bagian luar), medula, pelvis,
ureter
2. Untuk mengingat ujung saraf pada kulit dan fungsinya, kita bisa menggunakan:
“KuRasa DINGIN: krausse-dingin
RUFFanya PANAS: ruffini-Panas
TEKAN CINI: pacini-tekanan
RABA MESra: meisner-raba (sentuhan)
SAKITnya BEBAS: sel saraf bebas-sakit”
3. Untuk mengingat proses pembentukan urin dan tempat terjadinya, kalian bisa
menggunakan:
“FIling Gue: fitrasi-glomelurus
Rada PROtes: reabsorpsi-tubulus kontortus proksimal
AUUU DIsetrum: augmentasi-tubulus kontortus distal”
4. Untuk mengingat golongan 1a dalam tabel periodic, kita bisa menggunakan
“HaLiNa Kawin Rubi cS Frustasi”: hidrogen, lithium, natrium, kalium,
rubidium, sesium, fransium.
5. Untuk mengingat satuan panjang, kita bisa menggunakan “Kucing Hitam
DAlam Mobil Desi Centil Mondar-Mandir”: Km, Hm, Dam, M, Dm, Cm, Mm
6. Untuk mengingat urutan planet, kita bisa menggunakan: “Main Volley Ball
Membuat Jantung Sehat Untuk Nenek Peot”: Merkurius, Venus, Bumi, Mars,
Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto

Tahap 5: Memberikan bimbingan bagi aktivitas peserta didik dalam pembelajaran.


Guru BK : “Dari contoh-contoh yang sudah ibu berikan barusan, apakah sudah
dapat dipahami?”
Peserta didik : “Sudah bu.”
Guru BK : “Karena kalian sudah mengerti, silahkan kalian membuat satu
contoh tentang materi yang ingin kalian ingat dengan cepat.”
Peserta didik : “Baik bu…”
Guru BK : “Oke, ibu kasih waktu lima menit ya.”

Tahap 6: Memberikan penguatan pada perilaku pembelajaran


Peserta didik : (mengerjakan perintah guru BK)
Guru BK : (memantau pekerjaan peserta didik, sambil memberikan
pengarahan sebagai penguatan) “Gimana, gampang kan? Bisa kan?”
Peserta didik : “Iya bu bisa.”

Tahap 7: Memberikan feedback terhadap perilaku yang ditunjukkan peserta didik


Guru BK : (masih memantau pekerjaan peserta didik) “Gimana apakah ada
kesulitan?”
Peserta didik : “Emm gini paling bu, kadang aku bingung milih kata-kata yang
bakal dipakenya”
Guru BK : “Kamu bisa menggunakan kalimat atau kata-kata yang familiar dan
mudah untuk kamu ingat. Selain itu juga kamu bisa menggunakan kata-kata dari
benda, hewan, orang, tumbuhan, dll yang sering kamu lihat.”
Peserta didik : “Baik bu, terimakasih.”

Tahap 8: Melaksanakan penilaian proses dan hasil


Guru BK : “Jika ibu lihat dari hasil pekerjaan kalian, kalian sudah bisa
menerapkan dan menggunakan cara mengingat dengan cepat. Kalian sudah bisa
membuat singkatan dan cerita-cerita lucu dari materi, kata, ataupun kalimat yang
ingin kalian ingat.”

Tahap 9: Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya dan


menjawab berdasarkan pengalamannya
Guru BK : “Nah sekarang, apakah masih ada yang ingin ditanyakan?”
Peserta didik : “Tidak buu..”
Guru BK : “Baik kalau seperti itu. Mengingat dua bulan lagi kalian akan
menghadapi Ujian Nasioanal, mungkin ada beberapa hal juga yang perlu ibu
sampaikan ketika kalian ingin menggunakan cara ini untuk menghapal cepat,
seperti:
1. Meskipun cara ini adalah cara yang bisa membuat kalian ingat dengan cepat,
namun cara ini memerlukan persiapan yang cukup lama. Sehingga kalian
disarankan untuk mempersiapkannya dari sekarang
2. Gunakanlah kalimat atau kata-kata yang familiar dan mudah untuk kalian ingat.
Selain itu kalian juga bisa menggunakan kata-kata dari benda, hewan, orang,
tumbuhan, dll yang sering kalian lihat agar mempermudah kalian dalam
membuat caranya.
Peserta didik : “Baik bu terimakasih.”
Guru BK : “Baik, ibu rasa kegiatan pada kali ini dicukupkan sekian. Jika
masih ada yang ingin ditanyakan, ruang BK sangat terbuka untuk kalian.
Terimakasih, pagi, siang, siang, malem.”
Peserta didik : (merespon guru BK)
Guru BK : “Wassalamualaikum wr.wb.”
Peserta didik : “Waalaikumsalam wr.wb”
BAB III
A. KESIMPULAN
Teori pemrosesan informasi juga dikenal sebagai teori
sibernetik yang merupakan teori baru dalam belajar yang lebih
mengutamakan sistem informasi dari materi yang dipelajari, menurut teori
pemrosesan informasi ini proses belajar tidak berbeda halnya dengan proses
menerima, menyimpan dan mengungkapkan kembali dengan informasi-
informasi yang telah diterima sebelumnya.
Pemrosesan informasi sendiri secara sederhana dapat diartikan suatu
proses yang terjadi pada peserta didik untuk mengolah informasi,
memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut
dengan inti pendekatannya lebih kepada proses memori dan cara berpikir.
Komponen pemrosesan informasi dipilih berdasarkan perbedaan
fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya "lupa". Ketiga
kom-ponen tersebut adalah sensory receptor, long term memory, dan working
memory.Kondisi internal dan eksternal sangat mempengaruhi proses belajar
melalui pengolahan informasi yang perlu diperhatikan oleh seorang guru
ketika melakukan pembelajaran kepada peserta didik.

B. IMPLIKASI
1. Pelaksanaan Bimbingan
Implikasinya terhadap pelaksanaan bimbingan, teori pemrosesan informasi
ini bisa diterapkan atau digunakan untuk bimbingan klasikal. Bimbingan klasikal
ini dilakukan secara tatap muka dikelas secara terjadwal dengan materi-materi
yang telah diprogramkan.
Untuk teknisnya, bimbingan klasikal ini harus dilakukan secara menarik dan
bervariasi, agar siswa fokus dan memperhatikan bimbingan yang diberikan.
Contohnya seperti menggunakan berbagai media elektonik atau menggunakan
cara penyampaian yang ekspresif dan berbeda-beda, mulai dari visual, audio,
maupun audiovisual. Karena setiap peserta didik memiliki cara yang berbeda-
beda dalam memproses informasinya. Selain itu, sebelum bimbingan klasikal
dimulai hendaknya kita memberikan informasi tentang tujuan dan juga topik
yang akan dibahas dalam bimbingan klasikal.
Ketika proses bimbingan klasikal berlangsung, hendaknya guru BK
memberikan bimbingan bagi aktivitas peserta didik, penguatan serta feedback
terhadap perilaku yang ditunjukkan peserta didik serta memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk bertanya dan menjawab berdasarkan pengalamannya.
Selain itu, jangan terlalu banyak memberikan materi sekaligus dan terlalu cepat
dalam menjelaskan materinya. Pendekatan atau metode layanan yang digunakan
dalam bimbingan klasikal ini, bisa menggunakan ekspositori, ceramah, diskusi
kelompok, dan sebagainya.

2. Penelitian Bimbingan dan Konseling


Adapun beberapa tema penelitian yang bisa dilakukan terkait teori
pemrosesan informasi ini adalah:
a. Pengaruh sugesti dan perkataan terhadap ingatan pada remaja di SMAN 3
Bandung
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk
meneliti sejauh mana sugesti dan perkataan berhubungan dengan ingatan
pada remaja di SMAN 3 Bandung. Metode yang digunakan adalah
kuantitatif, dengan subyek penelitiannya adalah siswa kelas XII SMAN 3
Bandung. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
observasi, tes, dan dokumentasi.
b. Faktor-faktor yang menyebabkan hal yang paling menyakitkan (membuat
sakit hati) bertahan lama dalam penyimpanan memori pada Remaja di
Lingkungan Darangdan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
Penelitian ini merupakan penelitian kausal komparatif yang bertujuan
untuk menyelidiki faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal yang paling
menyakitkan (membuat sakit hati) bertahan lama dalam penyimpanan
memori. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan subyek
penelitiannya adalah 30 orang remaja di Lingkungan Darangdan, Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan
cara observasi, dokumentasi, wawancara, dan angket.
c. Efektivitas teknik mnemonik terhadap peningkatan ingatan remaja di SMAN
1 Sumedang
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk
menyelidiki sejauh mana teknik mnemonik efektif terhadap peningkatan
ingatan remaja di SMAN 1 Sumedang. Metode yang digunakan adalah
kuantitatif, dengan subyek penelitiannya adalah siswa kelas XI SMAN 1
Sumedang. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
observasi, tes, dan dokumentasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurakhman, O., & Rusli, R. K. (2017). Teori Belajar dan Pembelajaran. 4-21.
Abdurakhman, O., & Rusli, R. K. (2017). Teori Belajar dan Pembelajaran. 17.
Ardika, Y., & A. S. (2016). Efektivitas Metode Mnemonik Ditinjau dari Daya
Ingat dan Hasil Belajar Matematika Siswa SMK Kelas X. Matematika
Kreatif-Inovatif, 72.
Ariyanto, S. N. (2017). Terapi Bermain Menyusun Puzzle Beragam untuk
Meningkatkan Memori Jangka Pendek Pada Anak ADHD. 1.
Bhinnety, M. (2011). Struktur dan Proses Memori. Buletin Psikologi, 76-87.
Dharmawan, T. (2015). Musik Klasik dan Daya Ingat Jangka Pendek pada
Remaja. Ilmiah Psikologi Terapan, 370-379.
Halim, M. A. (2012). Keefektifan Teknik Mnemonic untuk Meningkatkan
Memori Jangka Panjang dalam Pembelajaran Biologi Pada Siswa Kelas
VIII SMP Al-Islam 1 Surakarta . xi.
Julianto, V. (2017). Meningkatkan Memori Jangka Pendek dengan Karawitan.
Ilmiah Psikologi , 144-145.
Junaidi, M. C., & Soegiarto, B. (251). Hubungan antara Aktivitas Fisik Terhadap
Memori Kerja Murid SMA Don Bosco III Bekasi. Sari Pediatri, 2015.
Khotijah, S., A. T., & P. U. (2017). Penerapan Model Pemrosesan Informasi Pada
Pembelajaran Membaca Siswa Di SMP Negeri 02 Bengkulu Utara . Ilmiah
Korpus, 199.
Khotimah, H., Supena, A., & Hidayat, N. (2019). Meningkatkan Attensi Belajar
Siswa Kelas Awal melalui Media Visual. Pendidikan Anak , 17.
Kusaeri, Lailiyah, S., Ariffadah, Y., & Hidayati, N. (2018). Proses Berpikir Siswa
dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Teori
Pemrosesan Informasi. Suska Jurnal of Education, 125.
Lestari, T., & Nurihsan, A. J. (2017). Efektivitas Stratrgi Pembelajaran SMART
(Stories Method and Recall Training) terhadap Peningkatan Memory Kerja
Anak Fase Sekolah Dasar Kelas Rendah. Repository.Upi.edu, 1-5.
Marettina, N., & Maruti, E. D. (2016). Pengaruh Senam Otak terhadap
Peningkatan Kemampuan Mengingat Memori Jangka Pendek Pada Lansia
di Unit Pelayanan Sosial Pucang Gading Semarang . Ilmu Keperawatan
dan Kebidanan, 1-7.
Purwanto, S. (2011). Hubungan Daya Ingat Jangka Pendek dan Kecerdasan
dengan Kecepatan Menghafal Al-Quran di Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta. 70-81.
Rehalat, A. (2014). Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi. Pendidikan Ilmu
Sosial, 7-8.
Rehalat, A. (2014). Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial, 9-10.
Rinta, L. (2015). Pendidikan Seksual dalam Membentuk Perilaku Seksual Positif
pada Remaja dan Implikasinya terhadap Ketahanan Psikologi Remaja.
162-175.
Schunk, D. H. (2012). Learning Theories an Educatioanal Perspektive. USA:
Pearson.
Suprapto, A. (2015). Pengembangan Metodologi Pembelajaran PAI Melalui Teori
Pemrosesan Informasi dan Teori Neuroscience. Pendidikan Agama Islam,
49-50.
Thobroni, M., & Mustofa, A. (2013). Belajar & Pembelajaran: Pengembangan
Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Wardhani, S. S. (2017). Penerapan Teknik Repitisi untuk Meningkatkan Memori
Siswa pada Konsep Sel. vii.
Kependidikan, D. J. (2008). Pendekatan, Jenis, Metode Penelitian Pendidikan. 16-
26.
Ramli, M., Hidayah, N., Zen, E. F., Flurentin, E., Lasan, B. B., & Hambali, I.
(2017). Bimbingan Klasikal dan Kelompok. 3-12.
Suryana. (2010). Metodologi Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. 18-19.

Anda mungkin juga menyukai