Anda di halaman 1dari 22

PROGRAM KELUARGA BERENCANA

DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM


DALAM RANGKA MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
DAN MEWUJUDKAN KEMASHLAHATAN

Oleh : Drs. H. Aminudin Yakub, MA


(Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat)

I. Pendahuluan
Keluarga Berencana (KB) menjadi salah satu issu kontroversial dalam diskursus
pemikiran Islam modern. Ada sejumlah persoalan yang muncul terkait dengan masalah
Islam dan KB, mulai dari masalah hukum ber-KB, makna KB --Apakah berarti
pengaturan keturunan (tanzim al-nasl) atau pembatasan keturunan (tahdid al-nasl) ?--,
motivasi ber-KB, persoalan alat kontrasepsi (cara kerja, hukum penggunaan serta
implikasinya terhadap kesehatan reproduksi perempuan), hingga masalah kebijakan
demografi negara dengan berbagai dampaknya. KB sendiri kini bukan lagi sebatas
persoalan suatu negara, tetapi sudah menjadi persoalan dunia internasional. Oleh
karenanya, ia selalu menjadi tema yang menarik untuk dikaji.
Sudah banyak studi yang dilakukan oleh para ulama dan lembaga-lembaga
keislaman mengenai KB dalam berbagai perspektif. Para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi KB. Perbedaan pendapat terjadi karena tidak adanya nash (Al-Qur’an dan
Hadits) yang secara eksplisit melarang atau memerintahkan ber-KB. Itulah sebabnya,
hingga kini masih muncul kontroversi seputar KB dalam wacana intelektual Islam.
Untuk mendapat gambaran yang komprehensif tentang bagaimana sesungguhnya
pandangan Islam terhadap KB memang tidak ada jalan lain kecuali harus kembali
kepada sumber ajaran Islam yang paling otoritatif, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Namun,
karena tidak adanya penjelasan yang eksplisit, maka harus dilakukan kajian yang lebih
mendalam atas kedua sumber tersebut dengan cara mengidentifikasi semua ayat-ayat Al-
Qur’an dan hadist-hadist Nabi yang terkait dengan permasalahan KB untuk kemudian
ditarik pesan-pesan esensial serta semangat ajaran (maqashid al-syari’ah) yang
dikandung dari kedua sumber tersebut. Dengan begitu, akan terlihat secara utuh sikap
Islam sesungguhnya terhadap KB. Tulisan ini mencoba mengungkap persfektif al-
Qur’an dan Hadist atas masalah KB lewat pendekatan maqashid al-syari’ah serta
mengulas perdebatan ulama yang terjadi disekitarnya. Meski berusaha mengungkap
pesan inti al-Qur’an dan hadist, tulisan sederhana ini tentu tidak dapat diklaim sebagai
satu-satunya tulisan yang dapat mewakili pandangan kedua sumber ajaran Islam
tersebut.

Makalah disampaikan dalam Seminar Peningkatan Partsipasi Pria dalam Program KB di Kota Bontang
Kaltim, selasa 11 Juli 2006.

1
Sebelum menjelaskan lebih jauh bagaimana sikap Islam terhadap KB, ada
baiknya kita kaji terlebih dahulu bagaimana pandangan Islam tentang keluarga. Hal ini
penting untuk melihat apa sesungguhnya motivasi disyari’atkannya berkeluarga (nikah)
dan bagaimana relasinya dengan KB nanti.
II. Keluarga dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadist
Dalam sejarah peradaban manusia, keluarga dikenal sebagai suatu persekutuan
(unit) terkecil, pertama dan utama dalam masyarakat. Dari persekutuan inilah manusia
berkembangbiak menjadi suatu komunitas masyarakat dalam wujud marga, puak,
kabilah, suku yang seterusnya menjadi umat dan bangsa-bangsa yang bertebaran di
muka bumi. Keluarga adalah inti dan jiwa dari suatu bangsa. Kemajuan dan
keterbelakangan suatu bangsa menjadi cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang
hidup pada bangsa tersebut. Begitu penting peran keluarga maka dapat ditemui bahwa
semua agama dan kepercayaan, yang menjadi sumber acuan nilai dan norma masyarakat,
memiliki ajaran yang mengatur masalah keluarga.
Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam masalah
keluarga. Ada puluhan ayat Al-Qur’an dan ratusan hadist nabi yang memberikan
petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, mulai dari awal
pembentukan keluarga, hak dan kewajiban masing-masing unsur dalam keluarga hingga
masalah warisan dan perwalian. Islam memang memberikan perhatian besar pada
penataan keluarga. Ini terbukti bahwa seperempat bagian dari fiqih (hukum Islam), yang
dikenal dengan rub’u al-munakahat, berbicara tentang masalah keluarga.1
Al-Qur’an mengajarkan bahwa keluarga merupakan salah satu ni’mat Allah yang
patut disyukuri karena dapat menentramkan jiwa dan menjadi tempat mencurahkan
kasih sayang. Ia juga menjadi salah satu bukti kebesaran Allah yang darinya dapat
dijadikan bahan renungan dan pelajaran bagi manusia. Allah berfirman dalam surah al-
Ruum ayat 21 :
ٍ ‫ا‬66َ‫ َك آَل ي‬6ِ‫ ةً إِنَّ ِفي َذل‬6‫ َو َّدةً َو َر ْح َم‬6‫ َل َب ْينَ ُك ْم َم‬6‫س ُكنُوا إِلَ ْي َها َو َج َع‬
‫ت‬ ً ‫س ُك ْم أَ ْز َو‬
ْ َ‫اجا لِت‬ ِ ُ‫ق لَ ُك ْم ِمنْ أَ ْنف‬
َ َ‫َو ِمنْ َءايَاتِ ِه أَنْ َخل‬
َ‫لِقَ ْو ٍم يَتَفَ َّكرُون‬
“Dan Diantara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri (manusia) supaya kamu cenderung
dan merasa tentram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang
(antara kamu sepasang). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. [QS. Ar-Ruum (30):21]
Berkeluarga (nikah) adalah jalan terhormat yang disyari’atkan Allah untuk
menyalurkan kebutuhan biologis. Dengan karunia Allah, dari keluarga lahir anak cucu
sebagai penerus kehidupam umat manusia dan Allah pulalah yang akan menanggung
rezeki mereka (QS 16 : 72 dan 3 : 1). Untuk itulah Allah memerintahkan umatnya untuk
berkeluarga, sebagaimana firman-Nya:

1
Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung : Mizan, 1994), h. 135.

2
ِ ‫لِ ِه َوهَّللا ُ َو‬6‫ض‬
‫ ٌع‬6‫اس‬ َّ ‫َوأَ ْن ِك ُحوا اأْل َيَا َمى ِم ْن ُك ْم َوال‬
ْ َ‫ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِمنْ ف‬6َ‫صالِ ِحينَ ِمنْ ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِنْ يَ ُكونُوا فُق‬
‫َعلِي ٌم‬
“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberiannya) lagi Maha Mengetahui” [QS al-Nuur (24): 32]
Meski demikian, perintah berkeluarga ini harus dibarengi dengan syarat adanya kesiapan
fisik, mental dan kemampuan material. 2 Syarat ini penting karena dalam kehidupan
keluarga terdapat hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipenuhi. Mereka
yang belum mampu berkeluarga diperintahkan untuk tetap memelihara kesucian dirinya
(QS. 24 : 35).
Keluarga dalam Islam harus bersifat lestari karena ia dibangun lewat suatu akad
pernikahan yang merupakan sebuah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizho) (QS. 4 :
21). Al-Qur’an mengingatkan, seorang suami harus mempergauli isterinya dengan baik
dan jika terjadi perselisihan dalam kehidupan keluarga maka suami harus bersabar
karena boleh jadi ketidaksenangan suami pada hal-hal tertentu di diri isteri terdapat
kebajikan di balik itu (QS 4 : 19). Sebaliknya, isteri juga harus menghormati suami dan
menjaga kehormatannya. Islam memang membolehkan cerai (thalaq), tetapi itu
hanyalah menjadi “pintu darurat” yang baru boleh dilalui pada situasi dimana
mempertahankan keutuhan rumah tangga ternyata dapat membawa mudlarat bagi kedua
belah fihak.3
Salah satu tujuan utama disyari’atkannya berkeluarga adalah memiliki keturunan,
sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya :
‫ل‬6 ِ َ‫ت أَفَبِا ْلب‬
ِ 6‫اط‬ ِ ‫ا‬66َ‫ َدةً َو َرزَ قَ ُك ْم ِمنَ الطَّيِّب‬6 َ‫ َل لَ ُك ْم ِمنْ أَ ْز َوا ِج ُك ْم َبنِينَ َو َحف‬6‫ ا َو َج َع‬6‫اج‬
ً ‫ ُك ْم أَ ْز َو‬6 ‫س‬
ِ ُ‫ َل لَ ُك ْم ِمنْ أَ ْنف‬6‫َوهَّللا ُ َج َع‬
ُ
َ‫يُؤْ ِمنُونَ َوبِنِ ْع َم ِة هَّللا ِ ُه ْم يَ ْكفرُون‬
“Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari pasangan-pasanganmu itu anak-anak dan cucu-cucu
dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [QS. An-Nahl
(16) : 72]
Namun Al-Qur’an juga mengingatkan dan menegaskan bahwa memiliki keturunan
merupakan ketentuan dan karunia Allah SWT :
2
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
‫ه‬6‫ه ل‬6‫ فإن‬6‫وم‬6‫ه بالص‬6‫ وأحصن للفرج ومن لم يسـتطع فعلي‬،‫يا معشرالشباب من اسـتطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغـض للبصر‬
‫وجاء‬
“Hai para pemuda ! Barang siapa diantara kamu memiliki kemampuan (al-ba’ah) maka
hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menjaga mata jalang dan lebih
membentengi kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka baginya supaya berpuasa
menahan diri”.
3
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), h. 254-255.

3
‫زَ ِّو ُج ُه ْم‬66ُ‫ور(*)أَ ْو ي‬
َ ‫ذ ُك‬6ُّ 6‫ب لِ َمنْ يَشَا ُء ال‬
ُ ‫ب لِ َمنْ يَشَا ُء إِنَاثًا َويَ َه‬ ِ ‫ت َواأْل َ ْر‬
ُ ُ‫ض يَ ْخل‬
ُ ‫ق َما يَشَا ُء يَ َه‬ ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫هَّلِل ِ ُم ْل ُك ال‬
)*(‫ُذ ْك َرانًا َوإِنَاثا َويَ ْج َع ُل َمنْ يَشَا ُء َعقِي ًما إِنهُ َعلِي ٌم ق ِدي ٌر‬
َ َّ ً
“Kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan
memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang
dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul kepada siapa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” [QS. Asy-
Syuura (42): 49-50]
tidak ada yang dapat menghalangi jika Allah menghendaki adanya keturunan dan
sebaliknya tidak ada yang dapat mengupayakannya jika Allah tidak menghendaki (QS.
25 : 53).
Dalam hadist-hadist Rasululullah SAW juga banyak dijumpai perintah untuk
menikah dan memiliki keturunan. Salah satu hadist yang paling banyak dirujuk adalah:
)‫تزوجوا الودود الولود فإني مكاثز بكم األنبياء يوم القيامة (رواه أحمد والطبراني‬
“Nikahilah wanita yang dapat memberi keturunan yang banyak karena saya
akan merasa bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak disbanding
nabi-nabi yang lain di hari kiamat kelak” (H.R. Ahmad dan Thabrani)
Kehadiran anak dalam keluarga merupakan qurrah a’yun (buah hati yang
menyejukkan) (QS 25 : 74) dan zinah hayat al-dunya (perhiasan kehidupan dunia) (QS
18 : 46). Namun tentu saja seorang anak akan menjadi buah hati dan perhiasan dunia jika
ia tumbuh menjadi manusia yang baik dan berkualitas. Al-Qur’an juga mengingatkan
bahwa anak juga dapat menjadi musuh dan ujian (fitnah), dalam arti terkadang dapat
menjerumuskan orang tua melakukan perbuatan yang dilarang agama akibat cintanya
kepada anak (QS 64 : 14-15). Anak juga merupakan sebuah amanah, dan menjaga
amanah merupakan kewajiban orang beriman (QS 3 : 58 dan 23 : 8). Untuk itu, orang
tua berkewajiban memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan anak, baik materiil maupun
spiritual, dalam bentuk kasih sayang, perhatian, pemenuhan sandang, pangan, tempat
tinggal, pendidikan dan kesehatan sampai anak itu mencapai usia dewasa.
Persoalan yang muncul kemudian adalah : bolehkah suami-isteri membatasi atau
mengatur jumlah keturunannya ? tidakkah ini bertentangan dengan perintah nabi di atas ?
apakah membatasi jumlah keturunan karena motivasi kekhawatiran kekurangan rezeki
bertentangan dengan keimanan akan qadla dan qadar Allah yang telah menentukan
rezeki bagi hamba-hamba-Nya ?. Bolehkah negara membuat peraturan yang membatasi
jumlah keturunan dalam setiap keluarga ? Persoalan-Persoalan semacam ini timbul
seiring dengan munculnya program Keluarga Berencana.
III. Pandangan Hukum Islam tentang Keluarga Berencana
A. Hukum Ber-KB

4
Seperti telah disebut di atas, tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadist nabi yang
secara tegas berbicara KB. Dengan diamnya kedua sumber ajaran Islam ini, mayoritas
ulama berpendapat hukum KB harus dikembalikan kepada hukum asal sesuai dengan
kaedah fikih yang berlaku bahwa “Pada dasarnya segala sesuatu/perbuatan adalah boleh
kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. 4 Akan tetapi, sebagian ulama lain,
seperti Abu A’la al-Maududi, menolak KB karena dinilai bertentangan dengan sejumlah
ayat Al-Qur’an dan hadist. Penolakkkan tersebut didasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, pengendalian jumlah anak yang didasari oleh motivasi takut
kekurangan rezeki bertentangan keimanan bahwa Allah telah menentukan rezeki semua
mahluk-Nya. Di samping itu, melakukan KB dengan motivasi ekonomi seperti itu identik
dengan praktek pembunuhan anak-anak perempuan yang dilakukan masyarakat Arab
pra-Islam. Hal ini jelas bertentangan dengan firman-firman Allah SWT. :
‫ا بَطَنَ َواَل‬66‫ا َو َم‬66‫ر ِم ْن َه‬6
َ 6‫ا ظَ َه‬66‫ش َم‬
َ ‫اح‬ َ 6َ‫ق نَ ْحنُ نَ ْر ُزقُ ُك ْم َوإِيَّا ُه ْم َواَل تَ ْق َربُوا ا ْلف‬
ِ ‫و‬6 ٍ ‫… َواَل تَ ْقتُلُوا أَ ْواَل َد ُك ْم ِمنْ إِ ْماَل‬
َ‫صا ُك ْم بِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬ َ َ ‫تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
ِّ ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ إِاَّل بِا ْل َح‬
َّ ‫ق ذلِ ُك ْم َو‬
“...dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nyata maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar’. Demikian itu
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. [QS.
Al-An’aam (6) : 151]
‫ق‬ٍ ‫يَةَ إِ ْماَل‬6 ‫ش‬ ْ ‫وا أَ ْواَل َد ُك ْم َخ‬66ُ‫صي ًرا (*) َواَل تَ ْقتُل‬ ِ َ‫ق لِ َمنْ يَشَا ُء َويَ ْق ِد ُر إِنَّهُ َكانَ بِ ِعبَا ِد ِه َخبِي ًرا ب‬ ِّ ُ‫سط‬
َ ‫الر ْز‬ ُ ‫إِنَّ َربَّ َك يَ ْب‬
ْ
)*(‫نَ ْحنُ نَ ْر ُزقُ ُه ْم َوإِيَّا ُك ْم إِنَّ قَ ْتلَ ُه ْم َكانَ ِخطئًا َكبِي ًرا‬
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan
Maha Melihat akan hamba-hambanya. Dan janganlah kamu membunuh anak-
anakmu karena takun kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
doso yang besar”. [al-Israa (17) : 30-31]
َ ‫بُهُ إِنَّ هَّللا‬6‫س‬ْ ‫ َو َح‬6‫ب َو َمنْ يَت ََو َّك ْل َعلَى هَّللا ِ َف ُه‬ ُ ‫َّق هَّللا َ يَ ْج َع ْل لَهُ َم ْخ َر ًجا (*) َويَ ْر ُز ْقهُ ِمنْ َح ْي‬
ُ 6‫ث اَل يَ ْحت َِس‬ ِ ‫َو َمنْ يَت‬
)*(‫بَالِ ُغ أَ ْم ِر ِه ق ْد َج َع َل ُ لِك ِّل ش َْي ٍء ق ْد ًرا‬
َ ُ ‫هَّللا‬ َ
“...Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari jalan yang tiada disangka-
sangkanya . Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah telah menentukan
kadar (ketentuan) bagi setiap sesuatu”. [ath-Thalaaq (65): 2-3]
‫ين‬ ٍ ‫ست َْو َد َع َها ُك ٌّل ِفي ِكتَا‬
ٍ ِ‫ب ُمب‬ ِ ‫َو َما ِمنْ دَابَّ ٍة ِفي اأْل َ ْر‬
ْ ‫ض إِاَّل َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُ َها َويَ ْعلَ ُم ُم‬
ْ ‫ستَقَ َّرهَا َو ُم‬

4
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : CV. Haji Mas Agung, 1991), h. 55.

5
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi/menanggung rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang
itu dan tempat penyimpanannya. Semua itu tertulis dalam Kitab yang nyata
(lauh mahfuzh)”. [QS. Huud (11) : 6]
pesan yang sama juga dapat ditemukan dalam Surat at-Takwiir ayat 8-9, an-Nahl ayat
57-59 dan 72, al-An’aam ayat 137 dan 140, dan al-Mumtahanah ayat 13.
Ayat-Ayat Al-Qur’an yang dijadikan dasar penolakkan KB di atas dikritisi oleh
mayoritas ulama dengan argumentasi sebagai berikut :
1. Ayat-Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah telah menentukan rezeki
setiap mahluk-Nya memang sesuatu yang harus diyakini oleh setiap orang yang
beriman. Namun demikian, itu tidak berarti seseorang berlepas diri begitu saja
tanpa berusaha (QS. 13 : 10) dan perencanaan jauh ke depan (QS. 28 : 77 dan
59 : 18). Berusaha, menjaga harta dan merencanakan masa depan bukanlah
perbuatan yang dilarang agama dan tidak pula bertentangan dengan ayat di atas,
bahkan diperintahkan oleh agama (QS. 17 : 26, 27 dan 29). Oleh karena itu,
dalam konteks ini KB tidak bertentangan dengan keyakinan tersebut.5
2. Larangan Al-Qur’an membunuh anak ditujukan kepada tindakan pembunuhan
anak yang sudah lahir, sebagaimana dipraktekkan pada masyarakat pra-Islam.
Selain itu, ayat-ayat tersebut juga dapat dipahami sebagai larangan melakukan
pengguguran kehamilan (aborsi) yang tidak didasari oleh alasan medis yang
dapat diterima secara syar’i. Sementara KB, dalam arti pencegahan kehamilan,
tidaklah masuk dalam pengertian ayat di atas. Berdasarkan hal itu tidaklah
relevan jika ayat-ayat tersebut dijadikan dasar untuk mengharamkan KB.6
KB, menurut ulama yang menerimanya, merupakan salah satu bentuk usaha
manusia dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera dan bahagia guna menghasilkan
generasi yang kuat di masa yang akan datang. KB sesungguhnya merupakan pemenuhan
dari seruan al-Qur’an surah al-Nisaa ayat 9 :
‫ هَّللا َ َو ْليَقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬u‫ خَافُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا‬u‫ض َعافًا‬
ِ ً‫ش الَّ ِذينَ لَوْ ت ََر ُكوا ِم ْن َخ ْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang meninggalkan di
belakang mereka anak-anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap kesejahteraan mereka …”
Ayat ini mengingatkan setiap orang tua untuk tidak meninggalkan keturunannya dalam
keadaan lemah sehingga menjadi beban orang lain. Salah satu cara agar dapat
meninggalkan keturunan yang kuat, orang tua harus memberikan nafkah, perhatian dan
pendidikan yang cukup. Apabila orang tua memiliki anak yang banyak dan tidak sesuai

5
Ibid., h. 141-143
6
Hasan Ali al-Syadzili, “Tanzim al-Nasl aw Tahdiduhu fi al-Fiqh al-Islami”, dalam Majallat
Majma’ al-Fiqh al-Islami, Vol. V, Jilid II, (Jeddah : Majma’ al-Fiqh al-Islami, 1988), h. 124.

6
dengan kemampuan yang dimilikinya, maka dikhawatirkan anak-anaknya akan terlantar
dan menjadi orang yang lemah. Disamping itu, dalam surah al-Kahfi ayat 46 Allah juga
menjelaskan bahwa harta dan anak merupakan perhiasan di dunia. Suatu perhiasan
seharusnya terdiri atas yang baik dan terbaik. Apabila perhiasan itu adalah anak, maka
anak tersebut haruslah anak yang baik, bahkan terbaik, dan mampu membangun dirinya,
masyarakatnya, agamanya dan negaranya. Oleh karena itu, anak harus mendapat
pendidikan, kesehatan, bekal materil maupun spiritual. Untuk mewujudkan keinginan
tersebut seharusnya disesuaikan antara jumlah anak dan kemampuan ekonomi orang tua.
Selain ayat-ayat tersebut, banyak pula hadist nabi yang mengajarkan hal serupa,
antara lain :
1. Hadits dari Sa’id bin Abi Waqos bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan
(meminta-minta kepada) orang banyak” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “Orang m’umin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang mu’min yang
lemah”. (HR. Muslim)
3. Hadis riwayat al-Hakim, Rasulullah SAW bersabda : “Kewajiban orang tua
terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, mendidik dan mengajarinya
membaca Al-Qur’an, memanah dan memberi nafkah dengan rezeki yang baik
serta mengawinkannya apabila dia telah mendapat jodoh”.
Kedua, penolakkan KB oleh sebagian ulama didasarkan oleh hadist-hadist Nabi
yang melarang ‘azl (coitus interruptus), yaitu persenggamaan terputus dimana suami
melepaskan sperma di luar vagina pada saat ejakulasi. Para ulama memang berbeda
pendapat tentang hukum melakukan ‘azl. Perbedaan pendapat terjadi karena adanya
hadist-hadist Nabi yang saling “bertentangan” (ta’arudl al-adillah). Paling tidak ada tiga
pandangan ulama mengenai ‘azl, yaitu yang mengharamkan secara mutlak, yang
membolehkan secara mutlak dan yang membolehkan dengan syarat.
Ulama yang mengharamkan ‘azl secara mutlak mendasari pendapatnya pada
hadist Nabi dan atsar7 sebagai berikut :
1. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari ‘Aisyah r.a.
bahwa seorang sahabat bernama Judzamah binti Wahb al-Asadiyyah
menyaksikan Rasulullah SAW bersabda di depan sekolompok orang : “Saya
pernah berkeinginan untuk melarang ghilah (berhubungan badan ketika isteri
sedang menyusui), kemudian saya memperhatikan orang-orang Persia dan
Romawi yang telah melakukan hal tersebut dan ternyata tidak ada bahaya bagi
anak-anak mereka”, lalu seseorang bertanya: “bagaimana dengan ‘azl?”
7
Ulama membedakan antara hadits dan atsar. Hadits diartikan sebagai “Segala sesuatu yang
datang dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan”. Sedang atsar adalah : “Sesuatu
yang dari selain Nabi, yakni sahabat”. Lihat Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terjemah oleh
Qodirun Nur dan Ahmad Syafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 7-8.

7
Rasulullah SAW bersabda : “yang demikian adalah pembunuhan (penguburan
hidup-hidup) secara diam-diam”.
2. Banyak atsar shahabat yang menceritakan larangan melakukan ‘azl. Seperti
diriwayatkan oleh Ubaidillah ibnu Umar dari Nafi’ diceritakan bahwa Ibnu Umar
tidak mempraktekkan ‘azl dan beliau berkata : “Sekiranya aku tahu salah seorang
dari putraku melakukan ‘azl maka akan aku hukum dia”. Riwayat lain
menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib membenci ‘azl. Demikian pula hadist
yang diriwayatkan oleh Sa’id ibn Musayyab yang menceritakan bahwa Umar bin
Khattab dan Usman bin ‘Affan menolak melakukan ‘Azl.
Sedang mereka yang membolehkan ‘azl secara mutlak merujuk pada hadits Nabi,
diantaranya adalah :
1. Hadist riwayat Bukhari bahwa Jabir r.a., sahabat Rasulullah SAW, berkata :
“Kami para sahabat banyak yang melakukan ‘azl di masa Rasulullah dan pada
waktu itu Al-Qur’an masih turun”. Hadist serupa juga diriwayatkan oleh Muslim
dengan bunyi : “Kami para sahabat banyak yang melakukan ‘azl pada masa
Rasulullah SAW dan hal itu disampaikan kepada beliau (Rasul) namun tidak
dilarangnya, sedangkan Al-Qur’an ketika itu masih turun”.
2. Hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Daud diceritakan bahwa Abu Sa’id, salah
seorang sahabat Nabi, berkata kepada Rasulullah SAW : “Orang-Orang Yahudi
berkata bahwa ‘Azl adalah suatu bentuk pembunuhan kecil”. Rasulullah
bersabda : “Orang Yahudi itu bohong. Sesungguhnya jika Allah hendak
menciptakan sesuatu tidak satupun yang dapat menghalangi-Nya”.
3. Hadits yang diriwayatkan Muslim, Imam Ahmad dan Abu Daud dari Jabir r.a.
bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasul dan berkata : “Saya memiliki
seorang hamba sahaya perempuan yang menjadi pesuruh dan penyiram tanaman,
saya ingin bercampur dengannya tetapi tidak menginginkannya hamil”.
Rasulullah bersabda : “Lakukanlah ‘azl jika kamu menghendaki. tetapi
sesungguhnya apa yang ditakdirkan Tuhan padanya pasti akan terjadi”. Lalu
lelaki pergi, beberapa waktu kemudian ia datang kembali dan berkata kepada
Nabi : “Sesungguhnya hamba sahaya saya kini sudah hamil”. Maka Rasulullah
bersabda : “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa apa yang sudah
ditakdirkan Allah kepadanya pasti terjadi”.
4. Hadits riwayat Abu Daud dan Thabrani dari Ikrimah dari sebagian isteri Nabi,
bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Kalian ber’azl ataupun tidak, maka apa
yang telah ditentukan Allah untuk terciptanya mahluk akan terciptalah ia”.
Melihat adanya hadits-hadits nabi yang tampak saling “bertentangan” di atas, al-
Baihaqi dan al-Thahawi mengkompromikan (al-jam’u wa al-taufiq) dalil-dalil tersebut
dengan berpendapat bahwa larangan ‘azl sebagaimana hadits Judzamah di atas tidak
menunjukkan arti haram, tetapi makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh
syari'at untuk meninggalkannya. Sementara ash-Shon’ani berpendapat bahwa

8
pernyataan Rasul yang menyebut ‘azl sebagai “pembunuhan tersembunyi” tidaklah
berarti sama dengan “pembunuhan yang sebenarnya” karena sebuah pembunuhan berarti
menghilangkan nyawa sedangkan ‘azl tidaklah demikian. Pendapat Shon’ani ini
menguatkan pendapat Ibnul Qoyyim.8
Imam Hujjatul Islam al-Gozali berpendapat bahwa ‘azl boleh dilakukan. Dalil
yang melarang ‘azl, menurutnya, adalah lemah dibandingkan dalil yang
membolehkannya. Lebih lanjut beliau berkata : “Sejatinya dalam pergaulan suami-isteri
tidak perlu melakukan ‘azl karena jika Allah menghendaki untuk menciptakan sesuatu
tidak ada satu pun yang dapat menghalanginya. Perbuatan ‘azl hanyalah meninggalkan
keutamaan dalam hubungan suami-isteri seperti halnya meninggalkan perbuatan-
perbuatan utama lainnya”.9
Dalam pada itu, mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, sebagian
Syafi’iyah, Hanabilah, Zaidiyah dan Imamiyah membolehkan ‘azl dengan syarat harus
dengan seizin isteri karena isteri juga memiliki hak dalam pengambilan keputusan untuk
memiliki anak atau tidak. Namun, mereka berbeda pendapat apakah izin itu hanya
berlaku kepada isteri dari kalangan wanita merdeka saja atau juga berlaku kepada seluruh
wanita, baik merdeka maupun budak. Perbedaan yang terakhir ini sudah tidak relevan
lagi untuk kondisi sekarang ini.10
Pendapat yang mempersyaratkan izin isteri dalam ber’azl didasarkan pada dalil-
dalil seperti dikemukakan kelompok yang membolehkan secara mutlak di atas yang
dibatasi (taqyid) oleh hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Umar
bin Khattab r.a. bahwa Rasulullah SAW melarang melakukan ‘azl pada wanita merdeka.
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Ibnu ‘Abbas berkata : “Rasulullah
SAW melarang melakukan ‘azl kepada wanita merdeka kecuali atas izinnya”.
Hasan Ali al-Syadzili, guru besar fiqih perbandingan di Al-Azhar Mesir,
berpendapat bahwa pendapat Jumhur Ulama yang terakhir inilah yang paling rajih
(kuat).11 Penegasan serupa dikemukakan oleh Sayyid Thanthawi, mufti Mesir.
Menurutnya, kebolehan ‘azl didukung oleh para imam madzhab yang empat dan jumhur
ulama.12 Sementara Imam Asy-Syaukani berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat ulama

8
Al-Shon’ani, Subul al-Salam : Syarh Bulugh al-Maram, Jilid III, (Bandung : Maktabah
Dahlan, TT.), h. 168.
9
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Jilid II, (Semarang:
Toha Putera, TT.), h. 51.
10
Hasan Ali al-Syadzili, Op.Cit, h. 125-126.
11
Ibid., h. 125.
12
Muhammad Sayyid Tanthowi, “Tanzim al-Nasl wa Ro’yu al-Din fih”, dalam Majallat Majma’
al-Fiqh al-Islami, Vol V, Jilid II, (Jeddah : Majma’ al-Fiqh al-Islami, 1988), h. 154.

9
tentang kebolehan melakukan ‘azl dengan syarat ada izin dari isteri”. 13 Demikian pula
pendapat, Wahbah al-Zuhaili dan Sayyid Sabiq, ahli fiqih kontemporer.14
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KB secara prinsipil
dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera
yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan
syari’at Islam yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Selain itu, KB juga
memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Berdasarkan
hasil penelitian, setiap tahun ada ±500.000 perempuan meninggal dunia akibat berbagai
masalah kehamilan dan persalinan. KB bisa mencegah sebagian besar resiko kematian
itu. KB dapat mencegah munculnya bahaya-bahaya akibat :
1. Kehamilan terlalu dini : perempuan yang hamil tatkala umurnya belum mencapai
17 tahun terancam kematian pada waktu melahirkan karena tubuhnya belum
matang untuk melakukan persalinan. Resiko yang sama juga mengancam bayi
yang dikandungnya.
2. Kehamilan terlalu tua : Perempuan yang usianya terlalu tua untuk mengandung
dan melahirkan juga terancam resiko kematian dan dapat menimbulkan
problema-problema kesehatan lainnya.
3. Kehamilan terlalu berdekatan jaraknya : Kehamilan dan persalinan menuntut
banyak energi dan kekuatan tubuh perempuan. Kehamilan dengan jarak yang
berdekatan dengan kehamilan lainnya mengundang bahaya kematian ibu.
4. Terlalu sering hamil dan melahirkan : Pendarahan hebat dan berbagai macam
problema kesehatan yang mengancam kematian ibu dapat terjadi pada ibu yang
terlalu sering hamil dan melahirkan.
Melihat fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemashlahatan dan
mencegah kemudlaratan tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam. Namun
persoalannya kemudian adalah : sejauh mana ia dibolehkan? dan apa pula batasannya?.
Persoalan ini akan terjawab dalam penjelasan berikut.
B. Makna Keluarga Berencana
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencana (KB)
yang dibolehkan syari’at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau
usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan
kondisi tertentu untuk kepentingan (mashlahat) keluarga, masyarakat maupun negara.15
13
Lihat Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Author, Jilid VI, (Beirut: Dar
al-Jil, 1973), h. 248-250.
14
Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid III, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1989), h. 554. al-Zuhali menyebut hanya Ibn Hazm al-Zahiri saja yang menolak ‘azl. Lihat pula Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Beirut : Dar al-Fikr, 1983), h. 160.
15
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Mesir : Darul Qolam, TT.), h. 294-297

10
Dengan demikian, KB disini mempunyai arti yang sama dengan tanzim al-nasl
(pengaturan keturunan). Penggunaan istilah “Keluarga Berencana” juga sama artinya
dengan istilah yang umum dipakai di dunia internasional yakni family planning atau
planned parenthood, seperti yang digunakan oleh International Planned Parenthood
Federation (IPPF), nama sebuah organisasi KB internasional yang berkedudukan di
London.16
KB juga dapat berarti suatu tindakan perencanaan pasangan suami isteri untuk
mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval kelahiran dan menentukan
jumlah anak sesuai dengan kemampuannya serta sesuai situasi-kondisi masyarakat dan
negara. Dengan begitu, KB berbeda dengan birth control, yang artinya
pembatasan/penghapusan kelahiran (tahdid al-nasl). Istilah birth control dapat
berkonotasi negatif karena bisa berarti aborsi dan strerilisasi (pemandulan).
Sejauh pengertiannya adalah pengaturan kehamilan (tanzim al-nasl), bukan
pembatasan keturunan (tahdid al-nasl) dalam arti pemandulan (ta’qim) dan aborsi (isqot
al-haml), KB tidak dilarang. Pemandulan diharamkan oleh Islam karena bertentangan
dengan sabda Rasulullah SAW : “Tidaklah termasuk golongan kami (umat Islam) orang
yang mengebiri orang lain atau mengebiri dirinya sendiri”. Demikian pula dengan
tindakan aborsi, yaitu pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan.
Pemandulan dan Aborsi yang diharamkan Islam di sini adalah tindakan
pemandulan atau aborsi yang tidak didasari oleh alasan medis yang syar’i. Adapun aborsi
yang dilakukan atas dasar indikasi medis (abortus artificialis therapicus), seperti aborsi
karena untuk menyelamatkan jiwa ibu atau karena analisa medis melihat adanya kelainan
dalam kehamilan, dibolehkan, bahkan diharuskan. Begitu pula dengan pemandulan, jika
itu dilakukan dalam keadaan dlarurat karena alasan medis, seperti pemandulan pada
wanita yang terancam jiwanya jika ia hamil dan/atau melahirkan, maka hukumnya
mubah.
Dalam pandangan Mahmud Syaltut, ahli fikih Mesir, KB dalam arti mengatur
jarak interval kehamilan berdasarkan alasan tertentu, seperti kesehatan ibu atau anak,
dapat diterima oleh Islam. Hal itu didasarkan pada pesan Al-Qur’an surah al-Baqarah
ayat 233 serta hadist Rasul yang berbunyi : “Saya pernah menginginkan untuk melarang
ghilah (berhubungan badan ketika isteri sedang menyusui), namun setelah itu saya
melihat bangsa Persia dan Romawi melakukannya dan anak-anak mereka tidak
mengalami bahaya ghilah tersebut” (HR Muslim). Menurut Syaltut, untuk memenuhi
anjuran ayat dan hadist itu, orang tua harus mengatur jarak kehamilan satu dengan
kehamilan lainnya.17
Sementara itu, Yusuf Qordlawi, ulama Islam kontemporer, berpendapat bahwa
melaksanakan program KB harus didasarkan pada alasan-alasan tertentu :
16
Masyfuk Zuhdi, Op.Cit., h. 79.
17
Ibid., h. 199.

11
1. Kekhawatiran terhadap terganggunya kehidupan dan kesehatan ibu dan/atau anak
(QS. 2 : 195 dan 4 : 29).
2. Kekhawatiran terhadap bahaya (mudlarat) dalam urusan dunia yang akan
mempersulit ibadah (QS. 2 : 185).
3. Kekhawatiran akan peringatan Allah kepada manusia bahwa dunia adalah
permainan yang melalaikan atau melengahkan hati dari mengingat Allah. Di
antara permainan dunia adalah harta dan anak. Dunia tiada lain adalah
kesenangan yang menipu. Oleh karena itu, kebanggaan kepada anak harus
disesuaikan dengan kemampuan memeliharanya agar orang tua tidak sampai
melalaikan Allah (QS. 57 : 20 dan 63 : 4). Demikian juga dengan peringatan
Allah lainnya bahwa isteri, harta dan anak merupakan fitnah (cobaan). Oleh
karenanya, anak-anak harus dibina, dididik dan diarahkan. Untuk itu perlu
perhatian khusus dari orang tua. Orang tua harus mampu memberikan perhatian
dan mampu bertahan dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh jumlah anak
yang dimiliki (QS. 64 : 14-15) .
4. Kekhawatiran terhadap terganggunya kesehatan dan pendidikan anak. Al-Qur’an
mengajarkan kepada manusia agar berdoa supaya dianugerahi isteri dan anak
sebagai penyenang hati (qurrah a’yun). Namun demikian, untuk mewujudkan
keinginan tersebut, disamping berdoa manusia harus berusaha membina dan
mendidik anak yang dimiliki. Dan untuk membina anak dibutuhkan kemampuan,
baik materiil maupun spiritual (QS. 25 : 74).18
Kebolehan KB dalam batas pengertian di atas sudah banyak difatwakan, baik
oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga keislaman tingkat nasional dan
internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa ini sudah mendekati Ijma’19. Lembaga
Fiqh Islam (Majma’ al-Fiqh al-Islami), tempat berhimpunnya para ulama dari negara-
negara Organisasi Konferensi Islam, dalam surat keputusan nomor 39 (1/5)
memfatwakan kebolehan pembatasan kelahiran sementara dengan maksud memperjarak
waktu kehamilan atau menghentikannya sementara waktu karena ada kebutuhan yang
diakui syara’ sesuai dengan waktu yang dikehendaki suami-isteri dan atas kesepakatan
serta kerelaan mereka berdua.20 Fatwa yang sama juga dikeluarkan berbagai lembaga
fiqh dan ulama diberbagai dunia Islam lainnya, seperti Dar al-Ifta Mesir. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional
Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983. Betapapun
secara teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al-
18
Yusuf Qordlawi, al-Hady al-Islam : Fatawa al-Mu’asirah, terjemah oleh Hamid Husein,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. ….
19
Ijma’ adalah : Kesepakatan para mujtahid (ulama) dari umat Muhammad SAW pada suatu
masa, setelah wafatnya Rasulullah, terhadap suatu hukum syara suatu perkara”. Lihat Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1958), h. 199.
20
Qororot wa Taushiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qolam, 1998), h. 89-90.

12
nasl di atas, secara praktis KB masih memiliki persoalan hukum. Hal itu terkait dengan
masalah metode/alat kontrasepsi yang digunakan dan cara kerjanya.
C. Metode/Alat Kontrasepsi dan Hukum Penggunaannya
Ada lima persoalan hukum yang berkaitan dengan penggunaan alat kontrasepsi.
Pertama, masalah cara kerjanya, apakah mencegah kehamilan (man’u al-haml) atau
menggugurkan kehamilan (isqot al-haml)?. Kedua, sifatnya apakah ia hanya pencegahan
kehamilan sementara atau bersifat pemandulan permanen (ta’qim). Ketiga, masalah
pemasangannya --bagaimana dan siapa yang memasang alat kontrasepsi tersebut?--. Hal
ini berkaitan dengan masalah hukum melihat aurat orang lain. Keempat, implikasi alat
kontrasepsi terhadap kesehatan penggunanya. Kelima, masalah bahan yang digunakan
untuk membuat alat kontrasepsi tersebut.
Alat kontrasepsi yang dibenarkan menurut Islam adalah yang cara kerjanya
mencegah kehamilan (man’u al-haml), bersifat sementara (tidak permanen) dan dapat di
pasang sendiri oleh yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram
memandang auratnya atau oleh orang lain yang pada dasarnya tidak boleh memandang
auratnya, tetapi dalam keadaan darurat ia dibolehkan. Selain itu, bahan pembuatan yang
digunakan harus berasal dari bahan yang halal 21 serta tidak menimbulkan implikasi yang
membahayakan (mudlarat) bagi kesehatan.
Ada berbagai metode yang dapat dilakukan dalam ber-KB, baik dari segi teknik
bersenggama maupun dengan menggunakan alat kontrasepsi. Hingga kini, paling tidak,
ada 5 macam methode KB yang dijalankan. Berikut ini penjelesan kelima methode
kontrasepsi tersebut dan pandangan ulama fikih mengenai hukum melakukannya :
1. Metode Perintang
Metode perintang bekerja dengan cara menghalangi sperma agar tidak sampai
bertemu dengan sel telur. Metode ini tidak mengubah cara kerja tubuh penggunanya.
maupun pasangannya. Efek sampingnya sangat sedikit dan aman digunakan, terutama
bagi ibu yang sedang menyusui. Alat kontrasepsi yang banyak digunakan dalam metode
ini adalah kondom, baik untuk laki-laki maupun perempuan, diafragma dan spermisida.
Kondom, terutama untuk laki-laki, banyak digunakan di Indonesia. Ia berbentuk
kantong kecil yang terbuat dari lateks yang membungkus alat kelamin pria. Cara
kerjanya mencegah kehamilan dan penggunaannya tidak membutuhkan orang lain.
Selain itu tidak ditemukan adanya efek samping bagi penggunaannya, bahkan dapat
mencegah penularan penyakit lewat hubungan seksual. Tidak ditemukan pendapat ulama
yang mengharamkannya.
Diafragma berbentuk seperti mangkok ceper yang terbuat dari karet lunak. Alat
ini bekerja dengan cara menutupi mulut rahim sehingga sperma, meski mungkin masuk
ke vagina, tak bisa meneruskan perjalanannya menuju rahim. Karena cara kerjanya yang
mencegah kehamilan, tidak ada persoalan hukum dalam penggunaannya.

21
Ini terjadi, biasanya, pada alat kontrasepsi yang bersifat hormonal.

13
Spermisida memiliki berbagai macam bentuk, baik busa, tablet, krim ataupun jeli.
Dipakai sebelum berhubungan dengan cara dioleskan ke dalam vagina. Cara kerjanya
membunuh sel-sel sperma pria sebelum memasuki rahim. Jika tidak ada efek samping
membahayakan yang ditimbulkannya, maka alat kontrasepsi ini dapat digunakan atas
kerelaan isteri sebagai penggunanya.
2. Metode Hormonal
Metode hormonal dilakukan dengan cara memakai obat-obatan yang
mengandung dua hormon, yaitu estrogen dan progestin. Digunakan oleh pihak
perempuan dan kandungan kedua hormon tersebut serupa dengan hormon-hormon
alamiah yang dihasilkan tubuh wanita, yaitu estrogen dan progesterone. Ada tiga jenis
alat KB yang biasa digunakan dengan metode ini, yaitu pil pengendali kehamilan yang
harus diminum setiap hari, suntikan yang diberikan setiap beberapa bulan sekali dan
susuk yang berbentuk enam tabung yang sangat kecil dan lunak yang dimasukkan ke
bawah permukaan kulit sebelah dalam lengan. Pada umumnya, jenis pil dan beberapa
jenis suntikan mengandung kedua hormon di atas sekaligus yang disebut dengan pil atau
suntikan terpadu. Namun, ada pula pil, beberapa jenis suntikan dan susuk yang hanya
mengandung hormon progestin.
Berbeda dengan metode perintang, metode hormonal mengubah proses kerja
tubuh. Dengan metode hormonal indung telur (ovarium) perempuan dihalangi sehingga
tidak melepas sel telur ke dalam rahim. Selain itu, metode ini juga menyebabkan lender
di mulut rahim menjadi sangat kental, sehingga menghalangi sperma bila hendak masuk.
Dilihat dari segi cara kerjanya, alat kontrasepsi tidak bermasalah karena ia hanya
mencegah kehamilan yang bersifat sementara. Penggunaannya pun mudah dan dapat
dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain (tenaga medis) tanpa melihat aurat
besar. Persoalannya terletak pada implikasi kesehatan dan bahan yang digunakannya.
Tidak semua perempuan bisa menggunakan metode hormonal karena dapat membawa
efek samping yang membahayakan, misalnya perempuan yang mengidap penyakit
kanker payudara. Oleh karenanya, ia baru boleh digunakan jika telah mendapat
rekomendasi dari tenaga medis. Persoalan lain adalah pada bahan pembuatannya. Pada
umumnya obat-obatan yang bersifat hormonal menggunakan bahan yang diambil dari
unsur hewani, meskipun ada juga yang dibuat melalui cara kimiawi-sintetik. Sepanjang
bahan yang digunakan dari unsur yang halal dan tidak membawa dampak kesehatan yang
membahayakan maka metode hormonal dapat digunakan dengan syarat atas kesepakatan
suami-isteri.
3. Metode yang dilakukan dengan jalan memasukkan alat ke dalam rahim (IUD).
Ada beberapa jenis alat KB yang bekerja dari dalam rahim untuk mencegah
pembuahan sel telur oleh sperma. Biasanya disebut spiral atau dalam bahasa inggrisnya
dikenal dengan Intra-Uterine Devices (IUD). Spiral terbuat dari bahan plastik atau
plastik bercampur tembaga yang dapat digunakan sampai 10 tahun. Ia dapat diganti atau
dikeluarkan dari rahim, yang berarti termasuk dalam kategori alat kontrasepsi sementara.
Hal yang perlu dicermati dari alat kontrasepsi ini adalah efek sampingnya terhadap

14
kesehatan pemakainya. Untuk itu, akseptor harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan
tenaga medis untuk mengetahui betul kelemahan dan efek yang ditimbulkan serta
keamanannya jika ia menggunakan alat tersebut. Apabila membawa mudlarat bagi
kesehatan dirinya tidak dibenarkan penggunaannya menurut hukum Islam.
Terhadap hukum penggunaan Spiral/IUD, Ulama dan ahli kedokteran berbeda
pendapat dalam dua aspek, yaitu cara kerjanya dan pemasangan alat.
Pertama, dari segi cara kerjanya. Dr. Ali Akbar, yang dikenal sebagai ahli
kedokteran dan agama, menyimpulkan bahwa cara kerja Spiral/IUD tidak bersifat
contraceptitive (mencegah kehamilan) melainkan abortive (menggugurkan kehamilan).
Oleh karenanya, ia haram digunakan. Pendapat serupa juga dikemukakan Prof.
Muhammad Toha yang menyimpulkan bahwa IUD dalam rahim tidak menghalangi
pembuahan sel telur dan 94% dari wanita pemakai IUD tidak menjadi hamil karena
melalui mekanisme kontranidasi (menghalang-halangi sel telur yang telah dibuahi
menempel di dinding rahim) .22 Pendapat kedua ahli tersebut dibantah oleh banyak ahli
kedokteran. Prof. Dr. Muhammad Djuawari, misalnya, menolak jika kontranidasi disebut
sebagai aborsi (abortus provocatus).23
Akar persoalan munculnya perbedaan pendapat ini terletak pada penentuan waktu
kapan seseorang disebut hamil, apakah ketika terjadi pertemuan sperma dengan sel telur
yang kemudian mengalami pembuahan atau ketika terjadinya implantasi (menempelnya
sel telur yang sedang berbuah pada dinding rahim). Sebagian ulama menetapkan waktu
kehamilan dimulai ketika terjadi pertemuan sel sperma pria dengan sel telur wanita.
Namun, tampaknya pandangan ini telah berubah. Dunia kedokteran telah menetapkan
bahwa kehamilan dimulai ketika terjadi implantasi. Pandangan ahli kedokteran ini juga
telah disepakati Komisi Fatwa MUI. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa kontranidasi
bukanlah aborsi.
Kedua, dari segi pemasangannya. Ulama juga berbeda pendapat dalam hal
pemakaian/pemasangan IUD kepada akseptor. MUI sendiri memiliki dua fatwa yang
“berbeda” dalam hal ini. Fatwa pertama tahun 1972 menyatakan bahwa haram
pemakaian spiral selama masih ada obat-obat dan alat kontrasepsi lain. Keharaman ini
dikarenakan pemasangan dan pengontrolan IUD oleh seorang dokter atau tenaga medis
harus melihat aurat besar (mughollazhah) akseptor. Pendapat ini didasarkan pada ayat
Al-Qur’an surah al-Nur ayat 30-31dan hadist Nabi SAW yang berbunyi : “Tidak boleh
laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan tidak boleh perempuan melihat aurat perempuan
lainnya dan janganlah bersentuhan laki-laki dengan laki-laki lain dalam satu kain dan
jangan pula perempuan dengan perempuan lain”.
Fatwa kedua MUI dikeluarkan dalam Musayawarah Nasional Ulama tahun 1983
yang menyatakan : “Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dalam pelaksanaan
KB dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya dilakukan oleh tanaga medis
22
Masjfuk Zuhdi, Op.Cit., 70-71.
23
Ibid., h. 71.

15
dan/atau tenaga medis wanita atau jika terpaksa dapat dilakukan oleh tenaga medis pria
dengan didampingi oleh suami atau wanita lain”.
Dalam kajian fiqh, perubahan fatwa semacam itu sangat mungkin terjadi jika illat
hukum (alasan yang menjadi dasar penetapan hukum) berubah karena adanya perubahan
zaman, waktu, situasi dan kondisi. Kaedah Fiqh menyatakan:
‫الحكم يدور مع العـلة وجودا و عـدما‬
“Hukum itu berputar (bergantung) pada ada atau tidakadanya Illat
‫تغـير األحـكام بتغـير األزمنة واألمكنة واألحـوال‬
“Hukum itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat dan keadaan”
Terhadap perbedaan pendapat ulama (ijtihad) dalam masalah IUD, umat Islam
dapat memilih di antara kedua pendapat tersebut, yang menurut mereka lebih kuat dan
lebih mashlahat. Kedua pendapat yang berbeda itu tidaklah saling membatalkan karena
kaedah fikih mengatakan bahwa “Sebuah ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang
lain”.
4. Metode KB Alamiah
Metode Alamiah adalah metode yang tidak menggunakan alat, bahan kimia,
maupun obat-obatan. Ada berbagai cara yang dilakukan dengan metode ini :
 Memberi ASI selama enam bulan. Ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an
surah al-Baqarah : 233, al-Ahqaaf : 15 dan surah Luqman : 14.
 Metode Pengecekkan lender atau metode pengamatan irama, biasanya
disebut dengan metode/sistem kalender, yaitu metode berpantang
hubungan (atau dengan memakai metode perintang) pada hari-hari subur
isteri. Cara mengetahui masa subur isteri dapat dilakukan dengan
menghitung siklus bulanan isteri atau dengan mengecek lendir (cairan)
dari vagina isteri setiap hari.
 ‘Azl/Coitus Interruptus (senggama terputus). Senggama terputus
merupakan metode kontrasepsi yang telah dikenal umat manusia sejak
berabad-abad yang lampau.
Tidak ada persoalan hukum Islam yang mengganjal dalam metode alamiah kecuali ‘azl,
yang hukumnya sudah dijelaskan di atas.

5. Metode Permanen (Sterilisasi)


Sterilisasi adalah metode kontrasepsi yang bersifat permanen lewat jalan operasi
tubuh, laki-laki atau perempuan, agar steril dan tidak bisa lagi memiliki anak untuk
selamanya (mandul). Meski menjalani operasi, sterilisasi tidak mempengaruhi

16
kemampuan seksual kedua pasangan. Ada dua cara yang digunakan, yaitu vasektomi dan
tubektomi.
Vasektomi adalah sterilisasi untuk laki-laki yang dilakukan dengan cara operasi
untuk memotong saluran pembawa sperma dari kantongnya (zakar) ke penis. Sementara
tubektomi adalah sterilisasi pada perempuan yang dilakukan lewat operasi dengan cara
membuat dua irisan kecil di bawah perut, lalu saluran telurnya diikat atau dipotong
supaya sel telur tidak bisa menuju rahim.
Para ulama, sebagaimana telah dijelaskan di atas, sepakat mengharamkan metode
yang berdampak terjadinya pemandulan permanen (ta’qim), vasektomi maupun
tubektomi, kecuali dalam keadaan darurat (emergency), seperti terancamnya jiwa ibu
jika ia hamil atau melahirkan.
6. Metode Darurat
Metode Darurat adalah metode menghindari kehamilan setelah terlanjur
terjadinya hubungan suami-isteri tanpa pelindung. Metode ini mengupayakan agar sel
telur yang telah dibuahi oleh sperma jangan sampai menempel ke dinding rahim dan
berkembang menjadi janin. Caranya dengan meminum pil KB darurat yang mengandung
hormon estrogen dan progestin, seperti pil mifepristone, segera setelah terjadinya
hubungan. Pil ini hanya memiliki pengaruh jika diminum dalam waktu 48 jam setelah
terjadinya hubungan.
Jika mengacu kepada pendapat dunia kedokteran kontemporer dan komisi fatwa
MUI bahwa kehamilan baru dimulai setelah terjadinya implantasi (menempelnya sel
telur yang telah dibuahi pada dinding rahim) maka cara kerja kontranidasi seperti pada
pil KB darurat ini tidaklah termasuk dalam kategori aborsi. Namun, satu hal yang perlu
dicermati adalah bahan yang digunakan untuk pembuatannya karena ia bersifat
hormonal, yang pada umumnya diambil dari unsur hewani.
III. KB : Antara Kebijakan Demografi Negara dan Hak Reproduksi Perempuan
Persoalan KB dalam Islam tidak berhenti pada masalah hukum boleh tidaknya
ber-KB, batasan pengertian KB serta metode/alat kontrasepsi yang digunakan. Lebih dari
itu, KB juga harus dikaji lebih mendalam dari persfektif lain. Salah satu persoalan krusial
yang mengemuka dewasa ini dan perlu mendapat perhatian serius adalah masalah KB
sebagai sebuah kebijakan politik-demografi negara dan implikasinya terhadap hak
reproduksi perempuan.
Dalam beberapa dekade terakhir, KB telah menjadi program prioritas dalam
kebijakan demografi negara. Negara, terutama dengan jumlah penduduk yang
overpopulated (terlalu padat), memang perlu membuat sebuah kebijakan strategis di
bidang kependudukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun
sayangnya dalam implementasi kebijakan tersebut muncul ekses negatif yang perlu
mendapat perhatian.
Masri Singarimbun, pemerhati masalah kependudukan, melihat di negara-negara
dengan prioritas program KB yang tinggi dan target demografi yang tegas terdapat

17
tekanan kuat terhadap para akseptor dan calon akseptor. Di Indonesia, misalnya, dalam
pelaksanaan program KB muncul sejumlah kasus pemaksaan kepada akseptor untuk
menggunakan alat kontrasepsi tertentu atau pengarahan untuk menggunakan jenis
kontrasepsi tertentu tanpa diberikan penjelasan bagaimana cara kerjanya, cara
penggunaanya, kelemahan dan efek samping yang ditimbulkan, cara mengatasinya
bahkan ada yang tidak memperlihatkan contoh alat kontrasepsinya. Para petugas KB
tampaknya lebih banyak hanya mengejar target untuk memenuhi perintah atasan.
Sementara masyarakat, terutama masyarakat miskin, terpaksa menerima begitu saja
karena takut dimarahi aparat.24
Dengan adanya kasus-kasus pemaksaan, bahkan intimidasi, semacam itu berarti
telah terjadi banyak pelanggaran atas hak-hak konsumen. Ada sejumlah hak yang
seharusnya didapat oleh konsumen, namun tampaknya hak-hak tersebut sangat
terabaikan dan tidak tersosialisasikan dengan baik. Hak-Hak konsumen KB yang harus
terpenuhi itu, adalah:
1. Hak atas informasi : Hak untuk mengetahui segala manfaat dan keterbatasan
keterbatasan metode/alat KB.
2. Hak akses : hak untuk memperoleh pelayanan tanpa membedakan jenis kelamin,
agama dan kepercayaan, suku, status social, dan lokasi.
3. Hak pilihan : Hak untuk memutuskan secara bebas tanpa paksaan dalam
memilih dan menerapkan metode KB.
4. Hak atas keamanan : Hak untuk memperoleh pelayanan yang aman dan efektif.
5. Hak privasi : Hak untuk mendapatkan privasi atau bebas dari gangguan orang
lain atau campur tangan orang lain dalam konseling dan pelayanan KB.
6. Hak kerahasiaan : Hak untuk mendapatkan jaminan bahwa informasi pribadi
yang diberikan akan dirahasiakan.
7. Hak harkat, yaitu hak untuk mendapatkan pelayanan secara manusiawi, penuh
penghargaan dan perhatian.
8. Hak kenyamanan, yaitu hak untuk memperoleh kenyamanan dalam pelayanan.
9. Hak berpendapat, yaitu hak untuk menyatakan pendapat secara bebas terhadap
pelayanan yang ditawarkan.
10. Hak keberlangsungan, yaitu hak untuk mendapatkan jaminan ketersediaan
metode KB secara lengkap dan pelayanan yang berkesinambungan.
11. Hak memperoleh ganti rugi, yaitu hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila
terjadi pelanggaran terhadap hak konsumen.

24
Zainab, Siti, et.al. (ed.), Anotasi 50 Buku Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (Jakarta :
Yayasan Kesejahteraan Fatayat, TT.), h. 180-181.

18
Para aktivis gender melihat bahwa dalam konteks KB, konsumen terbesar adalah
kaum perempuan karena hampir semua alat kontrasepsi yang ada sekarang ini digunakan
oleh perempuan. Sejumlah penelitian mereka menunjukkan bahwa banyak sekali kaum
perempuan yang menjadi korban penggunaan alat kontrasepsi yang tidak ia pahami
sebelumnya, mulai dari masalah kesehatan yang sederhana, kegemukan, terhentinya
menstruasi hingga masalah kesehatan reproduksi perempuan. Zohra Andi Baso, salah
seorang aktivis gender, memandang hal ini sebagai sebuah bentuk kekerasan terhadap
perempuan.25
Berangkat dari kasus ini, perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk
mengubah orientasi kebijakan demografinya dari yang bersifati kuantitatif (target)
kepada bentuk quality of care, dalam bentuk pemenuhan hak-hak konsumen,
menempatkan konsumen sebagai sentral pelayanan dan mengedapan nilai dalam
kesehatan reproduksi. Selain itu, pendekatannya pun harus diubah dari pendekatan yang
bersifat kursif (memaksa) kepada pendekatan volunteristik (kesukarelaan).
Lalu bagaimana hukum Islam menyikapi persoalan ini ?. Satu hal yang harus
digarisbawahi dalam kajian ini ialah bahwa KB dalam persfektif Islam adalah sebuah
hak bukan kewajiban. Artinya, dalam ber-KB tidak boleh ada tekanan, pemaksaan
apalagi intimidasi dari pihak lain. Hal ini sejalan dengan pengertian KB itu sendiri
sebagai sebuah perencanaan suami-isteri untuk membangun keluarga sejahtera melalui
pengaturan kelahiran, menentukan kelahiran yang diinginkan atau menentukan jumlah
anak sesuai dengan kemampuan serta situasi-kondisi masyarakat dan negara. Oleh
karena itu, suami dan isterilah yang berhak menentukan sikap mereka dalam ber-KB,
termasuk masalah jumlah anak yang mereka inginkan serta alat kontrasepsi yang akan
mereka gunakan.26
Di samping itu, betapapun pada dasarnya hukum KB adalah mubah (boleh), ia
dapat berubah menjadi haram atau wajib tergantung pada apakah ia dapat melahirkan
kemashlahatan dan mencegah munculnya kemudlaratan karena esensi hukum Islam
adalah mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Kaedah fikih menyatakan :
‫أينما وجدت المصـلحة فثم شـرع هللا‬
“Dimana ada mashlahat maka disitulah ada hukum Allah”.
E. Penutup
Berangkat dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa KB secara substansial
tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan ia merupakan salah satu bentuk
implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah kemashlahatan,
yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, mawaddah, sakinah dan penuh rahmah.
Keluarga akan melahirkan bangsa yang tangguh.

25
Ibid., h. 173-174.
26
Salah satu dictum keputusan fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami menyatakan : “Tidak boleh
mengeluarkan undang-undang untuk umum yang membatasi kebebasan suami-isteri untuk berketurunan”.
Lihat, Qororot wa Taushiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami, Op.Cit., h. 89.

19
Demikianlah kajian tentang KB dalam perspektif Hukum Islam. Semoga
bermanfaat.
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab

Ciputat, 10 Juli 2006

20
DAFTAR BACAAN

‘Ajaj al-Khatib, Muhammad , Ushul al-Hadits, terjemah oleh Qodirun Nur dan Ahmad
Syafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

Ali al-Syadzili, Hasan “Tanzim al-Nasl aw Tahdiduhu fi al-Fiqh al-Islami”, dalam


Majallat Majma’ al-Fiqh al-Islami, Vol. V, Jilid kedua, Jeddah : Majma’ al-
Fiqh al-Islami, 1988.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya ‘Ulumuddin, Jilid II,
Semarang: Toha Putera, TT..

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Beirut : Dar al-Fikr,
1981.

Hasyim, Safiq, “Keluarga Berencana dalam Islam”, dalam Amirudin dan Faqihudin
(ed.), Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Jakarta : Lkis, 2002.

Majma’ al-Fiqh al-Islami, Qororot wa Taushiyat Majma’ al-Fiqh al-Islami, Damaskus:


Dar al-Qolam, 1998.

Muslim, Naisaburi Abu al-Husain ibn Hajjaj, Shihih Muslim, Bandung : Maktabah
Dahlan, TT.

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

Qordlawi, Yusuf, al-Hady al-Islam : Fatawa al-Mu’asirah, terjemah oleh Hamid


Husein, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Quraish Shihab, Muhammad, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1992.

Sabiq, Sayyid , Fiqh al-Sunnah, Jilid II , Beirut : Dar al-Fikr, 1983.

Sayyid Tanthowi, Muhammad, “Tanzim al-Nasl wa Ro’yu al-Din fih”, dalam Majallat
Majma’ al-Fiqh al-Islami, Vol. V, Jilid II, Jeddah : Majma’ al-Fiqh al-Islami,
1988
.
al-Shon’ani, Subul al-Salam : Syarh Bulugh al-Maram, Jilid III, Bandung : Maktabah
Dahlan, TT..

al-Syaukani , Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Nail al-Author, Jilid VI, Beirut:
Dar al-Jil, 1973.

21
Zahrah, Abu, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr ‘Arabi, 1958.

Zainab, Siti, et.al. (ed.), Anotasi 50 Buku Penguatan Hak Reproduksi Perempuan,
Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Fatayat, TT..

al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid III, Damaskus: Dar al-Fikr,
1989.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta : CV. Haji Mas Agung, 1991.

---o0o---

22

Anda mungkin juga menyukai