Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

SIROSIS HEPATIS

OLEH:
YUNIKA ARUM INDRAYANTI
2019204106101085

FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2020
BAB 1
KONSEP TEORI

1.1 Definisi
1.1.1 Sirosis Hepatis
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang progresif yang ditandai
dengan adanya fibrosis yang disebabkan oleh kerusakan hati
kronis. Fibrosis hati dapat merusak fungsi hati dan menyebabkan
perubahan secara sruktural sehingga terjadi hipertensi portal.
Selama terjadinya penyakit hati kronis, kematian sel hepatosit
menyebabkan peradangan yang mengarah ke fibrosis. Selain itu,
hilangnya fungsi dari hepatosit mengakibatkan kemampuan fungsi
hati seperti memetabolisme bilirubin dan mensitesis protein
berkurang (Black, 2014)

1.1.2 Etiologi dan faktor resiko


Penyebab sirosis belum teridentifikasi dengan jelas. Etiologi
sirosis hati bervariasi secara geografis yaitu infeksi hepatitis C
kronis, hepatitis B kronis dan penyakit hati karena mengonsumsi
alkohol. Penyebab sirosis hati sebagian besar adalah penyakit hati
alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis yang telah menjadi
penyebab utamana penyakit hati kronis di negara-negara barat
seperti Amerika Serikat sedangkan hepatitis B dan hepatitis C
adalah penyebab utama sirosis hati di wilayah Asia Pasifik (Zhou et
al., 2014).
Faktor resiko utama dari sirosis hepatis adalah
mengkonsumsil alkohol, khususnya pada ketiadaan mutrisi yang
tepat. Kilen dengan riwayat keluarag alkoholik seharusnya
menghindari alkohol karena peningkatan resiko.dengan demikian
berhenti mengkonsumsi alkohol dapat menjadi upaya untuk
menurunkan terjadinya sirosis hepatis. Jika pada klien dengan
status nutrisi yang buruk kemungkinan kerusakan lebioh besar dan
kerusakan lebih parah. Hepatitis virus adalah faktor resiko primer
untuk sirosis postnekroti, yang mana pencegahan hepatitis melalui
vaksin dan menjaga kebersihan dengan baik menjadi kegiatan
promosi yang penting (Black, 2014).
Faktor resiko yang lain adalah sirosis billier dengan
kolestasis atau obstruksi duktus empedu, pemakaian obat-obatan
(seperti asetaminofen, methotreaxt/isoniazid) , kongesti hepatik
dari gagal jantung sisi kanan berat, kekurang alfa-antitripsin,
penyakit infiltratif(seperti, amyloidosis, penyakit simpanan
glikogen/hemokromatosis), penyakit wilson dan defisit nutrisi
terkait jalan pintas jejenum. Kelebihan dosisi asetamiopen
ditentukan sebagai penyebab paling sering gagal hati akut (Black,
2014)
1.1.3 Klasifikasi
Empat tipe sirosis hepatis menurut Black, 2014

Definisi Etiologi Patologi Pengkajian data Diagnosis dan intervensi


prognosis
Sirosis Pasca-akut Hatik kecil dan Hampir sama Biopsi jarum hati Pengobatan
postnekrotik / hepatitis nodular dengan sirosis menetapkan komplikasi
makronudular. virus(tipe B dan alkoholik kecuali peroses sesuai dengan
Kehilangan C), Pasca sedikitnya patologis, dalam yang di
masif sel hati intoksikasi kehilangan 5 tahun 75% butuhkan
dan pola dengan kimia massa otot dan kematian dengan
regenerasi sel industri, lebih jaundis komplikasi,
tidak teratur. beberapa infeksi peningkatan
dengan serum
gangguan aminotranferase,
metabolik. peningkatan
gama globulin.
Sirosis biilier. Primer: Stadium awal Letih, gatal Kadar serum Ursodiol,
Aliran empedu Stasis kronis biopsi menyeluruh, bilirubin naik. pengobatan
turun bersamaan empedu pada didapatkab urine gelap, Awal : 3- simtomatik ( diet
dengan duktus proses inflamasi fases pucat, 10mg/100ml tinggi kalori,
kerusakan sel interahepatik, dengan nekrosis jaundis, aliran Akhir: asupan rendah
hepotosit sekitar implikasi proses sel dan duktus. empdu >50mg/100ml lemak dengan
dan duktus autoimun Hepatosit hilang terganggu Kenaikan tinggi 30-40 g/ hari jika
empedu dan menyisakan alkalin fosfatase, masalsh
jaringan parut peningkatan berkembang,
gama globulin, sholestyramine
peningkatan untuk gatal,
lemak darah. suplemen
vitamin larut
lemak
Sekunder: Stadium akhir Staetorhea, Adanya Pengobatan
Obstruksi duktus menyerupai penurunan lipoprotein X, untuk
diluar hati sirosis absorpsi vitamin peningkatan mengurangi
postnekrotik larut lemak, garam serum obstruksi
serum lipit naik, empedu, mekanik
peningkatan hipoprotominemi
penyimpanan a, peningkatan
kolestrol pada antibodi
jaringan antimitokondria
subkutran, tanda pada kasus
hipertensi porta primer,
peningkatan
serum tembaga
pada kasus
primer
Sirosis Penyakit katup Awal Jaundis ringan, Pengingkatan Penyebab gagal
kardiak. atrioventrikuler, Pembesaran hati pembesaran hati serum bilirubin jantung kronis
Penyakit hati perikarditis berwaran gelap dan asites pada terkonjugasi, jika mungkin
kronis terkait konstriktif lama oleh darah dan orang dengan peningkatan
dnegan gagal cairan edema gangguan sulfobroomofthal
jantung sisi jantung berat ein, penurunan
kanan dan >10 tahun serum albumin,
jangka panjang Nyeri perut peningkatan
kanan atas serum
selama kongesti aminotransferas
akut e, oeningkatan
Dekompensasi Akhir Kakeksia, retensi alkali fosfatase,
karpulmonal Penebalan cairan, masalh biopsi hati.
kapsul hati sirkulasi Prognosis:
dengan bergantung pada
terjadinya perjalanan
jaringan parut penyakit jantung
Sirosis Terkait dengan Tumpukan Mungkin tidak Biopsi hati: Dukungan
alkoholik/ penyalahgunaan jaringan kolagen ada gejala untuk riwayat primer:
Mikronodular alkohol dan parut, peride lama, penyalahgunaan Koreksi
Bentuk nodul regenerasi nodul onset gejala alkohol: AST kekurangan
kecil akibat Sangat kecil, mungkin tinggi, bilirubin mineral dan
beberapa agen struktur normal tersamar atau tinggi, anemia vitamin jika
yang melukai lobulus rusak mendadak. Prognosis: ada(misal fosfat,
terus menerus Awal; lemah Adanya thiamin,
letih kehilangan komplikasi dan pyridoxine,
BB, terus-menerus vitamin K dan
Akhir : penyalahgunaan mineral
anoreksia, mual (magnesium dan
muntah, nyeri fosfat),
perut, asites, pengobatan
menstruasi tidak komplikasi
teratur, sesuai
impotensi, kebutuhan
pembesaran (misal feerrous
payudara pada sulfate untuk
laki-laki, anemia,
hematemesis, vasopresin IV
spider angioma untuk varises
esofagus,
mengurangi/
menahan protein
untuk
ensefalapati
hepatikum atau
vitamin K untuk
kecenderungan
perdarahan
1.1.4 Patofisiologis
Sirosis adalah tahap akhir pada banyak tipe cedera hati, sirosis hepatis biasanya memiliki konsistensi
noduler, dengan berkas fibrosis (jaringan parut) dan daerah kecil jaringan regenerasi. Terdapat kerusakn
luas hepatosit. Perubahan bentukhati mengubah aliran sistem vaskular dan limfatik serta jalur duktus
empedu. Periode eksaserbasi ditandai dengan statis empedu dan endapan jaundis. Hipertensi vena porta
berkembang pada sirosis berat. Vena porta menerima darah dari usus dan limpa. Jadi peningkatan pada
tekanan vena porta menyebabkan (1) aliran balik mneingkat pada tekana resisten dan pelebaran vena
esofagus, umbilikus, dan vena rektus superior, yang mengakibatkan perdarah varises (2) asites (akibat
pergeseran hidrotatis atau osmotis mengarah pada akumulasi cairan di dalam peritonium) (3) bersihan
napas metabolik tidak tuntas dengan akibat meningkatkan amonia, selanjutnya mengarah pada
ensefalohepatikum.
Kelanjutan proses sebagai akibat penyebab tidak diketahui atau penyalah gunaan alkohol biasnya
mengakibtakan kematian dari ensefalohepati hepatikum, infeksi bakteri (gram negatif), peritonitis
(bakteri), hepatoma(tumor hati), atau komplikasi hioertensi porta (Black, 2014)
1.1.5 Manifestasi klinis
a. Hematemesis dan atau Melena
Hematemesis melena merupakan perdarahan saluran
pencernaan pada bagian atas. Hematemesis mengacu
pada muntah darah, yang menunjukkan perdarahan
gastrointestinal akut. Penyakit yang menyebabkan
perdarahan gastrointestinal atas termasuk ulkus
peptikum, sirosis dengan varises esofagus atau
lambung, gastritis dan esofagitis berbagai etiologi
(Districts, 2017). Melena merupakan feses yang
berwarna gelap yang merupakan salah satu gejala
gastrointestinal paling umum. Melena sering diamati
pada perdarahan gastrointestinal atas di atas ligamen
Tretiz. Perdarahan yang terjadi pada perut dengan
jumlah 50-100 mL (Young & Yasuko, 2015)
b. Varises Esofagus
Perdarahan varises adalah komplikasi dari hipertensi
portal yang disebabkan oleh sirosis hati mengancam
jiwa dengan tingkat kematian enam minggu sekitar
20%. Pasien dengan varises berukuran sedang atau
besar dapat di obati menggunakan profilaksis utama
yaitu menggunakan nonselektif β-bloker (Triantos &
Kalafateli, 2014). Perdarahan varises adalah penyebab
kedua paling umum yang menyebabkan kematian pada
pasien sirosis hati dengan tingkat kematian yang
dilaporkan 20%- 35%. Resiko perdarahan meningkat
sesuai dengan ukuran varises (Sun et al., 2014).

Varises esofagus diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu


(0) tidak ada varises, (1) varises yang lurus dan teratur,
(2) varises yang menunjukkan penampilan seperti
manik-manik, (3) varises yang berliku-liku dengan
penampilan seperti tumor. Pasien dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok risiko rendah tanpa atau
dengan varises kecil (grade 0 atau 1) dan kelompok
berisiko tinggi dengan varises besar (grade 2 atau 3)
yang memungkinkan dapat menyebabkan perdarahan
pada varises esofagus (Echo-planar et al., 2014)
c. Asites
Asites merupakan penimbunan cairan dalam rongga
peritonium. Sebagian besar penyebab asites adalah
hipertensi portal pada pasien sirosis hati, asites juga
dapat disebabkan karena adanya keganasan atau
infeksi (Bacon, 2008).
Hipertensi portal sangat berpengaruh dalam
menimbulkan asites pada pasien yang menderita sirosis
hati. Terjadi peningkatan resistensi intrahepatik yang
menyebabkan peningkatan hipertensi portal, serta
terjadi vasodilatasi sistem arteri splanknik sehingga
meningkatnya aliran vena portal. Akibat kelainan ini
dapat meningkatkan produksi limfe splanknik. Faktor
vasodilatasi seperti nitrat oksida 17 berfungsi
menimbulkan efek vasodilatasi.
Perubahan hemodinamik menyebabkan retensi
natrium dengan cara mengaktifkan sistem renin
angiotensi aldosteron sehingga menyebabkan
terjadinya hiperaldosteronisme. Efek dari peningkatan
aldosteron pada ginjal menyebabkan retensi natrium
yang berperan dalam pembentukan asites. Retensi dari
natrium menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan
ekspansi cairan di ekstrasel sehingga terbentuknya
edema perifer dan asites. Retensi natrium merupakan
akibat dari respon homeostasis karena underfilling dari
sirkulasi arteri sekunder dengan vasodilatasi arteri
splanknik vaskularbed, karena cairan yang ada tetap
dipertahankan maka akan terjadi kebocoran kemudian
keluar dari intravaskular masuk ke dalam rongga
peritonium (Bacon, 2008).

d. Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)


Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP) merupakan
komplikasi berat dan sering terjadi pada asites ditandai
dengan infeksi intraabdominal. Pada penderita sirosis
hati dan asites berat frekuensi SBP berkisar 30%.
Escheria coli merupakan bakteri usus yang paling
sering menyebabkan terjadinya SBP, namun bakteri
Staphylococcus amerius, Streptococcus viridians bisa
ditemukan. Penentuan diagnosis SBP apabila pada
sampel cairan asites ditemukan angka sel netrofil
>250mm (Bacon, 2008).
SBP merupakan infeksi bakteri onset spontan pada
cairan asites. Resiko terjadinya SBP meningkat apabila
terjadi penurunan kadar protein pada cairan, resiko
terbesar yaitu terdapat pada pasien dengan konsentrasi
albumin Bakteri yang terlibat pada peritonitis bakterial
spontan adalah organisme enterik, tiga perempat
infeksi pada SBP disebabkan karena adanya bakteri
gram negatif (Escherichia coli) dan seperempat
disebabkan karena bakteri gram positif aerob (spesies
Streptococcal) (Emmanuel & Inns, 2014).
SBP memiliki mortalitas sebanyak 20% - 40% dan
biasanya memiliki gejala seperti demam, skait perut,
gangguan fungsi ginjal, hipertensi dan berkembang
menjadi ensefalopati. Prevalensi SBP menurun sekitar
30% - 40% karena adanya diagnosis dini dan
pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. SBP
merupakan masalah umum penyebab kematian karena
infeksi bakteri, penanganannya diberikan antibiotik
golongan sefalosporin generasi kedua atau cefotaxin
dengan dosis 2 gram intravena setiap 8 jam selama 5
hari (Shahramian et al., 2015)
e. Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatik adalah koplikasi umum
hipertennsi portal dan sirosis yang terlihat pada 50% -
70% pasien, yang memiliki manifestasi sebagai
spektrum pada kelainan neuropsikiatrik yang biasanya
ditemukan pada pasien portosystemic shunting dan
sirosis. HE (HepaticEncephalopathy) terjadi karena
metabolit toksik tidak dapat diekskresi oleh hati yang
fungsinya terganggu. Metabolit toksik memotong jalur
hati sehingga terbentuk shunt portosistemik dan
memberikan pengaruh pada otak. Mekanisme
terjadinya ensefalopati hepatik dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu efek toksik amonia pada otak
merupakan faktor yang paling utama (Emmanuel &
Inns, 2014). Mekanisme terjadinya karena hiperamonia
sehingga terjadi penurunan hepatic uptake akibat dari
intrahepatic portal systemic shunt atau penurunan
sistesis pada glitamik dan urea. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi timbulnya efek HE seperti infeksi,
ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan, pemberian
obat-obat sedatif, dan protein dengan porsi tinggi
(Sanyal et al., 2008).
Encephalopathy hepatic adalah bagian dari
spektrum perubahan pada sirosis hati. HE dibagi
menjadi 2 berdasarkan tingkat keparahan, yaitu : Cover
Hepatic Encephalopathy (CHE) dan Overt Hepatic
Encephalopathy (OHE). CHE memiliki dampak yang
sangat signifikan terhadap kualitas hidup pasien dab
dapat dikaitkan dengan meningkatnya rawat inap dan
kematian, demikian juga OHE dapat dikaitkan dengan
peningkatan tingkat rawat inap dan kematian dan
kualitas hidup yang buruk. Pengobatan HE
menggunakan disakarida yang tidak dapat diabsorbsi,
antibiotik seperti rifampisin dan probiotik.
Terapi lain saat ini yang sedang diselidiki lebih
lanjut adalah L-ornithine-L-aspartat, phenylacetat
ornithine, gliserol phenylbutyrate, sistem absorben
sirkulasi molekul, dan infus albumin(Patidar et al.,
2015). Selain itu, pemberian laktulose dan neomisin 19
(antibiotika yang tidak diabsorbsi mukosa usus) cukup
efektif untuk mencegah terjadinya HE (Sanyal et al.,
2008).
1.1.6 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Sirosis Hati dengan Hematemesis dan
atau Melena
Pasien dengan hematemesis dan atau melena dapat
diberikan asam traneksamat dan vitamin K. Asan
traneksamat digunakan untuk pengobatan perdarahan
saluran cerna bagian atas. Asam traneksamat mengikat
plasminogen selama trombogebesis, mengganggu
pengikatan plasminogen dan fibrin, menghambat
fibrinolisis sehingga dapat memberikan efek
antifibrinolitik dan mendorong pembentukan trombus
dan hemostasis (Ko et al., 2017).
Asam traneksamat digunakan secara peroral dan
intravena lambat atau infus secara terus menerus.
Dosis parenteral biasanya diubah menjadi oral setelah
beberapa hari dan injeksi intravena awal dapat diikuti
dengan infus secara terus menerus. Penggunaan
perdarahan jangka pendek, dosis oral yang digunakan 1
sampai 1,5 g (atau 15 sampai 25 mg/kg) 2 sampai 4 kali
sehari. Dosis injeksi intravena lambat yaitu 0,5 sampai
1 g (atau 10 mg/kg) 3 kali sehari. Asam traneksamat
diberikan melalui infus secara terus menerus dengan
kecepatan 25 sampai 50 mg/kg setiap hari (Sweetman,
2009). Vitamin K merupakan kofaktor penting dalam
proses sintesis hati protrombin (faktor II) dan faktor
pembekuan darah (faktor VII, IX, X, protein C dan S).
Dosis vitamin K yang diberikan yaitu 0,5 mg sampai 5
mg secara injeksi intravena lambat atau sampai dengan
5 mg secara oral (Sweetman, 2009).
b. Penatalaksanaan Sirosis Hati dengan Varises Esofagus
Pasien dengan varises esofagus dapat menggunakan
profilaksis utama yaitu nonselektif β-bloker. Terapi obat
vasoaktif untuk menghentikan atau memperlambat
perdarahan adalah okreotid, digunakan secara rutin
pada awal penatalaksanaan pasien. Okreotid diberikan
secara iv bolus 50 mcg diikuti dengan pemberian infus
50 mcg/jam, diberikan selama 5 hari setelah terjadi
perdarahan varises akut dan dilakukan pemantauan
terhadap hipoglikemia dan hiperglikemia. Penggunaan
vasopresin atau kombinasi vasopresin dengan
nitrogliserin tidak direkomendasikan untuk pasien
perdarahan varises karena dapat menyebabkan
vasokonstriksi non selektif, iskemia atau infark
miokard, aritmia, iskemia mesenterika, atau kecelakaan
serebrovaskular. Pada pasien dengan tanda infeksi 23
atau asites terapi antibiotik harus digunakan lebih awal
untuk mencegah sepsis pada pasien. Diberikan
norfloxacin peroral 400 mg dua kali sehari dan
ciprofloxacin secara iv (Wells et al., 2015).
c. Penatalaksanaan Sirosis Hati dengan Asites
Perawatan asites sekunder untuk hipertensi portal
memiliki pantangan mengonsumsi alkohol, pembatasan
natrium dan diuretik. Batasan natrium klorida hingga 2
g/hari. Terapi diuretik dimulai dengan dosis tunggal
spironolakton 100 mg dan furosemid 40 mg dangan
target penurunan berat badan tiap harinya maksimum
0,5 kg. Dosis masing-masing dapat ditingkatkan secara
bersamaan dengan cara tetap mempertahankan rasio
100:40 mg hingga mencapai dosis tiap harinya
maksimum furosemid 160 mg dan spironolakton 400
mg (Wells et al., 2015).
d. Penatalaksanaan Sirosis Hati dengan Spontaneus
Bacterial Peritonitis (SBP)
 Terapi Albumin SBP didiagnosa dengan adanya
sejumlah neutrofil, yaitu 250/mm3 dalam cairan
asites. Angka kematian di rumah sakit sekitar
20%. Angka kematian dapat dikaitkan dengan
dampak sitokin proinflamasi pada sistem
kardiovaskular yang akhirnya mengarah pada
gagal ginjal dan kadang-kadang pada multiorgan.
Oleh karena itu, diagnosis dan pengobatan dini
sangat penting untuk mencegah kerusakan
hemodinamik. Albumin harus diberikan dengan
dosis 1,5 g/kgBB pada hari pertama dan
kemudian 1 g/kgBB pada hari ketiga. Dari data
yang tersedia menunjukkan bahwa efek yang
paling mencolok diperoleh pada pasien dengan
gagal hati berat, yaitu memiliki serum bilirubin
diatas 4 mg/dl dan serum kreatinin diatas 1 mg/dl
(Bernardi et al., 2014).
 Terapi Atibiotik Empiris Pasien dengan SBP dapat
dilakukan pencegahan dengan menerima terapi
antibiotik spektrum luas sebagai perlindungan
terhadap bakteri Escherichia coli, Klabsiella
pneumoniae, dan Streptococcuc pneumoniae.
Pemberian obat sefotaksim 2 g setiap 8 jam, atau
sefalosporin generasi ketiga selama 5 hari 24
merupakan pilihan untuk pengobatan. Ofloxacin
400 mg peroral setiap 12 jam setara dengan
pemberian secara IV cefotaxim. Pasien yang
selamat dari SBP harus menerima profilaksis
antibiotik dalam jangka waktu yang panjang
dengan norfloxacin 400 mg atau trimetoprim-
sulfametoksazol berkekuatan ganda (Wells et al.,
2015).
e. Penatalaksanaan Sirosis Hati dengan Ensefalopati
Hepatik
 Terapi Laktulosa Untuk mengurangi konsentrasi
amonia dalam darah pada pasien HE maka
asupan protein harus dibatasi (sambil
mempertahankan asupan kalori) sampai keadaan
membaik. Asupan protein dapat dititrasi kembali
berdasarkan toleransi sebanyak 1 hingga 1,5
kg/hari. Untuk mengurangi konsentrasi amonia
dalam darah pada pasien HE, dapat diberikan
laktulosa dimulai pada 45 mL peroral setiap jam
atau 300 mL sirup laktulosa dengan 700 mL air
selama 60 menit. Dosis kemudian dapat dikurangi
menjadi 15 hingga 30 mL peroral setiap 8 jam
sampai 12 jam (Wells et al., 2015).
 Terapi Antibiotik Rifaximin merupakan antibiotik
oral spektrum luas diserap secara minimal,
dengan aktivitas melawan anaerob gram negatif
dan gram positif dan anaerob di usus yang telah
terbukti setara atau lebih unggul dibandingkan
dengan agen lain dalam pengobatan HE.
Pengobatan rifaximin 550 mg dua kali sehari
selama 6 bulan (Jawaro et al., 2016).
 Terapi L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) Terapi L-
Ornithine L-Aspartate (LOLA) merupakan
senyawa garam yang menstimulasi
transcarbamolyase ornithine dan coabamoyl
phosphate synthetase dan merupakan substrat
untuk pembentukan urea. LOLA bekerja dengan
cara merangsang sintesis glutamin di otot rangka
dan mengakibatkan penurunan amonia (Leise et
al., 2014). LOLA telah dievaluasi menjadi terapi
alternatif jangka pendek yang aman, efektif, dan
dapat ditoleransi dengan baik pada pasien sirosis
dengan ensefalopati hepatik yang stabil dan
pasien kronis (Jawaro et al., 2016).

1.1.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang menurut (Price & Wilson, 2012) :
a. Radiologis a. Foto polos abdomen. Tujuannya : untuk
dapat memperlihatkan densitas klasifikasi pada hati ,
kandung empedu, cabang saluran-saluran empedu dan
pancreas juga dapat memperlihatkan adanya
hepatomegalimegali atau asites nyata.
b. Ultrasonografi (USG) Metode yang disukai untuk
mendeteksi hepatomegalimegali atau kistik didalam
hati.
c. CT scan Pencitraan beresolusi tinggi pada hati,
kandung empedu, pancreas, dan limpa; menunjukan
adanya batu, massa padat, kista, abses dan kelainan
struktur: sering dipaki dengan bahan kontras.
d. Magnetik Resonance Imaging (MRI) (Pengambilan
gambar organ)
e. Pemakaian sama dengan CT scan tetapi memiliki
kepekaan lebih tinggi, juga dapat mendeteksi aliran
darah dan sumbatan pembuluh darah; non invasive. 12
2. Laboratorium
a. Ekskresi hati dan empedu : Mengukur kemampuan hati
untuk mengonjugasi dan mengekskresi pigmen
empedu, antara lain
 Bilirubin serum direk (Terkonjugasi) Meningkat
apabila terjadi gangguan ekskresi bilirubin
terkonjugasi (Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl).
 Bilirubin serum indirek (Tidak terkonjugasi)
Meningkat pada keadaan hemolitik dan sindrom
Gilbert (Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl).
 Bilirubin serum total Bilirubin serum direk dan
total meningkat pada penyakit hepatoseluler (Nilai
normalnya 0,3-1,0 mg/dl).
b. Metabolisme Protein
 Protein serum total : sebagian besar protein serum
dan protein pembekuan disintesis oleh hati
sehingga kadarnya menurun pada berbagai
gangguan hati. (Nilai normalnya 6-8 gr/dl) Albumin
serum (Nilai normalnya : 3,2-5,5 gr/dl) Globulin
serum (Nilai normalnya : 2,0-3,5 gr/dl)
 Massa Protrombin (Nilai normalnya : 11-15 detik)
Meningkat pada penurunan sintesis protrombin
akibat kerusakan sel hati atau berkurangnya
absorpsi vitamin K pada obstruksi empedu. Vitamin
K penting untuk sintesis protrombin Prothrombin
time (PT) memanjang (akibat kerusakan sintesis
protombin dan faktor pembekuan)
 Biopsi hepar dapat memastikan diagnosis bila
pemeriksaan serum dan pemeriksaan radiologis tak
dapat menyimpulkan
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Identifikasi klien
Meliputi nama, tempt tanggal lahir, jenis kelamin, status
kawinn, agama pendidikan, pekerjaan, alamat, No RM,
dan diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien datang dengan keluhan lemah atau
letih,otot lemah, anoreksia, kembung, perut terasa tidak
enak, keluhan perut terasa semakin membesar, berat
badan menurun, gangguan buang air kecil, gangguan
buang air besar, sesak napas.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Klien dengan sirosis hepais memiliki riwayat
penyalahgunaan alcohol dalam jangka waktu yang lama,
sebelumnya ada riwayat hepatitis kronis, riwayat gagal
jantung, riwayat pemakaian obat-obatan, merokok.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya keluarga yang menderita penyakit hepatitis atau
sirosis hepatis.

2.2 Pemeriksaan fisik


1. Wajah
Terdapat bintik-bintik merah, ukuran 5-20
mm, ditengahnya tampak pembuluh darah, suatu arteri
kecil yang kadang-kadang dapat teraba berdenyut disebut
spider nevy (angio laba-laba).
2. Mata
Konjungtiva tampak pucat, sklera ikterik.
3. Mulut
Bau napas khas disebabkan karena peningkatan
konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik
yang berat. Membran mukosa kering dan ikterus.  Bibir
tampak pucat.
4. Hidunng
Terdapat pernapasan cuping hidung
5. Thorax
a. Jantung
 Inspeksi          : biasanya pergerakan apeks kordis
tidak terlihat
 Palpasi            : biasanya apeks kordis tidak teraba
 Pelkusi            : biasanya tidak terdapat pembesaran
jantung
 Auskultasi      : biasanya normal, tidak ada bunyi
suara ketiga
b. Paru-paru
 Inspeksi           : biasanya pasien menggunakan otot
bantu pernapasan
 Palpasi             : biasanya vremitus kiri dan kanan
sama
 Perkusi              : biasanya resonance, bila terdapat
efusi pleura bunyinya redup
 Auskultasi       : biasanya vesikuler
c. Abdomen
 Inspeksi      : umbilicus menonjol, asites.
 Palpasi        : sebagian besar penderita hati mudah
teraba dan terasa keras. Nyeri tumpul atau perasaan
berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas.
 Perkusi       : dulnes.
 Auskultasi  : biasanya bising usus cepat
d. Ekstremitas
Pada ekstremitas atas telapak tangan menjadi hiperemesis
(erithema palmare).
Pada ekstremitas bawah ditemukan edema. cavilari revil
lebih dari 2 detik.
e. Kulit
Karena fungsi hati terganggu mengakibat bilirubin tidak
terkonjugasi sehingga Kulit tampak ikterus. Turgor kulit
jelek .
f. Pemeriksaan penunjang
1) Uji faal hepar
 Bilirubin menningkat (N: 0,2-1,4 gr%).
 SGOT meningkat (N: 10-40 u/c).
 SGPT meningkat (N: 5-35 u/c).
 Protein total menurun (N: 6,6-8 gr/dl).
 Albumin menurun.

2) USG
Gambaran USG tergantung pada tingkat berat
ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis
akan tampak hati membesar, permulaan irregular,
tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat
perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan
permukaan hati yang irregular. Sebagian hati
tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas
nomal.
3) CT (chomputed tomography)
Memberikan informasi tentang pembesaran hati dan
aliran darah hepatic serta obstruksi aliran tersebut.
4) MRI
Memberikan informasi tentang pembesaran hati dan
aliran darah hepatic serta obstruksi aliran tersebut.
5) Analisa gas darah
Analisa gas darah arterial dapat mengungkapkan
gangguan keseimbangan ventilasi-pervusi dan
hipooksia pada sirosis hepatis.

2.3 Diagnosa Keperawatan


1) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan
upaya napas
4) Resiko defisit nutrisi dengan faktor resiko
5) Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran mengalami
kegagalan
6) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perbubahan
struktur / bentuk tubuh

BAB III
TINJAUN KASUS
Tn. M.N berusia 54 tahun, di Ruangan Kelimutu C4
RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang berdomisili di
Labat. Pendidikan terakhir SMA, sudah menikah dan
memiliki 4 orang anak, beragama Kristen, bekerja sebagai
petani. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 18-06-
2018 dengan diagnose medis Sirosis Hepatis.. Pasien
sudah menderita sirosis hepatis sejak tiga bulan yang lalu.
pasien mengatakan terasa nyeri di bagian perut, karena
akibat dari kerusakan hati. Nyeri terasa seperti tertikam
dan menyebar sampai ke seluruh area perut, dengan skala
6 (sedang), dan nyeri hilang timbul biasanya muncul pada
pagi dan malam hari. Saat pasien MRS mengeluh sesak
ketika beraktifitas Pasien mengatakan sebelumnya tidak
pernah mengalami sakit berat, hanya sakit perut, demam,
batuk pilek, dan nyeri uluhati. Pasien tidak pernah berobat
ke fasilitas kesehatan karena tidak memiliki kartu jaminan
kesehatan. Pasien juga mengatakan tidak memiliki riwayat
alergi. Pasien mengatakan kadang-kadang mengkonsumsi
kopi, dan juga memiliki kebiasaan minum alkohol kurang
lebih 10x dalam sebulan. Pada pengkajian fisik didapatkan
data berupa tanda-tanda vital: Tekanan Darah 130/90
mmHg, Nadi: 106x/menit, Pernapasan: 29x/menit, Suhu
tubuh: 36,5oC.

Selain itu saat pemeriksaan ditemukan: konjungtiva


tampak anemis, wajah tampak pucat, tampak adanya
asites, edema pada kaki dengan pitting udem derajat 2
terlihat menggunakan otot bantu pernapasan, orthopnea.
Banyaknya minum dalam sehari dibatasi yaitu kurang
lebih 200 cc ( 1 gelas aqua). BAK kurang lebih 10x dalam
sehari dengan warna kuning. Dari data laboratorium, pada
pemeriksaan darah didapatkan Hemoglobin 8,8g/dL
(normalnya 13,0-18,0 g/dL), jumlah eritrosit: 2,65 10^6/ul
(normalnya 4,50-6,20 10^6/ul), hematokrit: 2,68%
(normalnya 40,0-54,0%), MCV: 101 fL (normalnya 81,0-
96,0 fL), RDW-CV: 16,3 %(normalnya 11,0-16,0%), RDW-
SD: 59,3 fL (normalnya 37-54 fL), Albumin: 1,1 mg/L
(normalnya 3,5-5,2 mg/L), SGPT: 69 U/L (normalnya < 41
U/L), SGOT: 154 U/L (normalnya < 35 U/L), Klorida darah:
119 mmol/L (normalnya 96- 111 mmol/L), Calcium ion:
0,830 mmol/L (normalnya 1,120-1,320 mmol/L). HBsAg
Rapid Test: non reaktif (non reaktif), PT/ waktu
protrombin: 17,4 detik (normalnya 10,8-14,4), bilirubin
total: 8,20 mg/dL (normalnya 0,1-1,2 mg/dL), bilirubin
direk: 4,20 mg/dL (normalnya < 0,2 mg/dL), bilirubin
indirek: 4,00 mg/dL (normalnya 0,00- 0,70mg/dL). Dari
pemeriksaan khusus didapatkan hasil Ultrasonographi:
Cirhosis Hepatitis + Asites. Pengobatan yang diberikan
untuk pasien adalah Furosemid 6 ampul dalam Nacl 0,9%
500cc/24 jam; spironolakton 1x100mg, Drip albumin 20%
100cc, Vip albumin 3x1 per oral, proponalol 1x100 mg per
oral, ranitidin 2 ampul/IV.

A. Pengkajian
Identitas :.
Tn. M.N berusia 54 tahun, berdomisili di Labat. Kelimutu
C4 RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Pendidikan terakhir
SMA, sudah menikah dan memiliki 4 orang anak, beragama
Kristen, bekerja sebagai petani. Pasien masuk rumah sakit
pada tanggal 18-06-2018 dengan diagnose medis Sirosis
Hepatis.
Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak
Riwayat Kesehatan
Saat dikaji pasien mengatakan sesak saat beraktifitas dan
mengeluh nyeri di bagian perut. Nyeri terasa seperti tertikam
dan menyebar sampai ke seluruh area perut, dengan skala 6
(sedang), dan nyeri hilang timbul biasanya muncul pada pagi
dan malam hari. Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah
mengalami sakit berat, hanya sakit perut, demam, batuk pilek,
dan nyeri uluhati. Pasien tidak pernah berobat ke fasilitas
kesehatan karena tidak memiliki kartu jaminan kesehatan.
Pasien juga mengatakan tidak memiliki riwayat alergi. Pasien
mengatakan kadang-kadang mengkonsumsi kopi, dan juga
memiliki kebiasaan minum alkohol kurang lebih 10x dalam
sebulan.
Pemeriksaan laobratorium
pemeriksaan darah didapatkan Hemoglobin 8,8g/dL
(normalnya 13,0-18,0 g/dL), jumlah eritrosit: 2,65 10^6/ul
(normalnya 4,50-6,20 10^6/ul), hematokrit: 2,68% (normalnya
40,0-54,0%), MCV: 101 fL (normalnya 81,0-96,0 fL), RDW-CV:
16,3 %(normalnya 11,0-16,0%), RDW-SD: 59,3 fL (normalnya
37-54 fL), Albumin: 1,1 mg/L (normalnya 3,5-5,2 mg/L), SGPT:
69 U/L (normalnya < 41 U/L), SGOT: 154 U/L (normalnya < 35
U/L), Klorida darah: 119 mmol/L (normalnya 96- 111 mmol/L),
Calcium ion: 0,830 mmol/L (normalnya 1,120-1,320 mmol/L).
HBsAg Rapid Test: non reaktif (non reaktif), PT/ waktu
protrombin: 17,4 detik (normalnya 10,8-14,4), bilirubin total:
8,20 mg/dL (normalnya 0,1-1,2 mg/dL), bilirubin direk: 4,20
mg/dL (normalnya < 0,2 mg/dL), bilirubin indirek: 4,00 mg/dL
(normalnya 0,00- 0,70mg/dL). Dari pemeriksaan khusus
didapatkan hasil Ultrasonographi: Cirhosis Hepatitis + Asites

pengobatan:

Furosemid 6 ampul dalam Nacl 0,9% 500cc/24 jam;


spironolakton 1x100mg, Drip albumin 20% 100cc, Vip
albumin 3x1 per oral, proponalol 1x100 mg per oral,
ranitidin 2 ampul/IV.

B. Analisa data
Data mayor & data Penyebab Masalah Diagnose
minor keperawat keperawatan
an
DS: Hambatan Pola napas Pola napas
Pasien mengeluh upaya napas tidak efektif tidak efektif
sesak ketika berhubungan
beraktifitas dengan
DO: hambatan
1. Penggunaan upaya napas
otot bantu
pernapasan
2. Takipnea

DS: Gangguan hipervolemi Hypervolemia


pasien mengatakan mekanisme a berhubungan
jika perutnya regulasi dengan
membesar dan gangguan
terasa penuh mekanisme
DO: regulasi
1. Edema perifer
2. Dispnea
3. Ortopnea
DS: Nyeri akut Agen Nyeri akut
Pasien mengeluh cedera berhubungan
nyeri fisiologis dengan agen
DO: edera fisiologis
1. Tampak
meringis
2. Gelisah
3. Takikardi
4. Sulit tidur
P:Sirosis hepatis
Q: nyeri tusuk
R: abdomen
S: 6
T: Hilang timbul di
waktu tertentu

C. Asuhan keperawatan
Diagnose Luaran Intervensi
keperawatan
Pola napas tidak Setelah Manajemen Jalan
efektif dilakuakan Napas (I.01011)
berhubungan tindakan observasi
dengan keperawatan 1. Monitor pola napas
hambatan upaya 1x1 jam di (frekuensi,kedalaman,
napas (D.0005) harapakan usaha napas).
”pola napas 2. Monitor bunyi napas
membaik” tambahn .Gurgling,
dengan mengi, wheezing,
keriteral ronkhikering)
hasil: 3. Monitor sputum
1. Disnpnea (jumlah, warna,aroma)-
menurun Terapeutik: 
2. Penggunaa 1. Pertahankan kepatenan
n otot jalannapas dengan
bantu head.till dan chin-lift
napas (jaw-thrust jika curiga
menurun traumaservikal)
3. Frekuensi 2. Posisikan semi-fowler
napas atau fowler
membaik 3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan
lendirkurang dari
15detik
6. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan
benda pada dengan
forsep
8. Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi:
 
1. Anjurkan asupan
cairan2000ml/hari, jika
tidakkontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk
efektif-
 
Kolaborasi
1.
pembeian bronkodilator,eksp
ektoran, mukolitik, jika perlu

Hypervolemia Setelah Manajemen hipervolemi


berhubungan dilakukan (I.03114)
dengan tindakan Observasi
gangguan keperawatan
mekanisme 1x24 jam 1. Periksa tanda dan
regulasi diharapkan gejala hypervolemia
(D.0022) “keseimbang 2. Identifikasi penyebab
an cairan hypervolemia
meningkat” 3. Monitor status
dengan hemodinamik, tekanan
kriteria hasil: darah, MAP, CVP, PAP,
1. Edema PCWP, CO jika tersedia
menurun 4. Monitor intaje dan
2. Asites output cairan
menurun 5. Monitor tanda
3. Nadi hemokonsentrasi
membaik ( kadar Natrium, BUN,
menurun hematocrit, berat jenis
4. Turgor urine)
kulit 6. Monitor tanda
membaik peningkatan tekanan
onkotik plasma
7. Monitor kecepatan infus
secara ketat
8. Monitor efek samping
diuretic
Terapeutik

1. Timbang berat bada


setiap hari pada waktu
yang sama
2. Batasi asupan cairan
dan garam
3. Tinggikan kepala
tempat tidur 30-40
derajat
Edukasi
1. Anjurkan melapor jika
haluaran urine <0.5
ml/kg/jam dalam 6 jam
2. Anjurkan melapor jika
BB bertambah > 1 kg
dalam sehari
3. Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan
dan haluaran cairan
4. Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
diuritik
2. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium
akibat diuretic
3. Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy

Nyeri akut Setelah Manajemen Nyeri


berhubungan dilakukan (I.08238)
dengan agen tindakan
cedera fisiologis keperawatan Observasi
(D:0077) selama 1x24
jam, 1. lokasi,
diharapkan karakteristik, durasi,
“Tingkat frekuensi, kualitas,
Nyeri intensitas nyeri
(L/08066)” 2. Identifikasi skala
menurun, nyeri
dengan 3. Identifikasi
kriteria hasil : respon nyeri non verbal
1. Keluhan 4. Identifikasi faktor
nyeri yang memperberat dan
menurun memperingan nyeri
2. Kesulitan 5. Identifikasi
tidur pengetahuan dan
menurun keyakinan tentang nyeri
3. Gelisah 6. Identifikasi
menurun pengaruh budaya terhadap
4. Mual respon nyeri
menurun 7. Identifikasi
5. Pola tidur pengaruh nyeri pada
meningkat kualitas hidup
8. Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
9. Monitor efek
samping penggunaan
analgetik

Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan
penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan
memonitor nyri secara
mandiri
4. Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

PEMBERIAN ANALGETIK
(I.08243)
Observasi

1. Identifikasi karakteristik
nyeri (mis. Pencetus,
pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi,
durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi
obat
3. Identifikasi kesesuaian
jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-narkotika,
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesic
5. Monitor efektifitas
analgesik

Terapeutik

1. Diskusikan jenis analgesik


yang disukai untuk
mencapai analgesia
optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan
penggunaan infus kontinu,
atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar
dalam serum
3. Tetapkan target efektifitas
analgesic untuk
mengoptimalkan respon
pasien
4. Dokumentasikan respon
terhadap efek analgesic
dan efek yang tidak
diinginkan

Edukasi

1. Jelaskan efek terapi dan


efek samping obat
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian dosis


dan jenis analgesik, sesuai
indikasi

D. Analisa EBN

E. Analisia intervensi via youtube

Daftar Pustaka
Bernardi, M., Ricci, C. S., & Zaccherini, G. 2014. Role of
Human Albumin in the Management of Complications of
Liver Cirrhosis. Journal of Clinical and Experimental
Hepatology, 1–10.
https://doi.org/10.1016/j.jceh.2014.08.007
Bacon, B. 2008. Cirrhosis its Complication in DI Kasper, AS
Fauci, DL Longo, E Braunwald, Sl Hauser, JLJameson
(edits) Harrisons’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition. New York: Mc Graw Hill.
Black, J,M et al.2014. Keperawatan Medika bedah. Manajemen
Klinis Untuk Hasil yang Diharapkan. Singapure: Elsevie
Districts, B. 2017. Risk Factors for Hematemesis in Hoima and
Buliisa Districts, Western Uganda, September-October
2015. Pan African Medical Journal, 8688 (October 2015),
1–9. https://doi.org/10.11604/pamj.2017.28.215.12395
Echo-planar, E., Glaser, K. J., & Ehman, R. L. 2014. Prediction
of Esophageal Varices in Patients with Cirrhosis :
Usefulness of Three-dimensional. Radiology, 272(1), 143–
153.
Emmanuel, A., & Inns, S. 2014. Gastroenterologi and
Hepatology Lecture Notes. Jakarta: Erlangga.
Jawaro, T., Yang, A., Candidate, P., Dixit, D., & Bridgeman, M.
B. 2016. Management of Hepatic Encephalopathy : A
Primer. Annals of Pharmacotherapy, 1 –9.
https://doi.org/10.1177/1060028016645826
Ko, D. H., Kim, T. H., Kim, J. W., Gu, J. J., Yoon, B. H., Oh, J. H.,
& Hong, S. G. 2017. Tranexamic Acid-Induced Acute Renal
Cortical Necrosis in PostEndoscopic Papillectomy
Bleeding. Clin Endosc, 50, 609–613.
Patidar, K. R., Sydnor, M., & Sanyal, A. J. 2015. Trasjugukar
interahepatic portosystemic shut. NIH Public Access. Clin
Liver Dis, 18(4), 853–876.
https://doi.org/10.1016/j.cld.2014.07.006
Sweetman, S. C. (Ed.). 2009. Martindale Thirty-sixth Edition.
China: Pharmaceitical Press.
Sun, H. Y., Lee, J. M., Han, J. K., & Choi, I. 2014. Usefulness of
MR Elastography for Predicting Esophageal Varices in
Cirrhotic Patients. Journal of Magnetic Resonance
Imaging, 566, 559–566. https://doi.org/10.1002/jmri.24186
Shahramian, I., Rahmani, A., & Javaherizadeh, H. 2015. Artigo
Original / Original Article Evaluation of Leukocyte
Esterase Reagent Strips Test in The Diagnosis of
Spontaneous Bacterial. Arq Gastroenterol, 52(3), 195–
199. https://doi.org/10.1590/S0004-28032015000300008
Sanyal, A. J., Bosch, J., Blei, A., & Arroyol, V. 2008. Portal
Hypertension and Its Complications. Gastroenterology,
134, 1715–1728.
Triantos, C., & Kalafateli, M. 2014. Endoscopic Treatment of
Esophageal Varices on Patients with Liver Cirrhosis.
World J Gastroenterol, 20(36), 13015–13026.
https://doi.org/10.3748/wjg.v20.i36.13015
Wells, B. G., Dipiro, J. T., Scwinghammer, T. L., & Dipiro, C. V.
2015. Pharmacotherapy Handbook.Ninth Edition. New
York: Mc Graw Hill
Young, M., & Yasuko, K. 2015. Can Hypersplenism Secondary
to Portal xxii Hypertension Be Treated by Non-Selective
Beta Blockers . Hepatol Int, 1– 2.
https://doi.org/10.1007/s12072-014-9601-1
Zhou, W., Zhang, Q., & Qiao, L. 2014. Pathogenesis of Liver
Cirrhosis. World J Gastroenterol, 20(23), 7312–7324.
https://doi.org/10.3748/wjg.v20.i23.7312
.

Anda mungkin juga menyukai