Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH TEORI KEPRIBADIAN ERIK H.

ERIKSON

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Kepribadian yang
diampu oleh Dr.Mamat Supriatna, M.Pd

Oleh :

Syahrul Satura

1507415

DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran allah yang mahakuasa, karena atas berkat
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat waktu.
Makalah yang berjudul “TEORI KEPRIBADIAN ERIK H. ERIKSON”
menerangkan tentang teori, struktur, dinamika kepribadian menurut Erik Erikson.

Penulis menulis makalah ini bertujuan agar pembaca dapat mengetahui teori,
struktur, dan dinamika kepribadian serta implikasi teroti kepribadian yang
dikemukakan oleh Erik Erikson dalam ranah bimbingan dan konseling. Makalah
ini telah saya susun seoptimal mungkin, maka kami ucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Seperti
halnya peribahasa “Tiada gading yang tak retak” tiada hal yang sempurna,
termasuk makalah yang kami buat.

Akhir kata semoga makalah yang kami buat tentang teori kepribadian menurut
Erik H Erikson dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandung 20 Mei 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR .......................................................................................... ...i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................
1
A. Latar
Belakang.......................................................................................1
B. Identifikasi & Batasan
Masalah.............................................................2
C. Rumusan Masalah.................................................................................
2
D. Tujuan...............................................................................…………….2
E. Manfaat.......................................................................... .......................2
BAB II
PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Biografi Erik H.
Erikson ........................................................................3
B. Konsep
Kerpribadian .............................................................................4
C. Struktur Kepribadian .............................................................................6
D. Dinamika
Kepribadian ...........................................................................7
E. Pembahasan .........................................................................................18
F. Implikasi ..............................................................................................21
BAB III PENUTUP................................................................................................24
Simpulan...................................................................................................... 24
PETA TEORI KEPRIBADIAN ............................................................................
25
GLOSARIUM .......................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi kepribadian menurut Mischel & Shoda (2003), “The concept of
personality rests on the assumption that individuals have distinctive
qualities that are relatively invariant across situations and over time”,
atau konsep kepribadian bersandar pada asumsi bahwa individu
mempunyai kualitas yang khusus yang secara relative menetap melewati
situasi dari waktu ke waktu. Menurut Pervin, Cervon, dan John (2010)
Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya
konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku. Definisi kepribadian
menurut Derlega, Winstead & Jones(dalam Yusuf & Nurihsan, 2013,
hlm.3) kepribadian merupakan sistem yang relatif stabil mengenai
karakteristik individu yang bersifat internal, yang berkontribusi terhadap
pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang konsisten.
Kepribadian adalah kualitas masing-masing individu yang menyebabkan
munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku. Selain itu,
kepribadian juga sebagai susunan sistem psikofisik yang dinamis dalam
diri individu.

Mutu pendidikan selalu menjadi sorotan dari berbagai pihak. Mutu


pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu pembelajaran. Sebenarnya
banyak teori yang telah terbukti secara empiris dapat meningkatkan mutu
pembelajaran, di antaranya adalah teori kepribadian Erik Erikson. Teori ini
masih relevan dengan pembelajaran berbasis kompetensi. Pemahaman
guru terhadap teori pembelajaran masih beragam sebagian besar guru
mengajar tidak berlandaskan teori belajar tertentu. Mereka mengajar yang
penting tujuan tercapai dan pembelajaran dapat dinyatakan tuntas. Oleh
karena itu pentingnya untuk mempelajari konsep, struktur dan dinamika
kepribadian, agar pembaca minimal mengetahui konsep, struktur dan
dinamika kepribadian.

ii
B. Identifikasi & Batasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan masalah yang terlalu luas, dan
pembahasan masalah lebih terarah, maka penulis membatasi masalah
sebagai berikut :
1. Biografi Erik H. Erikson
2. Konsep kepribadian menurut Erik H. Erikson
3. Struktur kepribadian menurut Erik H. Erikson
4. Dinamika kepribadian menurut Erik H. Erikson

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Erik H. Erison?
2. Bagaimana konsep kepribadian menurut Erik H. Erikson?
3. Bagaimana struktur kepribadian menurut Erik H. Erikson?
4. Bagaimana dinamika kepribadian menurut Erik H. Erikson?
5. Apa implikasi teori kepribadian meurut Erik H. Erikson terhadap
Bimbingan dan Konseling?
D. Tujuan Penulisan
Agar pembaca dapat mengetahui konsep, struktur, dan dinamika
kepribadian menurut Erik H. Erikson , dan diharapkan dapat menjadi
referensi dalam materi teori kepribadian menurut Erik H. Erikson.

E. Manfaat
Agar pembaca dapat mengetahui dan menerapkan materi mengenai
konsep, struktur, dan dinamika kepribadian menurut Erik H. Erikson baik
dalam kehidupan sehari – hari maupun dalam kegiatan belajar mengajar.
Penulisan makalah ini juga dihapkan dapat memberikan pengetahuan
tentang konsep, struktur, dan dinamika kepribadian menurut Erik H.
Erikson.

ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biodata Erik H. Erikson
Erikson lahir di Jerman, 15 Juni 1902
dari orang tua Denmark yang
dipisahkan sebelum kelahirannya.
Selama bertahun-tahun, Erikson
diasumsikan bahwa ayah Jerman,
seorang dokter anak, adalah ayahnya
yang sebenarnya; ia tidak pernah
bertemu ayah kandungnya. Karena latar
belakangnya Denmark, penampilan
Nordic, dan warisan Yahudi (ayahnya
adalah Kristen, ibu dan ayah tirinya adalah Yahudi), Erikson tidak
sepenuhnya diterima oleh sekolahnya. Rekan-rekan Yahudi menjuluki "the
goy” (istilah Yiddish untuk " kafir "), dan kenalan non Yahudi
menganggap dia seorang Yahudi (Coles, 1970, hlm. 180).

Pada 1927 ia mulai mengajar, di Wina, di sekolah progresif kecil untuk


anak-anak Amerika. Banyak anak-anak orang tua dan beberapa anak-anak
juga telah datang ke Wina untuk dianalisis oleh Freud atau oleh salah satu
pengikutnya, dan akhirnya Erikson bertemu Freud dan keluarganya.
Segera Erikson menerdaftar ke Wina Psikoanalitik Institute dan mulai
analisis pribadi dengan Anna Freud. Erikson dianggap salah satu
merupakan terang dan paling menjanjikan siswa. Ia dilatih di kedua orang
dewasa dan anak psikoanalisis, dan ia lulus pada tahun 1933. Erikson
sangat menyadari iklim politik yang memburuk dari tahun 1930-an dengan
demikian, pada tahun 1933 Erikson pindah ke Amerika Serikat, dengan
membawa istrinya, mantan Joan Serson, Kanada-Amerika yang datang ke
Wina untuk penelitian sejarah tari-dan anak-anak mereka, Kai dan Jon

ii
(anak ketiga mereka, adalah lahir di Amerika). Menetap di boston, Erikson
membuka praktik pribadi dan menjadi kota psikoanalitik anak pertama.
Erikson telah diberi janji di Harvard Medical School dan di Rumah Sakit
Umum Massachusetts, dan ia segera berafiliasi juga dengan Harvard
Psychological Clinic dan Hakim Baker Pusat Bimbingan, klinik perintis
untuk pengobatan anak-anak yang terganggu emosinya. Dari Harvard,
Erikson pindah ke University of California di Berkeley, di mana ia
menulis bukunya pertama yang penting, "Childhood and Society" (1950,
rev.1963). Kemudian, sebagai protes pemecatan universitas anggota
fakultas yang menolak tanda royalti sumpah atau untuk memberikan
informasi apapun tentang afiliasi politik mereka, Erikson mengundurkan
diri dari posisinya. Setelah mengundurkan diri dari University of
California, Erikson pindah ke Austen Riggs Pusat pelatihan psikoanalitik
dan penelitian, di Massachusetts, di mana ia melanjutkan untuk
mengeksplorasi masalah khusus pemuda dan mulai membuat studinya di
psychohistory.

Pada tahun 1960 ia kembali ke Harvard sebagai profesor psikologi dan


tinggal di sana hingga pensiun formal pada tahun 1970. Selama periode
kedua di Harvard, Erikson didirikan tentu saja sekarang terkenal di "The
Human Life Cycle". Saat ini, Erikson tinggal di dekat San Francisco, di
mana ia menjabat sebagai konsultan untuk Mt. Zion Hospital dan The
University of California's Health and Medical Sciences Program. Dia
melanjutkan pengejaran teoritis; selain memperluas topik yang ia telah
tangani sebelumnya, dia sekarang juga menekankan daerah baru yang
menjadi perhatian, seperti dewasa dan penuaan. Meninggal tanggal 12 Mei
1994 di Harwich, Amerika Serikat.

B. Konsep
Erik Erikson adalah seorang psikolog yang merupakan murid dari
Sigmund Freud seorang tokoh psikoanalitik. Erikson mengambil
psikoanalitik sebagai dasar teorinya namun ia mengikut sertakan

ii
pengaruh-pengaruh sosial individu dalam perkembangannya. Berbeda
dengan Freud yang berpendapat bahwa pengalaman masa kanak-kanak,
terutama di lima tahun awal, yang mempengaruhi kepribdian seseorang
ketika dewasa. Erikson berpendapat bahwa masa dewasa bukanlah sebuah
hasil dari pengalaman-pengalaman masa lalu tetapi merupakan proses
kelanjutan dari tahapan sebelumnya.
Erik Erikson membantah ide Freud yang mengatakan bahwa identitas
sudah ditentukan dan terbentuk sejak kanak-kanak, pada usia lima atau
enam tahun. Erikson berpendapat bahwa pembentukan identitas
merupakan proses yang berlangsung seumur hidup.

Manusia adalah makhluk yang unik dan menerapkan system terbuka serta
saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan
keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap
individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan
ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila
gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya.
Sebagai makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan,
mereka harus membina hubungan interpersonal positif .

Konsep dasar kepribadian manusia menurut Erik Erikson tidak hanya


dipengaruhi oleh keinginan/dorongan dari dalam diri individu, tapi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, seperti adat, budaya, dan lingkungan
tempat dimana kepribadian individu berkembang dengan menghadapi
serangkaian tahapan-tahapan sejak manusia lahir (bayi) hingga memasuki
usila lanjut usia (masa dewasa akhir).

1. Fungsi ego impulse economic, maksudnya adalah dorongan-dorongan


yang menguntungkan disalurkan dengan cara yang baik dan normative.
Pada diri individu terdapat bermacam-macam dorongan yang setiap
saat muncul,misalnya dorongan untuk bekerja, berbicara, melakukan
sesuatu dan sebagainya. Fungsi ego disini adalah menyalurkan dengan

ii
cara mewujudkan dalam bentuk tingkah laku secara baik yaitu yang
baik dan dapat diterima oleh lingkungan.

2. Fungsi ego kognitif maksudnya adalah berfungsinya ego pada diri


individu untuk menerima rangsangan dari luar kemudian
menyimpannya dan setelah itu dapat mempergunakannya untuk
sesuatu keperluan coping behavior. Individu yang memiliki fungsi
kognitifnya dalam bertingkah laku selalu menggunakan aspek pikiran,
dan selalu diiringi dengan kemampuan mengingat dan memutuskan.
Sebaliknya apabila tidak berfungsi aspek kognitif ego ini maka tingkah
laku individu nampak agak sembrono, implus dan kekanak-kanakan.

3. Fungsi pengawasan disebut disebut juga dengan fungsi control,


maksudnya ego tidak membiarkan tingkah laku seseorang itu
sembarangan atau acak tetapi tingkah laku yang dilahirkan itu
hendaknya merupakan tingkah laku yang berpola dan menurut aturan
tertentu. Secara khusus fungsi ego yang mengontrol ini termasuk juga
mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah laku yang
dimunculkan. Tingkah laku yang baik adalah penampilan tingkah laku
tersebut tidak begitu juga saja dicakari oleh emosi, dan sebagai sifat
kerasionalanya tingkah laku lebih tampak. Ciri fungsi control ini
adalah individu yang bertingkah laku tanpa diganggu oleh emosinya,
orang yang paling tidak ada kontrolnya adalah “Manic Depressive”

C. Struktur
Erikson mengembang-modifikasikan teori freud mengenai struktur
kepribadian sebelumnya. Ia lebih menekankan pengembangan teorinya
kepada unsur “ego” dan hubungannya dengan Id.
A. Ego Kreatif
Ego memiliki komponen yang tidak ada dalam teori Psikoanalisis
Freud, yaitu kepercayaan, penghargan, otonomi, kemauan,
kerajinan, kompetensi, identitas, kesetiaan, keakraban, cinta,

ii
generativitas, pemeliharaan dan integritas. Dengan kompinen-
komponen tersebut, manusia bisa menemukan pemecahan kreatif
atas masalah pada setiap tahap kehidupannya melalui penggunaan
dari hasil kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang
disediakan lingkungan. Sehingga, Ego yang mengatur Id, superego
dan dunia luar, bukan sebaliknya, sebagaimana teorinya Freud, ego
justeru menjadi budak dari Id.
B. Ego Otonomi Fungsional
1. Teori ego Erikson merupakan pengembangan dari teori
perkembangan seksual-infantil dari Freud
2. Fungsi psikoseksual Freud bersifat Epigenesis
3. Id dan Ego memiliki hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi, tergantung pada stimulus yang diberikan oleh
lingkungan.
C. Aspek Psikoseksual
Erikson mengakui adanya aspek psikoseksual dalam
perkembangan individu, yang menurutnya bisa berkembang positif
dan negatif. Dia memusatkan perhatiannya kepada
mendeskripsikan bagaimana kapasitas kemanusiaan mengatasi
aspek psikoseksual itu; bagaimana mengembangkan insting seksual
menjadi positif.

D. Dinamika
Delapan tahap perkembangan menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey,
1980, hlm.79)

TABEL 2.1 (Hall & Lindzey, 1980, hlm.79)


STAGE AND PSYCH- PSYCHO- VIRTUE MAJOR DEVELOPMENT
APPROXIM OSOCIAL SOCIAL
ATE AGE ASPECT CRISIS
RANGE
I Oral- Trust vs Hope Relasi antara ibu dan bayi
Infacy Sensory Mistrust memberikan fondasi

ii
0-1 kepercayaan orang lain dan
dirinya sendiri, tetapi itu juga
memberikan tantangan untuk
ketidak percayaan orang lain
dan kurang percaya diri.
Harapan adalah kepercayaan
yang mempertahankan apa
yang bisa kita capai yang
dibutuhkan dan diinginkan
II Anal- Autonomy vs Will Mempelajari pengendalian
Early Muscular Shame, Doubt diri membentuk perasaan
Childhood yang bebas, tapi anak juga
1-3 berkembang menjadi merasa
malu dan ragu – ragu tentang
kapasitasnya untuk
melakukannya sendiri.
Kemauan adalah kemampuan
untuk bebas memilih dan
mengendalikan dan
menerapkan terhadap diri
sendiri
III Infantile Intitiative vs Purpose Mobilitas dan rasa ingin tahu
Play age Genital, Guilty mendorong perkembangan
3-6 Locomotor dalam inisiatif untuk
menguasai lingkungan., tetapi
perasaan bersalah lebih
bersikap agresif dan berani
mungkin muncul.
Maksud/cita-cita adalah
kemampuan untuk
menentukan dan mengejar
tujuan dengan percaya diri
tanpa takut akan hukuman

ii
IV Latency Industry vs Compete Belajar untuk mengontrol
School Age Inveriority n-ce satu imajinasi dan untuk
6-12 melakukan pekerjaan sekolah
mengembangkan ...
V Puberty Identity vs Fidelity Rasa dari keunikan sebagai
Adolescence Identity seseorang, hasrat untuk
12-20 Confusion mengetahui seluruh peran dan
lingkungan dalam sosial dan
upaya untuk menetapkan diri
dan memimpin tujuan untuk
perkembangan rasa identitas.
Tetapi pubertas, pertumbuhan
fisik, kebutuhan untuk
meninggalkan masa anak-
anak, dan ketidak tentuan
nilai membuat perpindahan
fase ini menjadi paling sulit
daripada fase-fase lainnya,
dan masa dewasa akan
menjadi membingungkan
lebih dari siapa dan apa yang
dia inginkan. Ketaatan adalah
kekuatan untuk menjadi setia
kepada orang dan ideal,
keduanya hasil dari dan
kekuatan identitas
VI Genitality Intimacy vs Love Keinginan untuk
Young Isolation mempersatukan satu identitas
Adulthood dengan yanglainnya
20-30 memimpin orang untuk
mencari kerukunan, tetapi
identitas yang goyah bisa
membuat menjauhi satu relasi

ii
dengan yang lain dan
memimpin isolasi. Cinta
adalah kekuatan untuk
peralihan bersama dalam
berbagi relasi.
VII Generativity vs Care Kebutuhan untuk
Adulthood Stagnation menciptakan berbagai hal
30-65 kebutuhan anak, ide, produk
terdepan; jika itu tidak
membutuhkan keterangan,
orang beresiko tidak
berkembang dan pemiskinan.
Peduli adalah kekuatan untuk
peduli dan untuk
membimbing menjadi apa
membangkitkan anak,
proyek, dan masadepan
VIII Integrity vs Wisdom Meninjau kehidupan, dengan
Mature Age Despair perasaan puas mempunyai
65+ hidup yang tentram dan
mengartikan ketentraman
yang lebih besar, memimpin
integritas; keragu – raguan
dan tidak dipenuhi hasrat
akan membuat putus asa dan
tidak berarti. Kebijaksanaan
memelihara dan berpindah ke
lainnya mengkalkulasi
pengetahuan dan pengalaman.

1. Tahap Pertama (Infancy / Masa Bayi)


Masa ini ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi
didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-

ii
orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi
orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh
karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang
yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang
yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing,
perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi
tersebut seringkali bayi menangis.

Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1
tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan
dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan
untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina
dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya
untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan
tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan
sepuasnya.

Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara
kualitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang
masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan
dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya
dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa
orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling
menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap
sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman,
dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada
mereka.

Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai


lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya

ii
dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika
seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan
tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal
lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya
demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih
mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada
orang lain.

Bayi memerlukan kasih sayang dari orang sekitarnya, terutama kedua


orangtuanya. Menurut Yususf & Nurihsan, “Kondisi atau kualitas
keakraban dan kehangatan yang diciptakan orangtua, tidak
mengartikan orang tua harus sempurna. Ayah dan ibu tidak perlu
menjadi sempurna dengan tergesa-gesa tapi harus sempurna secara
pasti (konsisten)”. (2011, hlm. 104).

Sebagian besar ibu (dalam budaya Barat, setidaknya) melakukan hal


tertentu setiap kali mereka mendekati bayi mereka: mereka
memandang bayi mereka, menyentuh dan memeluk mereka,
memeriksa untuk melihat apakah ada sesuatu yang menyakiti mereka.
Dan bayi umumnya menanggapi dengan menatap kembali, meringkuk,
membuat suara kenikmatan, dan sebagainya. (Hall & Lindzey, 1985,
hlm. 90)

2. Tahap Kedua (Childhood / Masa Kanak-Kanak Awal)


Masa ini ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt.
Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri
sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol
sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah
mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga
seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.

ii
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa
ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 1-3
tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah
kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu
dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan
orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat
menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua
dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam
perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.

Sedikit malu dan ragu adalah hal yang tidak dapat dielakkan tapi
bermanfaat. Tanpa itu, anaka akan berkembang pada tendensi
maladiptif, Erikson menyebutnya dengan impulsiveness yang akan
membuat anak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Orang yang
kompulsif akan merasa semua gampang dilakukan dan akan sempurna.
Sehingga banyak orang yang pemalu dan merasa ragu pada dirinya.
Sedikit kesabaran dan toleransi dalam membantu anak akan membantu
perkembangan anak. (Yususf & Nurihsan, 2011, hlm. 105).

Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi


pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan
mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak
seharusnya bertindak sendirian.

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu
mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya.
Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada
sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi
orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”.
Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan
cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga

ii
diri. Apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak
akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan
akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya.
(Alwisol, 2009, hlm. 93)

3. Tahap Ketiga (Play Age/Masa Bermain)


Masa ini sering disebut dengan masa pra sekolah (Preschool Age) yang
ditandai dengan adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa
ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-
kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi
karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia
mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan
dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak
mau berinisatif atau berbuat.

Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap infantile genital,


locomotor atau yang biasa disebut masa bermain. Tahap ini pada suatu
periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 6 tahun, dan tugas
yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar
punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
Inisiatif maksudnya respon positif pada tantangan dunia, tanggung
jawab, belajar keahlian baru, dan merasa bermanfaat. Orangtua
mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan anak adalah anak mampu
mengeluarkan idenya. Kita terima harapan fantasi dan imajinasinya.
Pada tahap ini, waktunya bermain bukan belajar formal. (Yusus &
Nurihsan, 2011, hlm. 105).

Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang


keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan
namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat
pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana

ii
baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi
rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan
demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada
periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak
selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering
berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang
tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa,
sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari
suatu kesalahan. Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat
diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah
tujuan (purpose).

4. Tahap Keempat (School Age/Masa Sekolah)


Masa ini ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak
sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya.
Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan
kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi
kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini
dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.

Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada
usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Tugasnya adalah
mengembangkan suatu kapasitas untuk industri atau menghasilkan dan
saat menghindari sebuah perasaan rendah diri yang berlebihan. Anak-
anak harus mengendalikan imajinasinya dan mengabdikan diri mereka
kepada pendidikan dan untuk mempelajari keterampilan sosial yang
dituntut oleh masyarakat. (Yusus & Nurihsan, 2011, hlm. 106).

ii
Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan
rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya
bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke
sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua
harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus
menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap


rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun
berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada
usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil,
apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut
anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak
tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu
(inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah
diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting
untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia
seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak
pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak
bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol
mereka.

5. Tahap kelima (adolescence/masa remaja)


Di sini, anak sudah mulai menjadi remaja. Masa ini merupakan masa
pencarian identitas. Akan ada berbagai macam gangguan yang harus
diatasi agar dapat mencapai identitasnya. Jika tidak maka akan terjadi
krisis identitas. Bisa dilihat dalam tabel 2.1 bahwa agar kita tidak
mengalami krisis untuk mencari identitas, kita harus taat/setia untuk
dapat ideal dan menjadi identitas yang kuat.

ii
6. Tahap keenam (young adulthood/masa dewasa awal)
Dalam tahap ini, orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan
identitasnya dengan orang lain. Pendekatan yang mencerminkan fakta
bahwa kita mencintai, memelihara persahabatan, dan pekerjaan, kita
membaginya dengan orang lain. Menikah mungkin salah satu contoh
terbaik untuk pendekatan, dan dengan demikian pasangan akan
menjadi satu. Earlier sexual encounters are little more than efforts to
define a person’s own sexual identity; “each partner is really trying
only to reach himself” (Erikson dalam Hall & Lindzey, 1985, hlm. 87).
“lebih awalnya menemukan pasangan sedikit lebih dari usaha untuk
menegaskan orang tentang sexual identity nya; ‘tiap orang benar –
benar mencoba hanya untuk meraih dirinya sendiri’”. Isolasi adalah hal
yang berbahaya dalam tahap ini, ketidak mampuan untuk mengambil
kesempatan dengan satu identitas untuk berbagi kerukunan (Erikson
dalam Hall & Lindzey, 1985, hlm.87). Cinta adalah sifat yang harus
dimiliki dalam tahap ini, seperti yang dijelaskan pada tabel 2.1.

7. Tahap Ketujuh (middle adutlhood/ dewasa madya)


Krisis psikososial yang ditandai dengan perhatian terhadap apa yang
dihasilkan serta pembentukan dan penetapan garis pedoman untuk
generasi mendatang. Pada masa ini orang akan berkembang menjadi
lebih produktif dan kreatif, akan tetapi krisis yang terjadi disebagian
orang adalah terjadinya stagnantion atau tidak berkembang,
kepribadian menjadi menurun dan menurunnya perhatian diri. Menurut
Erikson (dalam Hall & Lindzey, 1985, hlm.87) Care is the”widening
concern for what has been generated”. “peduli adalah perhatian yang
luas untuk orang dapat bangkit”

8. Tahap Kedelapan (late adulthood/ dewasa akhir)


Integritas, kebijaksanaan dan keputus-asaan, mewarnai tahap usia ini
Tabel 2.1.

ii
E. Pembahasan
Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dan
dikenal dengan teori perkembangan psikososial. Teori perkembangan
psikososial ini adalah salah satu teori terbaik dalam psikologi. Seperti
Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori
tingkatan psiksosial Erikson adalah perkembangan persamaan ego.
Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui
interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah
berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa
kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu
perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson
disebut sebagai teori perkembangan psikososial.

Teori Erikson menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi
sosialisasi dibandingkan teori Freud. Selain perbedaan ini, teori
Erikson membahas perkembangan psikologis di sepanjang usia
manusia, dan bukan hanya tahun-tahun antara masa bayi dan masa
remaja. Seperti Freud, Erikson juga meneliti akibat yang dihasilkan
oleh pengalaman-pengalaman usia dini terhadap masa-masa
berikutnya, akan tetapi ia melangkah lebih jauh lagi dengan

ii
menyelidiki perubahan kualitatif yang terjadi selama pertengahan
umur dan tahun-tahun akhir kehidupan.

Pentingnya teori psikososial Erik Erikson untuk bimbingan dan


konseling adalah teori ini dapat digunakan dalam penelitian mengenai
identitas diri dan dapat menganalisis konflik sosial yang dapat
membantu memahami kepribadian konseli. Serta dapat di implikasikan
dalam bimbingan dan konseling dengan adanya teori konseling yang
dapat dipakai yaitu konseling ego.

PENELITIAN BERDASARKAN TEORI ERIK ERIKSON


Banyak psikolog telah tertarik oleh ide Erikson tentang pembentukan
identitas. James Marcia (1980), dan murid-muridnya telah melakukan
banyak penelitian yang menggunakan metode wawancara yang
dirancang oleh Marcia untuk mengevaluasi status identitas. Pada pria,
wawancara menilai pengambilan keputusan dan komitmen mengenai
pemilihan suatu pekerjaan., serta keyakinan agama dan politik.
Berdasarkan data wawancara mereka dan seperangkat metode scoring
tertentu yang cukup handal, Marcia dan rekan kerjanya menugaskan
orang-orang muda untuk mengisi empat status identitas yang berbeda:
pencapaian identitas, penyitaan, difusi identitas, dan moratorium.
sistem empat-kategori ini tampaknya menjadi perbaikan pada sistem
dua kategori, identitas vs kebingungan identitas, yang pertama kali
diusulkan oleh Erikson. Menurut Marcia, prestasi identitas timbul pada
saat orang tersebut telah mengalami masa krisis, dan telah
menyelesaikan krisis dan membuat komitmen untuk, misalnya, tujuan
kerja tertentu. Orang dalam status penyitaan telah membuat komitmen
tegas tapi belum mengalami periode krisis. Orang-orang muda sering
membuat komitmen mereka atas dasar pengaruh dari orangtua.
Sedangkan orang yang berada pada status difusi identitas mungkin
atau mungkin tidak mengalami periode krisis tetapi belum atau tidak

ii
membuat keputusan atau komitmen. Orang dalam status moratorium
berada di tengah-tengah "krisis identitas" Erikson, mereka belum
membuat komitmen tegas, tetapi mereka dalam proses
melaksanakannya

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP


ORANGTUA DENGAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA
PRIA DELINQUENT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
ANAK KUTOARJO.

Identitas diri merupakan suatu penyadaran yang dipertajam tentang diri


sendiri, yang dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya,
yang meliputi karakteristik diri, memutuskan hal-hal yang penting dan
patut dikerjakan untuk masa depannya serta standar tindakan dalam
mengevaluasi perilaku dirinya, ke semua hal tersebut terintegrasi
dalam diri sehingga seseorang merasa sebagai pribadi yang unik yang
berbeda dari orang lain dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara kelekatan terhadap orangtua dengan perkembangan identitas diri
pada remaja, khususnya remaja delinquents di Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Metode pengambilan subjek yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Aksidental Sampling, yaitu teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan, siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel,
bila dipandang orang yang kebetulan itu cocok sebagai sumber data.
Metode pengumpulan data dengan menggunakan Skala Identitas Diri
yang terdiri dari 26 item (α = 0,883) dan Skala Kelekatan pada

ii
Orangtua yang terdiri dari 44 item (α = 0,952). Hasil penelitian ini
menunjukkan ada hubungan antara Kelekatan pada Orangtua dengan
Identitas Diri pada Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kutoarjo. Dari uji antara variabel Identitas Diri dengan Kelekatan pada
Orangtua didapatkan Fhit = 13,544 dan taraf signifikansi 0,001
(p<0,05). Koefisien korelasi (rxy= 0,523) dan p<0,05 menunjukkan
bahwa ada hubungan yang positif antara kelekatan pada orangtua
dengan identitas diri. Semakin positif kelekatan terhadap orangtua,
maka semakin tinggi tingkat pencapaian identitas dirinya. Sebaliknya,
semakin negatif kelekatan terhadap orangtua, maka tingkat pencapaian
identitas dirinya semakin rendah. Sumbangan efektif variabel
Kelekatan pada Orangtua dengan variabel Identitas Diri yaitu sebesar
0,273, yang memiliki arti bahwa variabel Kelekatan pada Orangtua
menyumbang sebesar 27,3% terhadap variabel Identitas Diri. Sisanya
sebesar 72,7% dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak diungkap
dalam penelitian ini, misalnya kelekatan pada peer group.

F. Implikasi bagi Bimbingan dan Konseling


Implikasi dari teori Psikososial Erik Erikson bagi Bimbingan dan
Konseling adalah dengan adanya teori konseling yang dapat digunakan
yaitu konseling ego. Konseling ego dipopulerkan oleh Erikson. Teori
konseling ini dinamakan konseling ego karena konseling ego ini
memiliki ciri khas yang lebih menekankan pada fungsi ego yang
merupakan energi psikologikal individu, dibanding id dan superego
sesuai dengan apa yang menjadi bahasan dalam teori psikososial Erik
Erikson itu sendiri. Kegiatan konseling yang dilakukan pada umumnya
bertujuan untuk memperkuat ego strength, yang berarti melatih
kekuatan ego konseli. Ego berkembang atas kekuatannya sendiri, tidak
tergangtung pada energi id. Fungsi ego disini berhubungan dengan
lingkungan melalui cara-cara rasional dan sadar. Tujuan utama
konseling ego ini ialah membantu konseli membangun identitas ego,

ii
memperluas dan memperkuat berfungsinya sistem ego pada diri
konseli. (Prayitno, 1998:47-48)

Prayitno (1998: 46-49) menuliskan sebuah kasus yang dapat ditangani


dengan menerapkan konseling ego.
Kasus:
Apabila individu tertekan oleh keadaan yang menimpanya dan ego
kehilangan kontrol, maka kontrol terhadap tingkah laku beralih dari
kesadaran ke ketidaksadaran, kontrol beralih dari ego ke id. Hal
tersebut terjadi disebabkan oleh (1) individu kurang mampu merespon
dengan cara yang layak; (2) pola tingkah yang dimiliki tidak lagi
cocok dengan tuntutan lingkungan (situasi); (3) rusaknya fungsi ego.
Maka, tehnik yang dapat digunakan untuk menangani kasus
tersebut adalah:
Teknik Konseling Ego:
Teknik yang dipakai tidaklah kaku, melainkan luwes sesuai dengan
hak konseli untuk menjadi dirinya sendiri.
a. Pengawalan: membina hubungan antara konseli dan konselor.
b. Pengontrolan proses:
1.) Memusatkan kegiatan pada tugas membangan ego strength
konseli.
2.) Mengontrol keseimbangan antara ekspresi konseli yang bersifat
kognitif maupun konatif (emosi) tetapi proses konseling tetap
menekankan dimensi kognitif.
3.) Mengontrol ambiguitas dalam proses konseling, untuk:
a.) mengontraskan perasaan konseli
b.) menampilkan keunikan pribadi konseli
c.) membangun transferensi melalui proyeksi
c. Transferensi: dimaksudkan sebagai perasaan konseli yang timbul
terhadap konselor.

ii
d. Counter transference: upaya konselor untuk mencegah
perasaannya yang muncul terhadap konseli dan mempengaruhi
proses konseling.
e. Diagnosis dan interpretasi: konselor bertanggung jawab
merumuskan dan mendiagnosis masalah, serta memberikan
kesempatan kepada  konseli untuk memahami masalah-masalahnya
itu.
f. Apabila konseli sudah menyadari masalahnya, proses konseling
diarahkan ke Pembentukan Tingkah Laku Baru:
1.) konselor mengajarkan cara-cara baru
2.) konseli dilatih
3.) mempergunakan tugas rumah yang harus dikerjakan
Semuanya itu untuk memperkuat ego yang dapat berfungsi lebih
tepat.

FUNGSI EGO
Fungsi ego dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Impulse Economics (Fungsi dorongan ekonomis)
Kemampuan ego untuk tidak hanya mengontrol dorongan-
dorongan, tetapi menyalurkannya ke arah tingkah laku yang lebih
dapat diterima dan berguna.
b. Cognitive Function (Fungsi kognitif)
Kemampuan ego untuk menganalisis dan berpikir logis mengatasi
perasaan, ini merupakan kemampuan ego yang bebas dari
pengaruh id.
c. Controlling Function (Fungsi Pengawasan)
Kemampuan ego untuk memusatkan usaha penyelesaian tugas
tanpa diganggu oleh perasaan. (Prayitno, 1998: 46)

ii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan ErikErikson
merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam
psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan
manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia. Selain, teori Erikson juga
membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya yang dianggap
lebih realistis.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil
interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya
sebagai tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa tahap-tahap
kehidupan seseorang dari lahir dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial
yang berinteraksi dengan suatu organisme. Sehingga seseorang
tersebut menjadi matang secara fisik dan psikologi.Masyarakat yang
berbeda, dengan perbedaan kebiasaan cara mengasuh anak, cenderung
membentuk kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
budayanya.

ii
Kemampuan bawaan penting dalam perkembangan kepribadian,
namunego muncul karena dibentuk oleh masyarakat. Bagi Erickson ,
pada waktu manusia lahir, ego hadir hanya sebagai potensi namun,
untuk menjadi aktual dia harus hadir dalam lingkungan kultural. Tahap
perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan di atas
perkembangan sebelumnya (tetapi tidak mengganti perkembangan
tahap sebelumnya itu).

GLOSARIUM

Anal : berkaitan dengan anus atau dubur


Anatomis : bersifat anatomi
Ego : komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk
menangani dengan realitas
Epigenesis : konsep tentang berkembangnya suatu makhluk dengan
pemunculan struktur dan fungsinya
Fisiologis : bersifat fisiologi
Genetik : melahirkan
Genital : berhubungan dengan organ kelamin
Id : Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari
perilaku naluriah dan primitif
Maladaptif : Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek
psikisosial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
Oral : bersangkutan dengan mulut
Seksual-Infantil : sebuah bentuk perilaku yang didasari oleh faktor fisiologis
tubuh pada masa anak-anak

ii
Super Ego : aspek kepribadian yang menampung semua standar
internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari
kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan
salah

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian (edisi revisi). Malang: UMM Press


Dewi, Prastiwi Y. (2009). Hubungan Antara Kelekatan Terhadap Orangtua
Dengan Identitas Diri Pada Remaja Pria Delinquent Di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. (Skripsi). Fakultas Psikologi, Universitas
Diponegoro, Semarang .
E, Koswara. (1991). Teori-Teori Kepribadian. Bandung : Eresco.
Farozin, H Muh., Fathiyah, Nur Kartika. (2004). Pemahaman Tingkah Laku.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hall, Calvin S., & Lindzey, Gardner. (1985). Introduction to Theories of
Personality. New York : John M Wiley Sons
Mischel, Shoda. (2003). Adult Development and Anging, fifth edition. New
York : McGraw-Hill.
Pervin, L. A., Cervone, D., & John O. P. (2010). Psikologi Kepribadian. Jakarta :
Kencana.
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita. Padang: BK FIP UNP.
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita: Kerangka Konseling Eklektik. Padang :
UNP Press
Salkind, Neil J Alih bahasa Desyandri. (2004). An Introduction to Theories of
Human Development. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage
Publications. International Education and Publisher
Yusuf, S.LN., Nurihsan, A.J. (2013). Teori Kepribadian. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mischel, Shoda. (2003). ADULT DEVELOPMENT AND AGING, FIFTH
EDITION. New York: McGraw-Hill.

ii

Anda mungkin juga menyukai