Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas
Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas
BIOAVAILABILITAS
Feb
11
Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi
molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus,
kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan
menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku
untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau
suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk
granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka
kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat
mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan
bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan
permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas
11
Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi
molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus,
kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan
menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku
untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau
suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk
granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka
kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat
mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan
bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan
permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas
Biofarmasetika
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap
bioavailabilitas obat. Biovailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik. Oleh karena bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan
aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika
bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh
pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 2005).
Obat yang berbeda menunjukkan bioavabilitas yang berbeda pula. Hal ini karena perbedaan sifat
fisiko kimianya, seperti kelarutan dalam air, koefisien partisi, stabilitas dan lain-lain.
Pada setiap produk menunjukkan bioavabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk
sediaan. Bahkan untuk bentuk sediaan yang sama kadang antar pabrik memberikan perbedaan
bioavabilitas, karena bisa bisa disebabkan oleh bahan pengisi yang berbeda. Produk yang sama pada
pasien yang berbeda sering menimbulkan bioavabilitas yang berbeda pula, sehingga perlu individual
dosis. Dan perbedaan pemakaian sesudah atau sebelum makan juga memberikan perbedaan
bioavabilitas.
Dari ketiga factor di atas, factor pabrik lah yang paling sering dimodifikasi. Oleh karena itu, kami
mempraktekan disolusi antara obat generic dan obat paten. Dimana obat yang kita gunakan adalah
paracetamol tablet 500 mg dan panadol tablet 500 mg.
1.2 Tujuan
1. Untuk melihat perbedaan disolusi antara obat generic dan obat paten.
1.3 Manfaat
2.1 Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan
suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip
dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari
berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses. Disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik
fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan,
proses pengembangan, proses disintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagian dari faktor yang
mempengaruhi kerakteristik disolusi obat dari sediaan.
2.1.2 Kecepatan Pelarutan
Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk
sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan
larutan bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahannya
bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablet biasanya
diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari
sediaan tablet kedalam medium penerima.
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu
model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah:
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu
lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang
berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu
model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan
gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari
molekul dalam liquid film.
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi
difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan –
larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat
– cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat
terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah:
Suhu
Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta
akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas
Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.
PH
pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang
bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan
lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.
Ukuran Partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan
mempercepat kelarutan suatu zat.
Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara
in vitro antara lain adalah:
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat
diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi
pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk
garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat
dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda
meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan
secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf
lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.
Faktor Formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan
yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin.
Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah
obat yang diabsorpsi.
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan
pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat
pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan.
Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal
dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja,
maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif
yang terlarut pada waktu tertentu.
Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah kurva disolusi
di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Y100.t
Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang
terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE.
Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara
DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
Metode Wagner
Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi
bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan
spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.
ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )
Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif
yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.
Pengujian disolusi hampir di semua negara telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama.
Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing Farmakope, seperti
kecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi
individu obat dan masing-masing Farmakope.
Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan
pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk
berbentuk dayung. Dalam Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan
dayung.
Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan
kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia
bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya
kelarutan yang diinginkankan. sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan
disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
Hot-melt extrusion
N-asetil-4-aminofenol
BM : 151,16.
Asetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih : tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p : larut dalam larutan alkali hidroksida.
Efek amping : Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi
koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari)
dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya
aman untuk digunakan selama masa kehamilan.
Kelebihan dosis : Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan
hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil
sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih
lanjut.
Mekanisme Aksi : Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim
siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif
menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas
antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar
peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini
tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.
Indikasi:
Meringankan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit otot, dan menurunkan demam yang disertai
flu dan demam sesudah vaksinasi.
Kontra Indikasi:
Pada penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol, dan penderita dengan gangguan fungsi hati
yang berat.
Deskripsi:
Efek analgesik dan antipiretik parasetamol sama dengan golongan salisilat. Khasiat analgesik parasetamol
timbul karena efek depresi selektif terhadap alat resepsi rasa sakit rasa sakit pada talamus dan
hipotalamus disusun saraf pusat. Parasetamol menurunkan suhu badan melalui efek langsung terhadap
pusat-pusat pengatur suhu di susun saraf pusat, memperbanyak pengeluran panas badan dengan
meningkatkan peredaran darah tepi/perifer dan berkeringat.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://dormatio.blogspot.com/2013/05/definisi-biofarmasetika.html
2. http://hendra-stenly.blogspot.com/2012/02/disolusi.html
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol
5. http://www.dechacare.com/Panadol-Tablet-P125.html
Biofarmasetika
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap
bioavailabilitas obat. Biovailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik. Oleh karena bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan
aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika
bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh
pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 2005).
Obat yang berbeda menunjukkan bioavabilitas yang berbeda pula. Hal ini karena perbedaan sifat
fisiko kimianya, seperti kelarutan dalam air, koefisien partisi, stabilitas dan lain-lain.
Pada setiap produk menunjukkan bioavabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk
sediaan. Bahkan untuk bentuk sediaan yang sama kadang antar pabrik memberikan perbedaan
bioavabilitas, karena bisa bisa disebabkan oleh bahan pengisi yang berbeda. Produk yang sama pada
pasien yang berbeda sering menimbulkan bioavabilitas yang berbeda pula, sehingga perlu individual
dosis. Dan perbedaan pemakaian sesudah atau sebelum makan juga memberikan perbedaan
bioavabilitas.
Dari ketiga factor di atas, factor pabrik lah yang paling sering dimodifikasi. Oleh karena itu, kami
mempraktekan disolusi antara obat generic dan obat paten. Dimana obat yang kita gunakan adalah
paracetamol tablet 500 mg dan panadol tablet 500 mg.
1.2 Tujuan
1. Untuk melihat perbedaan disolusi antara obat generic dan obat paten.
1.3 Manfaat
2.1 Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan
suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip
dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari
berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses. Disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik
fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan,
proses pengembangan, proses disintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagian dari faktor yang
mempengaruhi kerakteristik disolusi obat dari sediaan.
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu
model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah:
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu
lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang
berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu
model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan
gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari
molekul dalam liquid film.
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi
difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan –
larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat
– cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat
terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket
makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut
terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut
menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada
permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan
transpor solut ataudengan kata lain disolusi.
Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah:
Suhu
Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta
akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas
Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.
PH
pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang
bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan
lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.
Ukuran Partikel
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan
mempercepat kelarutan suatu zat.
Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya
polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut
dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan
dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun
sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.
Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara
in vitro antara lain adalah:
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat
diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi
pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk
garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat
dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda
meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan
secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf
lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.
Faktor Formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan
yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin.
Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah
obat yang diabsorpsi.
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan
pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat
pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan.
Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
2.1.5 Metode Pengujian Disolusi
Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal
dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja,
maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif
yang terlarut pada waktu tertentu.
Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah kurva disolusi
di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Y100.t
Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang
terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE.
Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara
DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
Metode Wagner
Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi
bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan
spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.
Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut
ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )
Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif
yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.
Pengujian disolusi hampir di semua negara telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama.
Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing Farmakope, seperti
kecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi
individu obat dan masing-masing Farmakope.
Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan
pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk
berbentuk dayung. Dalam Farmakope Indonesia kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan
dayung.
Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan
kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia
bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya
kelarutan yang diinginkankan. sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan
disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:
Hot-melt extrusion
N-asetil-4-aminofenol
BM : 151,16.
Asetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih : tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p : larut dalam larutan alkali hidroksida.
Penetapan kadar dengan cara penetapan kadar nitrogen, menggunakan 300 mg yang
Efek amping : Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi
koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari)
dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya
aman untuk digunakan selama masa kehamilan.
Kelebihan dosis : Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan
hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil
sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih
lanjut.
Mekanisme Aksi : Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim
siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif
menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas
antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar
peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini
tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.
Indikasi:
Meringankan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit otot, dan menurunkan demam yang disertai
flu dan demam sesudah vaksinasi.
Kontra Indikasi:
Pada penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol, dan penderita dengan gangguan fungsi hati
yang berat.
Deskripsi:
Efek analgesik dan antipiretik parasetamol sama dengan golongan salisilat. Khasiat analgesik parasetamol
timbul karena efek depresi selektif terhadap alat resepsi rasa sakit rasa sakit pada talamus dan
hipotalamus disusun saraf pusat. Parasetamol menurunkan suhu badan melalui efek langsung terhadap
pusat-pusat pengatur suhu di susun saraf pusat, memperbanyak pengeluran panas badan dengan
meningkatkan peredaran darah tepi/perifer dan berkeringat.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://dormatio.blogspot.com/2013/05/definisi-biofarmasetika.html
2. http://hendra-stenly.blogspot.com/2012/02/disolusi.html
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol
5. http://www.dechacare.com/Panadol-Tablet-P125.html