Anda di halaman 1dari 11

UJIAN MID TEST MATA KULIAH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

NAMA:YANTI DAMELIA
NIM:5192131006

1. pada lembaga pendidikan formal,khususnya pada pendidikan


vokasi,pendidikan dan pelatihan keselamatan dan kesehatan
kerja(K3)menjadi program yang tidak dapat ditinggalkan.uraikan
pandangan saudara mengapa demikian
2. untuk melaksanakan K3 dengan baik,diterbitkan uu sebaik regulasi
pelaksanaannya.uraikan bagaimana pentingnya kedudukan uu dalam
bidang keselamatan kerja,aspek apa saja yang sudah diatur dengan
baik,serta menurut saudara aspek apa saja yang belum diatur selama
ini
3. uu ketenaga kerjaan sudah cukup matang jika ditinjau dari proses
penerbitannya yakni sejak tahun 1997 nomor 25,kemudian di revisi
pada tahun 2000 dan terakhir no 13 Thun 2003.menurut saudara apa
saja yang paling mendasar untuk dipahami dalam uu tersebut sebagai
akademisi calon guru smk atau calon dosen di perguruan tinggi
4. pada uu ketenega kerjaan,dikenal dan diatur PHK dan
outsourching.uraikan dengan lengkap aturan-aturan yang terkait
dengan PHK dan aturan-aturan yang terkait dengan outsourching
5. uraikan dengan lengkap mengapa serikat pekerja sangat diperlukan
oleh suatu perusahaan dan pada sisi lain mengapa serikat pekerja
sering tidak dikehendaki oleh perusahaan terntentu.
JAWABAN
1.Keselamatan kerja merupakan upaya yang dilakukan oleh tenaga pendidikan
untuk mencegah dari bahaya atau risiko kecelakaan yang mungkin terjadi ketika
bekerja.

Keselamatan kerja berkaitan dengan lokasi kerja, mesin atau alat berat, bahan,
proses, dan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang dapat
mengancam keselamatannya.

Kesehatan kerja adalah hal-hal yang berkaitan dengan psikis atau psikologi .
Kesehatan fisik merupakan hal yang sangat penting, karena tubuh yang sehat para
pekerja pendidikan dapat bekerja dengan baik. Begitu pula dengan kesehatan
mental yang akan membuat bekerja secara optimal.

bisa mengadakan aktivitas-aktivitas yang bisa meningkatkan stamina tubuh para


tenaga pendidikan. Misalnya bisa mengadakan program olahraga bersama atau
senam pada pagi hari.

Jadi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah upaya yang dilakukan o demi
melindungi tenaga pendidikan yang sedang bekerja dan menjaga kesehatan
karyawan dengan baik.

2 .Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan tempat


kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.

 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

Undang- Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan berkewajiban


memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja
yang baru maupun yang akan dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan
sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan
secara berkala. Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat
pelindung diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.  Undang-undang nomor 23
tahun 1992, pasal 23 Tentang Kesehatan Kerja juga menekankan pentingnya
kesehatan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya hingga diperoleh
produktifitas kerja yang optimal. Karena itu, kesehatan kerja meliputi pelayanan
kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.

 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan dengan


ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti sampi
dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

Sebagai penjabaran dan kelengkapan Undang-undang tersebut, Pemerintah juga


mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden terkait
penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), diantaranya adalah :

 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 1979 tentang


Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida
 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan
 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Akibat Hubungan Kerja

3. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945;

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4586);

Penjelasan Umum
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa depan
adalah mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di
dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu oleh pendidik profesional. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik
merupakan tenaga profesional. Oleh karena itu, dosen sebagai pendidik
profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis.
Dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan
pembelajaran sesuai dengan prinsip- prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak
yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang
bermutu.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan
bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan
satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dosen adalah pendidik profesional dan
ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kualifikasi dosen diatur
juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.

4. PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan diatur


secara rinci dan jelas dalam UU No 13/2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang
menyatakan:
” Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2
(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur)
tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan
perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah karena
“melakukan efisiensi”. Padahal, sebenarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan
sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan efisiensi. Kesalahan
penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak yang kurang cermat
membaca redaksional pada ketentuan yang ada.

Dengan kondisi ini sering sekali dijadikan celah oleh pihak perusahaan untuk
menghilangkan hak warga negara untuk bekerja sebagaimana dijamin Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945. Sebab, pekerja dapat setiap saat di-PHK dengan dalih efisiensi
meski tanpa kesalahan dan kondisi perusahaan dalam keadaan baik sekalipun.
“Karena itu, Pasal 164 ayat (3) inkonstitusional.”

Tanggapan lain menyatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan PHK dengan


alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung mengurangi beban
perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis
global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha tidak perlu khawatir
melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Secara eksplisit, istilah outsourcing tidak ditemukan pada Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan). Namun, jelas, ketentuan tentang outsourcing dapat
ditemukan pada Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Pihak pengusaha membutuhkan pekerja outsourcing demi menghemat biaya


produksi perusahaan atau efisiensi tenaga kerja. Sedangkan kalangan pekerja
menolak outsourcing, karena ketiadaan jaminan jenjang karier, gaji tidak sesuai
dengan beban kerja, serta ketiadaan perlindungan dalam bekerja.

Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perusahaan dapat


menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau
buruh yang dibuat secara tertulis. Selanjutnya, Pasal 65 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan menentukan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan pada
perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama/core bussines;
 Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
 Merupakan kegiatan pekerjaan yang sifatnya penunjang perusahaan
secara keseluruhan (misal security, sopir pribadi, jasa katering
perusahaan, cleaning service);
 Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya ada tidaknya
pekerja outsourcing kegiatan produksi tetap berjalan.
Mengenai perlindungan terhadap pekerja outsourcing, terdapat kemajuan
berarti yang dihasilkan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru
terkait outsourcing. Dalam amar putusan No. 27/PUU-IX/2011, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam
Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal
66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-
hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi
pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.”

Alhasil, pascaputusan MK itu, pengusaha yang akan mengadakan perjanjian


dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), harus mengatur syarat
jaminan pengalihan perlindungan hak sebagaimana dimaksud putusan MK pada
perusahaan pemenang tender berikutnya. Dengan begini, para
pekerja outsourcing memiliki jaminan atas kelangsungan bekerja saat
berakhirnya perjanjian pemborongan dan adanya jaminan penerimaan upah
yang tidak lebih rendah dari perusahaan sebelumnya. Menanggapi keluarnya
putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tersebut, Kemenakertrans mengeluarkan Surat
Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012, yang menegaskan keberadaan putusan MK
tersebut.
5. Banyak sekali keuntungan menjadi anggota serikat pekerja, terlebih jika serikat
pekerja perusahaan anda sudah berafiliasi ke federasi serikat pekerja dan
konfederasi serikat pekerja.

Sebagai contoh, anggota serikat pekerja akan mendapatkan program-program


training peningkatan kemampuan kerja dan diri seperti training negotiation
skill, training pembuatan perjanjian kerja bersama, dll. Selain itu, anggota serikat
pekerja juga akan mendapat bantuan hukum saat tertimpa masalah dengan
perusahaan yang berkaitan dengan hukum dan pemenuhan hak-hak sebagai
karyawan.

Serikat pekerja (SP)/ serikat buruh (SB) kadang bahkan sering tidak dikehendaki
oleh Menejemen atau pemilik perusahaaan. Kesan negatif lebih sering muncul
atas kehadirannya.

SP/SB ibarat musuh dalam selimut. Pemimpin atau pemilik perusahaan kuatir bila
SP/SB melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Para anggota SP/SB
misalnya bisa melakukan aksi mogok dan aksi mogok ini diizinkan oleh undang-
undang. Aksi ini bisa berdampak negatif; produksi perusahaan bisa berhenti
bahkanbisasampaigulungtidur.

Kekuatiran pemimpin dan pemilik perusahaaan kadang ada benarnya. Tidak ada
jaminan bahwa SP/SB bisa menjadi mitra Menejemen untuk menjalankan dan
mengembangkan perusahaan.

Namun demikian, Anda perlu mengetahui beberapa hal penting tentang SP/SB.

Pertama, kehadiran SP/SB di perusahaan dilindungi oleh undang-undang.


Halini telah diatur dalam undang-undang. Pasal 5, UU No. 21/2000 menyebutkan:

1. Setiap pekerja /buruh berhak membentuk dan menjadi anggota SP/SB.


2. SP/SB buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh.

Jadi, SP/SB bukanlah serikat yang terlarang.

Kedua, tidak perlu takut membentuk SP/SB. Banyak orang takut mendirikan
SP/SB, apalagi menjadi pengurus.

Takut kalau perusahaan akan menekan pekerja atau buruh. Itu tidak sepatutnya
terjadi. Undang-undang melindungi pekerja dari ancaman-ancaman demikian.

Pasal 28, UU No. 21/2000 berbunyi, "Siapapun dilarang menghalang-halangi atau


memaksapekerja/buruhuntukmembentuk
atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi
anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak
menjalankankegiatanserikatpekerja/serikat
buruhdengancara:

a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara,


menurunkanjabatan,ataumelakukanmutasi;

b.tidakmembayarataumengurangiupahpekerja/buruh;

c.melakukanintimidasidalambentukapapun;

d.melakukankampanyeantipembentukanSP/SB.

Jadi, pekerja/buruh tidak perlu takut. Perusahaan Anda akan didenda bila Anda
sampai ditekan atau dipecat karena Anda menjadi anggota atau menjadi
pengurus SP/SB bahkan ancaman demikian dianggap sebagai tindakan pidana.

Pasal 43, UU No. 21/2000 menyebutkan,

1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.

Ketiga, pelajarilah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serikat pekerja
/serikat buruh.

Anda perlu berhati-hati sebelum menjadi anggota SP/SB. Pelajarilah apa tujuan
SP/SB; apakah tujuannya berbeda atau berlawanan dengan Pancasila dan UUD
1945 atau berlawanan dengan undang-undang.

Anda tentu tidak mau menjadi anggota SP/SB, yang tujuannya tidak jelas atau
para pengurus atau pendiri SP/SB menyimpan agenda tersembunyi.

Pasal 2, UU No. 21/2000 menyebutkan,

1. SP/SB, federasi dan konfederasi SP/SB menerima Pancasila sebagai dasar


negara dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. SP atau SB, federasi dan konfederasi SP/SB mempunyai asas yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Keempat, pelajarilah bagaimana keputusan di kepengurusan serikat pekerja


/serikat buruh diambil.

Ini penting sebab ada kemungkinan para pengurus SP/SB mengambil keputusan
untuk kepentingan segelintir orang, bukan karena prinsip keadilan dan kejujuran.
SP/SB yang relatif bagus adalah bila keputusan diambil oleh sejumlah orang, yang
mewakili semua bagian dari perusahaan dengan menggunakan prinsip keadilan
dan kejujuran; keputusan bukan diambil oleh ketua atau satu atau dua orang
pengurus.

Kelima, perhatikanlah apakah orang-orang yang duduk dalam pengurus serikat


pekerja / serikat buruh adalah orang-orang bisa dipercaya.
Anda perlu memperhatikan integritas orang yang duduk dalam pengurus atau
orang-orang pengambil keputusan dalam SP/SB. Perlu diingat bahwa kehadiran
SP/SB adalah untuk menjadi mitra bagi Menejemen untuk mengelola dan
mengembangkan perusahaan.

Berusahalah agar yang duduk di kepengurusan adalah orang-orang yang mengerti


persoalan perusahaan dan karyawan dan memiliki integritas yang baik. Bila Anda
mempunyai integritas yang baik, majulah menjadi pengurus. Bila ada orang lain
yang lebih baik dari Anda, ajukanlah dia untuk menjadi pengurus. Hanya di tangan
orang yang jujur sebuah SP/SB bisa memberikan dampak yang positif bagi
perusahaan.

Keenam, SP/SB adalah mitra perusahaan untuk membuat perjanjian kerja


bersama (PKB).

Bila SP/SB mempunyai anggota lebih dari 51% dari jumlah karyawan, SP/SB
tersebut akan menjadi perwakilan karyawan untuk membuat perjanjian kerja
bersama dengan perusahaan.

Aspirasi karyawan bisa tertampung dalam perjanjian kerja bersama melalui


kehadiran SP/SB.

UU No. 13/2003, Pasal 119, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal di satu perusahaan
hanya terdapat satu serikat pekerja /serikat buruh, maka SP/SB tersebut berhak
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh
perseratus)
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan."

Ketujuh, SP/SB merupakan salah satu wadah melatih diri untuk berpartisipasi
aktif dalam masyarakat.

Dengan menjadi anggota dan aktif mengikuti kegiatan SP/SB, Anda melatih diri
menjadi warga yang peduli akan sesama karyawan, memahami persoalan-
persoalan dalam dunia kerja dan belajar memberikan solusi.

Dengan kata lain, Anda melatih kepekaan dan kepedulian Anda terhadap
persoalan karyawan sekalipun hal itu belum terjadi pada diri Anda. Bila kepekaan
dan kepedulian seperti ini terus ditanamkan dalam diri Anda, ada kemungkinan
Anda akan peka dan peduli juga dengan lingkungan Anda.

Bila Anda peka dan peduli dengan lingkungan Anda, kemungkinan Anda peka dan
peduli juga dengan masyarakat dan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai