1805113403
TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Toksikolohi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sifat, pengaruh, dan
cara mendeteksi agen toksik. Toksikologi berasal dari bahasa yunani, yakni toxicon
berarti racun dan logos berarti ilmu. Sehingga, toksikologi sebagai ilmu pengetahuan
mengenai substansi beracun (toksik), yang dapat menyebabkan perubahan/gangguan
pada fungsi suatu organisme sehingga bisa memberi dampak serius dan berbahaya
bagi organisme target, seperti kematian.
Toksikologi lingkungan adalah suatu studi yang mempelajari efek dari bahan polutan
terhadap kehidupan dan pengaruhnya terhadap ekosistem yang digunakan untuk
mengevaluasi kaitan antara manusia dengan polutan yang ada di lingkungan.
Toksikologi lingkungan yaitu mempelajari proses degradasi zat kimia “perubahan kimia
yang dialami oleh toksikan“ di lingkungan serta transport zat kimia tersebut dari satu
tempat ke tempat lain di alam ini, disamping itu toksikologi lingkungan adalah
pengetahuan yang mempelajari efek toksik yang timbulkan dampak atau resiko
keberadaan zat kimia tersebut terhadap makhluk organisme hidup.
A. Pencemaran Lingkungan
Campuran insektisida ini secara kimia sangat stabil, yaitu mereka tidak cepat
terurai di lingkungan, jaringan hewan, dan tumbuhan. Kenyataannya mereka tetap
bertahan dan tidak berubah di dalam tanah dan air untuk jangka waktu berpuluh-
puluh tahun, serta selalu siap untuk dimakan oleh organisme. Melalui proses
biokonsentrasi, mereka terakumulasi pada jaringan tumbuhan dan hewan, dan
berpotensi berbahaya pada rantai makanan.
1. Degradasi abiotik, dengan melibatkan faktor pengaruh cahaya ”fotolisis”
dan air ”hidrolisis”. Proses fotolisis pada dasarnya cahaya ”sinar ultraviolet” sangat
berpotensial melakukan pemutusan ikatan kimia, sehingga secara signifikan dapat
membantu dalam proses degrasi senyawa kimia di lingkungan. Fotolisis umumnya
terjadi di atmorfer atau permukaan air, dimana kedua tempat tersebut mendapatkan
intensitas penyinaran yang terbesar. Reaksi fotolisis tergantung pada dua faktor, yaitu
intensitas dari sinar dan kapasitas dari melekol polutan untuk mengabsorsi sinar.
Senyawa hidrokarbon aromatik tak jenuh, seperti hidrokarbon aromatik polisiklik,
cenderung mudah terurai melalui reaksi fotolisis karena mempunyai kapasitas yang
tinggi untuk menyerap sinar ultraviolet. Absorpsi energi cahaya dapat memfasilitasi
oksigenasi dari kontaminan lingkungan melalui proses hidrolitik dan oksidatif. Proses
hidrolisis, air dengan kombinasi dengan energi cahaya dan panas umumnya dapat
memutuskan ikatan kimia. Reaksi hidrolisis umumnya merupakan hasil pemasukan satu
atom oksigen ke dalam inti molekul kimia. Laju reaksi hidrolisis dari zat kimia umumnya
dipengaruhi oleh temperatur dan pH dari media air. Laju hidrolsisi akan meningkat
dengan meningkatnya temperatur dan ekstrimnya pH media air.
6. partikulat (titik air yang tersuspensi di udara, asap, debu, asbestos, partikel logam
“Pb, Be, Cd”, minyak tersuspensi di udara, dan garam sulfat),
9. substansi radio aktif (tritium, radon: emisi dari bahan bakar fosil dan pembangkit
tenaga nuklir),
10. kebisingan.
Reaksi pembentukan asam sulfat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara dan
dikatalisis oleh garam mangan dan besi. Di atmosfer karbondioksida (0,03%) dalam
keseimbangan dengan air sebagai presipitasi, menghasilkan pH sekitar 5,7. Seperti
sulfuroksida, nitrogenoksida dapat beraksi dengan uap air dan oksigen membentuk
asam nitrat dan nitrit. Hujan asam berpengaruh pada penurunan pH daerah perairan,
mengakibatkan pelepasan logam-logam toksik, yang kemudian diserap oleh sedimen
atau biota perairan. Pelepasan logam-logam toksik ini juga berpengaruh pada
ekosistem alamiah perairan. Penurunan pH perairan berakibat juga pada
penurunan jalur dekomposisi zat-zat organik “zat makanan” dalam sistem perairan.
Pada pH<6 berakibat pada gangguan pada biota seperti pada fitoplankton,
zooplankton, hewan-hewan dasar perairan, dan hewan-hewan tak bertulang
belakang, sedangkan penurunan pH perairan sampai kurang dari 5,5 berakibat pada
penurunan populasi ikan-ikan terntentu, karena larva-larvanya yang peka pada pH
asam. Hujan asam “khususnya” asam sulfit dalam tanaman dapat menghilangkan ion
magnesium dari cincin tertrapirol pada melekul klorofil sehingga mengubah
klorofil menjadi phaeofitin, suatu pigmen yang tidak aktif terhadap fotosintesis. Asam
sulfit dapat juga merusak molekul protein, yaitu mengoksidasi ikatan sulfidanya. Akibat
dari hujan asam ini dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman, bahkan kematian.
Proses Terbentuknya Hujan Asam
Deposisi asam terjadi apabila asam sulfat, asam nitrat, atau asam klorida yang ada do
atmosfer baik sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau, hutan, lahan
pertanian, atau bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju, atau butiran-butiran cairan
(aerosol), ataupun jatuh bersama angin.
Gas SO2, bersama dengan radikal hidroksil dan oksigen melalui reaksi photokatalitik di atmosfer,
akan membentuk asamnya.
SO2 + OH → HSO3
NO + HO2 → NO2 + OH
Pada reaksi ini radikal hidroksil akan terbentuk kembali, jadi selama ada NO diudara, maka
reaksi radikal hidroksil akan terbantuk kembali, jadi semakin banyak SO 2, maka akan semakin
banyak pula asam sulfat yang terbentuk.
Pada siang hari, terjadi reaksi photokatalitik antara gas Nitrogen dioksida dengan radikal
hidroksil.
NO2 + OH → HNO3
Sedangkan pada malam hari terjadi reaksi antara Nitrogen dioksida dengan ozon
NO2 + O3 → NO3 + O2
Didaerah peternakan dan pertanian akan concong menghasilkan asam pada tanahnya
mengingat kotoran hewan banyak mengandung NH3 dan tanah pertanian mengandung urea.
Amoniak di tanah semula akan menetralkan asam, namun garam-garam ammonia yang terbentuk
akan teroksidasi menjadi asam nitrat dan asam sulfat. Disisi lain amoniak yang menguap ke
udara dengan uap air akan membentuk ammonia hingga memungkinkan penetralan asam yang
ada di udara.
HNO3 sangat asam dan larut dengan baik sekali. Selain itu juga merupakan asam keras dan
reaktif terhadap benda-benda lain yang menyebabkan korosif. Oleh sebab itu, presipitasinya akan
merusak tanaman terutama daun (Manahan, 1994 dalam Rahmawaty, 2002).
O* + ClO → Cl* + O2
Mekanisme proses terbentuknya hujan asam, dapat diamati pada Gambar berikut:
Dampak Hujan Asam Terhadap Kehidupan Manusia dan Lingkungan
Usaha untuk mengendalikan deposisi asam ialah menggunakan bahan bakar yang
mengandung sedikit zat pencemaran, menghindari terbentuknya zat pencemar saar terjadinya
pembakaran, menangkap zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.
Kandungan belerang dalam bahan bakar bervariasi. Penggunaan gas asalm akan
mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini dapat menambah emisi
metan. Usaha lain yaitu dengan menggunakan bahan bakar non-belerang atau bahan bakar
alternatif yang ramah lingkungan, misalnya metanol, etanol dan hidrogen.
Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah
dikembangkan. Salah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Selain itu,
bisa juga dilakukan dengan penggunaan Scrubbers. Alat ini mampu mengurangi emisi sulfur
okida hingga 80-95 %.
Zat pencemar juga dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang
sudah banyak dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD). Cara lain ialah dengan menggunakan
amonia sebagai zat pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagi
pupuk.
d) Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)
Hendaknya prinsip ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana
produk itu harus dapat digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau
limbah yang dihasilkan dapat dikurangi.
e) Untuk mengurangi dampak buruk yang muncul dari hujan asam terhadap tanah ataupun
danau dapat dilakukan dengan menambahkan zat kapur kedalam tanah atau kedalam danau.
Penambahan kapur kedalam tanah maupun danau dapat menetralkan sifat asam.
f) Melakukan Reboisasi atau penanaman kembali. Keberhasilan program reboisasi dan
rehabilitasi lahan akan dapat meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan
Polusi udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, atau komponen lain
ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu udara yang
telah ditetapkan. Sumber pencemaran udara dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
d) efek terhadap bukan saluran pernafasan: serangan asthmatis, saluran nafas yang
hiperreaktif, infeksi saluran pernafasan, dan perubahan fungsi paru yang
reversible. Sedangkan efek kronik terjadi akibat pemaparan jangka panjang
terhadap polusi udara, yaitu seperti kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif
kronis, perubahan dalam perkembangan dan proses penuaan paru-paru. Timbal
(Pb) di udara yang terserap dapat menimbulkan gangguan syaraf pada anak-anak,
termasuk kurannya kemapuan belajar (penurunan IQ) dan hiperaktifitas, kerusakan
ginjal. Benzen yang biasa merupakan cemaran udara pada industri karet dan
bahan kimia, industri penyulingan minyak bumi, diketahui dapat menyebabkan
leukemia pada pekerja-pekerjanya. Karbondioksida mungkin berperan dalam
perkembangan penyakit jantung isemik “ischemic heart disease”, dimana otot-otot
jantung tidak mendapat cukup oksigen dalam waktu yang lama dan jaringan-
jaringannya perlahan-lahan mati.
H. PESTISIDA
Pestisida sangat banyak digunakan secara global dalam produksi makanan,
serat dan kayu, dalam pengelolaan tanah masyarakat, dan dalam pengendalian
serangga-serangga pembawa penyakit dan hama-hama rumah tangga dan
kebun. Masyarakat belekangan ini semakin tergantung pada penggunaan bahan-
bahan kimia dalam pengendalian serangga yang tidak dikehendaki, gulma, jamur
dan binatang penggangu lainnya. Penggunaan pestisida yang tidak rasional telah
terbukti ikut menimbulkan masalah terhadap ekosistem. Penggunaan pestisida
telah diakui memberi keuntungan bagi manusia, namun mengingat bahaya yang
ditimbulkan perlu pertimbangan suatu penggunaan pestisida yang rasional.
Dampak lingkungan penggunaan pestisida berkaitan dengan sifat mendasar
yang penting terhadap efektivitasnya sebagai pestisida, yaitu:
1. Pestisida cukup beracun untuk mempengaruhi seluruh kelompok taksonomi
biota, termasuk makhluk bukan-sasaran, sampai batas tertentu bergantung
pada faktor fisiologis dan ekologis;
2. Banyak pestisida tahan terhadap degradasi lingkungan sehingga mereka
dapat tahan dalam daerah diberi perlakuan dan dengan demikian
keefektifannya dapat diperkuat, namun sebaliknya sifat ini juga
memberikan pengaruh jangka panjang dalam ekosistem alamiah.
Bahan kimia pestisida pertama kali diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan
penggunaan utamanya, seperti insektisida “pembasmi serangga”, fungisida
“pembasmi jamur”, dan sebagainya. Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi di atas,
berbagai senyawa pestisida dikelompokkan berdasarkan hubungan dan kemiripan
dari struktur dan kandungan bahan kimianya.
1. Insektisida, secara luas terdapat empat kelompok besar insektisida yaitu: a.
organoklorin “hidrokarbon terklorinasi” yang merupakan racun terhadap susunan
syaraf “neorotoksik” yang merangsang sistem syaraf baik pada serangga
maupun pada mamalia, yang menyebabkan tremor dan kejang-kejang.
b. organofosfat, umumnya adalah racun pembasmi serangga yang paling toksik
secara akut terhadap binatang bertulang belakang, seperti ikan, burung,
kadal/cicak, dan mamalia. Pada umumnya insektisida organofosfat lebih mudah
terurai di lingkungan ketimbang golongan organoklorin. Organofasfat
mempengaruhi sistem syaraf, yang pada akhirnya mempengaruhi sistem
pernafasan dan sirkulasi, menyebabkan kejang otot dan kelumpuhan
c. karbamat. Golongan ini paling banyak digunakan di dunia. Kerja insektisida
karbamat adalah hampir sama dengan organofosfat, yaitu menghambat kerja
enzim asetilkolinesterase.
d. senyawa sintetik botani dan derivatnya.
Referensi:
Jainal Abidin. 2019. Pengaruh Dampak Pencemaran Udara terhadap Kesehatan untuk
Menambah Pemahaman Masyarakat Awam tentang Bahaya dari Polusi Udara.
Pekanbaru: FMIPA UNRI.
Yulianto dan Nurul Amaloyah. 2017. Toksikologi Lingkungan. Jakarta: Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.