Anda di halaman 1dari 14

SALSHA MEIFITRA AGNA

1805113403

TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Toksikolohi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sifat, pengaruh, dan
cara mendeteksi agen toksik. Toksikologi berasal dari bahasa yunani, yakni toxicon
berarti racun dan logos berarti ilmu. Sehingga, toksikologi sebagai ilmu pengetahuan
mengenai substansi beracun (toksik), yang dapat menyebabkan perubahan/gangguan
pada fungsi suatu organisme sehingga bisa memberi dampak serius dan berbahaya
bagi organisme target, seperti kematian.

Toksikologi lingkungan adalah suatu studi yang mempelajari efek dari bahan polutan
terhadap kehidupan dan pengaruhnya terhadap ekosistem yang digunakan untuk
mengevaluasi kaitan antara manusia dengan polutan yang ada di lingkungan.
Toksikologi lingkungan yaitu mempelajari proses degradasi zat kimia “perubahan kimia
yang dialami oleh toksikan“ di lingkungan serta transport zat kimia tersebut dari satu
tempat ke tempat lain di alam ini, disamping itu toksikologi lingkungan adalah
pengetahuan yang mempelajari efek toksik yang timbulkan dampak atau resiko
keberadaan zat kimia tersebut terhadap makhluk organisme hidup.

A. Pencemaran Lingkungan

Dalam bahasa sehari-hari pencemaran lingkungan dipahami sebagai suatu


kejadian lingkungan yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan gangguan atau
kerusakan lingkungan yang mungkin dapat gangguan kesehatan lingkungan bahkan
kematian organisme dalam ekosistem.

Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah: masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.

Keberadaan pencemaran di lingkungan memerlukan suatu sistem penilaian yang


disesuaikan dengan peruntukan lingkungannya, perlu diingat disini kadang diperlukan
suatu penilaian subjektif, terhadap pengaruh buruk atau baik dari pencemaran tersebut.
Sebagai contoh pada saat pelepasan unsur hara makanan tumbuhan dilepas ke jalur
perairan, menyebabkan pertambahan jumlah tumbuhan yang ada dan seringkali diikuti
dengan peningkatan jumlah ikan. Jadi, nelayan akan menganggap tindakan ini
menguntungkan dan dengan demikian bukanlah pencemaran. Sebaliknya, pengelola
pasokan air minum pengingkatan jumlah tanaman air dan ikan, memerlukan
peningkatan biaya dan prosedur pengolahan air minum, sehingga pihak pengelola air
minum menganggap bahwa pencemaran telah terjadi.

Sumber-sumber pencemaran meliputi:

1. Alami : Letusan gunung, bencana banjir, angina topan dll


2. Buatan : Air buangan rumah tangga, sarana industri, bermacam-macam bahan
galian, aktivitas pertanian, dll.
3. Bahan-bahan yang dapat menimbulkan keracunan: bahan kimia, berasal dari
tumbuhan serta hewan.
Pencemaran lingkungan terjadi bila daur materi dalam lingkungan hidup
mengalami perubahan, sehingga keseimbangan dalam hal struktur maupun fungsinya
dapat terganggu. Ketidakseimbangan struktur dan fungsi daur materi terjadi karena
proses alam atau juga karena perbuatan manusiauntuk memenuhi kebutuhan biologis
dan kebutuhan teknologi sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Manusia
merupakan satu-satunya komponen lingkungan hidup biotik dengan kemampuan
merubah keadaan lingkungan hidup. Usaha merubah lingkungan hidupnya ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, namun disuatu sisi dapat menimbulkan
masalah seperti pencemaran.

B. SIFAT ALAMINYA LINGKUNGAN


Kondisi iklim lingkungan memberi efek yang besar terhadap resiko dari toksisitas
toksikan di lingkungan. Pada kabut fotokimia, dimana iklim dan radiasi sinar UV dari
cahaya matahari merupakan faktor penentu. Namun dilain sisi radiasi sinar UV
diperlukan untuk mempercepat reaksi degradasi senyawa organik di alam dan juga
sinar UV diperlukan untuk membunuh mikrobakteri fatogen dan virus di alam bebas.
Tentunya sinar UV telah terbukti dapat mengakibatkan radikal bebas di dalam tubuh
yang mengakibatkan penyimpangan pada proses replikasi DNA, dan menyebabkan
kanker kulit. Meningkatnya intensitas sinar UV di permukaan bumi disebabkan
berkurangnya lapisan ozon di stratosfer, yang diakibatkan oleh polutan udara di
stratosfer. Disamping efek tersebut di atas peningkatan sinar UV menyebabkan
peningkatan temperatur bumi. Peningkatan temperatur dapat meningkatkan jumlah
penguapan senyawa kimia ke atmosfer, akibatnya semakin meningkat jumlah zat kimia
yang menguap di atmosfer sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan
jumlah toksikan yang terhirup. Peningkatan bahaya pernafasan ini akan tidak terjadi
jika tidak terjadi pemanasan permukaan bumi. Peningkatan termperatur juga akan
berpangaruh pada peningkatan pelepasan air melalui keringat oleh organisme,
sebaliknya ekskresi xenobiotika melalui akan menurun, hal ini akan menyebabkan
terjadinya penumpukan “deposisi” xenobiotika / toksikan dalam organisme.
Sesuai dengan sifat alami lingkungan, dengan meningkatnya temperatur akan
mengakibatkan penurunan kadar oksigen di dalam air alam “air danau”, dengan
demikian dapat menyebabkan kematian ikan dan membuat ikan-ikan yang
tadinya sangat tahan terhadap lingkungan menjadi bertambah rentan akibat perubahan
lingkungan tersebut. Peningkatan temperatur dapat juga mempercepat reaksi-reaksi
kimia di lingkungan, hal ini mungkin menguntungkan bagi organisme atau sebaliknya
akan merugikan. Hujan, hujan es, dan salju membersihkan zat kimia di atmoSfer.
Hal ini dikenal dengan deposisi basah. Meningkatnya air tanah akan meningkatkan
aktivitas biologi di tanah sampai suatu titik, yaitu banjir. Banjir mengakibatkan tanah
menjadi anaerob. Jika tanah menjadi anaerob proses oksidativ akan cepat terhenti. Hal
ini berarti, penghentian proses degrasi oksidativ oleh mikroorganisme. Banjir juga
meningkatkan kelarutan zat toksik di dalam tanah, dimana zat toksik akan terlarut ke
dalam air hujan, yang pada akhirnya dapat mencemari sumber air minum.
Pergerakan udara yang cepat dapat menurunkan konsentrasi gas polutan di
tempat produsennya dengan cepat, tiupan angin kencang akan membawa gas polutan
ke tempat yang sangat jauh. Hujan asam meningkatkan keasaman danau yang
akhirnya akan meracuni ikan-ikan. Hal ini juga terjadi di negara kita, setiap tahun kita
mengirim asap pembakaran hutan di daratan pulau Sumatra dan Kalimantan ke negara
tetangga kita, yaitu Singapura dan Malaysia. Kabut asap pembakaran ini dapat
mengganggu fungsi saluran pernafasan bagian atas. Pergerakan udara juga mungkin
meningkatkan penguapan air, sehingga bersamaan dengan peningkatan temperatur
senyawa-senyawa yang tidak menguap akan ikut penguap bersama uap air. Contoh
yang paling terkenal pada kasus ini adalah penggaraman tanah pertanian, air irigasi
membawa garam-garam menuju tanah pertanian, jika air ini menguap mengakibatkan
peningkatan temperatur maka garam-garam tersebut akan tertinggal di tanah sampai
batas tertentu dimana akan meracuni tanah mengakibatkan tidak tumbuhnya tanaman.
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa sifat alami lingkungan juga
berpengaruh pada toksisitas “tingkat bahaya” dari suatu toksikan, demikian juga
pergerakkan (dinamika) toksikan di alam.

C. PERSISTENSI ZAT KIMIA DI LINGKUNGAN


Terdapat berbagai proses abiotik dan biotik di alam ini yang berfungsi
menguraikan zat kimia di lingkungan. Banyak zat kimia yang pada awalnya berbahaya
bagi lingkungan, namun melalui proses biotik dan abiotik ini terjadi penurunan
resiko ”toksisitas”-nya di lingkungan. Secara umum persistensi dapat diartikan sebagai
waktu tinggal suatu zat kimia dalam lingkungan (tanah, air dan udara), atau sebagai
waktu paruh dari degradasi zat kimia di lingkungan.

Waktu paruh di lingkungan beberapa zat kimia kontaminan lingkungan

Kontaminan Waktu paruh media


DDT 10 tahun Tanah
TCDD 9 tahun Tanah
Atrazin 25 bulan Air (pH=7)
Benzoperilen (PAH) 14 bulan Tanah
Fenantren (PAH) 138 hari Tanah
Karbofuran 45 hari Air (pH=7)

Campuran insektisida ini secara kimia sangat stabil, yaitu mereka tidak cepat
terurai di lingkungan, jaringan hewan, dan tumbuhan. Kenyataannya mereka tetap
bertahan dan tidak berubah di dalam tanah dan air untuk jangka waktu berpuluh-
puluh tahun, serta selalu siap untuk dimakan oleh organisme. Melalui proses
biokonsentrasi, mereka terakumulasi pada jaringan tumbuhan dan hewan, dan
berpotensi berbahaya pada rantai makanan.
1. Degradasi abiotik, dengan melibatkan faktor pengaruh cahaya ”fotolisis”
dan air ”hidrolisis”. Proses fotolisis pada dasarnya cahaya ”sinar ultraviolet” sangat
berpotensial melakukan pemutusan ikatan kimia, sehingga secara signifikan dapat
membantu dalam proses degrasi senyawa kimia di lingkungan. Fotolisis umumnya
terjadi di atmorfer atau permukaan air, dimana kedua tempat tersebut mendapatkan
intensitas penyinaran yang terbesar. Reaksi fotolisis tergantung pada dua faktor, yaitu
intensitas dari sinar dan kapasitas dari melekol polutan untuk mengabsorsi sinar.
Senyawa hidrokarbon aromatik tak jenuh, seperti hidrokarbon aromatik polisiklik,
cenderung mudah terurai melalui reaksi fotolisis karena mempunyai kapasitas yang
tinggi untuk menyerap sinar ultraviolet. Absorpsi energi cahaya dapat memfasilitasi
oksigenasi dari kontaminan lingkungan melalui proses hidrolitik dan oksidatif. Proses
hidrolisis, air dengan kombinasi dengan energi cahaya dan panas umumnya dapat
memutuskan ikatan kimia. Reaksi hidrolisis umumnya merupakan hasil pemasukan satu
atom oksigen ke dalam inti molekul kimia. Laju reaksi hidrolisis dari zat kimia umumnya
dipengaruhi oleh temperatur dan pH dari media air. Laju hidrolsisi akan meningkat
dengan meningkatnya temperatur dan ekstrimnya pH media air.

2. Degradasi biotik. Penguraian zat kimia di lingkungan secara biokimia,


umumnya proses ini berlangsung sangat lambat dan degradasi ini dapat berlangsung
lebih cepat apabila dibantu oleh proses enzimatis dari mikroorganisme (bakteri,
jamur, protozoa, dan ganggang). Reaksi mencangkup oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan
terkadang penataan ulang struktur molekul xenobiotika. Reaksi ini dipengaruhi oleh
bangun molekul dan konsentrasi cemaran, sifat mikroorganisme, keadaan
lingkungan dan suhu. Proses degradasi biotik dapat menguraikan melekul menjadi
karbon dioksida, air dan komponen anorganik dasar. Proses biotik umumnya
melibatkan proses reaksi biokimia dalam tubuh organisme.
D. PROSES BIOAKUMULASI
Bioakumulasi adalah penimbunan substansi di dalam tubuh suatu organisme.
Sebagai ilustrasi, misal toksikan yang pada awalnya keberadaannya di suatu
reservor air (misal danau), dibawah ambang batas membahayakan. Toksikan itu akan
mencemari tanaman-tanaman air maupun binatang-binatang kecil yang kemudian
melalui rantai makanan akan sampai pada ikan, dan selanjutnya pada pemakan ikan
termasuk manusia. Seperti halnya dengan suatu zat kimia yang bergerak dari satu
organisme ke organisme lainnya akan terjadi peningkatan konsentrasi zat tersebut
melalui proses yang disebut bioakumulasi atau biokonsentrasi. Jadi bioakumulasi dapat
didefinisikan sebagai proses penumpukan “akumulasi” zat kimia pada organisme baik
melalui penyerapan langsung dari lingkungan abiotik (seperti, air, udara, tanah) maupun
melalui rantai makanan. Umumnya hubungan antara konsentrasi pencemar di
lingkungan dan di dalam jaringan mahluk hidup dinyatakan dalam parameter faktor
biokonsentrasi (BCF = bioconcentration factor). Faktor biokonsentrasi merupakan ratio
antara konsentrasi suatu zat kimia di lingkungan dengan konsentrasi dalam jaringan
makhluk hidup.
Dalam lingkungan alamiah, derajat biomagnifikasi biasanya merupakan suatu
fungsi yang rumit dari: (1) jumlah mata rantai dalam ratai makanan, (2) jenis-jenis
mahkluk hidup dalam ratai makanan, (3) keadaan alamiah dari senyawa yang
diakumulasikan, (4) dosis dari senyawa kimia dari setiap tingkat rantai makanan, dan
(5) lamanya berhubungan dengan pencemar.
Fungsi ini semakin rumit karena pada kenyataannya keseluruhan biomagnifikasi
dalam sistem alamiah adalah tidak menentu. Kita harus lebih berhati-hati karena pada
kenyataannya hampir semua rantai makanan dalam ekosistem, manusia adalah
pemegang posisi puncak, sehingga akan berimplikasi pada manusia, yaitu puncak
penumpukan substansi cemaran berada pada manusia atau dengan lain kata resiko
bahaya yang menanggung risiko biomagnifikasi paling tinggi adalah manusia.
Disamping itu fenomena bioakumulasi zat kimia pencemar, baik dalam jaringan hewan
maupun tumbuhan, tentu saja akan berpengaruh pada keamanan pangan. Sehingga
mungkin secara sederhana dapat disarikan bahwa masalah keamanan pangan
mempunyai korelasi positif dengan merosotnya mutu lingkungan suatu ekosistem.
Dampak bioakumulasi pada keseimbangan ekosistem adalah timbunan zat di
lingkungan, baik secara cepat atau lambat akan mempengaruhi daya dukung
lingkungannya. Gangguan terhadap makhluk hidup dapat berpengaruh pada mutasi
gen dan teratogenik makhluk hidup yang akan berujung pada kepunahan suatu
spesies. Dengan hilangnya suatu spesies tertentu, maka rantai makanan akan kacau
dan lingkungan menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan lingkungan akan
berdampak pada kepunahan spesies lain.
E. PENCEMAR UDARA
Pencemaran udara diartikan sebagai udara yang mengandung satu atau lebih bahan
kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan atau
bahaya terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan harta benda.
Polutan udara dapat dikelompokkan, yaitu:
a. polutan udara primer, adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan langsung
ke udara yang menyebabkan konsentrasinya meningkat dan membahayakan.
Pencemaran udara primer dapat berupa komponen udara alamiah, seperti
karbondioksida, yang meningkat jumlahnya sampai di atas konsentrasi
normalnya, atau sesuatu yang tidak biasanya terdapat di udara seperti
senyawa timbal “Pb”.
b. Polutan udara sekunder adalah senyawa kimia berbahaya yang terbentuk di
atmosfer melalui reaksi kimia diantaranya berbagai komponen di udara.
Contoh pencemaran sekunder adalah kabut fotokimia.

Polutan di udara dikelompokkan menjadi 10 kelompok besar, yaitu:

1. karbon oksida (CO, CO2)

2. sulfur oksida (SO2, SO3)

3. nitrogen oksida (N2O, NO, dan NO2),

4. hidrokarbon (methan “CH4”, butan “C4H10”, benzen “C6H6”),

5. oksidan fotokimia (ozon, PAN, dan berbagai senyawa aldehid),

6. partikulat (titik air yang tersuspensi di udara, asap, debu, asbestos, partikel logam
“Pb, Be, Cd”, minyak tersuspensi di udara, dan garam sulfat),

7. senyawa organik lainnya (asbestos, hidrogen fluorida “HF”, hidrogen sulfida


“H2S”, amonia “NH3”, asam sulfat “H2SO4”, dan asam nitrat “HNO3”),

8. senyawa organik karbon rantai panjang (pestisida, herbisida, berbagai alkohol,


dan hidrokarbon lain yang mudah menguap),

9. substansi radio aktif (tritium, radon: emisi dari bahan bakar fosil dan pembangkit
tenaga nuklir),

10. kebisingan.

Polutan pencemaran udara, antara lain:


1. Karbon monoksida (CO) adalah gas tidak berwarna dan tidak berbau, serta
bersifat racun. Gas ini dihasilkan dari pembakaran material dengan kandungan
karbon seperti bensin, gas alam, batu bara, kayu, dan sebagainya. Gas ini dapat
menyebabkan kematian. Sel darah tidak hanya mengikat oksigen karena
mempunyai ikatan lebih kuat terhadap karbon monoksida daripada oksigen.
Sehingga kalau terdapat CO dan O 2, sel darah merah akan cenderung berikatan
dengan karbon monoksida.
2. Oksida nitrogen (NOX) meliputi nitrogen oksida (NO), dinitrogen oksida (N 2O),
dan nitrogen dioksida (NO2). Sumber utamanya akibat aktivitas manusia
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, terutama bensin kendaraan
bermotor. Secara akut, oksida nitogen dapat menyebabkan iritasi pada saluran
nafas, ketoksikan pada edema, dan kesulitan bernafas, sehingga dapat
berdampak pada kematian.
3. Oksida Belerang (SOX) meliputi belerang dioksida (SO 2) dan belerang
trioksida(SO3). Belerang dioksida merupakan gas berbau sangat menyengat.
Oksida belerang dapat menyebabkan iritasi pada mata, tenggorokan, dan
saluran pernafasan.
4. Partikulat, merupakan suspensi padatan dalam udara. Beberapa diantaranya
adalah asap, debu, jelaga dan abu.Partikulat dapat masuk dan menyebabkan
efek toksik pada manusia.
5. Karbon dioksida (CO2), adalah sebuah gas tidak berwarna dan tidak berbau.
Sumber gas ini berasal dari pembakaran bahan bakar, biomassa, pernafasan
makhluk hidup, tumpukan sampah, letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dll.

F. SULFUR DIOKSIDA DAN HUJAN ASAM


Sulfurdioksida “SO2” yang dihasilkan akibat pembakaran bahan bakar fosil di
udara akan bereaksi dengan uap air dan oksigen menghasilkan asam sulfat.
2 SO2 + H2O + O2 → H2SO4

Reaksi pembentukan asam sulfat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara dan
dikatalisis oleh garam mangan dan besi. Di atmosfer karbondioksida (0,03%) dalam
keseimbangan dengan air sebagai presipitasi, menghasilkan pH sekitar 5,7. Seperti
sulfuroksida, nitrogenoksida dapat beraksi dengan uap air dan oksigen membentuk
asam nitrat dan nitrit. Hujan asam berpengaruh pada penurunan pH daerah perairan,
mengakibatkan pelepasan logam-logam toksik, yang kemudian diserap oleh sedimen
atau biota perairan. Pelepasan logam-logam toksik ini juga berpengaruh pada
ekosistem alamiah perairan. Penurunan pH perairan berakibat juga pada
penurunan jalur dekomposisi zat-zat organik “zat makanan” dalam sistem perairan.
Pada pH<6 berakibat pada gangguan pada biota seperti pada fitoplankton,
zooplankton, hewan-hewan dasar perairan, dan hewan-hewan tak bertulang
belakang, sedangkan penurunan pH perairan sampai kurang dari 5,5 berakibat pada
penurunan populasi ikan-ikan terntentu, karena larva-larvanya yang peka pada pH
asam. Hujan asam “khususnya” asam sulfit dalam tanaman dapat menghilangkan ion
magnesium dari cincin tertrapirol pada melekul klorofil sehingga mengubah
klorofil menjadi phaeofitin, suatu pigmen yang tidak aktif terhadap fotosintesis. Asam
sulfit dapat juga merusak molekul protein, yaitu mengoksidasi ikatan sulfidanya. Akibat
dari hujan asam ini dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman, bahkan kematian.
Proses Terbentuknya Hujan Asam

Deposisi asam terjadi apabila asam sulfat, asam nitrat, atau asam klorida yang ada do
atmosfer baik sebagai gas maupun cair terdeposisikan ke tanah, sungai, danau, hutan, lahan
pertanian, atau bangunan melalui tetes hujan, kabut, embun, salju, atau butiran-butiran cairan
(aerosol), ataupun jatuh bersama angin.

1.      Pembentukan Asam Sulfat (H2SO4)

Gas SO2, bersama dengan radikal hidroksil dan oksigen melalui reaksi photokatalitik di atmosfer,
akan membentuk asamnya.

SO2 + OH → HSO3

HSO3 + O2 → HO2 + SO3

SO3 + H2O →  H2SO4

Selanjutnya apabila diudara terdapat Nitrogen monoksida (NO) maka radikan


hidroperoksil (HO2) yang terjadi pada salah satu reaksi diatas akan bereaksi kembali seperti:

NO + HO2 → NO2 + OH

Pada reaksi ini radikal hidroksil akan terbentuk kembali, jadi selama ada NO diudara, maka
reaksi radikal hidroksil akan terbantuk kembali, jadi semakin banyak SO 2, maka akan semakin
banyak pula asam sulfat yang terbentuk.

2.      Pembentukan Asam Nitrat (HNO3)

Pada siang hari, terjadi reaksi photokatalitik antara gas Nitrogen dioksida dengan radikal
hidroksil.

NO2 + OH → HNO3

Sedangkan pada malam hari terjadi reaksi antara Nitrogen dioksida dengan ozon
NO2 + O3 → NO3 + O2

NO2 + NO3 → N2O5

N2O5 + H2O →  HNO3

Didaerah peternakan dan pertanian akan concong menghasilkan asam pada tanahnya
mengingat kotoran hewan banyak mengandung NH3 dan tanah pertanian mengandung urea.
Amoniak di tanah semula akan menetralkan asam, namun garam-garam ammonia yang terbentuk
akan teroksidasi menjadi asam nitrat dan asam sulfat. Disisi lain amoniak yang menguap ke
udara dengan uap air akan membentuk ammonia hingga memungkinkan penetralan asam yang
ada di udara.

HNO3 sangat asam dan larut dengan baik sekali. Selain itu juga merupakan asam keras dan
reaktif terhadap benda-benda lain yang menyebabkan korosif. Oleh sebab itu, presipitasinya akan
merusak tanaman terutama daun (Manahan, 1994 dalam Rahmawaty, 2002).

3.      Pembentukan Asam Chlorida (HCl)

Asam klorida biasanya terbentuk di lapisan stratosfer, dimana reaksinya melibatkan


Chloroflorocarbon (CFC) dan radikal oksigen O*

CFC + hv(UV) → Cl* + produk

CFC + O* → ClO + produk

O* + ClO → Cl* + O2

Cl + CH4 → HCl + CH3

Mekanisme proses terbentuknya hujan asam, dapat diamati pada Gambar berikut:
Dampak Hujan Asam Terhadap Kehidupan Manusia dan Lingkungan

Dampak terhadap Keterangan


Makhluk Hidup 1. Punahnya beberapa jenis ikan
2. Mengganggu siklus makanan
3. Mengganggu pemanfaatan air untuk air
minum, perikanan, pertanian
4. Menimbulkan masalah pada kesehatan,
pernafasan dan iritasi kulit

Vegetasi 1. Perubahan keseimbangan nutrisi dalam


tanah
2. Mengganggu pertumbuhan tanaman
3. Merusak tanaman
4. Menyuburkan pertumbuhan jamur madu
yang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman (menjadi layu)
Dampak terhadap Keterangan
Stuktur Bangunan 1. Melarutkan Kalsium Karbonat pada beton,
lantai marmer
2. Melarutkan tembaga dan baja
3. Mempercepat korosi pada pipa saluran air
4. Mengikis bangunan candi dan patung

   Upaya-Upaya Untuk Mengurangi dan Mencegah Dampak dari Hujan Asam

Usaha untuk mengendalikan deposisi asam ialah menggunakan bahan bakar yang
mengandung sedikit zat pencemaran, menghindari terbentuknya zat pencemar saar terjadinya
pembakaran, menangkap zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.

a)      Menggunakan Bahan Bakar Dengan kandungan Belerang Rendah

Kandungan belerang dalam bahan bakar bervariasi. Penggunaan gas asalm akan
mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini dapat menambah emisi
metan. Usaha lain yaitu dengan menggunakan bahan bakar non-belerang atau bahan bakar
alternatif yang ramah lingkungan, misalnya metanol, etanol dan hidrogen.

b)      Pengendalian Pencemaran Selama Pembakaran

Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah
dikembangkan. Salah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Selain itu,
bisa juga dilakukan dengan penggunaan Scrubbers. Alat ini mampu mengurangi emisi sulfur
okida hingga 80-95 %.

c)      Pengendalian Setelah Pembakaran

Zat pencemar juga dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang
sudah banyak dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD). Cara lain ialah dengan menggunakan
amonia sebagai zat pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagi
pupuk.
d)     Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)

Hendaknya prinsip ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana
produk itu harus dapat digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau
limbah yang dihasilkan dapat dikurangi.

e)      Untuk mengurangi dampak buruk yang muncul dari hujan asam terhadap tanah ataupun
danau dapat dilakukan dengan menambahkan zat kapur kedalam tanah atau kedalam danau.
Penambahan kapur kedalam tanah maupun danau dapat menetralkan sifat asam.

f)       Melakukan Reboisasi atau penanaman kembali. Keberhasilan program reboisasi dan
rehabilitasi lahan akan dapat meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan

G. POLUSI UDARA DAN KESEHATAN

Polusi udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, atau komponen lain
ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu udara yang
telah ditetapkan. Sumber pencemaran udara dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Sumber perkotaan dan industry, berasal dari kemajuan teknologi yang


mengakibatkan banyaknya pabrik-pabrik industry, pembangkit listrik dan
kendaraan bermotor.
2. Sumber pedesaan/ pertanian. Berasal dari penggunaan pestisida sebagai zat
senyawa kimia.
3. Sumber alami, berasal dari alam seperti abu yang dikeluarkan akibat gunung
berapi,gas-gas vulkanik, debu yang bertiupan akibat tiupan angina, bau yang
tidak enak akibat proses pembusukan sampah organic dan lainnya.

Penyebab peningkatan pencemaran udara: Peningkatan urbanisasi, pertumbuhan


penduduk, industrialisasi, dan penggunaan kendaraan bermotor. Efek polusi udara
dapat dibagi menjadi empat kelompok:

a) efek jangka pendek atau akut terhadap saluran pernafasan,

b) efek jangka panjang atau kronik terhadap saluran pernafasan,

c) kanker paru-paru, dan

d) efek terhadap bukan saluran pernafasan: serangan asthmatis, saluran nafas yang
hiperreaktif, infeksi saluran pernafasan, dan perubahan fungsi paru yang
reversible. Sedangkan efek kronik terjadi akibat pemaparan jangka panjang
terhadap polusi udara, yaitu seperti kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif
kronis, perubahan dalam perkembangan dan proses penuaan paru-paru. Timbal
(Pb) di udara yang terserap dapat menimbulkan gangguan syaraf pada anak-anak,
termasuk kurannya kemapuan belajar (penurunan IQ) dan hiperaktifitas, kerusakan
ginjal. Benzen yang biasa merupakan cemaran udara pada industri karet dan
bahan kimia, industri penyulingan minyak bumi, diketahui dapat menyebabkan
leukemia pada pekerja-pekerjanya. Karbondioksida mungkin berperan dalam
perkembangan penyakit jantung isemik “ischemic heart disease”, dimana otot-otot
jantung tidak mendapat cukup oksigen dalam waktu yang lama dan jaringan-
jaringannya perlahan-lahan mati.

H. PESTISIDA
Pestisida sangat banyak digunakan secara global dalam produksi makanan,
serat dan kayu, dalam pengelolaan tanah masyarakat, dan dalam pengendalian
serangga-serangga pembawa penyakit dan hama-hama rumah tangga dan
kebun. Masyarakat belekangan ini semakin tergantung pada penggunaan bahan-
bahan kimia dalam pengendalian serangga yang tidak dikehendaki, gulma, jamur
dan binatang penggangu lainnya. Penggunaan pestisida yang tidak rasional telah
terbukti ikut menimbulkan masalah terhadap ekosistem. Penggunaan pestisida
telah diakui memberi keuntungan bagi manusia, namun mengingat bahaya yang
ditimbulkan perlu pertimbangan suatu penggunaan pestisida yang rasional.
Dampak lingkungan penggunaan pestisida berkaitan dengan sifat mendasar
yang penting terhadap efektivitasnya sebagai pestisida, yaitu:
1. Pestisida cukup beracun untuk mempengaruhi seluruh kelompok taksonomi
biota, termasuk makhluk bukan-sasaran, sampai batas tertentu bergantung
pada faktor fisiologis dan ekologis;
2. Banyak pestisida tahan terhadap degradasi lingkungan sehingga mereka
dapat tahan dalam daerah diberi perlakuan dan dengan demikian
keefektifannya dapat diperkuat, namun sebaliknya sifat ini juga
memberikan pengaruh jangka panjang dalam ekosistem alamiah.
Bahan kimia pestisida pertama kali diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan
penggunaan utamanya, seperti insektisida “pembasmi serangga”, fungisida
“pembasmi jamur”, dan sebagainya. Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi di atas,
berbagai senyawa pestisida dikelompokkan berdasarkan hubungan dan kemiripan
dari struktur dan kandungan bahan kimianya.
1. Insektisida, secara luas terdapat empat kelompok besar insektisida yaitu: a.
organoklorin “hidrokarbon terklorinasi” yang merupakan racun terhadap susunan
syaraf “neorotoksik” yang merangsang sistem syaraf baik pada serangga
maupun pada mamalia, yang menyebabkan tremor dan kejang-kejang.
b. organofosfat, umumnya adalah racun pembasmi serangga yang paling toksik
secara akut terhadap binatang bertulang belakang, seperti ikan, burung,
kadal/cicak, dan mamalia. Pada umumnya insektisida organofosfat lebih mudah
terurai di lingkungan ketimbang golongan organoklorin. Organofasfat
mempengaruhi sistem syaraf, yang pada akhirnya mempengaruhi sistem
pernafasan dan sirkulasi, menyebabkan kejang otot dan kelumpuhan
c. karbamat. Golongan ini paling banyak digunakan di dunia. Kerja insektisida
karbamat adalah hampir sama dengan organofosfat, yaitu menghambat kerja
enzim asetilkolinesterase.
d. senyawa sintetik botani dan derivatnya.

2. Herbisida, digunakan untuk membasmi rumput liar dalam pertanian, perkebunan


dan pertamanan. Herbisida berbeda-beda dalam selektivitasnya, persisten dalam
jaringan dan lingkungan, dan kemampuan untuk diserap oleh tumbuhan.
Herbisida digunakan sewaktu sebelum masa tanam, setelah penanaman tetapi
tidak lama sebelum tanaman atau rumput liar tumbuh, atau setelah tanaman
mulai tubuh.

3. Fungisida, Jamur merupakan parasit pada organisme hidup, mendapatkan


makanan dengan melakukan penetrasi ke dalam jaringan pejamu. Fungisida
digunakan untuk mencegah perusakan oleh jamur pada tanaman seperti,
kentang, apel, kacang tanah, dan tomat.

Referensi:

Jainal Abidin. 2019. Pengaruh Dampak Pencemaran Udara terhadap Kesehatan untuk
Menambah Pemahaman Masyarakat Awam tentang Bahaya dari Polusi Udara.
Pekanbaru: FMIPA UNRI.

Tatang Irianti,dkk. 2017. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Grafika Indah.

Yulianto dan Nurul Amaloyah. 2017. Toksikologi Lingkungan. Jakarta: Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai