Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TENTANG

PENILAIAN PASIEN KELOMPOK TRAUMA KHUSUS


(ANAK & USIA LANJUT)

DISUSUN OLEH :
NAMA KELOMPOK 4 :
1.
2.
3.
4. Mansye Latumahina
5. Meilissa Lesilolo
6. Siti Julmia

PRODI : KEPERAWATAN

SEMESTER : VI (ENAM)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

MALUKU HUSADA

KAIRATU

2020

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpah hidayah,
rahmat dan lindunganNya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan lancar.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembinbing mata
kuliah yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam
dalam penyusunan makalah ini, rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan
mahasiswa/i yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kami, selain itu untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca tentang “Penilaian Pasien Kelompok Trauma Khusus
(Anak & Usia Lanjut)”. Mungkin makalah yang kami susun belum sempurna karena kami
juga masih dalam proses belajar. Oleh karena itu kami meminta para pembaca untuk
memberikan saran/kritikan yang membangun dalam penyusunan makalah ini.

Demikianlah makalah yang kami susun dan jika ada tulisan atau perkataan yang
kurang berkenan, kami mohon maaf sebesar-besarnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk kita semua.

Kairatu , 11 Mei 2020

Kelompok 4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………1

2
KATA PENGANTAR..............................................................................................2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….4
1.1. Latar
Belakang………………………………………………………….4
1.2. Rumusan
Masalah………………………………………………………4
1.3. Tujuan
Penulisan………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………...5
2.1. Penilaian Pasien Kelompok Trauma Khusus (Anak & Usia Lanjut.........5
a. Pasien Anak.........................................................................................5
b. Pasien Usia Lanjut...............................................................................6

BAB III PENUTUP………………………………………………………………...9


3.1. Kesimpulan……………………………………………………………...9
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………........................10

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma merupakan suatu masalah kesehatan yang cukup serius karena sering
terjadi pada subjek usia muda. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma
tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen (Guillon, 2011). Trauma merupakan
penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker. Pada subgrup pasien usia dibawah 40 tahun, trauma
merupakan penyebab kematian utama (Guillion, 2011). Trauma abdomen, merupakan
penyebab kematian yang cukup sering ditemukan, sekitar 7–10% dari pasien trauma
(Costa, 2010).

Trauma umumnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan, lokasi


kerusakan, atau kombinasi keduanya. Trauma juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan kelompok demografis, seperti usia atau jenis kelamin. Ini juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis kekuatan yang diterapkan pada tubuh, seperti trauma
tumpul atau trauma tembus. Untuk tujuan penelitian, cedera dapat diklasifikasikan
menggunakan matriks Barell, yang didasarkan pada ICD-9-CM. Tujuan dari matriks
adalah untuk standardisasi internasional klasifikasi trauma. Trauma utama kadang-
kadang diklasifikasikan berdasarkan area tubuh; cedera yang mempengaruhi 40%
adalah polytrauma, 30% cedera kepala, 20% trauma dada 10%, trauma perut, dan 2%,
trauma ekstremitas.

Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar


8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah
di Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%)
dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena
benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%).
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4%) dan
terendah di Papua (19,4%) (Riskesdas 2013).

1.2. Rumusan Masalah

- Bagaimana penilaian pasien kelompok trauma khusus (anak & usia lanjut) ?

4
1.3. Tujuan Penulisan
- Mengetahui dan memahami penilaian pasien kelompok trauma khusus (anak & usia
lanjut).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penilaian Pasien Kelompok Trauma Khusus (Anak &Usia Lanjut)


a. Pasien Anak
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak, terutama anak
laki. Angka survival trauma berat sangat dipengaruhi oleh kualitas pertolongan pra
rumah sakit dan kecepatan resusitasi.

Penilaian awal (Initial Assessment) pada pasien trauma anak sama seperti
trauma dewasa. Prioritas utama adalah : Airway, Breathing, Circulation, Disability
neurologis dan Exposure (pemeriksaan lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki).
Selama pemeriksaan harus diwaspadai bahaya hipotermi.

Masalah khusus pada resusitasi dan intubasi anak :


• Ukuran kepala, lubang hidung dan lidah yang relatif besar.
• Bayi kecil cenderung bernafas melalui hidung ( nose breather)
• Sudut rahang bawah lebih besar, letak larynx lebih tinggi serta epiglottis yang lebih
besar dan berbentuk U.
• Cricoid adalah bagian tersempit dari larynx yang menentukan ukuran ETT. Pada
orang dewasa, bagian tersempit adalah pita suara.
• Panjang trakea bayi aterm adalah 4 cm dan diameter ETT yang sesuai adalah 2,5 - 3
mm (panjang trakea dewasa sekitar 12 cm).
• Distensi lambung sering terjadi setelah resusitasi dan perlu dekompresi dengan
pemasangan NGT (Naso-Gastric Tube).

Pada anak usia kurang dari 10 tahun, jangan menggunakan ETT dengan cuff
(balon) untuk menghindari pembengkakan subglottis dan ulserasi. Pada bayi dan
anak, intubasi oral lebih mudah dibandingkan intubasi nasal.

Syok pada anak :

5
Perabaan denyut nadi anak mudah dilakukan pada daerah pelipatan paha (groin)
untuk arteria femoralis dan pada daerah fossa antecubiti untuk arteria brachialis. Jika
denyut nadi tidak teraba maka resusitasi harus segera dimulai.

Tanda-tanda syok pada anak :


• Takhikardia.
• Denyut nadi perifer lemah atau tidak teraba.
• Pengisian kapiler (capillary refill ) > 2 detik.
• Takhipnea.
• Gelisah.
• Kesadaran menurun.
• Produksi urine berkurang.

Hipotensi sering merupakan tanda klinis yang terlambat, ketika syok sudah berat.

Akses vaskuler dilakukan dengan kateter I.V. ukuran besar di dua vena yang terpisah
(v. saphena longus dan v. femoralis). Gunakan vena perifer lebih dahulu, hindari vena
sentral.

Akses intraoseus adalah aman dan cukup efektif. Bila tidak tersedia jarum khusus
intraoseus, dapat digunakan jarum spinal ukuran besar. Tempat pemasangan adalah
daerah antero medial tibia dibawah tuberositas tibia. Hindari menusuk daerah
epiphyseal growth plate.

Pemberian cairan ditujukan agar diuresis mencapai 1-2 ml/kg BB pada bayi dan 0,5
– 1 ml/kg BB pada anak/ remaja. Dimulai dengan bolus NaCl 0,9% 20 ml/kg BB. Bila
tidak ada respons, berikan bolus kedua dengan jumlah yang sama. Bila tetap tidak ada
respons, berikan darah dari golongan yang sama atau PRC golongan O sebanyak 10
ml/kg BB.(sebaiknya Rh (-)).

Hipothermi adalah masalah yang besar bagi anak. Kehilangan panas melalui daerah
kepala cukup besar jumlahnya. Luas permukaan tubuh yang relatif lebih besar,
meningkatkan risiko hipotermi. Segera setelah memeriksa sekujur tubuh pasien
pasangkan selimut kembali. Infusi cairan harus dihangatkan.

Prinsip pengelolaan pasien anak sama dengan orang dewasa.

b. Pasien Usia Lanjut

6
Managemen trauma pada pasien lansia
Angka kematian pasien lansia dengan trauma meningkat pada setiap fase
(trimodal death curve) : immediate (pada tempat kejadian), early (24-48 jam setalah
kejadian trauma), dan delayed (setealah 48-72 jam). Segera tindakan resusitasi,
pemeriksaan radiographi, dan segera monitoring intensive atau tindakan operasi
merupakan hal yang penting untuk menurunkan mortalitas pada pasien trauma lansia.
Mencegah komplikasi dari trauma, seperti compromise kardiovaskuler, sepsis,
pneumonia, kegagalan multi organ
adalah hal yang sangat penting. Angka kejadian komplikasi dirumah sakit pasien
lansia dengan trauma adalah 33% dibandingkan pasien yang dewasa sebesar 19 %
(Knudson MM, at al, 2007).

Prehospital Care
Penatalaksanaan pasien trauma prehospital pada prinsipnya adalah sama yang
meliputi airway, breathing, circulation, disability, exposure dan environmental
control. Akan tetapi pada pasien trauma lansia ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan terkait dengan tempat tinggal pasien tersebut. Hal ini penting jika
pasien sudah pulih dari trauma dan pasien kembali ke lingkungan atau rumah dari
pasien tersebut. Perawat harus mengkaji/menanyakan ke pasien mengenai keadaan
lingkungan/rumah. Sejumlah pertanyaan harus ditanyakan oleh perawat. Apakah
pasien hidup sendiri? Apakah tampak bahwa pasien tidak dapat merawat dirinya
sendiri? Apakah ada bukti penyalahgunaan zat? Apakah ada tongkat atau kursi roda
bahwa pasien menggunakan? Apakah rumah bahaya jatuh (karpet, tangga,
pencahayaan yang kurang) atau tempat yang aman untuk orang tua pasien untuk
hidup?

Initial resuscitation
Initial resusitasi korban trauma lansia harus dipandu oleh protokol standar,
perawat harus selalu ingat bahwa standar parameter hemodinamik, terutama nadi,
tidak sepenuhnya mencerminkan gambaran klinis dari pasien trauma lansia. Pasien
yang stabil harus menjalani pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk mendapatkan
gambaran klinis pasien akibat trauma. Analisa gas darah arteri harus dianggap wajib
karena dapat menilai keseimbangan asam basa, peningkatan konsentrasi serum laktat
yang merupakan tanda dari hipovolemia.

7
Shock dan hipoperfusi sangat reliabel untuk memprediksi martalitas pada pasien
trauma lansia. Dua studi retrospective menunjukan bahwa pasien lansia yang
mengalami trauma tumpul dan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg dikaitkan
dengan tingkat kematian 82% sampai dengan 100%. Sayangnya, kondisi yang sudah
ada sebelumnya dapat mengaburkan diagnosis dan menyulitkan upaya resusitasi.
Gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner (CAD), dan insufisiensi ginjal
biasanya menghasilkan dasar cairan yang berlebihan, lebih rumit gambaran klinis
(Knudson MM, at al, 2007).

Pasien dalam kondisi shock florida harus mendapatkan resusitasi secara agresif
dengan menggunakan cairan atau darah dan penyebab dari shock harus segera
diidentifikasi. Pemberian cairan kristaloid lebih disarankan pada resusitasi awal untuk
menganti cairan pada pasien trauma yang mengalami shock. Tidak ada eviden yang
merekomendasikan antara cairan Normal Salin (NS) dan ringer laktat (RL) untuk
pasien lansia trauma lebih baik dari yang lainnya. Resusitasi dalam volume besar,
terutama pada pasien yang memiliki gangguan fungsi ginjal, NS secara teoritis dapat
menyebabkan asidosis metabolik, memburuknya keadaan shock. Sebaliknya, kalsium
di LR dapat mengalahkan sitrat yang disimpan packed red blood cells (PRBC) dan
mengakibatkan pembekuan selama transfusi. Sebuah meta-analisis ini menunjukkan
bahwa koloid tidak memiliki signifikan efek yang menguntungkan dalam resusitasi
trauma. Sebagian besar penulis merekomendasikan 1 sampai 2 L kristaloid diberikan
awalnya. Perawat dapat memberikan via bolus 500 ml (tergantung status klinis
pasien) kemudian dikaji ulang respon pasien.
Usia sangat mempengaruhi respon terhadap tindakan resusitasi. Tenaga
kesehatan/perawat harus mengunakan kondisi klinis pasien dan laboratorium untuk
menilai efektivitas resusitasi tersebut. Pasien harus segara dipasang kateter pada
semua pasien yang mengalami trauma jika tidak ada kontra indikasi. Urine output,
meskipun kurang bisa mengambarkan status cairan pada orang tua, akan tetapi masih
dapat memberikan informasi klinis yang relevan dan harus dipantau di instalasi gawat
darurat. Direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan gas darah arteri dan vena
laktat. Defisit basa dan serum laktat memberikan informasi yang penting dalam
resusitasi pasien trauma lansia. Tingkat laktat dan defisit basa berhubungan dengan
hipoperfusi sistemik dan shock (Husain FA, Martin MJ, Mullenix PS, et al (2003).

8
Pemantauan invasif dengan kateter arteri pulmonalis (PAC) lebih baik daripada
dengan kateter vena sentral, sebagai pedoman resusitasi pada pasien trauma lansia.
Studi menunjukkan bahwa dari 67 pasien lanjut usia yang mengalami patah tulang
pinggul, Schultz dan colleagues menunjukkan bahwa dengan PAC sebagai panduan
resusitasi dapat menurunkan kematian 29% sampai 29% (Callaway & Wolfe, 2007).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penilaian awal (Initial Assessment) pada pasien trauma anak sama seperti trauma
dewasa. Prioritas utama adalah : Airway, Breathing, Circulation, Disability neurologis
dan Exposure (pemeriksaan lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki). Selama
pemeriksaan harus diwaspadai bahaya hipotermi.

Penatalaksanaan pasien lansia dengan trauma pada prinsipnya adalah sama dengan
dewasa yang meliputi airway, breating, circulasi. Akan tetapi ada hal-hal yang harus
diperhatikan oleh perawat terkait dengan proses penuaan. Proses penuaan mengakibatkan
penurunan berbagai fungsi organ sehingga penanganannya harus lebih intensif dari pada
pasien yang lebih muda pada trauma yang sama. Segera melakukan resusitasi secara
cepat dan tepat dapat menghasilkan outcome yang lebih baik dan menurunkan mortalitas
dan morbiditas pada pasien lansia dengan trauma.

9
DAFTAR PUSTAKA

Callaway & Wolfe (2007). Geriatric Trauma. Emerg Med Clin N Am 25 (2007) 837–860

Costa, G., Tierno, S.M., Tomassini, F., Venturini, L., Frezza,B., Cancrini,G., Stella,F. (2010).
The epidemiology and clinical evaluation of abdominal trauma. Ann. Ital Chir, 81, 95-
102

Guillon, F. (2011). Epidemiology of Abdominal Trauma. CT of the Acute Abdomen, Medical


Radiology. Diagnostic Imaging. Berlin: Springer- Verlag p.15-26

Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

10

Anda mungkin juga menyukai