Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN

INKONTINENSIA URINE

Disusun Oleh :

1. Fenny Nur
2. Indah Novitasari
3. Riyanto
4. Riska Badriatun Nisak
5. Rozalina
6. Yosi Yulinda Dwi Astari

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANNUR PURWODADI

TAHUN PELAJARAN 2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan
Inkontinensia Urine.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga Asuhan Keperawatan Pada Lansia
dengan Inkontinensia Urine ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

   

    Purwodadi, Oktober 2019

   
             Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................6
C. Tujuan............................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................7

A. Pengertian......................................................................................................7
B. Komplikasi....................................................................................................7
C. Etiologi..........................................................................................................9
D. Patofisiologi.................................................................................................10
E. Manifestasi Klinis........................................................................................11
F. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................11
G. Penatalaksanaan...........................................................................................12
H. Komplikasi...................................................................................................14

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................16

A. Pengkajian....................................................................................................16
B. Diagnosa Keperawatan.................................................................................23
C. Nursing Care Plan........................................................................................24

BAB IV PENUTUP.................................................................................................37

A. Kesimpulan..................................................................................................37
B. Saran.............................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................38

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Inkontinensia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan
tempat yang tidak tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau sosial.
Masalah inkontinensia urinarius dibagi menjadi akut dan persisten.
Inkontinensia akut terjadi secara tiba-tiba dan biasaya akibat dari penyakit
akut. Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia stres,
inkontinensia urgensi, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional
(Watson dalam Maryam dkk (2008))
Diseluruh dunia ada 50 juta orang menderita inkontinensia urine
dengan rasio perempuan dan laki-laki 2:1. Ada 41%-57% wanita lansia
berumur lebih dari 40 tahun di Amerika menderita ketidakmampuan ini,
sedang di Inggris ada kira kira 14 juta orang menderita masalah berkemih,
yang artinya ada lebih banyak orang mengalami masalah perkemihan dari
pada asma, diabetes dan epilepsi jika digabungkan (Barrie, 2015).
Dalam suatu penelitian pada 200 lansia yang tinggal di komunitas,
menemukan bahwa inkontinensia stres merupakan tipe inkontinensia yang
paling umum. Inkontinensia stress sendiri merupakan kebocoran urine akibat
kelemahan otot panggul dan struktur penyokong panggul, tekanan
intraabdomen yang tinggi, overdistensi dan pintu kandung kemih yang tidak
kompeten atau defisiensi sfingter (Wells, dkk, 1987; McDowell, 1997;
Carroll-johnson, 1989; dalam Maas, 2011).
Inkontinensia adalah penyebab terbanyak masuknya lansia ke panti
werda. Faktanya ada sebanyak setengah dari penderita tinggal dirumah dan
10% sampai 30% lansia yang tinggal dikomunitas mengalami inkontinensia.

4
Bahkan dikatakan inkontinensia urine lebih merata dari pada epilepsi, asma
atau dimensia (Rantel, dkk, 2015).
Sangat penting bahwa orang-orang yang mengalami masalah
inkontinensia diberikan kesempatan untuk mendapatkan kembali layanan
komprehensif berkualitas tinggi sebagai bagian penting dari perawatan
mereka. Inkontinensia dapat sangat memalukan dan membuat frustasi hingga
membuat sebagian lansia menolak untuk mendiskusikannya. Mereka
mungkin takut terhadap pembedahan atau tidak menyadari bahwa ada
pilihan terapi. Lansia juga sering merasa professional perawatan kesehatan
tidak tertarik terhadap masalah tersebut (Stockslager & Schaeffer, 2008).
Merupakan peran perawat dalam memberikan dan memperhatikan
pelayanan keperawatan kepada individu sesuai dengan diagnosis masalah
yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada
masalah yang kompleks. Seperti halnya inkontinensia urine, tidak hanya
berdampak pada fisik namun psikis, kondisi ini juga dapat membatasi kerja,
kesempatan pendidikan dan rekreasi sehingga menyebabkan rasa malu sosial
dan isolasi (Barrie, 2015). Kendati merupakan masalah yang umum terjadi
pada lansia dan memiliki dampak besar pada kualitas hidup mereka,
inkontinensia bukan konsekuensi penuaan yang ireversibel. Maka dari itu
penulis bermaksud mengaplikasikan asuhan keperawatan pada lansia dengan
inkontinensia urine baik dalam fisik, psikologi maupun sosial. Beberapa
intervensi keperawatan dapat digunakan untuk mengobati inkontinensia.
Semakin banyak bukti bahwa terapi dapat menurunkan insiden dan biaya
terapi inkontinensia urine baik pada lansia yang dirawat dipanti werdha
maupun lansia yang tinggal dirumah mereka (Beheshti & Fonteyn, 1998;
Ouslander, dkk, 1993 dalam Maas 2011).

5
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine pada lansia ?

C. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine pada
lansia.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Inkontinensia urin adalah pelepasan urin secara tidak terkontrol dalam
jumlah yang cukup banyak, sehingga daopat di anggap sebagai kondisi yang
di sebabkan karena usia (Setyono, 2001).
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan (Bruner & Suddart, 2002).
Inkontinensia urine adalah keluarnya urine yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan masalah hygine dan sosial (Martin & Frey, 2005)

B. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari inkontinensia urin menurut Setiati (2007) adalah
sebagai berikut:
a. Inkontinensia Urin Akut
Inkontinensia urin ini merupakan inkontinensia yang terjadi secara
mendadak dan terjadi kurang dari 6 bulan serta biasanya berkaitan dengan
kondisi sakit akut atau masalah iatrogenic yang menghilang jika kondisi
akut teratasi.
b. Inkontinensia Urin Kronik (Persisten)
Inkontinensia urin kronik ini merupakan inkontinensia yang tidak
berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama (lebih dari 6 bulan).
Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan menjadi 4 tipe yaitu sebagai
berikut:
1) Inkontinensia Urin Tipe Stres

7
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar
akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain adalah
kencing sewaktu batuk, mengejan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain
yang dapat meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan pada
inkontinensia urin tipe ini dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya
yaitu dengan senam kegel dan pemberian obat-obatan) maupun dengan
operasi.
2) Inkontinensia Urin Tipe Urge
Inkontinensia urin tipe urge ini timbul pada keadaan otot detrusor
kandung kemih yang tidak stabil, yang mana otot ini beraksi secara
berlebihan. Inkontinesia urin ini ditandai dengan ketidakmampuan
menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Gejala yang
muncul dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak (urge),
kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing di malam hari
(nokturia).
3) Inkontinensia Urin Tipe Overflow
Pada inkontinensia urin tipe overflow ini urin mengalir keluar akibat
isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya
akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini
dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada
sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat.
Gejalanya adalah rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin masih
tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah.
4) Inkontinensia Urin Tipe Fungsional
Inkontinensia urin ini terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi
fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada

8
saat yang tepat. Hal ini dapat terjadi pada demensia berat, gangguan
mobilitas, gangguan neurologis dan psikologis.

C. Etiologi
Adapun etiologi secara umum dari inkontinensia urine menurut Hendra
Utama (2010) adalah sebagai berikut :
a. Kelainan Urologik ; misalnya radang, batu ginjal, tumor, dan
divertikel.
b. Kelainan Neurologik ; misalnya stroke, trauma pada medula spinalis,
dimensia.
c. Dan penyebab yang lainnya misalnya hambatan mobilitas, situasi
tempat berkemih yang tidak memadai atau jauh, merokok, konsumsi
minuman berkafein dan beralkohol, serta menurunnya kadar hormone
estrogen pada wanita usia menopause.
Adapun etiologi inkontinensia urine berdasarkan klasifikasi menurut
Setiati (2007) adalah sebagai berikut :
1) Inkontinensia Urin Akut
Inkontinensia akut ini biasanya dapat disebabkan karena beberapa
hal seperti:
a) delirium atau kebingungan
b) adanya infeksi dan inflamasi
c) pengaruh obat-obatan misalnya terapi obat diuretic
d) masalah psikologis (stress)
e) intake cairan yang berlebihan
f) hambatan mobilitas fisik
2) Inkontinensia Kronik (Persisten)
Inkontinensia kronik ini biasanya dapat disebabkan karena 2 hal
berikut ini:
a) Menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif

9
b) Kegagalan pengosongan kandung kemih karena lemahnya
kontraksi otot detrusor

D. Patofisiologi
Proses berekemih normal dikendalikan oleh mekanisme volunteer dan
involuter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah
control mrkanisme volunter. Sedangkan otot detrusor kandung kemih dan
sfingter uretra internal berada di bawah control saraf otonom. Ketika otot
detrusor berlaksasai maka akan terjadi proses pengisisan kandung kemih
dan sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka akan terjadi proses
berkemih (pengosongan kandung kemih). Kontraksi otot detrusosr
kandung kemih disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis, dimana
aktivitas ini dapat terjadi karena dipicu oleh asetilkoline.
Jika terjadi perubahan-perubahan pada mekanisme ini maka akan
menyebabkan proses berkemih menjadi terganggu. Kelainan urologis dan
neurogenik dapat mengakibatkan perubahan otot pada kandung kemih
sehingga menyebabkan otot detrusor dan otot dasar panggul menjadi
lemah. Hal demikian mengakibatkan gangguan dalam kontrol berkemih
dan dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urin.
Pada menurunnya kadar hormone estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas) akan terjadi penurunan tonus otot pintu
saluran kemih (uretra). Penurunan tonus otot tersebut dapat
mengakibatkan ketidakmampuan dalam menahan keluarnya air seni saat
kandung kemih terisi penuh dan dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia urin. Pembesaran kelenjar prostat pada laki-laki dapat
menyebabkan obstruksi aliran urin dari kandung kemih. Akibat dari
obstruksi tersebut adalah tonus kandung kemih akan menghilang sehingga
kandung kemih yang penuh akan gagal berkontraksi kemudian dapat
menyebabkan terjadinya overflow dan terjadi inkontinesia urin.

10
Merokok adalah salah satu hal yang dapat meningkatkan terjadinya
risiko inkontinensia urin karena efek nikotin dari rokok pada dinding
kandung kemih dapat menjadikan kandung kemih terlalu aktif sehingga
menyebabkan ketidakmampuan dalam mengontrol keluarnya air seni.
Konsumsi minuman berkafein dan beralkohol juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretic yang
dapat mengakibatkan kandung kemih terisi dengan cepat dan memicu
keinginan untuk sering buang air kecil. (Setiati, 2007)

E. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari inkontinensia urin menurut Cameron
(2013) adalah sebagai berikut:
a. Urin keluar bila batuk, bersin, atau tertawa
b. Sering berkemih tetapi urin yang keluar sangat sedikit
c. Kandung kemih terasa penuh meskipun setelah buang air kecil
d. Sering ingin berkemih setelah sensasi berkemih muncul
e. Sering terbangun di malam hari untuk berkemih
f. Sering mengompol pada saat tidur
g. Lebih sering berkemih tanpa ada infeksi saluran kemih
h. Aliran atau pancaran urin yang lemah saat berkemih

F. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang pada pasien dengan inkontinensia urin
menurut Purnomo (2011) adalah sebagai berikut:
a. Urinalis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan glukosa
dalam urin.
b. Uroflowmetry

11
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks detrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, serta reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi Eksretorik
Disebut juga dengan pielografi intravena dan digunakan untuk
mengevaluasi struktur juga fungsi ginjal, ureter, serta kandung kemih.
e. Voiding Cystourethrography
Digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung kemih dan
uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur uretra, dan tahap
gangguan uretra prostatic stenosis (pada pria).
f. Pemeriksaan Rektum
Pada pasien pria dapat menunujukkan pembesaran prostat atau nyeri,
kemungkinan menandakan hipertrofi prostat jinak atau infeksi.
Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin
dapat menyebabkan inkontinensia.
g. Katerisasi Residu Pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih
serta jumlah urin yang tersisa dalam kandung kemih.

G. Penatalaksaan
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Adapun penatalaksanaan farmakologi untuk pasien inkontinensia urin
menurut Hendra Utama (2010) adalah sebagai berikut:
1) Pemberian Obat Antikolirgenik dan Antispasmodic

12
Obat jenis ini berfungsi untuk meningkatkan kapasitas vesika
urinaria dan mengurangi involunter vesika urinaria. Contoh obat-
obat yang dapat diberikan adalah oksibutinin (2,5-5 mg tid),
propanthelin (15-30 mg tid), Dicyclomine (10-20 mg), dan
imipramine (10-50 mg tid).
2) α-Adrenergik Agonis
obat jenis ini berfungsi untuk meningkatkan kontraksi otot polos
urethra. Contoh obat: pseudofedrin (15-30 mg tid).
3) Kolinergik Agonis
Obat jenis ini berfungsi untuk menstimulasi kontraksi vesika
urinaria. Contoh obat: Bethanecol (10-30 mg tid).
b. Penatalaksanaan Non Farmakologi
Adapun penatalaksanaan non farmakologi untuk pasien inkontinensia
urin menurut Setiati (2007)dan Sofia (2014) adalah sebagai berikut:
1) Bladder Training
Bladder training dilakukan untuk mengembalikan pola buang air
kecil normal dengan menghambat stimulasi miksi. Tujuannay
adalah untuk memperpanjang waktu antara miksi. Teknik ini
dilakukan dengan meninstruksikan dan membantu lansia untuk
menekan atau menahan rasa ingin buang air kecil guna
meningkatkan kapasitas urin yang ditampung oleh kandung kemih.
Teknik bladder training biasanya dimulai dengan memberikan jeda
jadwal berkemih tiap 2 jam dan kemudian meningkat waktunya
secara bertahap.
2) Habit Training (Timed Voiding)
Teknik ini dapat dilakukan pada lansia yang mengalami gangguan
kognitif. perawat berperan aktif dalam teknik ini karena perawat
harus membantu klien untuk BAK setiap 2-4 jam, atau perawat

13
dapat membantu klien BAK saat klien terbangun, setelah makan
atau saat saat malam jika terbangun.
3) Kegel Exercise (Latihan Otot Dasar Panggul)
Latihan otot dasar panggul ini dapat berfungsi untuk memperkuat
otot-otot yang lemah sekitar kandung kemih sehingga dapat
mencegah terjadinya inkontinensia urin. Cara latihan senam kegel
yaitu dengan melakukan kontraksi pada otot pubococcygeus dan
menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, lalu kontraksi
dilepaskan. Pada tahap awal bias dimulai dengan menahan
kontraksi selama 3 hingga 5 detik. Dengan melakukan secara
bertahap dapat menjadikan otot ini akan semakin kuat.

H. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat dari inkontinensia urin
adalah sebagi berikut:
a. Ruam Kulit atau Iritasi
Ruam kulit dapat terjadi karena kulit yang terus menerus basah akibat
terkena urin.
b. Prolaps
Prolaps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat
terjadi pada wanita. Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung
kemih, dan dalam beberapa kasus uretra, drop-down ke pintu masuk
vagina. Lemahnya otot dasar panggul sering menyebabkan beberapa
masalah.
c. Perubahan dalam Kegiatan Sehari-Hari
Inkontinensia urin dapat menyebabkan pasien tidak dapat
berpartisipasi dalam aktivitas normal. Hal ini terjadi ketika otot-otot
dasar panggul mengalami kelemahan dari beberapa macam, dan tidak
lagi mampu menjaga uretra tertutup.

14
d. Infeksi Saluran Kemih
Inkontinensia urin dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih
berulang.

15
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
INKONTINENSIA URIN

A. Fokus Pengkajian
1. Identitas
a. Nama klien
b. Umur klien
c. Jenis kelamin klien
d. Pekerjaan klien
e. Pendidikan klien
f. Alamat klien
g. Tanggal masuk RS
h. Diagnosa medis
2. Riwayat Pekerjaan
Pasien sudah tidak bekerja karena terjadinya penurunan fungsi tubuh dan
hanya di rumah saja.
3. Riwayat Lingkungan Hidup
Pasien tinggal di rumah dengan kondisi rumah yang cukup bersih, terdapat
ventilasi, jendela, kamar mandi dan WC, kamar tidur yang cukup bersih,
dan terdapat tempat pembuangan sampah.
4. Riwayat Rekreasi
Pasien menghabiskan waktu luangnya untuk menonton tv dan berkumpul
dengan keluarga.
5. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
yang berulang seperti urethritis juga glomerulonefritis, riwayat

16
penyakit gagal jantung kongestif, penyakit batu ginjal, trauma medulla
spinalis, memiliki riwayat inkontinensia urin atau tidak, dan riwayat
urinasi.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengalami nokturia, urgence, poliuria, disuria, tidak dapat
menahan keluarnya urin, sering merasa ingin berkemih meskipun
setelah berkemih, apakah ada sesuatu yang mendahului inkontinensia
(tertawa, batuk, gerakan), aliran urin lemah dan kandung kemih sering
terasa penuh.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah mengalami inkontinensia urin,
apakah ada anggota keluarga yang memiliki penyakit keturunan
seperti diabetes mellitus, hipertensi.
6. Tinjauan Sisitem
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. TTV :
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 65 x/menit
Suhu : 37 oC
RR : 15 x/menit
d. Integument : kulit keriput, CRT 2 detik, Turgor kulit baik
e. Kepala : mesochepal, tidak ada kelainan
f. Mata : fungsi penglihatan berkurang, pandangan kabur, bentuk
simetris, konjungtiva normal, sclera normal.
g. Telinga : Bentuk simetris, fungsi pendengaran berkurang, kebersihan
kurang.
h. Hidung : bentuk simetris, tidak ada polip.

17
i. Mulut : penurunan kemampuan mengunyah, penurunan kemampuan
perasa.
j. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada distensi vena
jugularis.
k. Paru-Paru : bentuk simetris, pengembangan dada sama, irama
pernafasan teratur, bunyi vesikuler saat di lakukan auskultasi, dan
sonor saat di lakukan perkusi.
l. Kardiovaskuler : ictus cordis teraba di ICS 5, suara jantung redup atau
pekak,
m. Gastrointestinal : auskultasi bunyi pristaltik usus 10 kali per menit,
tidak ada nyeri tekan, tidak ada bekas luka.
n. Perkemihan : terjadi poliuria, sering berkemih, tidak mampu menahan
kemih, nyeri saat berkebih.
o. Genetalia : kebersihan kurang, iritasi pada area genetalia akibat
kondisi yang lembab karena sering berkemih.
p. Musculoskeletal : mengalami kelemahan otot, berkurangnya
kemampuan tulang.
q. System syaraf pusat : tidak ada keluhan
r. System endokrin : tidak ada keluhan
s. System imun : tidak ada keluhan yang berarti.
t. System pengecapan : fungsi pengecapan berkurang.
u. Sisyem penciuman : fungsi penciuman berkurang.
v. Psikososial : sosialisasi baik.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalis
1) Hematuria
2) Poliuria
3) Bakteriuria
b. Pemeriksaan Radiografi

18
1) IVP (Intravenous pyeolography), untuk memprediksi lokasi ginjal
dan ureter
2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk,
dan fungsi vesika urinaria, melihat adanya obstruksi (terutama
obstruksi prostat), dan mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
c. Kultur Urin
8. Pola Fungsional
a. Pola Nutrisi
Nafsu makan baik, berat badan ideal
b. Pola Eliminasi
Poliuria, nokturia, sering berkemih, tidak mampu menahan kencing,
desakan untuk berkemih
c. Pola Istirahat dan Tidur
Gangguan pola tidur karena sering terbangun untuk berkemih
d. Pola Personal Hygine
Kebersihan diri tidak terjaga, badan terkena urin akibat mengompol
e. Nyeri/ Ketidaknyamanan
Nyeri pada pelvis, kandung kemih, nyeri saat berkemih
f. Integritas Ego
Cemas, khawatir, dan takut.
9. Pengkajian Status Fungsional

SKOR KRITERIA INDEKS KATZ


A Kemandirian dalam hal :
 Makan
 Kontinen
 Berpindah
 Kamar kecil
 Berpakaian

19
 Mandi
B Kemandirian dalam semua aktivitas sehari hari kecuali salah
 satu dari fungsi tersebut
C Kemandirian dalam semua aktivitas sehari – hari kecuali hal
 Mandi
Dan satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua aktivitas sehari – hari kecuali hal
 Berpakaian
 Mandi
Dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktivitas sehari – hari kecuali hal
 Kamar kecil
 Berpakaian
 Mandi
Dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktivitas sehari – hari kecuali hal
 Berpindah
 Berpakaian
 Mandi
Dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut
Lain - lain Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak
dapat diklasifikasikan sebagai CDEFG.

10. Pengkajian Status Kognitif (SPMSQ)

No Item Pertanyaan Benar Salah


.
1. Jam berapa sekarang ? 
Jawab : 09.30
2. Tahun berapa sekarang ? 

20
Jawab : 2019
3. Kapan Bapak / Ibu lahir ? 
Jawab : -
4. Berapa umur Bapak / Ibu sekarang ? 
Jawab : 70 tahun
5. Dimana alamat Bapak / Ibu sekarang ? 
Jawab : Jalan A. Yani
6. Berapa jumlah keluarga yang tinggal bersama 
Bapak / Ibu ?
Jawab : 4
7. Siapa nama anggota keluarga yang tinggal 
bersama Bapak / Ibu ?
Jawab : -
8. Tahun berapa hari kemerdekaan Indonesia ? 
Jawab : 17 Agustus 1945
9. Siapa nama Presiden Republik Indonesia ? 
Jawab : SBY
10. Coba hitung terbalik dari angka 20 le 1 ? 
Jawab : -
JUMLAH 6 4

Analisa Hasil :
Skore salah : 0-2 : Fungsi intelektual utuh
Skore salah : 3-4 : Kerusakan intelektual ringan
Skore salah : 5-7 : Kerusakan intelektual sedang
Skore salah : 8-10 : Kerusakan intelektual berat

Berdasarkan hasil penilaian tersebut di dapatkan skore nilai berjumlah


benar 6, sehingga dapat di simpulkan bahwa klien mengalami kerusakan
integritas ringan.

21
11. APGAR Family

No. ITEMS PENILAIAN SELALU KADANG – TIDAK


KADANG PERNAH
(2) (1) (0)
1. A : Adaptasi 
Saya puas bahwa saya
dapat kembali pada
keluarga (teman – teman)
saya untuk membantu
pada waktu sesuatu
menyusahkan saya.
2. P : Partnership 
Saya puas dengan cara
keluarga (teman – teman)
saya membicarakan
sesuatu dengan saya dan
mengungkapkan masalah
saya.
3. G : Growth 
Saya puas bahwa
keluarga (teman – teman)
saya menerima dan
mendukung keinginan
saya untuk melakukan
aktifitas atau arah baru.
4. A : Afek 
Saya puas dengan cara
keluarga (teman – teman)
saya mengekspresikan

22
afek dan berespon
terhadap emosi – emosi
saya, seperti marah,
sedih, atau mencintai.
5. R : Resolve 
Saya puas dengan cara
keluarga (teman – teman)
saya dan saya
menyediakan waktu
bersama – sama
mengekspresikan afek
dan berespon.
JUMLAH 1 4 0

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin (00016)
2. Inkontinensia urin stress (0001)
3. Inkontinensia urin dorongan (00019)
4. Gangguan pola tidur (000198)
5. Ansietas (00146)
6. Risiko kerusakan integritas kulit (00047)
C. Nursing Care Plan
1. Gangguan eliminasi urin (00016)
a. Definisi:
Disfungsi eliminasi urin
b. Batasan karakteristik:
1) Disuria
2) Dorongan berkemih
3) Inkontinensia urin

23
4) Nokturia
5) Sering berkemih
c. Faktor yang berhubungan:
1) Gangguan sensori motorik
2) Infeksi saluran kemih
3) Obstruksi anatomic
4) Penyebab multiple
d. NOC:
1) Eliminasi urin (0503)
Kriteria hasil:
a) Pola eliminasi urin tidak terganggu
b) Kandung kemih kosong secara penuh
c) Tidak ada keinginan mendesak untuk berkemih
d) Tidak mengalami nokturia
2) Kontinensia urin (0502)
Kriteria hasil:
a) Bebas dari ISK
b) Intake cairan dalam rentang normal
c) Mampu menjaga pola berkemih yang teratur
e. NIC
1) Perawatan inkontinensia urin (0610)
Intervensi:
a) Monitor eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau,
volume, dan warna urin
b) Identifikasi faktor apa saja penyebab inkontinensia pada pasien
(misalnya: urin output, pola berkemih, fungsi kognitif, masalah
perkemihan, residu paska berkemih, dan obat-obatan)
c) Jelaskan penyebab terjadinya inkontinensia dan rasionalisasi
setiap tindakan yang dilakukan

24
d) Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat pola dan
jumlah urin output
e) Berikan intake cairan 2-3 jam sebelum tidur
2) Latihan otot pelvis (0560)
Intervensi:
a) Kaji kemampuan urgensi berkemih pasien
b) Instruksikan pasien untuk menahan otot-otot sekitar uretra,
kemudian relaksasi, seoalah-olah ingin buang air kecil
c) Ajarkan pasien untuk memonitor keefektifan latihan dengan
mencoba menahan BAK 1 kali dalam seminggu
d) Instruksikan pasien untuk dapat mencatat inkontinensia yang
terjadi setiap harinya untuk melihat perkembangannya
3) Perlindungan infeksi (6550)
Intervensi:
a) Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
b) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi
dan kapan harus melaporkannya kepada pemberi layanan
kesehatan
c) Instruksikan pasien untuk meminum antibiotic yang diresepkan
4) Peresepan obat (2390)
Intervensi:
a) Identifikasi obat-obatan yang memiliki indikasi untuk masalah
kesehatan saat ini
b) Resepkan obat-obatan sesuai dengan otoritas peresepan obat
dan atau sesuai dengan protocol
c) Ajarkan pasien dan keluarga terkait reaksi yang diharapkan dan
efek samping obat.
2. Inkontinensia urin stres (0001)
a. Definisi:

25
Rembesan urin tiba-tiba karena aktivitas yang meningkatkan tekanan
intra abdomen.
b. Batasan karakteristik:
1) Rembesan involunter sedikit urin (misal: pada saat batuk, tertawa,
bersin, atau olahraga)
2) Rembesan involunter sedikit urin pada tidak adanya kontraksi
detrusor
3) Rembesan involunter sedikit urin pada tidak adanya overdistensi
kandung kemih
c. Faktor yang berhubungan:
1) Defisiensi sfingter uretra intrinsic
2) Kelemahan otot pelvic
3) Peningkatan tekanan intra abdomen
4) Perubahan degeneratif pada otot-otot pelvic
d. NOC
1) Kontinensia urin (0502)
Kriteria hasil:
a) Mampu mengenali keinginan untuk berkemih
b) Menjaga pola berkemih yang teratur
c) Kandung kemih kosong secara penuh
d) Intake cairan dalam rentang normal
2) Kontrol gejala (1608)
Kriteria hasil:
a) Mampu mmantau munculnya gejala
b) Mampu memantau keparahan gejala
c) Mampu melakukan tindakan pencegahan
d) Mampu melakukan tindakan untuk mengurangi gejala
e. NIC
1) Biofeedback

26
Intervensi:
a) Tentukan kemampuan dan keinginan pasien untuk
menggunakan terapi perilaku
b) Diskusikan rasionalisasi penggunaan biofeedback dan jenisnya
c) Tentukan penerimaan pasien terhadap jenis terapi yang
digunakan
d) Buat perencanaan terapi untuk mengatasi masalah
2) Manajemen obat (2380)
Intervensi:
a) Tentukan obat apa yang diperlukan dan kelola menurut resep
b) Monitor efektivitas cara pemberian obat yang sesuai
c) Monitor efek samping obat
d) Ajarkan pasien dan/atau anggota keluarga mengenai tindakan
dan efek samping yang diharapkan dari obat
3) Latihan kebiasaan berkemih (0600)
Intervensi:
a) Tetapkan interval jadwal toilet awal
b) Tetapkan interval toileting dan sebaiknya tidak kurang dari 2
jam
c) Bantu pasien ke toilet dan dorong untuk mengosongkan
kandung kemih pada interval waktu yang ditentukan
3. Inkontinensia urin dorongan (00019)
a. Definisi:
Pengeluaran urin involunter yang terjadi segera setelah suatu rasa
dorongan kuat untuk berkemih.
b. Batasan karakteristik:
1) Dorongan berkemih
2) Pengeluaran urin involunter pada kontraksi kandung kemih
3) Pengeluaran urin involunter pada spasme kandung kemih

27
4) Tidak mampu mencapai toilet pada waktunya untuk berkemih
c. Faktor yang berhubungan:
1) Asupan alkohol
2) Asupan kafein
3) Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas kandung
kemih
4) Infeksi kandung kemih
5) Penurunan kapasitas kandung kemih
6) Urethritis atrofik
7) Vaginitis atrofik
d. NOC
1) Kontinensia urin (0502)
Kriteria hasil:
a) Mampu mengenali keinginan untuk berkemih
b) Menjaga pola berkemih yang teratur
c) Kandung kemih kosong secara penuh
d) Intake cairan dalam rentang normal
3) Eliminasi urin (0503)
Kriteria hasil:
a) Pola eliminasi urin tidak terganggu
b) Kandung kemih kosong secara penuh
c) Tidak ada keinginan mendesak untuk berkemih
d) Tidak mengalami nokturia.
4) Perawatan diri: eliminasi (0310)
Kriteria hasil:
a) Dapat merespon saat kandung kemih penuh dengan tepat
waktu
b) Mampu sampai ke toilet saat hampir keluarnya urin
c) Dapat mengosongkan kandung kemih

28
e. NIC
1) Latihan kandung kemih (0570)
Intervensi:
a) Pertimbangkan kemampuan untuk mengenali dorongan
pengosongan kandung kemih
b) Dorong pasien untuk membuat buku harian berkemih
c) Tetapkan jadwal interval untuk berkemih
d) Lakukan eliminasi pada pasien atau ingatkan pasien untuk
mengosongkan kandung kemih pada interval yang sudah
ditentukan
e) Ajarkan pasien untuk secara sadar menahan urin sampai waktu
berkemih yang sudah dijadwalkan
2) Manajemen lingkungan (6480)
Intervensi:
a) Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
b) Idnetifikasi kebutuhan keselamatn pasien berdasarkan fungsi
fisik dan kognitif serta riwayat perilaku di masa lalu
c) Sediakan perangkat-perangkat adaptif (misalnya: bangku
pijakan atau pegangan tangan) yang sesuai
d) Sediakan tempat tidur dan lingkungan yang bersih serta
nyaman
e) Letakkan benda yang sering digunakan dalam jangkauan
pasien
3) Perawatan inkontinensia urin (0610)
Intervensi:
a) Monitor eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau,
volume, dan warna urin

29
b) Identifikasi faktor apa saja penyebab inkontinensia pada pasien
(misalnya: urin output, pola berkemih, fungsi kognitif, masalah
perkemihan, residu paska berkemih, dan obat-obatan)
c) Jelaskan penyebab terjadinya inkontinensia dan rasionalisasi
setiap tindakan yang dilakukan
d) Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat pola dan
jumlah urin output
e) Berikan intake cairan 2-3 jam sebelum tidur
4. Gangguan pola tidur (000198)
a. Definisi:
Interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat factor eksternal.
b. Batasan karakteristik:
1) Kesulitan jatuh tertidur
2) Ketidakpuasan tidur
3) Menyatakan tidak merasa cukup istirahat
4) Penurunan kemampuan berfungsi
5) Perubahan poal tidur normal
6) Sering terjaga tanpa jelas penyebabnya
c. Faktor yang berhubungan:
1) Halangan lingkungan (misal: bising, pajanan cahay/gelap, suhu,
kelembaban, lingkungan yang tidak dikenal)
2) Imobilisasi
3) Kurang privasi
4) Pola tidur tidak menyehatkan (misal: karena tanggung jawab
menjadi pengasuh, menjadi orang tua)
d. NOC
1) Tidur (0004)
Kriteria hasil:
a) Pola tidur tidak terganggu

30
b) Kualitas tidur tidak terganggu
c) Tidak buang air kecil di malam hari
2) Kelelahan: efek yang mengganggu (0008)
Kriteria hasil:
a) Tidak ada gangguan dengan aktivitas sehari-hari
b) Tidak ada gangguan hubungan interpersonal
c) Tidak pesimis terhadap status kesehatan saat ini
e. NIC
1) Peningkatan tidur (1850)
Intervensi:
a) Tentukan pola tidur/aktivitas pasien
b) Monitor/catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidur
c) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan sebelum tidur
dan minuman yang mengganggu tidur
d) Diskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai teknik untuk
meningkatkan tidur
2) Manajemen lingkungan: kenyamanan (6482)
Intervensi:
a) Hindari gangguan yang tidak perlu dan berikan untuk waktu
istirahat
b) Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung
c) Hindari paparan dan aliran udara yang tidak perlu, terlalu
panas maupun terlalu dingin
d) Sediakan lingkungan yang aman dan bersih
5) Bantuan perawatan diri: eliminasi (1804)
Intervensi:
a) Bantu pasien ke toilet atau tempat lain untuk eliminasi pada
interval waktu tertentu
b) Beri privasi selama eliminasi

31
c) Fasilitasi kebersihan toilet setelah menyelesaikan eliminasi
d) Buatkan kegiatan eliminasi, dengan tepat dan sesuai kebutuhan
e) Sediakan alat bantu (misalnya: kateter eksternal atau urinal)
5. Ansietas (00146)
a. Definisi:
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons
otonom (sumber sringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu) perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan
individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk
bertindak menghadapi ancaman.
b. Batasan karakteristik:
1) Gelisah
2) Distress
3) Ketakutan
4) Lemah
5) Letih
6) Gangguan pola tidur
7) Sering berkemih
c. Faktor yang berhubungan:
1) Kebutuhan yang tidak terpenuhi
2) Stressor
3) Perubahan besar (misal: status kesehatan, status ekonomi,
lingkungan, fungsi peran)
4) Hubungan interpersonal
5) Ancaman kematian
d. NOC
1) Penerimaan: status kesehatan (1300)
Kriteria hasil:

32
a) Mampu mengenali realita situasi kesehatan
b) Mampu menyesuaikan perubahan dalam status kesehatan
c) Mampu mengekspresikan kedamaian dari dalam diri
d) Mampu mengatasi situasi kesehatan
e) Dapat menjelaskan prioritas hidup
2) Status kenyamanan (2008)
Kriteria hasil:
a) Kesejahteraan fisik dan psikologis tidak terganggu
b) Hubungan sosial tidak terganggu
c) Tidak ada gangguan pada perawatan yang sesuai dengan
kebutuhan
d) Lingkungan fisik yang nyaman
3) Koping (1302)
Kriteria hasil:
a) Mampu mengidentifikasi pola koping yang efektif
b) Mampu mengidentifikasi pola koping yang tidak efektif
c) Menyatakan penerimaan terhadap situasi
d) Mampu adaptasi terhadap perubahan hidup
e) Mampu menggunakan strategi koping yang efektif
e. NIC
1) Peningkatan koping (5230)
Intervensi:
a) Berikan suasana penerimaan
b) Sediakan informasi actual mengenai diagnosis, penanganan,
dan prognosis
c) Dukung keterlibatan keluarga, dengan cara yang tepat
d) Dukung pasien untuk mengidentifikasi kekuatan dan
kemampuan diri

33
e) Bantu pasien untuk mengidentifikasi system dukungan yang
tersedia
2) Pengurangan kecemasan (5820)
Intervensi:
a) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
b) Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang
tepat
c) Bantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
d) Pertimbangkan kemampuan klien dalam mengambil keputusan
6. Risiko kerusakan integritas kulit
a. Definisi:
Rentan mengalami kerusakan epidermis dan atau dermis yang dapat
mengganggu kesehatan.
b. Faktor risiko:
1) Cedera kimiawi kulit (misal: luka bakar, klorida, agens mustard)
2) Ekskresi
3) Factor mekanik (misal: daya gesek, tekanan, imobilitas fisik)
4) Hipoterima
5) Hipertermia
6) Kelembaban
7) Gangguan metabolisme
8) Gangguan sensasi (akibat cedera medulla spinalis, diabetes
mellitus, dll)
9) Gangguan sirkulasi
10) Gangguan turgor kulit
c. NOC:
1) Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa (1101)
Kriteria hasil:
a) Integritas kulit tidak terganggu

34
b) Tidak ada lesi pada kulit
c) Tidak ada lesi pada membrane mukosa
d) Tidak ada eritema
e) Perfusi jaringan tidak terganggu
2) Kontrol risiko: proses infeksi (1924)
Kriteria hasil:
a) Mampu mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
b) Mampu mengenali factor risiko individu terkait infeksi
c) Mampu memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan
risiko infeksi
d) Mampu memonitor perubahan status kesehatan
e) Mampu mempraktikkan strategi untuk mengontrol infeksi
3) Kontinensia urin (0502)
Kriteria hasil:
a) Mampu mengenali keinginan untuk berkemih
b) Menjaga pola berkemih yang teratur
c) Kandung kemih kosong secara penuh
d) Intake cairan dalam rentang normal
4) Status imunitas (0702)
Kriteria hasil:
a) Fungsi genitourinary tidak terganggu
b) Integritas kulit dan mukosa tidak terganggu
c) Jumlah sel darah putih dalam rentang normal
d. NIC
1) Kontrol infeksi (6540)
Intervensi:
a) Gunakan katerisasi intermitten untuk mengurangi kejadian
infeksi kandung kemih

35
b) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi
serta kapan harus melaporkannya kepada penyedia perawatan
kesehatan
c) Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
d) Berikan terapi antibiotic yang sesuai
2) Manajemen nutrisi (1100)
Intervensi:
a) Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi
b) Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet untuk kondisi
sakit
c) Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan makanan
tertentuberdasarkan perkembangan atau usia
3) Pemberian obat: kulit (2316)
Intervesi:
a) Ikuti prinsip 5 benar pemberian obat
b) Catat riwayat medis pasien dan riwayat alergi
c) Tentukan kondisi kulit pasien di atas area mana obat akan
diberikan
d) Sebarkan obat di atas kulit sesuai kebutuhan
e) Berikan agen topical sesuai yang diresepkan

36
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah keluarnya urine yang tidak terkendali
sehingga menimbulkan masalah hygine dan sosial (Martin & Frey, 2005)
Adapun klasifikasi dari inkontinensia urine yaitu inkontinensia urine
akut dan inkontinensia kronis.
Penyebab dari inkontinensia urine antara lain yaitu gangguan urologi,
neurologi, penurunan hormone estrogen, kelemahan otot dasar panggul dan
otot detrusor.
Adapun tanda gejala inkontinensia urine antara lain nokturia, sering
berkemih, tidak mampu menahan kemih, pancaran urine lemah, dan adanya
desakan untuk berkemih.

B. Saran
Sebagai tenaga kesehatan kita harus memiliki pengetahuan yang luas
tentang inkontinensia urine dan mengetahui serta memahami bagaimana
penanganan pada pasien dengan inkontinensia urine sehingga kita dapat
memberikan asuhan keperawatan yang baik dan tepat pada pasien tersebut.

37
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC

Cameron A, Joel J, Heidelbaugh & Masahito Jimbo. 2013. Diagnosis and of-
fice-based treatoment of urinary incontinence in adults. Therapeutic
advances in urology.

Gibney MJ, Barrie MM, John MM, Lenore A.2015. Gizi kesehatan
masyarakat.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Maas, L. Meridean. (2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Martin, P, F dan Frey, R, J. 2005. Urinary Incontinence for Olderly.

Maryam, S & dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.

Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC – NOC. Yogyakarta :
Medication.

Purnomo, B, B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.

Setiati, Siti., Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambangf, Alwi, Idrus., Simabibrata
K, Maecellus. 2007. Buku Ajaran Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta :
Departemen Ilmi Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

38
Stockslager, J.L. dan Schaeffer, L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Dialih
bahasakan oleh Nike Budhi Subekti. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.

Setyono, Joko. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Salemba : Jakarta.

Utama, Hendra. 2010. Geriatri.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

39

Anda mungkin juga menyukai