Anda di halaman 1dari 11

Faringitis

(Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan)

Edward A. Sykes MD PhD Vincent Wu MD Michael M. Beyea MD PhD

Matthew T.W. Simpson MD MSc CD CCFP Jason A. Beyea MD PhD FRCSC

Abstrak

Tujuan : Untuk memberikan dokter keluarga dengan pendekatan


terbaru untuk diagnosis dan pengobatan faringitis, merinci gejala utama, metode
pemeriksaan, dan ringkasan penyebab umum.

Sumber informasi : pendekatan yang dideskripsikan berdasarkan pada praktik


klinis penulis dan literatur sejenis (peer-review) dari 1989 hingga 2018.

Pesan utama : Radang tenggorokan yang disebabkan oleh faringitis umumnya


sering ditemukan di klinik kedokteran keluarga dan disebabkan oleh radang faring
dan jaringan di sekitarnya. Faringitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri,
atau jamur. Infeksi virus sering sembuh sendiri, sedangkan infeksi bakteri dan jamur
biasanya memerlukan terapi antimikroba. Tes deteksi antigen cepat dan biakan
tenggorokan dapat digunakan bersama dengan temuan klinis untuk mengidentifikasi
organisme yang menjadi penyebab. Faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes adalah yang paling mengkhawatirkan karena dapat berkaitan dengan
komplikasi parah seperti demam rematik akut dan glomerulonefritis. Oleh karena itu,
diagnosis faringitis yang cermat diperlukan untuk memberikan pengobatan yang
tepat.

Kesimpulan : Riwayat menyeluruh adalah kunci untuk mendiagnosis


faringitis. Tes deteksi antigen cepat harus dipersiapkan untuk memulai pemberian
antibiotik. Dokter harus menahan diri dalam pemberian antibiotik untuk faringitis,
karena menahan diri dalam pemberian antibiotik tidak menunda pemulihan atau
meningkatkan risiko infeksi S pyogenes.
Radang tenggorokan dan faringitis mewakili lebih dari 2% dan 5% dari
semua kunjungan pelayanan kesehatan primer rawat jalan untuk populasi
dewasa dan anak, masing-masing. Ditandai dengan peradangan jaringan
faring, nasofaring, dan tonsil. Puncak kejadian antara akhir musim dingin dan
awal musim semi. Delapan puluh persen kasus disebabkan oleh agen virus,
sedangkan sisanya adalah bakteri dan, jarang, infeksi jamur (Tabel 1). Di sini,
kami memberikan ulasan klinis terbaru tentang faringitis untuk dokter
keluarga di Kanada.

Deskripsi Kasus

Nn. Z. adalah seorang wanita berusia 18 tahun yang datang ke klinik


kedokteran keluarga dengan riwayat 3 hari sakit tenggorokan dan kesulitan
menelan. Dia menyangkal memiliki batuk atau pilek tetapi demam dengan
diselingi menggigil. Dia menyangkal kontak dengan orang yang sakit baru-
baru ini dan belum melakukan perjalanan dalam 2 bulan terakhir. Dia memiliki
gejala yang sama beberapa tahun yang lalu, yang dirawat dengan antibiotik.
Dia berharap mendapatkan resep antibiotik untuk meringankan gejalanya.
Mengingat gejala Nn. Z. dan kemungkinan demam tanpa adanya batuk dan
rinorea, diduga faringitis.

Tinjauan Klinis
Pesan Utama

Meskipun faringitis virus biasanya sembuh sendiri dengan sekuele


minimal, infeksi bakteri dan jamur lebih parah. Infeksi Streptococcus
pyogenes - Streptococcus grup A (SGA) (“radang tenggorokan”) terjadi hingga
30% dan 15% dari sakit tenggorokan pada populasi anak-anak dan dewasa.
Infeksi streptokokus Grup A dapat memiliki komplikasi yang mengancam jiwa
pada kurang dari 0,015% anak-anak dan 0,05% pasien dewasa. Ini dapat
dipisahkan menjadi nonsuppuratif (demam rematik akut, glomerulonefritis,
kelainan neuropsikiatri autoimun pediatrik terkait dengan infeksi
streptokokus) dan komplikasi supuratif (abses peritonsillar, septik jugularis-
vena tromboflebitis, Vincent angina) komplikasi yang memerlukan intervensi
medis atau bedah yang mendesak.

Mencegah terjadinya komplikasi diperlukan pengobatan antimikroba,


tetapi resistensi antibiotik yang meningkat telah menekankan pada
meminimalkan penggunaan antibiotik. Sayangnya, membedakan faringitis
bakteri dari infeksi lain sulit dilakukan.

Tanda dan Gejala

Diferensiasi klinis dari faringitis virus, bakteri, dan jamur merupakan


tantangan karena kesamaan dalam presentasi klinisnya. Radang tenggorokan,
kesulitan menelan dan demam adalah gambaran umum. Gejala-gejala ini
biasanya memuncak dalam 3 hingga 5 hari dan sembuh pada hari ke 10.
Meskipun beberapa gejala spesifik patogen telah dilaporkan, nilai prediktif
hanya diformulasikan untuk faringitis SGA (Tabel 2)

Temuan pada pemeriksaan fisik dapat membantu mengarahkan


diagnosis (Gambar 1). Hipertrofi tonsil, eritema, edema, atau “cobble-stoning”
dari faring posterior menunjukkan infeksi virus. Temuan seperti edema bibir
atas, splenomegali, posterior cervical adenopathy, dan ruam polimorfik
meningkatkan kecurigaan terhadap infeksi virus Epstein-Barr (EBV). Bakteri
patogen dapat menyebabkan anterior cervical lymphadenopathy, ruam seperti
amplas (scarlatiniform), eksudat tonsil, dan petekia palatal. Faringitis jamur
timbul dengan cheilitis angular dan plak mirip curd putih yang menyakitkan
atau bercak merah halus di dalam orofaring.

Pasien dapat datang dengan beberapa atau tidak ada tanda dan gejala
ini. Algoritma prediktif telah dikembangkan untuk mengarahkan pemeriksaan
dan mencegah pemberian antibiotik yang berlebihan dengan memberikan
tanda dan gejala kemungkinan pretest agregat untuk faringitis bakteri. Skor
Centor yang dimodifikasi (Gambar 2) tetap menjadi metode yang paling
banyak digunakan untuk mengatasi faringitis streptokokus. Mereka dengan
skor 1 atau kurang beresiko sangat rendah (<10%), sedangkan mereka dengan
skor 4 atau lebih besar beresiko tinggi (53%) dari infeksi streptokokus.
Alternatif lain, skor FeverPAIN (Gambar 3) telah mendapatkan popularitas di
Inggris. Ini memprediksi radang tenggorokan berdasarkan onset gejala akut
(<3 hari), demam baru-baru ini (<24 jam), tidak adanya batuk atau coryza, dan
amandel bernanah atau meradang. Skor di bawah 2 hingga 3 memiliki
kemungkinan hingga 40% untuk infeksi streptokokus, dan risiko meningkat
hingga 65% dengan skor 4. Pendekatan ini mungkin setara jika tidak lebih
unggul dari skor Centor yang dimodifikasi untuk mengurangi kebutuhan
untuk pengujian diagnostik dan antibiotik tanpa mempengaruhi secara negatif
hasil pasien.
Pemeriksaan Laboratorium

Kultur tenggorokan tetap menjadi standar kriteria untuk diagnosis


faringitis bakteri, dengan spesifisitas 97% hingga 100% dan sensitivitas 90%
hingga 95%. Sayangnya, kultur sampel tenggorokan sulit dan dapat menunda
antibiotik. Kultur jarang mempengaruhi pemilihan antibiotik, karena praktik
pemberian resep saat ini mencakup untuk SGA. Sebaliknya, mereka dapat
menyingkirkan infeksi atipikal seperti non-SGA dan faringitis jamur yang
memerlukan rejimen antimikroba alternatif.

Pengujian deteksi antigen cepat (RADT) memberikan hasil diagnostik


yang sama. Tes ini mendeteksi antigen bakteri dan virus dari usap
tenggorokan yang diambil dari eksudat tonsil atau posterior orofaring
menggunakan dipstik. Saat ini, mereka telah dirancang untuk mengatasi
infeksi streptokokus, virus pernapasan, dan influenza. Spesifisitas dan
sensitivitas RADT sangat bervariasi dari 54% hingga 100% dan 38% hingga
100%, masing-masing. Meskipun hasilnya langsung, setiap kit spesifik patogen
dan tidak dapat secara luas membedakan antara faringitis virus dan bakteri.
Oleh karena itu, hasil negatif tidak dapat mengesampingkan faringitis bakteri
non-SGA.

Tes titer Antistreptolisin O digunakan untuk pasien dengan dugaan


komplikasi supuratif SGA. Namun, tes ini tidak direkomendasikan pada
penyakit akut, karena penanda serologis memuncak 3 hingga 8 minggu setelah
timbulnya gejala.

Orang-orang yang diduga menderita infeksi EBV harus menerima tes


mononukleosis. Meskipun memiliki sensitivitas 70% hingga 92% dan
spesifisitas 96% hingga 100%, ada tingkat kesalahan-negatif 25% ketika
digunakan dalam 10 hari pertama timbul gejala. Neisseria gonorrhoeae
pharyngitis secara tradisional didiagnosis dengan kultur usap oral, baru-baru
ini tes amplifikasi asam nukleat untuk pengujian ekstragenital telah disetujui
oleh Kesehatan Masyarakat Ontario, Administrasi Makanan dan Obat-obatan,
dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit.

Pengambilan Keputusan Klinis

Penatalaksanaan faringitis berfokus pada memutuskan apakah akan


melihat dan menunggu, memberikan pengobatan simtomatik, atau memulai
terapi antimikroba. Ini bergantung pada diferensiasi akurat antara infeksi
bakteri dan virus. Kultur mengidentifikasi patogen secara efektif tetapi tidak
boleh menunda atau mengarahkan pengobatan awal dalam presentasi
atipikal, karena hasilnya baru didapatkan setelah 5 hingga 10 hari dan gagal
untuk membedakannya dengan infeksi akut dari pembawa. Sebagai alternatif,
teknologi RADT bersifat spesifik tetapi sama-sama tidak boleh mengarahkan
manajemen dalam isolasi, karena sensitivitasnya dapat bervariasi dan RADT
tidak memiliki bukti berkualitas tinggi dalam populasi anak. Hasil RADT
negatif pada pasien berusia 5 hingga 15 harus diverifikasi dengan kultur
tenggorokan. Selain itu, anak-anak di bawah 3 tahun tidak boleh diuji kecuali
ada kemungkinan tinggi paparan SGA, karena kejadian dalam populasi ini
kurang dari 14% dan infeksi jarang menyebabkan demam rematik akut.

Sekitar 7% dari anak-anak dan 20% dari pasien dewasa adalah


asimptomatik dan pembawa (carrier) SGA yang tidak menular. Penggunaan
antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan efek samping yang tidak perlu
dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Guidelines The Infectious
Disease Society of America 2012 menunjukkan bahwa skor Centor yang
dimodifikasi dapat mengarahkan pengujian laboratorium dan terapi
antimikroba. Pengobatan simtomatik direkomendasikan untuk skor 1
sedangkan pengobatan antimikroba yang di uji oleh RADT atau biakan
disarankan untuk skor 2 hingga 3 (Gambar 2). Sayangnya, alat ini memiliki
spesifisitas 54% pada pasien berusia 3 hingga 14. Dokter harus berhati-hati
ketika menerapkan skema ini dalam populasi ini karena akurasi diagnostik
yang terbatas.

The National Institute for Health and Care Excellence menyetujui


kombinasi skor Centor dan FeverPAIN yang dimodifikasi untuk mengarahkan
follow-up dan pemberian resep antimikroba (Gambar 4). Pasien berisiko
rendah disarankan untuk menerima pengobatan simptomatik dengan follow-
up 1 minggu. Resep yang tertunda dengan instruksi untuk digunakan jika
gejala tidak membaik dalam 3 sampai 5 hari disarankan untuk pasien dengan
risiko menengah SGA.

Secara tradisional, ada ambang yang rendah untuk mengobati faringitis


karena risiko komplikasi bakteri. Ada bukti yang timbul bahwa menunda
terapi antimikroba selama 3 hari mungkin tidak memperpanjang pemulihan
penyakit dan bahwa diagnostik laboratorium tidak dapat secara memadai
membedakan pembawa bakteri subklinis. Pendekatan antimikroba yang lebih
konservatif yang disajikan oleh pedoman National Institute for Health and Care
Excellence mungkin bermanfaat (Gambar 4). Dengan fokus pada manajemen
gejala dengan tindak lanjut dari kasus dengan probabilitas pretest rendah dan
resep tertunda dalam kelompok risiko menengah, strategi ini dapat
mengurangi penggunaan antibiotik Kanada sebanyak 27% terlihat di Inggris
tanpa meningkatkan tingkat komplikasi atau kematian.

Kerangka kerja ini harus mengarahkan, tetapi tidak menggantikan


penilaian klinis dokter. Pengujian dan pengobatan empiris pada orang yang
sakit parah atau mereka yang berisiko lebih tinggi terhadap komplikasi
(misalnya, pasien lanjut usia, lemah, atau pasien dengan sistem imun lemah)
tidak boleh ditunda. Dokter juga harus memiliki ambang batas rendah untuk
mencurigai komplikasi supuratif, karena mereka mengancam jiwa jika tidak
diobati. Ini harus segera ditangani bersamaan dengan konsultasi darurat
dengan spesialis THT.
Pengobatan

Penatalaksanaan klinis tergantung pada penyebab faringitis, tetapi


akhirnya dapat dipisahkan menjadi terapi simtomatik dan antimikroba.
Mempertahankan hidrasi yang memadai sangat penting, terlepas dari strategi
perawatan.

Faringitis virus: Pengobatannya konservatif, karena infeksi ini


biasanya sembuh sendiri. Kortikosteroid oral selama 1 hingga 2 hari telah
terbukti mengurangi kesulitan menelan (jumlah yang diperlukan untuk
pengobatan 4) tetapi mereka tidak memiliki efek pada perjalanan klinis.
Lozenges (tablet hisap pelega tenggorokan) dan benzookain atau obat lidokain
kumur juga memberikan efek pereda nyeri ringan. pereda nyeri dengan
mematikan rasa pada orofaring. Obat antiinflamasi nonsteroid seperti
ibuprofen, bersama dengan asetaminofen, dapat digunakan untuk mengurangi
rasa sakit dan demam pada orang dewasa dan anak-anak. Asam asetilsalisilat
dikontraindikasikan pada pasien anak karena risiko Reye syndrome. Pasien
yang dicurigai mengalami infeksi EBV harus disarankan untuk tidak
melakukan olahraga kontak karena meningkatnya risiko ruptur lien akibat
EBV. Saat ini, tidak ada konsensus tentang panjang pembatasan.

Bakterial faringitis: Pengobatan faringitis bakteri fokus pada


pemberantasan SGA. Amoksisilin selama 6 hingga 10 hari adalah pilihan
utama bagi kandidat yang membutuhkan terapi antimikroba. Dosis tunggal
secara intramuscular dari penisilin benzathine penicillin G dapat digunakan
sebagai alternatif jika kepatuhan dipertanyakan. Jumlah yang diperlukan
untuk mencegah 1 sakit tenggorokan pada 1 minggu menggunakan antibiotik
pada pasien dengan usap tenggorokan positif adalah 21. Data historis dari
sebelum 1975 juga menyarankan bahwa antibiotik mengurangi risiko demam
rematik sebesar 67%, tetapi studi yang lebih baru yang mengeksplorasi
komplikasi ini diperlukan. Terapi antibiotik-kortikosteroid bersamaan tidak
diindikasikan, karena tidak meningkatkan rasa sakit dan mungkin menunda
pemulihan dari faringitis bakteri.

Pasien dengan hipersensitifitas tipe 4 (ruam) terhadap penisilin atau


amoksisilin yang membutuhkan antibiotik harus menerima sefaleksin,
klindamisin, atau klaritromisin selama 10 hari. Demikian pula, pasien dengan
hipersensitivitas tipe 1 (anafilaksis) terhadap β-laktamase dapat diresepkan
pengobatan cefdinir atau cefpodoxime selama 5 hari. Cephalexin harus
dihindari pada pasien ini, karena ada 2,5% risiko ko-hipersensitif terhadap
sefalosporin generasi kedua. Eksema makulopapular nonhipersensitivitas
mungkin muncul pada 70% pasien yang terinfeksi EBV setelah amoksisilin,
tetapi tidak memerlukan pengobatan. Tidak ada perbedaan statistik yang
dilaporkan untuk pengurangan gejala antara pengobatan sefalosporin atau
makrolida dibandingkan dengan penisilin.

Faringitis atipikal: Pasien dengan infeksi refrakter terhadap


pengobatan lini pertama dapat dirawat selama 72 jam dengan asam
amoksisilin-klavulanat atau klindamisin. Jika dicurigai ada bakteri atipikal
seperti N gonorrhoeae atau Corynebacterium diphtheriae, pasien harus mulai
menggunakan ceftriaxone atau erythromycin, masing-masing. Faringitis
jamur harus dicurigai pada pasien immunocompro-mised dan lansia, di mana
perawatan uconazole dan miconazole harus digunakan.

Faringitis berulang harus diobati dengan penicillin-rifampin atau cefpodoxime


proxetil. Pasien dengan tonsilitis bakteri streptokokus episode berulang (> 7
pada tahun lalu,> 5 per tahun selama 2 tahun terakhir, atau> 3 per tahun
selama 3 tahun terakhir) dapat dirujuk ke spesialis THT-KL untuk
pertimbangan tonsilektomi. Eradikasi untuk pembawa koloni asimptomatik
saat ini tidak diindikasikan. Namun, faringitis eksaserbasi akut harus diobati
sebagai infeksi akut yang membutuhkan 10 hari klindamisin atau penicillin-
rifampin, atau 1 dosis benzathine penicillin G dan rifampin.
Resolusi kasus

Tidak adanya batuk dan rinore Nn. Z. membantu menyingkirkan


sinusitis dan akumulasi lender dibelakang hidung dan tenggorokan (post-
nasal drip). Dia tampak tertekan dan kesakitan saat menelan tetapi tidak
tampak sakit parah. Dia demam dan pemeriksaan mengungkapkan kelenjar
getah bening leher yang membesar di sisi kirinya, bersama dengan hipertrofi
tonsil bilateral tanpa eksudat. Faringnya tampak merah dan radang. Skor
Centor dan FeverPAIN yang dimodifikasi keduanya dihitung sebagai 2.
Faringitis virus dicurigai, dan RADT tidak dilakukan. Nn. Z diminta untuk
meminum ibuprofen untuk rasa sakit dan mempertahankan hidrasi yang
memadai. Dia diperintahkan untuk kembali jika gejalanya memburuk selama
3 hari ke depan.

Kesimpulan

Faringitis adalah masalah umum yang terlihat dalam perawatan


primer, yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan agen jamur. Yang paling
mengkhawatirkan adalah infeksi S pyogenes, yang dapat menyebabkan
komplikasi supuratif dan nonsuppuratif. Diagnosis penyebab faringitis saat ini
dicapai melalui gejala klinis utama yang terlihat dalam sistem penilaian Centor
atau FeverPAIN yang dimodifikasi bersama dengan RADT. Pengendalian
antibiotik dan insidensi komplikasi faringitis streptokokus yang rendah
menunjukkan bahwa perawatan dapat sangat mendukung. Penggunaan
antibiotik empiris harus dibatasi pada pasien yang sakit parah, memiliki risiko
komplikasi yang tinggi, atau tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dalam
5 hari timbul gejala.

Anda mungkin juga menyukai