Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

Skenario 6

Pembimbing:

dr. Tendry Septa, Sp.KJ (K)

Disusun Oleh:

Dita Mauliana Prabiwi 1818012061

Fitri Nadia Silvani 1818012014

Mutia Diah Pratiwi 1818012100

BAGIAN KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG

2020
KATA PENGANTAR

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan case report yang berjudul “Gangguan Depresi

Organik dengan Tentamen Suicide” tepat pada waktunya. Adapun tujuan

pembuatan case report ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan

menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Lampung.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Tendry Septa, Sp.KJ (K) yang telah

meluangkan waktunya untuk penulis dalam menyelesaikan naskah ini. Penulis

menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga case report ini dapat

bermanfaat bukan hanya untuk penulis, tetapi juga bagi siapa pun yang

membacanya.

Bandar Lampung, 29 Juli 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

I. IDENTITAS PASIEN................................................................................1

II. WAWANCARA PSIKIATRI....................................................................1

III. ANAMNESIS............................................................................................1

1. KELUHAN UTAMA..........................................................................1

2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG...............................................1

3. RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA.........................................2

4. RIWAYAT PENDIDIKAN.................................................................3

5. RIWAYAT PEKERJAAN..................................................................3

6. RIWAYAT KELUARGA...................................................................3

IV. STATUS MENTAL...................................................................................4

1. Deskripsi Umum.................................................................................4

2. Pembicaraan........................................................................................5

3. Alam Perasaan....................................................................................5

4. Gangguan Persepsi..............................................................................5

5. Proses Berpikir....................................................................................5

6. Sensorium dan Kognisi.......................................................................5

7. Pengendalian Impuls...........................................................................6

8. Daya Nilai...........................................................................................6

iii
9. Tilikan.................................................................................................6

10. Taraf dapat dipercaya..........................................................................6

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK..............................................................6

VI. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA..................................................7

VII. FORMULASI DIAGNOSIS......................................................................8

VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL.................................................................11

IX. DAFTAR MASALAH.............................................................................11

X. PROGNOSIS...........................................................................................11

XI. RENCANA TERAPI...............................................................................12

XII. DISKUSI..................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20

iv
CASE REPORT

Skenario 6

Nn. F, 24 tahun, tidak bekerja, pendidikan terakhir SLTA. Saat sekolah dari SD

hingga SLTA, prestasi sekolah Nn. F rata-rata kelas. Nn. F anak ke2 dari 2

bersaudara. Ayah Nn. F sekitar 6 bulan yang lalu meninggal dunia karena sakit.

Adapun ibu Nn.F, Ibu Rumah Tangga dengan memiliki sedikit usaha kecil

kecilan. Sekitar 2 bulan setamat SLTA, Nn.F didiagnosis lupus oleh internist,

setelah sebelumnya memperlihatkan banyak gejala penyakit fisik.

Sejak saat itu, Nn. F berulang kali dirawat di Rumah Sakit karena Lupus nya.

Kakak Nn.F telah menikah, belum memiliki anak dan pernah berobat di RSJD

Provinsi Lampung.

Sekitar 2 (dua) tahun terakhir ini, Nn.F sering marah tanpa alasan yang jelas, sulit

tidur, terkadang berbicara melantur, terlihat sedih bahkan pernah ingin bunuh diri.

Nn.F pernah di rawat inapkan di RSJD Provinsi Lampung setelah mengamuk dan

kemudian mencoba bunuh diri. Nn. F dibawa ke IGD RSJD Provinsi Lampung

sekitar 1 minggu yang lalu setelah mengamuk dengan memecahkan barang-

barang di rumahnya dan mencoba bunuh diri.

Menurut ibu, sudah hampir 4 bulan Nn.F putus obat, karena Nn.F tidak mau

makan obat, begitu juga obat-obatan yang diberikan internist.

1
I. IDENTITAS PASIEN

Nn. F, Wanita, 24 tahun, pendidikan terakhir SLTA, belum menikah, tidak

bekerja, alamat di Bandar Lampung, data diambil berdasarkan skenario

enam.

II. WAWANCARA PSIKIATRI

Wawancara dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan

keluarga pasien.

III. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Mengamuk dan ingin bunuh diri 1 minggu yang lalu

Keluhan tambahan: sering marah, sulit tidur, berbicara melantur dan

terlihat sedih sejak 2 tahun yang lalu .

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Nn. F, 24 tahun, sekitar 2 bulan setamat SLTA, didiagnosis lupus oleh

internist.

Sejak 2 tahun terakhir ini, Nn.F sering marah tanpa alasan yang jelas,

sulit tidur, terkadang berbicara melantur, terlihat sedih bahkan pernah

ingin bunuh diri.

Sejak 4 bulan yang lalu, Nn. F putus obat, tidak mengkonsumsi obat-

obatan dan obat dari internist (Lupus).

2
1 minggu yang lalu, Nn.F dirawat inapkan di RSJD Provinsi Lampung

setelah mengamuk dengan memecahkan barang-barang dan kemudian

mencoba bunuh diri.

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya

Pasien memiliki penyakit Lupus sejak 2 bulan setelah lulus SLTA

Sejak 2 tahun terakhir ini, Nn.F sering marah tanpa alasan yang jelas,

sulit tidur, terkadang berbicara melantur, terlihat sedih bahkan pernah

ingin bunuh diri.

4. Riwayat Pendidikan

Pasien menyelesaikan pendidikan SLTA

Saat sekolah dari SD hingga SLTA, prestasi sekolah Nn. F rata-rata

kelas.

5. Riwayat Pekerjaan

Nn. F diketahui tidak bekerja

6. Riwayat Keluarga

Pasien belum menikah. Nn. F anak ke2 dari 2 bersaudara. Ayah Nn. F

sekitar 6 bulan yang lalu meninggal dunia karena sakit. Ibu Nn.F, Ibu

Rumah Tangga dengan memiliki sedikit usaha kecil kecilan. Kakak

Nn.F telah menikah, belum memiliki anak dan pernah berobat di RSJD

Provinsi Lampung.

3
Keterangan

: Laki-laki hidup

: Laki-laki mati

: Wanita hidup

: Pasien

IV. STATUS MENTAL

1. Deskripsi Umum

a. Kesadaran : Kompos mentis

b. Sikap Terhadap Pemeriksa : Tidak ada data

c. Penampilan : Tidak ada data

d. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor : Tidak ada data

4
2. Pembicaraan

Terdapat inkoherensi pada isi pembicaraan pasien

3. Alam Perasaan

a. Mood : Anhedonia, iritabel

b. Afek : Mendatar

c. Keserasian : Mood dan afek serasi

4. Gangguan Persepsi

a. Halusinasi : Tidak ada data

b. Ilusi : Tidak ada data

c. Derealisasi : Tidak ada data

d. Depersonalisasi : Tidak ada data

5. Proses Berpikir

a. Bentuk Pikir : Tidak ada data

b. Arus Pikir : Tidak ada data

c. Isi Pikir : Tidak ada data

6. Sensorium dan Kognisi

a. Orientasi: tidak ada data mengenai orientasi tempat, waktu, orang dan

5
situasi

b. Daya ingat: tidak ada data mengenai daya ingat segera, jangka pendek,

jangka menengah, dan jangka panjang baik.

c. Konsentrasi dan Perhatian: tidak ada data

7. Pengendalian Impuls

Terdapat agitasi yang membahayakan diri pasien sendiri dan orang lain

8. Daya Nilai

a. Sosial : Tidak ada data

b. Uji Daya Nilai : Tidak ada data

9. Tilikan

Tidak ada data

10. Taraf Dapat Dipercaya

Tidak ada data

V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT

1. Status Internus

Terdapat gejala fisik lupus

6
2. Tanda-tanda Vital

Tidak ada data

3. Pemeriksaan Fisik

Tidak ada data

4. Status Neurologis

Tidak ada data

5. Laboratorium

Tidak ada data

VI. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Pasien berjenis kelamin perempuan berusia 24 tahun, tidak bekerja, dan

memiliki pendidikan terakhir SLTA. Sejak 2 tahun terakhir ini, pasien sering

marah tanpa alasan yang jelas, sulit tidur, terkadang berbicara melantur,

terlihat sedih bahkan pernah ingin bunuh diri.

Sejak 4 bulan yang lalu, pasien putus obat, tidak mengkonsumsi obat-obatan

dan obat dari internist (Lupus). Satu minggu yang lalu, pasien

dirawatinapkan di RSJD Provinsi Lampung setelah mengamuk dengan

memecahkan barang-barang dan kemudian mencoba bunuh diri.

Kakak pasien memiliki riwayat berobat ke RSJD Provinsi Lampung, ibu

7
pasien memiliki usaha kecil-kecilan, dan ayah pasien baru meninggal dunia

6 bulan yang lalu.

Saat wawancara, diketahui kesadaran pasien compos mentis, mood

anhedonia dan iritabel, afek mendatar, terdapat keserasian antara mood dan

afek, isi pembicaraan inkoheren, dan terdapat agitasi pada pasien yang

membahayakan diri pasien sendiri dan orang lain.

VII. FORMULASI DIAGNOSIS

Berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna, pada pasien didapati sindrom atau

pola perilaku yang menimbulkan suatu distress (penderitaan) dan disability

(hendaya) dalam kehidupan sehari-hari pasien, sehingga dapat disimpulkan

bahwa pasien mengidap gangguan jiwa.

Dalam kasus ini, ditemukan riwayat yang berkaitan dengan kondisi medis

umum, berupa Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sehingga hal ini dapat

menjadi dasar untuk diagnosis gangguan mental organik (F0). Pasien tidak

memiliki riwayat menggunakan narkoba, sehingga hal ini dapat

menyingkirkan diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan

zat psikoaktif (F1). Pasien tidak memiliki keluhan berupa gangguan pikiran

dan persepsi seperti adanya halusinasi atau waham, sehingga hal ini dapat

menyingkirkan diagnosis skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan

waham (F2). Ditemukan adanya perubahan mood dan afek kearah depresi

dan diserta dengan perubahan pada tingkat aktivitas. Gejala lain adalah

8
sekunder terhadap perubahan tersebut. Meskipun terdapat gejala tersebut,

pasien memiliki kondisi medis umum dominan yang menyertai sehingga

diagnosis gangguan suasana perasaan dapat disingkirkan (F3).

Hasil pemeriksaan status mental pasien didapatkan gangguan suasana

perasaan, dengan mood anhedonia dan iritabel, afek mendatar, dan keserasian

antara mood dan afek. Hal yang dikeluhkan oleh pasien sudah dua tahun

terakhir ini dirinya sering marah tanpa alasan yang jelas, sulit tidur, terkadang

berbicara melantur, terlihat sedih bahkan pernah ingin bunuh diri. Satu

minggu yang lalu, pasien juga dirawatinapkan di RSJD Provinsi Lampung

setelah mengamuk dengan memecahkan barang-barang dan kemudian

mencoba bunuh diri.

Hal tersebut menjadi dasar diagnosis pada gangguan depresi organik (F06.32)

dengan tentamen suicide. Kriteria umum gangguan mental organik (F0) pada

pasien, seperti adanya penyakit, kerusakan, atau disfungsi otak, atau penyakit

fisik sistemik yang diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom mental

yang tercantum, dan adanya hubungan waktu (dalam beberapa minggu atau

bulan) antara perkembangan penyakit yang mendasari dengan timbulnya

sindrom mental. Pasien juga disertai kondisi yang sesuai dengan salah satu

diagnosis dari gangguan yang tercantum dalam F30-F33. Pasien memiliki

penyakit SLE, dan dalam beberapa tahun setelah didiagnosis SLE, pasien

sering marah tanpa sebab jelas, sulit tidur, bicara melantur, sedih, ingin dan

mencoba bunuh diri.

Keluarga tidak mengeluhkan adanya gangguan perilaku saat pasien masih

9
remaja. Pasien menyelesaikan pendidikan SLTA dengan prestasi kelas rata-

rata. Hal ini menyingkirkan diagnosis gangguan kepribadian (F6) dan

retardasi mental (F7). Oleh karena itu, hingga saat ini belum ada diagnosis

pada aksis II. Pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,

ditemukan riwayat penyakit fisik ataupun kelainan medis umum, berupa SLE

sehingga aksis III memiliki diagnosis SLE.

Hasil anamnesis yang dilakukan, pasien tidak bekerja. Selain itu, ibu pasien

memiliki usaha kecil-kecilan dan ayah yang baru meninggal dunia 6 bulan

yang lalu, sedangkan kakak pasien memiliki riwayat berobat ke RSJD. Oleh

karena itu ditemukan diagnosis pada aksis IV yaitu masalah pekerjaan dan

primary support group.

Penilaian terhadap kemampuan fungsi pasien dalam kehidupan menggunakan

skala GAF (Global Assesment of functioning). Pada pasien ini didapatkan

Aksis V, skor GAF current 20-11, yaitu terdapat bahaya mencederai diri atau

orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri

karena sejak 1 minggu yang lalu pasien mengamuk dengan memecahkan

barang-barang di rumahnya dan mencoba bunuh diri, dan skor GAF highest

level past year (HLPY) juga 20-11, yaitu terdapat bahaya mencederai diri

atau orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri

karena pasien tidak bekerja dan sejak 2 tahun terakhir pasien terlihat sedih

dan ingin bunuh diri.

10
VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL

1. Aksis I : F06.32 Gangguan Depresi Organik dengan Tentamen Suicide

2. Aksis II : Belum ada diagnosis

3. Aksis III : Systemic Lupus Erythematosus

4. Aksis IV : Masalah pekerjaan dan primary support group

5. Aksis V : GAF current 20-11

IX. DAFTAR MASALAH

1. Organobiologi : Systemic Lupus Erythematosus.

2. Genetik : Ditemukan riwayat berobat ke psikiater pada kakak pasien.

3. Psikologi : Ditemukan adanya iritabilitas, insomnia, bicara melantur,

perasaan sedih, rasa ingin bunuh diri.

4. Sosial : Didapatkan masalah pada pekerjaan pasien dan primary support

group.

X. PROGNOSIS

1. Quo ad vitam : Dubia

2. Quo ad functionam : Dubia

11
3. Quo ad sanationam : Dubia

XI. RENCANA TERAPI

1. Psikoterapi:

Cognitive behavior therapy (CBT)

Bertujuan untuk mengelola gejala yang dirasakan pasien.

● Membangun hubungan dengan dan kepercayaan dari pasien

● Mendiskusikan kemungkinan/diagnosis dengan pasien

● Mengedukasi mengenai gangguan yang dialami

● Mengajak pasien untuk mengenali potensi penyelesaian masalah

yang mungkin efektif

● Memfokuskan penatalaksaaan pada fungsi kehidupan sehari-hari

● Mengelola stres secara efektif dan peningkatan aktivitas fisik

● Menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up

Psikoedukasi:

● Mengurangi stimulus yang berlebihan

● Memberikan ketenangan kepada pasien

● Meningkatkan harga diri pasien, memberikan aspek positif diri

12
● Menyusun rencana jangka pendek

● Mengedukasi keluarga dan orang terdekat supaya memberikan

dukungan kepada pasien.

2. Psikofarmaka diberikan:

Fase agitasi akut : APG II Olanzepin injeksi 10mg IM, maksimum

30mg/hari (tiga kali injeksi perhari dengan interval dua jam) dan

Antidepresan golongan trisiklik yaitu Amitriptylin 25 mg 1x1

XII. DISKUSI

Pada beberapa jenis gangguan jiwa (misalnya, Gangguan Mental Organik)

terdapat berbagai tanda dan gejala yang sangat luas sehingga dilakukan suatu

penyusunan urutan blok-blok diagnosis yang berdasarkan suatu hierarki,

dimana suatu gangguan yang terdapat dalam urutan hierarki yang lebih tinggi,

mungkin mempunyai ciri-ciri dari gangguan yang terletak dalam hierarki

lebih rendah, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, penegakan diagnosis

psikiatri baru dapat dipastikan setelah kemungkinanan kepastian

diagnosis/diagnosis banding dalam blok diatasnya dapat ditiadakan secara

pasti (Maslim, 2013).

Berdasarkan data yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan psikiatri

didapatkan bahwa terdapat penyakit fisik sistemik yang mendasari keluhan

13
sehingga pasien termasuk kepada gangguan mental organik (F0). Sedangkan

disingkirkan untuk gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat

psikoaktif (F1), skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham (F2).

Lalu, ditemukan adanya perubahan mood dan afek ke arah depresi dan

diserta dengan perubahan pada tingkat aktivitas. Gejala lain adalah sekunder

terhadap perubahan tersebut, sehingga pasien termasuk pada blok diagnosis

gangguan mood dan afek (F3) untuk melengkapi dari gejala afektif

organiknya.

Hasil pemeriksaan status mental pasien didapatkan keluhan pasien sudah

hampir 2 (dua) tahun ini dirinya sering marah tanpa alasan yang jelas, sulit

tidur, terkadang berbicara melantur, merasa sedih bahkan ingin bunuh diri.

Pasien pernah di rawat inap di RSJD Provinsi lampung karena mengamuk

kemudian ingin mencoba bunuh diri. Keluhan-keluhan ini muncul setelah

pasien lama menderita penyakit lupus nya. Hal tersebut menjadi dasar

diagnosis pada gangguan afektif organik yaitu gangguan depresi organik

sehingga aksis I yaitu gangguan depresif organik (F06.32) sekaligus

menyingkirkan diagnosis gangguan somatisasi (F45.0), dan gangguan

neurotik (F40-F44).

Gangguan mood akibat kondisi medis umum, yang juga dikenal dengan

gangguan mood sekunder, ditandai dengan perubahan mood yang prominen

yang dianggap merupakan efek fisiologis langsung dari penyakit medis atau

zat spesifik. Gangguan ini seringkali sulit didefinisikan dan belum diteliti

secara luas; meski demikian gambaran kuncinya adalah mood depresif

14
(anhedonia) atau mood elevasi, ekspansif, atau iritabel yang prominen,

persisten, menyusahkan, atau secara fungsional menyebabkan hendaya, dan

dianggap disebabkan baik oleh medis maupun bedah atau oleh intoksikasi

atau keadaan putus zat. Pendiagnosis diminta menjelaskan apakah gangguan

mood berupa manik, depresi, atau campuran, dan apakah kriteria untuk

sindrom depresif atau manik mayor yang sepenuhnya simtomatik terpenuhi

(Saddock, 2016).

Pedoman diagnostik gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi

otak dan penyakit fisik (F06) menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III sebagai berikut:

● Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik

sistemik yang diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom mental

yang tercantum;

● Adanya hubungan waktu (dalam beberapa minggu atau bulan) antara

perkembangan penyakit yang mendasari dengan timbulnya sindrom

mental;

● Kesembuhan dari gangguan mental setelah perbaikan atau dihilangkan

penyebab yang mendasarinya;

● Tidak adanya bukti yang mengarah pada penyebab alternatif dari

sindrom mental ini (seperti pengaruh yang kuat dari riwayat keluarga

atau pengaruh stres sebagai pencetus)

Pedoman diagnostik gangguan afektif organik (F06.3) menurut Pedoman

15
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III sebagai berikut:

● Kriteria umum tersebut di atas (F06)

● Disertai kondisi yang sesuai dengan salah satu diagnosis dari gangguan

yang tercantum dalam F30-F33.

● Gangguan afektif organik, meliputi:

○ F06.30 Gangguan Manik Organik

○ F06.31 Gangguan Bipolar Organik

○ F06.32 Gangguan Depresfi Organik

○ F06.33 Gangguan Afektif Organik Campuran

Pedoman diagnostik untuk episode depresi (F32) menurut Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III sebagai berikut:

● Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):

- Afek depresif

- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah

(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

● Gejala lainnya:

a) Konsentrasi dan perhatiannya berkurang;

b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;

c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;

16
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;

e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;

f) Tidur terganggu;

g) Nafsu makan berkurang.

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan

masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi

periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan

berlangsung cepat.

Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat

(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).

Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu

diagnosis gangguan depresif berulang (F33,-).

Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap pasien dan keluarganya, pasien

diketahui tidak bekerja, sedangkan ibu pasien hanya sebagai ibu rumah

tangga yang memiliki usaha kecil-kecilan. Selain itu, ayah pasien sudah

meninggal dunia 6 bulan yang lalu dan kakak pasien sudah menikah serta

memiliki riwayat pernah berobat ke RSJD Provinsi Lampung. Sehingga

ditemukan diagnosis pada aksis IV yaitu masalah pekerjaan dan primary

support group. Penilaian terhadap kemampuan fungsi pasien dalam

kehidupan menggunakan skala GAF (Global Assesment of functioning). Pada

17
pasien ini didapatkan Aksis V, skor GAF current 20-11, yaitu bahaya

mencederai diri sendiri atau orang lain, terdapat disabilitas sangat berat dalam

komunikasi dan menguru diri. Skor GAF digunakan untuk menilai secara

subyektif fungsi sosial, pekerjaan dan psikologis seseorang.

Penatalaksanaan dari fase agitasi akut pada kasus ini diberikan tatalaksana

farmakoterapi yaitu olanzepin injeksi 10 mg secara intramuskular, dapat

diberikan tiga kali injeksi perhari dengan interval dua jam. Olanzepin

merupakan anti psikotik generasi II (APG II) yang bekerja sebagai agonis

dari serotonergik (5 HT2 reseptor) dan dopaminergik (D2 reseptor). Lalu

untuk fase depresi pada kasus ini diberikan tatalaksana farmakoterapi yaitu

amitriptilin 25 mg 1 kali per hari dan diberikan selama empat hari.

Amitriptilin adalah obat antidepresan golongan trisiklik yang berkerja dengan

menghambat pengambilan norepinefrin dan serotonin secara spesifik.

Selain psikofarmaka, psikoterapi juga sangat diperlukan untuk pasien. Pada

kasus ini diberikan psikoterapi berupa psikoedukasi dan cognitive behavior

therapy (CBT). Psikoedukasi bertujuan untuk mengurangi stimulus yang

berlebihan dan memberikan ketenangan kepada pasien. Selain itu,

psikoedukasi dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dengan

memberikan aspek positif diri dan menyusun rencana jangka pendek.

Terapi psikoterapi kedua yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT)

merupakan salah satu tatalaksana yang efektif untuk mengelola episode

depresif sedang. Dalam CBT, dokter memposisikan diri sebagai mitra yang

membantu merubah pola pikiran negatif dan kebiasaan pasien yang

18
berhubungan dengan gangguan depresinya dengan mengajarkan bagaimana

menghindari kebiasaan yang berhubungan dengan peyakitnya. Dokter juga

dapat mengajak pasien untuk mengenali potensi penyelesaian masalah yang

mungkin efektif untuk pasien.

Prognosis pada pasien adalah dubia karena ganguan mental organik yang

dialami oleh pasien yaitu dengan penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE).

Dimana pasien dengan SLE yang sudah memiliki manifestasi klinis meliputi

banyak organ memiliki prognosis dubia. Selain itu episode depesi yang

dialami pasien memiliki kemungkinan untuk kambuh kembali.

19
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric

Publishing

Kemenkes. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Jakarta:

Kemenkes.

Maslim R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-lII dan

DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Saddock BJ, Sadock VA, dan Ruiz P. 2015. Kaplan &-Sadock’s Synopsis of

Psychiatry. 11th edition. London: Wolters Kluwer.

20

Anda mungkin juga menyukai